Selingkuh Bab 1-4

20
2
Deskripsi

Blurb

Musuh dalam selimut memang nyata adanya. Itulah yang terjadi dalam kehidupan Anaya Hamish. Prahara yang mengguncang rumah tangganya bersama Danu Prasojo ternyata melibatkan andil sahabatnya sendiri. Orang-orang yang paling dipercaya, tega menusuknya dari dalam seumpama duri dalam daging.

Dengan hati tercabik berdarah-darah, Anaya bersumpah akan membalaskan luka hatinya setelah seorang duda kaya raya menawarkan bantuan. Agar orang-orang yang menyakitinya merasakan nestapa yang sama.

Berhasilkah...

Bab 1-4

 

BAB 1. Mobil Bergoyang

 

Di area basement sebuah rumah sakit. Sebuah mobil Toyota Rush warna hitam tampak bergerak aneh. Mobil tersebut mengambil tempat parkir paling ujung lumayan tersembunyi. Sengaja supaya tidak terlalu terekspos, agar kegiatan panas di dalamnya tak terciduk orang lain. 

 

"Aku harus cepat kembali," ucap si pria yang duduk di kursi kemudi. Terengah mengatur deru napasnya yang tak beraturan sembari merapikan kancing kemeja. 

 

"Mas Danu kebiasaan! Kenapa sih selalu harus buru-buru!" Si wanita yang duduk di jok sebelahnya berdecak kesal. Membenahi seragam perawat yang dipakainya, memastikan bajunya rapi seperti semula. 

"Sebenarnya aku juga masih ingin lama-lama sama kamu. Tapi aku harus kembali ke kantor secepatnya. Juga, aku sudah janji mau jemput Anaya pulang hari ini," jelas Danu yang kemudian memeriksa tampilannya melalui kaca spion dalam. Menyeka peluh yang berembun di dahi.


"Anaya terus yang diurusi. Tapi kehangatan minta padaku!" seru si wanita yang kini mencebik marah. 

 

"Hey, Sayang. Bukankah sebelum Anaya aku selalu selalu menjadikanmu nomor satu, apa itu nggak cukup?" bujuk Danu sembari membelai mesra pipi si wanita yang cemberut itu. 

 

"Tapi tetap saja statusku cuma yang kedua. Mana janji Mas yang pernah bilang akan menjadikanku satu-satunya? Aku juga ingin diakui, bukan terus disembunyikan!" rajuknya, mulai menangis cengeng. 

 

Danu segera memeluk si wanita yang sedang terisak marah. Menghibur dengan perlakuan lembut.

 

"Kalau sampai Anaya tahu sekarang dan meminta berpisah dariku, maka kesempatanku menguasai lahan kebun teh peninggalan orang tuanya akan hilang. Semua yang kulakukan demi masa depan kita dan kamu juga tahu akan hal itu."

 

"Tapi aku sudah nggak tahan lagi berlama-lama kayak gini, Mas!" rengekannya berubah menjadi isakan. 

 

"Bersabarlah sebentar lagi. Saat aku sudah mendapatkan warisan Anaya dalam genggaman. Saat itu juga aku akan menjadikanmu satu-satunya."

 

Sementara itu, seseorang yang namanya menjadi topik perdebatan si pasangan gelap, sedang sibuk mengayomi anak-anak usia taman kanak-kanak.
 

Anak-anak riuh bernyanyi dibimbing ibu guru berkacamata yang hari ini memakai baju terusan di bawah lutut berwarna biru muda. Atmosfer TK Kutilang setiap hari selalu penuh energi. Hangat dan ceria, berkat Anaya yang mengajar penuh dedikasi.

 

Anaya menyukai anak-anak, terlebih lagi pernikahannya dengan Danu hingga menginjak tahun ketiga masih belum dikaruniai momongan. 

 

"Anak-anak, angkat tangannya ke atas dan ulangi lagu barusan. Kita latihan sekali lagi buat jalan-jalan ke perkebunan jeruk akhir pekan nanti. Kalian bisa memetik jeruk sendiri di sana, lho. Mau?" 
 

"Mau, Bu Guru ...."

 

Semuanya menjawab serempak penuh semangat. Anak-anak bernyanyi riang gembira, mengikuti arahan Anaya yang kembali bersenandung sembari melambaikan kedua lengan yang diangkat ke atas. 

 

Naik-naik ke puncak gunung

 

Tinggi-tinggi sekali

 

Kiri kanan, kulihat saja

 

Banyak pohon cemara

 

Kiri kanan, kulihat saja

 

Banyak pohon cemara

 

Mengajar selalu menjadi passion Anaya sejak dulu. Walaupun kini pekerjaan Danu sudah memiliki posisi lumayan di sebuah perusahaan air mineral terbesar di tanah air, tidak serta merta membuat Anaya berpangku tangan. 

 

Lagi pula berdiam diri di rumah bukanlah pilihan yang baik, hanya menambah beban pikiran akan keturunan yang kerap dipertanyakan ibu mertuanya. 

 

"Bu Ana, kami sudah hafal lagunya." Semua anak berseru ceria seraya berjingkrak antusias. 

 

"Hebat."

 

Anaya memuji sambil mengacungkan kedua jempolnya di udara, membuat murid-muridnya tersipu sekaligus senang.

 

"Bu Ana, sudah boleh makan bekal kita belum?" pinta mereka semua, menatap Anaya dengan mata polos menggemaskan. Menanti jawaban 'ya' penuh permohonan. 

 

Anaya tersenyum lebar. "Tentu saja anak-anak pintar. Kalian boleh makan bekalnya masing-masing sekarang." 

 

"Horeeee …." 

 

Anak-anak mengambil tas mereka dan membuka kotak bekal masing-masing. Ada yang saling bertukar bekal, ada juga yang saling menyuapi. Duduk berkelompok, bersantap dibumbui celotehan lucu khas anak-anak. 

 

Kecuali satu orang anak perempuan cantik yang dikuncir dua berponi. Aretha namanya. Dia duduk sendiri. Tampak murung sambil memandangi bekalnya, menunduk dalam-dalam tanpa menyentuhnya. 

 

Anaya bergegas mendekati. Berjongkok di dekat Aretha dan menyapa. 

 

"Ada apa, Retha? Kenapa tidak dimakan?" tanya Anaya lembut. 

 

"Retha kangen, Papa," jawab si gadis kecil tak bersemangat. 

 

"Papanya pasti ke luar negeri lagi, ya?"

 

Bocah itu mengangguk, menekuk mukanya cemberut. 

 

"Katanya papa mau pulang kemarin, tapi bohong!" Aretha merajuk, tertunduk sedih.

 

Sapaan suara maskulin menggema, berasal dari ambang pintu. Gadis kecil itu mengangkat pandangan dan seketika senyumnya melebar tatkala melihat sosok yang memanggil namanya. 

 

"Aretha."

 

"Papa ...." 

 

Bocah itu berlari diikuti Anaya di belakangnya, mengangkat kedua tangan ke udara meminta digendong. Permohonannya langsung terkabul, tubuh mungilnya melayang dan ia memekik senang.

 

"Apa kabarnya, Pak Gading?" Anaya menyapa ramah. 

 

Gading Mahardika adalah ayah Aretha. Presiden direktur dari salah satu perusahaan air mineral terbesar di Nusantara, Pure Water Tbk. Perusahaan tempat di mana Danu suami Anaya bekerja. 
 

"Kabar saya baik, Bu Ana. Maaf, bolehkah saya menjemput Aretha lebih awal?" pinta Gading sopan masih dalam balutan baju resmi. Setelan mahal hasil rancangan rumah mode Armani melekat pas di tubuhnya. 

 

"Begini, Pak. Mohon maaf sebelumnya. Durasi jam belajar masih tersisa sekitar satu jam lagi dan peraturan di taman kanak-kanak ini tidak diperkenankan untuk membawa anak pulang lebih awal, kecuali dengan alasan sakit. Kami di sini bertekad menerapkan dan menanamkan disiplin waktu sejak dini. Demi kebaikan anak-anak di masa kini juga mendatang." 

 

Walaupun sejujurnya tak enak hati, Anaya menjelaskan apa yang seharusnya dikatakan. Peraturan dibuat untuk dipatuhi, agar efek positifnya benar-benar membuahkan hasil, baik sekarang maupun di masa depan. 

 

Gading mengangguk-angguk. Dia tersenyum maklum dan memahami. Dibuat kagum dengan Anaya yang sangat berdedikasi menjalankan profesinya. Tidak pandang bulu menyampaikan peraturan sekolah padanya, lantaran kebanyakan orang mudah mengiyakan apa pun perkataannya mengingat siapa dirinya. Menghamba ingin menjilat. 

 

"Baiklah kalau begitu, saya akan menunggu sampai jam belajar selesai. Tapi, bolehkah saya menunggu di luar kelas saja? Di tempat tunggu orang tua hampir semuanya mama-mama wali murid yang berkumpul. Saya agak risih," ungkap Gading terus terang, mengusap tengkuknya sungkan. 

 

Gading kerap merasa tak nyaman menjadi sorotan setiap kali memiliki waktu senggang menjemput Aretha. Para ibu-ibu yang kebanyakan mama-mama muda itu tak sungkan memandanginya lekat-lekat. Tanpa malu-malu mengajak berkenalan, bahkan ada beberapa yang sok akrab meminta selfie.

 

Daksa tinggi tegap, ketampanan edisi terbatas, ditunjang segala kemewahan yang melekat pada diri Gading memang ibarat magnet. Selalu menarik perhatian lawan jenis tanpa ampun tak terkecuali para ibu-ibu. Sukses membuat kaum hawa terpesona hingga mendamba meskipun statusnya seorang ayah beranak satu. 
 

"Tentu saja boleh, Pak. Silakan menunggu di bangku yang tersedia di dekat pintu kelas." Anaya menjawab seraya mengulum senyum. Sudah khatam bagaimana kehebohan mama-mama muda jika Gading datang ke sekolah. Siapa yang tidak tergugah, tampilan paripurna Gading bak para model di majalah fashion. 

 

"Terima kasih." Gading beranjak keluar setelah kembali mendudukkan anaknya. Duduk di kursi kayu dekat ambang pintu sambil diam-diam memperhatikan Anaya yang begitu sabar mengajari serta menghadapi rengekan anak-anak terutama kerewelan Aretha.

 

"Haruskah aku mencari Ibu untuk Aretha?" gumamnya dengan sorot mata yang tak lepas dari sosok Anaya.

 

Bersambung.

💘💘💘💘💘

Bab 2. Terlambat

"Bu Ana, mau sekalian saya antar pulang?" tawar Gading sopan saat mobilnya keluar dari area parkir TK Kutilang.

Menurunkan kaca jendela, Gading meminta sopirnya berhenti tatkala melihat Anaya berdiri sendirian di pinggir jalan depan gerbang sekolah. 

"Tidak usah, Pak. Saya sedang menunggu jemputan. Silakan duluan saja," tolak Anaya halus.

Ia tahu Gading tulus menawarkan tumpangan, tetapi Anaya tidak ingin serta merta memanfaatkan keadaan walaupun jujur saja ia mulai resah. Mendung pekat bergelayut di langit, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. 

"Yang menjemput masih lama, Bu? Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun." 

Gading berkata sambil mengamati angkasa. Awan abu-abu gelap nyaris hitam bergerombol memadati hamparan langit. Memamerkan kengerian ditambah gelegar petir mulai terdengar bersahutan. Menyambar memekakkan telinga. 

"Sudah dalam perjalanan kok, Pak. Silakan pulang saja, sepertinya Aretha juga sudah mengantuk."

Kalimat Anaya mengalihkan perhatian Gading pada putrinya yang terkantuk-kantuk, duduk di jok sebelahnya.

Kembali memusatkan atensi pada Anaya, Gading berkata, "Semoga hujan tidak turun sampai jemputan Anda datang."

"Semoga. Tapi mendung tidak selalu berarti hujan, bukan?" Anaya mencoba berkelakar dan hal itu berhasil membuat Gading tertawa kecil. 

"Kalau begitu saya duluan, Bu Ana," pamit Gading disusul kaca mobil yang dinaikkan hingga tertutup sempurna. 

Sedan mewah yang ditumpangi Gading melaju pergi meninggalkan tempat Anaya berdiri, diantar rintik gerimis yang mulai turun membasahi Bumi. 

"Mas Danu ke mana sih? Katanya mau jemput sebelum jam kerjaku selesai. Tapi sampai sekarang masih belum muncul!" 

Anaya menggerutu sambil mencari tempat berteduh, memburu bangku halte di seberang sekolah. Bisa saja ia menunggu di area dalam bangunan TK Kutilang, hanya saja semua guru sudah pulang menyisakan gedung dalam kondisi sepi, yang tinggal hanya dua orang security pria dan itu membuat Anaya risih. 

Angka kejahatan makin hari bertambah tinggi. Walaupun sudah cukup mengenal baik sosok dua orang satpam di tempatnya mengajar selama dua tahun terakhir ini, tetapi kewaspadaan jangan sampai dilonggarkan. Sebab kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat pelaku, tetapi juga karena adanya kesempatan. 

Angin berembus cukup kencang, membawa buliran air menerpa wajah dan pakaiannya. Anaya merogoh ponsel mencoba menghubungi Danu karena suaminya itu tak kunjung tiba. Mendesah kesal, Anaya duduk sambil memeluk dirinya sendiri. Ponsel Danu mati tak bisa dihubungi. 

Anaya bisa saja bergegas pulang sendiri daripada memendam kesal menunggu suaminya yang tak menginformasikan kepastian kapan tiba. Akan tetapi, momen ini sudah ditunggu satu bulan lamanya. Sudah lama sekali mereka tidak memiliki quality time bersama. Terutama di satu tahun terakhir. 

Tadi pagi, Danu sudah setuju mengantarnya berbelanja ke swalayan sepulang bekerja. Anaya begitu bersemangat, ingin berbelanja layaknya pasangan lain, memilah dan berkeliling mendorong troli bersama di dalam swalayan sambil berdiskusi ringan seputar rumah tangga. 

Anaya sering iri belakangan ini setiap kali berbelanja di swalayan. Ia sering sebal sendiri menyaksikan banyak pasangan bercengkerama sambil berbelanja. Tampak begitu menyenangkan menguarkan kehangatan

Jabatan Danu naik menjadi manajer pemasaran, berbanding lurus dengan kesibukan yang kian bertambah. Anaya mengapresiasi prestasi suaminya, hanya saja semua itu berimbas pada waktu kebersamaan mereka yang semakin menipis. 

Danu jadi lebih sering bepergian ke luar kota dalam rangka urusan pekerjaan. Akhir pekan pun, jarang ada di rumah.

Satu jam berlalu, yang ditunggu-tunggu akhirnya sampai. Anaya hampir menggigil begitu Danu tiba. Ia bergegas masuk ke dalam mobil Toyota Rush hitam yang berhenti tepat di depannya. 

"Nay, maaf telat. Tadi jalanan macet," ucap Danu beralasan sambil menyodorkan sekotak tisu pada Anaya yang wujudnya sudah mirip kerupuk disiram air. 

"Macet di mana? Terus kenapa handphone Mas nggak aktif? Aku nelepon berkali-kali tahu!" cecar Anaya kesal sambil mencabut beberapa lembar tisu. Menyusut air yang membasahi wajah juga rambutnya. Bersungut-sungut sambil mengeringkan bagian betis yang sudah sedingin es. 

"Ehm, sepertinya ponselku kehabisan daya," sahutnya berkelit. Danu buru-buru menyambar ponsel di dashboard dekat kemudi dan memeriksanya dengan cepat. Dia lupa menyalakannya lagi setelah pertemuan tersembunyinya dengan seseorang tadi. 

Anaya hendak membuang tisu ke dalam tong sampah, berada di belakang jok yang didudukinya. Saat melongokkan kepala ke belakang dan menggapaikan tangan, Anaya mengerutkan kening. 

Di karpet jok belakang berceceran beberapa gunduk tisu bekas. Anaya berinisiatif memunguti tisu yang yang berserak agar tidak merusak pemandangan. Namun, gerakan tangannya terhenti ketika bermaksud mencampakkan tisu yang dipungutnya ke dalam tong sampah. 

"Mas, ini bekas apa, sih?" Anaya menujukkan tisu bekas di tangannya yang terasa lengket. 

Danu membeliak. Menelan ludah susah payah diserbu kepanikan. Dia lupa merapikan tisu bekas yang menjadi saksi bisu temu kangen rahasianya tadi. Saking terburu-buru, jejak pertemuan gelapnya kurang rapi disembunyikan. 

"I-itu tadi. Anu, tadi aku pilek. Lupa malah buang tisu bekasnya sembarangan." Danu mencoba mencari alasan dan berharap Anaya percaya.

Bola mata Danu berlarian gelisah. Ia berpura-pura bersin dan menggosok hidungnya hingga memerah. Berakting selayaknya orang flu demi menyembunyikan bangkai yang disembunyikannya. 

"Hih, jorok!" 

Anaya melempar benda yang dipungutnya ke dalam tong sampah. Secepat kilat mengambil tisu basah antiseptik dari dalam tas guna membersihkan tangannya sampai beberapa kali. 

"Maaf, Sayang. Lagian masa suami sakit malah dimarahi?" Danu berpura-pura berdecak kecewa. 

"Maaf," Anaya meringis, merasa bersalah. "Ya sudah, kita cepat pulang, yuk. Nanti aku buatkan wedang rempah biar pileknya mereda. Tapi, bukannya tadi pagi Mas baik-baik saja?" 

Anaya menelengkan kepala. Mengamati raut suaminya penuh tanya bercampur kecemasan. 

"Ya mana ku tahu. Tiba-tiba begini. Mungkin efek pendingin yang terpasang di kantor suhunya terlalu rendah," jawabnya ketus. Danu kembali berkilah sementara degup jantungnya berlarian tak menentu.

"Ada apa denganku?" Anaya menepuk jidatnya sendiri merasa dirinya kurang perhatian. Suami sakit malah diberondong pertanyaan, bukannya diobati.  

"Ayo, Mas. Langsung pulang saja. Belanja bisa besok. Aku takut pilekmu makin parah kalau terkena AC swalayan yang dinginnya bukan kepalang." Anaya menarik sabuk pengaman dan memasangkannya melintang di bagian depan tubuhnya. 

"Maaf, ya. Aku janji lain kali kita akan ke swalayan bersama." 

Dengan entengnya Danu berjanji semanis madu ke sana kemari. Danu sebetulnya menginginkan Anaya tetap berada di sisinya, tetapi juga tidak mampu melepas yang satunya lagi. Sungguh serakah. 

Bersambung.

💘💘💘💘💘

BAB 3. Pesan Tengah Malam

Tiba di rumah, Anaya berinisiatif mandi lebih dulu dengan tak lupa memasak air panas untuk Danu sebelumnya. 

Ia memilih membasuh diri menggunakan air dingin walaupun tubuhnya menggigil supaya tidak membuang waktu. Pemanas air di kamar mandinya rusak minggu lalu dan sedang diperbaiki. Sedangkan untuk Danu, Anaya memanaskan sepanci air yang terbubuh perhatian juga cinta di dalamnya. Tidak ingin sakit flu suaminya kian memburuk.

Sembari menahan dingin yang menusuk, Anaya menyiram tubuh tak memedulikan sensasi merinding menggigit kulit. Sebetulnya bisa saja Anaya membeli yang baru. Dua bulan gajinya sebagai guru cukup untuk membelinya. Akan tetapi, ia lebih memilih diservis saja karena berhemat lebih utama. Anaya yang sudah hidup sendiri sejak kuliah sangat kritis terhadap pengeluaran. 

Dalam waktu lima belas menit Anaya menyudahi kegiatan membersihkan diri. Berganti pakaian secepatnya dengan daster ruffle rumahan dan menghampiri Danu yang tengah menonton siaran berita sore di televisi. 

"Mas, mandi dulu. Airnya sudah panas," ucap Anaya sambil menepuk lembut pundak Danu. 

"Ah iya, Nay. Makasih."

Danu bergegas ke kamar mandi setelah Anaya menuangkan sepanci air panas ke dalam ember besar. Tubuhnya memang butuh disegarkan guna membersihkan jejak lain yang menempeli kulit. 

"Bajunya taruh di keranjang saja, Mas. Jangan dimasukin ke mesin cuci.” Anaya menunjuk keranjang baju kotor yang terbuat dari anyaman mirip tikar. “Besok aku cuci kucek pakai tangan. Di mesin cuci, aku lagi rendam bajuku yang kecipratan air hujan. Mau langsung kucuci nanti, biar nggak apek." Anaya berkata sembari menyerahkan handuk bersih pada Danu. 

"Aku rendam langsung di mesin cuci saja, Nay. Biar sekalian, jadi kamu nggak capek dua kali," balas Danu terdengar perhatian sembari menerima handuk yang disodorkan Anaya. 

Kalimat perhatiannya hanya pengalihan, Danu tengah mengatur strategi supaya jejak rahasia yang mungkin menodai pakaiannya tak diketahui. Jika dicuci manual, khawatir Anaya curiga. 

“Beneran nggak apa-apa? Bukannya Mas bilang dikucek tangan lebih bersih?” Anaya agak terheran-heran, biasanya Danu paling anti setelan kerjanya dicuci menggunakan mesin. 

“Sesekali nggak masalah. Aku cuma nggak mau kamu kelelahan, cuma aku yang boleh bikin kamu capek dan itu khusus di jam sebelum tidur.” Danu berkilah, alisnya terangkat naik penuh arti.

Semburat merah merebak di pipi Anaya. Kalimat Danu yang penuh perhatian dan sedikit menjurus pada kemesraan membuatnya merona. 

"Baiklah, bajunya langsung masukin aja ya, Mas. Jangan lupa detergennya ditambah satu sendok takar." 

"Oke, Istriku," sahut Danu cepat. 

Dengan muka berseri, Anaya langsung menuju dapur. Penat yang mendera raga menguap lenyap, tersingkir perhatian manis Danu untuknya. 

Membuka kulkas satu pintu yang isinya sudah mulai melompong. Anaya memutuskan memasak soto ayam, menyesuaikan dengan bahan masakan yang masih ada. 

Citarasa lezat berpadu kuah hangat dan segar, sangat cocok disantap kala hari hujan nan dingin seperti sekarang. Kota Malang tempat tinggalnya ini memang identik dengan hawa sejuk terlebih lagi di saat hujan, menciptakan kesan damai juga romantis yang begitu kental terasa. 

Selain sedap di lidah dan hangat di lambung, olahan soto juga dipercaya mampu membantu penyembuhan flu menjadi lebih cepat. Berbagai macam rempah-rempah yang digunakan memiliki efek menyembuhkan, menjadikan soto makanan sehat kaya manfaat. 

Anaya juga menyiapkan bahan-bahan wedang rempah yang berkhasiat menghangatkan badan. Direbus dalam satu wadah yang terbuat dari tanah liat. Aroma sedap wedang rempah membaur di udara. Merelaksasi, memanjakan penciuman. 

Dengan cekatan dan penuh semangat, Anaya memasak soto juga memeriksa rebusan wedang sesekali. Memastikan airnya menyusut hingga didapat takaran yang diinginkan. 

Dua mangkuk soto ayam yang masih mengepul tersaji. Dilengkapi jeruk limau juga sambal yang ditata di wadah kecil. Di samping mangkuk tersedia dua piring nasi putih hangat serta kerupuk udang. Tak lupa dua gelas wedang rempah meramaikan meja makan mungil yang terletak menyatu dengan ruang tengah. 

"Mas, ayo makan dulu. Abis itu minum wedangnya. Nanti malam sebelum tidur baru minum obat." 

Sarat perhatian tulus, Anaya menarik lengan suaminya. Danu muncul memasuki area ruang tengah selepas berganti pakaian. Tampak segar walaupun tetap berakting bak orang sakit. Menggosok hidung dan berpura-pura terbatuk. Sungguh aktor berbakat. 

"Masak apa?" Danu menarik kursi dan mendaratkan bokong di sana. 

"Soto ayam, menu kesukaan Mas. Untung saja bahan-bahannya masih ada di kulkas. Aku bikinnya spesial penuh cinta," cicit Anaya riang sambil mengulas senyum. 

Anaya tampak begitu puas dan senang walaupun raganya juga lelah selepas mengajar. Yang diinginkannya adalah selalu menjadi istri berbakti untuk pria yang telah menawan hatinya. Mengikat sumpah suci dengannya. 

Danu menggaruk-garuk kepalanya tak gatal. Tadi siang dia sudah menyantap menu soto ayam juga bersama si wanita idaman lain sebelum mereka berpisah. 

"Ayo dimakan, Mas. Mumpung masih hangat." 

Anaya menyodorkan mangkuk juga piring ke hadapan Danu. Bahkan menggenggamkan sendok supaya suaminya itu segera mengisi perut. Hatinya takkan tenang jika belum melihat dengan mata kepala sendiri Danu makan di depannya. 

Tak ingin mengundang tanya, Danu menyuap sesendok soto ke dalam mulut. Mengunyah dan menelannya bulat-bulat dengan terpaksa. 

****

Gelap merayapi langit seutuhnya. Hujan masih setia membasahi tak kunjung berhenti hingga larut malam. Anaya naik ke kasur setelah memastikan Danu meminum obat flu juga beberapa butir vitamin. Diantaranya ada vitamin C juga Vitamin D, yang diyakini mampu menjadi zat penunjang guna mempercepat proses penyembuhan berbagai macam flu. 

"Nay?" panggil Danu setelah lampu utama kamar dimatikan. 

"Iya, Mas," sahut Anaya yang sedang membenahi selimut supaya membungkus sempurna tubuh mereka. "Ada apa?" 

"Perihal cicilan rumah, kayaknya aku nggak bisa bayar buat bulan ini. Pakai gajimu lagi untuk membayar gimana?" pintanya lugas, tak merasa bersalah. 

Anaya menoleh pada Danu, tertegun untuk sejenak. Mengamati raut muka Danu yang memelas dan tentu saja Anaya yak tega.

“Boleh saja, Mas. Rumah tangga kan milik kita berdua, uangku juga uangmu begitu pun sebaliknya. Jangan khawatir, bulan ini biar aku lagi yang bayar. Tapi, memangnya ada apa sampai gaji Mas yang menurutku lumayan besar nggak bersisa sama sekali?" 

Danu membuang napas kebingungan. Membasahi bibir, otaknya merangkai skenario akal bulus sebelum menjawab.

"Seperti biasa, Nay. Ibu minta ditransfer, biaya untuk berobat ke dokter dan tempat terapi. Kejepit urat yang diderita ibu sedang kambuh. Terus, aku juga harus membayar cicilan mobil beserta pajaknya yang bertepatan dengan bulan sekarang. Kuharap kamu mengerti."

Anaya mengangguk tipis. Ibu mertuanya memang rutin meminta jatah pada Danu setiap bulannya, bahkan tak jarang gajinya ikut direcoki. Namun, tidak mungkin Anaya melarang Danu berbakti kepada ibunya. Tidak ingin Danu menjadi anak durhaka sehingga ia memilih bungkam enggan menyuarakan pendapat. 

"Aku ngerti kok, Mas. Besok aku bayarin cicilan rumah begitu gajiku masuk ke rekening. Sekarang sebaiknya Mas tidur dan istirahat, supaya lekas pulih."

"Makasih, Nay. Kamu memang istri yang super pengertian." Semringah, Danu mengecup kening Anaya sebelum istrinya itu merebahkan diri. “Yuk, tidur,” ajaknya manis.

Berselimut hujan di luar sana berpadu perut terisi penuh, membuat Anaya tak butuh waktu lama untuk tertidur nyenyak. Menyisakan Danu yang kini malah mengotak-atik ponsel, bukannya memejamkan mata. 

Sebuah pesan masuk membuat Danu gelisah. Ia terus melirik resah ke arah layar juga Anaya yang tertidur di sebelahnya. Tulisan pesan rengekan terselubung ancaman. Siapa lagi kalau bukan dari wanita yang tadi siang berbagi peluh dengannya. 

Mas Danu harus cepat datang sekarang! Atau aku yang akan datang kesitu. Perutku keram gara-gara tadi siang!

Bersambung.

💘💘💘💘💘

BAB 4. Bersilat Lidah

Danu melirik resah pada Anaya yang sudah terlelap, terbungkus selimut bersama guling dalam pelukan. Untuk ukuran cantik dan seksi, istrinya ini levelnya memang jauh berada di belakang dibandingkan dengan wanita yang kini sedang merengek memintanya datang. Pada dasarnya paras Anaya cukup menarik, hanya kurang memoles pesona fisiknya ditambah sekarang kurang terawat. 

Walaupun memiliki wanita lain yang pesona ragawinya membuat mabuk kepayang, Danu tetap menginginkan Anaya guna memenuhi kebutuhan egonya. Anaya yang naif, sederhana, tidak banyak protes dan selalu patuh pada titahnya membuatnya merasa jadi raja.

Danu memang brengsek. Ingin keduanya tetap dalam genggaman. Terlebih lagi perkebunan teh peninggalan almarhum orang tua Anaya menjadi daya tarik sendiri untuk tetap menahan si naif dalam kungkungan keserakahannya. 

Tentang janji meninggalkan Anaya pada wanita keduanya tentu saja bukan kalimat serius. Anaya itu istri yang membawa hoki.

Mantan manajernya yang bernama Bu Ririn, saat terbaring sakit hanya bisa menelan kue lumpur buatan Anaya ketika dia dan Anaya datang menjenguk ke rumah sakit dua tahun lalu. Bahkan setelahnya meminta dibuatkan beberapa kali dengan membayar sejumlah uang, karena hanya kue buatan Anaya yang ingin disantapnya. 

Anaya yang memang berhati baik, dengan sukarela membuatkan sampai Bu Ririn sembuh tanpa bersedia dibayar. Sejak saat itulah, sosok Danu lebih diperhatikan. Dari yang awalnya staf biasa, jabatannya naik menjadi wakil manajer berkat rekomendasi Bu Ririn. 

Mengandalkan kemampuan dan dedikasi penuh saja agak sulit untuk ternotice, tetapi berkat Anaya, Danu kerap menjadi kandidat yang diperhitungkan setiap kali ada wacana naik jabatan. 

Danu tersentak dari lamunannya. Ponselnya berdering karena panggilan telepon, bukan pesan lagi. Buru-buru digesernya tombol merah di layar agar deringnya berhenti. Takut membuat Anaya terbangun. 

Danu mengendap-endap, membuka pintu dan keluar dari kamar secepat mungkin. Menuju teras samping, Danu segera mengangkat panggilan yang kembali masuk.

“Mas, pokoknya kamu harus cepat datang. Jangan cuma mau enaknya saja. Perutku sakit! Ini pasti gara-gara ulahmu di tempat parkir tadi siang!”

Suara wanita yang menuntut di seberang telepon terdengar marah sekaligus memelas. 

“Ini sudah malam. Aku nggak bisa seenaknya keluar dari rumah, Sayang. Gimana kalau Anaya curiga karena aku mendadak pergi di larut malam? Nanti kita juga yang repot kalau sampai ketahuan.” 

“Mas Danu tega! Aku juga butuh diperhatikan dan ditemani di malam hari, bukan cuma Anaya! Aku hidup sendiri di kota ini, aku butuh kamu sekarang! Aku ingin minum obat dan perutku juga lapar," selorohnya merengek melengking. 

"Kamu itu kan perawat, masa nggak punya stok obat sedikit pun?"

"Aku ini memang perawat, tapi bukan apotek!" serunya kesal

Wanita itu mulai menangis, meracau menuntut Danu untuk datang. Danu mengusap wajahnya kasar. Dibuat pusing akibat ulahnya sendiri. Memutar otak supaya bisa mencari jalan keluar. 

“Sayang, dengar. Aku pesankan obat pakai gojek, sama kupesankan makanan delivery. Sebutkan saja merek obatnya juga makanan apa yang kamu mau.” Danu berucap lembut. Mencoba bernegosiasi, berharap wanita yang merengek itu luluh. 

Bagaimanapun juga, Danu tidak ingin kehilangan si wanita idaman lain, karena sampai saat ini Anaya tak bisa memberikan hal yang diberikan wanita itu. Terutama perbedaan ketika di ranjang, wanita yang disembunyikannya bin*l dan seksi. Bukan seperti Anaya yang kalem di ranjang, pasif malu-malu cenderung membosankan. 

“Nggak mau! Kalau Mas Danu nggak bisa ke sini, aku bakal benar-benar datang ke rumah kalian sekarang juga dan bilang sama Anaya tentang fakta sebenarnya terkait hubungan kita!” 

Si wanita di seberang telepon berseru berang melontarkan ancaman. Tak mempan dibujuk. 

“Kalau sudah nggak betah tinggal di apartemen dan siap ke mana-mana naik ojek, silakan datang ke sini sekarang juga. Bongkar saja semuanya dan itu artinya aku nggak perlu lagi repot-repot keluar uang buat bayar cicilan tempat tinggal impianmu juga mobilmu. Jatah bulananmu juga bakal terancam punah kalau sampai Anaya mengetahui hubungan kita sekarang. Asal kamu tahu, bahkan Anaya nggak kukasih uang belanja bulan ini dan semuanya demi kamu!” geram Danu mulai terpancing emosi. 

Ancaman dibalas ancaman. Si wanita di telepon terdiam. Tangisnya mulai mereda dan kini suaranya yang tadi berapi-api berubah melunak dan manja kendati masih terbungkus nada kesal. 

“Jangan, Mas! Maafin aku, ya. Aku cuma merasa kesepian apalagi di saat sakit begini, pinginnya ditemani sambil dipeluk kamu. Maaf, aku terbawa suasana.”

“Besok, aku janji akan datang ke apartemen pagi-pagi. Kita sarapan bersama. Jangan nangis lagi ya.” Danu membuang napas lega, urat-urat sarafnya yang tadi menegang sedikit mengendur. Menjinakkan wanita kesal memang butuh tenaga ekstra. 

“Tapi obat sama makanannya tetap jadi diantar pakai gojek kan?” tanyanya memastikan, manja mendayu. 

“Iya, Sayang. Kamu bilang saja mau obat apa dan makanan apa. Aku pesankan sekarang.”

Sempoyongan, dengan mata terkantuk-kantuk Anaya keluar dari kamar. Kantung kemihnya penuh lebih cepat, keinginan buang air kecil membangunkannya dari lelap. 

Rumah mereka memiliki satu kamar mandi saja yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Tidak tersedia kamar mandi di dalam kamar. Cuaca dingin menusuk membuatnya beser, mungkin juga efek dari segelas kopi susu saset yang tadi diminumnya sambil menunggu mesin cuci selesai menggiling pakaian. 

Selesai dari kamar mandi Anaya tertegun sejenak. Mengucek matanya memastikan penglihatan ke arah pintu depan yang sedikit terbuka. Bukan hanya itu, ia juga mendengar suara Danu yang bercakap-cakap di luar walaupun samar. 

Kaki telanjang Anaya berayun. Saat Anaya hampir mencapai gagang pintu, bertepatan dengan Danu yang kembali masuk. 

Danu terlonjak kaget. Menelan ludahnya susah payah. 

“Nay?” ujar Danu kering. Berusaha menyembunyikan kepanikan sambil memutar otak guna mencari alasan. 

“Mas, ngapain di luar? Tadi kayak ngobrol? Sama siapa?” cecar Anaya seraya menutup mulut yang menguap lebar. 

“Ah, Anu. Itu tadi satpam komplek yang lagi ronda malam ngetuk pintu, nanyain termos air panas karena kita lupa naro di depan, yang biasa buat seduh kopi. Malam ini giliran rumah kita yang menyiapkan bukan?” Danu merasa dirinya jenius sekarang. Bisa menemukan alasan tepat untuk berkelit karena perihal termos itu benar adanya. 

“Ya ampun. Aku lupa!” Anaya menepuk jidat. “Sebentar kusiapkan.” 

Anaya hendak berbalik menuju dapur, tetapi terhenti saat Danu menahan lengannya. 

“Nggak usah, Nay. Tadi satpamnya minta air panas dua gelas saja dari dispenser buat seduh kopi. Lebih baik sekarang kita lanjut tidur. Aku masih ngantuk berat,” ajak Danu yang berpura-pura menguap. 

“Ya sudah kita balik ke kamar. Nanti pilek Mas makin parah, apalagi di luar cuaca dingin banget.”

“Iya, kamu duluan gih. Aku mau kunci pintu dulu.” 

Anaya mengangguk patuh, tanpa menaruh curiga kembali ke kamar dan naik ke peraduan. 

*****

“Tumben pagi banget siap-siapnya?” 

Anaya yang sedang menyiapkan sarapan memindai keheranan. Sepagi ini Danu sudah rapi dan wangi. Padahal, pengingat waktu di dinding masih menunjukkan pukul enam pagi sedangkan jam kerja dimulai pukul delapan. 

Subuh-subuh Anaya pergi ke pasar tradisional terdekat untuk berbelanja demi menyiapkan sarapan penuh gizi mengingat hari kemarin suaminya tidak enak badan. Di meja tersaji telur dadar ala Padang, perkedel kentang kornet, fillet ayam bumbu teriyaki, juga capcay yang tampak lezat menggugah selera. 

“Aku harus ke kantor lebih awal. Hari ini masih ada kerjaan ke lapangan. Aku dan rekanku diminta datang lebih pagi untuk mendampingi bos meninjau sumber air baru.” 

Apapun yang terucap dari mulut Danu tak pernah menimbulkan kecurigaan di benak Anaya. Yang ada malahan rasa bangga. Bahagia memiliki suami seperti Danu yang kini semakin giat bekerja mencari nafkah. 

“Gimana pileknya? Sudah baikan?” cicitnya khawatir 

“Sudah. Tapi maaf, Nay. Kayaknya aku nggak bakal keburu sarapan. Takut yang lain sudah nunggu.” 

Danu mengambil sepatu. Tentu saja bukan bermaksud ke kantor sepagi ini, melainkan hendak pergi memenuhi janjinya semalam pada seseorang. 

“Dibungkus saja gimana, Mas. Sempatkan sarapan sesampainya di kantor. Walaupun sibuk harus tetap mengisi perut. Harus jaga kesehatan,” tawar Anaya mengusulkan penuh perhatian. 

Danu tampak berpikir dan sejurus kemudian mengangguk. Harus Danu akui, masakan Anaya memang lebih lezat dibandingkan buatan orang lain, bahkan si wanita yang akan dikunjunginya sekarang pun sangat menyukai masakan Anaya. 

“Ide bagus, Nay. Bungkusnya lebihin. Teman-temanku pada suka masakanmu. Pasti mereka minta nyicip,” pintanya tak punya hati yang langsung diiyakan antusias oleh Anaya. 

Pintu depan diketuk di saat Anaya tengah sibuk memasukkan hasil masakannya ke dalam wadah merek terkenal yang menurut Anaya harganya terbilang mahal. Klaim produk tersebut salah satunya adalah food grade yang menempati pamor paling atas. Dipercaya lebih sehat, ramah lingkungan serta lebih aman digunakan dibandingkan jenis lainnya.

Merek perabot tersebut menjadi dambaan juga idola kaum hawa terutama yang sudah menikah, ingin memilikinya tak terkecuali Anaya. Rela mengikuti arisan para guru di tempatnya mengajar demi mendapatkan satu set perabot tersebut, supaya bisa membungkus bekal untuk suaminya menggunakan wadah terbaik. 

Danu membuka pintu sedangkan Anaya kini menuang teh susu ke dalam botol sembari bersenandung riang, kemudian merapikannya ke dalam jinjingan tahan panas supaya makanan dan minuman bisa hangat lebih lama. 

Ponsel Danu yang tergeletak di atas tas kerja di meja ruang makan berdering. Danu meletakkan gawainya di sana ketika memakai sepatu, lupa belum memasukkannya kembali ke saku celana.

Anaya mengintip sekilas. Sebuah pesan masuk dari kontak bernama ‘Bu Ririn’. Pasti pesan penting mengenai pekerjaan. Anaya tidak lancang membuka walaupun tahu kunci kode ponsel Danu, tak ingin lancang merecoki urusan pekerjaan suaminya. 

“Mas, ada pesan dari Bu Ririn.” Anaya berseru memanggil Danu. Khawatir pesan pekerjaan tersebut memberitahukan hal darurat mengingat sepagi ini senior Danu sudah menghubungi. 

Bagai macan liar, Danu meloncat masuk ke dalam begitu mendengar Anaya berseru menyebutkan nama Bu Ririn. Secepat kilat menyambar ponselnya dan berusaha memasang wajah tenang saat menggulirkan jemari di layar. 

“Apa rekan-rekan Mas sudah menunggu sampai Bu Ririn sendiri yang mengirimkan pesan?” tanya Anaya yang sedang menutupkan resleting tas bekal. 

“Iya nih, Nay. Aku harus buru-buru berangkat!” 

Danu cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah menghapus history pesan barusan. Tentu saja pesan tersebut bukan dari manajernya, tetapi dari wanita yang semalam merengek padanya. 

“Tadi, siapa yang datang?” Anaya kembali bertanya. 

“Itu tadi Pak RT yang datang. Menagih uang iuran warga dan sudah kubayar. Aku berangkat ya, Nay. Makasih bekalnya." Danu mengecup kening Anaya sebelum pergi. 

"Iya, Mas. Jangan lupa sarapannya dimakan. Hati-hati di jalan." 

Bersambung
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Selingkuh Bab 5-8
18
2
Berisi Bab 5-8
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan