Dear Laila Bab 1 Seorang Biduan

3
0
Deskripsi

Laila tidak menyangka bahwa kepindahannya sebagai calon pegawai negeri sipil di sebuah desa mengubah takdirnya dari seorang gadis menjadi seorang ibu. 

Laila harus menjaga nama baik diri dan profesinya akibat kesalahan satu malam. Membesarkan bayi seorang diri menurutnya lebih baik daripada merusak rumah tangga orang. Sebab laki-laki yang menitipkan benih di rahimnya berstatus suami sah dari wanita lain. 

Lalu bagaimana Laila menghadapi dunianya yang baru?

Bab 1 Seorang Biduan

 

Tatapanmu senyumanmu

Tiada pernah aku lupakan

Bisikanmu suaramu

Merdu merayu menggoda

 

Wanita berbaju kaus putih yang mencetak tubuh moleknya sedang bernyanyi di sebelah seorang pria. Celana yang hanya beberapa sentimeter dari belahan paha mengekspos kulit putih dan bersihnya. Pinggul nan berisi bergoyang ikuti musik dangdut yang mengentak. Lirikan genit diberikan untuk pasangan jogetnya, seorang pria berkemeja biru telur asin. Pria itu merupakan pembawa acara sekaligus penyanyi juga, sama dengan si wanita. Mereka bekerja pada bos yang sama. Dan kali ini giliran sang biduanita yang menyanyi. 

Suasana resepsi pernikahan di desa itu cukup ramai. Pelaminan yang mewah bertema modern ada di sebelah kiri pintu masuk dan tempat makan terletak di sebelah kanan. Di tengah-tengah merupakan tempat duduk menikmati kue dan penganan lain yang disediakan tuan pesta sebelum para tamu beranjak pulang. Sementara tempat biduan sedang meliukkan tubuh berada di samping pelaminan. 

Pada deretan meja tengah ada tiga wanita, masing-masing berusia lima puluhan dan empat puluhan. Mata yang termakan usia tidak mampu melihat jelas wajah orang-orang di panggung. Salah satunya adalah Ibu Kartina yang berbaju terusan merah muda, berdempul tebal, dan berhijab pas leher. 

”Bu Marleha! Di depan sana Dafa suaminya Pita bukan?” Kartina menepuk bahu Marleha.

Marleha menatap para penghibur itu dengan mata dikerutkan. Walau tanpa kacamata, dia hafal postur tubuh menantunya. 

”Kamu lupa dengan wajahnya?” Suara Marleha terdengar malas meladeni basa-basi teman wirid yang lebih muda dari dirinya. Alih-alih tersenyum dan menjawab ramah, Marleha menampilkan wajah datar dan berkata ketus.

”Tidak lupa. Cuma mau memastikan saja. Tadi aku kenal dari suaranya. Suara Dafa bagus.”

Marleha tidak menanggapi. Dijejalkannya anggur ke mulut dan meludah guna membuang biji yang hendak termakan. Wanita bertubuh berisi itu menyesal telah mengambil anggur yang berbiji. Harusnya dia tetap ambil anggur yang warnanya hijau karena tidak ada bijinya. Sementara itu lagu yang sering terdengar dari ponsel Pita terus berdendang. Kedua rekannya kini mulai asyik berbincang perkara jodoh anak mereka.

”Bagaimana syarat untuk calon menantumu, Bu Kartina? Boleh aku tahu? Kalau tidak salah, kekasih Dira karyawan bea cukai. Dengar-dengar gajinya tinggi. Langsung sahkan saja atau gimana nanti?” tanya Ipah, yang termuda di antara mereka. Anak tuanya baru SMA kelas sebelas.

”Syarat hidup layak dan mewah sudah terpenuhi. Anakku pasti akan bahagia dengan calon suaminya.” Kartina melihat lurus ke depan dengan pikiran menerawang. ”Aku bangga dengan Dira. Dia pintar menerima laki-laki. Pokoknya kalau masalah bagaimana nanti anakku makan, aku tidak perlu khawatir lagi. Tapi sebagai orang tua, aku masih punya syarat sebelum mereka melangkah ke jenjang pernikahan.”

”Apa itu?” tanya Ipah lagi.

”Menantuku harus berjanji untuk setia. Kamu taukan, Pah, harta tahta dan wanita, sering jadi perusak rumah tangga. Misalnya, menantuku setia dan cinta pada Dira, belum pasti dia tahan godaan wanita di luar sana. Namanya pria dikasih yang enak-enak, nggak mungkin nolak toh? Kerjanya di tempat bagus, ketemu dengan perempuan cantik-cantik. Sudah pasti imannya harus kuat. Iyakan? Aku akan terangkan kepada pihak besan dan menantuku tentu saja, jika sampai Aris selingkuh, dia harus menceraikan Dira dan membagi harta separuhnya untuk Dira. Lalu harus ada uang 'maaf' juga untuk Dira.”

”Wah!” Ipah berseru. Kepala terangguk setuju. ”Kita sebagai wanita dan ibu mertua harus pintar, ya, Bu Kartina.” Ipah menyimpulkan sambil di sela mengunyah tape. “Eh, eh, lihat tidak, Bu Kar? Itu di depan sana, suaminya Pita keenakan digesek-gesek susu rasa melon,” tunjuk Ipah ke atas panggung. ”Ih, kalau sudah nempel-nempel seperti itu, lampunya bisa nyala loh. Orang dulu saja bikin api dari batu yang digosok-gosok. Dafa pasti udah on itu.” Ipah tertawa cekikikan.

Marleha yang sedang menikmati buah berwarna hijau, berhenti mengunyah saat di sebelah kiri dan kanannya beralih membicarakan Dafa, menantu satu-satunya.

Kartina terkejut. ”Ah, yang benar, Pah? Mataku tidak jelas melihat wajah si Dafa.”

Ipah tertawa kecil. Pura-pura berbisik, tetapi suaranya cukup nyaring untuk didengar Marleha, ”Muka-muka pengen. Coba bayangkan, ya, setiap tampil si biduan perempuan melakukan itu. Kira-kira peluang Dafa khilaf berapa persen menurutmu, Bu Kartina? Maaf nih, Bu Marleha, aku ini cuma mengomentari apa yang kulihat loh. Kalau nggak tampak, aku juga tidak akan membahasnya. Hehe.”

Marleha pura-pura tidak memedulikan obrolan kawannya. Tentu saja api dalam dada wanita yang melahirkan Pita itu sudah membara. Dia malu beserta marah. Sudah sering dia mengatakan kemungkinan yang dikatakan Ipah kepada Pita. Marleha ingin Pita mendapatkan suami yang sederajat. Apalagi profesi sampingan Dafa yang buruk di matanya dan orang-orang, tidak sebanding dengan Pita.

”Bagaimana menurut kamu, Mar?” Kartina justru memancing Marleha. ”Kasihan Pita, kan? Pita sudah PNS loh. Apa tidak malu punya suami kerjanya jadi biduan?”

”Itu urusan anak-anakku.” Marleha tidak ingin membahas lebih jauh. Dilihatnya Dafa sedang bicara sebagai MC, meminta Pak Kades untuk menyumbangkan suaranya. Begitu Pak Kades naik panggung, Dafa duduk di sebelah penyanyi kegatalan itu. Mereka terlibat pembicaraan seru. Marleha mengepalkan tangan melihat si penyanyi dan Dafa tertawa.

”Sudah yuk, pulang,” ajak Marleha mendahului dua temannya berdiri.

Begitu motornya digas, Marleha langsung pergi ke kediaman putrinya. Rumah sederhana lantai satu itu pintunya terbuka. Rupanya Pita sedang merawat bunga. Keladi kesayangan Pita tampak berjejer di ujung teras dan dekat pagar. Wanita beranak satu itu sedang mencabuti rumput di tiap pot. Marleha mendekati Pita yang berjongkok.

”Tidak pergi ke nikahannya Septia?” tegur Marleha mengumumkan kedatangannya.

Buru-buru Pita berdiri. ”Eh, Ibu, kapan datang? Ibu pulang dari tempat Septia?”

Marleha mengangguk. ”Kamu?” Didudukkan tubuh tuanya di kursi beranda.

”Habis Magrib sama Dafa. Dia pulang dulu untuk mandi. Nanti aku bareng.”

Kebetulan Laila menyebut nama sang suami. Marleha bersedekap, mulai mengeluhkan hal yang dia lihat tadi.

”Cinta sekalikah kamu dengan suami seperti itu? Dia sudah bikin malu kita sekeluarga. Sejak awal Ibu tidak merestui kalian, ya, karena ini. Golongan kita dan dia berbeda. Kapasitas otak kalian juga jauh. Kamu bisa lolos tes, sedangkan dia? Itu karena pikirannya tidak ke arah sana. Malas berusaha dan belajar seperti yang kamu lakukan. Keenakan manggung, dibelai-belai wanita seksi.”

Perempuan yang berusia 26 tahun itu masih mencabuti rumput. Tak dia biarkan emosinya terpancing karena omongan Marleha. Tanpa diberitahu pun, Pita sudah tahu. Dia dan Dafa belum juga menemukan kesepakatan. Dafa tidak ingin berhenti dari grup orgennya. Lama-lama kesimpulan Pita mengarah pada apa yang ibunya sampaikan. Dafa bertemu banyak wanita ganjen yang haus belaian. Berapa gaji Dafa dari manggung? Pita bahkan tidak melihat hasilnya. 

Pita berdiri, mendekati keran, dan mencuci tangan sekalian dengan sabun yang dia sediakan di sana. Ditariknya napas, menenangkan diri. Dafa adalah pilihannya. Pita akan tanggung jawab atas pilihan itu. Memang sejak dulu Ibu ingin Pita pisah. Sekali pun Pita ingin ambil jalan itu, bukan karena Ibu. Keputusan tersebut harus berasal dari dirinya sendiri. Dan ibu tidak perlu tahu apa yang sedang dia upayakan saat ini untuk mengurus hal tersebut.

”Tamunya ramai, Bu?” Didekatinya Marleha, lalu duduk di bangku lain.

”Lumayan. Tamu tidak lama-lama. Habis makan duduk sebentar lalu pulang.” 

Pita tersenyum. 

”Pintar sekali Bu Herman bikin hidangan pesta. Buahnya bukan abal-abal seperti orang kampung sini. Semua buah segar didatangkan langsung dari Jawa Timur. Anggur tanpa biji sama jeruk manis sekali. Orang kaya memang beda, ya, dengan kita. Ibu ingin bikin pesta seperti itu, tapi sudah tidak ada yang akan Ibu nikahkan.”

Pita menggeleng-geleng sambil tersenyum. ”Mau dapat pujian juga?” Pita sudah hafal tabiat ibunya. ”Sunatan Ano nanti kita pesta lebih besar. Setuju? Pita mulai kumpul modal, biar Ibu senang.”

”Nah!” Marleha menepuk-nepuk punggung tangan Pita. ”Bagaimana kamu bisa mengumpulkan uang? Gajimu habis di dapur. Lihat, kamu saja jarang beli baju! Suamimu itu apa yang dia banggakan dengan profesinya? Istri sudah jadi PNS, coba cari pekerjaan lain biar tidak terlalu timpang dengan istri. Ibu tebak saja, pasti kamu yang membiayai baju si Dafa manggung?” Wanita bertubuh gemuk itu mendengkus. “Lepas saja, Ta, dari dia! Sudah berapa ribu kali Ibu bilang? Lebih baik kamu sama Riyandi, orangnya cocok sekali denganmu.”

Pita gantian yang mendengkus. Ia pun berdiri. ”Saatnya aku siap-siap. Ibu masuk dulu, duduk di dalam sana. Tadi aku masak ceker pedas dengan bakso. Biar aku siapkan untuk Ibu sebelum mandi.”

Pita mendahului Marleha. Diambilnya mangkuk lalu diisinya dengan dua ceker dan beberapa pentol baso. Sengaja Pita tambahkan kecap dan gula karena ibunya tidak begitu menyukai makanan pedas.

”Masak enak terus. Habis nanti gajimu, Ta.” Marleha kembali memutar kenop kompor ke kiri, memperbesar api.

Pita cuma tersenyum. Begitu tiba di kamar, mukanya berubah datar. Pita duduk di ujung ranjang saat mendengar pesan masuk di WhatsApp.

 

Ayah Ano: Mandi, Dek. Kakak bersiap pulang ... Berangkatnya jam tujuh, ya. Dandan yang cantik.

 

Pita melempar ponsel itu ke kasur. Lelah dengan aduan Ibu, Pita ingin menjernihkan otaknya dengan mandi keramas. Usai mandi Pita melihat ke kamar Ano. Anaknya masih tidur sore.

”Ibu, aku boleh minta tolong?” Pita menemui Marleha sembari menggosok rambut dengan handuk.

Dengan bibir mendesis kepedasan Marleha menjawab, ”Apa?”

”Tolong ajak Ano ke rumah Ibu. Nanti kami jemput. Ano pasti akan minta belikan banyak mainan di pesta.”

Marleha mengecup jari-jarinya. Bibirnya berminyak. ”Makanya, Pita, punya suami yang bisa kasih banyak duit. Kasihan Ano jadi korban. Anak kecil tentu suka membeli banyak mainan. Kalau bisa tokonya sekalian dia beli, biar masa kecilnya tidak menderita.”

Pita mengeluarkan napas lemah. ”Titip Ano, ya, Bu.” Wanita berkaus putih kebesaran dan celana sepaha itu kembali ke kamarnya. Layar gawai menampilkan sebuah pesan masuk. Pita membukanya dengan berdebar.

 

3311: Pengkreditan no rek 14909002322 sebesar Rp.2.898.065 pada tgl 1 Desember

 

Ah, pemerintah daerahnya sangat tanggap soal gaji. Tanggal satu jika itu hari kerja, maka otomatis saldo Bank Sumselbabel Pita akan terisi.  Tak peduli ini sudah sore. Pita bahkan pernah terima gaji pukul delapan malam. SMS tadi mampu meredam otak Pita yang suhunya hampir naik drastis. Kini ia jadi dingin kembali. Pita mengirim pesan kepada suaminya.

 

To Ayah: Cantikku buat kamu saja, Yah. Itu kan yang bikin kamu cinta aku dulu?

 

Pita tersenyum tipis. Lalu ada pesan baru, masuk ke WhatsApp dari nomor yang tak disimpan, mengubah senyuman Pita menjadi lebar.

 

+826 812-7980-0533: Yang ditunggu dari tadi ke mana, ya? Sulit sekali jadi orang terabaikan.

 

To +826 812-7980-0533: (Stiker menjulurkan lidah)

 

Riwayat pesan segera ia hapus.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dear Laila
Selanjutnya Dear Laila Bab 2 Pegawai Baru
1
0
Pada bab ini, akan berkenalan dengan Laila, ya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan