Duda Limited Edition Bab 7

61
16
Deskripsi

Bab 7. Mata-mata

Bab 7. Mata-mata

Arimbi mengempaskan tubuh ke atas empuknya kasur. Ia baru saja dilepaskan dari rumah Gailan setelah akhirnya mau tak mau menyetujui dan menandatangani selembar kertas perjanjian terkait utang piutang ganti rugi yang harus dibayarkannya sesuai dengan aturan yang dibuat Gailan. Yakni lima juta sebagai uang muka dan sisanya akan dianggap lunas setelah Arimbi bekerja padanya sebagai pelayan pribadi selama empat bulan lamanya tanpa libur juga tanpa gaji.

Tugasnya adalah melayani segala kebutuhan Gailan di pagi dan sore hari. Pagi sebelum Arimbi berangkat bekerja dan sore hari selepas ia pulang dari rumah sakit. Di akhir pekan pun jadwalnya sama, tak ada pengecualian. Arimbi hanya bisa memilih opsi menjadi pelayan karena opsi lainnya adalah bersua dengan polisi, walaupun tugas yang harus dikerjakan sebagai pelayan pribadi pun belum jelas apa saja dan dalam bayangan Arimbi menyimpulkan pasti tidak jauh-jauh dari pekerjaan rumah.

Sebenarnya tidak ada pilihan yang lebih baik, dua-duanya sama horornya. Baik itu berhadapan dengan polisi maupun mengerjakan pekerjaan rumah, karena jujur saja dirinya yang biasa dilayani pembantu tak pandai berbenah, baru setelah memutuskan hidup mandiri ia belajar sedikit demi sedikit dan itu pun masih sangat amatir.

Rebah terlentang serampangan, Arimbi menatap ponselnya nanar menyusuri  deretan angka yang tertera di layar. Sekarang, uang yang tersisa di rekeningnya tinggal dua juta rupiah saja. Jumlah rupiah yang tentu sangat sedikit bagi seorang putri konglomerat sepertinya, terlebih lagi nominal itu harus cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya satu bulan ke depan.

“Dasar enggak punya hati! Tega-teganya menguras rekeningku! Mana aku kudu kerja bakti selama empat bulan lagi. Haduh… apes bener nasibku,” keluhnya frustrasi. Menendang-nendangkan kakinya memukul udara kosong melampiaskan kekesalan, berguling-guling mengacak-acak kasurnya sendiri.

“Haruskan aku minta uang sama papa? Duh, tapi gengsi!” gumam Arimbi bimbang, telunjuknya yang menyentuh layar ponsel naik turun pada deretan tiga nama kontak penting yang berjejer berdekatan di ponselnya. Yaitu kontak papanya, mamanya dan abangnya.

“Atau, gimana kalau kuminta lagi duit yang pernah aku balikin sama Bang Brama biar aku bisa langsung membayar ganti rugi sama si kampret kikir itu? Kira-kira malu enggak ya?” ujarnya saat teringat kembali dengan nominal lima puluh juta yang pernah dikirimkan abangnya tiga minggu lalu, yang katanya buat mengganti ongkos ke Malang karena Arimbi menolak diantar olehnya maupun sang papa, memilih pergi naik kereta tanpa membawa kendaraan satu unit pun.

Dua suara adu argumen berdengung di otak keras kepalanya. Sisi dirinya yang satu menyuruhnya untuk menyerah saja sedangkan sisi lainnya mengingatkan untuk tetap pada pendiriannya yang ingin mencoba hidup mandiri di atas kakinya sendiri, agar tidak ada lagi orang yang hanya memandangnya sebagai tambang emas.

Bukankah ia sudah muak dianggap demikian? Pikirnya.

Sejurus kemudian Arimbi mencampakkan ponselnya sembarang, mendudukkan diri dalam sekejap dan menggelengkan kepala berulang kali.

“Enggak boleh! Kamu kan udah bertekad dengan heroik di depan papa juga semuanya bahwa kamu bisa hidup mandiri biar enggak dimanfaatin orang lagi dan yakin bisa survive tanpa sokongan finansial. Masa baru sebulan udah nyerah? Cemen banget, tengsin tauk! Di mana kemampuan problem solvingmu!” Arimbi menggerutu mengomel tak henti dengan telunjuk mengarah pada dirinya sendiri.

Di saat bibir merahnya sibuk mencerocos menceramahi sisi ingin menyerahnya, ponselnya berdenting nyaring dan berkedip-kedip. Ogah-ogahan Arimbi meraih gawainya yang terlempar cukup jauh, ternyata sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Ini nomor siapa ya?” ucapnya penasaran.

Menggulirkan jemari di layar ponsel, Arimbi lantas membaca isi pesan tersebut. Sebuah ketikan huruf yang sukses membuat tengkuknya berdenyut sakit karena jengkel, padahal baru saja sedikit mereda.

[ Pekerjaan ganti rugimu dimulai hari ini juga sesuai dengan isi perjanjian yang sudah kamu sepakati. Datang ke rumah menjelang waktu makan malam. Tunjukkan tekad tanggung jawabmu. Simpan nomor ini. Pesan ini hanya mengingatkan supaya kamu tidak lupa, bukankah saya ini majikan yang perhatian, pelayanku? ]

“Jancok! Perhatian matamu! Kenapa dia ini berbakat sekali membuatku darah tinggi!” teriak Arimbi murka terbakar emosi, pekikan kencangnya memantul memenuhi seluruh ruangan, amarahnya saat ini mirip teko bising yang airnya sudah mendidih.

Arimbi baru ingat, pada salah satu lembar surat penjanjian ganti rugi ia menuliskan nomor ponselnya dan yang mengiriminya pesan pasti nomor si pemilik mobil yang telah diseruduknya. Dengan amarah membara, Arimbi mengetikkan beberapa huruf saat menamai kontak Gailan. Melampiaskan kedongkolan yang telah bertubi-tubi dilancarkan di pasien resenya.

“Rentenir!” Arimbi mendesis sembari menekan-nekan keyword penuh emosi. “Cuma ini nama yang cocok buatmu!” geramnya luar biasa sebal.

Melemparkan kembali si ponsel tak berdosa yang dijadikan ajang pelampiasan, Arimbi meniup kasar deru napasnya yang tak beraturan. Ia memutuskan untuk mandi saja, kepalanya yang memanas butuh diguyur air supaya kembali mendingin.

Sensasi segar membanjiri Arimbi selepas mengguyur daksa di bawah kucuran air hangat hampir setengah jam lamanya. Kepalanya pun terasa lebih ringan, tak sekaku beberapa saat lalu yang jika disandingkan kekakuannya dapat mengalahkan kanebo kering.

Masih hanya terbalut handuk sepaha, Arimbi berdiri di depan cermin yang bersebelahan dengan lemari. Mendekatkan wajahnya di sana, menilik paras cantik tanpa riasannya. Mengernyit mengamati pantulannya.

“Kayaknya aku mulai butuh anti aging dosis tinggi? Terus-terus jengkel bisa menyebabkan penuaan dini kan?” gumamnya sembari memerhatikan sisi wajah mulusnya di bagian kanan dan kiri yang sama sekali tidak sinkron dengan argumennya, karena wajahnya masihlah kencang glowing paripurna.

“Ck, gara-gara si tetangga rumah seberang bisa-bisa aku beneran mengalami penuaan dini! Pindah ke sini bukannya makin damai malah makin bikin pusing! Kenapa niatku ingin hidup mandiri gini amat sih?” Arimbi lagi-lagi menggerutu. Namun, niatannya mengumpat dihentikan oleh suara gemuruh dari perutnya yang menagih diisi.

“Erghh… akumulasi kejengkelan ini ikut memeras nutrisiku. Duh, laparnya,” ujarnya sembari mengusap-usap perutnya.

Arimbi berganti pakaian dengan cepat. Mengenakan set hodie biru langit bergambar Doraemon. Ia bermaksud mencari penjual makanan berat di sekitaran tempat kost barunya. Tengah bosan dengan circle mie instan plus telur yang menjadi menu andalannya di saat darurat, karena baru jenis makanan itu saja yang mahir dimasaknya.

Gawai mewah di saku treningnya bergetar lagi tepat di saat Arimbi bermaksud memutar gagang pintu. Mengurungkan niat, ia membuka ponselnya, khawatir pesan penting yang masuk.

Namun, lagi-lagi yang getol mengiriminya pesan adalah kontak yang dinamainya ‘Rentenir’.

[ Tiga puluh menit lagi kamu harus sudah datang ke rumah. Jadwal makan malam saya lebih awal. Sebaiknya kamu jangan bepergian, saya menunggu. Juga, kelihatannya baju warna biru kurang sesuai dengan kepribadianmu. ]

“Bawel! Si sinting ini benar-benar menjajah kehidupanku!” jeritnya kesal, tetapi sedetik kemudian Arimbi mengetuk-ngetuk dagunya sendiri. “Eh, tunggu dulu… dari mana dia tahu kalau aku lagi pakai baju warna biru sekarang?” cicitnya penuh tanya, merasa heran.

Denting pesan kembali masuk, masih dikirimkan nomor yang sama.

[ Warna merah lebih cocok buatmu, seperti dalaman yang kamu pakai, Dokter. ]

Bola mata jernih Arimbi membola. Pikiran herannya berganti waspada.

“Hah? Ke-kenapa dia juga bisa tahu celana dalam yang kupakai sekarang warnanya merah?” ujarnya resah. “Jangan-jangan dia ini orang cabul? Jangan-jangan dia masang kamera tersembunyi di sepatuku sewaktu kulepas di rumahnya tadi?”

Arimbi serta merta mengambil sepatunya yang tercecer amburadul di dekat pintu. Mengamati setiap titik si sepatu kets dekil yang belum dicuci itu, bahkan memeriksa alas solnya mencari-cari keanehan yang sayangnya tak kunjung ditemukannya.

Gawainya kembali berdering. Kali ini bukan pesan teks yang masuk, melainkan panggilan telepon dari kontak yang masih sama.

“Dari mana kamu tahu warna celana dalamku! Kamu… kamu pasti sengaja memata-mataiku iya kan? Dasar mesum! Akan kulaporkan balik pada polisi!” sembur Arimbi tak terima tepat satu detik setelah tombol hijau ditekan. Kesal, takut, juga marah bersatu padu menjadi satu bersama kecamuk spekulasi yang tiba-tiba meliar dalam otaknya.

[ “Kamu pikir saya sekurang kerjaan itu sampai-sampai harus memata-mataimu, huh? Sebaiknya lebih berhati-hatilah dan perhatikan sekitarmu. Oh iya, jangan lupa pakai bra saat hendak bepergian ke luar terutama saat datang ke rumah saya nanti. Cuma saran.” ]

“Ka-kamu bilang apa barusan? Kenapa kamu bisa tahu sampai sedetail itu!” Arimbi berseru panik sembari tak menyerah memeriksa sepatunya berulang kali. Ia memang tak memakai bra saat ini lantaran terdesak rasa lapar, sedangkan branya masih berada di dalam koper yang belum dibuka.

[ “Tidak perlu repot-repot mengamati sepatumu sedemikian rupa. Karena tanpa kamera pengintai pun saya dapat melihatmu dengan jelas sekarang. Makanya jangan ceroboh, biasakan menutup gorden jendela balkonmu saat hendak membuka dan mengganti baju. Apalagi lemari bajumu tepat berada di sisi jendela.” ]

Arimbi setengah meloncat menuju jendela balkonnya dengan jantung bertalu tak karuan. Lututnya lemas saat melihat di balkon loteng rumah megah yang posisinya berseberangan dengan kamar kostnya, tampak Gailan sedang berdiri santai memasang senyum menyebalkan dengan gawai menempel di telinga.

“Se-sejak kapan kamu berdiri di situ!” umpat Arimbi sembari menjambak rambutnya yang belum sempat dikeringkan. Memelotot galak yang direspons Gailan dengan gedikan bahu tanpa dosa seraya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.

[ “Sejak kapan berdiri di sini itu murni hak saya karena ini adalah rumah saya. Tapi ngomong-ngomong waktu kerjamu akan dimulai lima belas menit lagi, sebaiknya gegas bersiap.” ]

Sambungan telepon dimatikan. Gailan melambai pada Arimbi sebelum berlalu dari balkon rumahnya sembari menyeringai puas.

“Arghh… sial!”

Bersambung.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Wedding Drama Bab 61-Epilog
10
1
Berisi gabungan bab mulai dari bab 61 sampai ending ditambah dua bab epilog. Selamat membaca kisah manis Zayn dan Althea.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan