
Masih baik-baik aja para wanitanya Dafa inii, belum keluar taringnyaa ya.
Bab 8 Janda Muda vs Ibu Muda
Akta cerai kini sudah di tangan Pita. Butuh waktu sekitar empat bulan untuk mendapatkannya. Meskipun Dafa tidak mempersulit, tetapi birokrasi di daerahnya terbilang cukup berbelit. Ditambah Pita melakukan segalanya diam-diam. Dia tidak bisa sering-sering izin untuk menjalani prosesnya. Jadi, ada waktu yang diperhitungkan agar Pita tetap dapat melaksanakan kewajibannya sebagai pegawai dan urusan pribadinya.
Saat menjabat tangan Dafa sebelum berpisah, Pita memberikan kabar mengenai Laila kepada pria itu. ”Laila mengandung. Dia sudah menikah.” Ia menangkap keterkejutan di mata Dafa. Pita pun beranjak dari gedung pengadilan dengan membawa surat dalam amplop cokelat.
Malamnya Riyandi menyematkan cincin di jari Pita. Keduanya berpelukan disaksikan sang ibunda. Acara ini belum mempertemukan kedua keluarga. Namun, Riyandi telah mengenalkan dirinya sebagai kekasih Novita Renggani secara resmi. Marleha tentu saja sangat bahagia mengetahui bahwa putrinya terlepas dari pria mokondo ke pria konglo.
Maka tiga bulan dari sekarang, mereka mulai mempersiapkan pesta pernikahan juga secara diam-diam. Tiga bulan ke depan Pita dan Riyandi akan melangsungkan pertunangan. Sebulan setelahnya mereka menikah. Bagaikan direstui oleh surga, semua urusan pernikahan mereka berjalan lancar. Pita tak menggubris gosip teman sekantor. Walau sebagian temannya justru mendoakan semoga Pita langgeng bersama suami keduanya. Mereka pun kondangan bersama-sama untuk mendukung Pita—mungkin pula penasaran dengan suami baru Pita.
Namun, Laila tidak datang bersama rombongan. Wanita itu tiba setelah acara selesai keesokan harinya. Laila kini tengah menjalani cuti melahirkan. Wanita 23 tahun itu sudah menjadi seorang ibu. Laila menumpang dengan Sabila dan akan kembali ke mes esok hari juga bersama Sabila saat gadis itu berangkat ke sekolah.
”Sebenarnya kamu tidak pernah menikah, ‘kan La?” tanya Pita ketika mereka duduk berdua di belakang rumah Marleha. Tidak sepenuhnya berdua karena dalam pelukan Laila ada seorang bayi.
Laila mengangguk. Dia sudah tidak kaget kalau Pita akan mengetahuinya.
Pita menatap ke depannya merasakan semilir angin meniup ke wajah. ”Kamu tiba-tiba menikah siri untuk menutupi kehamilanmu. Suami fiksinya tidak pernah datang bahkan saat istrinya melahirkan.” Pita menoleh kepada Laila. ”Kenapa kamu pertahankan cerita versi itu? Kamu bisa kasih tahu kami semua kalau suamimu kabur dan kamu jadi janda muda.”
Laila tertawa kecil karena rencana Pita terdengar mirip dengan Sirsa.
”Supaya aman untuk tinggal sendirian di kampung, Bu. Kayaknya kalau status kita masih gadis apalagi janda, lebih riskan, ya. Banyak yang godain kalau jalan.”
Pita pun mengangguk. ”Kayak saya. Saya tidak mau menyandang status itu. Makanya saya buru-buru cari penggantinya.”
”Semoga bahagia, Bu Pita,” sambung Laila tulus.
”Mana anaknya Dafa. Saya mau gendong,” ucap Pita seringan bulu. Tak ada nada sarkas maupun sinis dalam suaranya. Dalam sekejab mata, bayi laki-laki itu sudah berada dalam gendongannya.
”Kebagusan buat jadi anaknya Dafa,” komentar Pita mengejek mantan suaminya. Pita menatap bayi itu lama. ”Hidungnya mirip Ano.”
Maksud Pita hidung bayi Laila pesek karena Laila memiliki hidung mancung. Jadi, alih-alih mengatakan anaknya mirip Dafa, Pita memilih menyebut nama Ano.
”Semoga lama-lama hidungnya makin runcing,” balas Laila yang tentunya tidak ingin ada jejak-jejak Dafa pada anaknya.
”Kamu kasih nama apa bayi tampan ini?”
”Nayaka, Tante,” jawab Laila.
”Nayaka, nama yang bagus. Nanti jadi teman main tenis Kak Ano, ya, Adek Nayaka.”
Laila melihat ke samping. ”Ano suka main tenis, ya?”
Pita menggeleng. ”Enggak juga. Ano anak rebahan. Suka nonton anaknya,” balas Pita.
”Nama panjangnya Ano apa, Bu Pita?”
”Danofa Kusuma. Kamu bisa tebak ‘kan, buat namanya dari mana?”
Laila berdeham. Iya tentu saja sangat mudah ditebak. Da dari Dafa, No dari Novita, dan Fa dari Alfa nama tengahnya Dafa. Lalu Kusuma nama belakang ayahnya. Begitu kalau anak hasil cinta. Nama pun dari perpaduan nama mama papa.
”Tapi lama-lama dipandangi, ternyata wajah Nayaka banyak sekali Dafa-nya!” seru Pita, membuat Laila tersedak air liur.
***
Dafa telah ikhlas menerima pernikahan mantan istrinya. Bahkan dia memberikan selamat secara langsung di atas pelaminan. Juga amplop yang jauh lebih tebal dibandingkan uang bulanan yang dia berikan dulu. Dafa pun mau-mau saja diminta MC memberikan sepatah dua patah kata. Sebagai pekerja seni yang wara-wiri dari panggung ke panggung, Dafa dapat menguasai situasi. Dia mengucapkan salam pernikahan dan selamat tinggal kepada jandanya. Malahan Dafa juga menyumbangkan lagu dangdut. Jadi, keberadaan Dafa di depan rumah Marleha siang ini bukan karena ia belum move on. Harap dicatat itu!
Dafa pulang sekolah seperti biasa saat dia berpapasan dengan Sabila yang membonceng Laila. Matanya tidak buta untuk mengenali wajah Laila walau dari kendaraan bermotor yang sama-sama bergerak. Karena itulah, Dafa mengikuti Sabila. Tak ia sangka kalau Sabila menurunkan Laila di rumah Marleha, rumah yang baru kemarin didatangi Dafa. Lebih mengejutkannya adalah Laila menggendong seorang bayi. Membuat ingatan Dafa terlempar ke empat bulan yang lalu.
”Laila mengandung. Dia sudah menikah.”
Itulah berita dari Pita saat mereka menerima akta perceraian. Dua kalimat yang cukup memengaruhi Dafa. Laila menikah. Apakah artinya itu anak Laila bersama suaminya? Tapi kenapa kabar kehamilan Laila justru dilaporkan Pita terlebih dahulu? Apa mungkin urutan kalimat tersebut tak memiliki makna apa-apa? Lantas kenapa harus dikabarkan kepadanya? Dafa menjadi sangat penasaran.
Empat bulan lalu, kalimat itu hanya numpang lewat saja di telinga Dafa. Kini setelah melihat Laila kembali, perkataan Pita sangat mengusiknya. Empat bulan lamanya Dafa mengurus kepindahan ke sebuah PT, seperti keinginan Pita. Sayangnya Pita lebih dulu terlepas darinya sebelum Dafa memiliki pekerjaan yang dapat dibanggakan olehnya. Proses masuknya rumit dan butuh uang selangit. Sebab jika tidak mampu memberikan angpau, mereka akan merekrut orang yang memberikan lebih banyak duit.
Dafa telah meninggalkan rumah bersamanya dengan Pita, sejak empat bulan yang lalu. Dia hanya membawa satu koper dan sepeda motor yang memang miliknya sejak semula. Dafa mengontrak di dekat sekolahnya. Dan sekarang Dafa berniat pindah ke sekolahnya Pita—tentunya juga sekolah Laila.
Di sinilah Dafa berada. Sebuah warung kopi dekat SMPN 3 Sungai Air. Laki-laki 29 tahun itu sudah memutuskan untuk tinggal di Desa Sungai Air. Walau harus menempuh perjalanan selama satu jam setengah mencapai kantor barunya, Dafa menjalani aktivitas tanpa tekanan.
”Ada yang tinggal di perumahan itu?” tanya Dafa mulai mengorek informasi.
Sumber beritanya adalah wanita tua yang punya warung. Sementara perumahan yang dimaksud Dafa adalah perumahan guru atau mes yang ditempati Laila.
”Ada, Mas,” jawab Mbok Ati memakan umpan.
”Oh, guru, ya, Mbok? Ibu-ibu atau bapak-bapak?”
”Ibu muda, Mas,” jawab Mbok Ati lagi dengan lebih semangat. ”Orang kota. Katanya tidak sanggup naik motor ke sekolah kalau jalanya licin. Makanya lebih pilih tinggal di mes. Berani banget orangnya kalau Mbok perhatikan.” Panjang sekali pemaparan pemilik warung itu, membuat Dafa ingin nambah segelas kopi lagi sebagai rasa terima kasih.
”Emang kenapa, Mbok?”
”Biasalah, Mas, rumah terpencil kayak gitu pasti ada aja ada-adanya. Tapi Bu Guru itu betah-betah aja. Malahan Mbok Ati jarang lihat dia pulang rumah. Trus tidak ada yang datang ke rumahnya. Benar-benar sendirian di kampung ini.”
Dafa melihat atap rumah Laila dari sini.
”Mana lagi punya bayi, Mas. Ke mana-mana pasti bayinya dibawa. Mbok kasihan liatnya. Mau bantu dititipin anaknya, tapi Mbok ragu bakalan diterima. Kayaknya anaknya gak boleh dipegang sama orang lain.”
”Suaminya tidak ikut tinggal di sini, ya, Mbok?”
”Mbok nggak pernah lihat, Mas. Kata guru-guru SMP, suaminya Bu Laila kerjanya jauh, sulit dapat cuti.”
Dafa memegang semua informasi itu. Dua bulan ini dia selalu nongkrong di warung Mbok Ati untuk mengintai, bak elang terhadap ayam buruan. Semua yang dikatakan Mbok Ati terbukti 99% benar. Laila membawa sang anak ke sekolah. Dafa dapat melihatnya pagi-pagi. Pikir saja, tidak mungkin Laila meninggalkan anaknya sendirian di mes. Laila menggendong anaknya naik motor untuk mengambil paket karena kurir tidak mau mengantarkan paket ke rumah-rumah. Anaknya diajak belanja sayuran depan sekolah. Ke mana-mana Laila selalu berdua dengan bayinya.
Terhitung sudah dua purnama Dafa melakukan observasi. Dafa sudah siap menemui Laila siang hari saat dia mendapat tugas shift malam di kantornya. Namun, ketika Dafa akan berangkat kerja malam itu, Dafa melihat sebuah sepeda motor keluar dari mes.
Dafa membuntutinya. Dia ikut turun di tempat yang dituju Laila. Laila datang ke klinik milik seorang mantri. Tangisan bayinya tidak kunjung berhenti. Wajah Laila pun begitu kusut. Matanya kelihatannya lelah. Begitu sang mantri keluar dari kamar pemeriksaan, Dafa pun masuk dengan tak lupa mengucapkan salam. Bayi Laila sudah tertidur di atas ranjang.
Laila sama sekali tak menyangka akan bertemu Dafa lagi. Tiba-tiba saja air matanya mengalir melihat kedatangan Dafa. Tampaknya aliran hangat itu merupakan akumulasi dari rasa lelahnya selama hampir setahun ini. Sekuat-kuatnya Laila selama masa kehamilan dan menjalani peran barunya sebagai ibu, terkadang Laila masih suka menangisi keadaan. Kata andai selalu membuatnya terpuruk. Besoknya ia akan segar kembali dan percaya bahwa dia bisa. Ia menanamkan afirmasi positif setiap pagi, dan sesekali sebelum tidur energi itu akan habis.
Laila berusaha menyembunyikan wajahnya dan menahan suara tangisan. Ia tak berani mengeluarkan sepatah kata pun karena takut tangisannya akan semakin menjadi.
Dafa duduk di sebelah Laila. ”Maafkan saya.” Dafa berkata lirih.
Sejak tadi, dia sudah melihat cincin di jari manis Laila. Namun, Dafa berkeyakinan seratus persen bahwa benda itu hanya perhiasan semata. Seseorang yang dia salahkan atas keadaan Laila saat ini adalah dirinya. Lelaki tidak bertanggung jawab itu adalah dirinya.
Dafa menatap anak Laila lama. Wajah bayi laki-laki itu sangat menyerupai dirinya.
”Selama ini kamu sudah melewati perjuangan sendirian. Apa boleh sekarang ini saya berjuang untukmu?”
Laila hanya mendengar tanpa sekali pun melihat Dafa.
Kepalanya menggeleng. ”Lebih baik Bapak pergi.” Laila tidak membutuhkan Dafa. Dia bisa menjalani ini semua sendirian.
Awalnya Dafa tetap bergeming. Sebelum Laila mengimbuhi, ”Tolong. Jangan bikin semua tambah rumit.”
Gosip akan beredar jika sampai ada yang melihat Dafa mengunjungi dan menemani Laila. Laila tak ingin mendengar sesuatu yang membuat mentalnya jadi hancur. Susah payah ia membuat cerita, tak ingin apa yang sudah diupayakan menjadi sia-sia.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
