Terjebak Di Kost-Kostan Bunga 5 Chapter 1

0
0
Deskripsi

"Satu cowok. Lima cewek genit. Dan kebetulan yang bikin semua salah tingkah.

Raihan cuma mau nyewa kos murah, bukan jadi bahan rebutan! Tapi ketika ia 'terjebak' di Kost Bunga 5—tempat tinggal para cewek eksentrik dengan kebutuhan dan fantasi mereka sendiri—hidupnya berubah jadi komedi seksual yang awkward.

Dari cosplayer seksi yang 'butuh bantuan fotografi' di kamar, sampai si good girl yang 'kebetulan' streaming pakai baju minim, Raihan harus bertahan:

  • Jangan sampai ketahuan mantannya yang galak.
  • Jangan sampai kepleset lagi di kamar mandi.
  • Dan yang paling sulit—jangan sampai jatuh cinta!

Apakah bisa selamat dari kekacauan ini? Atau malah menikmatinya?"

Bab 1 “Buruan Cari Atap” 

"Ray, jangan lupa lo kelarin photoshoot hari ini ya!" Pesan dari Aksa—si pemilik majalah dewasa—berkedip di layar ponsel Rayhan, disertai emotikon tengkorak yang seolah menertawakan deadline yang mencekik.

Sore itu, di dalam studio yang dipenuhi aroma parfum dan bau kabel panas, Rayhan membidikkan lensa kameranya ke arah Mona—model berambut ikal yang sedang meliuk di atas sofa beludru merah. Lingerie merahnya nyaris tak cukup menutupi lekuk tubuhnya, sementara cahaya softbox menyoroti kulit porselennya yang berkilau seperti dilapisi madu.

"Angkat dagu sedikit… tangan di bibir… sekarang tatap kamera," Rayhan berbisik, matanya tak lepas dari viewfinder.

Flash! 

Kilatan cahaya menangkap pose sensual Mona. "Kaki lo buka dikit, Mon," perintahnya sambil berjongkok, memutar kamera ke mode vertikal. "Good. Terakhir—" jarinya memutar ring zoom, "lebarkan kaki, tangan di dagu… bibir lo lebih menggoda."

Mona mengerang pelan, tapi Rayhan mengabaikannya—sampai ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya terlihat.

"Sorry ya," gumamnya sambil mendorong perlahan paha Mona, membuat renda celana dalamnya bergeser.

"Ray—" Mona tiba-tiba menahan napas, jemarinya gemetar menunjuk ke arah… hutan belantara di antara pahanya.

"Anjir, Mon!" Rayhan menepuk jidat. "Lo nggak cukuran dulu? Deadline kita sejam lagi, nih!" Tangannya mengacungkan ponsel, memperlihatkan pesan Aksa yang bertuliskan "KIRIM MALAM INI ATAU LO GAK DAPAT BONUS."

Bulu-bulu lebat itu menyembul dengan arogan dari balik renda, seolah mengejek. Rayhan menghela napas panjang sambil melirik jam G-Shock-nya—05.30 sore. Seratus foto masih harus diseleksi dan diedit. Ini bakal jadi malam yang panjang.

"Lo buruan cari alat cukur. Kita harus kelar sebelum jam 6," desisnya, memutar-mutar pergelangan tangan yang sudah pegal.

"Masa gue harus ke warung pake lingerie gini, sih?" Mona menyeringai, meraba-roba rok pendek yang bahkan tak cukup untuk menutupi masalah di bawahnya. "Lo aja yang beli, gue numpak udud dulu."

Tanpa protes, Rayhan melesat ke minimarket depan studio. Lima menit kemudian, ia kembali dengan pisau cukur murah dan wajah yang lebih muram dari langit Jakarta saat hujan.

"Nih, buruan!" Lemparannya tepat ke pangkuan Mona, yang malah mengangkat alis.

"Alah, gue cukur di sini aja," gerutu Mona sambil menjepit rokoknya di asbak. Tanpa basa-basi, ia menurunkan celana dalamnya dan memegang bagian itu dengan sikap santai. "Lagipula, lo kan bukan tipe cowok gampang terbangun."

"Ya udah, cepetan!" Rayhan memutar badan, tapi telinganya tetap menangkap suara kreek… kreek… pisau cukur yang bergerak tak bersemangat. Sesekali, erangan Mona—entah karena kesakitan atau sesuatu yang lain—membuat kupingnya memerah.

"Udah belom?!" Rayhan menyeringai, telinganya panas mendengar desahan Mona yang semakin menjadi—seperti adegan film dewasa yang salah judul.

"Lo nggak liat gue lagi berjuang, huh?!" Mona menggigit bibir bawahnya, wajahnya memerah saat pisau cukur nyasar ke area sensitif. "Segini cukup, kan?" Dia melangkah goyah, celana dalamnya masih tersangkut di paha.

"Aduh—yaudah, buruan!" Rayhan menghela napas, menunjuk sofa yang sudah menunggu di depan backdrop studio.

Tiba-tiba—CREAK!

Pintu terbuka dengan kasar. Seorang wanita berambut hitam sepinggang, bertanktop putih ketat dan rok mini yang nyaris tak bisa disebut rok, berdiri di ambang pintu.

"Oh… gini ternyata kelakuan lo?!" Sarah, kekasih Rayhan, melepas kalimat itu seperti pisau. Matanya membulat saat melihat Mona yang sedang berusaha menarik celananya dengan panik. "Dasar mesum!" Bantingan pintu yang menggelegar membuat seluruh studio bergetar.

"So-sorry, Ray… Gue nggak—" Mona tercekat, melihat wajah Rayhan yang memerah bagai cabe rawit.

Rayhan melesat keluar, tapi Sarah sudah menghilang dalam debu mobilnya yang melaju kencang.

"Gimana, Ray?" Mona masih berdiri di pintu, jari-jarinya mencengkeram lingga bajunya.

"Udah kejadian. Masa gue harus ngejar dia pake kaki kayak gini?" Rayhan menatap kakinya sendiri—bersepatu kets usang. "Yaudah, lanjut!" Tangannya mengacak-acak rambut seperti orang kesurupan.

Bliing!

Notifikasi ponselnya menyala: "KITA PUTUS!!" (Dengan dua tanda seru, seolah Sarah juga memarahinya lewat tulisan). Napas Rayhan tersendat, tapi tangannya tetap menekan tombol shutter. Aksa lebih menakutkan daripada broken heart.

Pukul 18.30

Rayhan akhirnya kelar, tubuhnya lunglai seperti kain basah. Sepanjang jalan menuju kostan, bayangan Sarah terus menghantuinya—wajahnya yang kecewa, rok mininya yang sengaja ia belikan minggu lalu terlintas di dalam kepalanya

Bzzzt! Ponselnya bergetar.

Mona: "Ray, maafin gue ya? Kalau mau happy, gue temenin lo di kostan seminggu deh. Itung-itung ganti rugi gara-gara lo putus."

Rayhan mengabaikannya. 

Masalahnya sekarang yang lebih besar: Aksa, sang bos yang bisa mengubah wajahnya jadi meme "orang stres" dalam sekejap.

Di kamar kost yang sempit, ia memindahkan foto-foto ke laptop. Satu jam berlalu, jarinya masih scroll bolak-balik—mana yang lebih baik: Mona dengan pose chest forward atau legs for days?

Bliing!

Aksa: "RAY, UDAH JAM 9 INI! COVER MODELNYA MANA?!" (Dengan font sebesar teriakan).

"Astaga!" Rayhan mengusap wajah. Tanpa pikir panjang, ia memilih foto secara acak—termasuk close-up area problematic yang masih tersisa beberapa helai "rumput liar".

Send.

Dua detik kemudian—

Aksa: "LO GILA YA, RAY?! MAU ANCURIN MAJALAH GUE 10 TAHUN CUMA KARENA LO LAGI SAGNE SAMA MODEL?!" (Spam pesan masuk seperti granat). "INI JAM 12 MALAM HARUS SAMPE KE PERCETAKAN, COK!"

Pesan terakhir: "GUE KECEWA BANGET."

Foto profil Aksa berubah jadi putih—layaknya masa depan Rayhan.

"Anjiir…!" Rayhan mengepal tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Job batal, bayaran menguap. Saldo rekeningnya tersisa 1,5 juta rupiah—angka yang menyedihkan untuk bertahan di Jakarta sampai akhir bulan.

Bliing!

Notifikasi baru masuk—dari Ibu Kost, sang tiran pemilik kamar.

"Dek Rayhan, hari ini batas akhir bayar. Besok pagi sudah ada mahasiswi Jogja yang mau masuk."

Kepala Rayhan berdenyut-denyut. "Iya, Bu… ini masih hari terakhir kan?" gumamnya sambil membuka aplikasi mobile banking dengan jari gemetar. Angka di layar semakin membuat perutnya mulas.

"Kalau gue bayar sekarang, minggu depan cuma bisa makan promag tiga kali sehari," gerutunya, menatap saldo Rp150.000 yang menyisakan harapan tipis.

Dia mencoba menelepon Aksa tapi ditolak. Mencoba hubungi teman-teman seprofesi—tidak ada yang angkat. Mereka tahu, Rayhan bukanlah "debt collector-friendly".

“Nggak ada pilihan. Harus cari kost baru.” Jari Rayhan menari di keyboard ponsel, mencari "kost murah Jaksel" di Mbah Google. Hasilnya? Tempat layak sudah penuh, sisanya—lebih cocok untuk lokasi syuting film horor.

Jam menunjukkan pukul 1 pagi. Dia harus segera bergeser sebelum Ibu Kost—yang terkenal suka menggusur penghuni telat bayar sambil teriak seperti banshee—mengetuk pintunya saat fajar.

Scroll terus… sampai akhirnya—

Sebuah foto muncul: rumah tua bergaya Belanda, atapnya bolong-bolong seperti keju Swiss, dinding merah mudanya kusam dimakan lumut. "Kost Bunga 5" muncul di bagian akhir pencarian.

"Apa gue coba telepon aja?" Rayhan menyimpan nomor Mbak Wanda, sang pemilik.

Tring-tring…

"Halo, ini Mbak Wanda, pemilik Kost Bunga 5?"

"Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" Suaranya serak, tapi ramah.

"Masih ada kamar kosong, Mbak?"

"Ada, tapi—"

"Saya transfer 600 ribu sekarang ya! Tolong rekeningnya, soalnya Ibu Kost di sini udah mau usir gue!" Rayhan memotong, panik.

Seketika, nomor rekening dan alamat masuk via chat.

Tanpa pikir panjang, Rayhan transfer, lalu bergegas packing. Dia tahu—kalau masih ada di kost saat matahari terbit, Ibu Kost akan mengamuk seperti Godzilla di lantai tiga.

Pukul 04.20

Satu koper lusuh dan tas ransel hitam pudar—bekas tumpahan kopi dan air mata—menjadi saksi bisu kepergiannya.

"Mas Rayhan, tujuan ke Jalan Bunga Setaman, ya?" tanya sopir taksi online.

Rayhan mengangguk lelah, langsung terlelap di jok belakang—mulut terbuka, air liur menetes, seperti bayi yang baru lahir.

"Mas, bangun! Sudah sampai!"

"Slurrp—!" Rayhan kaget, menyeka air liurnya. "Oh iya, maaf!"

Dia melompat keluar, berdiri di depan pagar Kost Bunga 5. Matahari belum sepenuhnya bangun, tapi cukup terang untuk melihat tulisan pudar di gerbang:

"KOST PUT…" (huruf terakhirnya hilang, entah "PUTRI", "PUTUS", atau "PUTIH").

Tiba-tiba—Seorang wanita berambut pirang ombre muncul, mengenakan daster pendek yang nyaris tak cukup menutupi pahanya. Bahunya terbuka, senyumnya manis tapi matahari pagi membuat siluet tubuhnya terlihat jelas.

"Mas Rayhan, ya?"

Suara itu mengalun seperti sirine di tengah kabut pagi. Mbak Wanda berdiri di ambang pintu, daster tipisnya menerawang di bawah cahaya matahari yang baru saja mengintip.

Rayhan menelan ludah. "Maaf Mbak, saya datang pagi-pagi," ujarnya, matanya tanpa sadar menyusuri tubuh Mbak Wanda—dari ujung kaki yang dicat merah menyala, naik ke tato bunga kecil di bawah lehernya, hingga cap ular melingkar di telapak tangan kanannya.

"Nggak apa-apa, Mas." Mbak Wanda tersenyum, melangkah ke samping. "Silakan masuk."

Rayhan melangkah ke dalam. Dinding putih kusam penuh retakan seperti sarang laba-laba, bekas rembesan air yang membentuk peta aneh, dan—Coretan-coretan di dinding. Seperti cakar anak setan yang baru belajar menggaruk. menghiasi kamar ini.

"Kamarnya di lantai dua, ya, Mas." Mbak Wanda memandu, mendahului menaiki tangga kayu yang belum pernah disentuh kuas cat.

Rayhan tak sengaja menatap ke atas. G-string merahnya terlihat jelas, membelah pantatnya seperti tanda baca yang tak perlu dipertanyakan lagi.

Dia cepat-cepat memalingkan wajah, berusaha terlihat seperti pria santun—bukan orang lapar yang baru saja melihat buffet prasmanan.

“Ini dia kamarnya, Mas.” Mbak Wanda menunjuk pintu triplek yang lapuk, dengan kertas tata tertib terpampang di depan:

"KOST PUTR…I"

Rayhan mengerutkan kening. "Mbak… ini kost khusus perempuan, ya?" Suaranya serak.

"Lah, tadi malam saya mau bilang, tapi Mas buru-buru transfer!" Mbak Wanda menceplos, lalu menyodorkan kunci sambil menggenggam tangan Rayhan terlalu lama. "Kalau ada orang mau ngasih duit. Siapa yang nolak?"

Belahan dadanya terbuka lebih lebar saat ia melipat tangan.

Rayhan terbatuk. "Ka-kalau gitu, saya boleh…?"

"Ssstt!" Jari telunjuk Mbak Wanda tiba-tiba menempel di bibir Rayhan. "Gue lagi butuh duit. Jadi, Mas Rayhan… bobok yang tenang di sini, ya?"

Matanya membesar seperti bola pingpong, tapi sinarnya tajam seperti pisau cukur.

“Buat sementara, kamu boleh tinggal. Tapi ingat…” Cubitan di hidung Rayhan. “NGGAK BOLEH BAWA CEWEK ATAU COWOK DARI LUAR!” kata Mbak Wanda sambil mengerutkan wajahnya.

Kamar 2x3 meter itu lebih mirip kandang burung tua.

Langit-langit lapuk dengan noda kuning kecokelatan—entah bekas air atau sesuatu yang lebih menyeramkan. Kasur lepek mengeluarkan bau antara kapur barus dan keringat kambing. AC tua berderak seperti nenek-nenek batuk di tengah malam.

Rayhan menjatuhkan diri ke kasur.

"Sisa duit masih cukup buat cari job untuk beberapa hari ke depan… biar gue bisa cepat kabur dari neraka ini," gumamnya, sambil memandang plafon seperti orang yang baru saja menjual jiwanya.

"Kak Dinda Lepasin"

Rayhan terbangun seperti kena setrum. Matanya masih berat, tapi teriakan di depan pintu kamarnya lebih keras daripada alarm bom.

Pukul 11 siang. Dia menghantam bantal ke wajahnya, berharap suara itu hilang. Tapi Zahra—atau siapapun itu—terus meneriakkan nama "Dinda" seperti lagu broken heart yang diputar ulang.

"GUE PINJEM BENTAR, ZAHRA!" balas Dinda, suaranya lebih tinggi dari nada F#.

"BERISIK!" Mbak Wanda meraung seperti harimau lapar. "ADA PENGHUNI BARU DI KAMAR INI!" Jari telunjuknya menusuk ke arah pintu kamar nomor 3—kamarnya Rayhan.

"LO BERDUA KALAU MASIH BERANTEM, GUE KURUNG SAMA DIA!" Ancaman Mbak Wanda diiringi pose tangan di pinggang, seperti jenderal perang.

"Alah, masa jeruk makan jeruk, Mbak," Zahra cekikikan, polos.

"HEH, JERUK YANG INI PUNYA BUNTUT! PAHAM LO BEDUA?!"

"Buntut?" Zahra mengerutkan dahi, bingung.

"Udah, pada siap-siap lo pade! Ntar kesiangan lagi, lo pada nyalahin gue!"

Suara langkah Mbak Wanda menjauh, tapi Rayhan sudah tidak bisa tidur lagi.

Pukul 2 Siang

Tagihan masuk:

"Rp345.000 JATUH TEMPO. BAYAR HARI INI ATAU AKUN ANDA KAMI BLOKIR."

Rayhan mengutuk dalam hati. "Bangsat."

Dia melemparkan ponselnya, lalu berjalan ke kamar mandi dengan langkah zombie. Mata merah, rambut seperti sarang burung, dan bau mulut yang bisa mengusir setan.

Tanpa pikir panjang, dia membuka pintu kamar mandi—

"AAAKHHHH!!!"


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terjebak Di Kost-Kostan Bunga 5 Chapter 2
0
0
CHAPTER 2Di Kost Bunga 5, Rayhan—fotografer baru dipecat—harus bertahan di antara Mbak Wanda yang suka tidak sengaja buka handuk mini, Alena yang selalu ketahuan lagi eksperimen mandiri, dan Mona yang datang pakai hotpants mini sambil bawa skandal foto jembi misterius. Dari kamar mandi setinggi lutut yang bikin aksi BAB jadi tontonan umum, sampai tetangga yang mulutnya lebih tajam dari pisau cukur, Rayhan terjebak dalam situasi absurd: diminta jadi tukang perbaiki atap, fotografer dadakan buat konten panas, dan korban utama godaan para penghuni kost yang—entah kenapa—sulit sekali pakai baju lengkap. Sambil berusaha cari kerja baru, ia harus selamatkan reputasinya dari foto close-up tak senonoh yang beredar, bertahan dari godaan makan malam plus view spesial, dan yang terpenting—jangan sampai kebagian jatah di kamar mandi saat Mbak Wanda lagi panen raya! Komedi sensual ini bikin geli, malu, dan penasaran—seperti nonton Titanic versi kost-kostan, tapi Jack dan Rose-nya sibuk berebut sabun di kamar mandi! 😂🔥
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan