
Prolog
Sierra bersumpah, jika kakak-kakaknya tak juga berhenti berusaha menjodoh-jodohkannya dengan teman-teman mereka, ia akan melarikan diri dari rumah tanpa meninggalkan satu surat pun hingga mereka akan harus mencarinya sampai setengah gila. Tentu saja ia tak pernah benar-benar ingin memiliki kakak-kakak setengah gila. Tapi jika ini terus berlanjut, ia rasa ia yang akan menjadi gila pada akhirnya.
"Sierra, Apa kau suka hadiah dariku?" tanya Laurent dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Laurent, pria tinggi kurus dengan rambut hitam lurus yang dipotong rapi, terlalu rapi hingga membuat mata Sierra sakit ketika melihatnya. Pria itu memiliki penampilan yang serba berkilau. Rambut hitam berkilau, gigi putih berkilau, kulit wajah yang halus berkilau. Dari segi penampilan, Laurent itu sempurna. Benar-benar sempurna dan sulit dipercaya.
Jika boleh jujur, penampilan Laurent yang menyerupai tokoh utama dalam cerita bergambar tema komedi paling populer membuat Sierra berkali-kali hampir menyemburkan tawa. Tapi Yerico Adams–kakak pertamanya, tak akan senang jika ia membuat calon adik ipar kesayangannya tersinggung.
Sierra tak bermaksud menghina penampilan orang lain. Apalagi jika orang itu baik seperti Laurent. Ia juga sadar jika Laurent bahkan lebih baik dari orang yang pernah ia kenal. Lebih baik dari calon-calon adik ipar sempurna yang dikenalkan oleh dua kakaknya yang lain.
Uizaki, kakak keduanya yang berprofesi sebagai seniman patung, pernah berusaha menjodohkan ia dengan seorang seniman sastra yang pemuram. Pemuda tampan yang lebih memilih berbicara dengan komputernya dibandingkan dengan manusia.
Samuel, kakak bungsunya, seorang detektif yang ingin agar Sierra menikahi salah satu rekannya yang berjabatan tinggi. Seseorang yang bisa melindungi Sierra sepanjang hidupnya, kata Samuel, bukan katanya. Satu kali Samuel mengenalkan temannya itu dan Sierra menolaknya mentah-mentah.
Pria yang dikenalkan Samuel adalah yang terparah dari semuanya, karena berani menjilat punggung tangan Sierra di pertemuan pertama. Sierra curiga bahwa Samuel yang selalu memiliki lelucon paling kejam sedang menjadikannya korban yang kesekian.
Bahkan Yerico dan Uizaki menolak dengan tegas saat itu. Juga memperingatkan Samuel untuk tak membuat lelucon semacam itu lagi.
Sierra puas karena Samuel yang selalu menggodanya bisa dibuat diam seketika. Tapi setelah satu bulan, Yerico malah memiliki niat untuk menjodohkan Sierra dengan salah satu anak dari rekan bisnisnya, Laurent.
Laurent sempurna. Jika kau menyukai pria serba rapi seperti itu. Laurent mungkin akan menjadi pasangan yang sempurna, untuk orang lain, bukan untuk Sierra. Jika bersama Sierra, Laurent pasti akan memutuskan untuk bunuh diri setelah satu minggu. Sierra pintar membuat orang-orang ingin menggigit lidahnya sendiri jika ia sudah memutuskan untuk membuat orang jengkel.
Samuel berpendapat kalau Sierra sebenarnya pantas menjadi pengacara, atau jaksa, dibandingkan menghabiskan waktunya mencoret-coret kanvas dan menjualnya. Hanya Uizaki yang memahami seni yang paham dan menyebut profesi Sierra dengan benar. Sierra pelukis. Yerico menyebutnya Si Tukang Cat.
"Hadiahmu luar biasa!" ujar Sierra dengan ekspresi yang akan membuat para aktris teater gigit jari. "Kau pintar sekali memilih hadiah, Laurent."
Hidung Laurent terlihat kembang kempis karena bangga. "Sudah kuduga kau pasti suka," komentar Laurent, berusaha mendapat pujian yang lebih banyak. "Semua wanita suka perhiasan."
"Oh ya, kau benar." Sierra menempatkan dirinya di sofa tunggal ruang kerja Yerico yang letaknya di sebelah jendela kaca yang besar. Ia tadi memutuskan untuk menjauh sejenak dari hiruk pikuk pesta ulang tahunnya sendiri, tapi malah mendapati Laurent dan kakaknya itu sedang mengobrol di ruangan ini.
Ia hampir berhasil melarikan diri jika saja Yerico tak melihatnya dan memintanya untuk mengajak Laurent mengobrol sejenak. Tampaknya Yerico benar-benar menyukai Laurent hingga tak merasa khawatir meninggalkan Sierra dengan pria ini.
Sebenarnya Sierra jujur ketika mengatakan kalau hadiah Laurent luar biasa. Sebuah gelang emas putih dengan satu bandul kecil yang langsung Sierra ketahui bahwa itu berlian. Ia memang suka perhiasan. Emas putih adalah favoritnya. Ia suka tipe perhiasan yang tampak sederhana, tapi mahal. Yah, Laurent memang telah memilih hadiah yang tepat untuk Sierra. Pria itu jelas berusaha keras dengan bertanya pada kakaknya.
Mau tak mau, Sierra merasa cukup tersanjung.
"Kau tak ingin kembali ke bawah?" tanya Laurent, masih dengan senyum bahagianya.
Sierra menghela napas dan tiba-tiba saja memasang raut lelah yang berlebihan. "Aku sedikit lelah," katanya. "Maukah kau mengatakan hal itu pada kakakku sementara aku beristirahat sejenak di sini?"
"Kau sakit?" Laurent berjalan mendekat. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Tidak, tidak," ujar Sierra cepat. "Aku hanya sedikit lelah. Aku akan turun setelah sepuluh menit."
"Aku akan menemanimu di sini."
"Tidak! tidak." Sierra menurunkan nada bicaranya yang membuat Laurent sempat terkejut. "Maksudku, siapa yang akan memberitahu kakakku jika kau juga berada di sini? Pelayan tak bisa diandalkan," tambahnya sebelum Laurent sempat membuka mulut. "Mereka cenderung berlebihan menanggapi semua hal. Tentu saja kau sangat bijaksana."
Di dalam hati ia berkali-kali meminta maaf pada Laurent. Ia hanya sedang membutuhkan waktu sendiri dan memikirkan banyak hal. Salah satu yang harus ia pikirkan adalah, bagaimana caranya membuat kakak-kakaknya yang tampan sekaligus menjengkelkan agar mau berhenti berusaha menjodohkannya dengan setiap lelaki yang mereka anggap layak.
Sierra tak bisa menerima kenyataan kalau ia harus menikah di usia dua puluh tiga tahun sedangkan semua kakaknya –selain Samuel, sudah berusia di atas tiga puluh dan tak ada tanda-tanda ingin menikah.
Memangnya kenapa kalau ia perempuan?
Ia akan menikah saat ia ingin menikah, bukan karena ia harus.
Setelah Laurent keluar dari ruangan, Sierra turun dari sofa dan menepuk-nepuk bagian depan gaun pestanya yang mewah dan berwarna merah. Gaun itu mengikuti lekuk tubuhnya dan panjangnya sepuluh sentimeter di atas lutut. Bagian atasnya tanpa lengan dan berpotongan segitiga hingga membuat lehernya terlihat lebih jenjang.
Sierra berjalan di lorong lantai dua, dan mengendap-endap menuju kamarnya. Ia mengambil jaket hitamnya yang panjang sampai di bawah lutut, tas tangan kecilnya yang terbuat dari beludru berwarna merah tua yang di dalamnya sudah terisi ponsel dan dompet serta make up, juga sebuah flat shoes untuk menggantikan high heels yang sedang ia kenakan.
Tak ada waktu untuk mengganti pakaian.
Ia harus pergi sebelum salah satu kakaknya naik ke lantai dua untuk menyusulnya.
Sierra keluar dari kamar, kembali mengendap-endap menuju tangga lain yang biasanya digunakan oleh para pelayan. Ia keluar dari rumah dan hampir bersorak ketika berhasil mencapai pagar belakang.
Sampai ia melihat sesuatu–seseorang yang baru saja muncul dari kegelapan.
Pria paling tampan yang pernah ia lihat.
Mata beriris kelam milik pria itu tampak melebar sejenak setelah melihatnya. Tapi pria itu tak menunjukkan reaksi lain yang berarti. Seperti seseorang yang sulit ditebak. Sierra seharusnya takut. Ia seharusnya menjaga jarak dan memanggil satpam. Tapi ia tahu wajah itu. Rambut gelap itu. Wajah pucat tanpa ekspresi itu.
Pria itu adalah orang yang sama dengan orang yang berada di salah satu foto masa kecil Samuel. Seorang teman yang tak pernah mau Samuel sebutkan namanya.
"Apa kau kemari untuk menemui kakakku, atau kau datang tanpa diundang?"
Sierra bertanya dengan rasa ingin tahu yang besar. Alisnya bertaut. Rengutannya muncul ketika pria itu tak terlihat akan menjawab pertanyaannya.
"Kenapa kau berada di tempat ini?" Desak Sierra jengkel. Ia tak terbiasa diabaikan ketika ia berbicara. Ia melipat lengannya di depan dada dan mengentak-entakan satu kakinya dengan sengaja.
"Aku sedang bertanya padamu, orang asing." Sierra merasa semakin jengkel. "Apa kau tak punya sopan santun?"
"Kenapa kau berada di tempat ini?" Pria itu balik bertanya. Dan pertanyaannya, sejenak membuat Sierra panik dan menoleh ke belakang. Baru mengingat bahwa ia sedang dalam usaha melarikan diri dari pesta ulang tahunnya.
"Aku sedang mencari udara segar," jawab Sierra enteng. Memuji dalam hati dirinya sendiri karena bisa bersikap tenang.
"Siapa namamu?" Raut wajah pria itu masih datar saat menanyakan hal itu.
"Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?" tantang Sierra.
Pria itu terdiam sebentar sambil terus mengamatinya.
"Sierra Adams," bisik pria itu kaku. "Namamu Sierra Adams."
00000
Tertangkap basah oleh seseorang ketika sedang mengendap-endap adalah kesalahan pertama yang pernah dilakukan Ditrian Hart selama hidupnya. Tadi ia baru saja melompat dari pagar tinggi kediaman Adams dan berhasil terhindar dari kamera CCTV. Ia baru saja akan bergerak ke lain arah ketika suara langkah kaki ringan mendekat dan membawa Si Gadis berambut merah muda ke arahnya.
Mata besar dan hijau gadis itu sudah terarah padanya dan tak bisa ia hindari lagi. Ia tak mau membuat kehebohan dengan menghindar dan membuat gadis itu berteriak ketakutan sehingga mengundang lebih banyak orang.
Jadi ia berdiri di tempat itu, memperhatikan setiap tindakan gadis itu sementara ia membuat rencana menyingkirkan gadis itu tanpa menimbulkan keributan. Ia harus membungkam gadis itu. Tak peduli walau gadis itu cantik dan memiliki mata yang indah. Gadis itu sudah melihatnya. Dan dari cara ia menatap, gadis itu tak akan melupakannya dengan mudah.
Lalu gadis itu mulai menanyakan banyak hal dan tak terlihat gentar sedikit pun. Rengutan gadis itu karena Ditrian menolak untuk bercakap-cakap terlihat sangat menghibur. Ditrian jarang terhibur selama hidupnya. Jadi Ia melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Menunda.
Gadis itu berbohong saat mengatakan sedang mencari udara segar. Gadis itu jelas sedang melarikan diri dari pesta yang berlangsung di dalam rumah besar di belakangnya. Gadis itu adalah sang Putri satu-satunya di keluarga Adams yang kaya raya. Ditrian sudah menyadarinya sejak tadi.
Sierra Adams Sang Putri yang manja.
Ia sudah banyak membaca artikel tentang keluarga ini selama berbulan-bulan. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal. Adams bersaudara yang berjumlah empat orang terkenal sangat dekat dan saling menyayangi. Si Bungsu, satu-satunya anak perempuan di keluarga itu terkenal sangat manja dan sombong. Tapi tak bisa dipungkiri, cantik.
Ditrian tak menyangka bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang selama ini hanya bisa ia lihat di kolom gosip majalah bisnis dan artikel di internet. Dan ia dengan terpaksa akan harus mematahkan leher cantik gadis itu.
"Darimana kau tahu namaku? Apakah Samuel yang mengatakannya padamu?"
Nama itu membuat rasa penyesalannya karena harus membunuh orang yang tak bersalah, hilang begitu saja. Adams Samuel adalah alasan kenapa ia berada di tempat ini sekarang. Pria yang pernah menjadi teman masa kecilnya itu telah membunuh satu-satunya keluarga yang ia miliki. Pamannya yang –walau pun keras, telah mengurusnya sejak kecil.
Ditrian sudah terbiasa membunuh orang, karena itu memang pekerjaannya. Tapi ia membunuh atas permintaan para klien dan mendapatkan bayaran setelah melakukannya. Walau begitu, ia tak pernah sembarangan menerima permintaan kliennya hanya karna ia ingin dibayar. Ia adalah pembunuh paling berbahaya di dunia gelap itu. Semua orang di bidang itu tahu siapa dia, julukannya.
Karena hanya segelintir yang pernah bertemu dengannya secara langsung. Kebanyakan orang bertemu dengannya tepat sebelum menuju kematian.
Orang-orang memanggilnya, The Darkness –kegelapan. Karena ia selalu berada di dalam kegelapan dan bayang-bayang.
Dan kegelapan itu sedang berada di tempat ini sekarang untuk membalaskan kematian pamannya.
"Hei, apa kau sakit atau semacamnya?" Adams Sierra berjalan mendekat. Ditrian tetap berada di tempat dan membiarkan gadis itu mendatangi kematiannya sendiri. Peraturan pertama dalam profesinya adalah, ia tak akan membunuh perempuan dan anak-anak, seharusnya. Peraturan kedua, ia tak boleh terlihat.
Jika seseorang melihatnya, maka ia harus dengan terpaksa membunuh orang itu. Walau pun itu anak-anak, atau pun wanita.
Sierra sudah berhenti satu langkah di hadapannya dan mengamatinya dengan sangat serius.
"Kau sangat pucat," komentar gadis itu pelan. "Apa itu memang kulit aslimu atau kau meminum sesuatu untuk membuatnya pucat seperti itu?"
Ditrian menunduk dan membalas tatapan Sierra yang masih terlihat menunggunya berbicara, lagi. Gadis itu jelas orang yang sangat keras kepala dan percaya diri. Tipe nona kaya yang keinginannya harus selalu dituruti. Ditrian menggali ingatannya dan mencari alasan yang lebih banyak untuk dapat membunuh gadis itu tanpa perasaan janggal yang tak masuk akal.
"Kau tak kemari karena diundang, bukan?" Tanya gadis itu lagi. Alis indah itu kembali bertaut. Rengutannya menciptakan gurat-gurat serius saat ia sedang berpikir.
"Aku tahu Samuel seringkali sangat keterlaluan dengan candaannya. Ia juga membuatku jengkel dan ingin sekali memukul kepalanya. Kalian sudah lama tak bertemu, bukan? Aku tahu kau, jangan terkejut. Aku pernah melihat fotomu di kamar kakakku yang menjengkelkan itu."
Ditrian menyipitkan matanya dan tak percaya dirinya bisa melakukan ini, mendengarkan celotehan calon korbannya yang cerewet dan membuatnya merasa semakin ragu setiap detiknya. Jadi Sierra memang sudah tahu siapa dia, tapi tidak namanya. Karena Sierra tak menyebutkannya, atau mungkin belum.
Wajar saja jika gadis itu terlihat tenang saat melihatnya pertama kali tadi. Sierra mengira Ditrian dan Samuel tidak akur. Tapi yang sebenarnya lebih dari itu. Ditrian bukan hanya ingin memukul kepala Samuel. Ditrian ingin membunuhnya.
Dan ia harus melakukannya malam ini juga.
"Bagaimana kalau aku mengajukan penawaran?"
Ditrian tak bisa menahan diri untuk tak mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi. Seorang gadis rapuh sedang mengajukan penawaran padanya. Coba ia lihat apa yang akan ditawarkan oleh gadis itu.
Sierra tersenyum lebar sebelum mengutarakan tawarannya.
"Culik aku."
Gadis itu memutar matanya karena jengkel lagi-lagi tak ditanggapi. "Maksudku, pura-pura. Kau sedang jengkel dengan Samuel, bukan? Aku sendiri sedang sangat jengkel dengan semua kakakku. Mereka terus-menerus mencoba menjodohkanku dengan pria-pria pilihan mereka dan ..."
"Menculikmu?"
Sierra merengut dan melempar tatapan jengkel untuk kesekian kalinya. "Itu, yang baru aku katakan."
Menculik Sierra? Ide itu, anehnya terdengar sangat masuk akal saat ini. Ia bisa menggunakan gadis ini untuk memancing Samuel lalu membunuhnya. Cara itu memang lebih rumit dan lama, padahal ia bisa melakukannya malam ini juga. Ia melemparkan pandangannya pada Sierra yang terlihat sedang mengamatinya dalam-dalam.
Lalu senyum gadis itu kembali ketika melihat bahwa Ditrian mempertimbangkan penawarannya yang aneh.
Sierra Adams, sepertinya memang diciptakan untuk selalu mendapatkan keinginannya.
***
Chapter 1
Crazy Princess
Ia yakin dirinya pasti sudah gila.
Sierra menyalahkan sepenuhnya kegilaan itu pada kakak-kakaknya, dan semakin menyalahkan mereka dalam setiap langkah yang telah ia ambil. Jika bukan karena kebiasaan buruk mereka tentang calon-calon adik ipar layak, Sierra yakin ia masih bisa menikmati pesta ulang tahunnya sendiri dan menerima ajakan dansa satu dua orang teman lelakinya yang tampan. Ia menjadi semakin marah setelah membayangkan tarian-tarian nakal yang akan ia pertontonkan pada kakak-kakaknya yang tukang atur itu. Tarian yang sudah jelas gagal ia lakukan.
Seharusnya ia menunjukkan gerakan nakal ciptaan terbarunya dan membuat para pria tua itu marah sebelum ia memutuskan untuk mengikuti pria yang sedang berjalan tanpa suara di sebelahnya sekarang.
"Setidaknya beri aku sebuah nama," desak Sierra setelah kesabarannya mulai menipis. Ia tak pernah menjadi orang pendiam. Jika tak sedang memerintah, maka ia akan mengomel. Jika tak bisa mengajak seseorang bercakap-cakap, maka ia akan berbicara tanpa henti hingga orang itu bosan dan akhirnya jengkel, lalu mulai berbicara padanya.
"Ditrian." Pria itu nyaris mendesiskan nama itu.
Sierra tersenyum senang.
Ditrian.
Nama yang indah dan dimiliki oleh pria tampan berkulit pucat.
Pria paling tampan yang pernah ia temui.
Ia berkali-kali mengulangi kalimat itu di dalam hati, seraya melemparkan lirikan terang-terangan yang tak mungkin tak disadari oleh Ditrian. Jika, jika saja Ditrian memutuskan untuk menemui para pencari bakat di luar sana, Sierra yakin pria itu akan diterima tanpa tes apapun hanya karena wajahnya. Seorang pria hanya butuh wajah itu untuk menjadi selebriti. Dan pria itu-Ditrian, bahkan memiliki aura yang membuat orang-orang penasaran. Berbahaya, tapi tak bisa dipungkiri, seksi. Dingin, tapi tak mungkin dihindari. Sierra merasakan gatal di telapak tangannya hanya karena ingin sekali menyentuh pipi halus itu. Putih sekali. Putih yang bukan kemerahan. Hampir menyerupai salju.
Anehnya, kulit pucat itu sama sekali tak mengganggu penampilan Ditrian. Seolah warna itu memang diciptakan untuk Ditrian.
Sierra menertawakan dirinya sendiri. Mengabaikan kemungkinan akan dianggap benar-benar gila oleh Ditrian. Ia masih menertawakan dirinya ketika mereka sampai pada bagian pagar terjauh dari rumah utama. Kamera CCTV yang tepat berada di atas kepalanya tampak berkedip dan beroperasi dengan baik. Ditrian memanjat pada pagar tinggi dan berjalan di atas batuan itu dengan ketangkasan yang hanya dimiliki oleh para pemain sirkus profesional. Pria itu mendekati tiang tempat CCTV itu terpasang dan mengecek sebentar, lalu melompat turun dari atas pagar.
Saat itulah Sierra melihatnya. Tempat yang gelap membuatnya terlambat menyadari bahwa ada benda kecil yang terpasang pada lensa CCTV. Pantas saja tak ada petugas keamanan di sekitar sini. Ditrian telah memanipulasi yang satu itu.
Sierra tak bisa berpikir lebih jauh, karena saat itu Ditrian berjalan ke arahnya dan menarik sikunya untuk mendekati pagar. Pria itu membungkuk di hadapannya tanpa mengucapkan satu kata pun. Pria itu ingin Sierra memanjat pagar tembok setinggi tiga meter itu. Dan Sierra hanya bisa tertegun tanpa ada niatan untuk bergerak.
Ditrian berdiri dan berbalik menatapnya. Tubuh Ditrian mungkin sekitar dua puluh sentimeter lebih tinggi dari Sierra. Bukan jarak yang jauh, tapi tak bisa juga dikatakan dekat. Pria itu lebih tinggi dari Samuel dan Yerico. Tapi tak lebih tinggi dari Uizaki. Dari segi pembawaan, Ditrian sedikit mirip dengan kakak keduanya itu. Ketenangan dan aura yang membuat semua orang penasaran. Tapi Uizaki berkulit tan dan beriris hijau terang khas Eropa. Satu persamaan mencolok adalah rambut mereka yang sama-sama berwarna kelam.
Hanya saja, Ditrian terlihat berbahaya, sangat. Sedangkan Uizaki hanya terlihat tenang dan seolah selalu merenung.
"Kau harus naik ke bahuku agar bisa memanjat pagar itu," kata Ditrian, nyaris terdengar tak sabar. Satu hal yang perlu Sierra koreksi adalah, Ditrian sama sekali tidak tenang. Pria itu hanya pendiam dan sama menjengkelkannya dengan kakak-kakak Sierra.
"Aku tak akan pernah melakukan hal itu!" Balas Sierra dengan nada suara paling angkuh yang ia punya. Biasanya jika ia menggunakan nada itu, orang-orang di sekitarnya akan menunduk dan tak membantah. Tapi Ditrian sama sekali tak terpengaruh. Pria itu masih berdiri di hadapannya tanpa melepaskan kontak mata mereka.
"Kau ingin aku menggendongmu?"
Sierra berjengit mendengar tawaran bernada datar itu. Tatapannya beralih pada pagar tinggi di belakang Ditrian, lalu kembali pada pria itu. Ini tak seperti yang ia bayangkan. Melarikan diri itu ternyata menjengkelkan. Seandainya ia tak terlalu berambisi untuk pergi malam ini juga.
"Aku tak mau merusak gaunku," ungkap Sierra keras kepala. Tatapan Ditrian turun pada tubuh Sierra yang terbalut jaket panjang hitam yang mewah, yang gadis itu kenakan di luar gaunnya. Di dalam salah satu kantung jaket, tas kecil Sierra sedikit menyembul. "Aku juga tak ingin jaketku lecet. Aku mendapatkannya dengan kartu anggota khusus yang baru bisa digunakan setelah satu tahun pendaftaran. Gaunku juga hanya ada satu-satunya di negeri ini."
"Kalau begitu lepaskan jaketmu untuk memudahkan gerakan." Ditrian jelas hampir kehilangan kesabaran. Sierra mundur satu langkah dan hampir berbalik. Ia berubah pikiran dengan cepat. Membuat kakak-kakaknya panik memang menyenangkan, tapi sama sekali tak sebanding dengan merusak barang-barang kesayangannya. Ia bisa berbuat nakal dengan cara lain. Ia rasa ini bukan ide bagus. Sama sekali bukan ide bagus.
Ditrian membuka kaus hitamnya sendiri dan membuat Sierra tertegun ketika melihat tubuh setengah telanjang pria itu. Perut Ditrian rata, tanpa ABS yang bertonjolan seperti para bintang iklan minuman bervitamin. Tapi tubuh pria itu kencang dan tampak kuat. Dengan bahu lebar yang terpahat seperti patung adonis.
Sierra menangkap kaus yang Ditrian lemparkan padanya. Tiba-tiba menjadi begitu patuh dan riang.
"Aku rasa kaus ini akan cukup membantu," komentarnya seraya melepaskan jaketnya dan menyerahkannya pada Ditrian. Sierra tahu bahwa Ditrian terus menatap tubuhnya yang hanya berbalut gaun tipis yang ketat. Untuk itu, ia meloloskan kaus Ditrian cepat-cepat dari kepalanya hingga menutupi tubuhnya dan gaunnya benar-benar tertutup juga tak akan lecet saat ia memanjat nanti. Ia biasa mengenakan gaun seperti ini. Tapi cara Ditrian menatap tubuhnya membuatnya merasa sedang ditelanjangi. Dan ia tak suka memikirkan seorang pria membayangkan bisa begitu mudah menelanjangi tubuhnya.
Ia baru saja akan bertanya bagaimana selanjutnya ketika Ditrian kembali berjongkok dan menunggunya memanjat dengan menapak pada tubuh pria itu. Sierra melepas sepatunya, menaruhnya di sebelah Ditrian dan mulai memanjat. Pada awalnya merasa aneh karena harus menyentuh tubuh telanjang pria dewasa yang baru ia kenal.
"Jangan mendongakkan kepalamu!" Perintah Sierra ketika Ditrian berdiri dengan ia yang berdiri di bahu pria itu sambil berpegangan pada tembok. Ia berhasil mencapai bagian atas pagar tembok itu dan duduk dengan sedikit gemetar saat memandang ke bawah. "Berikan jaketku."
Ditrian sedikit melemparkan jaket itu padanya, melompat naik, membantunya memasang sepatunya kembali, lalu langsung melompat turun ke luar pagar.
"Apa yang kau lakukan?" Protes Sierra. "Seharusnya kau membantuku turun terlebih dahulu!"
Ditrian merentangkan lengannya. "Aku akan menangkapmu dari sini. Lempar jaket berhargamu itu terlebih dahulu."
Sierra menggeleng tak percaya. Jika ada yang lebih pantas disebut gila selain dirinya, itu adalah Ditrian. Pria itu mungkin tampan, sangat tampan. Kenapa Sierra baru menyadari kalau pria itu bodoh. Pria tampan biasanya bodoh. Kebanyakkan pria tampan yang sering Sierra temui memang bodoh. Kecuali kakak-kakaknya.
Ah, sayang sekali.
"Aku biasanya tak mengatakan ini," mulai Sierra. "Tapi aku lebih berat dari yang terlihat."
"Aku tahu. Aku sudah merasakannya tadi."
Tanggapan enteng Ditrian membuat Sierra jengkel.
"Kau mungkin tak tahu artinya itu," balas Sierra dengan nada mengasihani yang membuat mata Ditrian menyipit seketika. "Bahwa melompat dari ketinggian tiga meter itu sangat berbahaya."
"Tidak, kalau aku menangkapmu," ujar Ditrian tak sabar. "Cepatlah."
Sierra melemparkan jaketnya terlebih dahulu sambil menggerutu dan Ditrian menangkapnya tanpa berkedip. Ditrian mengikat lengan jaket hitam Sierra di tiang lampu agar tak sampai menyentuh tanah. Lalu tatapan pria itu kembali padanya, terhenti sejenak pada tungkainya yang terbuka.
"Aku akan melompat sekarang." Sierra berkata sedikit keras untuk menarik perhatian pria itu agar menatap pada matanya, bukan kakinya yang kedinginan. Sierra memejamkan mata ketika melompat dan lega begitu merasakan kedua lengan kuat melingkari tubuhnya di bawah pinggul. Lengannya sendiri melingkar di bahu Ditrian. Napasnya tersendat begitu tubuhnya diturunkan perlahan oleh Ditrian. Tubuh mereka menempel erat. Panas dari tubuh setengah telanjang Ditrian membuat Sierra menggigit bibirnya agar tak mendesah secara memalukan.
Ketika kedua kakinya menapak tanah, lengan Ditrian turun kembali ke pinggulnya. Sierra hanya bisa diam saja saat Ditrian menarik kausnya ke atas dan meloloskannya melalui kepalanya. Dan secepat itu, kaus yang tadinya membalut tubuh Sierra, telah kembali kepada pemiliknya.
Untuk menyamarkan detak jantungnya yang menggila karena pria asing yang baru ia kenal, Sierra berjalan ke tiang lampu dan mengambil jaketnya untuk kemudian mengenakannya kembali.
"Jadi, kemana kita sekarang?" Ia bertanya setelah mengancingkan jaketnya.
Ditrian mengangkat bahu dengan acuh. "Ke tempat tinggalku tentu saja."
"Oh tidak." Sierra menggeleng, lalu memutar mata. "Kau tak mungkin bermaksud begitu." Ia merengut melihat ekspresi keras di wajah Ditrian. "Oke, kau memang bermaksud begitu."
Sierra mengangkat bahu. "Tapi, halo. Kita tak sedekat itu, orang pucat."
Mereka berjalan menjauhi kediaman Adams. Sierra bersyukur karena sempat mengganti sepatunya tadi. Jalanan yang terbentang di depan mereka terlihat panjang dan temaram. Lampu-lampu jalan membantu penglihatan mereka. Tapi jalan yang panjang akan membuat kakinya lecet, jika ia masih mengenakan high heels yang ia kenakan selama di pesta tadi. Sierra selalu mengendarai mobil pribadinya ketika keluar dari kediaman Adams. Jadi ia sama sekali baru menyadari bahwa rumah keluarganya ternyata berada di daerah yang cukup jauh dari pusat Konoha, jika ditempuh dengan berjalan kaki.
"Aku rasa hotel adalah pilihan yang tepat untuk menginap sementara," ujar Sierra enteng. Ia melirik pada Ditrian dan memasang senyuman manis. "Tentu kau bisa tetap menginap di rumahmu. Kita hanya harus bertukar nomor telepon dan membicarakan rencana-rencana menakjubkan kita sambil melakukan aktifitas seperti biasa."
"Kau membawa uang tunai?" Tanya Ditrian kaku. Pria itu terlalu kaku, pikir Sierra. Ia mengamati Ditrian dan baru menyadari bahwa iris mata Ditrian berwarna hitam. Ia tahu pria itu bermata kelam. Tapi ia kira, kelam sama artinya dengan cokelat tua, seperti warna mata kebanyakan orang Asia. Warna mata hitam -yang benar-benar hitam, sama langkanya dengan warna hijau seperti warna matanya. Warna mata hitam juga sering dikaitkan dengan para penyihir di masalalu, juga iblis. Warna dari kegelapan.
Tiba-tiba saja Sierra merasakan sebuah perasaan aneh yang sangat jarang ia rasakan sebelumnya, kewaspadaan. Ia tak mengenal Ditrian cukup baik. Ia hanya tahu bahwa Ditrian adalah salah satu teman kecil Samuel. Kakaknya itu memang menjengkelkan. Paling menjengkelkan di antara semua orang yang ia kenal. Tapi Samuel selalu berada di sisi yang baik. Kenyataan bahwa Ditrian dan Samuel tak saling bertemu selama bertahun-tahun membuat Sierra mulai berpikir kalau apa yang ia lihat di permukaan belum menunjukkan semuanya.
Dan ia penasaran. Salahkan kehidupannya yang membosankan selama ini.
"Aku membawa uang tunai," kata Sierra, menyimpan keresahannya hanya untuk dirinya sendiri. Dan semua kartu kredit, juga ATM. Tapi ia tak akan mengatakannya pada siapa pun, termasuk Ditrian. Ia mungkin manja, walaupun ia tak mau mengakuinya dengan terang-terangan. Tapi ia tak pernah menjadi orang bodoh.
"Menginap di hotel hanya akan menunjukkan pada dunia bahwa kau hanya gadis manja yang minta perhatian dengan berpura-pura diculik."
Perkataan Ditrian membuatnya tersinggung. Tapi ia memutuskan untuk bersikap tenang dan tak terburu-buru meneriaki lelaki itu. Lagipula ia jarang berteriak. Biasanya jika orang-orang membuatnya tak senang, maka ia akan dengan cepat memutarbalikan keadaan dan balas menyerang dengan cara yang ia anggap lebih berkelas.
"Aku sudah biasa dianggap manja ..." ujar Sierra manis. " ... dan seenaknya. Tapi itu tak pernah memengaruhiku. Mereka yang mengatakan itu hanyalah orang-orang yang tak memiliki semua hal yang aku miliki."
Nada suara Sierra jelas mengartikan maksudnya dengan baik. Tapi Ditrian sama sekali tak terlihat tersinggung. Pria itu hanya melempar tatapan datar padanya sambil tetap meneruskan langkah. Sierra tak pernah berada di situasi dimana perkataannya tak bisa memengaruhi emosi seseorang. Ditrian menjadi semacam tantangan baru yang menyenangkan.
"Lagipula hotel lebih menyenangkan dari tempat mana pun di dunia," tambahnya. Ia hampir tertawa saat mengatakannya. Hotel tempat menyenangkan? Yang benar saja. Ia tak suka berbagi barang miliknya. Kenyataan bahwa satu kamar hotel paling mewah setidaknya pernah ditempati sepuluh orang berbeda dalam waktu satu bulan, membuatnya selalu berpikir bahwa hotel itu menyebalkan. Kecuali hotel yang dimiliki oleh kakak pertamanya—Yerico. Dimana Sierra memiliki satu kamar khusus yang tak boleh ditempati siapa pun kecuali dirinya sendiri.
"Tapi orang-orang akan mengenalimu," sahut Ditrian. "Kukira kau ingin diculik?"
Ya Tuhan, pria ini cerdas. Sierra menarik kembali kesimpulan sebelumnya yang menganggap bahwa pria tampan seperti Ditrian itu bodoh. Jadi Ditrian adalah si Tampan yang menjengkelkan nomor empat. Urutan satu sampai tiga sudah ditempati oleh kakak-kakak lelaki Sierra, yang puncaknya diisi oleh Si Rambut merah Samuel.
"Aku mulai membenci ide itu," gerutu Sierra.
"Seingatku kau yang mengajukannya," sahut Ditrian.
"Kau sepertinya tak paham wanita." Sierra kembali tersenyum. Ia suka bermain kata dengan pria ini. "Apa tak ada yang pernah mengatakan padamu kalau wanita itu plin-plan?"
"Aku hanya harus mengingatnya mulai sekarang," timpal Ditrian bosan.
Sierra tertawa, menoleh ke belakang dan menghela napas lega karena sepertinya orang-orang di rumahnya belum ada yang menyadari kepergiannya. Tampaknya menyalakan musik klasik dan mengunci pintu kamarnya akan membuat orang-orang berpikir bahwa ia sudah tertidur karena kelelahan.
"Jadi, dimana kau tinggal?"
Alis Ditrian terangkat sebelah. "Kau berubah pikiran lagi?"
Sierra mengangkat bahu. "Aku berubah pikiran lebih sering dibanding orang lain."
Mereka memasuki jalan besar yang dilalu-lalangi banyak kendaraan. Sierra melemparkan tatapan tak percaya pada Ditrian. Ia tak menyangka bisa berjalan kaki sejauh ini, pada malam hari, dengan pria yang baru ia temui pertama kali. Ini benar-benar malam yang penuh kegilaan. Masalahnya ia sangat menikmati perjalanan ini. Dan teman seperjalanannya yang misterius, anehnya sangat menyenangkan.
Mungkin ia membutuhkan teman berdebat yang tak terpengaruh dengan sindiran halusnya lebih dari yang ia bayangkan. Juga seseorang yang tak selalu bersikap manis dan berusaha keras membuatnya terkesan.
Ditrian hanya menjadi dirinya sendiri dan Sierra lebih menghargai itu di atas semuanya.
"Jadi apa pekerjaanmu, Ditrian?" tanya Sierra ketika mereka telah berada di tempat ramai.
"Aku pengangguran," jawab Ditrian singkat. Tanpa ada kesan malu sedikit pun.
Sierra kembali tersenyum. Pria ini benar-benar luar biasa.
"Sepertinya aku salah mengajukan pertanyaan," ungkap Sierra. "Seharusnya aku bertanya, apa yang kau lakukan untuk menghidupi dirimu?"
Ditrian nyaris tersenyum. Nyaris. Tapi pria itu tak melakukannya. Sierra mendapati dirinya penasaran dengan bagaimana pria itu saat tersenyum. Apakah salah satu sudut bibirnya akan lebih naik dari yang lainnya? Atau ia akan menampakkan sedikit giginya yang rapi, yang Sierra lihat sekilas ketika pria itu berbicara? Ditrian tentu memiliki tipe senyum yang berbeda dari orang lain. Mengingat pria itu memang sangat berbeda.
"Aku melakukan sesuatu secara acak," jawab Ditrian.
"Teka-teki. Aku suka itu," ungkap Sierra. "Kutebak itu tak berkaitan dengan pencari bakat atau televisi?"
"Tidak, kurasa tidak." Lalu Ditrian terlihat berpikir sejenak. "Mungkin sedikit," ungkapnya.
"Jadi kau berada di balik layar?" tebak Sierra.
"Semacam itu." Ditrian terlihat mengamati sekitar. Lalu pandangannya kembali pada Sierra. "Kurasa kau perlu menutup rambutmu dengan topi jaket yang kau kenakan."
"Ah ya." Sierra mengikuti saran pria itu. "Rambutku memang terlalu mencolok. Apa menurutmu aku perlu mengecatnya?" Ia menatap rambut Ditrian yang sewarna langit malam. "Aku selalu suka warna rambut yang lebih gelap. Terlihat lebih seksi."
"Kau tak perlu mengecatnya."
Ditrian memanggil taksi dan tak memberikan alasan kenapa pria itu berpendapat bahwa Sierra tak perlu mengecat rambutnya. Satu rasa penasaran lagi yang membuatnya mengikuti pria itu masuk ke dalam taksi.
***
Bab. 2
Awareness
Ditrian sadar ini pertama kalinya dalam waktu yang lama, sangat lama, ia bertemu dengan seseorang yang menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Dan Ditrian yakin bahwa seingatnya, ini pertama kalinya ia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan keinginannya sendiri. Ia bahkan memberikan nama aslinya, walau tak beserta nama keluarga yang memang tak pernah ia sebut-sebut lagi selama bertahun-tahun.
Ditrian mulai berpikir bahwa dirinya mungkin tak sekaku seperti yang ia kira sebelumnya dan itu harus diperbaiki jika ia ingin berumur panjang. Ia juga menyadari bahwa gadis yang sedang duduk di sebelahnya, yang terlihat dengan terang-terangan mengamatinya, adalah seorang manipulator yang menggunakan senyuman manis dan mata besarnya yang indah untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan. Ditrian tahu itu, tapi tetap mendapati dirinya dengan patuh menjawab pertanyaan-pertanyaan gadis itu.
Ah, terkutuklah.
Bahkan dengan kenyataan yang paling menyedihkan bahwa Sierra adalah adik dari Adams Samuel, ia masih menganggap gadis itu sama sekali tak pantas diperlakukan dengan buruk. Tidak setelah ia melihat senyuman manis dan keluguan samar yang diperlihatkan gadis itu ketika akan memasuki taksi tadi. Jadi, ini juga adalah pertama kalinya setelah sekian lama ia memikirkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.
Ditrian menutup matanya, berpura-pura tertidur agar tak harus mendengar lebih banyak pertanyaan dari seorang gadis cantik yang tak bisa ia hindari. Tapi ternyata menutup mata juga tak ada gunanya. Karena bayangan tentang pelarian mereka di kediaman Adams tadi mulai mengusiknya. Kulit halus di tungkai panjang gadis itu saat berada di atas pagar tembok, juga bagaimana rasanya memeluk gadis itu sesaat tadi.
Ditrian bukannya kekurangan wanita. Gadis bermata besar dan memiliki banyak sekali pertanyaan juga tak pernah menjadi tipenya. Tapi keinginan tubuhnya, terutama di pangkal pahanya, bukan hal yang bisa ia kendalikan seperti halnya raut wajah.
"Apa kau benar-benar tidur?" Ditrian mendengar dengan jelas gerutuan gadis itu. "Jadi kau meninggalkanku kebosanan dan memilih tidur?"
Suara gemerisik di sebelahnya memaksa Ditrian mengintip dan melirik untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh Sierra. Gadis itu mengeluarkan semacam tas tangan kecil dari saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam tas tersebut. Ditrian penasaran apa yang sedang dipikirkan gadis itu dengan menatap ponselnya sendiri sambil menggigit bibirnya yang kecil dan kemerahan.
Ditrian kira gadis itu akan berubah pikiran lagi dan memutuskan untuk membatalkan rencana anehnya. Ditrian membenci pikirannya yang mulai membayangkan membawa paksa Sierra yang meronta-ronta di atas bahunya. Atau membuat gadis itu pingsan agar tak bisa melawan. Ia nyaris memikirkan cara yang lebih keras sebelum melihat gadis itu mematikan ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam tas.
Ditrian menutup kembali matanya ketika Sierra menoleh padanya.
"Aku harap aku melakukan hal yang benar," gumam Sierra. Ditrian merasakan gadis itu mendekat dan mulai bersandar padanya. Ditrian membuka matanya dan langsung melihat puncak kepala gadis itu dengan rambut merah muda yang menguarkan aroma bunga Sierra. Bunga yang sama dengan namanya. Juga ada campuran wangi vanila yang lembut dan menenangkan. Perpaduan tak biasa yang dimiliki oleh gadis yang juga tak biasa.
"Mereka pasti akan khawatir sekali," lanjut Sierra. Ditrian mendengarkan dan langsung mengerti kemana arah pembicaraan satu arah gadis itu. "Mereka akan mencariku ke seluruh pelosok negeri jika perlu. Aku harus meminta maaf padamu, Ditrian, karena telah membawamu ke tengah-tengah kegilaan ini."
Jika tak mendengarnya langsung, Ditrian pasti akan mengira dirinya sedang mendengarkan orang lain yang berbicara, bukan gadis yang baru satu setengah jam lalu meminta dirinya sendiri untuk diculik. Sierra yang sekarang bersandar padanya terlihat sangat rapuh dan penuh kekhawatiran. Perkataan Sierra membuat Ditrian semakin yakin bahwa hubungan kakak beradik Adams lebih erat dari berita-berita yang beredar di luar sana. Hubungan Sierra dan Samuel jauh lebih dekat dari yang Ditrian duga.
Ia menutup kembali matanya dan mengabaikan perasaan janggal yang ia rasakan sebelumnya karena memikirkan reaksi Sierra saat Ditrian membunuh kakak yang disayanginya.
Tapi Sierra tak seberharga itu.
Tak pernah ada yang lebih berharga dari pamannya, keluarga satu-satunya yang telah terkubur di dalam tanah empat bulan yang lalu. Orang yang seharusnya tak mati secepat itu jika Samuel tak melepaskan tembakan dan membunuhnya di tempat. Ditrian memandang kembali puncak kepala Sierra. Dan kini ia mulai bisa melihat gadis itu dengan cara yang benar.
Sierra hanya alat. Sesuatu yang ia gunakan untuk dapat memancing Samuel, lalu membunuhnya. Nyawa dibalas dengan nyawa. Kesakitan dibalas dengan kesakitan. Jika ia tak bisa membunuh Samuel nantinya, ia akan mengambil sesuatu -seseorang yang dikasihi oleh pria itu.
Seseorang yang sekarang sedang bersandar di bahunya.
Satu hal yang harus mulai Ditrian kuasai adalah melupakan keinginannya yang besar untuk memberikan kenyamanan pada gadis itu, juga menyentuhnya.
00000
Ia dibangunkan dengan cara yang paling tidak menyenangkan. Sierra membuka matanya tepat setelah kepalanya membentur sesuatu yang ternyata pintu taksi yang setengah terbuka. Ia mendapati Ditrian yang berdiri di sebelah pintu tersebut dan mata pria itu sedang menatap ke arah pangkuannya. Sierra merapikan jaketnya, menutupi pahanya yang terlihat jelas karena gaun pendek yang ia kenakan tertarik ke atas ketika ia duduk.
"Sudah sampai," kata Ditrian datar. Sierra mengangguk, lalu turun sambil terus memperhatikan raut wajah Ditrian yang terlihat berbeda dari sebelumnya. Pria itu memang tak banyak bicara. Tapi kali ini berbeda. Sikapnya semakin tertutup dan dingin. Samar-samar, Sierra bahkan merasakan semacam kekejaman yang tak diperlihatkan pria itu sebelumnya.
Taksi telah meninggalkan mereka di pinggiran jalan. Sierra mulai memperhatikan sekitar dan merasakan bulu kuduknya meremang. Tempat itu ramai, memang. Kendaraan berlalu-lalang dan tampak normal. Yang membuatnya merasa aneh adalah, pertanyaan yang tertahan di ujung lidahnya.
Selama ini ia tak pernah menahan apapun yang ingin ia katakan. Ia menikmati bagaimana orang-orang tak bisa membalas kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia mencari hiburan melalui kata-katanya. Tapi saat ini, seolah ada yang menahannya untuk bertanya kenapa Ditrian harus memarkirkan mobilnya di tempat seperti ini dan lebih memilih menaiki taksi untuk mengunjungi kediaman Adams.
Ia tak pernah terlalu memercayai berita-berita kriminal yang ditayangkan di televisi. Ia kira semua itu dilebih-lebihkan, karena ia tak pernah mengalaminya secara langsung.
Tapi kenapa sekarang ia merasakan dirinya ketakutan? Seolah-olah ia sedang mengalami penculikan yang sebenarnya. Mobil Ditrian berwarna hitam, dengan kaca yang juga hitam dan terlihat tebal. Sierra sudah melihat sendiri betapa lihainya Ditrian dan betapa kuatnya lengan pria itu saat menangkapnya yang melompat dari ketinggian tiga meter. Jika ia berbalik dan mencoba melarikan diri, ia yakin tak butuh waktu lama sampai ia tertangkap kembali. Orang-orang yang berada di dalam mobil yang berlalu-lalang juga tak akan dapat menolongnya.
Sierra mendapati kaki-kakinya bergerak dan membawanya mendekati Ditrian yang tampak sedang memperhatikannya di sebelah mobil hitamnya. Raut wajah pria itu keras dan tak menampakkan perasaan apapun. Kesan bersahabat yang sempat Sierra lihat ketika mereka berjalan kaki dari kediaman Adams tadi sudah tak terlihat lagi. Seolah memang tak ada sejak awal.
"Jadi, ini mobilmu?" tanya Sierra ceria. Ia selalu pintar menutupi perasaannya dan memperlihatkan kesan bodoh yang ceria. Bukan hanya sekadar julukan tanpa arti ketika kakak-kakaknya menyebutnya sebagai manipulator, juga aktris yang tak akan pernah ditemukan oleh para pencari bakat. Ia juga pandai menguasai diri dan membaca keadaan.
Ditrian mengangguk datar sambil terus mengamatinya. Pria itu, Sierra pikir, cukup cerdas untuk dapat mengetahui bahwa Sierra suka memanipulasi. Tapi Sierra yakin kalau Ditrian belum mengetahui sampai batas apa Sierra bisa melakukannya. Dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa Sierra punya ingatan yang benar-benar bagus. Sangat bagus hingga sulit dipercaya.
"Kau punya selera yang bagus dalam memilih kendaraan," komentar Sierra seraya memasuki bangku penumpang di sebelah bangku pengemudi. "Aku juga berpikir bahwa mobil-mobil besar seperti ini cukup layak untuk dimiliki. Kurasa aku akan membeli yang seperti ini saat pulang nanti." Sierra terus berbicara, walaupun Ditrian sama sekali mengabaikannya. Matanya menatap jalanan, mengamati setiap hal yang mobil mereka lewati sambil mempertahankan senyumannya yang selalu berhasil menipu semua orang.
"Jadi, seperti apa rumahmu?"
***
Bab. 3
Failed
Merencanakan penculikan diri sendiri adalah satu hal. Merasa benar-benar diculik adalah hal yang lain. Sierra berusaha untuk tak terlihat gemetar sepanjang perjalanan yang sudah menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Tiga puluh sembilan menit tepatnya, dari perhitungan yang ia lakukan diam-diam dengan sesekali melirik pada petunjuk waktu di layar GPS. Ia dengan sengaja terus-menerus memperhatikan Ditrian dan mendapati dirinya sendiri terbuai dan beberapa kali melupakan rencananya untuk mengingat setiap hal yang mereka lewati.
Ya Tuhan, pria ini tampan sekali, katanya di dalam hati. Tapi Ditrian yang tampan memiliki sikap yang terlalu dingin dan tanpa basa-basi. Setiap kali Sierra membuka mulut dan mencoba memulai pembicaraan, Ditrian hanya akan menjawabnya secara singkat dan jelas sekali memberikan jalan buntu bagi siapa pun yang akan memaksanya kembali membuka mulut.
Tentu saja Sierra tak mudah menyerah. Ia terus berbicara, berbicara, berbicara sampai ia kehausan. Sampai suaranya serak dan memaksanya untuk berhenti. Dan Ditrian tak satu kali pun bertanya apakah Sierra butuh minum, atau butuh ke toilet. Padahal sebelum berkendara dengan mobil pria itu mereka sudah menghabiskan waktu berjam-jam di luar ruangan.
Ditrian menjadi tak berperasaan. Atau seperti dugaannya semula, memang tak memiliki perasaan.
Tapi memangnya apa yang Sierra harapkan dari pria yang baru ia kenal? Hanya karena ia tampan Sierra jadi bertindak ceroboh dan terjebak di situasi sekarang ini.
"Kurasa aku butuh ke toilet," kata Sierra kemudian. Ditrian tak menanggapi dan tak ada tanda-tanda pria itu akan menepikan mobilnya. Kecepatan berkendaranya stabil, sama seperti emosi yang terlihat pada raut wajahnya.
"Aku benar-benar harus ke toilet." Sierra mengulangi dengan sedikit tak sabar. "Kecuali kau ingin aku menjadikan mobilmu sebagai toilet." Sebenarnya kalimat itu sama sekali tak sopan dan bukan kalimat yang biasanya akan ia gunakan. Tapi ia tak dalam kondisi baik untuk mengatur kalimatnya. Ia benar-benar butuh ke toilet, sekarang juga, yang syukurnya dituruti oleh Ditrian.
Sierra langsung berlari keluar setelah mobil diparkirkan di halaman toilet umum besar di pinggiran jalan, menyelesaikan urusannya dengan cepat sambil berkali-kali meringis karena toilet umum itu tak bisa dikatakan bersih untuk standar kehidupannya. Ia baru akan keluar dari tempat itu begitu ia tersadar bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri dari Ditrian.
Ia mengitari tempat itu, memikirkan jalan keluar seraya mencuci lagi kedua tangannya di westafel yang menghadap langsung pada cermin besar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mengamati penampilannya yang tak jauh berbeda dari beberapa jam yang lalu. Make up yang menempel di wajahnya masih utuh dan sesempurna biasanya. Sierra baru akan menyalakan ponselnya ketika pintu digedor dari luar.
"Sudah selesai?" Nada suara Ditrian terdengar tak sabar. "Perjalanan kita masih jauh."
"Sebentar," jawab Sierra, berusaha ceria. "Tunggu sebentar." Ia berhati-hati menyalakan ponselnya, dan menggigit bibirnya begitu nada pembuka terdengar lirih dan samar-samar. Ia harap Ditrian berdiri cukup jauh hingga tak dapat mendengar hal itu.
Sierra menekan angka tiga pada layar smartphone nya, memutuskan untuk menelepon Samuel yang selalu bersiaga. Panggilannya dijawab pada dering pertama.
"Sierra ..."
"Samuel dengar, aku minta maaf," potong Sierra cepat. "Aku tak tahu semuanya akan jadi begini."
"Kau dimana?"
"Aku di toilet," jawab Sierra sedikit berbisik. Matanya berkali-kali melirik pada pintu toilet yang tertutup. "Toilet umum. Toilet kelima yang kulihat dalam perjalanan selama hampir dua jam."
"Ke kiri atau ke kanan? Dari persimpangan rumah kita?"
"Kiri." Terdengar gedoran lagi dari luar dan kali ini disertai pintu yang terbuka. Ditrian masuk dengan raut berbahaya dan mata yang berkilat kejam. "Samuel maafkan aku."
"Kau bersama seseorang?"
Sierra tak sempat menjawab karena Ditrian telah merebut ponselnya dan membanting benda itu ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Tubuh Sierra tersentak kaget karena perlakuan itu. Ia menerjang ke depan dengan gerakan gegabah yang tak direncanakan. Ditrian hanya mundur satu langkah. Pria itu dengan mudah menangkap kedua tangannya dan menguncinya di balik punggungnya.
"Lepas," desis Sierra sambil terus memberontak. Lengan Ditrian yang melingkari pergelangan tangannya terasa sekeras baja. Tak peduli Sierra melawan sekuat apapun, pria itu tetap bergeming dan tak terpengaruh sedikit pun dengan perlawanannya. Sierra menghela napas, merasakan dirinya tak memiliki lebih banyak tenaga untuk meronta. Ia jadi menyesali keengganannya saat disuruh mempelajari bela diri dasar oleh kakak-kakaknya selama ini. Ia seharusnya menjadi adik perempuan penurut yang tahu diri dan mengakui bahwa apapun yang dilakukan semua kakaknya adalah demi dirinya sendiri.
Ia seharusnya tak mengikuti orang asing, bahkan jika orang itu sangat tampan. Ia bukan anak kecil lagi.
"Perjanjian kita batal," kata Sierra. Ia merasakan jantungnya berdebar keras. Hanya ada sedikit jarak sampai dada mereka saling menempel. Ia berhenti meronta hanya agar hal itu tidak sampai terjadi. Napasnya sedikit terengah.
"Aku rasa ini bukan ide yang bagus," tambah Sierra lagi. Tempat itu cukup sepi hingga ia tak yakin akan ada yang datang menolongnya jika ia menjerit. "Dan kau baru saja menghancurkan benda kesayanganku. Orang yang menghancurkan benda kesayanganku tak mungkin bisa diajak bekerjasama."
Ditrian belum mengatakan apa-apa, hanya menatapnya dengan mata kelamnya yang berkilat berbahaya. Dalam satu waktu, Sierra mengira Ditrian akan memukulnya. Tapi pria itu tak melakukannya. Pria itu nyaris tak melakukan apa-apa. Hanya menahan Sierra agar tak melarikan diri. Itu saja. Tapi hal itu nyaris membuat Sierra berang, nyaris.
Jika saja tatapan pria itu tak berubah menjadi hasrat yang begitu jelas.
Ditrian menginginkannya, Sierra tahu itu. Seharusnya ia bisa menggunakan hal itu sebagai senjata andalannya. Tapi Sierra sudah bersumpah sejak jauh-jauh hari bahwa ia tak akan pernah menggunakan daya tarik seksual untuk mendapatkan keinginannya. Ia bisa menggunakan senyuman manis, kata-kata manis dan sedikit kerlingan nakal. Tapi sentuhan yang berujung pada aktifitas di atas ranjang, ia tak akan melakukannya.
Karena hanya itulah yang membedakan ia dengan ibunya.
"Siapa kau sebenarnya?" Lilitan lengan Ditrian di pinggangnya terlepas. Pria itu kini satu langkah di hadapannya, tampak percaya diri namun tegang dan kaku.
"Kau tak berteriak." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Kalimat yang keluar dari mulut pria itu memberikan Sierra alasan untuk menampilkan senyuman mengejeknya yang paling menjengkelkan.
"Memangnya apa yang bisa kudapatkan dengan berteriak?"
"Kau juga tak mendapatkan apa-apa dengan melawanku," sahut Ditrian dingin.
"Aku baru menyadarinya." Sierra menunduk setelah mengatakannya. Ia menatap jengkel pada sisa-sisa ponselnya yang terserak di lantai, lalu berjongkok dan mengambil chip memori ponsel dan memasukannya ke dalam saku jaketnya. "Apa kita akan terus berada di tempat bau ini atau melanjutkan perjalanan?"
Ditrian menggeleng tak percaya. "Belum lama sejak kau berusaha melarikan diri dariku."
Sierra mengangkat bahu. "Aku tahu," tanggapnya acuh tak acuh. Sierra tak berniat menjelaskan perubahan keputusannya setiap waktu. Pria itu juga tak menjawab pertanyaan paling penting. Siapa Ditrian sebenarnya? Sierra bahkan yakin Ditrian memiliki tujuannya sendiri hingga bersedia mengikuti rencananya yang konyol.
Ia mengakuinya sekarang. Semakin dipikirkan, rencananya semakin terasa konyol. Ia yakin dibalik raut dinginnya, Ditrian pasti menertawakannya di dalam hati.
"Kau sedang merencanakan sesuatu 'kan?"
Sierra mengangkat bahu dan melemparkan senyumannya yang selalu berguna. Setidaknya saat ini walau tak bisa membantunya melarikan diri dari Ditrian, senyumannya mampu membuat pria itu menggeram jengkel. Itu setimpal, setelah apa yang dilakukan pria itu padanya. Sierra cenderung membalas apa yang dilakukan orang-orang pada dirinya.
"Aku mungkin merencanakan sesuatu," kata Sierra. "Tapi rencana tak akan berhasil jika digembar-gemborkan terlebih dahulu." Ia berjalan melewati Ditrian yang masih berdiri mematung di tempat semula. "Lagipula kita bukan teman. Tak ada alasan bagiku untuk menjelaskan apapun padamu."
Sierra tahu ia sedang tak berada di situasi yang menguntungkan. Dalam segala sisi, ia telah melakukan kesalahan. Tapi ia bukanlah orang yang akan diam saja jika merasa terganggu. Bahkan jika otaknya memerintahnya untuk menutup mulut rapat-rapat, ia tak bisa diam begitu saja. Ia tak pernah mau kalah.
Sierra merasakan Ditrian berjalan di belakangnya. Pria itu tampaknya belum tahu bahwa Sierra telah memberitahu posisi mereka sekarang pada Samuel. Atau mungkin pria itu tahu dan telah memiliki rencananya sendiri. Pemikiran itu kembali membuatnya merutuki diri sendiri, walau yang tampak dari luar hanya senyuman yang tak pudar dan kerlingan mata nakal yang menantang.
Ia ikut masuk ke dalam mobil dengan ketenangan yang mengundang tatapan menyelidik dari Ditrian. Sebenarnya ia melakukan itu karena entah bagaimana ia yakin sekali bahwa Ditrian akan menggendongnya seperti sekarung beras jika ia mencoba untuk melawan. Ia tak akan pernah sudi diperlakukan seperti itu. Hal itu akan menghancurkan harga dirinya yang setinggi langit.
Mereka kembali berkendara di jalanan yang luas dan bergabung dengan pengendara lain di pusat kota. Kali ini hanya ada keheningan di antara mereka. Kecepatan berkendara Ditrian meningkat drastis dari sebelumnya. Sierra masih memperhatikan setiap hal yang mereka lewati, terutama plakat toko yang kira-kira mudah ditemukan. Jika ada kesempatan untuknya mendapatkan ponsel baru dimanapun itu, ia akan memastikan Samuel dapat menemukannya dengan mudah.
Tapi bagaimana caranya mendapatkan ponsel baru tanpa diketahui oleh Ditrian? Sedangkan Sierra yakin pria itu akan mengurungnya di suatu tempat yang sulit ditemukan.
Ditrian tiba-tiba saja menepikan mobilnya. Pria itu membuka kotak penyimpanan yang berada di depan Sierra dan mengeluarkan seutas tali rami dari sana. Sierra memberi pria itu pelototan marah ketika melihat maksud dari tindakannya.
Ditrian memegangi kedua tangan Sierra dalam diam, jelas merasa memiliki hak untuk melakukannya. Tapi pria itu bodoh jika berpikir Sierra akan diam saja diperlakukan seperti benda mati yang tak akan melawan. Sierra berusaha menendang ke depan menggunakan satu lututnya, berharap akan mengenai salah satu bagian tubuh Ditrian yang mana pun. Posisi tubuh Ditrian di hadapannya terlalu dekat karena ruang sempit mobil tak membantu Sierra untuk bergerak leluasa. Dalam sekejap, Ditrian sudah setengah menindihnya di jok yang juga setengah terbaring ke belakang.
"Kenapa kau lakukan ini padaku?" Protes Sierra ketika Ditrian melingkarkan tali di sekeliling tubuhnya, memakunya dengan jok yang semakin dibaringkan. "Aku bahkan tak melakukan apa-apa!"
***
Bab. 4
Darkness’ House
"Kenapa kau lakukan ini padaku?" protes Sierra ketika Ditrian melingkarkan tali di sekeliling tubuhnya, memakunya dengan jok yang semakin dibaringkan. "Aku bahkan tak melakukan apa-apa!"
00000
Ditrian bergeser ke samping, kembali ke tempat duduknya setelah selesai mengecek hasil ikatannya. Pria itu membiarkan jok di sebelahnya, yang ditempati Sierra, terbaring seperti itu. Lalu Sierra melihat pria itu mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya.
"Kau terlalu banyak melihat," desis Ditrian sebelum menutup mata Sierra menggunakan sapu tangan itu.
Jadi pria itu tahu.
"Memangnya apa yang kau harapkan dariku?" tanya Sierra. Suaranya masih tenang. "Tidur nyenyak selama perjalanan? Maaf saja, aku tidak tertarik."
Sierra merasakan embusan napas Ditrian di wajahnya ketika pria itu berbicara. Hal itu membuatnya sadar dengan kedekatan mereka.
"Karena itu hal ini sangat diperlukan."
"Diam kau pria bodoh!" desis Sierra.
"Kau pikir kau akan lolos setelah melakukan hal ini padaku?" bentak Sierra.
"Jadi akhirnya kau menunjukkan sifat aslimu." Ditrian menggenggam rahang Sierra dengan satu tangan dan mengangkat wajah gadis itu sedikit lebih keras, lebih seperti gertakan. "Kau manipulator berbahaya. Kau pikir aku tak tahu apa yang sudah kau lakukan padaku? Syukurlah karena kau hanyalah gadis jahat yang selalu menggunakan pesonamu untuk mendapatkan apapun yang kau inginkan."
Jengkel hanyalah satu dari sekian perasaan yang Sierra rasakan sekarang. Dengan mata tertutup rapat karena sapu tangan membuatnya tak bisa melihat ekpresi yang ditampilkan wajah Ditrian saat ini. Ia juga tak bisa menggerakan bagian atas tubuhnya. Hanya kedua kakinya yang bisa bergerak bebas, tapi itu pun tak banyak membantu apa-apa. Itu hanya memberikan sedikit -hanya sedikit sekali kenyamanan, mengingat situasinya sekarang ini.
"Apa kau menginginkan uang tebusan?" tanya Sierra. "Kurasa aku perlu mengatakan padamu kalau aku bisa memberikan berapa pun yang kau mau asal kau melepaskanku."
Dengusan Ditrian disertai dengan tawa yang mengejek. "Bagaimana jika aku menginginkan seluruh harta yang kalian miliki?"
"Ah, jadi ini bukan tentang uang." Simpul Sierra. "Setidaknya berikan aku satu alasan."
Ya, jika tak bisa mendapat semuanya sekaligus, Sierra berharap ia bisa mendapat sedikit saja penjelasan tentang maksud Ditrian. Jika pria itu seorang penjahat yang memasuki rumah orang lain dengan melompati pagar, Sierra yakin ada alasan kenapa pria itu belum melakukan apapun padanya, kecuali mengikatnya di kursi seperti seorang sandera. Jadi Sierra menyimpulkan bahwa ada yang diinginkan Ditrian darinya.
"Kau hanya berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah."
"Maksudmu kau menginginkan orang lain? Salah satu wanita yang datang di pesta ulang tahunku?" Kesimpulan yang ia buat sendiri anehnya menimbulkan perasaan tak suka di dalam hatinya. Apakah Ditrian sedang menunggu wanita lain di tempat itu? Dan Sierra kebetulan berada di sana lalu melihatnya.
Itu bisa saja terjadi karena hampir secara keseluruhan tamu yang datang di pesta ulang tahunnya adalah orang-orang dari kalangan atas yang kaya raya. Sebagian dari mereka adalah keturunan bangsawan. Mengencani kalangan bawah seperti Ditrian akan mengundang gunjingan yang tak berkesudahan.
Apa mungkin ini semua tentang affair? Well, Sierra tak bisa menerimanya. Enak saja mereka, memadu kasih dan menjadikannya sebagai korban.
"Jika itu yang kau percayai." Sierra merasakan Ditrian menjauh setelah mengatakan hal itu. Suara mesin mobil dinyalakan, sedikit guncangan sebelum mobil melaju dengan lancar. Kecepatan mobil itu dapat Sierra rasakan dengan jelas walau matanya ditutup. Ditrian kembali tak bersuara, dan Sierra kali ini tak memiliki keinginan untuk mengajak pria itu berbicara kembali.
Ia tak tahu berapa lama waktu yang telah mereka habiskan dalam sisa perjalanan itu. Ia telah berhenti menghitung pada angka ke enam ratus delapan puluh dan memperkirakan bahwa mereka telah berkendara lebih dari dua jam.
Oh sialan pria itu. Seluruh tubuhnya terasa kram. Dan lehernya terasa seperti mau patah. Mobil berhenti tak lama setelah itu. Suara pintu yang terbuka lalu tertutup lagi membuat Sierra was-was. Apa mungkin Ditrian akan meninggalkannya seperti ini? Pertanyaannya terjawab setelah pintu di sebelahnya terbuka. Ditrian membuka ikatan di tubuhnya dan melepaskan penutup matanya. Sierra memberi pria itu tatapan terkejamnya, tapi terasa percuma karena Ditrian sama sekali tak menatap matanya.
"Aku akan memuntahimu kalau kau sampai meletakkan tubuhku di bahumu dan menggendongku seperti sekarung beras," ancam Sierra. Kram karena berjam-jam berada di posisi yang sama membuat tubuhnya belum bisa bergerak banyak. Hal itu cukup untuk membuatnya emosional.
Ia lega karena Ditrian akhirnya menggendongnya dengan dua tangan. Pria itu masih tak mengatakan apapun saat melakukannya. Sierra menggunakan waktu-waktu tersebut dengan memperhatikan keadaan sekitar. Mereka sedang berada di sebuah gedung bertingkat. Ia tahu itu karena kini mereka sedang menaiki tangga sempit menuju ke lantai atas.
Ruangan di bawah tadi tampaknya hanya diisi oleh satu mobil yang mereka kendarai tadi. Dan itu adalah jalan keluar satu-satunya, sejauh yang ia lihat. Tangga sempit itu tak terlalu tinggi, mengantar mereka langsung pada satu ruangan luas tanpa sekat, tanpa jendela. Ah, jendelanya terletak di langit-langit. Tertutup semacam kayu tebal yang masih Sierra cari dimana pengontrolnya.
Ditrian mendudukannya di atas tempat tidur tunggal berukuran besar, yang baru Sierra sadari menghadap langsung pada satu-satunya ruangan tertutup di tempat itu. Toilet dan kamar mandi yang menyatu jadi satu. Yah, setidaknya pria itu memikirkannya saat membangun tempat ini, atau membelinya. Apapun itu, ruangan ini ternyata cukup bersih dan bagus. Hanya saja suram dan sama sekali tidak modis.
Dinding-dindingnya tidak dicat, hanya diplaster dengan semen berwarna abu-abu gelap. Di sisi kanan, agak sedikit jauh dari tempat tidur, terdapat home kitchen, lengkap dengan meja makan kecil dan dua tempat duduk. Seberapa keras pun Sierra memikirkannya, ia tak mendapatkan satu bayangan pun mengenai Ditrian yang memasak di tempat itu.
Di sisi kirinya di sebelah tangga, Sierra mendapati lemari dinding tanpa pintu. Sedikit meringis saat mendapati dua warna memenuhi lemari itu. Hitam dan abu-abu tua. Baru kali ini Sierra melihat orang yang sangat konsisten hanya memilih dua warna gelap itu di pakaiannya.
Bunyi pintu tertutup menarik perhatiannya.
Ada pintu setelah tangga. Pintu itu menggunakan semacam remot otomatis untuk membuka dan menutupnya. Sialan. Kalau sudah begini akan sulit baginya untuk melarikan diri. Akan lebih baik baginya menghabiskan waktu dengan bertindak seperti orang lain di situasi yang serupa. Terlihat patuh dan kalem. Barangkali Ditrian tak akan mempertimbangkan untuk mengikatnya di tempat tidur misalnya.
"Jadi, seperti ini tempat tinggalmu." Sayang sekali, ia tak bisa menutup mulutnya begitu saja. Tapi kenyataan itu membuatnya tersenyum sendiri. Apalagi ketika ia melihat Ditrian yang sejak tadi diam mengamatinya sedikit mengernyit. "Ternyata lebih baik dari yang aku bayangkan," tambah Sierra.
Ditrian bersedekap dan memiringkan sedikit kepalanya. "Apa yang harus aku lakukan padamu?"
Sierra mengangkat bahu. "Bagaimana kalau kita membuat perjanjian yang baru? Aku akan berjanji padamu tak akan pernah menceritakan sedikit pun hal tentangmu pada orang lain, asal kau melepaskanku."
Satu alis Ditrian terangkat tinggi. "Kau? Berjanji?"
Sierra mengangguk. Senyumannya bertambah lebar. "Aku orang yang menepati janji."
"Kau pembohong kecil," kata Ditrian.
"Kau tertipu penampilanku, ya kan?" Sierra berdecak dan ikut bersedekap. "Semua orang tahu penampilan itu bisa menipu. Seperti kau...," Ia memandangi Ditrian dari atas ke bawah. "... yang tampan, misterius dan sangat menarik. Siapa yang tahu apa yang kau lakukan di balik wajah tampan itu. Mungkin kau pernah membunuh orang."
Tatapan mereka bertemu dan Sierra bersumpah melihat mata pria itu berkilat. Apa mungkin ia telah menebak dengan benar? Tapi ia hanya sembarangan mengatakannya. Dari berjuta orang di dunia ini, ia tak mungkin sesial itu. Tak masalah jika Ditrian buruk rupa. Tapi pria itu, oh ya, ini benar-benar tak masuk akal. Ini nyaris membuatnya berteriak, Samuel! Dimana kau? Aku bersumpah akan membakar seluruh mainan robotmu jika kau tak segera datang menjemputku!
Tapi tentu saja, Samuel tak ada di sini. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sierra tahu bahwa ini benar-benar terjadi padanya. Yah, dia melakukan tindakan bodoh dan berakhir dalam situasi bodoh yang sama sekali tak menyenangkan.
Bolehkah ia bernyanyi sekarang? Ia biasanya bernyanyi saat ia tak mau memarahi dirinya sendiri.
"Apa yang sedang kau rencanakan?"
"Diam!" Perintahnya pada Ditrian. "Aku sedang berbicara pada diri sendiri."
Ia kembali menatap pada Ditrian dan mendapati pria itu nyaris terhibur melihatnya frustrasi seperti ini. Setidaknya raut wajah pria itu tak sekaku sebelumnya. Mungkin Ditrian tak benar-benar kejam. Mungkin pria itu hanya menakut-nakutinya tadi. Jika Ditrian benar-benar membunuh orang maka tak sulit bagi pria itu untuk membunuhnya.
Ya Tuhan, ada yang salah dengan otaknya. Ia tak mungkin memikirkan pembunuhan dengan perasaan seperti ini. Nyaris tenang. Seolah-olah ia tahu bahwa Ditrian tak akan membunuhnya.
00000
Gadis itu belum tahu benar betapa berbahaya posisinya saat ini.
Sepertinya Sierra terbiasa menganggap semua hal sebagai lelucon. Atau gadis itu pandai menutupi ketakutannya dengan berbicara dan bergumam secara terus-menerus. Yang mana pun, hasilnya tetap sama. Sepertinya Sierra lebih baik menggigit lidahnya sendiri daripada mengaku bahwa ia telah membuat kesalahan. Gadis manja itu secara sengaja telah menempatkan dirinya sendiri pada situasi yang buruk. Dan yang lebih buruk, gadis itu belum bisa melihatnya dengan jelas.
Gadis itu terus-terusan mengamatinya dan Ditrian menahan diri untuk tak mengulurkan tangannya dan menyentuh kelopak mata yang membingkai mata indah itu. Beberapa kali ia nyaris menutup mulut gadis itu dengan bibirnya sendiri, melumatnya, sampai celotehan gadis itu berubah menjadi desahan seperti yang ia inginkan.
Gadis itu cerewet sekali. Orang paling cerewet yang pernah ia temui. Bahkan walau ia tak pernah menghabiskan banyak waktu dengan orang lain, ia tahu tak ada orang seperti Sierra yang masih bisa membuatnya melupakan banyak hal dan kehilangan fokus seperti ini.
Bahkan, Sierra berani memerintahnya. Tak ada orang yang pernah menggertaknya dan tetap hidup. Tapi Ditrian mengakui, bahwa tak ada gadis cantik yang pernah menggertaknya, benar-benar memerintahnya untuk melakukan sesuatu hal selain memuaskan kebutuhan seksual mereka secepatnya. Para wanita biasanya meninggikan suara padanya ketika ia menunda-nunda kepuasan mereka di atas ranjang. Dan Ditrian akan dengan senang hati menuruti mereka, lalu melupakannya begitu saja. Satu wanita hanya untuk satu malam. Ia bisa mendapatkan wanita seperti itu dimana pun ketika ia butuh. Hanya ketika ia butuh.
Dan ia membutuhkannya sekarang. Tapi yang ada di hadapannya kini hanyalah seorang gadis cantik yang tak boleh ia sentuh. Tidak, jika ia ingin ini semua berjalan lancar. Seseorang seperti Sierra akan menginginkan hatinya. Hati yang tak pernah ia miliki. Menyentuh gadis itu hanya akan membuat semuanya bertambah rumit dan ia tak menginginkannya.
Ia butuh ketenangan mengagumkan gadis itu, juga mendengar celotehannya. Walau ia berat mengakuinya, ia butuh melihat senyuman gadis itu lebih lama lagi. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya merasa nyaman bersama orang lain. Hanya sebentar saja. Untuk saat ini saja.
***
Chapter. 5
A Talkative Hostage
Pesta ulang tahun adalah salah satu hal yang harus diselenggarakan secara besar-besaran oleh para keluarga kalangan atas dimana pun mereka bertempat tinggal. Adams berada di daftar puncak para miliyarder di negeri ini.
Mereka mungkin tak memiliki darah bangsawan. Tapi semua itu tak lagi penting mengingat mereka sangat kaya. Karena itulah pesta dari adik perempuan satu-satunya harus diselenggarakan secara eksklusif dan mewah. Menunjukan dengan jelas betapa kayanya mereka.
Tapi seberapa penting pun kekayaan itu tak berarti lagi disaat salah satu anggota keluarga mereka tak ditemukan dimana pun di kediaman mewah mereka. Apalagi jika yang menghilang adalah Sang Pemeran Utama malam ini.
Pesta akhirnya dibubarkan lebih cepat dari seharusnya tanpa penjelasan berarti. Para tamu dipulangkan dengan berbagai persepsi di kepala mereka masing-masing.
Adams Samuel, setelahnya tak henti memberikan perintah-perintah tegas kepada para detektif swasta sewaan keluarganya, juga meminta bantuan dari para rekan-rekannya yang sama-sama berprofesi sebagai detektif negeri, tanpa membuat keributan. Ia sudah berhenti mencoba menghubungi nomor adik perempuannya karena sudah jelas bahwa itu tak akan lagi berguna. Suara terbanting yang ia dengar sebelum panggilannya dan Sierra terputus sudah cukup membuktikan bahwa adik perempuannya itu sedang berada dalam bahaya.
Berhadapan dengan jendela besar, Yerico, anak laki-laki pertama dari keturunan Adams, sekaligus pemegang resmi seluruh tumpuk kekuasaan keluarga, tampak sedang serius menelepon seseorang, atau banyak orang. Raut wajahnya terlihat tegas sekaligus lelah. Ia tak menyangka bahwa Sierra yang baru beberapa menit sebelumnya ia lihat tiba-tiba saja menghilang tanpa meninggalkan catatan atau pesan apapun. Tak ada satu pun dari pelayan melihat kepergiannya. Dan ini sudah satu jam setelah mereka sadar bahwa Sierra tak berada di kamarnya. Tak tahu sudah berapa lama sejak Sierra tak berada di sana.
Dari kesimpulan yang dibuat oleh para detektif, kemungkinan besar Sierra diculik. Beberapa kamera pengawas terbukti dimanipulasi. Tapi belum ditemukan hal lain yang mungkin berkaitan dengan Si Penculik. Ketika itu, terlalu banyak orang dan kendaraan sehingga keamanan lebih difokuskan pada beberapa titik di gerbang utama. Walau begitu kamera pengawas ada dimana-mana, yang ternyata sama sekali tak membantu kali ini. Dan pagar tembok cukup tinggi untuk dilompati, kecuali di beberapa tempat yang sedang dipugar, yang dicurigai sebagai jalan orang itu masuk.
Para tamu yang bisa memasuki kediaman Adams hanyalah orang-orang yang memiliki undangan resmi. Pesta itu sendiri sebenarnya sangat tertutup. Jadi orang yang –kemungkinan– membawa Sierra adalah orang yang sangat profesional. Dan sudah pasti berbahaya.
"Aku ingin kau mengerahkan seluruh anak buahmu dalam pencarian ini," perintah Yerico pada orang yang sedang ia telepon. "Aku tak peduli bahkan jika kau harus membalik negara ini, kau harus menemukannya."
Ia memutus panggilan seraya berbalik dan menatap pada kedua adik lelakinya yang sama-sama terlihat khawatir seperti dirinya. Tapi Uizaki, adik keduanya, terlihat yang paling tenang di antara mereka. Tak mengherankan, karena Uizaki selalu menjadi yang paling tenang dan sulit ditebak. Juga biasanya selalu memiliki pendapat yang sangat berguna dalam setiap masalah.
"Aku kira ada yang sedikit aneh di sini," kata Uizaki seraya menempatkan dirinya di sofa tunggal di ruang kerja Yerico. Perkataannya mengundang tatapan ingin tahu Samuel yang sejak tadi mondar-mandir dan beberapa kali hampir ikut dalam pencarian jika Yerico tak melarang. Hal yang perlu mereka lakukan sekarang adalah berkumpul, berbicara dengan tenang, berpikir. Jika mereka ikut dalam pencarian maka mereka akan melakukannya bersama-sama.
Mereka semua berharap bahwa tujuan Si Penculik adalah uang. Karena mereka akan dengan senang hati memberikannya asal adik mereka dapat kembali tanpa kurang satu apapun.
"Yang aneh adalah kau masih dapat duduk dengan tenang sementara adik kita tak tahu bagaimana keadaannya," sindir Samuel. Tatapan Samuel beralih pada Yerico. "Aku sudah bilang padamu aku ingin ikut dalam pencarian. Duduk di sini dan menunggu nyaris membuatku gila!"
"Coba kau pikirkan," sahut Uizaki dengan suaranya yang setengah merenung. "Sierra bukan orang yang akan dengan mudah diculik. Pasti ada perlawanan atau minimal teriakan."
"Dia tak akan berteriak jika seseorang menodongkan senjata padanya." Samuel berkata, dan kembali mondar-mandir. "Sudah kubilang dia seharusnya memiliki pengawal pribadi."
"Kita sudah sepakat kalau ia tak akan setuju," komentar Yerico.
"Inilah kenapa ia harus menikah dengan orang yang bisa melindunginya."
"Samuel, bahkan dengan kita bertiga dan semua pengamanan di rumah ini, dia masih bisa pergi dengan mudah." Uizaki menggeleng tenang.
"Maksudmu dia pergi dengan kemauannya sendiri?" Seru Samuel. "Kurasa kau gila, Man."
Uizaki mengangkat bahu. "Dia membawa seluruh isi tasnya. Dompet dan sebagainya. Dan jangan lupakan piringan hitam di kamarnya. Dia jelas ingin menunjukkan pada semua orang kalau ia sedang ingin tidur."
"Ada kemungkinan kalau Si Penculik yang menyalakan musik," timpal Samuel. "Lalu bagaimana kau menjelaskan dengan panggilan teleponnya dan kamera pengawas yang dimanipulasi?" Balas Samuel tak mau kalah.
"Tak banyak orang yang tahu kalau Sierra perlu mendengarkan musik klasik untuk dapat tidur. Sudah jelas bahwa tak banyak yang tahu kalau kita tahu hal itu dan mengira Sierra sedang ingin tidur ..."
"Hati-hati, brother. Atau aku akan menyimpulkan kalau kau beranggapan adik kita sedang lari dengan seorang pria," potong Samuel, geram. "Sierra lebih berpikiran jernih daripada itu."
"Gentleman..." Yerico menengahi perdebatan itu. Samuel memang senang berdebat dan sedikit emosional. Tapi melihat Uizaki yang biasanya berkepala dingin dan tenang kini membalas ucapan Samuel adalah tanda bahwa mereka semua sedang sangat khawatir. Sierra memang sangat keras kepala dan terkadang sedikit nekat. Perkataan Uizaki memang ada benarnya.
Tapi seperti kata Samuel, bagaimana mereka bisa menjelaskan tentang panggilan telepon itu sebelum nomor Sierra benar-benar tak bisa dihubungi lagi? Dan bagaimana dengan kamera pengawas?
00000
Sierra tak akan pernah membiarkan seseorang mengabaikannya dan melakukan aktifitas lain sementara ia merasa sangat bosan. Tak ada televisi di rumah ini. Juga tak ada sambungan internet. Jika Ditrian orang yang sangat suka menyembunyikan diri, maka sudah pasti pria itu akan menggunakan kartu prabayar sekali pakai yang akan langsung dibuang begitu kuota habis. Sierra rasa memang itu yang dilakukan Ditrian selama ini.
Pria yang terlihat menyibukkan diri di depan laptop hitam –yang pria itu ambil dari bawah meja makan –itu tampaknya memutuskan untuk menjaga jarak dan lebih memilih duduk di depan meja makan ketimbang harus berdekatan dengan Sierra. Hal itu tak buruk juga mengingat kedekatan mereka menimbulkan sesuatu yang tak diinginkan di antara mereka.
Tapi Sierra bosan.
Ponselnya, satu-satunya benda yang akan bisa diandalkan di situasi seperti ini, sudah dihancurkan oleh pria itu. Mengingat hal itu kembali membuat Sierra memberi tatapan jengkel lagi pada Ditrian. Pria itu bahkan tak pernah meminta maaf padanya.
Sierra berdiri dari ranjang yang telah ia tempati sejak tadi. Ia membenahi bagian bawah pakaiannya sambil menggerutu dan mengerling pada Ditrian. Gaun yang ia kenakan di balik jaketnya memang indah. Tapi tak pernah dirancang untuk dikenakan cukup lama, apalagi di tempat tanpa pendingin atau penghangat ruangan. Gaun itu dirancang untuk sesuatu yang serba mewah. Jelas tak cocok untuk sandera penculikan.
Ia diculik, ya kan? Ini tak seperti yang ia bayangkan. Ia bahkan bisa menyamakan keadaannya sekarang dengan kurungan yang ia dapatkan karena berbuat nakal sewaktu sekolah.
Dulu sekali, Yerico pernah mengurung Sierra di kamar karena ia pernah mengolesi isi tas temannya dengan selai stroberi yang ia bawa dari rumah. Hal itu membuat Yerico dipanggil ke sekolahnya dan harus meminta maaf pada orangtua siswa tersebut. Sierra sendiri lebih baik menggigit lidahnya daripada meminta maaf. Ia bilang ia akan gatal-gatal jika meminta maaf. Yerico mengurungnya di kamar selama dua hari untuk introspeksi diri. Percuma saja, karena Sierra memiliki kebiasaan aneh untuk bersikap menjengkelkan dalam beberapa hal.
"Kau terbiasa berbicara pada diri sendiri." Pernyataan yang diungkapkan dengan nada datar itu memecah bayangan masalalunya. Sierra menatap Ditrian, lalu mengangkat bahu. Jadi pria itu memperhatikannya. Ditrian orang yang sangat teliti, Sierra mencatat di dalam hati.
Ia mendekati pria itu dan mendapati Ditrian menutup laptopnya seketika. Sierra memiliki firasat bahwa apa yang dikerjakan Ditrian sejak tadi ada kaitannya dengan dirinya sendiri. Tapi ia sudah cukup mengenal Ditrian untuk tahu bahwa jika ia menanyakannya maka Ditrian tak akan pernah menjawabnya. Hal itu membuatnya terkejut pada diri sendiri.
Tinggal tunggu waktu saja sampai ia jatuh cinta pada hitungan jam dan memecahkan rekor kisah cinta Romeo dan Juliet. Sierra memutar matanya.
"Kau melakukannya lagi," kata Ditrian.
"Melakukan apa?" Sierra menempati satu-satunya sisa kursi di ruangan itu. "Kau punya dua kursi di depan meja makan," kata Sierra enteng. "Kau membuatku terkejut."
"Berbicara pada diri sendiri," ungkap Ditrian. Butuh waktu bagi Sierra untuk memahami maksud Ditrian.
"Ahh." Sierra mengangguk.
"Dan kursi itu milik orang lain sebelumnya," tambah Ditrian lagi. Pria itu mengamatinya saat mengatakan hal itu. Kilat dingin itu kembali. Ditrian seolah memiliki sesuatu yang kelam di dalam hatinya dan Sierra sungguh ingin tahu apa itu.
"Kau tinggal bersama orang lain sebelumnya?" Tanya Sierra.
Ditrian memandangnya tajam ketika menjawab. "Seorang pengunjung tetap."
Pria itu menatap Sierra seolah Sierra sudah melakukan sebuah kesalahan yang tidak ia ketahui. Sierra kembali mengangguk, lalu memalingkan muka. Ia menelan ludah dan menghela napas. Terkutuklah perasaan takut yang menelusup dalam hatinya. Terkutuklah Ditrian yang terlihat sengaja ingin melihat reaksinya dengan bertindak seperti itu.
"Kau tak ingin bertanya siapa pengunjung itu?" Tanya Ditrian.
"Tidak." Sierra memberanikan diri kembali membalas tatapan pria itu. "Aku terbiasa mengabaikan orang-orang yang tak memiliki kepentingan dalam kehidupanku."
Ditrian berdiri dengan ketenangan yang menggelisahkan. Tatapan pria itu kini dipenuhi oleh kemarahan yang teredam. Ketika ia melangkah mendekat, Sierra memaksa tubuhnya untuk berdiri tapi menahan diri untuk tak melarikan diri. Ia sudah merasakan kekuatan Ditrian sebelumnya. Pria itu bukan orang yang bisa ia lawan secara fisik.
Kedua tangan Ditrian terangkat dan mencengkeram lengan atasnya hingga tubuh Sierra tertarik sedikit ke depan, ke arah Ditrian. Napas Sierra tersentak. Ia yakin cengkeraman Ditrian akan menimbulkan ruam di kedua lengannya nanti.
"Sepertinya seluruh keluarga Adams memiliki kebiasaan untuk hanya tertarik pada diri mereka sendiri." Kalimat itu diucapkan Ditrian dalam gumaman dingin yang seolah dapat membekukan. Pria itu juga mengguncang tubuh Sierra ketika mengatakannya, membuat Sierra menjadi sedikit berjinjit.
"Kami tak suka ikut campur urusan orang lain," balas Sierra.
Ditrian mendenguskan tawa sinis. "Kau hanya memperhalus kalimatmu. Tapi aku tahu kau tak akan pernah menjadi sebaik malaikat."
"Aku memang bukan malaikat!" Sierra merasakan kemarahannya mulai naik ke permukaan karena Ditrian terus menerus mengguncang tubuhnya. Pria itu terlihat tak tahu harus melakukan apa terhadapnya dan memutuskan bahwa mengguncang tubuhnya adalah hal satu-satunya yang bisa dilakukan.
Sierra tak dapat menerimanya karena ia tak tahu dimana letak kesalahannya. Sierra menepis lengan pria itu dan berhasil melepaskan diri. Ia berbalik dan berjalan menjauh. Lalu jengkel sendiri begitu menyadari bahwa tak ada tempat untuk menghindari Ditrian di rumah ini.
Kecuali kamar mandi.
Ia baru saja akan melangkah ke sana ketika lengannya ditarik dari belakang. Ditrian memaksanya untuk kembali berhadapan dengan pria itu.
"Kau seharusnya mengatakan apa yang sebenarnya kau inginkan dariku!" Bentak Sierra. Ia tak terbiasa membentak. Jadi melakukannya membuat napasnya terengah. "Aku tak tahu dimana letak kesalahanku selain bahwa aku sudah melakukan tindakan bodoh dengan memercayaimu begitu saja!"
"Setidaknya tindakan bodohmu telah menyelamatkan hidupmu," sahut Ditrian dingin.
"Apa maksudmu?"
Ditrian melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Sierra. Kemarahan yang Sierra lihat sebelumnya telah pudar, digantikan kembali dengan sesuatu yang lebih tertutup. Ditrian berjalan ke arah tempat tidur dan menempatkan dirinya di sana. Sedangkan Sierra lebih memilih untuk berdiri di tempat yang sama. Menjaga jarak dari pria itu.
"Aku berpikir untuk membunuhmu."
Perkataan Ditrian mengundang tatapan tak percaya dari Sierra.
"Aku nyaris mematahkan lehermu jika kau tak mengajukan tawaran itu," tambah Ditrian.
"Jadi apakah aku harus memuji diriku sendiri karena bisa diculik alih-alih dibunuh?" Sierra menggeleng tak percaya. Rasa humornya nyaris habis tak bersisa. Ia tak percaya dirinya bisa merasa benar-benar marah dan ingin berteriak. Padahal belum lama lalu ia masih merasa cukup tenang. Ia jadi takut memikirkan ada pribadi lain yang bersembunyi di dalam dirinya. Atau memang Ditrian yang memiliki keahlian mempermainkan emosi orang lain. Pria itu bisa dengan mudah membuatnya marah, juga takut. Dan terlepas dari semuanya, terpesona. Sierra semakin marah saat memikirkannya.
"Kau belum paham dimana posisimu." Perkataan Ditrian kembali menyulut amarahnya.
Sierra berjalan mendekat dan berkacak pinggang di hadapan pria itu. "Memangnya dimana posisiku menurutmu?"
Tatapan pria itu mengarah pada sekujur tubuh Sierra dan mengundang perasaan tak diinginkan itu lagi. Sepanjang kehidupannya, tak jarang Sierra mendapatkan tatapan seperti itu dari para pria. Ia sering mendapatkannya, namun ia tak pernah terbiasa. Ditrian adalah yang terburuk dari semuanya karena mampu membuat ia merasakan sesuatu yang lain. Keinginan untuk disentuh. Bukan sentuhan ringan seperti saat sedang berdansa. Tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih intim.
"Aku ingin tahu apa kau pernah mendapatkan kesulitan karena kebiasaanmu berbicara pada diri sendiri itu." Ditrian menatapnya seperti sebelum-sebelumnya. Lurus dan penuh penilaian. Kilat di mata pria itu kembali tak tertebak. Tapi Sierra tahu bahwa apapun yang membuat Ditrian marah sebelumnya dapat menunggu untuk sementara ini.
"Apa ada yang pernah mengatakan padamu kalau perubahan emosimu itu sangat mengganggu?" Sindir Sierra.
"Aku biasanya tak sejelas ini," jawab Ditrian.
Sierra bersumpah mendengar ironi dalam nada suara pria itu.
"Well, terserah kau sebenarnya," kata Sierra.
"Kau jadi sinis," balas Ditrian. "Apa ini sifatmu yang sebenarnya ataukah si Manipulator yang manis itu?"
"Yang itu, terserah aku," balas Sierra.
Ditrian menaikkan satu alisnya. "Aku merasa sedang berbicara dengan orang berbeda sekarang."
"Kau harus hati-hati," ejek Sierra. "Mungkin ada satu jiwa pembunuh di dalam diriku," tambahnya. Ia tak bisa menahan lidahnya untuk menimpali perkataan pria itu. Emosinya memang naik turun semalaman ini. Sekarang ia tahu kalau bukan hanya wanita hamil saja yang bisa mengalami hal seperti ini. Wanita yang sedang diculik juga bisa merasakannya.
"Boleh aku meminjam salah satu koleksi pakaianmu yang membosankan?" Sierra bertanya. Ini adalah hal yang ingin ia tanyakan sejak tadi. Ia perlu berganti pakaian. Mengingat hanya ada pakaian Ditrian di rumah ini, maka ia tak punya banyak pilihan.
"Pilih mana pun yang kau suka." Ditrian menatap lemari pakaiannya saat mengatakan hal itu. Lalu tatapan itu kembali pada Sierra. "Kau harus puas tanpa pakaian dalam."
Sierra baru menyadarinya dan menatap Ditrian karena itu. "Aku bisa bertahan untuk malam ini," katanya. "Kurasa kita bisa mendapatkannya? Besok?" Nada suaranya jelas menyiratkan bahwa Ditrian akan menyesal jika tak memberikan apa yang ia inginkan. "Boleh aku tahu jam berapa sekarang? Mengingat kau tak memiliki jam dinding."
"Pukul dua dini hari terakhir kali aku melihatnya." Ditrian mengedikkan dagu ke arah laptopnya yang masih berada di meja makan. "Kau harus tidur sekarang."
"Kau memilih kata yang salah," peringat Sierra. Perlahan mendekati lemari pakaian Ditrian dan mulai memilih-milih pakaian yang ingin ia kenakan. "Aku cenderung melakukan sebaliknya jika orang-orang mengharuskanku melakukan sesuatu."
"Kau bisa tidak tidur kalau kau mau," tawar Ditrian.
Sierra menyerah memilih dan menarik yang mana pun yang sedang ia sentuh. Semua pakaian Ditrian tak hanya memiliki dua warna, tapi juga dua model dari merk yang sama. Kemeja lengan panjang dan kausnya sama sekali tak beraksen. Hanya model standar yang bisa ditemukan di toko mana pun.
Sierra curiga Ditrian membeli pakaian itu satu lusin di setiap model. Pria itu bahkan hanya memiliki satu warna untuk celana yang ia kenakan. Hitam, hanya hitam. Sekarang Sierra penasaran warna apa yang pria itu pilih untuk pakaian dalamnya. Satu box besar di bawah segantungan pakaian pria itu membuat tangannya gatal untuk membukanya.
"Tak ada ukuran celana yang lebih kecil?" Sierra bertanya sambil menunjuk susunan celana Ditrian yang terlipat rapi untuk mengalihkan pikirannya dari niat yang bisa membuatnya berada dalam masalah, lagi.
Ditrian masih duduk di tempat yang sama di ujung tempat tidur.
"Aku pikir kau tak memerlukannya," kata pria itu. "Pakaianku akan lebih panjang dari gaun merah mencolok yang kau kenakan di balik jaketmu itu."
Sierra menggerutu seraya berjalan mengentak ke dalam kamar mandi. Ia membanting pintu dari dalam dan semakin menggerutu saat tak mendapati celah sedikit pun untuk melarikan diri melalui kamar mandi itu.
"Dan sekarang aku tahu kenapa ia terlihat tenang sekali."
***
Chapter. 6
First Kiss
Ia menunggu dalam hening dan hanya perlu menyimpan laptopnya ke dalam brankas berkode yang tersembunyi di bawah meja makan. Sebenarnya tak ada apa-apa di dalam benda itu atau di ponsel yang masih berada di dalam sakunya. Ia terbiasa menghapus panggilan atau e-mail masuk. Atau apa saja yang ia cari di jejaring internet berpelindungnya. Jika ada orang yang menemukan rumah ini, orang-orang yang berasal dari dunia yang sama dengan dirinya, maka mereka tak akan mendapatkan apa-apa.
Ia jarang menggunakan laptopnya. Ia biasanya hanya menggunakan ponsel. Tapi malam ini berbeda. Ia membutuhkan benda itu untuk mengalihkan pikirannya dari seorang gadis yang masih tak mengerti juga dimana posisinya.
"Memangnya dimana posisiku menurutmu?" Tanya Sierra tadi. Ditrian hampir saja menjawab bahwa gadis itu seharusnya berada di bawahnya di atas ranjang. Gadis itu seharusnya sedang terengah bukannya mengomel dan mengeluarkan komentar-komentar sinis yang menghibur. Gadis itu seharusnya tidur di ranjangnya tanpa mengenakan sehelai benang pun, bukannya berada di kamar mandi, menggerutu karena harus mengenakan pakaian yang katanya membosankan.
Ditrian berjalan mendekati home kitchen dan membuka lemari es. Ia tak menemukan apapun selain berbotol-botol air mineral dan sebotol whiskey. Tapi ia jarang menenggak alkohol. Minuman itu hanya akan membuatnya kehilangan kewaspadaan. Whiskey ia perlukan saat ia sedang terluka. Tapi sekarang ia tidak. Setidaknya secara fisik. Ia menarik botol kecil berisi air mineral lalu menenggaknya hingga habis. Pintu kamar mandi terbuka seiring dengan tegukannya.
Ia mengamati Sierra yang berjalan ke tempat tidur untuk melipat gaun yang sejak tadi tersembunyi di balik jaketnya. Gadis itu juga melipat jaket itu setelah sebelumya mengeluarkan tas tangan kecilnya dari saku. Ditrian sedikit mengernyit ketika Sierra meletakkan pakaiannya di tempat kosong di lemari, bersebelahan dengan pakaiannya yang serba gelap. Warna merah terlihat mencolok di tempat itu, memberikan kesan feminin sama halnya dengan aroma rumah ini ketika ia membawa Sierra masuk.
Rumah ini tak pernah dimasuki wanita mana pun. Satu-satunya yang pernah berkunjung hanyalah pamannya yang telah mati. Pemilik salah satu kursi yang tadi ditanyakan oleh Sierra. Ditrian kembali membuka lemari es, mengambil botol lainnya, lalu menyerahkan botol tersebut pada gadis itu. Sierra menerimanya dengan cepat, tapi mengernyit setelahnya.
"Kurasa kau tak punya gelas?"
Ditrian menggeleng. "Maaf mengecewakanmu." Ia melirik pada tas tangan Sierra yang berada di atas tempat tidur ketika gadis itu menenggak minumannya.
"Gunakan saja tempat tidurmu," kata Sierra. Air mineral di dalam botol sudah habis sepenuhnya. Sepertinya gadis itu sudah kehausan sejak tadi tapi tak berniat mengatakannya. Sangat mengherankan mengingat Sierra suka sekali membicarakan semua hal.
"Kurasa aku tak akan bisa tidur malam ini," tambah Sierra. Padahal gadis itu terlihat sangat lelah. "Aku terbiasa mendengarkan musik klasik sebelum tidur dan kurasa kau tak memilikinya."
"Tidak, aku tak punya," aku Ditrian. "Tapi aku bisa mendownloadnya malam ini juga."
"Oh tidak tidak!" Sierra mengangkat bahu. "Aku tak mau merepotkanmu."
Ditrian memperhatikan Sierra, curiga kalau gadis itu akan mulai merencanakan sesuatu lagi. Sierra adalah orang yang paling sulit ditebak yang pernah ia kenal. Sikap gadis itu berubah-ubah hingga sulit ditentukan yang mana yang sebenarnya. Di satu sisi, Sierra terlihat benar-benar tenang dan sepatuh anak anjing. Di sisi lain, gadis itu terlihat akan memberontak sewaktu-waktu. Selain sulit ditebak, Ditrian menyadari bahwa Sierra sangat licik. Tapi setidaknya gadis itu tak tersenyum sekarang.
Karena senyumannya adalah hal yang paling berbahaya bagi mereka berdua.
Ditrian menarik tangan Sierra hingga gadis itu terpaksa mengikutinya duduk di atas tempat tidur. Botol air mineral yang tadi masih digenggam Sierra ia ambil dan ia letakkan di lantai di sebelah tempat tidur.
"Tidur, Sierra," perintahnya. "Atau aku tak akan membiarkanmu memiliki pakaian dalam baru," tambahnya ketika gadis itu terlihat ingin membantah. Mulut Sierra terkatup rapat. Ditrian dapat melihat pemberontakan terselubung di kilat mata gadis itu. Tapi sepertinya gadis itu bahkan lebih cerdas dari kelihatannya karena memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan menarik selimut sambil membaringkan tubuhnya.
"Selamat tidur, Ditrian," ketus Sierra.
Ditrian menatap gadis yang sedang memejamkan mata itu. "Selamat tidur," gumamnya
Sepertinya memang butuh waktu lama bagi Sierra untuk dapat benar-benar tertidur. Gadis itu bergerak-gerak gelisah beberapa kali, lebih sering lagi menggerutu. Hari sudah hampir pagi ketika akhirnya napas Sierra terdengar teratur pertanda kalau ia tertidur pulas. Mulut dan mata gadis itu sedikit terbuka ketika tertidur, membuat Ditrian takjub karena ia tak pernah berada cukup lama di ranjang yang sama dengan wanita yang menghabiskan malam panas bersamanya. Ia terbiasa langsung pergi setelah bercinta setelah sebelumnya meninggalkan bayaran yang tak sedikit.
Tapi malam ini kebalikannya. Ia membawa seorang nona kaya ke tempat pribadinya, melihat gadis itu tertidur tanpa sama sekali menyentuhnya. Jika bukan karena celananya yang terasa menyempit ia pasti akan berpikir kalau ia telah kehilangan kemampuannya sebagai lelaki.
Ia hampir menertawakan dirinya sendiri.
Ia masih memandangi Sierra yang tertidur pulas ketika matanya kembali pada tas tangan yang masih tergeletak di atas tempat tidur. Ia mengambil benda itu tanpa ragu, memasukkannya ke dalam brankas yang sama dengan tempat laptopnya berada. Gadis itu tak memerlukan benda itu saat bersamanya. Lagipula Ditrian tak mau mengambil risiko Sierra memegang uang dan membeli ponsel baru. Tak memegang uang akan membuat gadis itu tergantung padanya.
Hari mulai terang dan Ditrian sama sekali tak mengantuk. Ia terbiasa tidur di siang hari, sepanjang hari, sebelum mengambil pekerjaan di malam hari. Tapi beberapa bulan ini ia memutuskan untuk tak mengambil pekerjaan apapun dan lebih memfokuskan diri pada rencananya untuk membunuh Samuel. Ini akan mudah jika saja Samuel tak begitu berhati-hati, juga terlatih. Orang yang sehari-hari menghadapi kasus kriminal seperti Samuel memang sulit untuk dicari kelemahannya.
Tapi Ditrian mendapatkan hal itu. Kelemahan Samuel adalah keluarganya.
Hampir tengah hari, ketika Sierra membuka matanya dan melompat berdiri di tempat tidur. Ditrian sudah memesan makanan cepat saji yang baru saja sampai beserta seperangkat alat mandi baru. Ia terbiasa meminta pengantar makanan langganannya untuk membelikan hal-hal kecil lain yang ia butuhkan dengan imbalan tambahan yang banyak. Asal orang-orang tak mencaritahu hal-hal tentangnya terlalu dalam, maka ia hanya akan dikenal sebagai orang misterius yang dermawan.
"Selamat pagi," sapanya pada Sierra yang sedang menghela napas.
Gadis itu melompat dari tempat tidur, seolah-olah meyakinkan diri bahwa ia tak sedang bermimpi.
"Jadi aku tak bermimpi." Helaan napas lagi. "Aku memang sudah melakukan hal yang bodoh."
"Aku sudah menyiapkan peralatan mandi baru untukmu," sahut Ditrian.
"Oh, baik sekali kau," sindir Sierra seraya berjalan ke kamar mandi. "Aku heran kenapa kau tak menyiapkan pakaian dalam baru untukku."
Ditrian tak mencoba menjawabnya. Karena selain pintu kamar mandi sudah dibanting dari dalam, alasan lainnya adalah sesuatu yang tak mau ia pikirkan.
Mereka menghabiskan sarapan mereka, atau makan siang, dengan pikiran yang menjalar kemana-mana. Yang pasti Sierra terlihat sedikit pendiam sesiangan itu. Tepat pukul dua siang mereka memutuskan untuk keluar rumah. Sierra mengenakan kemeja hitam Ditrian yang lain dan melampisinya dengan jaketnya sendiri. Rambut mencolok gadis itu ditutupi hoodie dan wajahnya terlindung oleh masker hitam. Siapa pun yang melihat Sierra di jalan nanti akan mengira kalau Sierra adalah seorang selebritis yang sedang menyamar.
Itu bukan masalah besar sebenarnya. Yang aneh adalah kenyataan bahwa Sierra sama sekali tak membantahnya. Gadis itu hanya terlihat keberatan disaat Ditrian menutup matanya dengan sapu tangan seperti tadi malam, tapi pada akhirnya menurutinya juga.
Mereka sudah sampai di pusat perbelanjaan ketika Ditrian menahan Sierra untuk tak langsung keluar dari mobil.
"Kukatakan padamu, Sierra." Ditrian memberikan Sierra tatapan memperingatkan. "Aku akan terus berbaik hati padamu asalkan kau tak mencoba melarikan diri dariku."
Mata Sierra menyipit. "Kau berharap terlalu banyak." Suara gadis itu penuh dengan nada mengejek.
Ditrian mengangkat bahu. "Oke, coba saja," katanya enteng. "Kusarankan kau untuk bersembunyi dengan baik saat melarikan diri dariku." Ia mendekatkan wajahnya pada Sierra. "Atau aku akan mengikatmu di tempat tidur begitu aku mendapatkanmu lagi."
Ditrian puas mendapati mata Sierra yang melebar kaget. Mereka keluar dari mobil dan berjalan beriringan untuk membaur dengan keramaian. Satu lengan Ditrian melingkar di bagian belakang pinggang Sierra dan terus bertahan di sana. Di toko pertama yang mereka kunjungi, Sierra terlihat baru sadar bahwa ia tak membawa dompetnya.
"Aku tak membawa dompetku!" serunya.
"Sayang sekali," sahut Ditrian tanpa penyesalan. "Aku akan membayar apapun yang kau perlukan. Perlukan, bukan yang kau inginkan," tambahnya. Pada akhirnya Sierra harus rela jika tak ingin dikatakan terpaksa hanya mendapatkan setengah lusin pasang pakaian dalam baru, dua jeans panjang hitam, serta dua stel pakaian santai berwarna biru dongker dan hijau tua. Ditrian hanya memperbolehkan Sierra membeli pakaian berwarna gelap. Sierra harus menurut padanya daripada ia berubah pikiran dan tak membelikan apa-apa. Begitu isi ancamannya.
Mereka baru saja akan kembali ke tempat mobil mereka diparkir ketika Ditrian merasakan seseorang mengikuti mereka.
"Sierra, kau ingin membeli pakaian lagi 'kan?"
Sierra mengangguk sekali. Terlalu jengkel untuk mengajak Ditrian berbicara.
"Pilih apapun yang kau mau di toko itu." Ditrian menunjuk salah satu toko pakaian wanita. "Aku ada keperluan sebentar," tambahnya. "Dan ingat apa yang kukatakan tentang kau yang mencoba melarikan diri." Ia memberikan bungkusan belanjaan Sierra yang tadi ia pegang pada gadis itu, menunggu Sierra memasuki toko yang ia tunjuk, sebelum ia berjalan menjauh dari hiruk pikuk tempat itu.
Orang-orang itu memang mengikutinya. Jumlahnya empat, ah lima dan syukurnya tak ada yang merasa perlu mengikuti Sierra. Ditrian menghentikan langkahnya di jalan buntu yang berada di antara dua gedung tinggi. Tempat yang sudah pasti akan dihindari orang-orang pada umumnya.
Ditrian tak pernah membunuh orang di siang hari, dalam jarak dekat, di tempat yang sewaktu-waktu dilewati orang lain walau pun ia meragukannya. Tapi orang-orang ini jelas tahu siapa dia. Itu artinya ia perlu menanyakan bagaimana cara mereka bisa mengenalinya. Orang-orang ini terlihat sangat percaya diri karena jumlah mereka yang lebih banyak. Yah, mereka tak seharusnya melakukan itu. Terlalu percaya diri akan merugikan diri mereka sendiri.
Pertarungan di dunia gelap tak pernah dilakukan dengan adil. Karena itulah Ditrian tak terkejut ketika mereka semua maju dalam waktu bersamaan. Ia memiliki pisau kecil yang selalu ia bawa dan letakkan di sela sepatunya. Dan ia menggunakan benda tajam itu untuk melukai salah satu dari para penyerangnya, tepat di pembuluh darah yang ada di leher. Orang kedua tumbang hanya beberapa detik setelah yang pertama. Mereka berdua menggelepar, lalu mati.
Tiga orang yang tersisa terlalu kaget. Sepertinya tak menyangka bahwa Ditrian akan bergerak secepat itu.
"Bos benar." Salah satu yang berambut berwarna-warni mendesis. "Dia kuat banget!" Aksen di suaranya terdengar kental dan familiar. Persis seperti orang yang pernah Ditrian kenal dulu.
"Kita seharusnya tak menyerang dari jarak dekat," kata yang di tengah sambil meludah. "Sesuai perintah bos."
"Ah persetan!" Umpat yang paling kanan. Wajahnya terlihat paling congkak dari yang lainnya. "Yang penting kita membunuhnya dan membawa kepalanya pada bos."
Bos. Ditrian menjadi penasaran pada bos yang mereka maksud. Sekali lagi mereka maju serentak dan dua orang lagi tumbang dalam waktu yang hampir bersaman. Tinggal satu, si Congkak yang tampak sedikit gentar sebelum maju menyerang. Ditrian akui bahwa yang satu ini cukup kuat dan lincah. Beberapa kali kepalan tangannya hampir mengenai dagu Ditrian, walau berhasil ia tepis. Pada akhirnya orang itu berlutut di tanah dengan satu lengan yang Ditrian tekuk ke belakang.
"Siapa bos?" Tanya Ditrian. Bunyi tulang patah terdengar seiring teriakan keras. "Siapa bos?" ulang Ditrian.
"Kau akan tetap membunuhku bahkan jika aku menyebutkan namanya," kata si Congkak. Suaranya terengah-engah. Wajahnya memucat dengan keringat dingin yang terus mengalir.
Satu tekukan lagi dan teriakan lainnya. "Setidaknya aku akan melakukannya dengan cepat jika kau mengatakannya." Suara Ditrian terdengar dingin, kelam. Penuh dengan ancaman yang tak diragukan lagi akan dilakukannya tanpa berkedip.
"Tapi jika kau mau tetap bertahan pada situasi ini, aku akan memastikan kalau kau akan merasakan setiap sayatan," desis Ditrian. "Ada alasan kenapa orang yang kau panggil bos memerintahkanmu untuk membunuhku dari jarak jauh. Karena jika kau tertangkap olehku." Ditrian menggores lengan kiri atas pria itu untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar akan melaksanakan ancamannya. "Aku akan mengulitimu, menggores setiap kulit di tubuhmu, tapi tak membunuhmu. Belum, sampai kau berbicara."
"Hidan," kata si Congkak putus-putus. Cukup satu kata itu dan Ditrian mengakhiri segalanya. Ia mengeluarkan sapu tangannya dari saku celana, mengelap pisau kecilnya, lalu memasukkannya kembali ke celah sepatunya. Tak ada percikan darah yang mengenainya selain telapak tangannya yang langsung ia bersihkan dengan sapu tangan yang sama. Sapu tangan yang ia gunakan untuk menutup mata Sierra sebelumnya.
Ia tak mendapati Sierra di tempat ia meninggalkan gadis itu tadi. Sudah ia duga bahwa Sierra akan melarikan diri darinya. Penjaga toko mengatakan bahwa gadis yang berciri-ciri seperti yang ia sebutkan sudah pergi beberapa menit yang lalu. Ditrian tak tahan untuk tak tersenyum ketika tahu bahwa Sierra bahkan tak berusaha untuk meminjam ponsel dari sang Penjaga toko. Gadis itu pasti kebingungan karena tak memegang uang sepeser pun.
Ditrian mengelilingi tempat itu. Yakin kalau Sierra pasti belum pergi sangat jauh. Ia bergabung dengan pejalan kaki dan tak merasa kesulitan melihat sekitarnya karena ia lebih tinggi dari kebanyakkan orang. Lagipula tak sulit menemukan orang yang berpenampilan seperti Sierra. Seringaiannya muncul mendapati orang yang sedang ia cari berjalan tak jauh di depannya. Cukup sulit untuk mengejarnya karena ini adalah waktu sibuk dan setiap orang ingin lebih cepat dari yang lainnya.
Sierra bahkan tak berusaha meminta tolong pada orang-orang di jalanan. Ada apa dengan Sierra dan sikapnya yang eksentrik? Gadis itu juga tak bisa dikatakan bodoh.
"Kita berjumpa lagi." Sierra tersentak kaget ketika Ditrian berbisik di telinganya dengan lengan yang sudah melingkar di pinggang gadis itu.
"Kau terlalu lama," cicit Sierra gugup. "Kukira kau meninggalkanku."
Ditrian sengaja meremas pinggang Sierra, menarik tubuh gadis itu hingga menempel padanya dari samping. Dari sudut pandang yang melihat mereka seperti sedang berjalan sambil berangkulan.
"Kenapa kau tak mendengarkanku?" Tanya Ditrian, lagi. Ia masih berbicara di dekat telinga Sierra.
"Kubilang kau terlalu lama," desis Sierra. "Darimana saja kau?"
"Aku baru saja membunuh orang-orang."
Sierra mendengus. "Kalau kau membunuh orang-orang, sir. Ada baiknya kau menghilangkan jejak terlebih dahulu sebelum berkeliling mencari sanderamu yang melarikan diri," ujarnya sinis. "Kau pikir aku bodoh?"
"Ya, kau sangat bodoh." Ditrian menurunkan masker Sierra dan menempelkan bibir mereka. Tubuh gadis itu menegang dalam dekapannya. Ditrian juga tak menyangka bahwa ia bisa kehilangan kendali di tempat umum seperti ini. Tapi ia tak bisa menahannya lagi. Ia menekan kepala Sierra ke arahnya, memaksa gadis itu membuka mulut untuknya. Sierra tak bisa melakukan apa-apa selain menuruti keinginannya.
Gadis ini terlalu manis. Terlalu lembut untuknya. Terlalu tak berpengalaman. Ditrian melumat bibir Sierra lagi dan lagi. Merasa tak akan pernah puas mencecap rasa manis memabukkan itu. Ia akan melupakan semuanya. Sementara ini, ia akan melupakan semuanya asal bisa merasakan kehangatan ini lebih lama lagi.
Tapi ia terpaksa mengakhirinya karena orang-orang pasti sudah mulai memperhatikan. Ditrian memasang kembali masker Sierra dan menarik gadis itu untuk kembali melangkah.
"Kita akan tinggal di tempat lain untuk sementara waktu," Ditrian masih berbisik di telinga Sierra, yang dibalas oleh tatapan bingung gadis itu.
"Kuharap kau masih ingat apa yang sudah kukatakan jika kau mencoba kabur dariku?" Mata Sierra melebar seketika. "Ya, Sierra. Aku orang yang memegang teguh omonganku."
***
Chapter. 7
Not a Pleasant Experience
"Wow, jadi akhirnya kau membawaku ke tempat seperti ini." Sierra mengitari pandangannya ke sekeliling ruangan sambil mengernyit. Tempat baru ini terlihat muram dan murahan. Kecil hingga hanya bisa menampung satu tempat tidur ukuran sedang, setengah dari ukuran tempat tidur di rumahnya dan satu lemari dorong yang terlihat akan hancur sewaktu-waktu.
Temboknya berwarna hijau kusam dengan bilur-bilur kecokelatan di bagian bawah yang menunjukan kelembaban ruangan. Plafon yang kemungkinan besar tadinya berwarna putih terlihat kekuningan dan mengalami kerusakan di beberapa tempat yang ditutupi, memberikan pemandangan yang menyedihkan dari usaha perbaikan tanpa modal.
Tak ada jendela di ruangan itu, hingga udara yang tak sehat dan bau menyengat aneh berputar-putar dan tak berubah. Bau itu mengingatkan Sierra akan susu yang gagal difermentasi. Ia mengigit bibirnya, berhati-hati untuk tak berdiri terlalu dekat dengan tembok. Perasaannya memang sudah tak enak ketika Ditrian tak memaksanya menutup mata selama perjalanan tadi. Perjalanan menunggu malam datang, kata Ditrian tadi.
Perasaannya semakin tak enak saat mobil pria itu berhenti di depan sebuah bangunan dua tingkat yang serupa tempat pelacuran. Bukan berarti ia pernah mengunjungi tempat pelacuran. Tapi hanya itu yang bisa ia pikirkan ketika melihat beberapa pasang tamu berpenampilan norak dan setengah mabuk di lobi, memberikan tontonan erotis menjijikan dengan tangan yang terus bergerak di tubuh pasangannya.
Sierra tak menyangka akan mendapati dan berada langsung di tempat yang tak pernah ia bayangkan ada di Konoha. Dan sekarang ia bahkan berada di dalam salah satu kamar bangunan itu bersama pria yang baru dua hari ia kenal. Resepsionis -jika masih bisa disebut resepsionis, mengingat wanita berambut pelangi itu menghabiskan lebih banyak waktu mengerling dan menggerak-gerakan payudara besarnya yang hanya ditutupi tanktop tanpa bra. Wanita itu terlihat sekali berusaha keras untuk menggoda Ditrian yang tetap bergeming, lalu perhatiannya beralih pada Sierra yang juga bergeming dengan wajah dan kepala yang hampir tertutupi sepenuhnya.
"Mata yang indah," komentar wanita itu tadi. "Hijau yang jernih dan besar."
Sierra menggeleng dan mengabaikan perasaan terhina saat wanita itu lagi-lagi mengerling pada Ditrian, memberikan makna tersirat yang tak mungkin disalah artikan oleh siapa pun.
"Dia menganggapku sama seperti wanita lain yang dibawa pria-pria di lobi tadi," kata Sierra tak terima. Ia sudah cukup lelah berdiri tapi tak bisa memaksa dirinya untuk menduduki tempat tidur beralas kain kusam dan penuh dengan bercak-bercak yang tak ingin ia ketahui berasal dari apa. Jadi ia hanya meletakkan tas karton berisi barang belanjaannya di sebelah lemari. Ia bersyukur karena telah memutuskan untuk berganti pakaian di toilet umum pusat perbelanjaan saat makan malam sebelumnya.
Ditrian yang masih berdiri di dekat pintu yang tertutup menggeleng sekali. "Sebaliknya, kurasa ia kira kau hanyalah anak orang kaya yang suka bermain-main dan ia memang benar."
Sierra tersenyum miring. "Penjelasanmu tak membuat perasaanku lebih baik," ujarnya dengan nada ringan.
"Aku memang tak berencana menghiburmu," balas Ditrian. "Tidak dengan kata-kata."
Sierra mundur satu langkah. Tatapan Ditrian terlihat biasa saja. Tapi Sierra tahu makna yang terkandung di dalamnya lebih dari itu. Ditrian sudah menunjukkan awalnya tadi. Pria itu bisa menjadi tanpa segan dan bertindak seenak hatinya tanpa kenal tempat. Bagaimana pun Sierra perlu menyadarkan pria itu agar tak sembarangan memperlakukannya.
"Sekali lagi kau menyentuhku, sir, kau akan mendapati aku yang lebih menyulitkan dari sekarang," ancam Sierra.
Tubuh Sierra bergetar ketika tatapan Ditrian turun ke bibirnya. "Tak ada ancaman Sierra," kata Ditrian. Pria itu kembali menatap lurus ke matanya. "Kau tak ingin tahu apa yang terjadi dengan orang-orang yang pernah mencoba mengancamku."
Sierra menghela napas dan mengangkat bahu. Bau yang tercium di sekelilingnya semakin tajam dan membuat perutnya mual. Ia tak mungkin bisa menghabiskan lebih banyak waktu di ruangan ini tanpa mengeluarkan makan malamnya di toilet kecil yang tak berani ia periksa. Ia juga tak berani berasumsi, apalagi berharap. Ini jadi semakin buruk setiap detiknya.
"Apa kita akan ...?"
"Ya, kita akan menginap di sini," potong Ditrian seraya menempatkan diri di ujung tempat tidur beranjang besi karatan itu.
"Apa pendapatku diperlukan di sini?" Tanya Sierra jengkel.
Ditrian terdiam sejenak. "Tidak, sebenarnya."
Jika ada orang yang pernah benar-benar membuat Sierra marah, maka Samuel akan menempati urutan pertama. Ditrian baru saja mengisi kekosongan di tempat kedua. Tapi Sierra tak ingin membuat Ditrian puas dengan marah-marah padahal ia yakin hal itu tak akan terlalu memberikan perubahan apa-apa untuknya. Sierra yakin Ditrian sudah merencanakannya sejak awal. Pria itu sengaja ingin memancing kemarahannya dan bersenang-senang karenanya.
"Apa yang akan terjadi jika aku berteriak?" Tanya Sierra, sekadar memastikan keadaan.
"Tak akan ada yang peduli," jawab Ditrian enteng. Pernyataannya diperkuat dengan suara teriakan dari kamar di sebelah kamar mereka. Teriakan memilukan yang disusul oleh suara cambukan. Lalu dalam beberapa menit suara-suara itu berubah menjadi desah dan engahan yang membuat Sierra merinding.
Ia mematung di tempat. Terakhir kali ia mendengar desahan langsung seperti ini usianya baru beranjak dua belas tahun. Saat itu bahkan lebih parah dari ini. Ia mendengar. Ia melihat. Suara itu, kegiatan itu berasal dari kamar orangtuanya. Kamar yang selalu ditempati oleh ayah dan ibunya. Tapi hari itu yang bersama ibunya bukan ayahnya yang tampan dan selalu tampil sempurna. Pria yang berada di atas ibunya di ranjang bukan ayahnya. Pria itu tak dikenalnya.
Setelah kejadian itu ia tak pernah berbicara dengan ibunya lagi tapi juga tak mengatakan hal itu pada siapa pun. Ia mulai belajar menggunakan senyuman untuk menutupi perasaan dari ibunya. Lalu ia mulai terbiasa melakukannya pada siapa pun. Pada akhirnya satu senyuman terlatih berkembang menjadi sesuatu yang lebih berguna. Ia bukan saja ahli mengendalikan emosinya, tapi juga mampu mengacaukan emosi orang lain. Ia tak pernah mengira bahwa apa yang dilihatnya ketika masih kecil dapat memengaruhi karakternya sedemikian rupa. Ia tak berencana mengubah kenyataan itu dalam waktu dekat.
Masalahnya adalah tanggapannya terhadap aktifitas antara pria dan wanita di atas ranjang. Ia cenderung bersikap defensif terhadap hal itu dan hampir selalu kesulitan menutupinya. Ia bisa bertindak biasa terhadap ciuman ringan, tapi tak bisa untuk jenis yang memiliki tujuan lebih.
Sierra menghela napasnya, lagi. Ia melakukannya lebih banyak saat bersama Ditrian.
"Apakah hal itu akan berlangsung sepanjang malam?" Ia sebenarnya tak benar-benar ingin tahu. Tapi jika ada hal yang harus ia lakukan untuk mengalihkan perhatian dirinya sendiri dari desahan-desahan dan deritan ranjang itu, maka berbicara adalah pilihan terbaik.
"Lupakan saja," katanya lagi. Sekadar untuk mengisi kekosongan yang ditimbulkan oleh Ditrian yang sedang mengamatinya dalam-dalam. "Seharusnya kau bilang padaku kalau kau tak memiliki cukup uang lagi setelah membayar pakaianku tadi. Kita bisa mengambil dompetku di rumahmu dan menggunakan uang pribadiku. Aku rasa uangku -hanya uang, cukup untuk membayar sewa hotel layak selama satu minggu. Tentu saja kita bisa menggunakan kartu kredit untuk membayar langsung, atau atm untuk mendapatkan lebih banyak uang. Dan ..."
"Aku seharusnya mengikatmu di tempat tidur," potong Ditrian.
Mata Sierra melebar. Tapi ia dengan cepat menguasai diri dan memberikan Ditrian senyuman manis. " Eey, kau tak mungkin serius."
Ditrian berdiri dan mendekatinya. Tak butuh sedikit pun usaha bagi pria itu untuk menarik tangannya agar ia mendekat. Sierra memandangi tempat tidur kotor itu, tersentak setelah mendengar teriakan lagi dari kamar sebelah. Senyumannya pudar untuk sementara waktu.
"Setidaknya mintalah petugas kamar membersihkan tempat tidur itu." Ia setengah memohon. "Kau tak ingin aku memuntahimu karena bau busuk lainnya," tambahnya. "Aku mohon."
Ditrian berhenti sejenak. Sierra berdoa di dalam hati semoga Ditrian mau menuruti keinginannya kali ini. Lagipula pria itu juga terlihat jijik dengan kondisi tempat tidur, melihat ia hanya mendudukan dirinya di ujung ranjang tanpa sekali pun menyentuh permukaan kasur dengan tangannya.
Keinginan Sierra terkabul.
Ditrian melepaskannya dan berjalan ke arah pintu. Pria itu keluar sebentar, kembali tak sampai dua menit kemudian bersama dengan pemuda yang tampak belum cukup umur untuk bekerja. Pemuda itu membawakan seprai dan selimut tebal berwarna putih bersih yang seolah terlihat baru dikeluarkan dari bungkusnya. Sierra menempatkan dirinya di sudut dekat lemari, tapi tak menyandar. Ia menunggu dalam diam sementara pemuda belum cukup umur mengganti dan merapikan seprai.
Ditrian memberikan tip besar untuk pemuda itu setelah selesai, yang dibalas dengan seringai kurang ajar dan satu kedipan mata ke arah Sierra.
"Hanya untuk pelanggan dermawan, sir." Pemuda itu membungkuk sekali lalu keluar dari ruangan.
"Tempat tidur sudah siap," kata Ditrian. Pria itu mengangkat satu alis sambil menatap Sierra. Sierra bertaruh Ditrian pasti tertawa keras di dalam hati, kebalikan dari raut wajahnya yang tenang.
Bau ruangan tercium lebih baik setelah seprai diganti.
Sierra kembali memasang senyumannya. "Aku belum mengantuk," katanya ceria. "Bagaimana jika kau saja yang tidur terlebih dahulu?"
Melipat dua lengannya di depan dada, Ditrian menggeleng dengan tatapan memperingatkan. "Kau tak ingin ini menjadi semakin rumit, Sierra. Percayalah."
"Oke oke," ujarnya masam. "Aku akan tidur sekarang juga." Sierra mendekati tempat tidur, melepas topi serta maskernya dan meletakkanya di bawah bantal sebelum berbaring dengan patuh. Ia baru saja akan menarik selimut ketika Ditrian memberikan perintah lain. "Kau tak akan nyaman tidur dengan jaket itu." Sierra melepaskan jaketnya dan membiarkan pria itu menggantungnya di dalam lemari.
Tapi sesuatu yang Ditrian ambil dari benda bobrok itu membuat Sierra mengerang. Ia kembali membaringkan tubuhnya di ujung terjauh dari tembok. Tatapannya mengarah pada benda di tangan pria itu.
"Kau tak perlu bertindak sejauh ini," keluh Sierra. Ditrian meraih lengannya, menyatukannya dan mulai mengikat pergelangannya dengan simpul yang rumit.
"Tali lebih baik daripada borgol," ujar Ditrian enteng. Pria itu mengikatkan ujung tali pada kepala ranjang yang terbuat dari besi. "Kau akan terkejut jika melihat benda apa saja yang ada di lemari bobrok itu."
Sierra tak ingin mengetahuinya, apalagi melihatnya.
"Selamat tidur, Ditrian." Ia memejamkan mata, menahan dirinya agar tak gemetar ketika merasakan Ditrian berbaring di sebelahnya. Ikatan Ditrian memungkinkan tubuhnya untuk berbaring miring, jadi ia melakukannya. Ia sudah membelakangi Ditrian ketika terdengar jeritan lain dari kamar sebelah. Jeritan itu membuat tubuhnya tersentak lagi.
"Tidak apa-apa. Itu hanya jeritan," gumam Sierra pada dirinya sendiri. "Tapi apa mereka tak bisa menunggu sampai aku tertidur? Ya ya, aku tahu mungkin mereka menyukainya sebanyak itu. Tapi tubuh juga membutuhkan istirahat ..."
Satu lengan melingkari perutnya dari belakang. "Berhenti berbicara pada dirimu sendiri, Sierra," bisik Ditrian di telinganya.
"Sudah kubilang jangan lagi menyentuhku sembarangan," desis Sierra.
"Aku tak pernah bilang setuju untuk melakukannya," balas Ditrian ringan. Pria ini benar-benar suka melakukan sesuatu seenaknya.
Sierra menahan napas ketika tubuh yang hangat menempel di punggungnya, disusul selimut yang menutupi tubuhnya. Ia tak bisa menyingkirkan lengan kuat itu dari tubuhnya karena lengannya terikat. Dan lagi jika ia menggeliat atau bergerak sedikit saja, ia takut lengan Ditrian akan bergerak ke atas, atau ke bawah. Jadi ia hanya berbaring diam seperti patung.
"Apa kau harus selalu memperlakukanku seperti ini?"
Sierra mendengar Ditrian mendengus di belakangnya.
"Aku hanya sedang mengalihkan perhatian seorang gadis yang takut dengan hubungan intim," bisik Ditrian.
"Aku tidak takut!" Sierra nyaris berseru. Ditrian tak mungkin tahu. Ini akan menjadi semakin buruk jika pria itu tahu karena tak seorang pun yang tahu masalah itu, termasuk saudara-saudaranya.
"Lagipula," tambah Sierra. "Kalau aku memang takut dengan hubungan intim, kurasa caramu ini tak bisa disebut efektif." Masa bodoh, ujar Sierra di dalam hati, kebalikan dari sanggahannya tadi. Pria itu bisa berpikir semaunya. Sierra hanya akan mengoceh mengoceh dan terus mengoceh. Bahkan walaupun ocehannya terdengar tak masuk akal. Asalkan pikirannya bisa teralihkan dari suara-suara di ruangan sebelah.
"Tidur, Sierra," bisik Ditrian lagi.
Pria ini sama sekali tak pengertian. Tapi Sierra juga tak pernah jadi gadis penurut. Ia masih ingin mengoceh. Masih banyak kalimat yang ingin ia utarakan hanya untuk melihat reaksi Ditrian. Setidaknya Sierra ingin tahu sampai batas mana Ditrian mampu untuk bersikap tenang dan acuh tak acuh.
Sierra sudah melihat kemarahan pria itu kemarin. Ditrian mungkin terlihat seperti tipe orang yang tak kenal segan terhadap apapun. Namun dari apa yang Sierra lihat, pria itu cenderung bisa memaklumi beberapa hal. Bisa dikatakan, sebagai orang yang mampu melakukan tindak kriminal, Ditrian cukup 'sopan' dan 'gentle.' Bukan berarti Sierra pernah bertemu penculik lainnya. Hanya saja Ditrian jauh dari apa yang Sierra bayangkan tentang pelaku penculikan.
"Kau tahu Ditrian?" Mulai Sierra lagi. "Kau sangat tampan."
Sierra ingin sekali berbalik dan melihat reaksi pria itu terhadap perkataannya barusan. Tapi sekali lagi, lengan Ditrian yang melingkari perutnya membuat Sierra masih merasa was-was.
"Kenapa kau memilih pekerjaan ini?" Tanya Sierra setelah menunggu beberapa detik dan tak mendapat tanggapan dari pria itu. "Kau tampan. Kau saaangat tampan, lebih tampan dari para aktor yang pernah aku temui." Ia memang mengatakannya dengan nada berlebihan tapi ia tak sedang berbohong.
Sierra menghela napas sebelum kembali berbicara. "Bahkan jika kau tak bisa berakting, kau tetap bisa jadi model. Cara jalanmu baik. Kau juga sangat tinggi dan tegap. Jangan lupakan tatapan matamu Woah! Maksudku ..." Sierra berdehem. "Sangat disayangkan jika kau tak bisa menggunakan penampilanmu dengan baik. Aku bisa mengenalkanmu dengan seseorang. Aku bahkan bisa membantumu ..."
Helaan napas Ditrian mengenai tengkuknya dan membuatnya berhenti berbicara.
"Aku akan tidur," ujar Sierra jengkel. "Aku sedang melakukannya, okay?" Ia menambahkan dengan nada sakit hati yang dibuat-buat.
Bagaimana caranya ia bisa tidur? Terlalu sulit dengan lengan yang melingkar di perutnya, juga kehangatan yang menempel di punggungnya. Lengan Ditrian menjauh sejenak, lalu kembali mendekapnya seiring dengan suara musik klasik yang mulai terdengar.
"Kau mendapatkannya," kata Sierra. Sedikit terkejut karena Ditrian memperhatikan hal kecil seperti itu. Ia rasa apa yang ia pikirkan tentang Ditrian memang benar. Pria itu terlalu baik untuk bisa disebut sebagai penculik.
"Ya," bisik Ditrian. Terdengar berat hati. Apa sebenarnya yang sedang pria itu pikirkan? Dasar orang tampan yang aneh.
Namun Sierra tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. "Terima kasih."
"Tidur Sierra."
"Selamat malam, Ditrian," bisik Sierra, menyerah untuk mengganggu pria itu untuk saat ini.
"Selamat malam," balas Ditrian juga dalam bisikan.
***