
Uchiha Sasuke, pembunuh bayaran yang selalu berada dalam kegelapan. Tak seorang pun pernah melihatnya datang; tak seorang pun pernah melihatnya pergi. Sampai saat itu.
Sampai gadis bermata besar dan hijau itu memergokinya di halaman belakang kediaman Haruno yang mewah. Ia akan membunuh gadis itu. Tapi siapa sangka, gadis itu malah menawarkan dirinya sendiri, untuk diculik.
--------------------------------------
"Bagaimana kalau aku mengajukan penawaran?"
Sasuke tak bisa menahan diri untuk tak mengangkat...
Prolog
Sakura bersumpah, jika kakak-kakaknya tak juga berhenti berusaha menjodoh-jodohkannya dengan teman-teman mereka, ia akan melarikan diri dari rumah tanpa meninggalkan satu surat pun hingga mereka akan harus mencarinya sampai setengah gila. Tentu saja ia tak pernah benar-benar ingin memiliki kakak-kakak setengah gila. Tapi jika ini terus berlanjut, ia rasa ia yang akan menjadi gila pada akhirnya.
"Sakura, Apa kau suka hadiah dariku?" tanya Lee dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Lee, pria tinggi kurus dengan rambut hitam lurus yang dipotong rapi, terlalu rapi hingga membuat mata Sakura sakit ketika melihatnya. Pria itu memiliki penampilan yang serba berkilau. Rambut hitam berkilau, gigi putih berkilau, kulit wajah yang halus berkilau. Dari segi penampilan, Lee itu sempurna. Benar-benar sempurna dan sulit dipercaya.
Jika boleh jujur, penampilan Lee yang menyerupai tokoh utama dalam cerita bergambar tema komedi paling populer membuat Sakura berkali-kali hampir menyemburkan tawa. Tapi Haruno Yamato –kakak pertamanya, tak akan senang jika ia membuat calon adik ipar kesayangannya tersinggung.
Sakura tak bermaksud menghina penampilan orang lain. Apalagi jika orang itu baik seperti Lee. Ia juga sadar jika Lee bahkan lebih baik dari orang yang pernah ia kenal. Lebih baik dari calon-calon adik ipar sempurna yang dikenalkan oleh dua kakaknya yang lain.
Uizaki, kakak keduanya yang berprofesi sebagai seniman patung, pernah berusaha menjodohkan ia dengan seorang seniman sastra yang pemuram. Pemuda tampan yang lebih memilih berbicara dengan komputernya dibandingkan dengan manusia.
Sasori, kakak bungsunya, seorang detektif yang ingin agar Sakura menikahi salah satu rekannya yang berjabatan tinggi. Seseorang yang bisa melindungi Sakura sepanjang hidupnya, kata Sasori, bukan katanya. Satu kali Sasori mengenalkan temannya itu dan Sakura menolaknya mentah-mentah.
Pria yang dikenalkan Sasori adalah yang terparah dari semuanya, karena berani menjilat punggung tangan Sakura di pertemuan pertama. Sakura curiga bahwa Sasori yang selalu memiliki lelucon paling kejam sedang menjadikannya korban yang kesekian.
Bahkan Yamato dan Uizaki menolak dengan tegas saat itu. Juga memperingatkan Sasori untuk tak membuat lelucon semacam itu lagi.
Sakura puas karena Sasori yang selalu menggodanya bisa dibuat diam seketika. Tapi setelah satu bulan, Yamato malah memiliki niat untuk menjodohkan Sakura dengan salah satu anak dari rekan bisnisnya, Lee.
Lee sempurna. Jika kau menyukai pria serba rapi seperti itu. Lee mungkin akan menjadi pasangan yang sempurna, untuk orang lain, bukan untuk Sakura. Jika bersama Sakura, Lee pasti akan memutuskan untuk bunuh diri setelah satu minggu. Sakura pintar membuat orang-orang ingin menggigit lidahnya sendiri jika ia sudah memutuskan untuk membuat orang jengkel.
Sasori berpendapat kalau Sakura sebenarnya pantas menjadi pengacara, atau jaksa, dibandingkan menghabiskan waktunya mencoret-coret kanvas dan menjualnya. Hanya Uizaki yang memahami seni yang paham dan menyebut profesi Sakura dengan benar. Sakura pelukis. Yamato menyebutnya Si Tukang Cat.
"Hadiahmu luar biasa!" Ujar Sakura dengan ekspresi yang akan membuat para aktris teater gigit jari. "Kau pintar sekali memilih hadiah, Lee."
Hidung Lee terlihat kembang kempis karena bangga. "Sudah kuduga kau pasti suka," komentar Lee, berusaha mendapat pujian yang lebih banyak. "Semua wanita suka perhiasan."
"Oh ya, kau benar." Sakura menempatkan dirinya di sofa tunggal ruang kerja Yamato yang letaknya di sebelah jendela kaca yang besar. Ia tadi memutuskan untuk menjauh sejenak dari hiruk pikuk pesta ulang tahunnya sendiri, tapi malah mendapati Lee dan kakaknya itu sedang mengobrol di ruangan ini.
Ia hampir berhasil melarikan diri jika saja Yamato tak melihatnya dan memintanya untuk mengajak Lee mengobrol sejenak. Tampaknya Yamato benar-benar menyukai Lee hingga tak merasa khawatir meninggalkan Sakura dengan pria ini.
Sebenarnya Sakura jujur ketika mengatakan kalau hadiah Lee luar biasa. Sebuah gelang emas putih dengan satu bandul kecil yang langsung Sakura ketahui bahwa itu berlian. Ia memang suka perhiasan. Emas putih adalah favoritnya. Ia suka tipe perhiasan yang tampak sederhana, tapi mahal. Yah, Lee memang telah memilih hadiah yang tepat untuk Sakura. Pria itu jelas berusaha keras dengan bertanya pada kakaknya.
Mau tak mau, Sakura merasa cukup tersanjung.
"Kau tak ingin kembali ke bawah?" Tanya Lee, masih dengan senyum bahagianya.
Sakura menghela napas dan tiba-tiba saja memasang raut lelah yang berlebihan. "Aku sedikit lelah," katanya. "Maukah kau mengatakan hal itu pada kakakku sementara aku beristirahat sejenak di sini?"
"Kau sakit?" Lee berjalan mendekat. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Tidak, tidak," ujar Sakura cepat. "Aku hanya sedikit lelah. Aku akan turun setelah sepuluh menit."
"Aku akan menemanimu di sini."
"Tidak! tidak." Sakura menurunkan nada bicaranya yang membuat Lee sempat terkejut. "Maksudku, siapa yang akan memberitahu kakakku jika kau juga berada di sini? Pelayan tak bisa diandalkan," tambahnya sebelum Lee sempat membuka mulut. "Mereka cenderung berlebihan menanggapi semua hal. Tentu saja kau sangat bijaksana."
Di dalam hati ia berkali-kali meminta maaf pada Lee. Ia hanya sedang membutuhkan waktu sendiri dan memikirkan banyak hal. Salah satu yang harus ia pikirkan adalah, bagaimana caranya membuat kakak-kakaknya yang tampan sekaligus menjengkelkan agar mau berhenti berusaha menjodohkannya dengan setiap lelaki yang mereka anggap layak.
Sakura tak bisa menerima kenyataan kalau ia harus menikah di usia dua puluh tiga tahun sedangkan semua kakaknya –selain Sasori, sudah berusia di atas tiga puluh dan tak ada tanda-tanda ingin menikah.
Memangnya kenapa kalau ia perempuan?
Ia akan menikah saat ia ingin menikah, bukan karena ia harus.
Setelah Lee keluar dari ruangan, Sakura turun dari sofa dan menepuk-nepuk bagian depan gaun pestanya yang mewah dan berwarna merah. Gaun itu mengikuti lekuk tubuhnya dan panjangnya sepuluh sentimeter di atas lutut. Bagian atasnya tanpa lengan dan berpotongan segitiga hingga membuat lehernya terlihat lebih jenjang.
Sakura berjalan di lorong lantai dua, dan mengendap-endap menuju kamarnya. Ia mengambil jaket hitamnya yang panjang sampai di bawah lutut, tas tangan kecilnya yang terbuat dari beludru berwarna merah tua yang di dalamnya sudah terisi ponsel dan dompet serta make up, juga sebuah flat shoes untuk menggantikan high heels yang sedang ia kenakan.
Tak ada waktu untuk mengganti pakaian.
Ia harus pergi sebelum salah satu kakaknya naik ke lantai dua untuk menyusulnya.
Sakura keluar dari kamar, kembali mengendap-endap menuju tangga lain yang biasanya digunakan oleh para pelayan. Ia keluar dari rumah dan hampir bersorak ketika berhasil mencapai pagar belakang.
Sampai ia melihat sesuatu–seseorang yang baru saja muncul dari kegelapan.
Pria paling tampan yang pernah ia lihat.
Mata beriris kelam milik pria itu tampak melebar sejenak setelah melihatnya. Tapi pria itu tak menunjukkan reaksi lain yang berarti. Seperti seseorang yang sulit ditebak. Sakura seharusnya takut. Ia seharusnya menjaga jarak dan memanggil satpam. Tapi ia tahu wajah itu. Rambut gelap itu. Wajah pucat tanpa ekspresi itu.
Pria itu adalah orang yang sama dengan orang yang berada di salah satu foto masa kecil Sasori. Seorang teman yang tak pernah mau Sasori sebutkan namanya.
"Apa kau kemari untuk menemui kakakku, atau kau datang tanpa diundang?"
Sakura bertanya dengan rasa ingin tahu yang besar. Alisnya bertaut. Rengutannya muncul ketika pria itu tak terlihat akan menjawab pertanyaannya.
"Kenapa kau berada di tempat ini?" Desak Sakura jengkel. Ia tak terbiasa diabaikan ketika ia berbicara. Ia melipat lengannya di depan dada dan mengentak-entakan satu kakinya dengan sengaja.
"Aku sedang bertanya padamu, orang asing." Sakura merasa semakin jengkel. "Apa kau tak punya sopan santun?"
"Kenapa kau berada di tempat ini?" Pria itu balik bertanya. Dan pertanyaannya, sejenak membuat Sakura panik dan menoleh ke belakang. Baru mengingat bahwa ia sedang dalam usaha melarikan diri dari pesta ulang tahunnya.
"Aku sedang mencari udara segar," jawab Sakura enteng. Memuji dalam hati dirinya sendiri karena bisa bersikap tenang.
"Siapa namamu?" Raut wajah pria itu masih datar saat menanyakan hal itu.
"Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?" Tantang Sakura.
Pria itu terdiam sebentar sambil terus mengamatinya.
"Haruno Sakura," bisik pria itu kaku. "Namamu Haruno Sakura."
00000
Tertangkap basah oleh seseorang ketika sedang mengendap-endap adalah kesalahan pertama yang pernah dilakukan Uchiha Sasuke selama hidupnya. Tadi ia baru saja melompat dari pagar tinggi kediaman Haruno dan berhasil terhindar dari kamera CCTV. Ia baru saja akan bergerak ke lain arah ketika suara langkah kaki ringan mendekat dan membawa si Gadis berambut merah muda ke arahnya.
Mata besar dan hijau gadis itu sudah terarah padanya dan tak bisa ia hindari lagi. Ia tak mau membuat kehebohan dengan menghindar dan membuat gadis itu berteriak ketakutan sehingga mengundang lebih banyak orang.
Jadi ia berdiri di tempat itu, memerhatikan setiap tindakan gadis itu sementara ia membuat rencana menyingkirkan gadis itu tanpa menimbulkan keributan. Ia harus membungkam gadis itu. Tak peduli walau gadis itu cantik dan memiliki mata yang indah. Gadis itu sudah melihatnya dan dari cara ia menatap, gadis itu tak akan melupakannya dengan mudah.
Lalu gadis itu mulai menanyakan banyak hal dan tak terlihat gentar sedikit pun. Rengutan gadis itu karena Sasuke menolak untuk bercakap-cakap terlihat sangat menghibur. Sasuke jarang terhibur selama hidupnya. Jadi Ia melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Menunda.
Gadis itu berbohong saat mengatakan sedang mencari udara segar. Gadis itu jelas sedang melarikan diri dari pesta yang berlangsung di dalam rumah besar di belakangnya. Gadis itu adalah sang Putri satu-satunya di keluarga Haruno yang kaya raya. Sasuke sudah menyadarinya sejak tadi.
Haruno Sakura Sang Putri yang manja.
Ia sudah banyak membaca artikel tentang keluarga ini selama berbulan-bulan. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal. Haruno bersaudara yang berjumlah empat orang terkenal sangat dekat dan saling menyayangi. Si Bungsu, satu-satunya anak perempuan di keluarga itu terkenal sangat manja dan sombong. Tapi tak bisa dipungkiri, cantik.
Sasuke tak menyangka bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang selama ini hanya bisa ia lihat di kolom gosip majalah bisnis dan artikel di internet. Dan ia dengan terpaksa akan harus mematahkan leher cantik gadis itu.
"Darimana kau tahu namaku? Apakah Sasori yang mengatakannya padamu?"
Nama itu membuat rasa penyesalannya karena harus membunuh orang yang tak bersalah, hilang begitu saja. Haruno Sasori adalah alasan kenapa ia berada di tempat ini sekarang. Pria yang pernah menjadi teman masa kecilnya itu telah membunuh satu-satunya keluarga yang ia miliki. Pamannya yang –walau pun keras, telah mengurusnya sejak kecil.
Sasuke sudah terbiasa membunuh orang, karena itu memang pekerjaannya. Tapi ia membunuh atas permintaan para klien dan mendapatkan bayaran setelah melakukannya. Walau begitu, ia tak pernah sembarangan menerima permintaan kliennya hanya karna ia ingin dibayar. Ia adalah pembunuh paling berbahaya di dunia gelap itu. Semua orang di bidang itu tahu siapa dia, julukannya.
Karena hanya segelintir yang pernah bertemu dengannya secara langsung. Kebanyakan orang bertemu dengannya tepat sebelum menuju kematian.
Orang-orang memanggilnya, The Darkness –kegelapan. Karena ia selalu berada di dalam kegelapan dan bayang-bayang.
Dan kegelapan itu sedang berada di tempat ini sekarang untuk membalaskan kematian pamannya.
"Hei, apa kau sakit atau semacamnya?" Haruno Sakura berjalan mendekat. Sasuke tetap berada di tempat dan membiarkan gadis itu mendatangi kematiannya sendiri. Peraturan pertama dalam profesinya adalah, ia tak akan membunuh perempuan dan anak-anak, seharusnya. Peraturan kedua, ia tak boleh terlihat.
Jika seseorang melihatnya, maka ia harus dengan terpaksa membunuh orang itu. Walau pun itu anak-anak, atau pun wanita.
Sakura sudah berhenti satu langkah di hadapannya dan mengamatinya dengan sangat serius.
"Kau sangat pucat," komentar gadis itu pelan. "Apa itu memang kulit aslimu atau kau meminum sesuatu untuk membuatnya pucat seperti itu?"
Sasuke menunduk dan membalas tatapan Sakura yang masih terlihat menunggunya berbicara, lagi. Gadis itu jelas orang yang sangat keras kepala dan percaya diri. Tipe nona kaya yang keinginannya harus selalu dituruti. Sasuke menggali ingatannya dan mencari alasan yang lebih banyak untuk dapat membunuh gadis itu tanpa perasaan janggal yang tak masuk akal.
"Kau tak kemari karena diundang, bukan?" Tanya gadis itu lagi. Alis indah itu kembali bertaut. Rengutannya menciptakan gurat-gurat serius saat ia sedang berpikir.
"Aku tahu Sasori seringkali sangat keterlaluan dengan candaannya. Ia juga membuatku jengkel dan ingin sekali memukul kepalanya. Kalian sudah lama tak bertemu, bukan? Aku tahu kau, jangan terkejut. Aku pernah melihat fotomu di kamar kakakku yang menjengkelkan itu."
Sasuke menyipitkan matanya dan tak percaya dirinya bisa melakukan ini, mendengarkan celotehan calon korbannya yang cerewet dan membuatnya merasa semakin ragu setiap detiknya. Jadi Sakura memang sudah tahu siapa dia, tapi tidak namanya. Karena Sakura tak menyebutkannya, atau mungkin belum.
Wajar saja jika gadis itu terlihat tenang saat melihatnya pertama kali tadi. Sakura mengira Sasuke dan Sasori tidak akur. Tapi yang sebenarnya lebih dari itu. Sasuke bukan hanya ingin memukul kepala Sasori. Sasuke ingin membunuhnya.
Dan ia harus melakukannya malam ini juga.
"Bagaimana kalau aku mengajukan penawaran?"
Sasuke tak bisa menahan diri untuk tak mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi. Seorang gadis rapuh sedang mengajukan penawaran padanya. Coba ia lihat apa yang akan ditawarkan oleh gadis itu.
Sakura tersenyum lebar sebelum mengutarakan tawarannya.
"Culik aku."
Gadis itu memutar matanya karena jengkel lagi-lagi tak ditanggapi. "Maksudku, pura-pura. Kau sedang jengkel dengan Sasori, bukan? Aku sendiri sedang sangat jengkel dengan semua kakakku. Mereka terus-menerus mencoba menjodohkanku dengan pria-pria pilihan mereka dan ..."
"Menculikmu?"
Sakura merengut dan melempar tatapan jengkel untuk kesekian kalinya. "Itu, yang baru aku katakan."
Menculik Sakura? Ide itu, anehnya terdengar sangat masuk akal saat ini. Ia bisa menggunakan gadis ini untuk memancing Sasori lalu membunuhnya. Cara itu memang lebih rumit dan lama, padahal ia bisa melakukannya malam ini juga. Ia melemparkan pandangannya pada Sakura yang terlihat sedang mengamatinya dalam-dalam.
Lalu senyum gadis itu kembali ketika melihat bahwa Sasuke mempertimbangkan penawarannya yang aneh.
Haruno Sakura, sepertinya memang diciptakan untuk selalu mendapatkan keinginannya.
***
Chapter 1
Crazy Princess
Ia yakin dirinya pasti sudah gila.
Sakura menyalahkan sepenuhnya kegilaan itu pada kakak-kakaknya, dan semakin menyalahkan mereka dalam setiap langkah yang telah ia ambil. Jika bukan karena kebiasaan buruk mereka tentang calon-calon adik ipar layak, Sakura yakin ia masih bisa menikmati pesta ulang tahunnya sendiri dan menerima ajakan dansa satu dua orang teman lelakinya yang tampan. Ia menjadi semakin marah setelah membayangkan tarian-tarian nakal yang akan ia pertontonkan pada kakak-kakaknya yang tukang atur itu. Tarian yang sudah jelas gagal ia lakukan.
Seharusnya ia menunjukkan gerakan nakal ciptaan terbarunya dan membuat para pria tua itu marah sebelum ia memutuskan untuk mengikuti pria yang sedang berjalan tanpa suara di sebelahnya sekarang.
"Setidaknya beri aku sebuah nama," desak Sakura setelah kesabarannya mulai menipis. Ia tak pernah menjadi orang pendiam. Jika tak sedang memerintah, maka ia akan mengomel. Jika tak bisa mengajak seseorang bercakap-cakap, maka ia akan berbicara tanpa henti hingga orang itu bosan dan akhirnya jengkel, lalu mulai berbicara padanya.
"Sasuke." Pria itu nyaris mendesiskan nama itu.
Sakura tersenyum senang.
Sasuke.
Nama yang indah dan dimiliki oleh pria tampan berkulit pucat.
Pria paling tampan yang pernah ia temui.
Ia berkali-kali mengulangi kalimat itu di dalam hati, seraya melemparkan lirikan terang-terangan yang tak mungkin tak disadari oleh Sasuke. Jika, jika saja Sasuke memutuskan untuk menemui para pencari bakat di luar sana, Sakura yakin pria itu akan diterima tanpa tes apapun hanya karena wajahnya. Seorang pria hanya butuh wajah itu untuk menjadi selebriti. Dan pria itu-Sasuke, bahkan memiliki aura yang membuat orang-orang penasaran. Berbahaya, tapi tak bisa dipungkiri, seksi. Dingin, tapi tak mungkin dihindari. Sakura merasakan gatal di telapak tangannya hanya karena ingin sekali menyentuh pipi halus itu. Putih sekali. Putih yang bukan kemerahan. Hampir menyerupai salju.
Anehnya, kulit pucat itu sama sekali tak mengganggu penampilan Sasuke. Seolah warna itu memang diciptakan untuk Sasuke.
Sakura menertawakan dirinya sendiri. Mengabaikan kemungkinan akan dianggap benar-benar gila oleh Sasuke. Ia masih menertawakan dirinya ketika mereka sampai pada bagian pagar terjauh dari rumah utama. Kamera CCTV yang tepat berada di atas kepalanya tampak berkedip dan beroperasi dengan baik. Sasuke memanjat pada pagar tinggi dan berjalan di atas batuan itu dengan ketangkasan yang hanya dimiliki oleh para pemain sirkus profesional. Pria itu mendekati tiang tempat CCTV itu terpasang dan mengecek sebentar, lalu melompat turun dari atas pagar.
Saat itulah Sakura melihatnya. Tempat yang gelap membuatnya terlambat menyadari bahwa ada benda kecil yang terpasang pada lensa CCTV. Pantas saja tak ada petugas keamanan di sekitar sini. Sasuke telah memanipulasi yang satu itu.
Sakura tak bisa berpikir lebih jauh, karena saat itu Sasuke berjalan ke arahnya dan menarik sikunya untuk mendekati pagar. Pria itu membungkuk di hadapannya tanpa mengucapkan satu kata pun. Pria itu ingin Sakura memanjat pagar tembok setinggi tiga meter itu. Dan Sakura hanya bisa tertegun tanpa ada niatan untuk bergerak.
Sasuke berdiri dan berbalik menatapnya. Tubuh Sasuke mungkin sekitar dua puluh sentimeter lebih tinggi dari Sakura. Bukan jarak yang jauh, tapi tak bisa juga dikatakan dekat. Pria itu lebih tinggi dari Sasori dan Yamato. Tapi tak lebih tinggi dari Uizaki. Dari segi pembawaan, Sasuke sedikit mirip dengan kakak keduanya itu. Ketenangan dan aura yang membuat semua orang penasaran. Tapi Uizaki berkulit tan dan beriris hijau terang khas Eropa. Satu persamaan mencolok adalah rambut mereka yang sama-sama berwarna kelam.
Hanya saja, Sasuke terlihat berbahaya, sangat. Sedangkan Uizaki hanya terlihat tenang dan seolah selalu merenung.
"Kau harus naik ke bahuku agar bisa memanjat pagar itu," kata Sasuke, nyaris terdengar tak sabar. Satu hal yang perlu Sakura koreksi adalah, Sasuke sama sekali tidak tenang. Pria itu hanya pendiam dan sama menjengkelkannya dengan kakak-kakak Sakura.
"Aku tak akan pernah melakukan hal itu!" Balas Sakura dengan nada suara paling angkuh yang ia punya. Biasanya jika ia menggunakan nada itu, orang-orang di sekitarnya akan menunduk dan tak membantah. Tapi Sasuke sama sekali tak terpengaruh. Pria itu masih berdiri di hadapannya tanpa melepaskan kontak mata mereka.
"Kau ingin aku menggendongmu?"
Sakura berjengit mendengar tawaran bernada datar itu. Tatapannya beralih pada pagar tinggi di belakang Sasuke, lalu kembali pada pria itu. Ini tak seperti yang ia bayangkan. Melarikan diri itu ternyata menjengkelkan. Seandainya ia tak terlalu berambisi untuk pergi malam ini juga.
"Aku tak mau merusak gaunku," ungkap Sakura keras kepala. Tatapan Sasuke turun pada tubuh Sakura yang terbalut jaket panjang hitam yang mewah, yang gadis itu kenakan di luar gaunnya. Di dalam salah satu kantung jaket, tas kecil Sakura sedikit menyembul. "Aku juga tak ingin jaketku lecet. Aku mendapatkannya dengan kartu anggota khusus yang baru bisa digunakan setelah satu tahun pendaftaran. Gaunku juga hanya ada satu-satunya di negeri ini."
"Kalau begitu lepaskan jaketmu untuk memudahkan gerakan." Sasuke jelas hampir kehilangan kesabaran. Sakura mundur satu langkah dan hampir berbalik. Ia berubah pikiran dengan cepat. Membuat kakak-kakaknya panik memang menyenangkan, tapi sama sekali tak sebanding dengan merusak barang-barang kesayangannya. Ia bisa berbuat nakal dengan cara lain. Ia rasa ini bukan ide bagus. Sama sekali bukan ide bagus.
Sasuke membuka kaus hitamnya sendiri dan membuat Sakura tertegun ketika melihat tubuh setengah telanjang pria itu. Perut Sasuke rata, tanpa ABS yang bertonjolan seperti para bintang iklan minuman bervitamin. Tapi tubuh pria itu kencang dan tampak kuat. Dengan bahu lebar yang terpahat seperti patung adonis.
Sakura menangkap kaus yang Sasuke lemparkan padanya. Tiba-tiba menjadi begitu patuh dan riang.
"Aku rasa kaus ini akan cukup membantu," komentarnya seraya melepaskan jaketnya dan menyerahkannya pada Sasuke. Sakura tahu bahwa Sasuke terus menatap tubuhnya yang hanya berbalut gaun tipis yang ketat. Untuk itu, ia meloloskan kaus Sasuke cepat-cepat dari kepalanya hingga menutupi tubuhnya dan gaunnya benar-benar tertutup juga tak akan lecet saat ia memanjat nanti. Ia biasa mengenakan gaun seperti ini. Tapi cara Sasuke menatap tubuhnya membuatnya merasa sedang ditelanjangi. Dan ia tak suka memikirkan seorang pria membayangkan bisa begitu mudah menelanjangi tubuhnya.
Ia baru saja akan bertanya bagaimana selanjutnya ketika Sasuke kembali berjongkok dan menunggunya memanjat dengan menapak pada tubuh pria itu. Sakura melepas sepatunya, menaruhnya di sebelah Sasuke dan mulai memanjat. Pada awalnya merasa aneh karena harus menyentuh tubuh telanjang pria dewasa yang baru ia kenal.
"Jangan mendongakkan kepalamu!" Perintah Sakura ketika Sasuke berdiri dengan ia yang berdiri di bahu pria itu sambil berpegangan pada tembok. Ia berhasil mencapai bagian atas pagar tembok itu dan duduk dengan sedikit gemetar saat memandang ke bawah. "Berikan jaketku."
Sasuke sedikit melemparkan jaket itu padanya, melompat naik, membantunya memasang sepatunya kembali, lalu langsung melompat turun ke luar pagar.
"Apa yang kau lakukan?" Protes Sakura. "Seharusnya kau membantuku turun terlebih dahulu!"
Sasuke merentangkan lengannya. "Aku akan menangkapmu dari sini. Lempar jaket berhargamu itu terlebih dahulu."
Sakura menggeleng tak percaya. Jika ada yang lebih pantas disebut gila selain dirinya, itu adalah Sasuke. Pria itu mungkin tampan, sangat tampan. Kenapa Sakura baru menyadari kalau pria itu bodoh. Pria tampan biasanya bodoh. Kebanyakkan pria tampan yang sering Sakura temui memang bodoh. Kecuali kakak-kakaknya.
Ah, sayang sekali.
"Aku biasanya tak mengatakan ini," mulai Sakura. "Tapi aku lebih berat dari yang terlihat."
"Aku tahu. Aku sudah merasakannya tadi."
Tanggapan enteng Sasuke membuat Sakura jengkel.
"Kau mungkin tak tahu artinya itu," balas Sakura dengan nada mengasihani yang membuat mata Sasuke menyipit seketika. "Bahwa melompat dari ketinggian tiga meter itu sangat berbahaya."
"Tidak, kalau aku menangkapmu," ujar Sasuke tak sabar. "Cepatlah."
Sakura melemparkan jaketnya terlebih dahulu sambil menggerutu dan Sasuke menangkapnya tanpa berkedip. Sasuke mengikat lengan jaket hitam Sakura di tiang lampu agar tak sampai menyentuh tanah. Lalu tatapan pria itu kembali padanya, terhenti sejenak pada tungkainya yang terbuka.
"Aku akan melompat sekarang." Sakura berkata sedikit keras untuk menarik perhatian pria itu agar menatap pada matanya, bukan kakinya yang kedinginan. Sakura memejamkan mata ketika melompat dan lega begitu merasakan kedua lengan kuat melingkari tubuhnya di bawah pinggul. Lengannya sendiri melingkar di bahu Sasuke. Napasnya tersendat begitu tubuhnya diturunkan perlahan oleh Sasuke. Tubuh mereka menempel erat. Panas dari tubuh setengah telanjang Sasuke membuat Sakura menggigit bibirnya agar tak mendesah secara memalukan.
Ketika kedua kakinya menapak tanah, lengan Sasuke turun kembali ke pinggulnya. Sakura hanya bisa diam saja saat Sasuke menarik kausnya ke atas dan meloloskannya melalui kepalanya. Dan secepat itu, kaus yang tadinya membalut tubuh Sakura, telah kembali kepada pemiliknya.
Untuk menyamarkan detak jantungnya yang menggila karena pria asing yang baru ia kenal, Sakura berjalan ke tiang lampu dan mengambil jaketnya untuk kemudian mengenakannya kembali.
"Jadi, kemana kita sekarang?" Ia bertanya setelah mengancingkan jaketnya.
Sasuke mengangkat bahu dengan acuh. "Ke tempat tinggalku tentu saja."
"Oh tidak." Sakura menggeleng, lalu memutar mata. "Kau tak mungkin bermaksud begitu." Ia merengut melihat ekspresi keras di wajah Sasuke. "Oke, kau memang bermaksud begitu."
Sakura mengangkat bahu. "Tapi, halo. Kita tak sedekat itu, orang pucat."
Mereka berjalan menjauhi kediaman Haruno. Sakura bersyukur karena sempat mengganti sepatunya tadi. Jalanan yang terbentang di depan mereka terlihat panjang dan temaram. Lampu-lampu jalan membantu penglihatan mereka. Tapi jalan yang panjang akan membuat kakinya lecet, jika ia masih mengenakan high heels yang ia kenakan selama di pesta tadi. Sakura selalu mengendarai mobil pribadinya ketika keluar dari kediaman Haruno. Jadi ia sama sekali baru menyadari bahwa rumah keluarganya ternyata berada di daerah yang cukup jauh dari pusat Konoha, jika ditempuh dengan berjalan kaki.
"Aku rasa hotel adalah pilihan yang tepat untuk menginap sementara," ujar Sakura enteng. Ia melirik pada Sasuke dan memasang senyuman manis. "Tentu kau bisa tetap menginap di rumahmu. Kita hanya harus bertukar nomor telepon dan membicarakan rencana-rencana menakjubkan kita sambil melakukan aktifitas seperti biasa."
"Kau membawa uang tunai?" Tanya Sasuke kaku. Pria itu terlalu kaku, pikir Sakura. Ia mengamati Sasuke dan baru menyadari bahwa iris mata Sasuke berwarna hitam. Ia tahu pria itu bermata kelam. Tapi ia kira, kelam sama artinya dengan cokelat tua, seperti warna mata kebanyakan orang Asia. Warna mata hitam -yang benar-benar hitam, sama langkanya dengan warna hijau seperti warna matanya. Warna mata hitam juga sering dikaitkan dengan para penyihir di masalalu, juga iblis. Warna dari kegelapan.
Tiba-tiba saja Sakura merasakan sebuah perasaan aneh yang sangat jarang ia rasakan sebelumnya, kewaspadaan. Ia tak mengenal Sasuke cukup baik. Ia hanya tahu bahwa Sasuke adalah salah satu teman kecil Sasori. Kakaknya itu memang menjengkelkan. Paling menjengkelkan di antara semua orang yang ia kenal. Tapi Sasori selalu berada di sisi yang baik. Kenyataan bahwa Sasuke dan Sasori tak saling bertemu selama bertahun-tahun membuat Sakura mulai berpikir kalau apa yang ia lihat di permukaan belum menunjukkan semuanya.
Dan ia penasaran. Salahkan kehidupannya yang membosankan selama ini.
"Aku membawa uang tunai," kata Sakura, menyimpan keresahannya hanya untuk dirinya sendiri. Dan semua kartu kredit, juga ATM. Tapi ia tak akan mengatakannya pada siapa pun, termasuk Sasuke. Ia mungkin manja, walaupun ia tak mau mengakuinya dengan terang-terangan. Tapi ia tak pernah menjadi orang bodoh.
"Menginap di hotel hanya akan menunjukkan pada dunia bahwa kau hanya gadis manja yang minta perhatian dengan berpura-pura diculik."
Perkataan Sasuke membuatnya tersinggung. Tapi ia memutuskan untuk bersikap tenang dan tak terburu-buru meneriaki lelaki itu. Lagipula ia jarang berteriak. Biasanya jika orang-orang membuatnya tak senang, maka ia akan dengan cepat memutarbalikan keadaan dan balas menyerang dengan cara yang ia anggap lebih berkelas.
"Aku sudah biasa dianggap manja ..." ujar Sakura manis. " ... dan seenaknya. Tapi itu tak pernah memengaruhiku. Mereka yang mengatakan itu hanyalah orang-orang yang tak memiliki semua hal yang aku miliki."
Nada suara Sakura jelas mengartikan maksudnya dengan baik. Tapi Sasuke sama sekali tak terlihat tersinggung. Pria itu hanya melempar tatapan datar padanya sambil tetap meneruskan langkah. Sakura tak pernah berada di situasi dimana perkataannya tak bisa memengaruhi emosi seseorang. Sasuke menjadi semacam tantangan baru yang menyenangkan.
"Lagipula hotel lebih menyenangkan dari tempat mana pun di dunia," tambahnya. Ia hampir tertawa saat mengatakannya. Hotel tempat menyenangkan? Yang benar saja. Ia tak suka berbagi barang miliknya. Kenyataan bahwa satu kamar hotel paling mewah setidaknya pernah ditempati sepuluh orang berbeda dalam waktu satu bulan, membuatnya selalu berpikir bahwa hotel itu menyebalkan. Kecuali hotel yang dimiliki oleh kakak pertamanya -Yamato. Dimana Sakura memiliki satu kamar khusus yang tak boleh ditempati siapa pun kecuali dirinya sendiri.
"Tapi orang-orang akan mengenalimu," sahut Sasuke. "Kukira kau ingin diculik?"
Ya Tuhan, pria ini cerdas. Sakura menarik kembali kesimpulan sebelumnya yang menganggap bahwa pria tampan seperti Sasuke itu bodoh. Jadi Sasuke adalah si Tampan yang menjengkelkan nomor empat. Urutan satu sampai tiga sudah ditempati oleh kakak-kakak lelaki Sakura, yang puncaknya diisi oleh si Rambut merah Sasori.
"Aku mulai membenci ide itu," gerutu Sakura.
"Seingatku kau yang mengajukannya," sahut Sasuke.
"Kau sepertinya tak paham wanita." Sakura kembali tersenyum. Ia suka bermain kata dengan pria ini. "Apa tak ada yang pernah mengatakan padamu kalau wanita itu plin-plan?"
"Aku hanya harus mengingatnya mulai sekarang," timpal Sasuke bosan.
Sakura tertawa, menoleh ke belakang dan menghela napas lega karena sepertinya orang-orang di rumahnya belum ada yang menyadari kepergiannya. Tampaknya menyalakan musik klasik dan mengunci pintu kamarnya akan membuat orang-orang berpikir bahwa ia sudah tertidur karena kelelahan.
"Jadi, dimana kau tinggal?"
Alis Sasuke terangkat sebelah. "Kau berubah pikiran lagi?"
Sakura mengangkat bahu. "Aku berubah pikiran lebih sering dibanding orang lain."
Mereka memasuki jalan besar yang dilalu-lalangi banyak kendaraan. Sakura melemparkan tatapan tak percaya pada Sasuke. Ia tak menyangka bisa berjalan kaki sejauh ini, pada malam hari, dengan pria yang baru ia temui pertama kali. Ini benar-benar malam yang penuh kegilaan. Masalahnya ia sangat menikmati perjalanan ini. Dan teman seperjalanannya yang misterius, anehnya sangat menyenangkan.
Mungkin ia membutuhkan teman berdebat yang tak terpengaruh dengan sindiran halusnya lebih dari yang ia bayangkan. Juga seseorang yang tak selalu bersikap manis dan berusaha keras membuatnya terkesan.
Sasuke hanya menjadi dirinya sendiri dan Sakura lebih menghargai itu di atas semuanya.
"Jadi apa pekerjaanmu, Sasuke?" Tanya Sakura ketika mereka telah berada di tempat ramai.
"Aku pengangguran," jawab Sasuke singkat. Tanpa ada kesan malu sedikit pun.
Sakura kembali tersenyum. Pria ini benar-benar luar biasa.
"Sepertinya aku salah mengajukan pertanyaan," ungkap Sakura. "Seharusnya aku bertanya, apa yang kau lakukan untuk menghidupi dirimu?"
Sasuke nyaris tersenyum. Nyaris. Tapi pria itu tak melakukannya. Sakura mendapati dirinya penasaran dengan bagaimana pria itu saat tersenyum. Apakah salah satu sudut bibirnya akan lebih naik dari yang lainnya? Atau ia akan menampakkan sedikit giginya yang rapi, yang Sakura lihat sekilas ketika pria itu berbicara? Sasuke tentu memiliki tipe senyum yang berbeda dari orang lain. Mengingat pria itu memang sangat berbeda.
"Aku melakukan sesuatu secara acak," jawab Sasuke.
"Teka-teki. Aku suka itu," ungkap Sakura. "Kutebak itu tak berkaitan dengan pencari bakat atau televisi?"
"Tidak, kurasa tidak." Lalu Sasuke terlihat berpikir sejenak. "Mungkin sedikit," ungkapnya.
"Jadi kau berada di balik layar?" Tebak Sakura.
"Semacam itu." Sasuke terlihat mengamati sekitar. Lalu pandangannya kembali pada Sakura. "Kurasa kau perlu menutup rambutmu dengan topi jaket yang kau kenakan."
"Ah ya." Sakura mengikuti saran pria itu. "Rambutku memang terlalu mencolok. Apa menurutmu aku perlu mengecatnya?" Ia menatap rambut Sasuke yang sewarna langit malam. "Aku selalu suka warna rambut yang lebih gelap. Terlihat lebih seksi."
"Kau tak perlu mengecatnya."
Sasuke memanggil taksi dan tak memberikan alasan kenapa pria itu berpendapat bahwa Sakura tak perlu mengecat rambutnya. Satu rasa penasaran lagi yang membuatnya mengikuti pria itu masuk ke dalam taksi.
***
Bab. 2
Awareness
Sasuke sadar ini pertama kalinya dalam waktu yang lama, sangat lama, ia bertemu dengan seseorang yang menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Dan Sasuke yakin bahwa seingatnya, ini pertama kalinya ia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan keinginannya sendiri. Ia bahkan memberikan nama aslinya, walau tak beserta nama keluarga yang memang tak pernah ia sebut-sebut lagi selama bertahun-tahun.
Sasuke mulai berpikir bahwa dirinya mungkin tak sekaku seperti yang ia kira sebelumnya dan itu harus diperbaiki jika ia ingin berumur panjang. Ia juga menyadari bahwa gadis yang sedang duduk di sebelahnya, yang terlihat dengan terang-terangan mengamatinya, adalah seorang manipulator yang menggunakan senyuman manis dan mata besarnya yang indah untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan. Sasuke tahu itu, tapi tetap mendapati dirinya dengan patuh menjawab pertanyaan-pertanyaan gadis itu.
Ah, terkutuklah.
Bahkan dengan kenyataan yang paling menyedihkan bahwa Sakura adalah adik dari Haruno Sasori, ia masih menganggap gadis itu sama sekali tak pantas diperlakukan dengan buruk. Tidak setelah ia melihat senyuman manis dan keluguan samar yang diperlihatkan gadis itu ketika akan memasuki taksi tadi. Jadi, ini juga adalah pertama kalinya setelah sekian lama ia memikirkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.
Sasuke menutup matanya, berpura-pura tertidur agar tak harus mendengar lebih banyak pertanyaan dari seorang gadis cantik yang tak bisa ia hindari. Tapi ternyata menutup mata juga tak ada gunanya. Karena bayangan tentang pelarian mereka di kediaman Haruno tadi mulai mengusiknya. Kulit halus di tungkai panjang gadis itu saat berada di atas pagar tembok, juga bagaimana rasanya memeluk gadis itu sesaat tadi.
Sasuke bukannya kekurangan wanita. Gadis bermata besar dan memiliki banyak sekali pertanyaan juga tak pernah menjadi tipenya. Tapi keinginan tubuhnya, terutama di pangkal pahanya, bukan hal yang bisa ia kendalikan seperti halnya raut wajah.
"Apa kau benar-benar tidur?" Sasuke mendengar dengan jelas gerutuan gadis itu. "Jadi kau meninggalkanku kebosanan dan memilih tidur?"
Suara gemerisik di sebelahnya memaksa Sasuke mengintip dan melirik untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh Sakura. Gadis itu mengeluarkan semacam tas tangan kecil dari saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam tas tersebut. Sasuke penasaran apa yang sedang dipikirkan gadis itu dengan menatap ponselnya sendiri sambil menggigit bibirnya yang kecil dan kemerahan.
Sasuke kira gadis itu akan berubah pikiran lagi dan memutuskan untuk membatalkan rencana anehnya. Sasuke membenci pikirannya yang mulai membayangkan membawa paksa Sakura yang meronta-ronta di atas bahunya. Atau membuat gadis itu pingsan agar tak bisa melawan. Ia nyaris memikirkan cara yang lebih keras sebelum melihat gadis itu mematikan ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam tas.
Sasuke menutup kembali matanya ketika Sakura menoleh padanya.
"Aku harap aku melakukan hal yang benar," gumam Sakura. Sasuke merasakan gadis itu mendekat dan mulai bersandar padanya. Sasuke membuka matanya dan langsung melihat puncak kepala gadis itu dengan rambut merah muda yang menguarkan aroma bunga Sakura. Bunga yang sama dengan namanya. Juga ada campuran wangi vanila yang lembut dan menenangkan. Perpaduan tak biasa yang dimiliki oleh gadis yang juga tak biasa.
"Mereka pasti akan khawatir sekali," lanjut Sakura. Sasuke mendengarkan dan langsung mengerti kemana arah pembicaraan satu arah gadis itu. "Mereka akan mencariku ke seluruh pelosok negeri jika perlu. Aku harus meminta maaf padamu, Sasuke, karena telah membawamu ke tengah-tengah kegilaan ini."
Jika tak mendengarnya langsung, Sasuke pasti akan mengira dirinya sedang mendengarkan orang lain yang berbicara, bukan gadis yang baru satu setengah jam lalu meminta dirinya sendiri untuk diculik. Sakura yang sekarang bersandar padanya terlihat sangat rapuh dan penuh kekhawatiran. Perkataan Sakura membuat Sasuke semakin yakin bahwa hubungan kakak beradik Haruno lebih erat dari berita-berita yang beredar di luar sana. Hubungan Sakura dan Sasori jauh lebih dekat dari yang Sasuke duga.
Ia menutup kembali matanya dan mengabaikan perasaan janggal yang ia rasakan sebelumnya karena memikirkan reaksi Sakura saat Sasuke membunuh kakak yang disayanginya.
Tapi Sakura tak seberharga itu.
Tak pernah ada yang lebih berharga dari pamannya, keluarga satu-satunya yang telah terkubur di dalam tanah empat bulan yang lalu. Orang yang seharusnya tak mati secepat itu jika Sasori tak melepaskan tembakan dan membunuhnya di tempat. Sasuke memandang kembali puncak kepala Sakura. Dan kini ia mulai bisa melihat gadis itu dengan cara yang benar.
Sakura hanya alat. Sesuatu yang ia gunakan untuk dapat memancing Sasori, lalu membunuhnya. Nyawa dibalas dengan nyawa. Kesakitan dibalas dengan kesakitan. Jika ia tak bisa membunuh Sasori nantinya, ia akan mengambil sesuatu -seseorang yang dikasihi oleh pria itu.
Seseorang yang sekarang sedang bersandar di bahunya.
Satu hal yang harus mulai Sasuke kuasai adalah melupakan keinginannya yang besar untuk memberikan kenyamanan pada gadis itu, juga menyentuhnya.
00000
Ia dibangunkan dengan cara yang paling tidak menyenangkan. Sakura membuka matanya tepat setelah kepalanya membentur sesuatu yang ternyata pintu taksi yang setengah terbuka. Ia mendapati Sasuke yang berdiri di sebelah pintu tersebut dan mata pria itu sedang menatap ke arah pangkuannya. Sakura merapikan jaketnya, menutupi pahanya yang terlihat jelas karena gaun pendek yang ia kenakan tertarik ke atas ketika ia duduk.
"Sudah sampai," kata Sasuke datar. Sakura mengangguk, lalu turun sambil terus memerhatikan raut wajah Sasuke yang terlihat berbeda dari sebelumnya. Pria itu memang tak banyak bicara. Tapi kali ini berbeda. Sikapnya semakin tertutup dan dingin. Samar-samar, Sakura bahkan merasakan semacam kekejaman yang tak diperlihatkan pria itu sebelumnya.
Taksi telah meninggalkan mereka di pinggiran jalan. Sakura mulai memerhatikan sekitar dan merasakan bulu kuduknya meremang. Tempat itu ramai, memang. Kendaraan berlalu-lalang dan tampak normal. Yang membuatnya merasa aneh adalah, pertanyaan yang tertahan di ujung lidahnya.
Selama ini ia tak pernah menahan apapun yang ingin ia katakan. Ia menikmati bagaimana orang-orang tak bisa membalas kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia mencari hiburan melalui kata-katanya. Tapi saat ini, seolah ada yang menahannya untuk bertanya kenapa Sasuke harus memarkirkan mobilnya di tempat seperti ini dan lebih memilih menaiki taksi untuk mengunjungi kediaman Haruno.
Ia tak pernah terlalu memercayai berita-berita kriminal yang ditayangkan di televisi. Ia kira semua itu dilebih-lebihkan, karena ia tak pernah mengalaminya secara langsung.
Tapi kenapa sekarang ia merasakan dirinya ketakutan? Seolah-olah ia sedang mengalami penculikan yang sebenarnya. Mobil Sasuke berwarna hitam, dengan kaca yang juga hitam dan terlihat tebal. Sakura sudah melihat sendiri betapa lihainya Sasuke dan betapa kuatnya lengan pria itu saat menangkapnya yang melompat dari ketinggian tiga meter. Jika ia berbalik dan mencoba melarikan diri, ia yakin tak butuh waktu lama sampai ia tertangkap kembali. Orang-orang yang berada di dalam mobil yang berlalu-lalang juga tak akan dapat menolongnya.
Sakura mendapati kaki-kakinya bergerak dan membawanya mendekati Sasuke yang tampak sedang memerhatikannya di sebelah mobil hitamnya. Raut wajah pria itu keras dan tak menampakkan perasaan apapun. Kesan bersahabat yang sempat Sakura lihat ketika mereka berjalan kaki dari kediaman Haruno tadi sudah tak terlihat lagi. Seolah memang tak ada sejak awal.
"Jadi, ini mobilmu?" Tanya Sakura ceria. Ia selalu pintar menutupi perasaannya dan memperlihatkan kesan bodoh yang ceria. Bukan hanya sekadar julukan tanpa arti ketika kakak-kakaknya menyebutnya sebagai manipulator, juga aktris yang tak akan pernah ditemukan oleh para pencari bakat. Ia juga pandai menguasai diri dan membaca keadaan.
Sasuke mengangguk datar sambil terus mengamatinya. Pria itu, Sakura pikir, cukup cerdas untuk dapat mengetahui bahwa Sakura suka memanipulasi. Tapi Sakura yakin kalau Sasuke belum mengetahui sampai batas apa Sakura bisa melakukannya. Dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa Sakura punya ingatan yang benar-benar bagus. Sangat bagus hingga sulit dipercaya.
"Kau punya selera yang bagus dalam memilih kendaraan," komentar Sakura seraya memasuki bangku penumpang di sebelah bangku pengemudi. "Aku juga berpikir bahwa mobil-mobil besar seperti ini cukup layak untuk dimiliki. Kurasa aku akan membeli yang seperti ini saat pulang nanti." Sakura terus berbicara, walaupun Sasuke sama sekali mengabaikannya. Matanya menatap jalanan, mengamati setiap hal yang mobil mereka lewati sambil mempertahankan senyumannya yang selalu berhasil menipu semua orang.
"Jadi, seperti apa rumahmu?"
***
Bab. 3
Failed
Merencanakan penculikan diri sendiri adalah satu hal. Merasa benar-benar diculik adalah hal yang lain. Sakura berusaha untuk tak terlihat gemetar sepanjang perjalanan yang sudah menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Tiga puluh sembilan menit tepatnya, dari perhitungan yang ia lakukan diam-diam dengan sesekali melirik pada petunjuk waktu di layar GPS. Ia dengan sengaja terus-menerus memerhatikan Sasuke dan mendapati dirinya sendiri terbuai dan beberapa kali melupakan rencananya untuk mengingat setiap hal yang mereka lewati.
Ya Tuhan, pria ini tampan sekali, katanya di dalam hati. Tapi Sasuke yang tampan memiliki sikap yang terlalu dingin dan tanpa basa-basi. Setiap kali Sakura membuka mulut dan mencoba memulai pembicaraan, Sasuke hanya akan menjawabnya secara singkat dan jelas sekali memberikan jalan buntu bagi siapa pun yang akan memaksanya kembali membuka mulut.
Tentu saja Sakura tak mudah menyerah. Ia terus berbicara, berbicara, berbicara sampai ia kehausan. Sampai suaranya serak dan memaksanya untuk berhenti. Dan Sasuke tak satu kali pun bertanya apakah Sakura butuh minum, atau butuh ke toilet. Padahal sebelum berkendara dengan mobil pria itu mereka sudah menghabiskan waktu berjam-jam di luar ruangan.
Sasuke menjadi tak berperasaan. Atau seperti dugaannya semula, memang tak memiliki perasaan.
Tapi memangnya apa yang Sakura harapkan dari pria yang baru ia kenal? Hanya karena ia tampan Sakura jadi bertindak ceroboh dan terjebak di situasi sekarang ini.
"Kurasa aku butuh ke toilet," kata Sakura kemudian. Sasuke tak menanggapi dan tak ada tanda-tanda pria itu akan menepikan mobilnya. Kecepatan berkendaranya stabil, sama seperti emosi yang terlihat pada raut wajahnya.
"Aku benar-benar harus ke toilet." Sakura mengulangi dengan sedikit tak sabar. "Kecuali kau ingin aku menjadikan mobilmu sebagai toilet." Sebenarnya kalimat itu sama sekali tak sopan dan bukan kalimat yang biasanya akan ia gunakan. Tapi ia tak dalam kondisi baik untuk mengatur kalimatnya. Ia benar-benar butuh ke toilet, sekarang juga, yang syukurnya dituruti oleh Sasuke.
Sakura langsung berlari keluar setelah mobil diparkirkan di halaman toilet umum besar di pinggiran jalan, menyelesaikan urusannya dengan cepat sambil berkali-kali meringis karena toilet umum itu tak bisa dikatakan bersih untuk standar kehidupannya. Ia baru akan keluar dari tempat itu begitu ia tersadar bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri dari Sasuke.
Ia mengitari tempat itu, memikirkan jalan keluar seraya mencuci lagi kedua tangannya di westafel yang menghadap langsung pada cermin besar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mengamati penampilannya yang tak jauh berbeda dari beberapa jam yang lalu. Make up yang menempel di wajahnya masih utuh dan sesempurna biasanya. Sakura baru akan menyalakan ponselnya ketika pintu digedor dari luar.
"Sudah selesai?" Nada suara Sasuke terdengar tak sabar. "Perjalanan kita masih jauh."
"Sebentar," jawab Sakura, berusaha ceria. "Tunggu sebentar." Ia berhati-hati menyalakan ponselnya, dan menggigit bibirnya begitu nada pembuka terdengar lirih dan samar-samar. Ia harap Sasuke berdiri cukup jauh hingga tak dapat mendengar hal itu.
Sakura menekan angka tiga pada layar smartphone nya, memutuskan untuk menelepon Sasori yang selalu bersiaga. Panggilannya dijawab pada dering pertama.
"Sakura ..."
"Sasori dengar, aku minta maaf," potong Sakura cepat. "Aku tak tahu semuanya akan jadi begini."
"Kau dimana?"
"Aku di toilet," jawab Sakura sedikit berbisik. Matanya berkali-kali melirik pada pintu toilet yang tertutup. "Toilet umum. Toilet kelima yang kulihat dalam perjalanan selama hampir dua jam."
"Ke kiri atau ke kanan? Dari persimpangan rumah kita?"
"Kiri." Terdengar gedoran lagi dari luar dan kali ini disertai pintu yang terbuka. Sasuke masuk dengan raut berbahaya dan mata yang berkilat kejam. "Sasori maafkan aku."
"Kau bersama seseorang?"
Sakura tak sempat menjawab karena Sasuke telah merebut ponselnya dan membanting benda itu ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Tubuh Sakura tersentak kaget karena perlakuan itu. Ia menerjang ke depan dengan gerakan gegabah yang tak direncanakan. Sasuke hanya mundur satu langkah. Pria itu dengan mudah menangkap kedua tangannya dan menguncinya di balik punggungnya.
"Lepas," desis Sakura sambil terus memberontak. Lengan Sasuke yang melingkari pergelangan tangannya terasa sekeras baja. Tak peduli Sakura melawan sekuat apapun, pria itu tetap bergeming dan tak terpengaruh sedikit pun dengan perlawanannya. Sakura menghela napas, merasakan dirinya tak memiliki lebih banyak tenaga untuk meronta. Ia jadi menyesali keengganannya saat disuruh mempelajari bela diri dasar oleh kakak-kakaknya selama ini. Ia seharusnya menjadi adik perempuan penurut yang tahu diri dan mengakui bahwa apapun yang dilakukan semua kakaknya adalah demi dirinya sendiri.
Ia seharusnya tak mengikuti orang asing, bahkan jika orang itu sangat tampan. Ia bukan anak kecil lagi.
"Perjanjian kita batal," kata Sakura. Ia merasakan jantungnya berdebar keras. Hanya ada sedikit jarak sampai dada mereka saling menempel. Ia berhenti meronta hanya agar hal itu tidak sampai terjadi. Napasnya sedikit terengah.
"Aku rasa ini bukan ide yang bagus," tambah Sakura lagi. Tempat itu cukup sepi hingga ia tak yakin akan ada yang datang menolongnya jika ia menjerit. "Dan kau baru saja menghancurkan benda kesayanganku. Orang yang menghancurkan benda kesayanganku tak mungkin bisa diajak bekerjasama."
Sasuke belum mengatakan apa-apa, hanya menatapnya dengan mata kelamnya yang berkilat berbahaya. Dalam satu waktu, Sakura mengira Sasuke akan memukulnya. Tapi pria itu tak melakukannya. Pria itu nyaris tak melakukan apa-apa. Hanya menahan Sakura agar tak melarikan diri. Itu saja. Tapi hal itu nyaris membuat Sakura berang, nyaris.
Jika saja tatapan pria itu tak berubah menjadi hasrat yang begitu jelas.
Sasuke menginginkannya, Sakura tahu itu. Seharusnya ia bisa menggunakan hal itu sebagai senjata andalannya. Tapi Sakura sudah bersumpah sejak jauh-jauh hari bahwa ia tak akan pernah menggunakan daya tarik seksual untuk mendapatkan keinginannya. Ia bisa menggunakan senyuman manis, kata-kata manis dan sedikit kerlingan nakal. Tapi sentuhan yang berujung pada aktifitas di atas ranjang, ia tak akan melakukannya.
Karena hanya itulah yang membedakan ia dengan ibunya.
"Siapa kau sebenarnya?" Lilitan lengan Sasuke di pinggangnya terlepas. Pria itu kini satu langkah di hadapannya, tampak percaya diri namun tegang dan kaku.
"Kau tak berteriak." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Kalimat yang keluar dari mulut pria itu memberikan Sakura alasan untuk menampilkan senyuman mengejeknya yang paling menjengkelkan.
"Memangnya apa yang bisa kudapatkan dengan berteriak?"
"Kau juga tak mendapatkan apa-apa dengan melawanku," sahut Sasuke dingin.
"Aku baru menyadarinya." Sakura menunduk setelah mengatakannya. Ia menatap jengkel pada sisa-sisa ponselnya yang terserak di lantai, lalu berjongkok dan mengambil chip memori ponsel dan memasukannya ke dalam saku jaketnya. "Apa kita akan terus berada di tempat bau ini atau melanjutkan perjalanan?"
Sasuke menggeleng tak percaya. "Belum lama sejak kau berusaha melarikan diri dariku."
Sakura mengangkat bahu. "Aku tahu," tanggapnya acuh tak acuh. Sakura tak berniat menjelaskan perubahan keputusannya setiap waktu. Pria itu juga tak menjawab pertanyaan paling penting. Siapa Sasuke sebenarnya? Sakura bahkan yakin Sasuke memiliki tujuannya sendiri hingga bersedia mengikuti rencananya yang konyol.
Ia mengakuinya sekarang. Semakin dipikirkan, rencananya semakin terasa konyol. Ia yakin dibalik raut dinginnya, Sasuke pasti menertawakannya di dalam hati.
"Kau sedang merencanakan sesuatu 'kan?"
Sakura mengangkat bahu dan melemparkan senyumannya yang selalu berguna. Setidaknya saat ini walau tak bisa membantunya melarikan diri dari Sasuke, senyumannya mampu membuat pria itu menggeram jengkel. Itu setimpal, setelah apa yang dilakukan pria itu padanya. Sakura cenderung membalas apa yang dilakukan orang-orang pada dirinya.
"Aku mungkin merencanakan sesuatu," kata Sakura. "Tapi rencana tak akan berhasil jika digembar-gemborkan terlebih dahulu." Ia berjalan melewati Sasuke yang masih berdiri mematung di tempat semula. "Lagipula kita bukan teman. Tak ada alasan bagiku untuk menjelaskan apapun padamu."
Sakura tahu ia sedang tak berada di situasi yang menguntungkan. Dalam segala sisi, ia telah melakukan kesalahan. Tapi ia bukanlah orang yang akan diam saja jika merasa terganggu. Bahkan jika otaknya memerintahnya untuk menutup mulut rapat-rapat, ia tak bisa diam begitu saja. Ia tak pernah mau kalah.
Sakura merasakan Sasuke berjalan di belakangnya. Pria itu tampaknya belum tahu bahwa Sakura telah memberitahu posisi mereka sekarang pada Sasori. Atau mungkin pria itu tahu dan telah memiliki rencananya sendiri. Pemikiran itu kembali membuatnya merutuki diri sendiri, walau yang tampak dari luar hanya senyuman yang tak pudar dan kerlingan mata nakal yang menantang.
Ia ikut masuk ke dalam mobil dengan ketenangan yang mengundang tatapan menyelidik dari Sasuke. Sebenarnya ia melakukan itu karena entah bagaimana ia yakin sekali bahwa Sasuke akan menggendongnya seperti sekarung beras jika ia mencoba untuk melawan. Ia tak akan pernah sudi diperlakukan seperti itu. Hal itu akan menghancurkan harga dirinya yang setinggi langit.
Mereka kembali berkendara di jalanan yang luas dan bergabung dengan pengendara lain di pusat kota. Kali ini hanya ada keheningan di antara mereka. Kecepatan berkendara Sasuke meningkat drastis dari sebelumnya. Sakura masih memerhatikan setiap hal yang mereka lewati, terutama plakat toko yang kira-kira mudah ditemukan. Jika ada kesempatan untuknya mendapatkan ponsel baru dimanapun itu, ia akan memastikan Sasori dapat menemukannya dengan mudah.
Tapi bagaimana caranya mendapatkan ponsel baru tanpa diketahui oleh Sasuke? Sedangkan Sakura yakin pria itu akan mengurungnya di suatu tempat yang sulit ditemukan.
Sasuke tiba-tiba saja menepikan mobilnya. Pria itu membuka kotak penyimpanan yang berada di depan Sakura dan mengeluarkan seutas tali rami dari sana. Sakura memberi pria itu pelototan marah ketika melihat maksud dari tindakannya.
Sasuke memegangi kedua tangan Sakura dalam diam, jelas merasa memiliki hak untuk melakukannya. Tapi pria itu bodoh jika berpikir Sakura akan diam saja diperlakukan seperti benda mati yang tak akan melawan. Sakura berusaha menendang ke depan menggunakan satu lututnya, berharap akan mengenai salah satu bagian tubuh Sasuke yang mana pun. Posisi tubuh Sasuke di hadapannya terlalu dekat karena ruang sempit mobil tak membantu Sakura untuk bergerak leluasa. Dalam sekejap, Sasuke sudah setengah menindihnya di jok yang juga setengah terbaring ke belakang.
"Kenapa kau lakukan ini padaku?" Protes Sakura ketika Sasuke melingkarkan tali di sekeliling tubuhnya, memakunya dengan jok yang semakin dibaringkan. "Aku bahkan tak melakukan apa-apa!"
***
Bab. 4
Darkness’ House
"Kenapa kau lakukan ini padaku?" Protes Sakura ketika Sasuke melingkarkan tali di sekeliling tubuhnya, memakunya dengan jok yang semakin dibaringkan. "Aku bahkan tak melakukan apa-apa!"
00000
Sasuke bergeser ke samping, kembali ke tempat duduknya setelah selesai mengecek hasil ikatannya. Pria itu membiarkan jok di sebelahnya, yang ditempati Sakura, terbaring seperti itu. Lalu Sakura melihat pria itu mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya.
"Kau terlalu banyak melihat," desis Sasuke sebelum menutup mata Sakura menggunakan sapu tangan itu.
Jadi pria itu tahu.
"Memangnya apa yang kau harapkan dariku?" Tanya Sakura. Suaranya masih tenang. "Tidur nyenyak selama perjalanan? Maaf saja, aku tidak tertarik."
Sakura merasakan embusan napas Sasuke di wajahnya ketika pria itu berbicara. Hal itu membuatnya sadar dengan kedekatan mereka.
"Karena itu hal ini sangat diperlukan."
"Diam kau pria bodoh!" Desis Sakura. "Kau pikir kau akan lolos setelah melakukan hal ini padaku?"
"Jadi akhirnya kau menunjukkan sifat aslimu." Sasuke menggenggam rahang Sakura dengan satu tangan dan mengangkat wajah gadis itu sedikit lebih keras, lebih seperti gertakan. "Kau manipulator berbahaya. Kau pikir aku tak tahu apa yang sudah kau lakukan padaku? Syukurlah karena kau hanyalah gadis jahat yang selalu menggunakan pesonamu untuk mendapatkan apapun yang kau inginkan."
Jengkel hanyalah satu dari sekian perasaan yang Sakura rasakan sekarang. Dengan mata tertutup rapat karena sapu tangan membuatnya tak bisa melihat ekpresi yang ditampilkan wajah Sasuke saat ini. Ia juga tak bisa menggerakan bagian atas tubuhnya. Hanya kedua kakinya yang bisa bergerak bebas, tapi itu pun tak banyak membantu apa-apa. Itu hanya memberikan sedikit -hanya sedikit sekali kenyamanan, mengingat situasinya sekarang ini.
"Apa kau menginginkan uang tebusan?" Tanya Sakura. "Kurasa aku perlu mengatakan padamu kalau aku bisa memberikan berapa pun yang kau mau asal kau melepaskanku."
Dengusan Sasuke disertai dengan tawa yang mengejek. "Bagaimana jika aku menginginkan seluruh harta yang kalian miliki?"
"Ah, jadi ini bukan tentang uang." Simpul Sakura. "Setidaknya berikan aku satu alasan."
Ya, jika tak bisa mendapat semuanya sekaligus, Sakura berharap ia bisa mendapat sedikit saja penjelasan tentang maksud Sasuke. Jika pria itu seorang penjahat yang memasuki rumah orang lain dengan melompati pagar, Sakura yakin ada alasan kenapa pria itu belum melakukan apapun padanya, kecuali mengikatnya di kursi seperti seorang sandera. Jadi Sakura menyimpulkan bahwa ada yang diinginkan Sasuke darinya.
"Kau hanya berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah."
"Maksudmu kau menginginkan orang lain? Salah satu wanita yang datang di pesta ulang tahunku?" Kesimpulan yang ia buat sendiri anehnya menimbulkan perasaan tak suka di dalam hatinya. Apakah Sasuke sedang menunggu wanita lain di tempat itu? Dan Sakura kebetulan berada di sana lalu melihatnya.
Itu bisa saja terjadi karena hampir secara keseluruhan tamu yang datang di pesta ulang tahunnya adalah orang-orang dari kalangan atas yang kaya raya. Sebagian dari mereka adalah keturunan bangsawan. Mengencani kalangan bawah seperti Sasuke akan mengundang gunjingan yang tak berkesudahan.
Apa mungkin ini semua tentang affair? Well, Sakura tak bisa menerimanya. Enak saja mereka, memadu kasih dan menjadikannya sebagai korban.
"Jika itu yang kau percayai." Sakura merasakan Sasuke menjauh setelah mengatakan hal itu. Suara mesin mobil dinyalakan, sedikit guncangan sebelum mobil melaju dengan lancar. Kecepatan mobil itu dapat Sakura rasakan dengan jelas walau matanya ditutup. Sasuke kembali tak bersuara, dan Sakura kali ini tak memiliki keinginan untuk mengajak pria itu berbicara kembali.
Ia tak tahu berapa lama waktu yang telah mereka habiskan dalam sisa perjalanan itu. Ia telah berhenti menghitung pada angka ke enam ratus delapan puluh dan memperkirakan bahwa mereka telah berkendara lebih dari dua jam.
Oh sialan pria itu. Seluruh tubuhnya terasa kram. Dan lehernya terasa seperti mau patah. Mobil berhenti tak lama setelah itu. Suara pintu yang terbuka lalu tertutup lagi membuat Sakura was-was. Apa mungkin Sasuke akan meninggalkannya seperti ini? Pertanyaannya terjawab setelah pintu di sebelahnya terbuka. Sasuke membuka ikatan di tubuhnya dan melepaskan penutup matanya. Sakura memberi pria itu tatapan terkejamnya, tapi terasa percuma karena Sasuke sama sekali tak menatap matanya.
"Aku akan memuntahimu kalau kau sampai meletakkan tubuhku di bahumu dan menggendongku seperti sekarung beras," ancam Sakura. Kram karena berjam-jam berada di posisi yang sama membuat tubuhnya belum bisa bergerak banyak. Hal itu cukup untuk membuatnya emosional.
Ia lega karena Sasuke akhirnya menggendongnya dengan dua tangan. Pria itu masih tak mengatakan apapun saat melakukannya. Sakura menggunakan waktu-waktu tersebut dengan memerhatikan keadaan sekitar. Mereka sedang berada di sebuah gedung bertingkat. Ia tahu itu karena kini mereka sedang menaiki tangga sempit menuju ke lantai atas.
Ruangan di bawah tadi tampaknya hanya diisi oleh satu mobil yang mereka kendarai tadi. Dan itu adalah jalan keluar satu-satunya, sejauh yang ia lihat. Tangga sempit itu tak terlalu tinggi, mengantar mereka langsung pada satu ruangan luas tanpa sekat, tanpa jendela. Ah, jendelanya terletak di langit-langit. Tertutup semacam kayu tebal yang masih Sakura cari dimana pengontrolnya.
Sasuke mendudukannya di atas tempat tidur tunggal berukuran besar, yang baru Sakura sadari menghadap langsung pada satu-satunya ruangan tertutup di tempat itu. Toilet dan kamar mandi yang menyatu jadi satu. Yah, setidaknya pria itu memikirkannya saat membangun tempat ini, atau membelinya. Apapun itu, ruangan ini ternyata cukup bersih dan bagus. Hanya saja suram dan sama sekali tidak modis.
Dinding-dindingnya tidak dicat, hanya diplaster dengan semen berwarna abu-abu gelap. Di sisi kanan, agak sedikit jauh dari tempat tidur, terdapat home kitchen, lengkap dengan meja makan kecil dan dua tempat duduk. Seberapa keras pun Sakura memikirkannya, ia tak mendapatkan satu bayangan pun mengenai Sasuke yang memasak di tempat itu.
Di sisi kirinya di sebelah tangga, Sakura mendapati lemari dinding tanpa pintu. Sedikit meringis saat mendapati dua warna memenuhi lemari itu. Hitam dan abu-abu tua. Baru kali ini Sakura melihat orang yang sangat konsisten hanya memilih dua warna gelap itu di pakaiannya.
Bunyi pintu tertutup menarik perhatiannya.
Ada pintu setelah tangga. Pintu itu menggunakan semacam remot otomatis untuk membuka dan menutupnya. Sialan. Kalau sudah begini akan sulit baginya untuk melarikan diri. Akan lebih baik baginya menghabiskan waktu dengan bertindak seperti orang lain di situasi yang serupa. Terlihat patuh dan kalem. Barangkali Sasuke tak akan mempertimbangkan untuk mengikatnya di tempat tidur misalnya.
"Jadi, seperti ini tempat tinggalmu." Sayang sekali, ia tak bisa menutup mulutnya begitu saja. Tapi kenyataan itu membuatnya tersenyum sendiri. Apalagi ketika ia melihat Sasuke yang sejak tadi diam mengamatinya sedikit mengernyit. "Ternyata lebih baik dari yang aku bayangkan," tambah Sakura.
Sasuke bersedekap dan memiringkan sedikit kepalanya. "Apa yang harus aku lakukan padamu?"
Sakura mengangkat bahu. "Bagaimana kalau kita membuat perjanjian yang baru? Aku akan berjanji padamu tak akan pernah menceritakan sedikit pun hal tentangmu pada orang lain, asal kau melepaskanku."
Satu alis Sasuke terangkat tinggi. "Kau? Berjanji?"
Sakura mengangguk. Senyumannya bertambah lebar. "Aku orang yang menepati janji."
"Kau pembohong kecil," kata Sasuke.
"Kau tertipu penampilanku, ya kan?" Sakura berdecak dan ikut bersedekap. "Semua orang tahu penampilan itu bisa menipu. Seperti kau...," Ia memandangi Sasuke dari atas ke bawah. "... yang tampan, misterius dan sangat menarik. Siapa yang tahu apa yang kau lakukan di balik wajah tampan itu. Mungkin kau pernah membunuh orang."
Tatapan mereka bertemu dan Sakura bersumpah melihat mata pria itu berkilat. Apa mungkin ia telah menebak dengan benar? Tapi ia hanya sembarangan mengatakannya. Dari berjuta orang di dunia ini, ia tak mungkin sesial itu. Tak masalah jika Sasuke buruk rupa. Tapi pria itu, oh ya, ini benar-benar tak masuk akal. Ini nyaris membuatnya berteriak, Sasori! Dimana kau? Aku bersumpah akan membakar seluruh mainan robotmu jika kau tak segera datang menjemputku!
Tapi tentu saja, Sasori tak ada di sini. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sakura tahu bahwa ini benar-benar terjadi padanya. Yah, dia melakukan tindakan bodoh dan berakhir dalam situasi bodoh yang sama sekali tak menyenangkan.
Bolehkah ia bernyanyi sekarang? Ia biasanya bernyanyi saat ia tak mau memarahi dirinya sendiri.
"Apa yang sedang kau rencanakan?"
"Diam!" Perintahnya pada Sasuke. "Aku sedang berbicara pada diri sendiri."
Ia kembali menatap pada Sasuke dan mendapati pria itu nyaris terhibur melihatnya frustrasi seperti ini. Setidaknya raut wajah pria itu tak sekaku sebelumnya. Mungkin Sasuke tak benar-benar kejam. Mungkin pria itu hanya menakut-nakutinya tadi. Jika Sasuke benar-benar membunuh orang maka tak sulit bagi pria itu untuk membunuhnya.
Ya Tuhan, ada yang salah dengan otaknya. Ia tak mungkin memikirkan pembunuhan dengan perasaan seperti ini. Nyaris tenang. Seolah-olah ia tahu bahwa Sasuke tak akan membunuhnya.
00000
Gadis itu belum tahu benar betapa berbahaya posisinya saat ini.
Sepertinya Sakura terbiasa menganggap semua hal sebagai lelucon. Atau gadis itu pandai menutupi ketakutannya dengan berbicara dan bergumam secara terus-menerus. Yang mana pun, hasilnya tetap sama. Sepertinya Sakura lebih baik menggigit lidahnya sendiri daripada mengaku bahwa ia telah membuat kesalahan. Gadis manja itu secara sengaja telah menempatkan dirinya sendiri pada situasi yang buruk. Dan yang lebih buruk, gadis itu belum bisa melihatnya dengan jelas.
Gadis itu terus-terusan mengamatinya dan Sasuke menahan diri untuk tak mengulurkan tangannya dan menyentuh kelopak mata yang membingkai mata indah itu. Beberapa kali ia nyaris menutup mulut gadis itu dengan bibirnya sendiri, melumatnya, sampai celotehan gadis itu berubah menjadi desahan seperti yang ia inginkan.
Gadis itu cerewet sekali. Orang paling cerewet yang pernah ia temui. Bahkan walau ia tak pernah menghabiskan banyak waktu dengan orang lain, ia tahu tak ada orang seperti Sakura yang masih bisa membuatnya melupakan banyak hal dan kehilangan fokus seperti ini.
Bahkan, Sakura berani memerintahnya. Tak ada orang yang pernah menggertaknya dan tetap hidup. Tapi Sasuke mengakui, bahwa tak ada gadis cantik yang pernah menggertaknya, benar-benar memerintahnya untuk melakukan sesuatu hal selain memuaskan kebutuhan seksual mereka secepatnya. Para wanita biasanya meninggikan suara padanya ketika ia menunda-nunda kepuasan mereka di atas ranjang. Dan Sasuke akan dengan senang hati menuruti mereka, lalu melupakannya begitu saja. Satu wanita hanya untuk satu malam. Ia bisa mendapatkan wanita seperti itu dimana pun ketika ia butuh. Hanya ketika ia butuh.
Dan ia membutuhkannya sekarang. Tapi yang ada di hadapannya kini hanyalah seorang gadis cantik yang tak boleh ia sentuh. Tidak, jika ia ingin ini semua berjalan lancar. Seseorang seperti Sakura akan menginginkan hatinya. Hati yang tak pernah ia miliki. Menyentuh gadis itu hanya akan membuat semuanya bertambah rumit dan ia tak menginginkannya.
Ia butuh ketenangan mengagumkan gadis itu, juga mendengar celotehannya. Walau ia berat mengakuinya, ia butuh melihat senyuman gadis itu lebih lama lagi. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya merasa nyaman bersama orang lain. Hanya sebentar saja. Untuk saat ini saja.
***
Chapter. 5
A Talkative Hostage
Pesta ulang tahun adalah salah satu hal yang harus diselenggarakan secara besar-besaran oleh para keluarga kalangan atas dimana pun mereka bertempat tinggal. Haruno berada di daftar puncak para miliyarder di negeri ini.
Mereka mungkin tak memiliki darah bangsawan. Tapi semua itu tak lagi penting mengingat mereka sangat kaya. Karena itulah pesta dari adik perempuan satu-satunya harus diselenggarakan secara eksklusif dan mewah. Menunjukan dengan jelas betapa kayanya mereka.
Tapi seberapa penting pun kekayaan itu tak berarti lagi disaat salah satu anggota keluarga mereka tak ditemukan dimana pun di kediaman mewah mereka. Apalagi jika yang menghilang adalah Sang Pemeran Utama malam ini.
Pesta akhirnya dibubarkan lebih cepat dari seharusnya tanpa penjelasan berarti. Para tamu dipulangkan dengan berbagai persepsi di kepala mereka masing-masing.
Haruno Sasori, setelahnya tak henti memberikan perintah-perintah tegas kepada para detektif swasta sewaan keluarganya, juga meminta bantuan dari para rekan-rekannya yang sama-sama berprofesi sebagai detektif negeri, tanpa membuat keributan. Ia sudah berhenti mencoba menghubungi nomor adik perempuannya karena sudah jelas bahwa itu tak akan lagi berguna. Suara terbanting yang ia dengar sebelum panggilannya dan Sakura terputus sudah cukup membuktikan bahwa adik perempuannya itu sedang berada dalam bahaya.
Berhadapan dengan jendela besar, Yamato, anak laki-laki pertama dari keturunan Haruno, sekaligus pemegang resmi seluruh tumpuk kekuasaan keluarga, tampak sedang serius menelepon seseorang, atau banyak orang. Raut wajahnya terlihat tegas sekaligus lelah. Ia tak menyangka bahwa Sakura yang baru beberapa menit sebelumnya ia lihat tiba-tiba saja menghilang tanpa meninggalkan catatan atau pesan apapun. Tak ada satu pun dari pelayan melihat kepergiannya. Dan ini sudah satu jam setelah mereka sadar bahwa Sakura tak berada di kamarnya. Tak tahu sudah berapa lama sejak Sakura tak berada di sana.
Dari kesimpulan yang dibuat oleh para detektif, kemungkinan besar Sakura diculik. Beberapa kamera pengawas terbukti dimanipulasi. Tapi belum ditemukan hal lain yang mungkin berkaitan dengan Si Penculik. Ketika itu, terlalu banyak orang dan kendaraan sehingga keamanan lebih difokuskan pada beberapa titik di gerbang utama. Walau begitu kamera pengawas ada dimana-mana, yang ternyata sama sekali tak membantu kali ini. Dan pagar tembok cukup tinggi untuk dilompati, kecuali di beberapa tempat yang sedang dipugar, yang dicurigai sebagai jalan orang itu masuk.
Para tamu yang bisa memasuki kediaman Haruno hanyalah orang-orang yang memiliki undangan resmi. Pesta itu sendiri sebenarnya sangat tertutup. Jadi orang yang –kemungkinan– membawa Sakura adalah orang yang sangat profesional. Dan sudah pasti berbahaya.
"Aku ingin kau mengerahkan seluruh anak buahmu dalam pencarian ini," perintah Yamato pada orang yang sedang ia telepon. "Aku tak peduli bahkan jika kau harus membalik negara ini, kau harus menemukannya."
Ia memutus panggilan seraya berbalik dan menatap pada kedua adik lelakinya yang sama-sama terlihat khawatir seperti dirinya. Tapi Uizaki, adik keduanya, terlihat yang paling tenang di antara mereka. Tak mengherankan, karena Uizaki selalu menjadi yang paling tenang dan sulit ditebak. Juga biasanya selalu memiliki pendapat yang sangat berguna dalam setiap masalah.
"Aku kira ada yang sedikit aneh di sini," kata Uizaki seraya menempatkan dirinya di sofa tunggal di ruang kerja Yamato. Perkataannya mengundang tatapan ingin tahu Sasori yang sejak tadi mondar-mandir dan beberapa kali hampir ikut dalam pencarian jika Yamato tak melarang. Hal yang perlu mereka lakukan sekarang adalah berkumpul, berbicara dengan tenang, berpikir. Jika mereka ikut dalam pencarian maka mereka akan melakukannya bersama-sama.
Mereka semua berharap bahwa tujuan Si Penculik adalah uang. Karena mereka akan dengan senang hati memberikannya asal adik mereka dapat kembali tanpa kurang satu apapun.
"Yang aneh adalah kau masih dapat duduk dengan tenang sementara adik kita tak tahu bagaimana keadaannya," sindir Sasori. Tatapan Sasori beralih pada Yamato. "Aku sudah bilang padamu aku ingin ikut dalam pencarian. Duduk di sini dan menunggu nyaris membuatku gila!"
"Coba kau pikirkan," sahut Uizaki dengan suaranya yang setengah merenung. "Sakura bukan orang yang akan dengan mudah diculik. Pasti ada perlawanan atau minimal teriakan."
"Dia tak akan berteriak jika seseorang menodongkan senjata padanya." Sasori berkata, dan kembali mondar-mandir. "Sudah kubilang dia seharusnya memiliki pengawal pribadi."
"Kita sudah sepakat kalau ia tak akan setuju," komentar Yamato.
"Inilah kenapa ia harus menikah dengan orang yang bisa melindunginya."
"Sasori, bahkan dengan kita bertiga dan semua pengamanan di rumah ini, dia masih bisa pergi dengan mudah." Uizaki menggeleng tenang.
"Maksudmu dia pergi dengan kemauannya sendiri?" Seru Sasori. "Kurasa kau gila, Man."
Uizaki mengangkat bahu. "Dia membawa seluruh isi tasnya. Dompet dan sebagainya. Dan jangan lupakan piringan hitam di kamarnya. Dia jelas ingin menunjukkan pada semua orang kalau ia sedang ingin tidur."
"Ada kemungkinan kalau Si Penculik yang menyalakan musik," timpal Sasori. "Lalu bagaimana kau menjelaskan dengan panggilan teleponnya dan kamera pengawas yang dimanipulasi?" Balas Sasori tak mau kalah.
"Tak banyak orang yang tahu kalau Sakura perlu mendengarkan musik klasik untuk dapat tidur. Sudah jelas bahwa tak banyak yang tahu kalau kita tahu hal itu dan mengira Sakura sedang ingin tidur ..."
"Hati-hati, brother. Atau aku akan menyimpulkan kalau kau beranggapan adik kita sedang lari dengan seorang pria," potong Sasori, geram. "Sakura lebih berpikiran jernih daripada itu."
"Gentleman..." Yamato menengahi perdebatan itu. Sasori memang senang berdebat dan sedikit emosional. Tapi melihat Uizaki yang biasanya berkepala dingin dan tenang kini membalas ucapan Sasori adalah tanda bahwa mereka semua sedang sangat khawatir. Sakura memang sangat keras kepala dan terkadang sedikit nekat. Perkataan Uizaki memang ada benarnya.
Tapi seperti kata Sasori, bagaimana mereka bisa menjelaskan tentang panggilan telepon itu sebelum nomor Sakura benar-benar tak bisa dihubungi lagi? Dan bagaimana dengan kamera pengawas?
00000
Sakura tak akan pernah membiarkan seseorang mengabaikannya dan melakukan aktifitas lain sementara ia merasa sangat bosan. Tak ada televisi di rumah ini. Juga tak ada sambungan internet. Jika Sasuke orang yang sangat suka menyembunyikan diri, maka sudah pasti pria itu akan menggunakan kartu prabayar sekali pakai yang akan langsung dibuang begitu kuota habis. Sakura rasa memang itu yang dilakukan Sasuke selama ini.
Pria yang terlihat menyibukkan diri di depan laptop hitam –yang pria itu ambil dari bawah meja makan –itu tampaknya memutuskan untuk menjaga jarak dan lebih memilih duduk di depan meja makan ketimbang harus berdekatan dengan Sakura. Hal itu tak buruk juga mengingat kedekatan mereka menimbulkan sesuatu yang tak diinginkan di antara mereka.
Tapi Sakura bosan.
Ponselnya, satu-satunya benda yang akan bisa diandalkan di situasi seperti ini, sudah dihancurkan oleh pria itu. Mengingat hal itu kembali membuat Sakura memberi tatapan jengkel lagi pada Sasuke. Pria itu bahkan tak pernah meminta maaf padanya.
Sakura berdiri dari ranjang yang telah ia tempati sejak tadi. Ia membenahi bagian bawah pakaiannya sambil menggerutu dan mengerling pada Sasuke. Gaun yang ia kenakan di balik jaketnya memang indah. Tapi tak pernah dirancang untuk dikenakan cukup lama, apalagi di tempat tanpa pendingin atau penghangat ruangan. Gaun itu dirancang untuk sesuatu yang serba mewah. Jelas tak cocok untuk sandera penculikan.
Ia diculik, ya kan? Ini tak seperti yang ia bayangkan. Ia bahkan bisa menyamakan keadaannya sekarang dengan kurungan yang ia dapatkan karena berbuat nakal sewaktu sekolah.
Dulu sekali, Yamato pernah mengurung Sakura di kamar karena ia pernah mengolesi isi tas temannya dengan selai stroberi yang ia bawa dari rumah. Hal itu membuat Yamato dipanggil ke sekolahnya dan harus meminta maaf pada orangtua siswa tersebut. Sakura sendiri lebih baik menggigit lidahnya daripada meminta maaf. Ia bilang ia akan gatal-gatal jika meminta maaf. Yamato mengurungnya di kamar selama dua hari untuk introspeksi diri. Percuma saja, karena Sakura memiliki kebiasaan aneh untuk bersikap menjengkelkan dalam beberapa hal.
"Kau terbiasa berbicara pada diri sendiri." Pernyataan yang diungkapkan dengan nada datar itu memecah bayangan masalalunya. Sakura menatap Sasuke, lalu mengangkat bahu. Jadi pria itu memerhatikannya. Sasuke orang yang sangat teliti, Sakura mencatat di dalam hati.
Ia mendekati pria itu dan mendapati Sasuke menutup laptopnya seketika. Sakura memiliki firasat bahwa apa yang dikerjakan Sasuke sejak tadi ada kaitannya dengan dirinya sendiri. Tapi ia sudah cukup mengenal Sasuke untuk tahu bahwa jika ia menanyakannya maka Sasuke tak akan pernah menjawabnya. Hal itu membuatnya terkejut pada diri sendiri.
Tinggal tunggu waktu saja sampai ia jatuh cinta pada hitungan jam dan memecahkan rekor kisah cinta Romeo dan Juliet. Sakura memutar matanya.
"Kau melakukannya lagi," kata Sasuke.
"Melakukan apa?" Sakura menempati satu-satunya sisa kursi di ruangan itu. "Kau punya dua kursi di depan meja makan," kata Sakura enteng. "Kau membuatku terkejut."
"Berbicara pada diri sendiri," ungkap Sasuke. Butuh waktu bagi Sakura untuk memahami maksud Sasuke.
"Ahh." Sakura mengangguk.
"Dan kursi itu milik orang lain sebelumnya," tambah Sasuke lagi. Pria itu mengamatinya saat mengatakan hal itu. Kilat dingin itu kembali. Sasuke seolah memiliki sesuatu yang kelam di dalam hatinya dan Sakura sungguh ingin tahu apa itu.
"Kau tinggal bersama orang lain sebelumnya?" Tanya Sakura.
Sasuke memandangnya tajam ketika menjawab. "Seorang pengunjung tetap."
Pria itu menatap Sakura seolah Sakura sudah melakukan sebuah kesalahan yang tidak ia ketahui. Sakura kembali mengangguk, lalu memalingkan muka. Ia menelan ludah dan menghela napas. Terkutuklah perasaan takut yang menelusup dalam hatinya. Terkutuklah Sasuke yang terlihat sengaja ingin melihat reaksinya dengan bertindak seperti itu.
"Kau tak ingin bertanya siapa pengunjung itu?" Tanya Sasuke.
"Tidak." Sakura memberanikan diri kembali membalas tatapan pria itu. "Aku terbiasa mengabaikan orang-orang yang tak memiliki kepentingan dalam kehidupanku."
Sasuke berdiri dengan ketenangan yang menggelisahkan. Tatapan pria itu kini dipenuhi oleh kemarahan yang teredam. Ketika ia melangkah mendekat, Sakura memaksa tubuhnya untuk berdiri tapi menahan diri untuk tak melarikan diri. Ia sudah merasakan kekuatan Sasuke sebelumnya. Pria itu bukan orang yang bisa ia lawan secara fisik.
Kedua tangan Sasuke terangkat dan mencengkeram lengan atasnya hingga tubuh Sakura tertarik sedikit ke depan, ke arah Sasuke. Napas Sakura tersentak. Ia yakin cengkeraman Sasuke akan menimbulkan ruam di kedua lengannya nanti.
"Sepertinya seluruh keluarga Haruno memiliki kebiasaan untuk hanya tertarik pada diri mereka sendiri." Kalimat itu diucapkan Sasuke dalam gumaman dingin yang seolah dapat membekukan. Pria itu juga mengguncang tubuh Sakura ketika mengatakannya, membuat Sakura menjadi sedikit berjinjit.
"Kami tak suka ikut campur urusan orang lain," balas Sakura.
Sasuke mendenguskan tawa sinis. "Kau hanya memperhalus kalimatmu. Tapi aku tahu kau tak akan pernah menjadi sebaik malaikat."
"Aku memang bukan malaikat!" Sakura merasakan kemarahannya mulai naik ke permukaan karena Sasuke terus menerus mengguncang tubuhnya. Pria itu terlihat tak tahu harus melakukan apa terhadapnya dan memutuskan bahwa mengguncang tubuhnya adalah hal satu-satunya yang bisa dilakukan.
Sakura tak dapat menerimanya karena ia tak tahu dimana letak kesalahannya. Sakura menepis lengan pria itu dan berhasil melepaskan diri. Ia berbalik dan berjalan menjauh. Lalu jengkel sendiri begitu menyadari bahwa tak ada tempat untuk menghindari Sasuke di rumah ini.
Kecuali kamar mandi.
Ia baru saja akan melangkah ke sana ketika lengannya ditarik dari belakang. Sasuke memaksanya untuk kembali berhadapan dengan pria itu.
"Kau seharusnya mengatakan apa yang sebenarnya kau inginkan dariku!" Bentak Sakura. Ia tak terbiasa membentak. Jadi melakukannya membuat napasnya terengah. "Aku tak tahu dimana letak kesalahanku selain bahwa aku sudah melakukan tindakan bodoh dengan memercayaimu begitu saja!"
"Setidaknya tindakan bodohmu telah menyelamatkan hidupmu," sahut Sasuke dingin.
"Apa maksudmu?"
Sasuke melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Sakura. Kemarahan yang Sakura lihat sebelumnya telah pudar, digantikan kembali dengan sesuatu yang lebih tertutup. Sasuke berjalan ke arah tempat tidur dan menempatkan dirinya di sana. Sedangkan Sakura lebih memilih untuk berdiri di tempat yang sama. Menjaga jarak dari pria itu.
"Aku berpikir untuk membunuhmu."
Perkataan Sasuke mengundang tatapan tak percaya dari Sakura.
"Aku nyaris mematahkan lehermu jika kau tak mengajukan tawaran itu," tambah Sasuke.
"Jadi apakah aku harus memuji diriku sendiri karena bisa diculik alih-alih dibunuh?" Sakura menggeleng tak percaya. Rasa humornya nyaris habis tak bersisa. Ia tak percaya dirinya bisa merasa benar-benar marah dan ingin berteriak. Padahal belum lama lalu ia masih merasa cukup tenang. Ia jadi takut memikirkan ada pribadi lain yang bersembunyi di dalam dirinya. Atau memang Sasuke yang memiliki keahlian mempermainkan emosi orang lain. Pria itu bisa dengan mudah membuatnya marah, juga takut. Dan terlepas dari semuanya, terpesona. Sakura semakin marah saat memikirkannya.
"Kau belum paham dimana posisimu." Perkataan Sasuke kembali menyulut amarahnya.
Sakura berjalan mendekat dan berkacak pinggang di hadapan pria itu. "Memangnya dimana posisiku menurutmu?"
Tatapan pria itu mengarah pada sekujur tubuh Sakura dan mengundang perasaan tak diinginkan itu lagi. Sepanjang kehidupannya, tak jarang Sakura mendapatkan tatapan seperti itu dari para pria. Ia sering mendapatkannya, namun ia tak pernah terbiasa. Sasuke adalah yang terburuk dari semuanya karena mampu membuat ia merasakan sesuatu yang lain. Keinginan untuk disentuh. Bukan sentuhan ringan seperti saat sedang berdansa. Tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih intim.
"Aku ingin tahu apa kau pernah mendapatkan kesulitan karena kebiasaanmu berbicara pada diri sendiri itu." Sasuke menatapnya seperti sebelum-sebelumnya. Lurus dan penuh penilaian. Kilat di mata pria itu kembali tak tertebak. Tapi Sakura tahu bahwa apapun yang membuat Sasuke marah sebelumnya dapat menunggu untuk sementara ini.
"Apa ada yang pernah mengatakan padamu kalau perubahan emosimu itu sangat mengganggu?" Sindir Sakura.
"Aku biasanya tak sejelas ini," jawab Sasuke.
Sakura bersumpah mendengar ironi dalam nada suara pria itu.
"Well, terserah kau sebenarnya," kata Sakura.
"Kau jadi sinis," balas Sasuke. "Apa ini sifatmu yang sebenarnya ataukah si Manipulator yang manis itu?"
"Yang itu, terserah aku," balas Sakura.
Sasuke menaikkan satu alisnya. "Aku merasa sedang berbicara dengan orang berbeda sekarang."
"Kau harus hati-hati," ejek Sakura. "Mungkin ada satu jiwa pembunuh di dalam diriku," tambahnya. Ia tak bisa menahan lidahnya untuk menimpali perkataan pria itu. Emosinya memang naik turun semalaman ini. Sekarang ia tahu kalau bukan hanya wanita hamil saja yang bisa mengalami hal seperti ini. Wanita yang sedang diculik juga bisa merasakannya.
"Boleh aku meminjam salah satu koleksi pakaianmu yang membosankan?" Sakura bertanya. Ini adalah hal yang ingin ia tanyakan sejak tadi. Ia perlu berganti pakaian. Mengingat hanya ada pakaian Sasuke di rumah ini, maka ia tak punya banyak pilihan.
"Pilih mana pun yang kau suka." Sasuke menatap lemari pakaiannya saat mengatakan hal itu. Lalu tatapan itu kembali pada Sakura. "Kau harus puas tanpa pakaian dalam."
Sakura baru menyadarinya dan menatap Sasuke karena itu. "Aku bisa bertahan untuk malam ini," katanya. "Kurasa kita bisa mendapatkannya? Besok?" Nada suaranya jelas menyiratkan bahwa Sasuke akan menyesal jika tak memberikan apa yang ia inginkan. "Boleh aku tahu jam berapa sekarang? Mengingat kau tak memiliki jam dinding."
"Pukul dua dini hari terakhir kali aku melihatnya." Sasuke mengedikkan dagu ke arah laptopnya yang masih berada di meja makan. "Kau harus tidur sekarang."
"Kau memilih kata yang salah," peringat Sakura. Perlahan mendekati lemari pakaian Sasuke dan mulai memilih-milih pakaian yang ingin ia kenakan. "Aku cenderung melakukan sebaliknya jika orang-orang mengharuskanku melakukan sesuatu."
"Kau bisa tidak tidur kalau kau mau," tawar Sasuke.
Sakura menyerah memilih dan menarik yang mana pun yang sedang ia sentuh. Semua pakaian Sasuke tak hanya memiliki dua warna, tapi juga dua model dari merk yang sama. Kemeja lengan panjang dan kausnya sama sekali tak beraksen. Hanya model standar yang bisa ditemukan di toko mana pun.
Sakura curiga Sasuke membeli pakaian itu satu lusin di setiap model. Pria itu bahkan hanya memiliki satu warna untuk celana yang ia kenakan. Hitam, hanya hitam. Sekarang Sakura penasaran warna apa yang pria itu pilih untuk pakaian dalamnya. Satu box besar di bawah segantungan pakaian pria itu membuat tangannya gatal untuk membukanya.
"Tak ada ukuran celana yang lebih kecil?" Sakura bertanya sambil menunjuk susunan celana Sasuke yang terlipat rapi untuk mengalihkan pikirannya dari niat yang bisa membuatnya berada dalam masalah, lagi.
Sasuke masih duduk di tempat yang sama di ujung tempat tidur.
"Aku pikir kau tak memerlukannya," kata pria itu. "Pakaianku akan lebih panjang dari gaun merah mencolok yang kau kenakan di balik jaketmu itu."
Sakura menggerutu seraya berjalan mengentak ke dalam kamar mandi. Ia membanting pintu dari dalam dan semakin menggerutu saat tak mendapati celah sedikit pun untuk melarikan diri melalui kamar mandi itu.
"Dan sekarang aku tahu kenapa ia terlihat tenang sekali."
***
Chapter. 6
First Kiss
Ia menunggu dalam hening dan hanya perlu menyimpan laptopnya ke dalam brankas berkode yang tersembunyi di bawah meja makan. Sebenarnya tak ada apa-apa di dalam benda itu atau di ponsel yang masih berada di dalam sakunya. Ia terbiasa menghapus panggilan atau e-mail masuk. Atau apa saja yang ia cari di jejaring internet berpelindungnya. Jika ada orang yang menemukan rumah ini, orang-orang yang berasal dari dunia yang sama dengan dirinya, maka mereka tak akan mendapatkan apa-apa.
Ia jarang menggunakan laptopnya. Ia biasanya hanya menggunakan ponsel. Tapi malam ini berbeda. Ia membutuhkan benda itu untuk mengalihkan pikirannya dari seorang gadis yang masih tak mengerti juga dimana posisinya.
"Memangnya dimana posisiku menurutmu?" Tanya Sakura tadi. Sasuke hampir saja menjawab bahwa gadis itu seharusnya berada di bawahnya di atas ranjang. Gadis itu seharusnya sedang terengah bukannya mengomel dan mengeluarkan komentar-komentar sinis yang menghibur. Gadis itu seharusnya tidur di ranjangnya tanpa mengenakan sehelai benang pun, bukannya berada di kamar mandi, menggerutu karena harus mengenakan pakaian yang katanya membosankan.
Sasuke berjalan mendekati home kitchen dan membuka lemari es. Ia tak menemukan apapun selain berbotol-botol air mineral dan sebotol whiskey. Tapi ia jarang menenggak alkohol. Minuman itu hanya akan membuatnya kehilangan kewaspadaan. Whiskey ia perlukan saat ia sedang terluka. Tapi sekarang ia tidak. Setidaknya secara fisik. Ia menarik botol kecil berisi air mineral lalu menenggaknya hingga habis. Pintu kamar mandi terbuka seiring dengan tegukannya.
Ia mengamati Sakura yang berjalan ke tempat tidur untuk melipat gaun yang sejak tadi tersembunyi di balik jaketnya. Gadis itu juga melipat jaket itu setelah sebelumya mengeluarkan tas tangan kecilnya dari saku. Sasuke sedikit mengernyit ketika Sakura meletakkan pakaiannya di tempat kosong di lemari, bersebelahan dengan pakaiannya yang serba gelap. Warna merah terlihat mencolok di tempat itu, memberikan kesan feminin sama halnya dengan aroma rumah ini ketika ia membawa Sakura masuk.
Rumah ini tak pernah dimasuki wanita mana pun. Satu-satunya yang pernah berkunjung hanyalah pamannya yang telah mati. Pemilik salah satu kursi yang tadi ditanyakan oleh Sakura. Sasuke kembali membuka lemari es, mengambil botol lainnya, lalu menyerahkan botol tersebut pada gadis itu. Sakura menerimanya dengan cepat, tapi mengernyit setelahnya.
"Kurasa kau tak punya gelas?"
Sasuke menggeleng. "Maaf mengecewakanmu." Ia melirik pada tas tangan Sakura yang berada di atas tempat tidur ketika gadis itu menenggak minumannya.
"Gunakan saja tempat tidurmu," kata Sakura. Air mineral di dalam botol sudah habis sepenuhnya. Sepertinya gadis itu sudah kehausan sejak tadi tapi tak berniat mengatakannya. Sangat mengherankan mengingat Sakura suka sekali membicarakan semua hal.
"Kurasa aku tak akan bisa tidur malam ini," tambah Sakura. Padahal gadis itu terlihat sangat lelah. "Aku terbiasa mendengarkan musik klasik sebelum tidur dan kurasa kau tak memilikinya."
"Tidak, aku tak punya," aku Sasuke. "Tapi aku bisa mendownloadnya malam ini juga."
"Oh tidak tidak!" Sakura mengangkat bahu. "Aku tak mau merepotkanmu."
Sasuke memerhatikan Sakura, curiga kalau gadis itu akan mulai merencanakan sesuatu lagi. Sakura adalah orang yang paling sulit ditebak yang pernah ia kenal. Sikap gadis itu berubah-ubah hingga sulit ditentukan yang mana yang sebenarnya. Di satu sisi, Sakura terlihat benar-benar tenang dan sepatuh anak anjing. Di sisi lain, gadis itu terlihat akan memberontak sewaktu-waktu. Selain sulit ditebak, Sasuke menyadari bahwa Sakura sangat licik. Tapi setidaknya gadis itu tak tersenyum sekarang.
Karena senyumannya adalah hal yang paling berbahaya bagi mereka berdua.
Sasuke menarik tangan Sakura hingga gadis itu terpaksa mengikutinya duduk di atas tempat tidur. Botol air mineral yang tadi masih digenggam Sakura ia ambil dan ia letakkan di lantai di sebelah tempat tidur.
"Tidur, Sakura," perintahnya. "Atau aku tak akan membiarkanmu memiliki pakaian dalam baru," tambahnya ketika gadis itu terlihat ingin membantah. Mulut Sakura terkatup rapat. Sasuke dapat melihat pemberontakan terselubung di kilat mata gadis itu. Tapi sepertinya gadis itu bahkan lebih cerdas dari kelihatannya karena memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan menarik selimut sambil membaringkan tubuhnya.
"Selamat tidur, Sasuke," ketus Sakura.
Sasuke menatap gadis yang sedang memejamkan mata itu. "Selamat tidur," gumamnya
Sepertinya memang butuh waktu lama bagi Sakura untuk dapat benar-benar tertidur. Gadis itu bergerak-gerak gelisah beberapa kali, lebih sering lagi menggerutu. Hari sudah hampir pagi ketika akhirnya napas Sakura terdengar teratur pertanda kalau ia tertidur pulas. Mulut dan mata gadis itu sedikit terbuka ketika tertidur, membuat Sasuke takjub karena ia tak pernah berada cukup lama di ranjang yang sama dengan wanita yang menghabiskan malam panas bersamanya. Ia terbiasa langsung pergi setelah bercinta setelah sebelumnya meninggalkan bayaran yang tak sedikit.
Tapi malam ini kebalikannya. Ia membawa seorang nona kaya ke tempat pribadinya, melihat gadis itu tertidur tanpa sama sekali menyentuhnya. Jika bukan karena celananya yang terasa menyempit ia pasti akan berpikir kalau ia telah kehilangan kemampuannya sebagai lelaki.
Ia hampir menertawakan dirinya sendiri.
Ia masih memandangi sakura yang tertidur pulas ketika matanya kembali pada tas tangan yang masih tergeletak di atas tempat tidur. Ia mengambil benda itu tanpa ragu, memasukkannya ke dalam brankas yang sama dengan tempat laptopnya berada. Gadis itu tak memerlukan benda itu saat bersamanya. Lagipula Sasuke tak mau mengambil risiko Sakura memegang uang dan membeli ponsel baru. Tak memegang uang akan membuat gadis itu tergantung padanya.
Hari mulai terang dan Sasuke sama sekali tak mengantuk. Ia terbiasa tidur di siang hari, sepanjang hari, sebelum mengambil pekerjaan di malam hari. Tapi beberapa bulan ini ia memutuskan untuk tak mengambil pekerjaan apapun dan lebih memfokuskan diri pada rencananya untuk membunuh Sasori. Ini akan mudah jika saja Sasori tak begitu berhati-hati, juga terlatih. Orang yang sehari-hari menghadapi kasus kriminal seperti Sasori memang sulit untuk dicari kelemahannya.
Tapi Sasuke mendapatkan hal itu. Kelemahan Sasori adalah keluarganya.
Hampir tengah hari, ketika Sakura membuka matanya dan melompat berdiri di tempat tidur. Sasuke sudah memesan makanan cepat saji yang baru saja sampai beserta seperangkat alat mandi baru. Ia terbiasa meminta pengantar makanan langganannya untuk membelikan hal-hal kecil lain yang ia butuhkan dengan imbalan tambahan yang banyak. Asal orang-orang tak mencaritahu hal-hal tentangnya terlalu dalam, maka ia hanya akan dikenal sebagai orang misterius yang dermawan.
"Selamat pagi," sapanya pada Sakura yang sedang menghela napas.
Gadis itu melompat dari tempat tidur, seolah-olah meyakinkan diri bahwa ia tak sedang bermimpi.
"Jadi aku tak bermimpi." Helaan napas lagi. "Aku memang sudah melakukan hal yang bodoh."
"Aku sudah menyiapkan peralatan mandi baru untukmu," sahut Sasuke.
"Oh, baik sekali kau," sindir Sakura seraya berjalan ke kamar mandi. "Aku heran kenapa kau tak menyiapkan pakaian dalam baru untukku."
Sasuke tak mencoba menjawabnya. Karena selain pintu kamar mandi sudah dibanting dari dalam, alasan lainnya adalah sesuatu yang tak mau ia pikirkan.
Mereka menghabiskan sarapan mereka, atau makan siang, dengan pikiran yang menjalar kemana-mana. Yang pasti Sakura terlihat sedikit pendiam sesiangan itu. Tepat pukul dua siang mereka memutuskan untuk keluar rumah. Sakura mengenakan kemeja hitam Sasuke yang lain dan melampisinya dengan jaketnya sendiri. Rambut mencolok gadis itu ditutupi hoodie dan wajahnya terlindung oleh masker hitam. Siapa pun yang melihat Sakura di jalan nanti akan mengira kalau Sakura adalah seorang selebritis yang sedang menyamar.
Itu bukan masalah besar sebenarnya. Yang aneh adalah kenyataan bahwa Sakura sama sekali tak membantahnya. Gadis itu hanya terlihat keberatan disaat Sasuke menutup matanya dengan sapu tangan seperti tadi malam, tapi pada akhirnya menurutinya juga.
Mereka sudah sampai di pusat perbelanjaan ketika Sasuke menahan Sakura untuk tak langsung keluar dari mobil.
"Kukatakan padamu, Sakura." Sasuke memberikan Sakura tatapan memperingatkan. "Aku akan terus berbaik hati padamu asalkan kau tak mencoba melarikan diri dariku."
Mata Sakura menyipit. "Kau berharap terlalu banyak." Suara gadis itu penuh dengan nada mengejek.
Sasuke mengangkat bahu. "Oke, coba saja," katanya enteng. "Kusarankan kau untuk bersembunyi dengan baik saat melarikan diri dariku." Ia mendekatkan wajahnya pada Sakura. "Atau aku akan mengikatmu di tempat tidur begitu aku mendapatkanmu lagi."
Sasuke puas mendapati mata Sakura yang melebar kaget. Mereka keluar dari mobil dan berjalan beriringan untuk membaur dengan keramaian. Satu lengan Sasuke melingkar di bagian belakang pinggang Sakura dan terus bertahan di sana. Di toko pertama yang mereka kunjungi, Sakura terlihat baru sadar bahwa ia tak membawa dompetnya.
"Aku tak membawa dompetku!" serunya.
"Sayang sekali," sahut Sasuke tanpa penyesalan. "Aku akan membayar apapun yang kau perlukan. Perlukan, bukan yang kau inginkan," tambahnya. Pada akhirnya Sakura harus rela jika tak ingin dikatakan terpaksa hanya mendapatkan setengah lusin pasang pakaian dalam baru, dua jeans panjang hitam, serta dua stel pakaian santai berwarna biru dongker dan hijau tua. Sasuke hanya memperbolehkan Sakura membeli pakaian berwarna gelap. Sakura harus menurut padanya daripada ia berubah pikiran dan tak membelikan apa-apa. Begitu isi ancamannya.
Mereka baru saja akan kembali ke tempat mobil mereka diparkir ketika Sasuke merasakan seseorang mengikuti mereka.
"Sakura, kau ingin membeli pakaian lagi 'kan?"
Sakura mengangguk sekali. Terlalu jengkel untuk mengajak Sasuke berbicara.
"Pilih apapun yang kau mau di toko itu." Sasuke menunjuk salah satu toko pakaian wanita. "Aku ada keperluan sebentar," tambahnya. "Dan ingat apa yang kukatakan tentang kau yang mencoba melarikan diri." Ia memberikan bungkusan belanjaan Sakura yang tadi ia pegang pada gadis itu, menunggu Sakura memasuki toko yang ia tunjuk, sebelum ia berjalan menjauh dari hiruk pikuk tempat itu.
Orang-orang itu memang mengikutinya. Jumlahnya empat, ah lima dan syukurnya tak ada yang merasa perlu mengikuti Sakura. Sasuke menghentikan langkahnya di jalan buntu yang berada di antara dua gedung tinggi. Tempat yang sudah pasti akan dihindari orang-orang pada umumnya.
Sasuke tak pernah membunuh orang di siang hari, dalam jarak dekat, di tempat yang sewaktu-waktu dilewati orang lain walau pun ia meragukannya. Tapi orang-orang ini jelas tahu siapa dia. Itu artinya ia perlu menanyakan bagaimana cara mereka bisa mengenalinya. Orang-orang ini terlihat sangat percaya diri karena jumlah mereka yang lebih banyak. Yah, mereka tak seharusnya melakukan itu. Terlalu percaya diri akan merugikan diri mereka sendiri.
Pertarungan di dunia gelap tak pernah dilakukan dengan adil. Karena itulah Sasuke tak terkejut ketika mereka semua maju dalam waktu bersamaan. Ia memiliki pisau kecil yang selalu ia bawa dan letakkan di sela sepatunya. Dan ia menggunakan benda tajam itu untuk melukai salah satu dari para penyerangnya, tepat di pembuluh darah yang ada di leher. Orang kedua tumbang hanya beberapa detik setelah yang pertama. Mereka berdua menggelepar, lalu mati.
Tiga orang yang tersisa terlalu kaget. Sepertinya tak menyangka bahwa Sasuke akan bergerak secepat itu.
"Bos benar." Salah satu yang berambut berwarna-warni mendesis. "Dia kuat banget!" Aksen di suaranya terdengar kental dan familiar. Persis seperti orang yang pernah Sasuke kenal dulu.
"Kita seharusnya tak menyerang dari jarak dekat," kata yang di tengah sambil meludah. "Sesuai perintah bos."
"Ah persetan!" Umpat yang paling kanan. Wajahnya terlihat paling congkak dari yang lainnya. "Yang penting kita membunuhnya dan membawa kepalanya pada bos."
Bos. Sasuke menjadi penasaran pada bos yang mereka maksud. Sekali lagi mereka maju serentak dan dua orang lagi tumbang dalam waktu yang hampir bersaman. Tinggal satu, si Congkak yang tampak sedikit gentar sebelum maju menyerang. Sasuke akui bahwa yang satu ini cukup kuat dan lincah. Beberapa kali kepalan tangannya hampir mengenai dagu Sasuke, walau berhasil ia tepis. Pada akhirnya orang itu berlutut di tanah dengan satu lengan yang Sasuke tekuk ke belakang.
"Siapa bos?" Tanya Sasuke. Bunyi tulang patah terdengar seiring teriakan keras. "Siapa bos?" ulang Sasuke.
"Kau akan tetap membunuhku bahkan jika aku menyebutkan namanya," kata si Congkak. Suaranya terengah-engah. Wajahnya memucat dengan keringat dingin yang terus mengalir.
Satu tekukan lagi dan teriakan lainnya. "Setidaknya aku akan melakukannya dengan cepat jika kau mengatakannya." Suara Sasuke terdengar dingin, kelam. Penuh dengan ancaman yang tak diragukan lagi akan dilakukannya tanpa berkedip.
"Tapi jika kau mau tetap bertahan pada situasi ini, aku akan memastikan kalau kau akan merasakan setiap sayatan," desis Sasuke. "Ada alasan kenapa orang yang kau panggil bos memerintahkanmu untuk membunuhku dari jarak jauh. Karena jika kau tertangkap olehku." Sasuke menggores lengan kiri atas pria itu untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar akan melaksanakan ancamannya. "Aku akan mengulitimu, menggores setiap kulit di tubuhmu, tapi tak membunuhmu. Belum, sampai kau berbicara."
"Hidan," kata si Congkak putus-putus. Cukup satu kata itu dan Sasuke mengakhiri segalanya. Ia mengeluarkan sapu tangannya dari saku celana, mengelap pisau kecilnya, lalu memasukkannya kembali ke celah sepatunya. Tak ada percikan darah yang mengenainya selain telapak tangannya yang langsung ia bersihkan dengan sapu tangan yang sama. Sapu tangan yang ia gunakan untuk menutup mata Sakura sebelumnya.
Ia tak mendapati Sakura di tempat ia meninggalkan gadis itu tadi. Sudah ia duga bahwa Sakura akan melarikan diri darinya. Penjaga toko mengatakan bahwa gadis yang berciri-ciri seperti yang ia sebutkan sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sasuke tak tahan untuk tak tersenyum ketika tahu bahwa Sakura bahkan tak berusaha untuk meminjam ponsel dari sang Penjaga toko. Gadis itu pasti kebingungan karena tak memegang uang sepeser pun.
Sasuke mengelilingi tempat itu. Yakin kalau Sakura pasti belum pergi sangat jauh. Ia bergabung dengan pejalan kaki dan tak merasa kesulitan melihat sekitarnya karena ia lebih tinggi dari kebanyakkan orang. Lagipula tak sulit menemukan orang yang berpenampilan seperti Sakura. Seringaiannya muncul mendapati orang yang sedang ia cari berjalan tak jauh di depannya. Cukup sulit untuk mengejarnya karena ini adalah waktu sibuk dan setiap orang ingin lebih cepat dari yang lainnya.
Sakura bahkan tak berusaha meminta tolong pada orang-orang di jalanan. Ada apa dengan Sakura dan sikapnya yang eksentrik? Gadis itu juga tak bisa dikatakan bodoh.
"Kita berjumpa lagi." Sakura tersentak kaget ketika Sasuke berbisik di telinganya dengan lengan yang sudah melingkar di pinggang gadis itu.
"Kau terlalu lama," cicit Sakura gugup. "Kukira kau meninggalkanku."
Sasuke sengaja meremas pinggang Sakura, menarik tubuh gadis itu hingga menempel padanya dari samping. Dari sudut pandang yang melihat mereka seperti sedang berjalan sambil berangkulan.
"Kenapa kau tak mendengarkanku?" Tanya Sasuke, lagi. Ia masih berbicara di dekat telinga Sakura.
"Kubilang kau terlalu lama," desis Sakura. "Darimana saja kau?"
"Aku baru saja membunuh orang-orang."
Sakura mendengus. "Kalau kau membunuh orang-orang, sir. Ada baiknya kau menghilangkan jejak terlebih dahulu sebelum berkeliling mencari sanderamu yang melarikan diri," ujarnya sinis. "Kau pikir aku bodoh?"
"Ya, kau sangat bodoh." Sasuke menurunkan masker Sakura dan menempelkan bibir mereka. Tubuh gadis itu menegang dalam dekapannya. Sasuke juga tak menyangka bahwa ia bisa kehilangan kendali di tempat umum seperti ini. Tapi ia tak bisa menahannya lagi. Ia menekan kepala Sakura ke arahnya, memaksa gadis itu membuka mulut untuknya. Sakura tak bisa melakukan apa-apa selain menuruti keinginannya.
Gadis ini terlalu manis. Terlalu lembut untuknya. Terlalu tak berpengalaman. Sasuke melumat bibir Sakura lagi dan lagi. Merasa tak akan pernah puas mencecap rasa manis memabukkan itu. Ia akan melupakan semuanya. Sementara ini, ia akan melupakan semuanya asal bisa merasakan kehangatan ini lebih lama lagi.
Tapi ia terpaksa mengakhirinya karena orang-orang pasti sudah mulai memerhatikan. Sasuke memasang kembali masker Sakura dan menarik gadis itu untuk kembali melangkah.
"Kita akan tinggal di tempat lain untuk sementara waktu," Sasuke masih berbisik di telinga Sakura, yang dibalas oleh tatapan bingung gadis itu.
"Kuharap kau masih ingat apa yang sudah kukatakan jika kau mencoba kabur dariku?" Mata Sakura melebar seketika. "Ya, Sakura. Aku orang yang memegang teguh omonganku."
***
Chapter. 7
Not a Pleasant Experience
"Wow, jadi akhirnya kau membawaku ke tempat seperti ini." Sakura mengitari pandangannya ke sekeliling ruangan sambil mengernyit. Tempat baru ini terlihat muram dan murahan. Kecil hingga hanya bisa menampung satu tempat tidur ukuran sedang, setengah dari ukuran tempat tidur di rumahnya dan satu lemari dorong yang terlihat akan hancur sewaktu-waktu.
Temboknya berwarna hijau kusam dengan bilur-bilur kecokelatan di bagian bawah yang menunjukan kelembaban ruangan. Plafon yang kemungkinan besar tadinya berwarna putih terlihat kekuningan dan mengalami kerusakan di beberapa tempat yang ditutupi, memberikan pemandangan yang menyedihkan dari usaha perbaikan tanpa modal.
Tak ada jendela di ruangan itu, hingga udara yang tak sehat dan bau menyengat aneh berputar-putar dan tak berubah. Bau itu mengingatkan Sakura akan susu yang gagal difermentasi. Ia mengigit bibirnya, berhati-hati untuk tak berdiri terlalu dekat dengan tembok. Perasaannya memang sudah tak enak ketika Sasuke tak memaksanya menutup mata selama perjalanan tadi. Perjalanan menunggu malam datang, kata Sasuke tadi.
Perasaannya semakin tak enak saat mobil pria itu berhenti di depan sebuah bangunan dua tingkat yang serupa tempat pelacuran. Bukan berarti ia pernah mengunjungi tempat pelacuran. Tapi hanya itu yang bisa ia pikirkan ketika melihat beberapa pasang tamu berpenampilan norak dan setengah mabuk di lobi, memberikan tontonan erotis menjijikan dengan tangan yang terus bergerak di tubuh pasangannya.
Sakura tak menyangka akan mendapati dan berada langsung di tempat yang tak pernah ia bayangkan ada di Konoha. Dan sekarang ia bahkan berada di dalam salah satu kamar bangunan itu bersama pria yang baru dua hari ia kenal. Resepsionis -jika masih bisa disebut resepsionis, mengingat wanita berambut pelangi itu menghabiskan lebih banyak waktu mengerling dan menggerak-gerakan payudara besarnya yang hanya ditutupi tanktop tanpa bra. Wanita itu terlihat sekali berusaha keras untuk menggoda Sasuke yang tetap bergeming, lalu perhatiannya beralih pada Sakura yang juga bergeming dengan wajah dan kepala yang hampir tertutupi sepenuhnya.
"Mata yang indah," komentar wanita itu tadi. "Hijau yang jernih dan besar."
Sakura menggeleng dan mengabaikan perasaan terhina saat wanita itu lagi-lagi mengerling pada Sasuke, memberikan makna tersirat yang tak mungkin disalah artikan oleh siapa pun.
"Dia menganggapku sama seperti wanita lain yang dibawa pria-pria di lobi tadi," kata Sakura tak terima. Ia sudah cukup lelah berdiri tapi tak bisa memaksa dirinya untuk menduduki tempat tidur beralas kain kusam dan penuh dengan bercak-bercak yang tak ingin ia ketahui berasal dari apa. Jadi ia hanya meletakkan tas karton berisi barang belanjaannya di sebelah lemari. Ia bersyukur karena telah memutuskan untuk berganti pakaian di toilet umum pusat perbelanjaan saat makan malam sebelumnya.
Sasuke yang masih berdiri di dekat pintu yang tertutup menggeleng sekali. "Sebaliknya, kurasa ia kira kau hanyalah anak orang kaya yang suka bermain-main dan ia memang benar."
Sakura tersenyum miring. "Penjelasanmu tak membuat perasaanku lebih baik," ujarnya dengan nada ringan.
"Aku memang tak berencana menghiburmu," balas Sasuke. "Tidak dengan kata-kata."
Sakura mundur satu langkah. Tatapan Sasuke terlihat biasa saja. Tapi Sakura tahu makna yang terkandung di dalamnya lebih dari itu. Sasuke sudah menunjukkan awalnya tadi. Pria itu bisa menjadi tanpa segan dan bertindak seenak hatinya tanpa kenal tempat. Bagaimana pun Sakura perlu menyadarkan pria itu agar tak sembarangan memperlakukannya.
"Sekali lagi kau menyentuhku, sir, kau akan mendapati aku yang lebih menyulitkan dari sekarang," ancam Sakura.
Tubuh Sakura bergetar ketika tatapan Sasuke turun ke bibirnya. "Tak ada ancaman Sakura," kata Sasuke. Pria itu kembali menatap lurus ke matanya. "Kau tak ingin tahu apa yang terjadi dengan orang-orang yang pernah mencoba mengancamku."
Sakura menghela napas dan mengangkat bahu. Bau yang tercium di sekelilingnya semakin tajam dan membuat perutnya mual. Ia tak mungkin bisa menghabiskan lebih banyak waktu di ruangan ini tanpa mengeluarkan makan malamnya di toilet kecil yang tak berani ia periksa. Ia juga tak berani berasumsi, apalagi berharap. Ini jadi semakin buruk setiap detiknya.
"Apa kita akan ...?"
"Ya, kita akan menginap di sini," potong Sasuke seraya menempatkan diri di ujung tempat tidur beranjang besi karatan itu.
"Apa pendapatku diperlukan di sini?" Tanya Sakura jengkel.
Sasuke terdiam sejenak. "Tidak, sebenarnya."
Jika ada orang yang pernah benar-benar membuat Sakura marah, maka Sasori akan menempati urutan pertama. Sasuke baru saja mengisi kekosongan di tempat kedua. Tapi Sakura tak ingin membuat Sasuke puas dengan marah-marah padahal ia yakin hal itu tak akan terlalu memberikan perubahan apa-apa untuknya. Sakura yakin Sasuke sudah merencanakannya sejak awal. Pria itu sengaja ingin memancing kemarahannya dan bersenang-senang karenanya.
"Apa yang akan terjadi jika aku berteriak?" Tanya Sakura, sekadar memastikan keadaan.
"Tak akan ada yang peduli," jawab Sasuke enteng. Pernyataannya diperkuat dengan suara teriakan dari kamar di sebelah kamar mereka. Teriakan memilukan yang disusul oleh suara cambukan. Lalu dalam beberapa menit suara-suara itu berubah menjadi desah dan engahan yang membuat Sakura merinding.
Ia mematung di tempat. Terakhir kali ia mendengar desahan langsung seperti ini usianya baru beranjak dua belas tahun. Saat itu bahkan lebih parah dari ini. Ia mendengar. Ia melihat. Suara itu, kegiatan itu berasal dari kamar orangtuanya. Kamar yang selalu ditempati oleh ayah dan ibunya. Tapi hari itu yang bersama ibunya bukan ayahnya yang tampan dan selalu tampil sempurna. Pria yang berada di atas ibunya di ranjang bukan ayahnya. Pria itu tak dikenalnya.
Setelah kejadian itu ia tak pernah berbicara dengan ibunya lagi tapi juga tak mengatakan hal itu pada siapa pun. Ia mulai belajar menggunakan senyuman untuk menutupi perasaan dari ibunya. Lalu ia mulai terbiasa melakukannya pada siapa pun. Pada akhirnya satu senyuman terlatih berkembang menjadi sesuatu yang lebih berguna. Ia bukan saja ahli mengendalikan emosinya, tapi juga mampu mengacaukan emosi orang lain. Ia tak pernah mengira bahwa apa yang dilihatnya ketika masih kecil dapat memengaruhi karakternya sedemikian rupa. Ia tak berencana mengubah kenyataan itu dalam waktu dekat.
Masalahnya adalah tanggapannya terhadap aktifitas antara pria dan wanita di atas ranjang. Ia cenderung bersikap defensif terhadap hal itu dan hampir selalu kesulitan menutupinya. Ia bisa bertindak biasa terhadap ciuman ringan, tapi tak bisa untuk jenis yang memiliki tujuan lebih.
Sakura menghela napasnya, lagi. Ia melakukannya lebih banyak saat bersama Sasuke.
"Apakah hal itu akan berlangsung sepanjang malam?" Ia sebenarnya tak benar-benar ingin tahu. Tapi jika ada hal yang harus ia lakukan untuk mengalihkan perhatian dirinya sendiri dari desahan-desahan dan deritan ranjang itu, maka berbicara adalah pilihan terbaik.
"Lupakan saja," katanya lagi. Sekadar untuk mengisi kekosongan yang ditimbulkan oleh Sasuke yang sedang mengamatinya dalam-dalam. "Seharusnya kau bilang padaku kalau kau tak memiliki cukup uang lagi setelah membayar pakaianku tadi. Kita bisa mengambil dompetku di rumahmu dan menggunakan uang pribadiku. Aku rasa uangku -hanya uang, cukup untuk membayar sewa hotel layak selama satu minggu. Tentu saja kita bisa menggunakan kartu kredit untuk membayar langsung, atau atm untuk mendapatkan lebih banyak uang. Dan ..."
"Aku seharusnya mengikatmu di tempat tidur," potong Sasuke.
Mata Sakura melebar. Tapi ia dengan cepat menguasai diri dan memberikan Sasuke senyuman manis. " Eey, kau tak mungkin serius."
Sasuke berdiri dan mendekatinya. Tak butuh sedikit pun usaha bagi pria itu untuk menarik tangannya agar ia mendekat. Sakura memandangi tempat tidur kotor itu, tersentak setelah mendengar teriakan lagi dari kamar sebelah. Senyumannya pudar untuk sementara waktu.
"Setidaknya mintalah petugas kamar membersihkan tempat tidur itu." Ia setengah memohon. "Kau tak ingin aku memuntahimu karena bau busuk lainnya," tambahnya. "Aku mohon."
Sasuke berhenti sejenak. Sakura berdoa di dalam hati semoga Sasuke mau menuruti keinginannya kali ini. Lagipula pria itu juga terlihat jijik dengan kondisi tempat tidur, melihat ia hanya mendudukan dirinya di ujung ranjang tanpa sekali pun menyentuh permukaan kasur dengan tangannya.
Keinginan Sakura terkabul.
Sasuke melepaskannya dan berjalan ke arah pintu. Pria itu keluar sebentar, kembali tak sampai dua menit kemudian bersama dengan pemuda yang tampak belum cukup umur untuk bekerja. Pemuda itu membawakan seprai dan selimut tebal berwarna putih bersih yang seolah terlihat baru dikeluarkan dari bungkusnya. Sakura menempatkan dirinya di sudut dekat lemari, tapi tak menyandar. Ia menunggu dalam diam sementara pemuda belum cukup umur mengganti dan merapikan seprai.
Sasuke memberikan tip besar untuk pemuda itu setelah selesai, yang dibalas dengan seringai kurang ajar dan satu kedipan mata ke arah Sakura.
"Hanya untuk pelanggan dermawan, sir." Pemuda itu membungkuk sekali lalu keluar dari ruangan.
"Tempat tidur sudah siap," kata Sasuke. Pria itu mengangkat satu alis sambil menatap Sakura. Sakura bertaruh Sasuke pasti tertawa keras di dalam hati, kebalikan dari raut wajahnya yang tenang.
Bau ruangan tercium lebih baik setelah seprai diganti.
Sakura kembali memasang senyumannya. "Aku belum mengantuk," katanya ceria. "Bagaimana jika kau saja yang tidur terlebih dahulu?"
Melipat dua lengannya di depan dada, Sasuke menggeleng dengan tatapan memperingatkan. "Kau tak ingin ini menjadi semakin rumit, Sakura. Percayalah."
"Oke oke," ujarnya masam. "Aku akan tidur sekarang juga." Sakura mendekati tempat tidur, melepas topi serta maskernya dan meletakkanya di bawah bantal sebelum berbaring dengan patuh. Ia baru saja akan menarik selimut ketika Sasuke memberikan perintah lain. "Kau tak akan nyaman tidur dengan jaket itu." Sakura melepaskan jaketnya dan membiarkan pria itu menggantungnya di dalam lemari.
Tapi sesuatu yang Sasuke ambil dari benda bobrok itu membuat Sakura mengerang. Ia kembali membaringkan tubuhnya di ujung terjauh dari tembok. Tatapannya mengarah pada benda di tangan pria itu.
"Kau tak perlu bertindak sejauh ini," keluh Sakura. Sasuke meraih lengannya, menyatukannya dan mulai mengikat pergelangannya dengan simpul yang rumit.
"Tali lebih baik daripada borgol," ujar Sasuke enteng. Pria itu mengikatkan ujung tali pada kepala ranjang yang terbuat dari besi. "Kau akan terkejut jika melihat benda apa saja yang ada di lemari bobrok itu."
Sakura tak ingin mengetahuinya, apalagi melihatnya.
"Selamat tidur, Sasuke." Ia memejamkan mata, menahan dirinya agar tak gemetar ketika merasakan Sasuke berbaring di sebelahnya. Ikatan Sasuke memungkinkan tubuhnya untuk berbaring miring, jadi ia melakukannya. Ia sudah membelakangi Sasuke ketika terdengar jeritan lain dari kamar sebelah. Jeritan itu membuat tubuhnya tersentak lagi.
"Tidak apa-apa. Itu hanya jeritan," gumam Sakura pada dirinya sendiri. "Tapi apa mereka tak bisa menunggu sampai aku tertidur? Ya ya, aku tahu mungkin mereka menyukainya sebanyak itu. Tapi tubuh juga membutuhkan istirahat ..."
Satu lengan melingkari perutnya dari belakang. "Berhenti berbicara pada dirimu sendiri, Sakura," bisik Sasuke di telinganya.
"Sudah kubilang jangan lagi menyentuhku sembarangan," desis Sakura.
"Aku tak pernah bilang setuju untuk melakukannya," balas Sasuke ringan. Pria ini benar-benar suka melakukan sesuatu seenaknya.
Sakura menahan napas ketika tubuh yang hangat menempel di punggungnya, disusul selimut yang menutupi tubuhnya. Ia tak bisa menyingkirkan lengan kuat itu dari tubuhnya karena lengannya terikat. Dan lagi jika ia menggeliat atau bergerak sedikit saja, ia takut lengan Sasuke akan bergerak ke atas, atau ke bawah. Jadi ia hanya berbaring diam seperti patung.
"Apa kau harus selalu memperlakukanku seperti ini?"
Sakura mendengar Sasuke mendengus di belakangnya.
"Aku hanya sedang mengalihkan perhatian seorang gadis yang takut dengan hubungan intim," bisik Sasuke.
"Aku tidak takut!" Sakura nyaris berseru. Sasuke tak mungkin tahu. Ini akan menjadi semakin buruk jika pria itu tahu karena tak seorang pun yang tahu masalah itu, termasuk saudara-saudaranya.
"Lagipula," tambah Sakura. "Kalau aku memang takut dengan hubungan intim, kurasa caramu ini tak bisa disebut efektif." Masa bodoh, ujar Sakura di dalam hati, kebalikan dari sanggahannya tadi. Pria itu bisa berpikir semaunya. Sakura hanya akan mengoceh mengoceh dan terus mengoceh. Bahkan walaupun ocehannya terdengar tak masuk akal. Asalkan pikirannya bisa teralihkan dari suara-suara di ruangan sebelah.
"Tidur, Sakura," bisik Sasuke lagi.
Pria ini sama sekali tak pengertian. Tapi Sakura juga tak pernah jadi gadis penurut. Ia masih ingin mengoceh. Masih banyak kalimat yang ingin ia utarakan hanya untuk melihat reaksi Sasuke. Setidaknya Sakura ingin tahu sampai batas mana Sasuke mampu untuk bersikap tenang dan acuh tak acuh.
Sakura sudah melihat kemarahan pria itu kemarin. Sasuke mungkin terlihat seperti tipe orang yang tak kenal segan terhadap apapun. Namun dari apa yang Sakura lihat, pria itu cenderung bisa memaklumi beberapa hal. Bisa dikatakan, sebagai orang yang mampu melakukan tindak kriminal, Sasuke cukup 'sopan' dan 'gentle.' Bukan berarti Sakura pernah bertemu penculik lainnya. Hanya saja Sasuke jauh dari apa yang Sakura bayangkan tentang pelaku penculikan.
"Kau tahu Sasuke?" Mulai Sakura lagi. "Kau sangat tampan."
Sakura ingin sekali berbalik dan melihat reaksi pria itu terhadap perkataannya barusan. Tapi sekali lagi, lengan Sasuke yang melingkari perutnya membuat Sakura masih merasa was-was.
"Kenapa kau memilih pekerjaan ini?" Tanya Sakura setelah menunggu beberapa detik dan tak mendapat tanggapan dari pria itu. "Kau tampan. Kau saaangat tampan, lebih tampan dari para aktor yang pernah aku temui." Ia memang mengatakannya dengan nada berlebihan tapi ia tak sedang berbohong.
Sakura menghela napas sebelum kembali berbicara. "Bahkan jika kau tak bisa berakting, kau tetap bisa jadi model. Cara jalanmu baik. Kau juga sangat tinggi dan tegap. Jangan lupakan tatapan matamu Woah! Maksudku ..." Sakura berdehem. "Sangat disayangkan jika kau tak bisa menggunakan penampilanmu dengan baik. Aku bisa mengenalkanmu dengan seseorang. Aku bahkan bisa membantumu ..."
Helaan napas Sasuke mengenai tengkuknya dan membuatnya berhenti berbicara.
"Aku akan tidur," ujar Sakura jengkel. "Aku sedang melakukannya, okay?" Ia menambahkan dengan nada sakit hati yang dibuat-buat.
Bagaimana caranya ia bisa tidur? Terlalu sulit dengan lengan yang melingkar di perutnya, juga kehangatan yang menempel di punggungnya. Lengan Sasuke menjauh sejenak, lalu kembali mendekapnya seiring dengan suara musik klasik yang mulai terdengar.
"Kau mendapatkannya," kata Sakura. Sedikit terkejut karena Sasuke memerhatikan hal kecil seperti itu. Ia rasa apa yang ia pikirkan tentang Sasuke memang benar. Pria itu terlalu baik untuk bisa disebut sebagai penculik.
"Ya," bisik Sasuke. Terdengar berat hati. Apa sebenarnya yang sedang pria itu pikirkan? Dasar orang tampan yang aneh.
Namun Sakura tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. "Terima kasih."
"Tidur Sakura."
"Selamat malam, Sasuke," bisik Sakura, menyerah untuk mengganggu pria itu untuk saat ini.
"Selamat malam," balas Sasuke juga dalam bisikan.
***
Chapter. 8
The Dangers that Always Follow
Cukup mengherankan karena ia bisa tertidur pulas di tempat yang jauh dari kata layak. Udara di kamar itu akan sangat dingin jika selimut yang menutupi tubuhnya tak cukup tebal. Dan walau ia enggan mengakuinya, dekapan dari tubuh hangat Sasuke mampu mengusir rasa dingin itu. Ia tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Jika kakak-kakaknya mengetahui apa yang ia lakukan sekarang, maka akan ada keributan yang terjadi. Keributan yang sangat besar.
Sakura selalu menjadi gadis nakal yang menggoda para pria dengan senyuman manis, juga sesekali tarian nakal di pesta. Tapi hanya itu. Ia tak pernah bisa dimiliki begitu saja. Tak bisa disentuh dengan mudah. Kenyataan bahwa ia membiarkan Sasuke menyentuhnya sudah cukup menjadi alasan bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya.
Ia biasanya bukan orang yang patuh begitu saja terhadap perintah seseorang. Ia, yang biasanya dipatuhi oleh orang lain. Tapi Sasuke begitu murah hati. Sakura tak bosan memikirkan bahwa untuk pelaku penculikan, Sasuke memperlakukan sanderanya dengan cukup baik. Mungkin alasan itulah yang membuat Sakura berhati-hati dalam bertindak. Sasuke terlalu tenang. Dan ketenangannya sangat menggelisahkan.
"Selamat pagi." Suara itu berasal dari arah belakangnya. Suara deritan ranjang terdengar keras ketika Sasuke bergerak. Sakura menggigit bibir bawahnya disaat lengan Sasuke yang mendekap perutnya menjauh perlahan. Pria itu turun dari tempat tidur dan berdiri di sebelahnya, memerhatikannya.
"Sejak kapan kau bangun?" Tanya Sasuke waspada. Sakura menelentangkan tubuhnya. Merasakan kebas di bagian pergelangan tangannya yang diikat semalaman. Kedua lengan atasnya terasa kaku sekaligus kram. Tapi ia menahan diri untuk tidak mengeluh, juga tak berkata apa-apa.
Ia tak percaya diri dengan bau mulutnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tak tahu apa yang ingin ia katakan. Hal baru ini terlalu mengejutkan untuknya. Tertidur di satu ranjang semalaman dengan pria yang baru ia kenal mendekapnya erat. Ya, itu terlalu mengejutkan.
"Belum lama," jawabnya pelan. Suaranya masih terdengar serak.
Sasuke membungkuk di ujung ranjang, melepaskan ikatan di lengannya. Dalam proses itu Sakura memilih untuk memalingkan wajahnya sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sasuke tak menanyakan perilakunya yang aneh pagi ini. Barangkali pria itu berpendapat kalau sikap pendiam Sakura lebih tidak mengganggu dibanding kebiasaannya untuk terus-menerus berbicara.
"Kita akan mencari tempat baru lagi hari ini," ujar Sasuke seraya berjalan menjauh. Pria itu juga terlihat sedikit menjaga jarak pagi ini.
Sakura mendudukan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memerhatikan bekas ikatan di kedua pergelangan tangannya. Ia menarik lengan kaus hijau gelapnya, menutupi pemandangan yang bisa disalahartikan oleh orang yang melihat nanti. Ketika ia mengangkat kepalanya, Sasuke juga sedang menatap ke arah pergelangan tangannya yang kini tertutup rapat. Jika ada yang ingin dikatakan Sasuke, pria itu menahan lidahnya dengan baik. Sakura juga tidak sedang ingin membicarakan hal itu. Jadi ia bersyukur ketika Sasuke tak membahasnya.
Pria itu menggenggam ponsel yang sudah pasti menjadi sumber dari musik klasik yang diperdengarkan sebelum Sakura tidur tadi malam. Mengingat itu membuat Sakura semakin merasa aneh.
"Apa kau bekerja untuk orang lain, Sasuke?" Pemikiran itu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Karena tampaknya Sasuke tak tahu apa yang mesti dilakukan selanjutnya. Pria itu seperti sedang menunda-nunda sesuatu.
Raut wajah Sasuke kembali seperti yang sudah-sudah ketika ia tak berniat menjawab pertanyaan Sakura. Ekspresi itu begitu tertutup hingga mustahil untuk dibaca.
"Jadi kau bekerja untuk orang lain," putus Sakura. Ia mengambil topi dan maskernya dari bawah bantal, lalu turun dari atas tempat tidur dan berjalan ke arah lemari. Lengannya baru saja terjulur untuk membuka pintu lemari ketika Sasuke bergerak cepat dan menahannya. Pria itu berdiri di antara Sakura dan lemari, masih memasang raut datar dengan mata tajamnya yang selalu menatap lurus lawan bicaranya.
"Kurasa kau tak ingin tahu apa yang ada di dalam benda ini." Pria itu berkata datar. Sasuke pasti menangkap rasa penasaran dari raut wajah Sakura karena pria itu memutuskan untuk menyingkir ke samping dengan raut yang kini terlihat geli. "Mungkin aku salah. Mungkin kau memang ingin melihatnya."
Sakura menggigit bibirnya seraya menatap bergantian antara Sasuke dan lemari di hadapannya. Lalu ia memutuskan untuk berbalik.
"Ambilkan jaketku, tolong." Perkataannya mengundang dengusan menjengkelkan dari Sasuke.
"Pengecut," ejek Sasuke.
Sakura mengangkat bahu. "Terserah."
Mereka meninggalkan tempat itu tepat pukul empat pagi, sama sekali tak mengantuk lagi karena tadi malam mereka tidur terlalu cepat, dan sangat nyenyak. Mereka mampir ke sebuah minimarket dua puluh empat jam -Sasuke yang turun dan membeli perlengkapan mandi baru untuk mereka berdua juga memutuskan untuk membeli beberapa makanan bungkusan untuk sarapan mereka.
Sasuke juga menghentikan mobilnya di toilet umum yang memang tersedia setiap beberapa kilometer sekali. Tempat itu setidaknya lebih bersih daripada penginapan yang mereka singgahi tadi malam.
Sakura memilih untuk mencuci muka dan menyikat gigi serta berganti pakaian, lagi. Ia tak sudi jika harus mengenakan pakaian yang sama lebih dari satu hari. Tidak mandi saja sudah sangat buruk. Sasuke sendiri tampaknya melakukan hal yang sama. Tapi pria itu tak berganti pakaian, karena memang tak memiliki pakaian ganti. Anehnya bahkan dalam jarak dekat bau tubuh Sasuke sama sekali tak mengganggu. Bau yang maskulin tanpa tambahan parfum apapun. Bau yang sangat alami dan menggoda.
Hah! Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Rutuk Sakura di dalam hati. Seharusnya ia yang menjadi Si Penggoda, bukan sebaliknya.
Pemberhentian mereka selanjutnya adalah sebuah parkiran pribadi di dekat stasiun kereta bawah tanah. Sakura sama sekali tak bisa membaca tujuan Sasuke, atau setidaknya alasan kenapa pria itu terus-menerus membawanya ke tempat-tempat yang berbeda. Barang belanjaannya ditinggalkan begitu saja di dalam mobil. Sakura terlambat menyadarinya dan Sasuke yang terlalu terburu-buru tak memberinya kesempatan untuk kembali ke mobil.
Mereka membeli tiket kereta, menunggu selama lima belas menit lebih lama di stasiun karena kereta yang akan mereka naiki menunda keberangkatan selama lima menit. Sasuke terlihat santai pada awalnya, walau tak juga menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Sakura tanpa henti. Tapi di menit terakhir sebelum kereta tiba, pria itu tiba-tiba saja merangkul bahu Sakura dan berbisik di telinganya.
"Dengar, Sakura," bisik Sasuke padanya. Lengan pria itu terasa kaku, sama seperti seluruh tubuhnya. Matanya yang tajam seolah semakin menajam, terlihat mengawasi sekitar tanpa kentara. "Saat kereta datang, kau harus masuk terlebih dahulu."
"Kalau begitu kau harus memberikanku uang," balas Sakura.
Sasuke melemparkan tatapan mengejek. "Kau kira aku akan ketinggalan kereta."
Pernyataan Sasuke dibalasnya dengan kedikan bahu dan senyuman yang dibuat-buat. "Aku hanya bisa mengharapkan segala kemungkinan."
"Sayang sekali aku tak akan memberikanmu uang satu sen pun."
"Terserah." Sakura menjauhkan lengan Sasuke dari bahunya dan berdiri. Kereta mereka sudah tiba. Ia bergabung dengan penumpang lain dan mengikuti arus memasuki kereta. Sedikit risih karena ia sama sekali tak pernah menggunakan fasilitas umum ini sebelumnya. Untungnya ia mendapatkan tempat duduk di sebelah pintu. Ia menoleh keluar, melihat beberapa orang pria berpakaian rapi mengitari Sasuke yang terlihat tak terkejut sama sekali.
"Permisi." Sakura menggeser tubuhnya, memberikan tempat untuk orang yang baru masuk ke dalam kereta. Ia mendapati cukup banyak tempat duduk yang masih kosong, heran karena pria kantoran di sebelahnya memilih untuk menempati ruang yang sempit ini. Ia melirik sekilas pria di sebelahnya itu sebelum kembali menoleh pada Sasuke. Sasuke yang sekarang memasang raut kejam dan bergerak cepat melewati orang-orang yang tadi mengepungnya.
00000
Sasuke sudah memikirkannya sepanjang malam tentang bagaimana cara Hidan bisa menemukannya. Ia sudah tak bertemu dengan pria itu selama bertahun-tahun, sejak Hidan yang juga dilatih oleh pamannya mulai serakah dan menginginkan hal yang lebih besar dari apa yang mereka lakukan sebelumnya. Hidan dulunya adalah pemuda egois yang berhasil mengambil hati Obito -paman Sasuke dan berhasil membujuk pria tua itu untuk mempelajari bela diri khusus yang akhirnya berguna bagi profesi mereka.
Hidan menjadi pembunuh bayaran selama dua tahun sebelum memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok yang kemudian diketuainya. Kelompok itu melakukan hampir semua tindak kejahatan yang tak bisa dibayangkan oleh orang-orang yang cinta akan kedamaian. Mereka membunuh, menculik, menjual organ dalam manusia, memerkosa, menjual obat-obatan terlarang, penjualan anak, semua kejahatan tanpa terkecuali. Hidan yang serakah adalah yang terkejam dalam bidangnya. Dan kelompok yang ia bentuk berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dari tahun ke tahun.
Kelompok itu tak memiliki nama. Tapi Sasuke tahu bahwa Hidan ingin orang-orang menyebutnya dengan nama kelompok Hidan. Pria itu memang suka pada kekuasaan. Dan ia mengira bahwa kekuasaannya tanpa batas. Tapi entah kenapa tiga tahun belakangan Hidan mulai memburunya. Mereka selalu sama-sama berada di belakang layar. Mereka adalah apa yang orang-orang sebut dengan kegelapan.
Namun Sasuke selalu bekerja sendiri, tanpa kentara, tanpa terlihat. Ia tak memiliki kekuasaan seperti Hidan karena ia tak pernah mau membawa orang lain memasuki neraka yang sama dengan dirinya. Ia akan berada di kegelapan sendirian. Dan ia hanya akan membawa dirinya sendiri ke dalam neraka begitu ia mati nanti.
Ia dan Hidan berbeda. Tak ada alasan untuk Hidan memburunya. Kecuali jika pria itu merasa bahwa keberadaan Sasuke mengganggu. Itu, adalah alasan yang paling mungkin.
Keberadaannya yang terlacak oleh kelompok Hidan adalah sesuatu yang tak pernah ia inginkan. Apalagi saat ia sedang bersama seseorang yang seharusnya tak terlibat dalam dunia gelap itu. Sakura tak tahu apa-apa. Setidaknya dengan Hidan, Sakura tak memiliki hubungan apa-apa. Tapi gadis itu sudah terlihat bersamanya hampir tiga hari. Kabar tentang ia yang terlihat bersama seorang wanita pada saat siang hari pasti sudah sampai di telinga Hidan. Itu artinya Sakura sudah jauh terlibat dalam hal ini. Karena Hidan tak akan mau repot-repot mempertimbangkan. Ia akan membunuh ketika ia ingin membunuh. Dan ia akan terus memburu jika orang yang ingin ia bunuh terlepas dari genggamannya.
Sasuke sudah memeriksa ponselnya dan tak mendapati gangguan apapun serupa penyadapan atau bahkan pelacak. Tapi ia tak memiliki waktu untuk memeriksa mobil dan rumahnya karena ia sedang bersama Sakura. Jadi ia memutuskan untuk berpindah-pindah. Pada akhirnya ia menggunakan cara paling sederhana yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Jika mobilnya dilacak seseorang, maka ia perlu berhenti di tempat yang akan membuat orang-orang itu bergerak cepat agar tak kehilangan jejaknya.
Keputusannya mendapatkan hasil yang ia inginkan.
Sasuke melihat ke arah Sakura yang sudah duduk di dalam kereta. Untungnya gadis itu cukup tenang dan sama sekali tak terlihat akan membuka penyamarannya. Rambutnya yang mencolok dan wajah cantiknya yang sulit dilupakan masih tertutupi dengan baik. Tapi mata hijaunya yang juga mencolok masih terbuka dan menunjukkan lebih banyak dari yang Sasuke pikirkan sebelumnya. Segala sesuatu yang menyangkut Sakura terlalu berbeda dari kebanyakan orang.
"Ia terlihat lebih kurus dari yang kita pikirkan," kata salah satu pria berjas yang mengepungnya.
"Untuk ukuran pria, wajahnya terlalu cantik," sahut yang lainnya. Mereka tujuh orang dan sedang menyeringai menatap ke arahnya.
Satu orang dari mereka mengedipkan sebelah mata ke arahnya, lalu tertawa menanggapi raut dingin yang sengaja ia pasang. "Aku suka yang seperti ini," kata orang itu. Tawa cabul disusul dengan perkataan menjijikan. "Aku rasa ia belum pernah dimasuki siapapun."
Sasuke berdiri kaku di tengah-tengah tujuh orang itu. Tapi tatapannya terpaku pada orang yang barusan berbicara. Di dalam kepalanya, ia sudah membuat skenario pembunuhan yang paling menyakitkan untuk orang itu karena sudah berani membayangkan dia sebagai objek seks menyimpangnya. Oh, Sasuke akan membunuhnya secara perlahan. Sesuatu yang tak pernah sekalipun ia lakukan sebelumnya. Ia selalu membunuh dengan melukai satu titik penting yang membuat korbannya mati dengan cepat. Tapi untuk orang ini, berbeda.
Selalu ada yang pertama untuk setiap hal.
Tapi sekarang ia butuh naik ke kereta secepatnya. Ia meminta Sakura naik terlebih dahulu agar ia dapat bergerak cepat tepat sebelum pintu kereta tertutup. Ia akan membuat orang-orang ini tertinggal kereta.
Rencananya terlihat sempurna sampai ia melihat ke arah Sakura. Melihat ke sebelah gadis itu. Seorang pria berjas lainnya menyeringai dan mendekatkan hidungnya pada kepala Sakura yang tak menyadari bahaya di dekatnya. Gadis itu menatap ke arahnya. Pria berjas itu memberi tatapan mengejek padanya.
Jadi yang bisa Sasuke lakukan hanyalah berlari dengan cepat sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada gadis bermata hijau itu.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
