Ranjang Kedua Bab 1-4

18
5
Deskripsi

Dear, para pembacaku tersayang. Aku datang membawa cerita baru, yeay. Jangan lupa follow akunku supaya tidak ketinggalan info update. Enjoy 🫶.

~Bahagiaku itu kamu, tapi bahagiamu bukan aku~ Jazmine Zalina Mumtaz

BAB 1. Bertepuk Sebelah Tangan

"Mas masih di mana? Sop iga yang Mas mau sudah matang?" Jazmine menekan ponselnya merapat tanpa jarak dengan telinga, sedang bertukar kata dengan suaminya melalui sambungan telepon. 

"Aku nggak jadi makan malam di rumah. Kamu makan sendiri saja, aku nggak pulang," sahut suara berat maskulin di seberang sana.

"Bukannya besok dinas pagi? Di dalam mobil nggak ada snelli ganti."

"Besok Subuh aku ambil sebelum berangkat ke rumah sakit. Malam ini aku tidur di apart Thamrin." 

Bunyi 'klik' terdengar pertanda panggilan telah terputus. Rasa lapar yang sempat hinggap, lenyap tak berjejak.

Menarik napas panjang, Jazmine menatap nanar menu lengkap makan malam yang tersaji di meja, salah satunya sup iga yang ia masak penuh cinta.

"Bi, makanannya dibagi-bagi saja bareng pekerja lain di rumah ini juga security komplek. Tiba-tiba aku merasa kenyang dan ingin makan yang manis," titah Jazmine pada ART kepercayaannya. "Tolong antarkan es krim ke kamarku." 

Bukan hal baru sang suami tidak tidur di rumah. Menginap di apartemen yang berlokasi di daerah Thamrin pun pasti sama saja dengan pulang bagi suaminya. Tidak seperti dirinya yang hanya memiliki satu tempat pulang juga satu ranjang untuk tidur setiap malamnya.

******

Dini hari kabar duka tersiar pada Jazmine. Sang nenek tercinta telah berpulang. Jazmine memohon agar Barizar pulang untuk menemaninya ke rumah duka. Apa kata orang jika ia hanya datang sendiri.

"Turut berdukacita, semoga almarhumah Bu Widia ditempatkan di tempat terbaik," kata para pelayat pada Jazmine, cucu satu-satunya Widia Aini.

Widia Aini merupakan salah satu pengusaha optik terkemuka. Istri dari pelopor optik di tanah air, almarhum Hanung Mumtaz.

"Terima kasih atas do'anya," sahut Jazmine seraya menyusut mata sembapnya.

Taburan bunga setaman menyelimuti gundukan tanah merah yang masih basah. Seorang ustadz memimpin lantunan do'a, diaminkan para hadirin takziah yang mengitari pusara.

Kepergian Widia Aini, istri salah satu pelopor pengusaha bidang optik tanah air yakni istri dari almarhum Hanung Mumtaz, diantar isak tangis keluarga dan kolega.

Kendati pamor Mumtaz Optikal tidak lagi sehebat dulu setelah hampir bangkrut enam tahun lalu, ratusan pelayat berdatangan bak air bah. Berbondong-bondong mengantar ke pemakaman, turut berbelasungkawa dengan tak lupa membawa karangan bunga ungkapan duka cita.

Pelayat berangsur undur satu persatu. Para kolega berpamitan pada keluarga besar yang ditinggalkan termasuk Jazmine. Di sebelahnya, Barizar sang suami yang sejak tadi terlihat gelisah, Jazmine tepuk lengannya saat orang-orang yang berpamitan mengajak bersalaman.

Dr. Barizar Irysad Rumi, Sp. M. Dokter spesialis mata yang menikahi Jazmine Zalina Mumtaz lima tahun lalu melalui jalan perjodohan.

Bagi Jazmine, Barizar adalah cinta pertamanya, menaruh hati sejak jumpa pertama sewaktu remaja. Barizar pernah menolong Jazmine remaja dari kejaran anjing di sebuah acara family gathering para keluarga yang menggeluti profesi bidang kesehatan mata. Menolongnya dari hal yang paling Jazmine takuti di kala para sepupunya sengaja abai.

Namun, Barizar tidak demikian. Konon dia menikahi Jazmine hanya demi tidak didepak sebagai pewaris aset-aset nenek moyangnya.

“Mas, itu pelayat pada mau pamitan,” bisik Jazmine, tetap lembut dan sopan.

“Ah … ya, terima kasih sudah datang.” Pria rupawan berahang tegas itu berbasa-basi lantas menjabat tangan para pelayat yang berpamitan pulang. Walaupun kentara kurang fokus sebab teralihkan pada benda pipih di saku kemeja yang terus berkedip dan bergetar.  

“Ada telepon penting dari rumah sakit. Aku angkat dulu sebentar,” kata Barizar tak sabaran. Tanpa menunggu respons Jazmine, Barizar melangkah lebar dan berhenti di bawah Pohon Kamboja yang tumbuh di sisi kanan lapangan parkir.

Dari kejauhan, manik coklat Jazmine membingkai sendu sosok suaminya yang sedang menerima telepon. Air muka pria yang dicintainya terlihat gusar. Mondar-mandir berkacak pinggang sambil sesekali menyugar rambut legamnya.

Setengah berlari, Barizar kembali menghampiri wanita cantik berdagu terbelah yang menyambutnya dengan senyuman. Ayunan kakinya tergesa, Barizar nyaris tersandung.

“Hati-hati.” Jazmine menahan bahu lebar Barizar yang hampir kehilangan keseimbangan. Tak dihiraukannya selendang di bahu yang terjatuh ke tanah.

“Jaz, aku harus ke rumah sakit sekarang. Ada pasien darurat yang membutuhkan tindakan bedah mata,” jelasnya terburu-buru.

“Harus sekarang banget? Memangnya enggak ada yang bisa gantiin, kita sedang dalam suasana berduka. Aku tahu Mas terpaksa mendampingiku di sini. Tapi please, untuk hari ini temani aku sampai kita kembali ke rumah. Setidaknya jangan buat aku kehilangan muka. Kasihani aku, Mas.”

Jazmine memelas memohon. Terlebih saat mendapati sorot mata para sepupu almarhumah yang tidak menyukainya menyeringai mengejek, ia sangat berharap Barizar bersedia tinggal.

“Enggak bisa, Jaz!” Barizar mendelik tak suka. Sama sekali tak tergerak hati dengan permohonan istrinya. “Risikomu bersuamikan seorang dokter ya seperti ini. Jangan manja! Aku pergi,” tegasnya.

Berlalu pergi, Barizar tak memedulikan Jazmine yang menatap punggungnya dengan mata berkaca-kaca. Pasien darurat sudah pasti hanya alasan. Jazmine hafal betul siapa yang menghubungi suaminya barusan, karena hanya satu orang yang mampu membuat seorang Barizar gundah gulana kehilangan akal.

Senyum Jazmine terukir pahit tersulam lara. Di saat dirinya tengah berduka pun Barizar tak bersedia bermurah hati padanya. Tahun demi tahun yang telah diarungi seolah percuma. Cintanya pada Barizar, bak getar rasa megah yang sampai kapan pun takkan pernah bisa dirayakan.

“Bahkan rasa kasihan saja enggak bisa kamu kasih buat aku, Mas,” lirihnya perih.

Rintik gerimis berjatuhan. Semua orang bubar dan bergegas pulang kecuali Jazmine. Sendiri bertemankan semilir sepi, Jazmine berjongkok menyentuh tanah merah di mana sosok yang selalu mengasihinya dikebumikan.

Do’a terbaik dipanjatkan. Ribuan terima kasih tak lupa ia haturkan. Mengiringi gemuruh maaf yang hanya bisa ia gaungkan dalam jiwa tanpa melibatkan lisan.

Ketegaran yang sejak tadi Jazmine genggam erat perlahan terkikis linangan. Pipinya basah, tangisnya pecah. Dadanya sesak mengingat salah satu pesan tegas sang nenek yang selalu dinasihatkan kepada anak dan cucunya sedari ia remaja. Tentang sebuah hal yang seolah menjadi pantangan turun-temurun di keluarga besar Mumtaz.

Tidak pernah ada sejarah perceraian di keluarga ini. Sehancur apa pun rumah tangga kalian setelah menikah nanti, jangan pernah berani untuk melakukannya. Karena bagi keluarga Mumtaz, perceraian adalah aib!

“Nenek, maafkan Jaz. Karena untuk yang satu itu sepertinya Jaz tidak bisa. Sekali lagi, maaf.”

 

🥕🥕🥕🥕🥕


BAB 2. Bukan Pemeran Utama

Taksi daring yang ditumpangi Jazmine memasuki sebuah kawasan kavling perumahan elit di Ibukota. Langit telah menggelap ketika Jazmine sampai di rumah yang sudah lima tahun lebih ia tinggali bersama Barizar.

Bagian dalam huniannya gelap gulita. Belum ada satu pun lampu yang menyala. Hanya lampu luar yang memendarkan cahaya, sudah disetting otomatis hidup sendiri di setiap menjelang senja.

Melirik sejenak ke garasi, Lexus yang dipakai Barizar hari ini masih belum terlihat eksistensinya, pertanda suaminya belumlah pulang. Beralih mengecek ponsel. Lagi-lagi Jazmine harus menelan kegetiran. Tidak ada satu pun pesan yang Barizar kirimkan padanya. Sekadar basa-basi menawari dijemput pulang misalnya lantaran hari ini ia tengah berduka dan sopir pribadinya sedang pulang kampung.

Di perjalanan pulang, Jazmine sempat menghubungi Heksa, asisten Barizar di Brata Eye Hospital. Heksa membenarkan bahwa siang tadi ada pasien darurat yang matanya tertusuk serpihan bambu dan harus segera dilakukan tindakan bedah. Akan tetapi bukan Barizar yang menangani, dokter lain yang menindaklanjuti karena Barizar sudah izin absen khusus hari ini dalam rangka berbelasungkawa.

“Apa yang kamu harapkan, Jaz?” sindirnya, mengejek diri sendiri. Nelangsa menjalari kalbu. Tarikan napas Jazmine perih melaju. "Bermimpi dia berperan sebagai suami seperti yang kamu mau?"

Sejak ikrar janji suci hingga detik ini, sebanyak apa pun Jazmine berbakti, nyatanya di mata Barizar tak cukup layak dihargai sebagai istri. Bukan hanya itu, Barizar bahkan tak tertarik menyentuhnya meski mereka sering tidur di ranjang yang sama selama ini.

Semula, Jazmine mengira Barizar butuh waktu karena belum mencintainya. Bertekad akan berjuang gigih untuk membuat pria itu jatuh cinta padanya. Namun, semua itu hanya angannya sepihak. Jazmine dipaksa meneguk racun pahit lagi menyakitkan, pada kenyataannya singgasana hati Barizar sudah memiliki ratu jauh sebelum ijab kabul untuknya diucapkan.

“Haruskah aku menyusul ke sana?” Jazmine bergumam, bibir mungilnya sedikit bergetar.

Sang raja pasti sedang menemani ratu hatinya. Jazmine menatap nanar aplikasi GPS. Titik merah di mana lokasi Barizar berada berkedip-kedip. Beralamatkan sebuah tower apartemen elit di daerah Thamrin. Sepertinya Barizar baru menyalakan ponselnya.

“Tapi buat apa, Jaz. Kecuali kamu ingin lukamu bertambah dalam,” lirihnya seraya menyusut cairan basah yang lolos melewati pelupuk.

Jantungnya berdenyut nyeri, Jazmine menarik napas panjang dan menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Mendorong pintu tinggi di hadapannya, ia memilih bergegas masuk daripada meratap di teras rumah.

Lampu-lampu dinyalakan. Gorden-gorden ditutupkan. Jazmine melakukannya sendiri berhubung dua orang pembantunya yang turut membantu berbenah di kediaman mendiang sang nenek diminta menginap di sana.

Selepas mandi, Jazmine menunaikan empat rakaat Isya, mengadu terisak di hamparan sajadah. Notifikasi pesan berbunyi bertepatan dengan do'a yang baru saja usai dipanjatkan.

Diraihnya cepat si gawai yang sedang diisi daya. Jemarinya lincah membuka pesan masuk dari kontak yang dinamai 'Zauji'.

[ Kunci saja pagarnya. ]

[ Malam ini aku enggak pulang. Zora perutnya mulas. ]

Dua baris pesan singkat yang dikirimkan Barizar kian mempertegas di mana posisinya. Sampai kapanpun dirinya adalah mempelai yang tak diinginkan. Hanya Zora, si wanita berparas secerah bidadari yang tetap menjadi pemenang di hati Barizar.

Jika Barizar diberi satu pilihan andai dirinya dan Zora tenggelam, Jazmine yakin, Barizar akan memilih menyelamatkan Zora meskipun semisal wanita itu bisa berenang. Seperti saat ini, Barizar lebih memilih menemani Zora yang beralasan perutnya mulas ketimbang dirinya yang tengah dirundung duka.

Ranting kalbunya patah tak berkesudahan. Jazmine sadar hatinya berserak hingga berkeping-keping bukan karena orang lain, melainkan karena dirinya meletakkan harap terlalu tinggi pada pria yang tak mencintainya.

Melirik ke arah ranjang luas yang terpampang rapi, Jazmine menyeret langkah gontainya. Masih terbalut mukena, ia merebahkan raga lelahnya di ranjang pernikahan yang dingin, ranjang yang tak pernah satu kali pun disapa hangatnya cumbu mesra.

Pigura berlis emas di nakas Jazmine pandangi lekat-lekat. Membingkai foto pernikahannya dengan Barizar. Di sana, senyum lebarnya berbanding kontras dengan ekspresi muka Barizar yang datar. Cincin di jari manis ia sentuh penuh perasaan. Dadanya bergemuruh diterjang luapan lara yang hebat bergetar.

“Salahku sendiri bersikeras bertahan 'kan?” ucapnya tersendat, tercekat sebah yang menyumpal tenggorokan. “Berhenti berdalih, Jaz! Berhenti berdalih demi tidak mencoreng nama baik keluarga Mumtaz dan demi tidak mengecewakan nenek, karena faktanya aku memang dibuat bodoh oleh getar cinta tak berbalas ini.”

Bait-bait do’anya sempat memaksa ingin tertuang sebagai pemeran utama dalam alur cerita cinta Barizar. Tanpa sadar do’anya pernah serakah serta egois. Mau tak mau berakhir menanggung risiko dirinya sendiri yang teriris. Padahal, sudah jelas bukan namanya yang tertulis.

“Sudah waktunya mengikhlaskan bukan?”

Si ponsel yang teronggok di atas bantal, Jazmine raih dan gulirkan layarnya. Mengatur napas sejenak guna memantapkan hati, ia lantas menghubungi seseorang.

“Bisa bertemu besok? Aku ingin mengajukan gugatan cerai.”

 

🥕🥕🥕🥕🥕

 


Bab 3. Peraduan Luka

Di dini hari berteman sepi, di atas hamparan sajadah buatan tangan pengrajin Turki, Jazmine bermunajat menundukkan diri. Bibirnya basah merangkai asma suci. Jemari yang bergerak menghitung dzikir menjadi saksi. 

Kata ‘aamiin’ menjadi penutup segala do’a yang dipanjatkan usai sunnah dua rakaat ditunaikan. Telapak tangan yang menengadah, diusapkan ke permukaan wajah. Terpekur dalam kesendirian, sekali lagi Jazmine menanyai sang hati untuk meyakinkan diri. 

Memindai ke arah peraduan, gurat miris di sudut bibir berpadu helaan napas berat saling berkelindan. Tempat tidur miliknya luas, harum dan indah. Sayang, kisah penghuninya tak seelok sketsa yang tertangkap retina. Meski sering berbaring bersama pujaan hati, ranjangnya selalu sepi tak diingini. 

Mukena ditanggalkan, dilipat rapi sebelum Jazmine membuka laci lemari paling bawah yang khusus diperuntukkan menyimpan kelengkapan ibadah. Beberapa map dikeluarkan, berkas yang diperlukan untuk diserahkan kepada pengacara sore nanti dipilah dan dipisahkan. 

“Kartu keluarga sudah, KTP sudah,” gumam Jazmine sembari mengecek rincian pesan yang dikirimkan Erika, pengacaranya. “Lalu buku ni_” 

Di balik rongga raga, ada gemuruh yang menjerit pilu, ada nyeri yang berdenyut ngilu saat dua buah buku kecil berwarna merah dan hijau tersentuh ujung kuku. Tak sampai di situ, selembar undangan pernikahannya dulu ikut menyembul di bawah buku. 

Bertuliskan tinta emas, namanya dan Barizar tercetak cantik di sana. Warna dasarnya putih seperti warna favoritnya. Bergambar bunga melati yakni bunga kesukaanya. Sesuci harapannya ketika ijab kabul Barizar ucapkan di depan penghulu, saksi juga keluarga.

Tangan kanan yang gemetar, ia genggam menggunakan tangan kiri. Memeluk lukanya sendiri. Jika bukan dirinya seorang, siapa yang peduli. Iris coklatnya buram, terhalang tirai hangat nan basah yang diundang nelangsa dalam dada. Sekuat tenaga Jazmine menghalau badai isakan, meski rasanya teramat sakit, mencekat menyiksa. 

Kegamangan berbondong, teringat bahwa perceraian yang hendak dijejaki merupakan salah satu hal yang dibenci Rabb-nya.

"Ampuni hambamu yang berlumur dosa ini … Yaa Rabb. Maafkan aku, nek. Maafkan Jazmine yang akan mencoreng harga diri nama keluarga Mumtaz, nama terhormat yang nenek jaga sepenuh jiwa.” 

Derit pagar di luar sana menyentak tangisan Jazmine. Menyibak gorden kamar, di bawah sana terlihat Lexus abu-abu milik Barizar memasuki carport. Jazmine dan Barizar sama-sama memegang remot kontrol pagar rumah. Dibuat duplikat guna memudahkan ketika Barizar pulang di pagi buta.

Hal ini sudah berlangsung hampir lima tahun lamanya. Setiap kali menginap di apartemen Thamrin, Barizar pasti pulang ke rumah sebelum waktu Subuh datang. Barizar mengatakan bahwa semua itu dilakukan agar tidak ada keluarga kedua belah pihak yang mengetahui bahwa dirinya memiliki ranjang lain di luar sana.

Tergesa, Jazmine memasukkan kembali map yang berserakan ke tempat semula. Sudut mata yang basah, diseka tisu hingga mengering. 

Merapikan penampilannya sebelum berderap turun, Jazmine memastikan diri sedap dipandang oleh sosok bergelar suami. Tetap menunaikan kewajiban sebagai istri walaupun di mata mungkin Barizar tak berarti. 

Terdengar bunyi tombol yang ditekan pada smart lock. Barizar pasti sedang memasukkan kombinasi angka password pada kunci pintar di pintu masuk utama dan saat terbuka tatapan mereka bertemu dalam satu garis lurus.

“Wa’alaikumussalaam, Mas.”

Nada bicara lembut beserta raut manis selalu Jazmine haturkan setiap kali menyambut Barizar pulang. Tak lupa tangan kanan Barizar ia raih untuk dicium punggung tangannya penuh takzim.

Barizar mengusap tengkuknya kikuk lantaran lupa mengucap salam. “Ah ... itu, assalamu’alaikum,” ucapnya pelan.

Jazmine mengulum senyum. “Mau mandi dulu, minum dulu atau mungkin mau makan dulu? biar aku siapkan. Masih ada waktu sebelum Subuh datang.”

Jazmine menawarkan tanpa ada nada ketus sedikit pun, seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara faktanya di dalam sana jiwanya babak belur. Menjadikan rumahnya laksana surga untuk suaminya. Sayang, surga yang dihaturkannya tak pernah dianggap indah. 

Pria pemilik tahi lalat di sudut mata itu terdiam. Dari balik kacamata yang bertengger manis di hidung mancungnya, tatapan lurus si dokter mata berusia tiga puluh tahunan itu sulit diartikan.

Barizar bingung, terbuat dari apa perasaan wanita berambut indah itu sebenarnya. Masih bertahan melayani dan menyambut padahal Jazmine tahu betul dirinya baru saja pulang menginap dari tempat istrinya yang lain. 

“Tentang di pemakaman kemarin, aku minta maaf,” ujarnya tiba-tiba. Jazmine mengerjap terkejut, kata langka yang terucap dari mulut Barizar cukup membuatnya tertegun. “Kemarin siang, Zora jatuh di kamar mandi.” 

Keheranannya buyar saat nama 'Zora' disebut. Bagi Jazmine, setiap kali Barizar menyebut nama itu, ia bagaikan dihadiahi ribuan jarum tajam, dihujamkan tanpa ampun tepat menusuk jantung. 

“Tapi kenapa harus berbohong?”

“Bukankah kamu sendiri yang memohon supaya aku menjaga harga dirimu di depan keluarga Mumtaz?” cecar Barizar mengingatkan. “Aku melakukannya untuk memenuhi permintaanmu. Bisa saja kukatakan yang sejujurnya, tapi di sana situasinya sedang banyak sepupumu. Sudahkah otakmu berpikir sampai ke situ?” 

Pedih memang, tetapi kalimat Barizar juga tidak sepenuhnya salah. “Aku memang nggak mikir sampai sana,” jawab Jazmine jujur.

Barizar melenggang menuju kamar utama diikuti Jazmine di belakangnya. Jaket dan kemeja dilucuti, baju kotornya langsung diambil alih oleh Jazmine. 

“Nanti malam sebaiknya Mas ikut menghadiri pengajian di rumah mendiang nenek.” Kata Jazmine di balik punggung lebar Barizar. 

“Aku enggak janji,” balasnya sembari sibuk membuka gesper dilanjut kaus kaki. 

“Papi semalam datang ke rumah nenek. Ikut mengaji di sana dan bilang bakal datang lagi. Sebaiknya Mas menunjukkan batang hidung malam nanti supaya mertuaku itu enggak terus-menerus bertanya kenapa putranya tidak ikut berpartisipasi. Aku enggak selamanya bisa menangani hal semacam itu.”

Barizar menduduki ujung ranjang. Memijat pelipis yang terasa pening akibat kurang tidur serta semrawutnya isi kepala.

"Tapi Zora sedang butuh perhatian ekstra dariku. Tangannya terkilir dan mengeluh mulas-mulas efek datang bulan." Tak berperasaan, Barizar bertutur mengabsen perhatiannya untuk wanita lain. Mengabaikan perasaan wanita di hadapannya.

"Sebentar saja, Mas. Dua jam pun cukup. Kemarin Papi mencecarku, nanyain Mas pergi ke mana di saat keluarga Mumtaz tengah berduka."

Barizar mengusap wajahnya kasar. “Ck… tua bangka itu. Terus kamu jawab apa?” Barizar tampak gusar. Harap-harap cemas menanti penuturan Jazmine. 

“Ya kayak biasa. Kubilang ada hal darurat terkait pasien. Memangnya boleh kalau aku jawab Mas pergi ke apartemen Zora?” canda Jazmine sedikit menyindir sedangkan Barizar berdecak kesal. 

“Baiklah! Aku usahakan datang.” 

 

🥕🥕🥕🥕🥕

 

Bab 4. Berhenti Berharap 

Cuaca mendung yang asyik menyapa Jakarta selama seminggu berturut-turut, hari ini absen tersingkir cakrawala benderang. Birunya langit, cemerlang tak berpenghalang. Pesona si raja siang bertahta gagah gemilang.

Para pengendara memanfaatkan kacamata hitam guna menghalau silau menusuk, berasal dari teriknya mentari yang memantul membentur aspal. Jazmine yang duduk di bangku penumpang, pun turut melindungi ruang pandang sebab kaca film kendaraan mewahnya tak mampu menetralisir maksimal. Sunglasses dari brand ternama yang bekerjasama dengan Mumtaz Optikal, bertengger manis di hidung bangirnya. 

“Pak Toto, tolong mampir ke cabang PIM sebelum ke optik pusat, ada hal penting yang harus saya urus di sana,” pinta Jazmine pada si pria pengendali kemudi yang sudah menjadi sopirnya sejak ia masuk SMP. 

“Baik, Non.” 

Mengotak-atik ipad di pangkuan, Jazmine mengecek laporan bulanan seluruh cabang Mumtaz Optikal termasuk gerai pusat yang beroperasi di dekat Brata Eye Hospital. Rutinitas yang sudah tujuh tahun Jazmine tekuni, kembali digeluti selepas tujuh hari sang nenek pergi. 

Sejak menyelesaikan studi di bidang ilmu Refraksi Optisi pada usia dua puluh tahun, Jazmine dibawa terjun langsung oleh sang nenek untuk ikut berkiprah di Mumtaz Optikal juga Shine Lens Laboratory. 

Sebagai satu-satunya cucu kandung dari Hanung Mumtaz dan Widya Aini, walaupun pada masa itu usianya masih sangat muda, Jazmine dilatih mengemban amanah sebagai penerus usaha yang dirintis kakek dan neneknya. Sebab kedua orang tuanya telah berpulang sewaktu Jazmine usia taman kanak-kanak. 

Tujuh tahun berdikari di dunia optik, Jazmine terbilang berhasil dalam mengelola Mumtaz Optikal berikut Shine Lens Laboratory, yang merupakan laboratorium produksi lensa kacamata termasuk soft lens dan hard lens. Terutama enam tahun lalu kala ditimpa krisis hingga terancam bangkrut. Bersama sang nenek, ia berhasil mempertahankan kebanggan keluarga Mumtaz tetap berdiri. 

Semua keberhasilan tersebut tentu saja tak lepas dari yang namanya suntikan dana. Brata Rumi yang memberikan, yakni ayah dari Barizar alias mertua Jazmine sekarang. Digelontorkan setelah perjodohan Barizar dan Jazmine disepakati dua keluarga. 

Banyak yang iri dengan kehidupan Jazmine. Dianggap nasibnya mujur sempurna. Bersilsilah terhormat serta berada. Indah akhlaknya, cantik parasnya, encer otaknya, cemerlang karirnya bahkan jodohnya pun seorang dokter yang berasal dari keluarga terpandang, terdidik dan berduit. 

Kenyataannya, hidup seorang Jazmine tak semanis yang orang-orang bayangkan. Dulu, kelahiran Jazmine tidak disambut sukacita lantaran sang ayah mendamba bayi laki-laki sebagai anak pertama. Dianggap pembawa sial oleh keluarga Mumtaz setelah ayah dan ibunya mengalami kecelakaan lalulintas hingga merenggut nyawa akibat tak henti terlibat cekcok membahas kelahiran Jazmine yang tidak diharapkan. Dan ketika bersuami, ia menjadi istri yang tak diinginkan. 

Hanya sang nenek yang menyayangi Jazmine tanpa syarat. Itulah mengapa Jazmine sebisa mungkin tidak ingin membuat neneknya kecewa. Sikap patuh dan tunduk pada petuah neneknya, tertanam mutlak dalam dirinya. 

“Non Jaz, izin mampir ke POM bensin sebentar. Sudah waktunya mengisi bahan bakar.” Pak Toto memberitahu dengan sopan. 

“Isi full saja, Pak.” Jazmine menyerahkan sebuah kartu berwarna jingga pada Pak Toto.

“Siap, Non.”

Sambil menunggu mobil diisi bensin, Jazmine menerawang pandangan menembus kaca jendela. Seberkas gurat perih tergambar di wajah ayunya, tak sengaja memergoki kejadian manis di depan minimarket 24 jam. 

Di sana, di samping sebuah motor bebek keluaran lama, seorang wanita hamil duduk mengemper berselonjor kaki. Pria yang kemungkinan suami si wanita, berjongkok sambil memijat kaki wanita hamil itu penuh perhatian, diselingi sodoran air putih di botol yang sudah lusuh. 

Terbingkai kesederhanaan, mereka tampak bahagia. Berbanding terbalik dengan nasibnya yang miris meski terbungkus kekayaan. 

“Ini kartunya, Non.” 

Sedikit tersentak, Jazmine menerima kartu dari Pak Toto yang sudah memasang kembali sabuk pengaman. 

“Langsung jalan saja, Pak. Kalau bisa hindari jalan macet. Di PIM saya punya janji penting.” 

*****

Gerai 'Mumtaz Optikal' di Pondok Indah Mall termasuk salah satu cabang beromset unggulan. Seperti biasa, Jazmine melakukan inspeksi rutin di sana. 

Jazmine memeriksa langsung data penjualan, dilanjutkan mengecek berkala kelengkapan alat refraksi. Uji kelayakan peralatan faset baik autorefrak maupun manual tidak lupa dilakukan. Ia juga mericek stok display frame beserta lensa, memastikan sudah memenuhi standar dan sesuai dengan laporan yang diserahkan padanya, bukan cuma data bodong.

“Seminggu ini, apakah ada masalah di gerai?” Jazmine bertanya pada salah seorang karyawan yang sedang berjaga. 

“Tidak ada, Bu. Cuma tadi sempat ada Bu Lisna agak rusuh. Ngomelin Pak Imran sama asistennya yang datang untuk mengecek performa minat pasar terkait produk lensa yang diluncurkan tiga bulan lalu. Sepertinya Bu Lisna sedang berbelanja di sini, soalnya memaksa meminta credit card baru sama Pak Imran,” jelas si karyawan sembari menggaruk tengkuknya tak gatal.

Jazmine geleng-geleng kepala. Lisna adalah si tante yang paling julid padanya. Anak dari adik Hanung Mumtaz alias keponakan kakeknya. Sedangkan Imran adalah suami Lisna, menjabat sebagai wakil pimpinan di Shine Lens Laboratory. 

“Selain itu tidak ada lagi?” cecar Jazmine melanjutkan. 

“Semuanya aman terkendali, Bu.” 

Percakapan bersama karyawan Jazmine sudahi saat seseorang yang memiliki janji dengannya telah datang. Wanita matang berpotongan rambut bob menyalami Jazmine dilanjut cipika cipiki.

“Maaf banget, minggu lalu aku belum bisa menemuimu secara langsung. Tim advokat Mumtaz seminggu ke belakang berfokus pada urusan wasiat mendiang Bu Widya. Jadi baru bisa memenuhi permintaan pribadimu hari ini.”

“No problem, Mbak Erika. Aku juga tahu tentang hal itu. Kita ngobrol di kedai gelato, biar lebih santai.” Jazmine mengajak tamunya yang merupakan salah satu personil dari tim advokat Mumtaz itu ke sebuah kedai gelato yang sedang hits di sosial media. Berjarak sekitar lima blok jauhnya. 

Dua porsi gelato pistachio terhidang di hadapan mereka. Marmer cake premium disajikan sebagai pelengkap kudapan. 

“Kelengkapan berkas yang kamu serahkan sudah masuk ke mejaku. Kamu tahu, keputusanmu membuatku kaget. Andai mendiang Bu Widya masih ada dan tahu aku menyanggupi membantu keinginanmu bercerai, alamat dipecatnya aku dari tim advokat Mumtaz!” cerocos Erika mengomel.  

Kekehan Jazmine terulas sekilas. “Enggak mungkin dipecat, paling diceramahi dan diboikot. Mbak Erika itu lawyer favoritnya nenek.” 

“Tetap saja ini bikin aku jantungan! Sebelum kuproses lebih lanjut, aku ingin bertanya sekali lagi. Kamu yakin dengan keputusanmu?" tanya Erika memastikan.

"Yakin enggak yakin sih."

Erika maklum dan paham. Semua ini pasti tidak mudah bagi Jazmine. "Karena jalan yang akan kamu ambil sangat mungkin berimbas negatif pada keberlangsungan 'Mumtaz Optikal' juga 'Shine Lens', apakah hal itu sudah kamu pikirkan juga?"

Kepala Jazmine mengangguk pelan. "Tentang segala risikonya, sudah kupikirkan sejak tiga bulan terakhir. Kurasa, aku masih bisa mengatasinya."

"Baguslah kalau begitu. Aku mendukung seribu persen! Sebenarnya aku sendiri gregetan sama kamu yang kelewat sabar!” Erika terdengar geram. Dia mengetahui tentang Barizar yang memiliki istri selain Jazmine, tetapi Erika menutup mulut rapat-rapat selama ini atas permintaan Jazmine. 

Gelato di meja Jazmine cicipi, membiarkan sensasi dingin nan lezat lumer di mulut. “Mbak tahu sendiri, kata cerai sangat terlarang di keluarga Mumtaz. Haram diucapkan apalagi dilakukan."

“Lalu kenapa sekarang kamu berubah pikiran? Apa karena Bu Widya sudah tiada?” Erika bertanya dengan nada hati-hati, menelisik penasaran.

Jazmine menaruh sendok gelato. Menyeka sudut bibir menggunakan tisu dan membetulkan letak kerudung sebab dirasa kurang rapi. Kebiasaannya setiap kali usai menyantap makanan.

“Hhh ... aku berdosa sama nenek, sudah berani lancang melanggar. Tapi aku juga enggak mau terus mengikat Mas Barizar bersamaku. Dia pasti ingin berbahagia dengan bebas bersama wanita yang dicintainya.” Jazmine menjeda kalimatnya sejenak. Menghela napas dalam-dalam, arah pandangnya turun pada cincin di jari manis, membias sendu. 

“Menjelang tahun ke enam ini, kurasa sudah cukup. Dan aku … mulai lelah berjuang.” 

“Ck, suamimu memang brengsek!” Erika kelepasan menggebrak meja. “Selain bajingan, he is stupid!” umpatnya murka, tak bisa mengontrol dongkol sebagai sesama wanita. 

“Eggak boleh ngomong kasar, nanti cantiknya ilang,” imbuh Jazmine menggoda Erika yang dilalap emosi. 

“Jaz?” 

Suara yang teramat Jazmine kenali menggema di belakang punggung. Erika membeliak sedangkan Jazmine sontak menoleh. 

“Mas?” cicit Jazmine, cukup dibuat terkejut dengan kehadiran Barizar yang terlalu tiba-tiba. 

“Ngapain kamu ketemu Erika?” 

Bersambung. 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Ranjang Kedua
Selanjutnya Ranjang Kedua Bab 5-8
19
3
Selamat membaca kisah Jazmine dan Barizar 🫶
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan