Bab 19 | Mustika Ratu

19
7
Deskripsi

“Benar kata pepatah, manusia hanya bisa merencanakan. Sisanya? Ya tergantung skrip. Seperti Tian ini, sedang menghadapi kejutan ala-ala reality show, karena yang menulis alur hidupnya, lagi punya hobi baru—ngacak-ngacak bejana takdir. ”

Benar kata pepatah, manusia hanya bisa merencanakan. Sisanya? Ya tergantung skrip. Seperti Tian ini, sedang menghadapi kejutan ala-ala reality show, karena yang menulis alur hidupnya, lagi punya hobi baru—ngacak-ngacak bejana takdir. 

Bah, malang sekali tokoh fiksiku.

Mobil double cabin itu berderu pelan memasuki pekarangan rumah, bannya menggilas kerikil hingga mencipta debu tipis. Tian tak langsung turun begitu mesin mobilnya mati. Dia masih duduk di sana, menyatu dengan jok seolah tubuhnya sudah remuk kehabisan tenaga. Pria itu menyugar rambutnya, menatap kosong pada dashboard yang seolah mengejeknya.

Satu masalah belum selesai, masalah lain datang lagi.

Sebuah insiden yang datang seperti plot twist murahan. Harusnya, akhir minggu ini Tian berangkat ke Jakarta, menemui Ratu dengan kondisi yang sudah bersih dari masalah. Tidak ada lagi Asma, tidak ada lagi rencana pertunangan. Sebab, harusnya restu Papa dan Mama sudah dia kantongi. 

Tapi lihatlah di mana dia sekarang. Terpekur lemas kehabisan tenaga setelah kejadian sore kemarin. Karena tambak yang dia kira sudah comply standar keselamatan, menyiagakan tim K3, serta pelatihan berkala—rupanya masih bisa membuat kejutan listrik bertegangan tinggi yang nyaris menghilangkan satu nyawa pekerjanya. 

Dan apa kemarin katanya?

Tambaknya pakai sistem IoT?

Bah, lucu sekali. 

Sebab, IoT sialan itu lah yang membuat Tian tidak jadi bertemu Asma pagi tadi untuk menyelesaikan semuanya. IoT itu juga yang membuatnya tidak bisa memikirkan yang lain selain RSUD, inspektorat, Dinas Tenaga Kerja, dan rapat dadakan bersama tim K3.

Bang Otang, salah satu dari teknisi yang juga memerangkap sebagai operator harian—kemarin sore terkapar di pinggir kolam karena tersengat listrik dari panel utama aerator. Sistem DO-nya yang goblok itu, mengalami error dan mengira air di dalam kolam masih berisi benur yang butuh suplai oksigen, sehingga aerator menyala otomatis sejak dini hari. Padahal, yang sebenarnya adalah, kolam itu sudah kosong dan sedang disterilkan setelah panen dua hari lalu. Harusnya semua sistem otomatis berhenti.

Tidak ada yang sadar, tidak Tian, tidak juga sistem notifikasi di dashboard. Hanya Bang Otang yang peka, yang akhirnya nekat turun dengan alasan mau mengecek panel kabel, tanpa APD lengkap, tanpa izin supervisor sama sekali. Ya, karena, Bang Otang hanya melakukan berdasarkan inisiatif pribadinya yang kasihan kalau aerator tetap nyala padahal kolam kosong. 

Dan boom!

Letupan masalah pun terjadi. 

Alih-alih menyelamatkan aerator, Bang Otang malah terlempar di sisi kolam dan pingsan. Ambulans pun datang cepat, melarikannya ke rumah sakit kabupaten.

Tian ingat jelas sore kemarin saat ikut mengantar ke rumah sakit. Ketika keluarga Bang Otang memasuki IGD dengan wajah pucat, dan Tian hadir untuk meminta maaf dan menangkan keluarga. Mengurus semua administratif bersama bendaharanya. Juga ketika pihak Dinas Ketenagakerjaan menggelar inspeksi dadakan. Ketika tim K3 menjelaskan bahwa panel tidak diberi label baru dan mereka mengira dashbaord sudah di-reset. Padahal, tim K3 tambaknya selama ini bisa dibilang sangat disiplin. Prosedur dijalankan, safety gear tersedia. Pelatihan berkala, dokumentasi audit—semua rapi. 

Tapi musibah, ya musibah, titik. 

Tian membuka pintu, meloncat turun ke bawah. Sepatunya menghantam kerikil, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah yang sudah kelewat sepi. Selesai melempar sepatu ke sudut pintu, pria itu memutar tubuh dan menemukan Mamanya berdiri di ujung tangga, dengan daster berbahan satin yang membuat aura wanita pejabatnya tak bisa ditanggalkan.

“Baru pulang, Bas?”

Bastian mengangguk. “Mama belum tidur?”

“Ini mau tidur, tapi kebangun lagi. Mama dari kamar kamu. Habis nganter batik. Itu lho, kamu ingat kan acara peresmian yang kemarin Papamu bilang?”

Tian tak langsung menjawab. Dia menghindari acara sosial belakangan ini karena … orang-orang sibuk bergosip di belakangnya soal pertunangan yang ditunda tiba-tiba. Bukan Tian peduli, dia hanya menyelamatkan pikirannya dari hal-hal yang tidak penting. Lagi pula, apa yang orang-orang katakan tentangnya memang benar.

Bahwa dia, tergoda dengan perempuan lain.

Bahwa dia, tidak serius dengan Asma.

Bahwa dia, terus mengulur waktu.

“Besok?” Tanya Tian.

“Iya, acaranya jam delapan. Pagi banget memang, tapi kamu datang ya? Nanti pakai batik yang Mama kasih. Sudah digantung di lemari, tadi baru aja selesai disetrika sama Mbok,”

Tian menghela samar, kemudian mengangguk, ujung bibirnya bergerak sedikit, tersenyum kecut pada Mama. 

Pria itu menggaruk kening yang tak gatal. Satu jam saja, lalu dia akan kembali mengubur diri pada masalah tambak. 

“Saya naik ke atas dulu, Ma,” ujarnya, melewati Mamanya. 

Kelemahan Bas adalah, dia selalu ingin jadi anak baik. Anak yang patuh dan tidak mengecewakan orang tua. Dia selalu ingin mengusahakan itu. Tapi … kemudian dia lupa, bahwa hidup ini tidak melulu soal menyenangkan orang lain. Dirinya sendiri, juga harus punya prioritas yang ditempel paling tinggi di antara yang lainnya. 

Dan prioritas itu, bukan lagi berisi Mama-Papa. Tergeser begitu saja oleh sosok gadis paling liar yang pernah dia temui, gadis yang selalu mendongak angkuh tapi diam-diam ingin dipeluk, gadis yang kemarin bilang tidak akan menangis tapi malah terisak begitu Tian menyeret tubuhnya keluar dari apartemennya—Mustika Ratu.

Tian menutup pintu kamarnya, merogoh ponselnya di dalam saku celana. 

Ya, Ratu.

Bagaimana dia bisa lupa?

Pria itu menyalakan ponselnya, tapi dayanya keburu habis. Buru-buru Tian duduk di sisi ranjang, meraih charger kemudian mulai mengisi daya. 

Saat benda pipih itu berhasil dia nyalakan, muncullah notifikasi sepuluh panggilan tak terjawab. Dua dari Mama, dan sisanya dari Ratu. 

Bodoh.

Tian melirik jam, sudah pukul sebelas malam. Pria itu ingin menelpon balik, jempolnya sudah hampir menyentuh tombol hijau di samping profil Ratu, tapi rupanya sudah terlalu larut, Ratu pasti sudah tidur. Ponselnya juga kehabisan baterai. 

Alah, alasan kau Bang!

Seolah tidak puas meneror dengan panggilan, Ratu juga mengirimkan beberapa pesan.

From: Ratu 07.23
Aku ini sebenarnya pacar kamu bukan sih? Atau masih kamu anggap mantan yang nggak punya hak buat dapat kabar dari kamu?

From: Ratu 10.15
Bagus ya! Matiin aja terus hp kamu!

From: Ratu 10.30
Nggak usah telpon-telpon aku lagi!

From: Ratu 17.06
Aku ngambek!

From: Ratu 19.45
Tiaaaan!

From: Ratu 19.45
Angkat telponnya!

Tian mengusap wajah. Dia mengerti kekesalan Ratu. Sudah terbayang di otaknya bagaimana ledakan amarah perempuan itu nantinya. Tapi, Tian tidak melakukan itu dengan sengaja. Dia benar-benar tidak memperhatikan ponselnya sejak kemarin. Terlalu terfokus pada masalah yang ada sampai lupa, kalau ada seorang wanita di seberang pulau sana yang tengah menunggu kabarnya.

Tian mengirim pesan balasan.

To: Ratu 23.12
Maaf aku nggak lihat panggilanmu.Besok pagi aku telpon balik

Tian meletakkan ponselnya, berdiri berkacak pinggang, mendongak pada langit-langit. Dia kesal pada dirinya, pada kelalaiannya untuk membenahi semuanya dalam satu waktu. 

***

Jangan tanya kenapa wajah Tian mengkrut sekarang. Belum selesai isu tambak, isu baru muncul lagi. Sebutlah ini kesengajaan yang tidak disengaja. Tian berdiri jauh dari podium, dengan batik biru laut bermotif gelombang yang semalam disiapkan Mamanya yang ternyata punya saudara kembar. 

Iya, saudara kembar. Motif gelombang laut yang membentuk setengah hati itu, setengahnya lagi ada di balik kain yang dipakai wanita itu. 

Siapa lagi kalau bukan Asma?

Asma berdiri anggun dengan pashmina yang berkibar tertiup angin. Bertepuk tangan mendengar sambutan dan jargon-jargon semangat yang dibacakan Papa Tian di atas podium. Meski kedengarannya amat freak, para tamu acara ikut tertawa lebar. Entah menertawakan jargon Papa yang terlalu template, atau menertawakan Papa pribadi.

Entah lah.

Tian hanya bisa menegakkan punggung, menatap lurus ke arah podium. Semua orang terlihat serius pada acara, sementara fokus Tian terbagi. Harus meladeni plot membosankan dalam hidupnya. Karena kalau dia bisa ambil kendali dalam cerita, mungkin sudah dia setting dirinya berbaring di sebelah Ratu, memeluk perempuan itu dan menghidu baunya. Atau akan dia naikkan statusnya dari Pacar menjadi Suami. 

Bah, bukan main.

Sayang sekali, Tian masih harus bergelut pada situasi personal yang memuakkan. 

Andai dulu dia cepat meredam egonya dan mengikuti kata hati, mungkin Ratu masih di sini. Masih sepedaan keliling kampung dan menggendong keranjang piknik berisi snack dan buku yang tidak pernah benar-benar dia baca.

“Bas, kamu kemarin bilang mau ketemu,” Asma menghampirinya dengan senyum lembut, sesaat setelah acara gunting pita ala-ala itu selesai.

Tian padahal sudah siap melarikan diri ke rumah sakit karena harus follow up kondisi Bang Otang.

Gayamu sudah kayak dokter kau, Bang! 

Bang Otang kau follow up, sementara pacarmu kau abaikan.

“Aku ada urusan mendadak,” Bas memandang perempuan di depannya. “Maaf,”

“Oh, iya. Aku dengar kok. Bang Otang ya?” Tanya Asma bersimpati. Wanita itu duduk di atas pasir, tepat di bawah pohon ketapang, Tian juga ikut duduk di atas batu besar.

Pria itu melihat jam yang berdetak di tangan kirinya. 

“Iya,”

“Gimana keadaannya, Bas?”

“Sudah membaik. Sudah bisa diajak ngobrol,”

Asma mengangguk pelan, “Syukurlah, Bas. Aku sempat khawatir waktu dengar beritanya. Semoga nggak sampai nyeret ke ranah hukum ya. Karena kalau udah nyangkut tenaga kerja, urusannya bisa panjang,” ujarnya, mendongak menatap Tian dengan lembut.

“Tapi, aku yakin kalau kamu bisa tangani. Dari dulu juga selalu bisa,” lanjutnya dibubuhi senyum manis.

Harusnya, Tian merasa hangat. Ada seorang wanita yang memberinya semangat. Menaruh percaya padanya. Dikasih senyum gratis pula. Memangnya, Ratu bisa diajak diskusi seperti Asma? Yang ada Ratu ke rumah sakit berkoar-koar mengomeli Bang Otang karena tidak pakai APD dan mengikuti SOP.

Tapi alih-alih terkesima dengan Asma, Tian justru mencium aroma manuver halus dari ucapan perempuan itu.

Memang, kan dia sudah sepaket sama Ratu. 

Sama-sama suka suudzon.

Padahal, niat Asma murni karena simpati.

Entah kenapa Tian jadi sensi begini.

Mungkin karena dia menolak dicap memberi harapan pada Asma? Atau karena dia kesal bajunya punya kembaran?

Ups.

Tian hanya menanggapi dengan anggukan singkat dan satu helaan kecil. 

Sementara Asma, masih memamerkan senyum. Masih belum menyerah untuk menyisipkan dirinya di antara narasi hidup Sebastian. Sebab, sejak malam di mana Tian mendatanginya dan mengatakan bahwa pertunangan itu harus ditunda dengan alasan mendadak—di sanalah Asma mulai menyadari, bahwa dia belum benar-benar berhasil menjadi prioritas pria itu.

Dia perlu usaha lebih.

Tidak ada yang instan di dunia ini.

Mungkin, Tian masih ragu melangkah bersamanya dalam mahligai hubungan yang lebih suci dari sekedar status tunangan.

Tian menegakkan tubuh, wajahnya tampak serius. “Asma,”

“Iya Bas?”

“Aku akan bertemu Abah kamu dalam waktu dekat,”

Asma mengerjap. “Oh ya? Kapan?” Tanyanya sembari mengusap-usap roknya yang terkena pasir.

“Belum pasti waktunya, tapi kemungkin dalam minggu ini,” Tian berdiri, “Aku masih ada agenda lain setelah ini,”

Asma ikut berdiri, “Mau menjenguk Bang Otang? Aku ikut sekalian, Bas,”

Sebenarnya Tian memang berniat ke rumah sakit, tapi … dia tidak ingin datang bersama Asma. 

Sejak dia menyelipkan cincin di tangan Ratu, Tian mulai memagari dirinya dari bersinggungan dengan wanita lain. Paling tidak, kalau urusannya dengan Asma belum dibenahi, Tian sudah memberi jarak. 

“Aku masih ada urusan di tambak. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut Bang Benget. Dia akan ke rumah sakit juga setelah makan siang,”

Asma yang hendak membuka suara, kembali mengatupkan mulutnya, hilang kata.

“O-oh … gitu. Yaudah, aku sama Abah aja ke sana,”

Tian tidak mengangguk, tidak juga menjawab. Dia hanya … berpaling, pamit, kemudian berjalan pergi.

Sebenarnya, dia merasa bersalah dengan Asma. Perempuan itu baik. Tapi Tian tidak ingin terkesan memberi harapan, atau membuka peluang.

Sudah.

Cukup.

Atau semua akan semakin keruh dan sulit dituntaskan.

***

Tian menunggu dengan sabar, namun operator di ujung nada selalu berseru ‘Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan.”

Pria itu memandangi layar ponselnya, tepatnya pada pesan Ratu siang ini. 

From: Ratu 13.30
Bodoh ah! Kamu kayak caleg yang omongannya nggak bisa aku pegang!

Ya, Tian salah lagi. Harusnya dia menyetel alarm semalam untuk menelpon Ratu pagi ini. Tapi dia lagi-lagi lupa. 

Lupa terus aja Bang!

Tian ini bukan pengangguran. Banyak orang menggantungkan hidup padanya. Jangankan orang, ribuan ekor udang dan kepiting pun menggantungkan diri pada Tian. Tapi, itu tentu bukan alasan yang bisa Ratu terima. Terlalu klise. Memangnya, Ratu juga pengangguran yang tidak punya kesibukan selain menunggu kabar Tian?

Ini, bukan soal sibuk.

Ini soal, prioritas.

Dan Ratu, entah di nomor berapa. Kalah saing dengan Udang. Kalah saing dengan kepiting. Kalah saing dengan tambak.

Tian belum menyerah rupanya. Pria itu bersandar pada board ranjang dengan ujung jempol menekan tombol video call di sebelah profil WA Ratu. Nada panjang kembali terdengar. Tian menunggu sabar berharap di tengah-tengah nada itu muncul wajah Ratu.

Dan rupanya narasi hidupnya tidak melulu menyiksanya. Karena kali ini, deringnya berhenti, berganti dengan suara gresak-grusuk di seberang sana.

“Ih kok malah keangkat sih,” suara gerutuan kesal menyambutnya, wajah Ratu menyusul. Tentu saja dengan air muka cemberut. Bibir bawahnya maju ke depan, membuat Tian mengulum senyum.

“Apa senyum-senyum!” Sembur Ratu galak.

Tian mulai berbaring dengan rileks. “Sudah makan? Jam berapa sekarang?”

“Emangnya kamu ABG yang nanya-nanya soal jam makan pacarnya?” Ratu membanting tubuhnya di kasur, menatap Tian dengan mata berkilat tajam. Matanya memicing penuh perhitungan.

“Jahat kamu! Aku ngambek sama kamu! Aku nggak mau lagi ngomong sama kamu!” Lanjut Ratu berapi-api, melempar ponselnya ke sisi lain hingga kamera hanya menyorot langit-langit kamarnya.

“Tu … aku mau lihat wajah kamu,”

“Nggak boleh! Aku masih marah!”

Tian berguling hingga tengkurap. “Aku sibuk, Tu, maaf,”

“Bohong! Kamu sibuk pacaran kan? Ngaku kamu!”

Tian mengusap rambutnya sendiri, “Beneran, Tu …”

“Kamu bilang mau ke Jakarta minggu ini. Mana? Yang aku lihat kamu malah asyik pacaran sama Asma. Terus, pakai baju couple. Aku aja nggak pernah lho pakai baju batik samaan kayak gitu. Bentuk love-love gitu. Kamu nggak pernah beliin aku batik!”

Oh, mau dibelikan juga rupanya.

Tian ternganga. Sebelum dia bertanya dari mana Ratu tahu, ingatannya pun berputar jelas saat tadi banyak orang sibuk menyalakan kamera. Mungkin, tanpa sadar, dia ikut tersorot, lalu masuk story, lalu entah bagaimana Ratu bisa tahu.

“Tu … lihat aku,” 

“Nggak mau! Kamu bajingan brengsek!”

Tiang mengusap wajah.

“Ratu …”

“Apa sih panggil-panggil?!” Ratu akhirnya meraih ponselnya. “Apa? Kamu mau bilang apa lagi? Nggak sengaja? Nggak tahu, gitu?”

“Tu … batik itu disiapin Mama. Aku nggak tahu,”

“Emangnya Mama kamu nggak tahu juga kalau calon menantunya udah ganti haluan?”

“Hah?”

Tuh kan! Kamu ngapain aja sih waktu pulang? Kamu bilang mau pulang beresin semuanya? Tapi yang aku lihat adalah kamu yang sibuk sama urusan kamu sendiri,” Ratu berkaca-kaca di depan kamera, suaranya terdengar sumbang, membuat Tian semakin terpojok saja.

“Ratu, aku memang mau beresin semuanya. Aku udah bilang sama Papa tentang kamu, tentang keputusanku, aku udah bilang, Tu. Tapi … kamu tahu kan kalau masalah ini nggak hanya berdiri di antara aku dan Papa?” Tian mencoba menjelaskan perkaranya, tapi di mata Ratu, itu malah terkesan sebagai pembelaan.

“Kamu sebenarnya serius nggak sih sama aku, Tian?” Ratu mengusap wajahnya yang basah. 

“Aku serius, Ratu,” Tian menekan suaranya dengan panjang. “Aku serius waktu aku bilang mau kamu jadi istriku. Aku, bisa saja sekarang ke rumah kamu, ketemu Papa kamu, meminta kamu dengan baik-baik. Tapi Tu … aku harus selesaiin dulu urusanku dengan keluarga Asma. Aku tetap harus memulangkan dia ke keluarganya dengan benar. Aku nggak ingin masih terpaut dengan perempuan lain di saat aku ingin gandeng kamu serius ke pelaminan,”

Ratu memanyunkan bibirnya. “Terus kenapa lama banget? Kenapa kamu bilang cuman seminggu. Ini udah lebih dari seminggu, Tian!” Tangan gembul Ratu lagi-lagi mengusap matanya yang basah. Wanita itu menangis dramatis. 

“Aku ada masalah, Tu. Waktu aku pulang itu, aku hanya sempat bicara sama Papa. Terus aku ditarik lagi sama daerah dengan agenda-agenda yang nggak bisa aku batalkan. Dan kemarin, aku sudah berniat ketemu Asma, tapi—”

Buat Apa?” Potong Ratu tajam.

“Aku butuh bicara, Tu. Aku butuh mengakhiri ini dengan benar. Sebelum aku ketemu Abahnya aku ingin Asma mengerti alasanku,”

“Alah, nggak perlu. Dia nggak perlu ngerti,”

“Ratu …”

“Aku nggak suka dia Tian,”

Tian mengusap keningnya, “Tu … aku tetap butuh bicara. Aku ingin semua selesai dengan benar,”

“Kamu mau ketemu terus dinner gitu sama dia?” Tuduh Ratu.

“Bukan begitu,”

“Terus gimana? Ngajak dia ke warkop? Kamu tahu nggak Tian? Kamu tuh kebanyakan basa-basinya. Udah langsung aja bilang kamu cinta aku terus kamu nggak bisa hidup tanpa aku, terus kamu maunya nikah sama aku. Udah, beres. Mama sama Papa kamu juga pasti akan ngerti. Asma juga bisa berhenti berkutik kayak itik,”

Tian mengulum senyum geli. Sedikit terhibur dengan respon Ratu.

Ratu menggaruk belakang kepalanya, matanya masih sembab sisa menangis. “Tapi, kamu jangan langsung ketemu Papaku,”

“Kenapa?”

Ratu menengok kuku-kukunya yang cantik, lentik, dibubuhi manik-manik kristal manja. “Nanti Papaku syok berat. Soalnya, Papa belum mau aku nikah, maunya aku s2 dulu,” 

“Harus mau,” Tian kembali terbaring terlentang, kali ini lebih rileks. “Aku maksa,”

“Dih, siapa kamu?” Ratu berdecih.

“Pacar kamu,”

“Geli banget aku dengernya. Pacar macam apa yang nggak ngabarin pasangannya selama berhari-hari?” Ratu kembali ingat kekesalannya. Sata Tian hendak membuka mulut, Ratu kembali menyela. “Apa? Kamu mau bilang sibuk lagi? Ah udah lah, emang aku nggak pernah jadi top priority kamu,”

“Aku mau lamar kamu, Tu,” kata Tian ringan.

“Kamu nggak nyabung!” Ratu berseru ketus, tapi bibirnya berkedut menahan senyum. 

“Aku mau lamar kamu jadi istriku, Tu,” bisik Tian kali ini terdengar usil. Dia tahu, komunikasi mereka hanya akan menggantung dan berakhir tak ketemu kalau sama-sama menggebu.

“Diam!” Ratu menyembunyikan wajahnya di bantal, kameranya dibuat menghadap kasur. 

Tian terkekeh lucu. Membayangkan setiap hari berhadapan dengan amarah perempuan itu, membuatnya ingin meloncat dari kasur dan segera memakai sepatu, melangkah ke rumah Ratu dan meminta restu.

Sayang, Tian harus tertahan pada keputusan sembrono yang dia buat di masa lalu. Dan sekarang, seperti calon kepala daerah yang track record-nya harus jelas, Tian juga ingin meninggalkan jejak bahwa dia adalah pria serius. Bukan pria brengsek yang asal menebar janji.

“Tian …” Ratu muncul lagi di kamera. Wajahnya memerah. “Kayaknya kita nggak bisa nikah tahun ini, deh”

“Kenapa?” Alis Tian bertaut.

“Soalnya … Bennu Sorumba—MUA idaman aku—udah full book sampai Mei tahun depan,” Ratu tengkurap menopang dagu. “Aku juga belum tahu konsep gaun aku apa. Aku bingung mau pakai motif anoa atau burung mekongga. Nanti Kak Christie Basil ikut puyeng ngehadepin klien kayak aku,”

Hah?

Siapa?

“MUA—apa tadi?”

Ratu berdecak. “Em-U-A, Tian. Makeup Artist,”

“Oh … makeup,” Tian menganguk setengah paham. “Nanti kita bayar dia dua kali lipat biar bisa tahun ini,” sahut Tian enteng.

Ratu menggeleng. “Nggak bisa, kamu nggak akan mampu, Tian. Soalnya, di jajaran listnya udah banyak nama-nama besar dari istri pejabat sampai anak artis,”

“Kalau gitu, kita cari yang lain saja. Di sini banyak tukang makeup,”

“No … No …” Ratu menggeleng lagi, kali ini lebih keras. “Kamu mau pas hari akad cium keningku dan bibirmu jadi ketempelan bedak? Aku maunya yang udah profesional, lagian selera makeup-ku udah klop banget sama Kak Bennu,”

“Lebih baik bibirku ketempelan bedak daripada kamu nggak jadi milikku dengan segera,”

“Hallah! Kamu nggak cocok jadi begitu, Tian,” Ratu menekan kedua pipinya dengan sewot. Menyembunyikan kedutan di sudut bibirnya. 

“Tu …”

“Apa?”

“Nggakpapa, aku hanya mau panggil,”

Ratu memicing. “Ish! Ngeselin!” Serunya, dengan amarah yang dia buat-buat. Entah kemana kekesalannya tadi. 

“Tian …”

“Hm?”

Rambut-rambut Ratu diurai ke depan. “Lihat, aku habis cat rambut. Bagus kan warnanya?” Tanya perempuan itu. 

Tian memperhatikan rambut Ratu yang dipamerkan di depan kamera. “Bagus … warnanya kayak—kabut?”

Ratu berdecak, “Nggak sekalian kamu bilang kayak langit neraka?”

Tian terkekeh gemas.

“Ini tuh namanya ash gray balayage, terus warna base-nya pakai charcoal brown. Mahal Tian, mahal banget,”

Tian mengangguk, “Kelihatan,”

“Kamu nggak tanya kenapa aku cat rambut?”

“Kenapa?”

Ratu mendekatkan wajahnya ke kamera, sangat dekat sampai Tian bisa melihat bulu hidung pacarnya itu. “Soalnya, tadi ya Tian, aku ketemu anak nakal!” bisik Ratu.

“Anak nakal?”

“Hum! Dia lempar bola coba ke aku, terus kena kopi, tumpah, sampai laptop aku basah,”

“Rusak?”

“Udah dibenerin sih,” Ratu mengedikkan bahu, tapi nada julidnya belum hilang. “Terus kamu tahu apa?”

“Apa?”

“Dia masih minum susu, Tian. Kebayang nggak, sih? Padahal udah gedhe lho, udah bisa tendang bola sampai gol ke ke pantry, tapi kok masih minum susu?”

Tian terkekeh. “Mungkin tubuhnya saja yang besar, umurnya masih kecil,”

“No, Tian. Dia udah gedhe. Dia masih pakai pampers juga, bayangin coba?” Ratu berdecak seperti cicak.

“Kok kamu tahu dia pakai pampers?”

“Soalnya tadi pas Daddynya datang—eh lucu ya kalau panggilannya daddy? Kamu mau nggak dipanggil daddy?”

Tian sontak menggeleng. Ratu itu ya, kebiasaan. Kalau bicara suka kemana-mana.

“Hehe, padahal keren kalau anak kita panggil kamu daddy,”

Senyum pun tak bisa lagi Tian hindarkan. Mereka sama-sama tertawa. “Aku mau dipanggil Ayah saja,”

Ratu kontan menggeleng kecil, “Jangan!”

“Kenapa?”

“Kalau kamu dipanggil Ayah, berarti aku dipanggil Ibu dong,”

“Iya,”

“Nggak mau, Tiaaaaan,” Rengek Ratu.

“Kenapa?”

“Aku kayaknya … mau jadi ibu yang galak. Jadi, lebih cocok dipanggil Mama,” ujar perempuan itu seraya terkikik geli. 

“Tian …” panggil Ratu lagi.

“Apa sayang …”

Ratu melotot heboh. 

Apa?

Tian bilang apa tadi?

Wah!

Ini rekor!

Tian sudah cocok jadi pemain ulung.

“Ih! Kok kamu panggil aku gitu!”

“Panggil kamu apa?” Goda Tian meski nadanya terdengar datar. Tapi dia sangat menikmati ekspresi Ratu.

“Itu,”

“Apa?”

“Ah bodo ah! Aku mau berak!” Ratu menghentakkan kaki ke lantai. “Udah dulu,”

“Aku ikut,” ujar Tian.

“Ih? Kemana?”

“Bawa hp kamu, aku masih mau dengar suara kamu,” perintah Tian, berbaring miring.

Ratu mengernyit, “Kamu mau dengar suara aku ngebom kamar mandi?”

“Iya,”

“Aneh kamu! Udah ah!”

“Bawa aja, Tu,”

“Nggak mau! Udah, aku kebelet banget ini. Jangan lupa ya, kamu bilang yang tadi sama Asma. Awas kamu kalau lama-lamain sama dia!” Lalu Ratu meringis, bibirnya memenuhi kamera. 

Cium jauh.

Geli sekali kan, gaya pacarannya?

“Muah! Babay!” suara itu menghilang bersamaan dengan sosok Ratu yang lenyap berganti kolom chat mereka.

Tian tersenyum kecil. Meletakkan ponselnya kemudian berbaring terlentang. Besok semuanya harus lancar. Tian sepertinya tidak akan menunggu masalah tambak selesai. Dia harus bergerak cepat. Sebab, semakin dia melihat wajah Ratu, semakin besar juga keinginannya untuk membopong wanita itu di depan penghulu. 

Dia harus segera meminta restu. Karena katanya, mereka harus mengantri jadwal tukang makeup. Jangan sampai dapat giliran tahun depan. 

***

Alah Bang!

Made With Love,
Searth

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 26 | Kembang Tujuh Luka
8
3
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan