
Selamat membaca kisah Jazmine dan Barizar 🫶
Bab 5. Barizar Irsyad Rumi
Seorang pria rupawan berkacamata, menginterupsi perbincangan Jazmine dengan Erika. Berpenampilan stylish tanpa cela, daksa tinggi menjulangnya begitu pas terbungkus celana panjang dipadu kemeja hitam produksi brand ternama. Bersih dan segar kulit wajahnya, berpadu kontras dengan legamnya mahkota kepala.
“Ngapain kamu ketemu Erika?” telisiknya to the point tanpa basa-basi. Suara bassnya tegas menggema.
Ya, pria itu adalah Barizar. Waktu seolah terhenti bagi Jazmine. Was-was Barizar mendengar topik yang dibahas dengan Erika tadi, belum saatnya pria itu mengetahui. Meninggalkan kursi yang diduduki, Jazmine menghampiri sang suami.
“Seperti yang Mas lihat. Kita lagi makan gelato bareng. Tadi Mbak Erika mampir ke gerai, jadi kuajak ke sini makan gelato. Cuaca di luar sedang panas, cocok makan yang dingin-dingin," tutur Jazmine mendayu lembut seperti biasa, berusaha tetap terlihat tenang meski detak jantungnya tak karuan. “Mas mau gelato juga?” tawarnya.
Erika yang sempat melongo untuk sejenak, gegas berdiri dan mengangguk tipis pada Barizar sebagai bentuk adab sopan santun. Segeram apapun, Erika berusaha mengontrol sikapnya, mengingat Barizar bukanlah sosok sembarangan.
“Selamat siang, Pak Dokter. Saya di sini sedang memenuhi permintaan Bu Jazmine yang ingin ditemani makan gelato, soalnya katanya tidak pernah ada yang menemaninya jajan-jajan begini selama ini. Padahal ada Pak Dokter yang bisa diajak sebagai gandengan, tidak seperti saya yang menyandang gelar jomblo ini.” Erika berujar jenaka, kalimatnya dibumbui sarkasme sindiran halus.
Jazmine tertawa kering, menyeret ludah membasahi tenggorokan yang kelat. Barizar masih menelisik tajam, seumpama elang yang sedang mengincar mangsa. Tidak sedikitpun tergerak untuk tertawa.
“Saya tidak suka makanan yang terlalu banyak mengandung gula. Bisa bikin diabetes dan salah satu efek gula darah tinggi adalah menyebabkan glaukoma pada mata. Saya lebih suka jus wortel dan Jazmine tahu itu.” Barizar bertutur dengan mimik muka serius, mirip dosen killer yang sedang menyampaikan mata kuliah.
“Dokter menyebalkan! Mulutnya asem bener!” Erika menyumpah, mengumpat dalam hati. “Tapi sayangnya bening. Kenapa mukanya enggak terdeteksi keburikan sedikitpun sih, harusnya kayak opet macem omongannya!”
“Oh iya, Mas lagi apa di sini? Ini masih jam kerja ‘kan?” Jazmine kembali buka suara. Berupaya membuyarkan aura tajam Barizar yang terasa nyata menusuk agar teralihkan. Merapal do’a dalam hati, semoga usahanya berhasil.
“Hari ini jadwalku di rumah sakit cuma sampai jam sebelas, lupa?” balas Barizar agak sinis. Kendati begitu sepertinya upaya Jazmine berhasil. Fokus tajam Barizar pada Erika, kini beralih padanya. “Sepuluh kali aku menghubungi nomormu, tapi enggak diangkat-angkat!” kesalnya.
Jazmine meringis. “Ponselku kutaruh di tas dan tasku kutinggal di optik. maaf ya, Mas.”
Barizar mendengus kasar. “Jadinya aku menghubungi Pak Toto dan dia bilang kamu lagi di PIM. Aku ke sini buat jemput kamu, enggak ingat siang ini kita ada janji dengan keluarga besarmu? Kamu terus mengingatkanku sejak kemarin, tapi kamu sendiri yang lupa dan malah santai-santai ngemil!” selorohnya mencerocos.
Kedai gelato berada lebih dekat dengan pintu masuk mall dibanding posisi 'Mumtaz Optikal'. Otomatis Barizar melewati kedai di mana Jazmine dan Erika sedang bertukar kata jika hendak ke gerai optik PIM.
Jazmine menepuk dahi. Ia melupakan janji makan siang dengan keluarga besarnya hari ini yang diagendakan untuk membahas wasiat mendiang sang nenek secara internal.
“Ya ampun, aku lupa. Pekerjaanku hari ini lumayan padat. Sorry.” Sekali lagi Jazmine meminta maaf.
Barizar menggosok hidung mancungnya. Masih dengan raut datar, dia bertanya, “Jadi, berangkat sekarang atau bagaimana? Es krimmu masih banyak.” Dagunya mengedik ke arah cup gelato di meja.
Jazmine mengikuti arah pandang Barizar. Gelato miliknya memang masih menggunung. “Gini aja, Mas tunggu aku di optik sebentar gimana? Aku abisin dulu gelatoku. Makanku cepet kok. Atau mau duduk bareng di sini? Masih ada waktu setengah jam. Lagian acaranya di resto dekat sini.”
Si gelato dijadikan alasan untuk mengusir secara halus. Jazmine harap-harap cemas menunggu jawaban, khawatir Barizar tak bersedia menurutinya. Walaupun biasanya jika sedang di ranah publik, Barizar berperan sebagai suami yang seharusnya. Kecuali jika Zora tiba-tiba menghubungi itu lain cerita.
“Oke, aku tunggu di sana,” sahut Barizar. Tanpa banyak menawar lagi, dia berlalu pergi.
Sepeninggal Barizar. Jasmine menepuk-nepuk dadanya lega begitu juga Erika. Sama-sama menghirup udara rakus.
“Ffuhh … suamimu kayak jalangkung! Tiba-tiba nongol aja, bikin kaget!” Erika bersungut geram. Mengempaskan pinggulnya ke bantalan kursi.
“Aku juga kaget. Tapi melihat reaksinya, aku yakin Mas Izar enggak denger obrolan kita. Belum waktunya dia tahu. Aku ingin mempersiapkan semuanya diam-diam.”
“Kurasa juga begitu. Cuma tiap kali ketemu suamimu, aku selalu merasa dunia ini enggak adil.” Erika menggaruk ujung hidung dengan ekspresi terheran-heran.
“Maksudnya?”
“Ya maksudku, kenapa bajingan itu selalu tampak mengkeren setiap saat sih?” Erika pun mengakui bahwasanya Barizar memang keren memesona, sayangnya mendua. “Seharusnya suami bangs*t kayak gitu jadi kere dan jelek akibat mendua. Bukannya makin ganteng dan tetap tajir!”
Tawa renyah Jazmine mengudara. “Biar aku ingatkan, kalau-kalau Mbak lupa. Barizar Irsyad Rumi itu sudah cakep dan tajir sejak masih embrio. Sayangnya ya itu tadi.” Jazmine mengulum senyum masam.
“Haish! Ketidakadilan dunia ini makin bikin aku kesal. Rasanya ingin kutinju dan kucakar mukanya!” Saking jengkelnya, Erika sampai menarik dan membuang napas berulang kali, mempraktekkan tutorial bernapas ibu hamil yang hendak melahirkan.
“Besok aku hubungi Mbak lagi. Aku harus buru-buru nyusul ke optik, kalau kelamaan nanti Mas Izar bisa-bisa tantrum.”
Setelah berpamitan pada Erika, Jazmine bergegas menuju tempat di mana Barizar menunggu. Tampak suaminya itu sedang duduk di sofa tunggu sambil mengotak-atik ponselnya. Barizar menyudahi membelai layar gawai saat melihat kemunculan Jazmine.
“Aku izin ambil tas dulu ya, Mas,” kata Jazmine santun sebelum berbelok ke ruangan khusus di bagian belakang, sedangkan manik mata Barizar membuntuti punggung wanita berparas lembut dan ayu itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
🥕🥕🥕🥕🥕
Bab 6. Tak Setara
Abaya manis berwarna dusty pink dipadu pashmina senada, berkibar anggun menutup sempurna raga ramping seorang Jazmine. Berjalan beriringan memasuki sebuah resto berkonsep fine dining, Jazmine dan Barizar tampak sangat serasi.
Keduanya cocok bersanding ditilik dari berbagai sisi. Banyak pasang mata yang iri. Namun, khalayak tak tahu bahwa gemerlap yang tampak dari luar hanya ilusi. Sebab di balik keindahannya menyimpan tajamnya duri.
“Bukannya Erika juga harus hadir di acara siang ini? Dia masih termasuk anggota dari tim advokat Mumtaz ‘kan?” Barizar bertanya tanpa menghentikan ayunan kaki. “Tapi kenapa tadi malah keluyuran di mall?”
Barizar memang terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Erika. Penyebabnya tentu saja karena Erika mengetahui tentang keberadaan Zora.
Pertanyaan Barizar melahirkan ide alasan cemerlang di kepala Jazmine yang tengah dilanda gundah, sempat bingung sendiri andai suaminya itu membahas lagi terkait pertemuannya dengan Erika di mall tadi.
“Mbak Erika datang ke PIM mau ngajak aku berangkat bareng ke sini. Tahu aku ada di sana dari status yang kupasang. Aku juga baru tahu hal itu waktu pamitan dan ternyata dia ngirim chat, tapi karena ponsel kusimpan di tas dan kutinggal di ruang belakang, jadinya belum sempat kubaca. Kebetulan pas dia sampai, aku lagi kebelet pingin makan es krim. Keburu asyik ngobrol jadi sama-sama lupa tentang janji penting siang ini.” Jazmine bertutur panjang lebar, nadanya sangat meyakinkan. Mengolah pertanyaan Barizar menjadi sebuah alasan.
“Masih muda tapi pada pikun!” Barizar mencibir pedas tanpa sungkan.
Alih-alih tersinggung, Jazmine malah merekahkan senyum manis. “Untung Mas nyusulin dan ingetin aku, makasih ya.”
Tiba-tiba saja Barizar berhenti melangkah. Dahinya mengernyit.
“Tunggu, kenapa aku enggak kepikiran buat lihat statusmu juga? Aku sampai harus merecoki Pak Toto buat nyari info keberadaan lokasimu!” Barizar menggerutu jengkel, tak terima kalah cerdik dari Erika.
“Sambungan telepon lebih efisien. Better langsung telepon daripada nyari status,” kata Jazmine mencoba meredam kekesalan Barizar.
“Terus sekarang di mana dia? Masa yang bayar jasa datang lebih dulu sedangkan si penerima jasa malah lelet!" Barizar belum usai mengomel. Moodnya selalu jelek setiap habis bersinggungan dengan Erika.
“Tadi berangkat duluan. Pasti sudah sampai, soalnya Mbak Erika naik motor.”
Percakapan disudahi. Jazmine menggamit tangan Barizar sebelum mendorong pintu salah satu room privat dining yang telah dibooking keluarga Mumtaz. Barizar pun tak menolak, balas menggenggam erat tangan lembut Jazmine, tahu waktunya memainkan peran sebagai suami yang baik.
Jazmine akui darahnya berdesir, jantungnya bergetar berbeda setiap kali bersentuhan kulit dengan Barizar walaupun hanya sampai di tahap berpegangan tangan. Sayangnya, di sini sudah pasti hanya dirinya yang berdebar indah sendiri.
"Siap, Mas?"
"Hmm, ayo masuk, biar cepat selesai," ajak Barizar, mendorong pintu bersama-sama.
Mereka berdua telah sepakat menunjukkan keharmonisan jika sedang berada depan keluarga besar masing-masing. Walaupun sempat beberapa kali sedikit kacau ketika dihadapkan pada situasi darurat yang biasanya hanya dialami oleh Barizar. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan Zora. Contohnya sewaktu di pemakaman.
Keluarga inti mendiang Hanung Mumtaz sudah tampak berkumpul. Erika dan rekan-rekannya pun sudah hadir, hanya ketua tim yang belum terlihat. Meja untuk santap siang pengacara dan keluarga ditata agak berjauhan. Sengaja diatur demikian demi kenyamanan semua orang.
Hanung Mumtaz merupakan tiga bersaudara. Satu-satunya adik bungsu almarhum yang masih hidup dan sudah tampak renta, datang paling awal bersama anak-anaknya. Para keponakan Hanung Mumtaz yang lain, turut hadir membawa keluarga. Sedangkan Widia Aini adalah anak tunggal. Kendati begitu tetap ada sepupu jauh yang diundang dari pihak almarhumah neneknya, dua orang banyaknya.
“Masih ada yang belum datang selain ketua tim advokat?” Jazmine bertanya pada Imran sang paman setelah lebih dulu menyapa seluruh keluarga. Imran satu-satunya tangan kanan almarhumah neneknya.
“Sepupu jauh nenekmu yang satu lagi masih di jalan, sedangkan ketua tim baru on the way. Sambil menunggu sebaiknya mengisi perut dulu, sudah waktunya makan siang. Ketua tim juga menyarankan demikian ketika ditelepon beberapa saat lalu. Nanti setelah makan, barulah agenda pembacaan wasiat dilaksanakan.”
Jazmine menyetujui usulan Imran, kebetulan perutnya sudah keroncongan. Ia dan Barizar mengambil tempat duduk berdampingan.
Seperti yang sudah-sudah, Barizar menarik kursi terlebih dahulu untuk Jazmine dan mempersilakan istrinya duduk. Barulah setelahnya dia menyusul. Sungguh act service yang manis. Sayangnya hanya pemanis.
Masing-masing dari mereka memesan menu kemudian berbincang ringan sambil menunggu makan siang disiapkan. Bahasannya tidak jauh-jauh dari seputar pekerjaan. Imran izin keluar sebentar untuk menerima telepon, melihat suaminya menjauh, Lisna mulai berulah.
“Sudah lima tahun lebih, tapi kalian masih belum punya momongan.” Lisna, si tante bergincu merah mencibir pada Jazmine.
Alia yakni adik Lisna, terlihat tak berminat menimpali meski Lisna menyenggol lengannya untuk memprovokasi. Wanita berjilbab satin itu memang tidak pernah mencela juga tidak pernah memihak pada Jazmine yang sering dipojokkan setiap kali acara keluarga berlangsung. Alia hanya fokus pada hidupnya sendiri yang sudah rumit.
“Seharusnya sebagai perempuan menikah janganlah terlalu sibuk. Sudah tersita waktu mengurus usaha, eh malah kuliah lagi. Apa gunanya kalau belum jadi ibu.” Bibir Lisna sampai keriting, ingin puas mencela.
Jazmine memang mengambil study tambahan setiap akhir pekan. Sudah hampir rampung, jurusannya manajemen bisnis. Selain butuh ilmu tambahan demi menunjang usaha yang digeluti, Jazmine juga melakukannya untuk menghibur hati yang kesepian.
“Belum ada izin Yang Maha Kuasa, Tante,” sahut Jazmine singkat. Malas meladeni lebih lanjut, hanya membuang energi. Sudah hafal betul tabiat Lisna yang gemar mencari-cari celanya. Lagi pula mana mungkin ia bisa hamil. Raganya masih utuh tak tersentuh.
“Bukan belum ada izin. Tapi kalian kurang usaha,” sanggah Lisna, tak mau kalah. “Anak bungsu Tante saja sudah melahirkan dua kali, padahal Gabby umurnya di bawah kamu. Jangan-jangan kamu mandul.”
“Gabby itu anak Tante yang pernah hamil di luar nikah ‘kan?” Suara bass khas Barizar menggema menimpali. Menghajar telak. “Yang pernah diasingkan Nenek Widya?”
Lisna gelagapan. Tak menduga aib anak bungsunya dikuliti di depan keluarga. Walaupun hal ini sudah menjadi rahasia bersama keluarga besar Mumtaz, tetap saja Lisna malu.
Alia melirik Lisna yang duduk bersebelahan dengannya, terlihat berbisik. “Makanya kalau mau julid itu mikir dua kali. Sukurin kena batunya!”
“Pernyataan Tante tidak bisa dijadikan perbandingan. Jelas berbeda antara yang masih tersegel saat dibeli dengan yang dibuka segelnya sebelum dibayar. Anak bungsu Tante tidak setara dibandingkan dengan Jazmine. Jadinya yang kasihan anak Tante." Dengan intonasi tajam, Barizar kembali melempar fakta.
Jazmine tidak terlalu terkejut, Barizar membelanya pasti hanya dalam rangka memainkan peran sebagai suami yang menjaga harga dirinya saja di depan keluarga besar Mumtaz. Bukan tulus dari hati.
Bibir tebal Lisna mengkerut sejenak tak terima, lantas dengan cepat mengukir senyum seperti semula saat Alia menyikutnya.
“Namanya juga anak muda, wajar kalau pernah kebablasan,” sanggah Lisna tidak ingin mati kutu, tetapi pada Barizar dia tidak berani menyalak karena suami Jazmine itu lebih tajir dari keluarga Mumtaz.
"Tapi saya tidak suka menormalisasi perbuatan tercela. Jadi sama sekali bukan suatu kewajaran bagi saya."
Tak berselang lama hidangan datang, memutus ketegangan adu mulut yang mencuat antara Lisna dengan Barizar. Pelayan resto menaruh rapi pesanan masing-masing. Menu lengkap mulai dari appetizer sampai dessert. Tidak lupa berdo’a, mereka mulai bersantap begitu juga dengan Barizar dan Jazmine.
Melirik penasaran pada makanan yang Jazmine nikmati dengan lahap, Barizar tiba-tiba membeliak. Menaruh cepat sendok di tangan, lebih tepatnya membantingnya.
“Jaz, stop!” bentaknya lantang. Semua orang tersentak, langsung memusatkan fokus pada pasangan itu.
“Ke-kenapa, Mas?” Jazmine tergagap, mengerjap cepat. Dibuat sama terkejutnya dengan yang lain.
Bukannya menjawab, Barizar mengambil mangkuk milik Jazmine, memeriksa isinya dengan teliti.
"Muntahkan!" Ada potongan udang di dalam sup!" Barizar berseru panik. Memegang pipi Jazmine agar istrinya itu membuka mulut.
Kurang fokus berpadu perut lapar, Jazmine tak memeriksa ulang menu yang disajikan padanya. Main santap saja. "A-alergiku?"
Sempat menelan sup tersebut sebanyak tiga sendok. Efeknya instan tidak main-main. Jazmine memegang leher. Dadanya mulai sesak, saluran napasnya berangsur mencekik yang mengakibatkanya mengalami kesulitan bernapas.
“M-Mas, to-tolong. Sa-sakit!”
🥕🥕🥕🥕🥕
Bab 7. Kunci Layar
Alergi udang yang diidap Jazmine berada di level berat. Reaksi alerginya berpotensi mengancam nyawa. Langsung berefek dalam hitungan detik atau menit sejak terpapar.
Acara keluarga dibubarkan. Sembari menggendong Jazmine, Barizar berlarian menuju lift yang langsung tersambung ke basemen bersama Imran mengekori di belakang. Posisi resto berada di lantai enam, sebagian orang menyusul menggunakan tangga darurat.
“You plan to die?” omelnya marah pada Jazmine. “Ceroboh! Kenapa enggak dicek dulu sebelum dimakan!”
Benda kotak berlapis besi itu melaju turun. Barizar menendang badan lift beberapa kali, tak sabaran ingin segera sampai ke lantai basemen. Imran yang juga berada di dalamnya meloncat mundur lantaran terkejut.
“Keep breathing!” bentak Barizar menitah pada Jazmine yang helaan napasnya bertambah payah. Bibir Jazmine juga bagian sekitar mata mulai membengkak. Pipi yang cerah merona, berubah memerah berpadu dahi mengkerut dalam. Kentara menahan sakit. “Bernapas yang benar!”
“M-mas … ce-cepat!” pinta Jazmine tersendat-sedat, meremat kuat kemeja Barizar dan cengkeramannya perlahan melemah bertepatan dengan terbukanya pintu lift.
“Jaz, stay wake up!” Dengan lengan yang sedikit gemetar, Barizar mengguncang lembut tubuh Jazmine sambil berlari menuju mobilnya. Barizar mengupayakan agar Jazmine jangan sampai pingsan. Sebab jika hilang kesadaran, syok alergi yang dialami Jazmine dapat berujung pada terhentinya detak jantung serta pernapasan.
“Biar saya yang mengemudi.” Imran mencoba menawarkan diri. Sejak tadi pria lima puluh tahunan itu ngeri sendiri menyaksikan tindak tanduk Barizar yang sangat tidak sabaran. Imran terpancing panik luar biasa, agak takut disopiri Barizar di situasi darurat semacam ini.
Barizar membuka pintu jok belakang. Mendudukkan Jazmine secepat mungkin dengan tetap berhati-hati.
“Saya yang nyetir. Paman jaga Jazmine di belakang,” tegasnya kukuh. Tak memberi celah tawar menawar. “Bimbing Jazmine untuk tetap bernapas!” perintahnya, tidak ingat lagi akan sopan santun terhadap yang lebih tua saking kalutnya.
Tanpa banyak kata, Barizar membanting pintu bagian kemudi dan langsung tancap gas. Ketakutan Imran jadi nyata. Campuran kekhawatiran kian memburuknya kondisi Jazmine berpadu seramnya Barizar memacu kendaraan yang setara dengan balapan di arena sirkuit, nyaris membuat Imran terkencing-kencing.
Klakson terus dibunyikan yang disambut umpatan pengguna jalan berhamburan. Seolah tuli, pengemudi Lexus miliaran rupiah itu melesat dalam kecepatan tinggi. Lampu merah diterobos, mengebut tak mengindahkan rambu-rambu lalu lintas. Melaju kencang dan dalam hitungan menit telah sampai di rumah sakit terdekat.
“Jaz, please, stay with me. Jaga kesadaranmu," kata Barizar dengan napas ngos-ngosan.
Kendati kian melemah, Jazmine masih dalam kondisi sadar. Barizar meraup tubuh ramping yang terkulai di jok belakang dan bergegas menuju instalasi gawat darurat, meninggalkan Imran yang masih gemetaran sekujur badan.
*****
Aroma desinfektan menyengat indera penciuman saat Jazmine membuka mata. Tembok bercat putih membentur retina. Sepasang netra sendunya mengerjap guna menetralisir kepala pusing yang berdenyut. Mengusap pelipis dan akhirnya ia melihat di punggung tangan telah menancap selang infus.
“Ini di rumah sakit?” monolognya saat pandangan menyapu ruangan serba putih tipe suite deluxe. Tipe ruang rawat level wahid di kebanyakan rumah sakit. Berfasilitas setara kamar hotel bintang lima.
Mengumpulkan kesadaran mengapa dirinya berada di tempat ini, Jazmine teringat bahwa ia diserang syok alergi akibat menelan makanan yang mengandung komposisi udang dan berakhir dilarikan ke rumah sakit. Setelah diberi suntikan obat serta ditangani lebih lanjut, akhirnya reaksi aktif alerginya bisa diredam. Hanya saja efek samping dari obat-obatan yang diberikan mengundang kantuk, membuatnya tertidur entah berapa jam.
“Kak Jaz?” Seorang gadis muda berjilbab moca, ragu-ragu menyentuh lengan Jazmine. Duduk di tepian ranjang entah sejak kapan.
“Via?”
“Syukurlah, Kak Jaz sudah bangun.” Muka imut si gadis yang dipanggil ‘Via’ itu beriak lega. Dia adalah Salvia Rumi, adiknya Barizar. Mahasiswi akademi farmasi tingkat empat.
“Jam berapa ini?” tanya Jazmine, beringsut hendak menegakkan punggung.
“Jam empat sore. Kakak sebaiknya tiduran aja. Bang Izar wanti-wanti aku, kalau Kak Jaz sudah bangun harus panggil perawat buat ngecek ulang. Tunggu sebentar ya,” tuturnya sungkan. Salvia memang terkesan membangun tembok pembatas tak kasat mata dengan Jazmine walaupun komunikasi di antara adik dan kakak ipar itu tergolong akur.
Salvia menekan tombol khusus di dekat tempat tidur yang langsung tersambung pada perawat. Meminta perawat datang ke ruangan Jazmine dan sahutan dari sana mengakhiri sambungan.
“Enggak ngampus?” tanya Jazmine setelah Salvia kembali duduk. Ringisan meluncur dari bibir Jazmine saat menggulir posisi berbaring, sisa-sisa akibat kambuhnya si alergi masih bersarang nyeri di sekujur badan.
“Ngampus, Kak. Jam tiga sudah pulang dan langsung diminta ke sini sama Bang Izar. Bang Izar mau pergi dulu sebentar katanya, minta aku jagain Kakak,” tuturnya menjelaskan.
Mendengar penuturan adik iparnya, Jazmine tergelitik ingin menanyakan hal lain. Penasaran ingin tahu. “Tadi Mas Izar di sini sampai kamu datang?”
“Iya. Lagi ngobrol sama paman Kak Jaz yang rambutnya kayak professor itu.” Salvia mengulum senyum sekilas saat menjelaskan ciri mencolok dari Imran.
Desir hangat merayap di kalbu. Sikap Barizar kali ini membawa ingatan Jazmine menapaki kilas balik di masa lampau. Memorinya menyimpan kepedulian dan perhatian Barizar kepadanya sewaktu mereka masih remaja. Sosok laki-laki tampan yang mencuri hati si gadis lugu meski hanya sesekali berjumpa. Namun sayang, hangatnya sosok Barizar remaja, hilang tak berjejak dalam sosok Barizar dewasa.
Isi kepala Jazmine juga memutar rekaman perjalanan dari resto sampai pelataran rumah sakit. Walaupun ingatannya terpecah belah, berangkat dari ketulusan atau tidak, Jazmine cukup terharu dengan perhatian Barizar untuknya. Setidaknya Barizar masih peduli dan tidak mengabaikan kondisinya yang membutuhkan pertolongan ekstra cepat.
“Terus Paman Imran ke mana sekarang?” Jazmine celingukan mencari keberadaan Imran, tetapi nihil.
“Tadi ikut pergi sama Bang Izar, tapi enggak ngasih tahu mau ke mana. Mereka perginya buru-buru.”
Bunyi nyaring disertai getaran menyita perhatian. Jazmine dan Salvia melongok bersamaan ke arah sumber suara. Berasal dari sofa dekat jendela, tampak benda pipih berkedip-kedip di sana dan tak lama berhenti menjerit.
Salvia mengambilnya, rupanya ponsel Barizar yang tertinggal. Ponsel seharga motor keluaran terbaru itu diserahkannya pada Jazmine.
“Tumben Mas Izar kelupaan bawa handphone? Atau mungkin jatuh dari saku celana pas duduk di sofa?”
Jazmine memegang ponsel Barizar dengan perasaan tak menentu. Ini adalah pertama kalinya ia memegang benda penting milik suaminya tersebut. Merasa dirinya seperti pencuri, sebab selama ini Jazmine tidak pernah berani menyentuhnya dan Barizar pun memang tidak pernah terpisah dari si gawai mahalnya.
Benda persegi panjang di tangan menyala kembali. Tulisan ‘Tua Bangka’ tertera memanggil dan tak lama kemudian lagi-lagi mati saat Jazmine hendak mengangkatnya. Jazmine berdecak kehabisan kata mengetahui Barizar benar-benar menamai kontak ayah mertuanya menggunakan username nyeleneh.
“Ini ada telepon dari Papi, tapi mati lagi. Kayaknya Papi ada perlu penting sama Mas Izar.”
“Pa-papi?” Salvia serta merta menciut saat Jazmine menyebut kata tersebut. “Anu, Kak. A-aku mau beli boba dulu ya. Aku haus.” Salvia melesat cepat meninggalkan kamar, tanpa pamit.
Salvia yang lupa berpamitan tak begitu dihiraukan lantaran Jazmine tengah sibuk dengan kebingungannya sendiri. Beberapa pesan masuk dari ayah mertuanya bermunculan di pop up ponsel sang suami. Jika tidak segera dibalas khawatir memang darurat. Akan tetapi masalahnya, Jazmine tidak mengetahui password ponsel Barizar.
“Duh, maaf Mas, aku lancang,” cicitnya tak enak hati, sebab sejak kecil tidak pernah melanggar hal yang tidak diperbolehkan untuknya.
Jazmine mengatur napas terlebih dahulu guna mengumpulkan keberanian. Barulah setelahnya ia mencoba mengotak-atik layar. Memasukkan kombinasi angka yang mungkin Barizar pakai. Salah satunya tanggal lahir dan nomor plat mobil kesayangan Barizar. Akan tetapi tidak ada yang cocok, semuanya gagal.
“Apa mungkin pakai tanggal lahir Zora?” Hati Jazmine mencelos. Tanggal lahir Zora ia pun tahu, info didapat tentu saja dari Erika yang ternyata merupakan teman satu SMA dengan Zora.
"Sudah pasti memang iya." Jazmine bercicit lirih.
Selalu ada perih menyembilu kalbu saat nama Zora terlintas di benaknya. Kendati demikian Jazmine tetap mencobanya, terdorong penasaran setelah gagal beberapa kali.
“Lho, kok bukan juga ya?” Kening Jazmine mengernyit. Tanggal lahir Zora ternyata bukan passwordnya.
Kehabisan ide, Jazmine iseng memasukkan tanggal pernikahannya dengan Barizar dan hasilnya sungguh mencengangkan. Kunci layar benar-benar terbuka, Jazmine sampai memelotot dan mencubit tangannya sendiri, tak percaya.
“Apa yang kamu lakukan dengan handphoneku?”
🥕🥕🥕🥕🥕
Bab 8. Halal Melihatmu
Lumrahnya pasangan suami istri, saling memegang dan mengakses ponsel merupakan hal biasa. Namun, Jazmine dan Barizar tidak berada dalam hubungan yang demikian. Jangankan bertukar ponsel, berbagi tempat tidur pun selalu disekat guling di tengah ranjang sebagai area pembatas.
Terpusat fokus menerka-nerka kode kunci layar, Jazmine sampai tidak menyadari sejak kapan Barizar masuk. Seumpama buronan yang tertangkap basah, pemilik paras ayu berdagu terbelah itu tercekat di tempat. Telapak tangannya basah berkeringat, ponsel milik sang suami hampir lolos dari genggaman.
“M-mas, i-ini tadi papi telepon,” jelas Jazmine gugup terbata.
Barizar bersama sorot intimidasinya, beranjak memangkas jarak dengan langkah perlahan bak predator yang mengintai mangsa. Detuk sol sepatunya kian nyaring, berhenti berderap tepat di sisi ranjang di mana Jazmine berbaring, sangat dekat.
“Papi nelepon dua kali.” Jazmine bercicit rendah melanjutkan penjelasan seraya menyeret saliva, menyodorkan ponsel pada si empunya. Ia juga menyiapkan mental untuk menampung kemungkinan mulut pedas Barizar mencecarnya.
Benda berbentuk persegi panjang itu berpindah tangan. Barizar membolak-balik ponselnya, gulir manik jelinya penuh curiga. Beruntung layar telah menghitam dan terkunci kembali saat Barizar menerimanya. Kode yang sempat dibobol Jazmine, tak menyisakan jejak.
“Apa kata Papi?” Melenceng dari sangkaan, kali ini Barizar tidak menyalak marah. Malah melontarkan tanya bernada normal.
“I-itu, belum sempat kuangkat. Keburu mati,” sahut Jazmine sembari membasahi bibir. Tangan yang sedingin es berangsur menghangat.
“Selain papi, siapa lagi yang menghubungi?” Sudut netra tajam Barizar memicing menelisik.
Kalimat Barizar tentu diartikan lain oleh Jazmine. Pribadi selembut dan sesantun Jazmine pun, yang namanya wanita pasti identik dengan sifat cemburu. Terlebih lagi sang suami terang-terangan padanya beristri dua.
“Kenapa? Mas berharap Zora yang telepon?” sindir Jazmine sarkas.
Barizar tak menunjukkan minat menanggapi. Egois dan arogan melekat kuat padanya.
“Mana Via?” Barizar mengalihkan topik, matanya menjelajah mencari keberadaan Salvia.
“Lagi beli minum ke bawah,” sahut Jazmine agak cemberut, santunnya enyah jika berkaitan dengan Zora.
Wajar bukan jika ia cemburu? Walaupun Barizar menyatakan tak cinta padanya, Jazmine tetap salah satu istri Barizar. Status yang mungkin tak lama lagi terhapus dari dirinya.
“Oh,” imbuhnya santai, sikap Barizar sungguh menjengkelkan.
Bunyi pintu diketuk dari luar. Barizar memeriksa siapa yang datang. Erika lah yang ternyata mengetuk bersama perawat juga dokter. Tak serta merta membuka pintu, Barizar meminta mereka menunggu.
“Pakai dulu jilbabmu. Dokternya laki-laki.”
Secepat kilat Jazmine menyentuh kepala, benar saja tak ada hijab yang menutupi kepala.
“Ini.” Barizar memberikan pashmina yang tersampir di ujung ranjang.
“Siapa yang buka? Kenapa dibuka!” Jika berkaitan dengan jilbab, sejak dulu Jazmine pasti sewot dan panik. Pernah sewaktu masa ospek mahasiswi baru dan ada yang iseng menarik kerudungnya hingga terlepas, Jazmine menangis seharian.
“Aku yang buka. Sengaja kubuka supaya sirkulasi oksigen lebih lancar! Paham?” Barizar berdecak ketus.
“Tapi ini bukan di rumah, Mas,” keluhnya tak menentu.
“Enggak perlu panik. Kubuka setelah tidak ada orang lain. Paman Imran juga kuminta keluar. Hanya ada aku dan Via tadi. Lagi pula aku halal melihat rambutmu, bahkan sekujur tubuhmu sekali pun. Lupa?"
Perdebatan jilbab disudahi ketika ketukan di pintu berbunyi kembali. Melihat Jazmine kesusahan memakai jilbabnya sebab terhambat selang infus, tangan Barizar yang gatal tak sabaran turut membantu agar si penyempurna penutup aurat wanita itu terpasang lebih cepat.
Jazmine sampai menahan napas saking dekatnya jarak wajah mereka. Jantung Jazmine berdetak tak aman. Pahatan rupawan sang suami terpampang dekat. Alisnya tebal, hidungnya mancung, rahangnya tegas maskulin. Pria ini memberinya luka, tetapi hanya pria ini juga yang mampu membuatnya merasakan debaran indah dalam dada.
“Done,” ucap Barizar sebelum beranjak menuju pintu.
Erika beserta orang-orang yang menunggu dipersilakan masuk. Hanya seorang Barizar yang berani memblokade visit dokter sebelum Jazmine benar-benar memakai jilbabnya, tentu saja pengaruh kekuasaan yang berbicara.
Siapa yang tidak mengenal Barizar Irsyad Rumi, si dokter spesialis mata yang kerap menjadi buah bibir atas pencapaian prestasi. Pewaris rumah sakit khusus mata tercanggih dan terbesar di seantero negeri sekaligus putra sulung dari ketua asosiasi profesi bidang kesehatan mata setanah air.
Barizar tak banyak bertanya. Memberi ruang pada dokter spesialis imunologi melakukan tugas. Memilih menarik diri, ayunan kakinya melambat untuk sekadar menoleh sejenak ke arah di mana Jazmine sedang diperiksa sebelum benar-benar keluar dari sana.
Ponsel yang dikantongi terasa bergetar di dalam saku celana. Barizar melipir ke bagian taman rumah sakit. Mendengus kasar saat mengetahui pelaku yang membuat gawainya menjerit-jerit.
“Kali ini enggak bisa. Jazmine masuk rumah sakit. Di situ sudah ada sopir juga Suster Mela yang bisa dimintai tolong!”
Barizar memutus sepihak panggilan telepon. Menekan tombol daya hingga ponselnya mati. Gurat lelah tergambar di rupa tampannya. Napas yang dibuang panjang mencerminkan betapa beratnya beban yang dipikul.
Saat Barizar berbalik, di belakangnya sudah ada Salvia yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Entah sejak kapan adiknya berada di situ.
“Bang,” sapa Salvia serak, suaranya bergetar.
“Hmm.” Barizar mengulum senyum masam. “Jangan nangis. Mukamu jelek kalau nangis.”
Salvia menghambur memeluk pria jangkung di hadapannya, tersedu-sedu. Beruntung taman rumah sakit sedang sepi.
“Maafin Via … maafin Via, Bang,” isaknya berulang-ulang.
Barizar menengadah, memandangi langit sore yang memendarkan jingga keemasan. Bias mata elangnya mengkilap, terlapisi tirai bening yang tidak dibiarkan merebak lebih lancang.
Tangannya terulur menepuk-nepuk lembut punggung Salvia, menenangkan si adik kesayangan yang menumpahkan tangis di dadanya.
“It’s okay, it’s okay.”
*****
Erika duduki sisi ranjang setelah dokter dan perawat usai mengecek kondisi Jazmine. Perawat undur undur diri, sedangkan si dokter tetap tinggal. Di bagian kiri snelli dokter tersebut terdapat nametag bertuliskan ‘Janitra Atmojo’.
“Enggak nyangka, ternyata pasienku hari ini adalah si gadis populer di sekolah yang sempat kutaksir dulu. Sayang sudah ada pemiliknya. Sedangkan aku masih jomblo abadi.”
“Hei, Dokter Janitra. Jangan jadi lambe turah!” Jazmine mengibaskan tangan, mengekeh malu. Dokter yang memeriksanya hari ini ternyata teman seangkatan Jazmine di sekolah menengah pertama.
“Jazmine ini dulu banyak yang naksir, termasuk saya. Cuma anaknya terlalu solehah, menolak keras yang namanya pacaran! Kalau saya sih ya, agak-agak badung,” ujar si dokter berwajah oriental itu, mengajak Erika nimbrung untuk menggoda Jazmine, berbaur dengan mudah walaupun baru kenal dengan Erika beberapa menit lalu.
“Terlihat jelas sih dari muka dan aura Jazmine yang shining, shimmering splendid. Tidak terdeteksi tumpukan dosa.” Erika balas berkelakar, tawa mereka pecah.
“Lanjutkan saja bergosipnya!” Jazmine bersungut dan hal itu malah tampak lucu di mata mereka. Jazmine yang lembut, saat kesal pun tetap halus nada bicaranya.
“Tapi ada yang unik. Di halaman depan diary Jazmine dulu, di sana tertulis cita-citanya adalah menikah dengan seseorang berinisial ‘BIR’. Agak lain anak ini.”
“Hentikan! Jangan buka aib!” protes Jazmine merajuk.
Ritme semasa remaja tidak terpisahkan dari yang namanya angan cita-cita. Di kala yang lain ingin menjadi dokter atau polisi, Jazmine justru bercita-cita ingin menjadi istri solehah untuk seseorang berinisial ‘BIR’.
Tentu saja orang yang Jazmine maksud adalah Barizar Irsyad Rumi. Namun, tidak ada orang lain yang tahu. Getar hatinya tersimpan rapi di tempat paling rahasia, hanya dibiarkan berisik dalam do’a.
“Barizar Irsyad Rumi. Sungguh kebetulan sekali ya?” Erika bersemangat menimpali meskipun lidahnya agak jijik harus menyebut nama 'Barizar' yang di matanya adalah bajingan sejati. Sepertinya semangat si pengacara muda bertujuan lain, tertarik menggoda dokter lajang.
“Dan cita-citanya tercapai. RO penerus optik ternama menikah dengan dokter spesialis mata yang juga pewaris rumah sakit mata. Beuh ... combo yang cocok parah.” Janitra mengacungkan kedua jempol.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
