Bukan Istri Kedua - Bagian 1

0
0
Deskripsi

Devi Gayatri adalah istri sah Danu Mahardika. Dari perkawinan mereka, Tuhan memberikan putra tampan yang sudah masuk ke kelas 1 SD. Karena Devi dan Danu long distance marriage, tanpa sepengetahuan siapa pun Danu menikahi Indira Karina.

Parahnya, baik Devi atau Indira, mereka tak mengetahui jika mereka telah diduakan oleh Danu.

Bagaimanakah akhir dari kisah pernikahan mereka? Akankah bertahan atau berpisah?

Ikuti kisahnya di BUKAN ISTRI KEDUA.

Fitria, 2023

Matahari masih belum muncul, bagaimana tidak, ketika gorden disibak saja langit masih sendu temaram.

"A, bangun." Devi menepuk sebelah pipi Danu yang masih bertelanjang dada di atas ranjang. 

Rambut Devi masih berbalutkan handuk–baru saja selesai keramas karena perbuatan hangat semalam. Sebelum Danu menghilang satu sampai dua pekan ke depan, pasangan suami istri ini selalu menyempatkan diri untuk merawat cinta mereka yang sudah berjalan selama delapan tahun.

"A, ih. Udah jam setengah lima lebih lima menit, lho," ucap Devi lagi sambil mengusap-usap kening pria yang memiliki mata bulat dan rahang tegas itu.

Danu hanya berdeham sebentar lalu berpindah posisi. Kemudian melanjutkan kantuknya yang belum usai.

Devi hanya menatap Danu sekilas lalu berjalan pelan ke samping nakas untuk melipat sajadah dan mukena yang tadi ia gunakan sembahyang subuh. Iris mata cokelat muda miliknya memandang tas ransel berwarna hitam yang tergeletak di ujung meja rias. Benda itu sebentar lagi akan hilang seiring sang empunya meninggalkan rumah.

Terdengar napas pendek-pendek dari rongga pernapasannya. Ia tak mau jika harus seperti ini setiap awal pekan. Merasa pedih saat melihat punggung Danu perlahan menjauh. 

Langkah Devi mundur setelah melipat sajadah, kemudian kembali memandang wajah suaminya yang masih terlelap. Perlahan tulang panggulnya bersatu dengan sisian ranjang. Tangan lentik, kurus, nan putih itu mengelus pelipis tegas sang pria. Lalu tak lama membenamkan diri dalam pundak lebar milik Danu.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, lengan lebar milik sang kekasih melingkari pinggang Devi dengan lembut.

"Sabar, Sayang. Dua minggu lagi kita ketemu. Okay?"

Devi tak menjawab, ia terus melesakkan wajah dalam-dalam pada dada bidang milik Danu.

"Kalo aku ikut aja ... gimana, A?" tanyanya merajuk. Pupil hitam itu membola menatap penuh harap pada pria yang tengah mendekapnya erat.

Perlahan pelukan itu mengendur, dua raga yang saling rapat agak memudar mundur. "Terus ... orang tua kita gimana, Sayang?" tanya Danu mengerutkan kening.

Devi beringsut beberapa inci. Ia menegakkan tubuhnya menjadi duduk di punggung ranjang. Mata indah itu berkelana mengitari langit-langit.

"Ya udah, A. Demi kebaikan kita bersama. Semoga Allah selalu merestui jalan yang kita ambil ya," jawab Devi sambil menunduk. Jari-jari miliknya itu dimainkan ragu, terkadang helaan napas kasar terdengar dari dua lubang hidungnya.

Danu dan Devi adalah teman bermain sejak kecil, orang tua mereka pun tetangga satu kampung. Singkat cerita dua sejoli itu menikah karena saling jatuh cinta. Bisa karena biasa. Kira-kira seperti itu.

"Kalo gitu aa mandi dulu terus siap-siap berangkat, ya?" Izinnya sambil membuka selimut yang sejak semalam membungkus raganya yang atletis.

Devi hanya mengangguk pasrah.

Perempuan yang memiliki rambut sebahu itu masuk ke dapur, hendak menyiapkan bekal untuk Danu. Tangannya cekatan menakar beras dan bahan mentah lain.

"Dev," panggil Danu dengan handuk di lengannya. Netra bulatnya seakan hendak memberitahukan sesuatu.

Devi hanya berdeham singkat tanpa menghentikan aktivitasnya yang tengah mengaduk beras mentah dengan tangan telanjang di bawah kucuran wastafel.

"Mm, Sayangaku nggak usah dibekelin juga nggak apa-apa. Beli sarapan aja di deket kantor nanti," ujarnya dengan pandangan bersalah. Bagaimanapun, sekitar sepuluh sampai lima belas menit lagi ia harus berangkat ke tengah kota untuk mencari nafkah.

Tepat pukul lima kurang sepuluh menit, Danu sudah melambaikan tangan di depan pagar yang terbuat dari rangkaian bambu. Motor bebek berpulas merah-hitam yang sudah menemaninya sejak awal pernikahan itu menyiarkan sinar lampu kuning samar menjelang pagi. Jaket kulit hitam, ransel hitam dan helm merah akan menemani perjalanannya selama dua jam ini dengan setia.

Sedang Devi hanya menatap sendu di balik kosen pintu. Air muka perempuan itu tampak sedih melepas kepergian Danu.

Matahari mulai terbit saat pria berusia dua puluh delapan tahun itu berdesakan di jalanan bersama ratusan kendaraan lain di satu ruas kiri yang sama. Matanya awas menghindari pengendara lain yang ugal-ugalan, perempatan yang selalu ramai, atau kawasan sekolah SD yang satpamnya sibuk mondar-mandir menyeberangkan siswanya.

Sesekali napasnya berembus kasar karena harus menarik tuas rem kuat-kuat saat kendaraan umum seperti bus dan angkot yang berhenti tiba-tiba, apa lagi saat Tuhan mempertemukannya dengan ibu-ibu yang menyalakan sein kanan lalu ia melaju kencang lurus dan berbelok ke mana pun sesuka hatinya.

"Hei, Danu," sapa seorang pria yang tingginya sepantar saat ia membuka pintu utama kantor dengan napas memburu.

"Hei," jawab Danu datar.

Pria ini bukan tipikal ceria yang akan membalas panjang basa-basi orang atau memulai suatu percakapan di satu forum tak resmi. Ia akan cerewet hanya pada Devi ... dan Indira–kekasihnya yang baru saja melaksanakan kelulusan SMA minggu kemarin.

"Target penjualan kemaren gimana?" tanya rekan kerjanya lagi sambil memutar jempolnya di fingerprint.

Danu menoleh pada Ifan sekilas lalu memperhatikan fingerprint yang sudah kosong. Tepat pukul tujuh lebih dua puluh delapan menit, presensinya di kantor telah terdeteksi oleh alat tersebut.

Syukurlah aku tidak telat. Ucap batinnya menggema.

"Ayo, Bro." Ifan melangkah terlebih dahulu ke anak tangga pertama.

Pukul setengah delapan tepat, Danu bersama manajer, asisten manajer, group leader, dan rekannya sesama tim marketing melaksanakan briefing rutin setiap pagi selama sepuluh menit. Bahasan mereka tak jauh dari target penjualan dan pencapaian bulan ini. Membosankan.

"Jaya! Jaya! Jaya!" Seru satu ruangan di lantai dua. Jika tiga kata itu sudah terucap, berarti briefing pagi ini pun usai.

Danu berjalan cepat ke meja kerjanya. Tangan kanan kekar itu buru-buru membuka laci. Ponsel berwarna merah bata di dalamnya terus berkedip, banyak sekali pesan dan telepon dari Indira.

Indira:
A, nanti sarapan bareng, kan?

Dua sudut bibir Danu melengkung membentuk bulan sabit. Ponsel kedua yang sengaja ia taruh di laci setiap weekend itu akhirnya terjamah kembali. 

Pikiran Danu berkelana membayangkan gadis belia berusia delapan belas tahun yang masih ranum dan segar, berbeda dengan Devi. Perempuan yang sudah berusia dua puluh delapan tahun itu menampilkan tiga kerutan di samping netra kanan dan kirinya, pun kulitnya tak sekencang dulu. Tak sekencang Indira tepatnya.

Danu:
Iya, Sayang. Nanti jam delapan aa jemput kamu.

Dengan segera ponsel berwarna merah bata itu melesat masuk ke dalam seragam kemeja yang berwana biru telur asin, menukar posisi letak dengan ponsel satunya yang berwarna hitam pekat.

Netra bulat itu memandang sekejap pada layar bening ponsel satunya sebelum dimasukkan ke dalam ransel. Ada dua chat masuk dari Devi.

Devi:
A, aku udah kangen lagi. Aa udah sampe? Jangan lupa sarapan, ya!

Danu menghela napas pelan sebelum panggulnya bertegur sapa dengan kursi besi berbantal busa biru gelap di ruang kerja. Di layar tersebut menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Saatnya dia menjemput Indira di rumahnya. Pasti gadis itu sudah duduk di kursi kayu depan pintu utama.

Danu:
Sudah, Sayang. Siap. Kamu juga.

Jawabnya dengan terburu-buru. Kemudian sebelah tangannya sigap mengubah metode dering menjadi senyap dan membenamkan ponsel hitam itu di antara berkas-berkas tagihan yang harus ia hadapi hari ini.

Pun sebetulnya agar Indira tak mengetahui status Devi dalam hubungan asmara mereka. 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sebaris Cinta Ayudia - Bab 29 dan 30
16
19
Cuplikan Bab 29Makin besar perut ini, mungkin aku akan langsung 'diusir' dari SMK. Ujarnya pilu dalam batin. Lalu bibirnya naik ke atas, tersenyum atas nasibnya yang nahas.  Cuplikan Bab 30Dari kejauhan, Deon memperhatikan gadis yang tengah menyesap jus jambu dengan lahap. Pun tangan kanannya yang tengah mengelus perut datarnya.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan