"Lo yang namanya Vanya Dewi?"
Mendengar namanya disebutkan, Vanya mendongak pada Ares dengan tatapan tanyanya. Ares pun akhirnya melirik padanya, dengan tatapan dingin yang dia buat setajam mungkin.
"Lo, gue tandain."
"Hah?"
"Siap-siap aja."
Lalu, tanpa menjelaskan lebih jauh, Ares bangkit berdiri dan melangkah pergi. Tak lama, Alex dan para konconya mengikuti langkah pria itu keluar dari kantin. Diiringi tatapan bingung Vanya, yang terus mengikuti hingga punggung pria itu menghilang.
"Orang gila...
Sejak dulu, orang yang berani macam-macam dengan Kakaknya, akan berhadapan dengan Ares. Dia tidak akan segan-segan membuat perhitungan pada mereka, agar orang-orang itu tahu dengan siapa mereka berhadapan. Dan tentunya membuat mereka tidak lagi berani mengganggu Kakaknya.
Namun, masalah kali ini berbeda.
Pria yang mengganggu Kakaknya itu, tidak melakukan hal-hal yang mengusik Kakaknya. Sebaliknya, pria itu justru dengan tidak tahu dirinya berani menolak Kakaknya–wanita kedua yang paling penting di hidup Ares setelah Ibunya dan Uty-nya, yang sama-sama menempati posisi pertama.
Ares tentu saja tidak terima karena pria itu telah melukai Kakaknya, tapi dia juga tahu dia tidak bisa menghajar pria itu dengan alasan itu. Jadilah, Ares memilih cara lain untuk memberi pelajaran pada pria itu, dan itulah alasannya kini berada di kantin fakultas sebelah di universitasnya, bersama dengan teman-teman mainnya.
"Mana ceweknya?"
"Itu," jawab pria yang berdiri di sampingnya, sama-sama menyandar di dinding kantin fakultas ekonomi dan bisnis dengan pandangan ke satu arah. "Cewek rambut panjang, yang pakai kemeja putih."
"Yakin lo, Lex?"
"Yakin, Res. Lo tahu guelah," balas pria yang dipanggil Alex itu, terdengar santai tapi tandas. "Vanya Dewi, jurusan akuntansi semester 4, aktif di UKM Tari sejak semester awal."
"Sip."
Ares menegakkan punggungnya, lalu melangkah ke arah meja yang sejak tadi dia pandangi. Alex ikut menegakkan punggungnya, tapi tidak mengikuti langkah sahabatnya itu. Dia hanya akan bersiaga sehingga ketika Ares membuat masalah, dia bisa menyelesaikan secepatnya.
Ares mengambil langkah panjang-panjang, hingga akhirnya bisa segera sampai di meja yang dipenuhi oleh para wanita itu. Ares lalu mengambil duduk di salah satu sisi, tepat bersebelahan dengan wanita berkemeja putih yang sedang sibuk menertawai lelucon temannya.
Ares bisa melihat wanita itu agak terkesiap saat melihat kursi sampingnya terisi, tapi Ares tetap duduk dengan tenang. Matanya tidak tertuju pada wanita itu, sehingga akhirnya Vanya hanya menaruh tasnya untuk membatasi mereka.
"Lo yang namanya Vanya Dewi?"
Mendengar namanya disebutkan, Vanya mendongak pada Ares dengan tatapan tanyanya. Ares pun akhirnya melirik padanya, dengan tatapan dingin yang dia buat setajam mungkin.
"Lo, gue tandain."
"Hah?"
"Siap-siap aja."
Lalu, tanpa menjelaskan lebih jauh, Ares bangkit berdiri dan melangkah pergi. Tak lama, Alex dan para konconya mengikuti langkah pria itu keluar dari kantin. Diiringi tatapan bingung Vanya, yang terus mengikuti hingga punggung pria itu menghilang.
"Orang gila ya?" tanya Vanya, lebih pada dirinya sendiri.
"Kak Ares bilang apa, Nya?" tanya Winda, salah seorang teman sekelasnya.
Vanya menatap kembali ke depan, tepatnya pada Winda. "Siapa itu?" tanyanya balik.
"Itu, Kak Ares. Presma kita, 'kan? Ketua BEM periode ini. Masa lo nggak tahu?" Winda menjelaskan dengan tidak sabar, tampak penasaran. "Bilang apa dia? Kok tiba-tiba deketin lo gitu?"
Vanya mengerutkan keningnya semakin bingung, karena selama ini merasa tidak pernah mengenal pria itu–bahkan mengobrol pun baru kali ini. Dia memang cukup pasif dalam organisasi kampus itu, bahkan waktu pemilihan pun dia tidak ikut menggunakan hak suaranya. Jadi, mana dia tahu siapa pria tadi?
"Nya! Heh!"
"Hah? Apa?"
"Kak Ares ngomong apa tadi?" tanya Winda lagi, yang diiringi dengan tatapan tanya teman-teman sekelasnya yang ikut makan di meja yang sama dengannya. "Bilang apa, Vanyaaa?"
"Ng, nggak bilang apa-apa," jawab Vanya akhirnya, karena dia pun sebenarnya masih tidak mengerti dengan ucapan Ares tadi. "Cuma permisi, karena duduk di situ. Terus pergi."
"Ohhh."
Setelah perhatian dari Vanya teralih, Amel yang merupakan sahabat terdekatnya, langsung menyodok lengannya. "Bilang apa tadi, Nya?" tanya Amel kemudian, jelas tidak percaya dengan jawaban Vanya sebelumnya.
"Katanya gue ditandain dan suruh siap-siap gitu," jawab Vanya, seraya berbisik. "Padahal gue nggak kenal dia, Mel. Lihat mukanya aja baru kali ini. Apa dia gila ya?"
"Lo ngecek telinganya nggak? Jangan-jangan bukan ngomong ke lo, tapi ke orang lain di earphone-nya."
"Dia nyebut nama gue, Mel."
"Hah? Serius?"
"Iya, makanya. Apa iseng doang ya?" balas Vanya akhirnya, karena benar-benar tidak bisa menebak apa urusan laki-laki itu dengannya. "Ah tahu deh, biarin aja. Gue jadi OT deh."
"Iya, biarin aja. Kalau macem-macem, nanti gue kasih pelajaran pakai satu-dua jurus taekwondo gue."
"Sip."
Vanya pun akhirnya kembali memakan makan siangnya, seraya menimpali obrolan di depannya dengan ceria. Berusaha tidak memikirkan ucapan pria tadi, karena berpikir Ares hanya iseng saja padanya. Tidak mungkin kan Ares tiba-tiba melakukan sesuatu ketika Vanya bahkan tidak mengenalnya?
Namun, di hari-hari berikutnya, keyakinan Vanya pun goyah.
***
"Kak! Apa-apaan sih?! Lo sengaja ya nyiram temen gue pakai air pel ini?!"
"Nggak sengaja kok," balas Ares santai, seraya menatapi penampilan Vanya yang nyaris kuyup karena air pel yang disiramkan Ares dari lantai dua. "Sorry ya!"
Lalu, dengan santainya, senior Vanya itu melenggang pergi. Amel nyaris mengejar melalui tangga, tapi Vanya langsung menahannya. "Percuma, Mel!" ucapnya kemudian, meski matanya menatap jejak Ares dengan tatapan tajamnya. "Lo cuma bakal ngadepin kroco-kroconya!"
"Ya tapi nggak bisa dibiarin dong, Nya! Ini udah keterlaluan!" sentak Amel tidak terima. "Bukan cuma sekali dia gangguin lo begini! Kemarin dia numpahin minuman ke lo di kantin, kemarinnya lagi dia bikin lo telat masuk kelas, dan kemarinnya lagi dia jelas-jelas bikin para senior bully lo! Total dua minggu dia gangguin lo terus, Nya! Ini nggak bisa dibiarin!"
"Iya, tapi percuma kalau lo kejar sekarang," gerutu Vanya akhirnya. "Mending lo bantuin gue deh, ini hp sama diktat gue kena basah juga!"
"Ck! Anjir banget sih itu senior! Maunya apa sih?!"
Meskipun sambil mengomel, Amel tetap membantu Vanya. Untungnya, meskipun basah, tapi tas Vanya tetap mampu menahannya untuk merembes ke dalamnya. Hanya sedikit saja yang akhirnya membuat ujung diktat Vanya basah. Namun, hp Vanya yang dia genggam sejak tadi, tentunya tidak terselamatkan.
"Bisa nyala, nggak? Coba nyalain?"
"Ntar aja, biar kering dulu," balas Vanya kemudian. "Gue boleh pinjem baju lo nggak, Mel? Lo biar masuk kelas aja, gue ke kos lo."
"Gue temenin aja deh," ucap Amel kemudian. "Lagian Bu Mirna orangnya selow, telat dikit nggak apa-apa."
"Jangan gitu ih!"
"Udah, ayo! Habis ini biar gue kasih pelajaran tuh si Ares-Ares berengsek!"
Vanya hanya menghela napasnya panjang, lalu akhirnya mengikuti langkah Amel menuju ke parkiran motor. Vanya tahu dia menjadi pusat perhatian saat melewati selasar fakultasnya, tapi Vanya pasrah karena tidak memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhnya yang kuyup. Dia hanya bisa menelan rasa malunya rapat-rapat, seraya mengumpati senior menyebalkan itu dalam hatinya.
Setelah berganti pakaian di kos Amel, Vanya dan Amel kembali ke kampus dan masuk ke kelasnya. Meskipun tentu saja mood belajar Vanya sudah tidak ada sama sekali, hanya rasa kesalnya pada Ares saja yang dia pikirkan. Vanya telat menyadari bahwa ucapan Ares di kantin dulu itu benar adanya. Ares benar-benar menandainya, entah karena apa dan untuk apa.
Selesai kelas sore itu, Vanya dan Amel berpisah karena Amel harus ikut rapat di UKM-nya. Vanya sebenarnya bisa saja ikut dan menunggu Amel untuk mengantarnya pulang, tapi dia merasa risih dengan tubuhnya yang terasa lengket meski sudah mandi di kos Amel tadi. Vanya akhirnya memutuskan untuk meminta dijemput Kakaknya saja, meskipun dia sedang marah dengan Radhi juga.
Vanya menunggu di lobby yang cukup sepi karena maghrib hampir tiba.
Vanya duduk di undakan tangga lobby yang cukup sepi, karena sudah hampir masuk waktu maghrib. Vanya lalu memeriksa ponselnya, menyalakannya tanpa memeriksa apakah ponselnya sudah benar-benar kering. Untungnya, ponselnya itu berhasil menyala. Vanya menunggu beberapa saat, lalu mulai membuka kunci ponselnya. Saat sedang sibuk mencari kontak Radhi, tiba-tiba saja ponselnya kembali mati.
Panik, Vanya berusaha menyalakannya lagi, tapi ponselnya benar-benar mati total. Vanya yakin karena air yang tadi mengguyurnya, yang membuat ponselnya begini. Vanya langsung merasa kekesalan di dadanya semakin membuncah, membuatnya menggenggam erat ponsel di tangannya.
Lelaki itu benar-benar berengsek! Vanya akhirnya bangkit berdiri, lalu melangkah menuju ke taman samping fakultasnya yang berbatasan langsung dengan fakultas Ares. Dia awalnya ingin mendatangi Ares ke fakultasnya, meski tidak tahu harus mencari ke mana. Namun, rupanya dia tidak perlu melakukannya karena dia menemukan Ares sedang berkumpul dengan teman-temannya di taman kampus.
Vanya akhirnya mendatangi Ares dengan berani, karena sudah menumpuk kekesalannya dua minggu ini. Vanya langsung menghadap Ares, yang menegakkan punggungnya saat melihatnya. Alis pria itu terangkat.
"Maksud lo apa sih gangguin gue terus dua minggu ini?!" sentak Vanya, tanpa rasa hormat sama sekali.
"Kepedean banget lo? Siapa juga yang gangguin lo?"
"Jelas-jelas lo gangguin gue hampir tiap hari! Masih mau ngelak juga?"
Ares mengangkat bahunya, lalu menoleh ke teman-temannya. "Emangnya gue gangguin ini cewek ya?" tanyanya, dengan ekspresi yang benar-benar menyebalkan.
"Nggak sih, kayaknya."
"Perasaan dia aja kali."
Emosi, Vanya hendak memukul Ares tapi pria itu segera menangkap kepalan tangan Vanya dengan lihai. "Wow, wow, apa nih?" sahut pria itu kemudian. "Mau pakai kekerasan lo?"
"Lepas!"
"Nggak bisa. Gue butuh ini tangan buat barang bukti, karena lo barusan mukul gue."
"Kalau gitu gue juga bisa pakai ini buat barang bukti!"
Vanya melemparkan ponselnya ke kaki Ares dengan tangannya yang lain, dan kali ini berhasil mengenai pria itu yang langsung berjengit sedikit. Meski tidak menunjukkan kesakitannya.
"Anjir, lo–"
"Apa?!" sentak Vanya balik. "Mau lo apa sih sebenarnya, Kak?! Kenal juga nggak, tapi tiba-tiba nyari masalah terus sama gue! Mau lo apa?!"
Ares berdecak, lalu akhirnya menatap Vanya dengan dingin. Teman-temannya yang tadi langsung bangkit karena tidak terima, langsung Ares tahan dengan tangan. Ares kembali fokus pada Vanya.
"Lo tanya apa mau gue?" tanyanya kemudian.
"Iya! Mau lo apa?!"
"Mau gue," jeda Ares, seraya menarik Vanya untuk mendekat padanya agar bisa dia bisikkan kata-kata selanjutnya. "Lo nangis sekencang dan semenderita mungkin, sampai tangisan lo itu didengar sama semua orang bahkan ke orang di rumah lo juga."
Vanya menatap Ares tidak percaya, merasa bahwa Ares benar-benar sudah gila. Tidak hanya gila, pria ini sepertinya benar-benar psikopat. Dan Vanya, sangat malang karena harus menghadapi pria seperti ini–meski tanpa tahu kesalahannya sama sekali.
***
Halooooo! Selamat bertemu lagi dengan kisah Ares - Vanyaaaaa~
Seperti yang pernah saya bilang, cerita ini akan menjadi novel pendek, konflik ringan, dan latar di masa perkuliahan (di awal cerita). Akan ada pembahasan mengenai latar belakang perkenalan dan pengembangan hubungan Vanya-Ares, tapi nantinya akan banyak membahas perjuangan Ares setelah mengetahui asal-usul Vanya.
Akhir kata, selamat menikmati kisah mereka. Semoga jatuh cinta (lagi), dan saya harap begitu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰