
Alex menyikut lengannya. "Mau lo biarin aja begitu?"
Ares memasukkan dompetnya ke saku. "Nggaklah," sahutnya tenang. "Tapi kita nggak perlu bikin keributan di kandang sendiri, 'kan?"
Alex mengangguk-angguk santai, setuju dengan ucapan Ares. "Habis ini?"
Ares menggeleng. “Nggak, biarin dulu aja hari ini,” gumamnya. "Gue mau lihat sejauh apa dia mau bertindak lawan gue dengan gaya anak tikus kehujanan begitu.”
“Sip!”
***
Vanya menatap layar ponsel Amel, yang dia gunakan untuk memesan makanan melalui salah satu aplikasi pengantaran makanan online. Lalu, setelah memastikan kedatangan drivernya, Vanya langsung menoleh pada Amel yang duduk di sampingnya. Duduk mengemper di selasar gedung fakultas mereka.
"Udah?"
"Baru masuk ke area kampus." Vanya mengulurkan ponselnya pada Amel lagi.
Amel menerima ponsel itu dengan santai. "Lo yakin nggak mau minta Kak Radhi beliin hape baru, Nya?"
Vanya langsung menggeleng. "Gue nggak mau membebani Kak Radhi, Mel. Nanti aja gue kumpulin duit sendiri buat beli hape second," tolaknya langsung. "Lagian gue juga masih marahan sama dia, karena masalah Kak Ara."
"Hee? Lo masih diemin Kak Radhi dari hari itu?"
"Lebih tepatnya, gue ogah diajak ngomong apapun sama Kak Radhi tapi setiap ada kesempatan gue selalu ngomelin Kak Radhi tentang Kak Ara."
"Betah banget sih Kak Radhi dicuekin lo, Nya?"
Vanya mendengus. "Jangankan itu, nyakitin Kak Ara aja dia lakuin karena keras kepalanya itu!" gerutu Vanya dengan menggebu-gebu. "Pokoknya sebelum Kak Radhi minta maaf ke Kak Ara dan baikan, gue bakalan ngambek seterusnya!"
"Lo stand Kak Ara banget ya?"
"Iyalah! Dia satu-satunya yang gue yakin cocok buat jadi pasangan hidupnya Kak Radhi, karena dia satu-satunya yang bisa tahan sama sifat dan sikap Kak Radhi selama ini!"
Amel mengangguk-angguk, sedikitnya tahu mengenai sifat Radhi yang memang sulit untuk didekati. Jangankan mendekat, berada di sekitarnya saja sudah sangat menyesakkan karena dinding kokoh di sekitar pria dingin itu.
"Eh, atau minta si Aresialan itu buat gantiin hape lo aja?"
"Mintanya gimana coba, Mel? Bayar buat makanan temannya kemarin aja dia ogah!"
"Ya kan kita bisa–" Ucapan Amel langsung terhenti kala mendengar ponselnya berbunyi. Amel pun menyerahkan ponselnya, setelah melirik layarnya sekilas. "Nih, ojol lo!"
Vanya menerima ponsel Amel lagi, lalu memeriksa layarnya. "Yuk, Mel!" ajak Vanya kemudian.
"Udah dateng makanan kita?"
"Belum, tapi posisi udah parkir di fakultas sebelah. Kita ke sana sekarang aja."
Amel terdiam sejenak, terlihat tidak terlalu semangat. "Lo yakin soal ini, Nya?"
"Yakinlah!" tandas Vanya tanpa ragu, sembari akhirnya bangkit berdiri setelah memberesi barang-barangnya. "Ayo, buruan! Andit juga udah live report posisi itu cowok!"
Sahabatnya yang sangat setia kawan itu akhirnya mengikutinya, meski terlihat ragu. Amel memang tipe orang yang lebih suka melawan habis-habisan dengan kata-kata maupun otot, karenanya dia tidak setuju dengan cara Vanya ini. Namun, Vanya berpikir bahwa untuk menghadapi Ares justru diperlukan kelicikan seperti ini.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, Vanya akhirnya sampai di fakultas teknik–juga menemukan Ares yang sedang duduk-duduk di depan mushola fakultas teknik bersama teman-temannya. Pria itu sepertinya baru saja sholat dhuhur, terlihat dari rambutnya yang masih setengah basah. Dia sedang mengobrol sembari menunggu temannya yang masih memakai sepatu.
Vanya lalu mengarahkan driver ojek online yang dia pesan untuk mendatangi Ares, melalui ponsel Amel tentunya. Dia memerhatikan ketika Ares yang semula menyandar malas di pilar mushola, menegakkan punggungnya dan menyahuti driver ojol itu. Ares terlihat bingung, dan itulah saatnya Vanya dan Amel menghampirinya.
"Chicken Steak dua porsi kan, Pak?" tanya Vanya, menyela di antara obrolan Ares dan driver ojek online itu. Vanya meraih plastik yang dibawanya, lalu menunjuk ke arah Ares dengan telunjuknya. "Dia yang bayar ya, Pak. Makasih."
Vanya menatap Ares sekilas, sebelum kemudian berlalu dengan Amel yang sempat memberikan pelototan pada Ares dan salah seorang teman setianya–Alex. Namun, tidak ada panggilan atau protes yang Vanya dengar dari Ares, bahkan ketika keduanya akhirnya sudah berada di luar fakultas teknik.
Vanya menghela napasnya lega, seraya mengurangi kecepatan langkahnya. Dia melihat ke belakang sekali lagi–untuk memastikan Ares tidak mengejarnya, sebelum akhirnya kembali menatap ke depan dan melanjutkan langkahnya pergi.
“Udah? Gitu doang?”
“Apanya?”
“Si Aresialan itu! Dia pasrah gitu aja? Kok nggak seru?”
“Emang lo berharap apa?”
“Berantemlah! Gue udah siap ngehajar mereka!”
Vanya meringis, antara geli dan juga ngeri. “Ck, dibilang nggak semua bisa selesai pakai otot. Udah deh, sementara gini dulu aja. Sekalian buat gantiin duit gue yang kepake buat makan teman-temannya itu!”
Ketika Vanya akhirnya sibuk mencari tempat untuk makan makanan yang 'dibelikan' Ares bersama Amel, Ares sendiri justru mendenguskan tawa di sudut mushola tadi. Tidak menyangka perempuan itu akan benar-benar melakukan ancamannya, meski dengan takut-takut dan canggung. Bahkan langsung kabur setelahnya.
Ares akhirnya mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan lembaran merah pada driver ojek online tersebut. "Ambil aja kembaliannya, Pak. Makasih ya."
"Eh? Benar, Mas?"
"Iya."
"Terima kasih banyak, Mas."
Setelah driver ojek online itu pergi, Alex menyikut lengannya. "Mau lo biarin aja begitu?"
Ares memasukkan dompetnya ke saku. "Nggaklah," sahutnya tenang. "Tapi kita nggak perlu bikin keributan di kandang sendiri, 'kan?"
Alex mengangguk-angguk santai, setuju dengan ucapan Ares. "Habis ini?"
Ares menggeleng. “Nggak, biarin dulu aja hari ini,” gumamnya. "Gue mau lihat sejauh apa dia mau bertindak lawan gue dengan gaya anak tikus kehujanan begitu.”
“Sip!”
***
Sudah tiga hari berturut-turut Vanya membuat Ares membayari pesanan makanannya, dan Ares tetap tidak melakukan apapun selain mengikuti permainan Vanya. Ares sengaja tiga hari ini selalu sholat dhuhur di mushola fakultasnya, ketika biasanya dia akan berpindah-pindah tempat mengikuti jadwalnya di hari itu.
Ares melakukannya bukan karena tidak sanggup melawan, justru dia ingin membuat Vanya menjadi lengah karena berpikir dia bisa melawan Ares. Padahal, Ares tidak pernah ingin mengalah untuk perempuan itu. Tujuannya tetap sama, membuat perempuan itu menangis dan membalas dendam pada Kakak dari perempuan itu.
Hari itu, Ares sengaja membolos sejak pagi dan hanya menitipkan absen pada Alex. Ares baru muncul di jam makan siang, itu pun langsung mengarah pada kantin fakultas ekonomi–fakultas wanita itu. Ares langsung bergabung dengan teman-temannya, yang sudah lebih dulu berada di sana.
"Rokok, Res?"
"Nggak doyan gue!" tolak Ares mentah-mentah, seraya mengambil duduk di kursi yang kosong dan mengeluarkan ponselnya. Melanjutkan game yang tadi tertunda karena perjalanannya ke mari. “Yud, by one!”
“Yoo! Lo gabung ke gue aja, kode invite-nya 4A332.”
“Sip.”
"Betah banget sih lo nganggurin bibir lo," ucap Restu, salah seorang temannya yang ada di meja itu juga. "Ngerokok nggak, nyewek juga kagak!"
"Ngapa lo?" Alex yang menyahut, santai dengan asap rokoknya yang membumbung. "Mau dicium Ares biar bibirnya nggak nganggur lagi?"
"Anjir, kagak! Gue masih normal!" elak Restu langsung, pun Ares yang langsung memaki Alex dengan tawanya. Tidak terima dijadikan obyek antar pria. "Gue heran aja, Ares ini ngerokok nggak, main cewek nggak, terus hidupnya ngapain? Nggak seru amat, sayang tampang sama dompet."
Alex memercikkan abu rokoknya ke asbak di meja. "Dia ogah ngerokok, takut nggak bisa berhenti. Soalnya Kakak ceweknya nggak kuat asep rokok," jelas Alex, kala Ares terlihat tidak berniat menjelaskan. Sudah sibuk dengan game-nya. "Kalau soal cewek, standarnya ketinggian."
"Kayak siapa emang?"
"Kayak Kakaknya," jawab Alex tanpa berpikir.
"Cakep?"
"Cakep banget, gila! Gue kalau punya Kakak cewek secakep itu, lihat cewek lain ya bakal cuma kaya cumi-cumi!"
Tendangan diberikan Ares di tulang kering Alex, membuat empunya mengaduh seraya mengusapi kakinya. "Apaan lo ngomongin Kakak gue? Bosen idup lo?" gerutu Ares kemudian, bahkan menyela permainan di ponselnya.
"Ck! Siscon lo makin parah, Res! Gue muji Kak Ara doang, padahal!"
"Nggak ada, jangan sebut-sebut namanya juga. Bisa kena sial nanti Kakak gue, lo sebut-sebut!"
"Anjir!"
Teman setongkrongannya menertawakan Alex, terlebih karena wajah serius Ares yang benar-benar tidak suka Kakaknya dijadikan bahan pembicaraan mereka. Selama ini Ares memang sangat posesif pada sang Kakak, bahkan menunjukkannya saja enggan. Sejauh ini, hanya Alex dan Yudha–dua sobat terdekatnya saja, yang pernah melihat Kakaknya.
Keduanya juga satu-satunya yang tahu latar belakang Ares, yang berasal dari keluarga konglomerat terkenal Sanjaya Group. Ares memang sengaja menutupinya, didukung oleh Ayahnya yang juga sangat menjaga privasi tiap anak-anaknya. Hanya kakak pertamanya saja, yang sudah terlanjur dikenal karena kecantikannya.
Di tengah itu, Lilo menyodok rusuknya pelan seraya memberi kode ke satu arah. "Res, cewek lo tuh," gumamnya, memberitahu.
Ares pun langsung menatap ke arah yang sama, seraya memasukkan ponselnya ke sakunya. Senyuman dingin terukir di bibirnya, karena dugaannya benar. Karena informan perempuan itu tidak menemukan keberadaan Ares, Vanya akhirnya memilih makan siang di kantin. Dengan kewaspadaan yang benar-benar rendah.
Ares bangkit berdiri. "Duluan!" ucapnya, sembari bangkit berdiri diikuti Alex.
Keduanya lalu melangkah bersisian, mengikuti langkah Vanya yang berjalan sendirian ke salah satu stand makanan di kantin itu. Memerhatikan bagaimana Vanya tampak santai dalam kesendiriannya, Ares yakin Vanya tidak menduga dirinya berada di sini.
“Pengawalnya hari ini nggak ada, Boss.”
“Udah gue duga.”
"Mau lo apain?" tanya Alex kemudian. “Jangan yang biasalah.”
"Enaknya?"
"Tumpahin aja makanannya, kaya minggu lalu. Tapi bikin lebih heboh."
Ares memerhatikan apa yang Vanya pesan, lalu mengangguk. "Oke, lo back up ya," ucapnya kemudian.
"Sip."
Tak perlu waktu lama, juga tak perlu taktik sama sekali, untuk membuat perempuan itu akhirnya jatuh bersama dengan tumpahan makanan pesanannya. Menimbulkan bunyi yang cukup berisik, hingga membuat hampir seisi kantin memerhatikan Vanya dan Ares.
Tanpa benar-benar merasa bersalah, Ares langsung mengulurkan tangannya pada Vanya. "Sorry, nggak sengaja. Lo oke?"
Vanya yang sudah tahu dengan jelas siapa orang yang membuatnya jatuh, mendongak dengan tatapan tajam dan penuh emosinya. Perempuan itu bahkan tidak sempat merasa kaget. Tidak lagi bisa menahan diri, terlihat sudah sangat muak pada Ares.
"Buta ya mata lo?" sentak Vanya kemudian, seraya menepis tangan Ares. "Nggak sengaja julurin kaki ke arah orang yang lagi jalan, itu yang lo bilang nggak sengaja?"
"Gue nggak tahu lo bakal lewat," balas Ares, dengan santai menarik tangannya yang tidak benar-benar ingin dia gunakan untuk menolong Vanya. "Gue juga udah minta maaf. Kenapa lo jadi bawa-bawa kekurangan orang lain? Lo sengaja mau nyindir?"
Mata Vanya kian melotot. "Apa sih maksud lo?"
Ares mengedik ke arah meja di dekat mereka, tampak salah seorang mahasiswa tuna netra yang sedang makan di sana dan terlihat menunduk sedih. Mungkin karena tahu kalau seluruh perhatian mengarah padanya saat ini.
Vanya terlihat kaget. "Gue nggak–"
"Sekali lagi sorry, gue bakal ganti rugi," sela Ares, dengan tenang menutup akses Vanya untuk menjelaskan. "Tapi lain kali jangan pakai kesalahan gue untuk jadi tempat lo nyindir kekurangan orang."
"LO–"
Ares menangkap jari Vanya yang menunjuk ke arahnya. "Lo kayaknya emang punya masalah sama kesopanan ya?" ucapnya kemudian. "Lo nyindir kekurangan orang, dan nunjuk-nunjuk ke muka senior lo. Ck, kampus harusnya lebih selektif terima mahasiswanya."
"Lo yang nggak sopan! Jelas-jelas lo–"
"Huuuuuuuu! Nggak sopan! Huuuuu!"
Sebelum Vanya sempat menjelaskan, seruan terdengar mengarah untuk Vanya–sekaligus ditujukan untuk membela Ares. Jelas, itu dimulai oleh Alex yang membayangi langkah Ares sejak tadi. Vanya menatap ke sekeliling, wajahnya terlihat memerah entah karena malu atau emosi yang meledak, dan Ares langsung tidak sabar untuk melihatnya menangis.
Namun, keinginan Ares sepertinya belum bisa tercapai, kala Vanya bangkit dengan tegar dan memberesi makanannya. Lalu, setelah menyingkirkannya ke meja terdekat, Vanya segera pergi meninggalkan area kantin. Diikuti tatapan Ares, juga seruan yang kembali dimulai oleh Alex dan diikuti yang lainnya.
Ares berdecak sebal. "Bebal banget jadi cewek," gerutu Ares kemudian. "Timbang nangis aja ribet."
Ares akhirnya melangkah menuju ke warung tempat Vanya makan tadi, berniat mengganti rugi piring yang pecah. Sedang Alex, kemudian mendekati mahasiswa tuna netra yang tadi untuk menenangkan dan menjelaskan kejadian tadi agar tidak salah paham.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
