Lanang Sorang

18
8
Deskripsi

Gemuruh angin di Puncak Bukit Umang, menderu-deru, seakan ingin merobek kesunyian malam. Kala itu begitu dingin nan sepi,nampak sesekali sinar rembulan, tapi kembali ditutup oleh awan hitam mencekam.

Saat ini, di atas bukit itu, sedikit terdengar bisik-bisik orang dari dalam gubuk reot, disinari lentera yang menyala redup.

Tidak jauh dari gubuk itu, tepatnya di dalam hutan belantara, sekelebat bayangan hitam menerobos rindang dedaunan. 

Dia berjalan mendekati gubuk, dengan langkah pelan dan hati-hati,...

"Kakang Senikar aku tidak menyangka kalau Kakang akan sekeji ini!" ucap Mangku Anom, "Hentikanlah Kakang sebelum semuanya menjadi lebih buruk!"

"Anom akulah yang berhak atas Sabuk dan Anting itu, bukan anakmu, Lanang Sorang!" Senikar berkata dengan raut wajah murka. "Jika kau tidak memberikan anting dan sabuk pusaka tersebut, maka jangan salahkan aku jika kalian bertiga harus mati!"

Setelah berkata demikian, Senikar memasang kuda-kuda, bersiap menyerang Mangku Anom.

Walau dengan berat hati,Mangku Anom tetap harus waspada terhadap serangan, karena yang dia hadapi bukan lah orang sembarangan.

Mendadak sebuah serangan secepat kilat meluncur dengan deras, ke arah Mangku Anom.

Mangku Anom sedikit pun tidak mengelak,  dia biarkan tubuhnya dihantam pukulan-pukulan yang dahsyat, tapi  serangan demi serangan itu tidak mampu melukai tubuhnya, bahkan satu helai rambutnya tidak jatuh dari kepalanya.

"Anom Pantas kau menyandang gelar pendekar pilih tanding,  tubuhmu sekeras baja!" ucap Senikar.

Senikar meraih tombak yang tersandang di belakang tubuhnya. 

Sinar merah terang terpancar dari mata tombak tersebut, ketika Senikar melepaskan lilitan kain putih yang menutupi bilah matanya.

"Biadab, rupanya kau lah yang telah mencuri pusaka Eyang!" Mangku Anom benar-benar terkejut melihat tombak pusaka Gelong Sakti milik gurunya kini telah berpindah tangan. 

Tombak Gelong Sakti merupakan salah satu dari sedikit pusaka hebat yang tersebar di dunia persilatan. 

Barang siapa yang memiliki tombak Gelong Sakti, sudah dapat dipastikan dia akan menjadi pendekar pilih tanding.

Dengan tombak itu pula, Eyang Rangkas dapat menaklukan semua musuh bahkan menghancurkan perguruan aliran sesat di dunia persilatan.

Namun, siapa sangka, Tombak Gelong Sakti malah dicuri oleh muridnya sendiri, Senikar.

"Anom aku  tidak diwarisi anting dan sabuk beserta Ajian Raja Tikam, sementara kau selalu diberi yang terbaik oleh Eyang, apakah aku harus terus mengalah?" 

Senikar merasa dirinya tidak diperlakukan adil oleh Sang Guru, meski dia merupakan murid pertama dan tertua di Perguruan Bukit Umang, nyatanya semua pusaka dan ajian level tinggi tidak diturunkan kepada dirinya.

Tentulah alasan ini sudah lebih dari cukup bagi Senikar untuk mencuri Tombak Gelong Sakti dan kitab Ajian Lancang Putih.

"Kau begitu picik Kakang, sesuatu yang dianggap berharga bukanlah apa-apa, andai Kakang tidak seperti ini mungkin Eyang akan lebih bijak."

Mendengar ucapan Mangku Anom, raut wajah Senikar bertambah merah, dia berkata dengan nada bergetar menahan amarah, "Lancang kau Anom,  mulutmu mulai berbisa semenjak Eyang menyepi, apakah kau sadar sedang berhadapan dengan siapa?!"

"Kakang Senikar, sebelum terlambat hentikan niatmu untuk merebut anting dan sabuk dari tangan Putraku, bukankah kau sudah memiliki Tombak Gelong Sakti?"

"Anom, aku berniat menguasai jagat dunia persilatan, Tombak Gelong Sakti memang hebat, tapi untuk berdiri di atas piramida tertinggi aku membutuhkan anting dan sabuk yang ada ditangan Putramu!"

"Jadi itu keputusanmu, Kakang Senikar? sepertinya pertarungan antara kita berdua tidak mungkin dapat dielakkan!"

Beberapa saat kemudian, tubuh Mangku Anom bergetar hebat lalu dia menghentak-hentakan kakinya ke tanah, seketika itu juga, angin  kencang mulai menyapu, disertai kabut tebal berwarna hitam.

Mata Mangku Anom menyala  liar seakan ingin menghanguskan seisi alam, rupanya dia berniat menggunakan Ajian Raja Tikam.

Ajian Raja Tikam memiliki daya rusak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Ajian Lancang Putih.

Di dalam Perguruan Bukit Umang, hanya Mangku Anom yang berhasil menguasai Ajian pamungkas tersebut.

"Ajian Raja Tikam?" gumam Senikar, "aku penasaran apakah ajian itu cukup hebat untuk melawan Tombak Gelong Sakti milikku, Anom!"

Senikar menyadari Ajian Raja Tikam sangatlah hebat, tapi Mangku Anom belum berhasil menyempurnakan ajian itu. Dengan ajian setengah matang, Senikar percaya dia tidak akan terkalahkan.

Perlahan-lahan tubuh Mangku Anom mulai terangkat beberapa jengkal dari permukaan tanah, seketika itu juga, serangan secepat kilat meluncur deras kearah jantung pertahanan Senikar. 


"RAJA TIKAM!" teriak Mangku Anom.

Senikar sudah mengantisipasi serangan tersebut, dengan menggabungkan Ajian Lancang Putih beserta Tombak Gelong Sakti.

Pada saat yang sama Tombak Gelong Sakti menampakkan pamor merah kebiru-biruan, disertai angin yang menderu-deru.

Namun siapa sangka, cahaya secepat kilat meluncur dengan deras ke arah Mangku Anom, sementara Tombak Gelong Sakti menderu laksana petir bergerak ke arah Lanang Sorang, putra Mangku Anom.

"Tidak mungkin?" Mangku Anom tersentak, "Dua serangan sekaligus!"

Mangku Anom sama sekali tidak menyangka jikalau serangan Senikar akan terpecah menjadi dua, satu sisi menghalau ajian Raja Tikam sementara disisi lain menyerang Lanang Sorang.

Di sisi lain, Lanang Sorang seolah terpaku ke dalam bumi ketika melihat tombak Gelong Sakti mengarah ke tubuhnya.

Dia mungkin hendak menghindari serangan tersebut, tapi rasa takut menguasai tubuhnya, hingga mengedipkan mata rasanya sangat sulit dilakukan.

Mati! pikir Lanang Sorang, hanya kata itu yang terlintas di dalam benaknya.

Melihat perkara buruk akan menimpa anaknya, Sunting yang masih lemah tak berdaya karena serangan Senikar, segera memasang badan, memeluk Lanang Sorang begitu kuat.

"Tidak akan kubiarkan kau menyakiti keluargaku, Senikar!" teriak Mangku Anom.

Dengan ajian Raja Tikam, Mangku Anom meninggalkan tempatnya, bergerak cepat menghalau Tombak Gelong Sakti.

Gelegar.

Seketika dua kekuatan yang maha dahsyat, berbenturan, suara menggelegar jauh terdengar hingga ke Puncak Bukit Umang. 

Kilatan cahaya memenuhi lokasi pertarungan, menyilaukan mata siapapun yang ada di sana, termasuk binatang rimba.

Hingga akhirnya, tubuh Mangku Anom terpental jauh ke belakang, dia jatuh berguling di permukaan tanah, terhempas lalu berguling kembali. Pada saat yang sama, Mangku Anom memuntahkan darah segar.

"Ayah!" Lanang Sorang berteriak keras, menyaksikan kondisi Mangku Anom yang mengalami luka dalam yang cukup parah.

Pemuda kecil itu berniat mengejar ayahnya, tapi Sang Ibu tidak mengizinkan hal tersebut. Jika Lanang Sorang sampai terpisah dengan Sunting, bukan hal mustahil Senikar memanfaatkan kesempatan itu untuk membunuhnya.

Andai Mangku Anom terlambat sedikit saja, tubuh Lanang Sorang sudah dipastikan hancur akibat hantaman Tombak Gelong sakti.

Saat ini kondisi Mangku Anom benar-benar parah. Darah telah menodai pakaiannya, beberapa organ dalamnya mungkin pula sudah terbakar oleh Pusaka Tombak Gelong Sakti.

Sesekali dia terbatuk, tapi yang keluar dari dalam mulutnya malah darah segar berwarna merah kehitaman.

Sementara Senikar hanya terpental beberapa jengkal saja, meski sempat terhuyung-huyung mundur ke belakang.

"Hahahaha ...hanya sebatas itu kemampuan yang kau miliki, Anom?!" Senikar tertawa bangga, dia memeriksa bilah mata tombak Gelong Sakti, kemudian meniupnya seraya berkata, "Rupanya tidak ada apa-apanya dihadapan pusaka Tombak Gelong Sakti."

"Kurang ajar!" Sunting menggeram setelah mengetahui kondisi suaminya. "Aku akan membalasmu, Senikar!"

"Hahahaha ...memangnya apa yang bisa kau lakukan dengan kondisi tubuhmu yang lemah, Sunting?" Senikar mencibir wanita itu, "Ah, bagaimana jika aku memberimu satu pilihan, tinggalkan Mangku Anom dan jadilah Istriku, maka nyawamu akan kuampuni."

"Aku tidak akan menjadi istrimu, bahkan di dalam mimpimu sekalipun," timpal Sunting.

"Baiklah, kalau begitu kau harus mati!"

Tiba-tiba, Sunting menjentikkan jarinya ke atas, lalu senjata rahasia meluncur deras ke arah Senikar.

***

Senjata rahasia berupa Duri Landak Belantan. Berbentuk seperti jarum tapi berwarna putih, seperti duri landak.

Kekuatan dari serangan itu bisa membunuh lawan dengan cukup mudah, jika terkena sedikit saja di kulit lawannya.

Senjata itu memiliki keunikan tersendiri sehingga sangat jarang kaum pendekar mampu memilikinya. Di tangan Sunting senjata itu dapat kembali ke tangannya setelah dilemparkan ke arah lawan.

Namun serangan tersebut dengan mudah dielakkan, bagai tak ada benda yang melintas sedikitpun, dengan angkuh sambil berkacak pinggang Senikar berucap "Inikah senjata rahasia yang tersohor itu? keluarkan semuanya, aku ingin merasakan sekuat apa serangan yang kau miliki!"

Mendengar tantangan itu, Sunting kembali melepaskan duri landak belantan ke arah Senikar. 

Namun kini Tombak Gelong Sakti, kembali diayunkan oleh Senikar, cahaya merah kebiru-biruan melesat, tepat ke arah jantung pertahanan Sunting.

Tenaga dalam Sunting tidak mampu menahan serangan Tombak Gelong sakti hingga akhirnya, tubuh wanita itu terpental jauh ke belakang.

Sebelum Sunting terjungkal ke tanah, dengan cepat dia menjentikan jarinya ke atas. 

Kini Duri -Duri Landak Belantan, beterbangan menderu secepat kilat menerobos udara di jalur lintasannya.

Namun serangan itu dapat dihindari dengan mudah oleh Senikar. Pria itu hanya berkelit ke kiri dan ke kanan.

Gerakan Senikar begitu lentur dan lincah, satu Duri Landak Belantan, mampu dielakkan, sementara yang satunya ditangkap menggunakan mulut, akan tetapi sungguh disayangkan senjata yang satunya, menancap tepat di bagian dada sebelah kiri.

Dengan tenaga dalam yang dimiliki oleh Senikar, dia mampu menahan bisa racun agar tidak menyebar ke seluruh tubuh.

"Cuih, hanya seperti ini rasanya terkena senjata rahasia milikmu, Sunting?" tanya Senikar, mengejek Sunting. "Apa tidak ada yang lebih kuat dari ini?"

Sungguh Sunting tidak percaya jika senjata rahasia yang dimilikinya, -biasanya langsung dapat membunuh lawan ketika terkena kulit sedikit saja-, malah tidak mempan terhadap Senikar.

Seberapa besar tenaga dalam yang dimiliki oleh Senikar, pikir Sunting.

Senikar kini tengah bersiap-siap, dia kembali memasang kuda-kuda untuk melancarkan serangan berikutnya, akan tetapi dia tetap harus waspada karena senjata itu tidak menutup kemungkinan bisa menyerangnya kapan saja, dan itu berbahaya.

Harus disadari oleh Senikar, senjata rahasia berupa duri landak belantan memang sangat hebat, tidak mustahil dia akan tewas jika terkena tiga kali serangan tersebut.

"Aku tidak akan mengulur waktu, wanita ini bisa menjadi ancaman bagiku," gumam Senikar.

Kali ini Senikar benar-benar bernafsu untuk menghabisi lawannya, mata Tombak Gelong Sakti kembali dihunus, lalu secepat kilat diarahkan ke jantung pertahanan Sunting.

Melihat hal tersebut, Sunting menyambut serangan Senikar dengan sisa-sisa tenaga dalam yang dimilikinya, akan tetapi sungguh disayangkan 
Sunting tidak mampu menahan serangan Tombak Gelong sakti, hingga akhirnya tubuh wanita itu terpental jauh ke belakang.

Dia terhempas keras di permukaan bebatuan, kemudian berguling lagi dan terhempas lagi hingga beberapa kali. Darah segar keluar dari mulut dan dari hidungnya.

Sunting yang tengah terluka, serta sempat terjungkal, akibat serangan yang dilancarkan oleh Senikar, kini dia berupaya bangkit, untuk menghalau serangan berikutnya.

Belum sempat Sunting berdiri dengan sempurna, Tombak Gelong Sakti  sudah begitu dekat, persis di depan mata. 

Rasanya untuk mengelak, sudah tidak memungkinkan lagi, dengan sedikit kemampuan Sunting memaksakan diri bertahan menggunakan Ajian Kembang Mayan.

Ajian Kembang Mayan memang tidak memiliki daya gempur sedahsat ajian-ajian yang lain,akan tetapi keunikan ajian ini, dapat mengakibatkan kelumpuhan, dalam jangka waktu yang begitu lama. 

Mata Tombak kini nyaris menyentuh tubuh Sunting, lalu dengan sedikit melingkarkan jari-jemari, Ajian Kembang Mayan menghalau dengan cepat, hingga dua kekuatan itu berbenturan.

Dalam hati Senikar bergumam," dia tidak akan mampu menahan Hawa panas yang ditimbulkan oleh mata Tombak Gelong Sakti, apa lagi dengan kondisinya yang sekarang ini lagi terluka."

Melihat keadaan istrinya, Mangku Anom berupaya bangkit, walau sedang terluka parah, karena dia sadar bahwa Sunting tidak akan mampu menahan serangan Tombak Gelong Sakti. 

Seraya merapal mantra, Mangku Anom sedikit mengangkat tangannya, seketika tangan itu dia hentakan ke tanah, tiba-tiba tubuhnya melesat dengan cepat menderu ke arah Mata Tombak Gelong Sakti, seraya berucap "Aji Raja Tikam!" 

Pada saat yang sama, Sunting melepaskan ajian Kembang Mayan.

Dengan dua ajian yang disatukan, Senikar sedikit kewalahan, rupanya Tombak Gelong Sakti belum mampu menghadapi dua ajian itu.

Dengan sedikit dorongan tangan, Senikar menggabungkan Ajian Lancang Putih yang digabungkan dengan Tombak Gelong Sakti.

Kekuatan itu semakin berpadu hingga Mangku Anom dan istrinya, sempat mundur beberapa langkah, hingga akhirnya tak terbendung lagi.

Kekuatan Tombak Gelong Sakti dan Ajian Lancang Putih semakin ganas. 

"Ayah!" teriak Lanang Sorang

Tubuh Mangku Anom terpental jauh, hingga masuk ke dalam jurang, sementara istrinya Sunting masih bertahan, akan tetapi wajahnya seketika menjadi tegang saat melihat Mangku Anom suaminya sudah terpental.

"Kakang Anom!" 

Namun Senikar melihat celah untuk menyerang Sunting, dia tidak akan melepaskan kesempatan baik ini.

"Gelong Sakti!" teriak Senikar, mengarahkan mata tombaknya tepat ke tubuh Sunting.

Dan tiba-tiba.

"Ibu awas!" Lanang Sorang mencoba memperingatkan Sunting, tapi terlambat.

Tombak Gelong Sakti menerobos masuk hingga menembus dada.

"Ibu!!!" Lanang Sorang berteriak keras.

Tubuh Sunting perlahan mengurus seolah tersedot oleh kekuatan Tombak Pusaka Gelong Sakti.

Dalam hitungan yang cepat, tubuh wanita itu mengering hingga menyisakan tulang kerontang dibalut oleh kulit.

Senikar mendekati mayat Sunting, mencabut tombak dari tubuh wanita itu, kemudian dengan keji dia menendang tubuh Sunting hingga terpental beberapa belas depa jauhnya.

"Hua ha ha ha ha, satu penghalang kini sudah aku singkirkan, sekarang akulah yang berkuasa!" dengan angkuh disertai gelak tawa, Senikar bersumbar dengan kesombonganya.

Melihat hal itu, Lanang Sorang masih berteriak keras dengan isak tangisan yang pilu. Dia berlari ke arah mayat ibunya, memeluk mayat itu dan sesekali beratap.

"Ibu jangan tinggalkan aku...."

"Sekarang hanya kau sendirian bocah?" ucap Senikar. "Tidak ada yang dapat melindungi dirimu dari kematian, tapi tenang saja, setelah kudapatkan anting Tedung Saba dan Sabuk Subandara, kau akan menemani ibumu ke alam baka."

Tertawa terbahak-bahak Senikar melihat masa depan Lanang Sorang yang suram. Ya, sekarang sangat mustahil bagi Lanang Sorang bisa lolos dari kematian, tanpa ada bantuan dari Ayah dan Ibunya. Lanang Sorang kini sendirian.

Dengan langkah mantap, Senikar mendekati Lanang Sorang, bersiap untuk membunuh bocah kecil itu, tapi tiba-tiba langkah kakinya terhenti.

Senikar hampir saja berlutut saat ini, dia baru saja sadar jika luka  yang didapatnya dari senjata rahasia Duri Landak Belantan mulai menyebar ke seluruh tubuh. Tenaga dalamnya tidak mampu lagi menahan bisa racun senjata tersebut.

"Ini gawat, aku bisa saja tewas jika tidak segera mengobati luka ini ..." gumam Senikar, berusaha menekan racun Duri Landak Belantan dengan tenaga dalamnya.

****

Senikar tidak ingin membuang kesempatan untuk membunuh Lanang Sorang.

Sebelum bisa racun menyebar di tubuhnya, Senikar langsung mengarahkan tombak Gelong Sakti ke tubuh Lanang Sorang.

Namun tiba-tiba keajaiban muncul di tubuh bocah malang itu.

Cahaya terang kemerahan berpejar mengelilingi tubuh Lanang Sorang. Cahaya itu berasal dari Anting Tedung Saba dan Sabuk Subandara.

Ini adalah pertahanan terakhir yang dimiliki oleh Lanang Sorang, dan mungkin akan menjadi satu-satunya penyebab keselamatan nyawanya.

Ledakan terjadi setelah cahaya itu muncul.

Tombak Gelong Sakti seolah baru saja menghantam dinding keras yang sulit ditembus.

Pada saat yang sama, Lanang Sorang berteriak keras, tubuhnya terpental entah beberapa jauhnya, membuat bocah malang itu melambung tinggi ke udara sebelum kemudian terjun bebas ke dalam jurang.

Di sisi lain, Senikar juga mengalami luka dalam yang cukup parah setelah menghantam tubuh Lanang Sorang.

Tangannya bergetar dan terasa mati. Sungguh dia tidak menduga jika dua pusaka di tubuh Lanang Sorang telah melindungi bocah itu, meski dia tidak memiliki tenaga dalam.

Pada umumnya, sebuah pusaka dapat digunakan ketika seseorang memiliki tenaga dalam. Karena energi itulah yang dapat memicu atau mengaktifkan tuah dari sebuah pusaka, tapi siapa sangka Anting Tedung Saba dan Sabuk Subandara dapat berkerja sendiri tanpa menggunakan tenaga dalam. Ini adalah hal yang langka.

"Kurang ajar!" Senikar memaki kesal. "Apa yang terjadi, kenapa bocah itu dapat menggunakan dua pusaka tersebut?"

Senikar masih berniat untuk mengejar Lanang Sorang ke dalam jurang, dia tidak ingin melepaskan dua pusaka yang sudah di depan mata, tapi tiba-tiba.

"Uhuk!" Senikar muntah darah, luka dalam  yang didapatnya setelah menyerang Lanang Sorang ternyata sangat parah. "Tidak mungkin ...aku tidak mungkin mengalami luka dalam separah ini, kurang ajar kau Lanang Sorang ..."

Dengan berat hati, Senikar terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengejar Lanang Sorang yang jatuh ke dalam jurang. Lain kali, ya lain kali dia tidak akan melepaskan bocah tersebut. Tentu saja jika ada kesempatan ke dua.

Pada saat ini, di dalam jurang Curup Pintu Langit. Lanang Sorang terbaring lemah dengan posisi tubuh tertelungkup.

Tubuhnya mungkin tidak terluka setelah terkena serangan tombak Gelong Sakti, tapi jiwanya benar-benar tergoncang. 

Lanang Sorang melihat Ayahnya, Mangku Anom terlempar ke dalam jurang, sementara ibunya tewas dengan cara yang mengerikan. 

Kejadian ini seperti mimpi bagi Lanang Sorang, sulit untuk diterima dengan akal sehat untuk bocah seusia dirinya.

Kepalanya terasa sakit, sementara hatinya terasa tercabik-cabik. Bocah itu berdiri dengan langkah yang lunglai, air matanya telah mengering saat ini.

Pandangan bocah malang itu lurus ke depan tapi hampa dan kosong, sinar mata yang redup.

Sesekali dia jatuh ke tanah, tapi berusaha bangkit kembali dan berjalan dengan terhuyung.

Sungguh kadang kala dia berpikir langit tidak berpihak kepada dirinya. Kenapa semuanya harus pergi secepat itu? Lanang Sorang tidak menemukan satupun alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Hingga pada akhirnya, terlintas satu kata di dalam benaknya.

"Senikar ..." gumam Lanang Sorang. "Aku akan memburumu, akan kupastikan kau mati di tanganku."

Namun tiba-tiba terdengar suara halus tapi menusuk tengkuk bocah tersebut. Suara dari seorang wanita, mungkin saja. Atau mungkin suara dari seorang gadis.

Lanang Sorang menyapukan pandangannya ke sekeliling, tidak menemukan apapun kecuali bongkahan batu terjal dan air terjun yang mengalir deras.

"Kalau kau mau membalas kematian ibumu, bertapalah di sana ...!" terdengar lagi suara wanita yang membuat bulu kuduk Lanang Sorang berdiri.

"Siapa itu?" tanya Lanang Sorang, "Tunjukan wujudmu, jangan bersembunyi!"

Sedetik kemudian, terdengar suara tawa kecil yang mengerikan. Lanang Sorang hampir saja menggigil karena mendengar suara tersebut.

"Aku tidak takut dengamu!" Lanang Sorang kembali berseru. "Tunjukan wajahmu!"

Seketika, tepat di belakang Lanang Sorang, muncul kelebatan bayangan putih seperti asap. Perlahan-lahan, bayangan asap itu memadat, membentuk satu sosok gadis yang cantik rupawan. Ya dia adalah seorang gadis.

Perasaan Lanang Sorang bercampur aduk saat melihat kemunculan gadis cantik itu, yang begitu tiba-tiba. Antara takjub karena kecantikannya, atau mungkin ngeri karena kemunculannya.

Hantu? pikir Lanang Sorang, tapi dia tidak pernah mendengar ada hantu secantik gadis di depannya.

"Siapa kau?" tanya Lanang Sorang, "Kenapa kau datang secara tiba-tiba?"

Gadis itu tersenyum simpul, seolah menikmati keterkejutan yang terpampang jelas di wajah Lanang Sorang.

"Namaku adalah Saura," jawabnya dengan lembut.

"Saura?" Lanang Sorang berpikir sejenak, "Apa yang kau mau dariku?"

Saura tidak menjawab kecuali dengan senyuman kecil yang begitu manis, tapi hal ini malah membuat Lanang Sorang menjadi kesal.

"Pergilah!" ucap Lanang Sorang, "Aku tidak ingin diganggu olehmu!"

Dengan rasa kesal Saura berujar seraya mengacungkan telunjuk kearah air terjun Curup pintu langit, "Apa kau ingin membalaskan dendam atas kematian orang tuamu? jika benar, maka bertapalah di sana!" 

Sedikitpun Lanang Sorang tidak menghiraukan ucapan Saura. Bocah itu kembali berpaling dan berjalan ke arah depan tanpa tujuan yang pasti. Satu hal yang dipikirkan oleh bocah itu adalah, bagaimana caranya keluar dari jurang ini. Dia tidak sabar ingin menemukan Senikar dan membunuhnya.

Namun, tentu saja Lanang Sorang tidak sadar bahwa dia hanyalah bocah lemah yang tidak memiliki satupun jurus atau pula tenaga dalam. Lanang Sorang masih begitu lemah.

"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan," sindir Saura. "Kau ingin membalaskan dendam kematian orang tuamu, bukan? hahaha, dengan tubuh lemah itu, apa kau sanggup?"

Lanang Sorang mendadak menghentikan langkahnya, dia berbalik badan dan menatap Saura penuh arti. Dari tadi semua yang dikatakan oleh Saura selalu berhubungan dengan kematian orang tuanya, seolah gadis itu mengetahui semua yang terlah terjadi di permukaan jurang ini.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Lanang Sorang, dia menatap dua telapak tangannya yang lemah, bahkan telapak tangan itu tidak pernah digunakannya untuk bertarung.

"Bukankah aku sudah bilang, jika kau ingin menuntut balas, maka bertapalah di sana!" sekali lagi, Saura menunjuk ke arah air terjun Curup Pintu Langit yang mengalir begitu deras.

Di sana, Lanang Sorang dapat melihat sebuah batu besar yang menjorok sedikit  ke dalam aliran air terjun. Untuk tiba ke permukaan batu tersebut, Lanang Sorang harus meniti bebatuan terjal yang licin. 

Jika sampai kakinya salah berpijak, maka bukan mustahil bagi Lanang Sorang untuk jatuh dan tenggelam ke dalam aliran sungai yang deras.

"Jika kau bisa bertapa di sana, mungkin kau akan mendapatkan sebuah petunjuk," ucap Saura, kemudian gadis itu tersenyum kecil, "tapi jika kau jatuh ke dalam sungai, maka kau akan mati."

"Aku tidak takut mati," ucap Lanang Sorang. "Apapaun akan kulakukan untuk dapat membalaskan dendam kematian orang tuaku."

Wanita itu hanya terdiam dan sedikit menganggukan kepala. Dalam benak Saura bergumam, 'pemuda ini memiliki jiwa yang tegar dan tekad yang kuat.'

"Jika begitu, kenapa kau tidak membuktikan ucapanmu!" sambung Saura.

Dengan tekad yang bulat, Lanang Sorang mulai melangkahkan kaki setapak demi setapak menelusuri jalan bebatuan penuh kerikil yang tajam.

Pemuda itu tidak peduli jika sekarang ada banyak luka dan darah keluar dari telapak kaki itu.

Entah berapa kali dia memijak batu tajam nan terjal, Lanang Sorang tidak peduli. Satu tujuan yang pasti adalah, dia ingin membalas dendam, dan segala cara akan dilakukannya.

"Senikar, aku akan membunuhmu!" tekad Lanang Sorang benar-benar membara.

***

Perlahan pemuda itu duduk di atas batu yang berada tepat di belakang air terjun, tubuhnya basah kuyup hingga menggigil, akan tetapi dia tetap bertahan, seakan tak peduli dengan keadaan yang ada.

Dentuman air terjun Curup Pintu Langit masih saja mengguyur, seakan tak pernah lelah, walau senja makin berkabut. 

Namun ada satu hal yang disembunyikan oleh Saura mengenai air terjun tersebut. Malapetaka!

Setiap pendekar yang nekat melakukan tapa di atas batu Curup Pintu Langit, hanya akan mendapatkan satu hal yang pasti, yaitu kematian.

Di tempat ini, Saura memiliki tugas untuk menghasut setiap pendekar yang datang ke air terjun Curup Pintu Langit untuk bertapa di atas batu.

Rayuan gadis itu benar-benar memikat, dengan iming-iming ilmu kanuragan yang akan didapatkan setelah bertapa di sana. Namun semua itu hanyalah tipuan.

Setalah melihat tekad dan keinginan Lanang Sorang, tiba-tiba Saura merasa begitu iba terhadap pemuda itu.

Dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya, karena selama ini gadis itu cukup kejam untuk membujuk setiap pendekar menjemput kematian mereka.

"Aku tidak akan membiarkan pemuda itu mati ..." gumam Saura. "Tidak, aku akan menyelamatkannya."

Saura berusaha membujuk Lanang Sorang untuk menghentikan tapa brata, tapi yang terjadi adalah, pemuda itu telah meninggalkan kesadarannya dan hanyut dalam pemahaman yang begitu mendalam.

Rupanya tekad untuk membalas dendam menjadikan Lanang Sorang lebih fokus dalam melakukan tapa berata.

Tidak ada cara lain, Saura harus memasuki alam bawah sadar Lanang Sorang untuk membangunkannya.

Pada dasarnya, Suara bukanlah manusia, dia adalah bangsa lelembut yang diberi tugas untuk menguasai tempat ini, oleh Kakeknya.

Ya, seperti yang diketahui secara umum, bahwa bumi ini terbagi menjadi banyak dunia. 

Dunia manusia dan dunia lelembut hanya dibedakan oleh satu tabir tipis yang disebut tabir gaib. Dengan bertapa di atas batu itu, sebenarnya Lanang Sorang sedang berusaha menembus tabir gaib dan masuk ke dalam Dunia Lelembut.

Sayangnya, pemimpin dari dunia lelembut di tempat ini bukan mahluk lemah dan mudah menerima manusia sembarangan.

Ada syarat kriteria khusus yang harus dimiliki oleh pendekar agar diterima di dalam dunia tersebut, jika dia tidak memilikinya, maka hanya satu yang akan didapatkannya, yaitu kematian.

Tidak berhasil membangunkan Lanang Sorang, Saura terpaksa merapal mantra untuk memasuki alam bawah sadar pemuda itu akan tetapi dia tidak mampu melakukannya.

Ada cahaya terang melindungi tubuh Lanang Sorang, cahaya yang berputar pelan tapi begitu kuat. Cahaya itu hampir mirip seperti cahaya ketika Lanang Sorang ditikam oleh Tombak Gelong Sakti di tangan Senikar. 

"Apa yang terjadi?" gumam Saura. "Kenapa aku tidak bisa menembus alam bawah sadar manusia ini."

Kekuatan dari bangsa lelembut salah satunya adalah mampu memasuki alam bawah sadar manusia, tapi Saura bahkan tidak bisa mendekati Lanang Sorang.

Beberapa kali Saura mencoba untuk memasuki alam bawah sadar Lanang Sorang, akan tetapi tiada hasil yang memuaskan,

Akhirnya wanita itu menyerah dan pasrah walau hati diliputi dengan perasaan bersalah, berharap jika Kakeknya tidak membunuh pemuda tersebut.

Sementara itu, cahaya di tubuh Lanang Sorang semakin jelas, hingga tampak menyilaukan, 

Semakin lama Lanang Sorang bertapa, semakin dia hanyut dalam ketenangan dan keheningan dunia. Seolah, semua hal di sekitarnya hanya ada kehampaan.

Ketika dia telah berada dalam situasi hidup dan mati, tiba-tiba Lanang Sorang merasakan adanya getaran energi yang menarik tubuhnya.

Dia melihat setitik cahaya hijau diantara gelapnya pengelihatan. Lambat laun, cahaya hijau terang itu semakin membesar, terus membesar setiap saatnya.

Lanang Sorang dihisap ke dalam cahaya itu, dia bahkan bisa merasakan tubuhnya kini melewati beberapa ruangan yang aneh.

Semakin dalam dia terhisap, semakin dia merasakan ketakutan yang teramat sangat. Rasanya dia hendak kembali ke alam sadar, tapi jiwa dan pikirannya telah terjebak di dalam lorong aneh ini.

Tanpa disadari Lanang Sorang, dia mulai menembus tabir tipis pemisah antar dua dunia yang disebut tabir gaib.

Lanang Sorang berteriak keras, tapi suaranya sama sekali tidak terdengar, pada saat yang sama lorong ini menghisapnya semakin kuat.

Lalu tiba-tiba. Lanang Sorang jatuh di sebuah tempat yang sangat asing.

Tempat itu dipenuhi oleh rumput pendek berwarna hijau yang membentang begitu luas nan panjang.

"Dimana aku?" gumam Lanang Sorang.

Langkah kaki Lanang Sorang sedikit terhuyung dan bergetar, menyusuri setiap petak hamparan rumput ini hingga akhirnya dia berhenti tepat dipinggir jurang yang dalam.

Di bawah jurang itu ada sungai yang begitu luas lagi deras, jika dia jatuh ke sana, mungkin saja nyawanya tidak akan selamat.

"Apa yang kau cari di tempat ini, Manusia?" terdengar suara serak tapi sangat berwibawa datang dari arah belakang Lanang Sorang.

Bergegas pemuda itu menoleh, menemukan seorang kakek tua berambut putih dengan janggut panjang. 

Pakaian yang dikenakan oleh kakek itu juga berwarna putih seperti kapas. Dua tangannya berada di belakang punggung, tapi yang aneh adalah, Lanang Sorang tidak berani menatap mata kakek tersebut, seolah ada kekuatan di tengah dua bola mata yang kecil tertutup oleh alis tebal.

"A ....A...., apakah kakek tinggal dib tempat ini?" tanya pemuda itu, suaranya terdengar serak lagi gagap.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Manusia?" lelaki yang berpakaian serba putih itu bukan malah menjawab, akan tetapi balik bertanya.

"Aku ingin mencari seorang guru, untuk membalaskan dendam kematian orang tuaku," jawab Lanang Sorang, suaranya masih terdengar serak.

"Membalas dendam?" tanya Kakek Tua itu, "Dendam hanya akan membuatmu tersesat anak muda,  dengan kau datang ke tempat ini, apa kau pikir akan memenuhi tujuanmu?

"Aku sudah tersesat, bahkan kini aku sendiri tidak mengenali siapa diri ini," suara Lanang Sorang terdengar pelan, dipenuhi dengan emosi dan keputus asan, "Paman Senikar telah membunuh Ayah dan Ibuku, sebagai seorang anak aku ingin membalaskan dendam kematian mereka, bahkan tidak peduli jika jalan yang kutempuh dianggap sesat oleh orang lain."

"Kau akan menemui takdirmu anak muda" lelaki itu menjawab seraya berlalu, hingga lenyap ditelan kabut. 

"Kakek apa maksud dari kata-kata mu? " Lanang Sorang sedikitpun tidak mengerti jawaban dari Sang kakek, sehingga dia mencoba mencari keberadaan orang tua itu tapi tidak berhasil menemukannya.

Lanang Sorang memanggil ke sana ke mari, tapi sayang tidak ada sahutan.

Di alam sadar, entah sudah berapa lama Lanang Sorang bersemedi di bawah curahan air terjun Curup Pintu Langit, dia sendiri tidak tahu.

Ada perbedaan waktu antara alam lelembut dan alam manusia. Satu hari di alam manusia kadang kala sama dengan 10 hari di alam lelembut, atau bahkan sebaliknya.

Setelah berhari-hari Lanang Sorang berjalan tanpa arah yang pasti, hanya untuk mendapatkan sebuah petunjuk.

Hingga Sampai suatu malam Lanang Sorang bertemu dengan seorang wanita yang entah mungkin sudah berumur ratusan tahun.

"Apakah nenek tinggal di tempat ini?" tanya Lanang Sorang dengan nada yang sedikit ragu.

Wanita itu tidak menjawab, dia malah memandangi Lanang Sorang dari ujung kapala sampai ujung kaki.

Tak lain dia adalah istri Eyang Saba bernama Nyi Rebia. Eyang Saba adalah nama dari kakek tua yang bertemu dengan Lanang Sorang di padang rumput tempo hari.

"Kau benar sekali anak muda, nenek memang tinggal di tempat ini, tetapi nenek mau bertanya satu hal, ini akan menentukan apakah kau akan tetap hidup atau mati di tempat ini."

Mendengar hal itu, betapa terkejutnya Lanang Sorang saat ini, wajahnya mendadak pucat pasi.

"Hidup atau mati?" Lanang Sorang benar-benar tidak mengerti kenapa wanita ini mengatakan kalimat tersebut.

Apakah di tempat ini semua orang tua sudah gila? hingga hidup dan mati seorang manusia tampaknya hal yang biasa.

"Dari mana kau mendapatkan Anting dan Sabuk itu?" suara nenek itu terdengar pelan dan lembut, tapi maknanya begitu dalam hingga bulu kuduk Lanang Sorang mendadak berdiri. "Apa kau mencurinya, dari temanku?!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Lanang Sorang BB 6-7-8
11
6
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan