
Warning!!! Area 21+
Cerita ini mengandung konten dewasa, diharapkan pembaca bijak dalam membaca. Tidak disarankan bagi yang belum cukup usia. Happy reading guys 💋
“I had good intentions, and the highest hopes. But I know right now, it probably doesn't even show. Please, go easy on me, uncle..”
"I was still a child, I didn't get the chance to
feel the world around me. I had no time to choose, what I chose to do. So go easy on me…" Ucapku lirih dengan menatap matanya.
Entah ada hal apa. Tiba-tiba,...
“Pagi Bi, uncle J sudah bangun belum, Bi? Kok nggak kelihatan, Bi?” Tanyaku di pagi hari menyapa Bi Fatma yang telah setia bekerja bersama kami sejak aku berusia 5 tahun sampai sekarang.
“Eh, ada Non Evelyn. Pagi Non, tumben sudah rapi Non? Sudah mau berangkat kuliah ya? Tuan Jay dari kemarin sepertinya belum ada pulang ke rumah, Non. Yang ada Mr. Jack yang pulang ke rumah. Tapi sepertinya masih belum bangun, Non.." Jawab Bi Fatma ramah menjelaskan apa yang diketahuinya kepadaku.
“Kok aneh ya, Bi. Tumben uncle J, nggak pulang. Tapi malah sekretarisnya yang pulang ke rumah. Bibi beneran yakin kalau uncle nggak ada pulang ke rumah?” Aku pun sedikit meragukan penjelasan Bi Fatma kepadaku. Karena, jujur saja ini sangat aneh bagiku. Om Jack saja pulang, masa uncle nggak pulang, sih. Mereka kan satu kantor, dan biasanya justru om Jack yang jarang pulang ke rumah.
“Beneran, Non. Pak Mamat yang bilang sama bibi tadi. Oh ya, Non Evelyn mau sarapan apa pagi ini? Biar bibi siapin dulu di dapur…” Bibi Fatma pun meyakinkanku dengan mengatakan bahwa informasi ini didapat langsung dari security yang selalu menjaga keamanan rumah kami, yang tentunya pasti tahu siapa yang keluar masuk di kediaman kami ini.
“Hemm, yaudah deh Bi. Makasih ya infonya. Aku mau Spaghetti Bolognese saja ya Bi. Oh ya, sama susu cokelatnya juga ya, Bi. Makasih Bibi cantik. Bibi juga sarapan saja bareng aku, ajak Pak Mamat juga sarapan bareng…" Tawarku kepada Bibi Fatma.
Memang tak jarang aku dan uncle menawarkan untuk sarapan bersama dengan Bibi Fatma dan Pak Mamat. Karena mereka sudah kami anggap keluarga sendiri, apalagi kami berdua sudah tidak memiliki kedua Orangtua, jadi kami menganggap Bi Fatma dan Pak Mamat sudah seperti Orangtua kami yang selalu menjaga kami dari kecil sampai sekarang, khususnya menjagaku.
“Oh, Bi Fatma sama Pak Mamat sudah sarapan nasi uduk tadi, Non. Kebetulan jam 06.00 pagi tadi sudah ada yang jualan nasi uduk keliling, jadi Pak Mamat langsung beli untuk Bibi juga. Kami juga sudah belikan untuk Non Evelyn. Kalau nona mau biar Bibi panasin dulu…” Bi Fatma menawarkan kebaikannya kepadaku. Sudah persis seperti ibuku yang selalu ingat untuk membelikan sesuatu yang dia makan, untuk diriku juga.
“Hahaha, nggak papa, Bi. Kebetulan aku lagi pengen Spaghetti saja. Mungkin dikasih sama om Jack saja, Bi. Om Jack kan suka banget nasi uduk. Dia pasti senang banget…" Aku pun memberikan usul kepada Bi Fatma untuk menyiapkan nasi uduk tersebut kepada om Jack. Om Jack sangat suka nasi uduk, bahkan dia bisa memakan nasi uduk sebagai menu sarapannya selama seminggu berturut-turut tanpa merasa bosan. Karena itu merupakan salah satu menu favoritnya.
“Wah, ide bagus Non. Kalau gitu, Bibi permisi dulu ya, Non. Bibi siapkan dulu sarapannya ya…” Bibi Fatma pun pergi ke dapur mempersiapkan menu sarapan yang aku minta tadi.
Selagi Bi Fatma memasak sarapan untukku dan om Jack, aku pun berinisiatif untuk pergi ke kamar yang biasa om Jack tempati kalau sedang pulang ke rumah. Yaitu, kamar yang berada di lantai satu berhadapan dengan sisi kolam renang rumah ini.
“Tok.. Tok.. Tok.. Om Jack, om sudah bangun belum?” Tanyaku dari luar memastikan kalau om Jack sudah bangun, jangan sampai kejadian aku dengan uncle J terulang lagi seperti kemarin. Mengingat hal itu, membuatku tersipu malu karena terbayang otot liat dan kekar serta perut uncle yang seperti roti sobek itu.
Tanpa sadar, di tengah-tengah lamunanku. Pintu kamar om Jack sudah terbuka menampilkan sosok pria yang tak kalah tampan dengan uncle J, dengan wajah khas bangun tidurnya itu.
“Hei, nona manis. Jangan melamun atuh. Nanti kerasukan bidadari centil, loh..” Goda om Jack seraya mencubit gemas hidung mancung ku. Kebiasaan om Jack dari aku kecil sampai sekarang, suka banget menguyel-nguyel rambut, pipi, dan mencubit hidungku gemas.
“Ih, om Jack. Sakit tau.. Nanti hidungku jadi pesek gimana? Lagian mana ada tuh bidadari centil, yang ada setan centil om…” Ucapku mengaduh kesakitan karena kelakuannya itu.
“Hehehe, kalau untuk kamu cocoknya bidadari sayang. Terlalu cantik untuk setan merasukimu. Hahaha…" Tawanya pecah melihat wajahku yang sudah manyun karena tingkahnya itu.
“Iss, yaudahlah.. Om Jack, yuk sarapan. Bi Fatma sudah menyiapkan nasi uduk untuk Om…” Aku pun memilih mengajaknya sarapan daripada harus mendebatkan hal yang kekanak-kanakan menurutku.
“Serius? Wah enak banget, aku mau deh. Sebentar ya. Om mandi dulu sekalian mau siap-siap pergi ke kantor…" Ucapnya dan bersiap mau masuk kembali ke dalam kamarnya. Namun, aku cegah kembali karena menunggunya mandi sama saja harus menunda rasa laparku dan rasa penasaranku tentang dimana uncle J sekarang.
“Nggak usah mandi dulu deh, om. Mending langsung sarapan saja. Sekalian nanti biar sikat gigi…” Cegahku mencobanya untuk segera ikut sarapan bersamaku.
“Ya ampun, Eve. Nggak mungkin sayang. Aku nggak mau penampilanku yang sekarang dilihat oleh Bi Fatma. Kamu mau kalau Bi Fatma melihat tubuh om yang seksi ini?” Tanyanya dengan berkacak pinggang masih berdiri di posisi depan pintu kamarnya yang membuatku tersadar bagaimana penampilannya sekarang ini.
Tak kalah dengan tubuh atletis uncle J, om Jack juga memiliki tubuh atletis yang sama bagusnya seperti dengan uncle. Saat ini dia hanya memakai celana dalam model boxer brief tanpa atasan. Membuat tubuhnya terekspos nyata, apalagi sekilas aku menatap organ intimnya yang saat ini tercetak jelas dibalik boxer brief-nya itu. Seketika aku malu, dan sepertinya wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus karena ketahuan menikmati pemandangan indah yang seharusnya aku nggak boleh lihat di usia ku yang sekarang.
‘Rupanya benar kata uncle, sepertinya aku sudah mulai genit…’ Tanpa pikir panjang aku pun langsung berbalik badan dan menyuruhnya segera masuk ke dalam dan bergegas mandi seperti yang dikatakannya tadi.
“Hahaha, Evelyn… Evelyn, kamu baru sadar dengan penampilanku sekarang. Kemana aja dari tadi pikiranmu, sayang? Ini membuktikan kamu benar-benar sudah dewasa, buktinya kamu langsung malu tuh.. Hahaha… Padahal dulu kamu nggak masalah dengan penampilan om yang suka seperti ini kalau baru bangun tidur, hemm. Ternyata, Evelyn kami sudah dewasa… Ciyee.. Malu ya??” Dia terus menggodaku tanpa tahu malu, seakan tidak menyadari wajahku sudah memerah sekali mengingat penampilannya itu.
“Iih… Om Jack genit deh.. Udah ah, aku mau langsung ke ruang makan saja. Om Jack nyebelin…” Aku pun langsung berlari secepat kilat meninggalkannya yang sedang tertawa terbahak-bahak di posisinya saat ini.
Akhirnya, sekitar 15 menit berlalu. Sarapan kami pun sudah tersaji di meja makan yang saat ini hanya diisi oleh kami berdua. Sudah tersedia satu porsi Spaghetti Bolognese, satu porsi nasi uduk lengkap dengan telur dan sayurannya, ayam semur, segelas susu cokelat dan jus wortel serta beberapa buah-buahan yang ada dihadapan kami sekarang ini. Om Jack pun sudah siap dengan pakaian kantornya. Melihatnya seperti ini, membuatku teringat akan sesuatu.
“Hemm, om Jack. Teringatnya uncle J, beneran nggak pulang dari kemarin ya? Emangnya uncle J pergi kemana, om?” Tanyaku di sela-sela sarapan kami.
Butuh waktu sekitar 1 menit untuk om Jack berbicara kepadaku. Sepertinya dia sengaja menghindari pertanyaanku. Terbukti dengan dia yang mengalihkan arah pembicaraan kami saat ini.
“Eve, hari ini kamu ada jadwal kuliah nggak? Mau om antar nanti? Terus jam berapa kamu selesai kuliah? Biar om jemput nanti, soalnya kerjaan kantor nggak gitu banyak. Jadi, om punya waktu untuk antar jemput kamu sayang..” Ucapnya tanpa berusaha menjawab pertanyaan yang ku lontarkan tadi. Entah apa yang membuat om Jack tak mau memberitahuku alasan uncle J tidak pulang dari kemarin. Padahal, aku yakin banget kalau suaraku itu pasti didengar om Jack tadi. Apalagi jarak kami duduk tidak terlalu jauh.
“Aku ada jadwal kuliah pagi, om. Pulangnya mungkin sekitar jam 12 siang nanti. Nanti aku kabari om saja kalau sudah mau selesai kuliahnya. Om, jangan menghindar dengan pertanyaanku. Om pasti tahu kan kemana uncle J, sekarang?” Tanyaku yang masih berusaha mengetahui keberadaan uncle J. Jujur aku semakin penasaran apa alasan uncle nggak pulang dari kemarin, karena biasanya walaupun ada urusan mendadak, ada tugas kantor yang mengharuskan uncle untuk pergi, pasti uncle akan selalu mengabari aku. Tapi dari kemarin, uncle nggak ada sama sekali kasih aku kabar, membuatku jadi khawatir dan sekaligus merasa bersalah.
‘Apa jangan-jangan, uncle J sengaja tidak pulang ke rumah karena pernyataan cintaku kemarin ya? Uncle pasti sengaja mau menghindari aku. Kalau tahu begini, mendingan aku simpan rapat-rapat saja rasaku ini. Benar kata Bella, nggak seharusnya aku punya perasaan seperti ini terhadap uncle ku. Apalagi mengungkapkannya langsung, pasti uncle terkejut dan tak mau bertemu denganku lagi..’ Mengingat hal itu membuat batinku terasa teriris, aku nggak mau jika harus ditinggal lagi oleh uncle. Cukup aku kehilangan Orangtuaku, jangan sampai karena kebodohanku, aku juga harus membuat uncle meninggalkanku.
“Hei, jangan sedih dong sayang. Om bukan sengaja menghindari pertanyaan kamu. Tapi tadi lagi memang nggak fokus. Fokusnya sama nasi uduk ini. Uncle J, belum bisa pulang sampai nanti siang. Dia mesti pergi ke Yogya, karena ada urusan mendadak. Salah satu pabrik kita yang ada disana terbakar, jadi uncle J pergi untuk menyelesaikan persoalan itu. Mungkin dia belum mengabari kamu sampai sekarang, karena lagi sibuk-sibuknya dan nggak mau buat kamu khawatir. Makanya dia minta om untuk jagain kamu dulu, selama dia menghandle urusan yang disana. Urusan ini memang harus langsung ditangani owner perusahaan, karena terkait dengan asuransi tenaga kerja, mengusut kasus kebakaran, dll.. Udah jelaskan? Yuk kita pergi…" Ajaknya setelah menjelaskan panjang lebar tentang keberadaan uncle J sekarang.
Ya, saat ini aku memilih untuk percaya atas penjelasan om Jack tersebut. Tapi penjelasannya ini malah membuatku khawatir, apa uncle akan baik-baik saja disana. Dia pasti sangat sibuk dan kelelahan sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengabari aku yang disini. Tapi walaupun begitu, uncle J tetap saja memprioritaskan aku di hidupnya. Dengan meminta om Jack untuk hadir menjagaku, pasti uncle nggak mau aku merasa kesepian tanpa dirinya.
Akhirnya selesai sarapan, aku dan om Jack pun berangkat bersama untuk mengantarku kuliah.
Dalam perjalanan kami, tidak ada satupun di antara kami yang berniat untuk memulai pembicaraan. Suasana hening, dan aku pun memilih untuk menatap ke jendela mobil memperhatikan hal-hal yang kami lewati selama perjalanan. Tak terasa, kami pun sudah sampai di depan gerbang kampusku. Dimana terlihat banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang, ada yang sedang berjalan santai dan ada pula yang sudah berlari-lari seperti dikejar setan karena takut terlambat. Apalagi, kalau kelas yang akan dimasuki diampu oleh dosen killer. Pasti tamat riwayat tuh.
“Oke, Evelyn kita sudah sampai sayang. Nanti kabari om saja ya, kapan om harus jemput kamu. Jangan pulang sendirian…” Dia pun membukakan pintu mobilku, tindakan seorang gentleman. Aku pun tersenyum dengan perlakuan om ku ini.
“Oke, om.. Aku masuk ke dalam dulu ya. Makasih udah dianterin.. Bye.. Bye.. Om..” Ucapku tersenyum dan meninggalkannya pergi, namun sebelum itu om Jack masih sempat-sempatnya mencium keningku sebagai tanda sayang antara om dengan keponakannya. Tindakannya ini memang sering dilakukannya dari aku kecil sampai sekarang, makanya aku sudah terbiasa dan tak merasa risih sedikitpun.
Namun, tindakannya ini membuat orang lain akan salah paham mengira kami adalah pasangan kekasih. Sejak aku SMA, pasti ada saja yang mengatakan kalau om Jack ataupun uncle J, adalah kekasihku. Bahkan aku dikira sedang menyelingkuhi salah satu diantara mereka berdua. Usia kami memang terpaut jauh, tapi penampilan paman-pamanku yang tampan dengan tubuh atletis dan bergaya ini membuat mereka terlihat sangat muda di usia mereka, nggak kalah ganteng dengan artis-artis Barat dan Korea yang banyak digemari kaum wanita. Makanya mereka masih terlihat pantas dan cocok bersanding denganku yang usianya baru menginjak 19 tahun ini.
Tak mau ambil pusing dengan tatapan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang terang-terangan melihatku iri ataupun kagum saat ini, aku pun memilih mengabaikannya dan tetap masuk ke dalam kampus dengan berjalan santai seperti tidak ada kejadian.
***
Sementara itu, di Cafe J & J terlihat dua orang pria tampan sedang asyik membicarakan sesuatu sambil menyesap kopi Cappuccino Latte favorit mereka.
“Jack.. Kasih solusi dong,” ucapku dengan wajah bingung menatap sahabatku yang dari tadi cengar cengir nggak jelas begini.
"Kau ini aneh banget sih, Jay. Itu mah masalah gampang, tahu nggak?" Ucapnya ringan.
"Gampang gimana coba? Jack, ini keponakanku loh. Dia sudah dewasa, dan dia menyukai pamannya sendiri. Kau ngerti nggak sih?" Ucapku kesal dan memilih tidak melihat wajahnya yang menyebalkan itu.
"Hemm. Yes, I know. Why are you so confuse? You just need to find a girlfriend. So, your niece will forget what she feels about you. But, back to you? Can you do it?" Dia bertanya seakan-akan aku tak sanggup melakukannya.
Tapi jika diingat kembali, semenjak tragedi itu. Aku tak berani melakukan hubungan apapun dengan orang lain. Hidupku hanya terfokus untuk membahagiakan Evelyn. Dia hanya memilikiku. Begitu pula dengan diriku. Aku takut jika aku memulai hubungan baru dengan wanita lain. Dia akan tersakiti.
"Hey, bro.. Whatsupp? You can't do it, right? I know that. You also fall in love with her. Am I wrong?" Tanya Jack menegaskan perasaanku kembali yang aku sendiri tidak tahu.
Aku tidak bisa menjawabnya. Entah kenapa, lidahku kelu menolak ucapannya. Aku tahu itu salah, dan hal itu tidak boleh terjadi. Mungkin saja, aku dan Evelyn hanya merasa terlalu nyaman satu sama lain. Sehingga kami melupakan kehidupan kami yang lain. Ya, aku rasa seperti itu. Evelyn pasti hanya sedang bercanda denganku. Kenapa aku harus memusingkan hal seperti ini.
"Oh ayolah, Jack. Kau tahu. Itu semua tidak mungkin. Hubungan itu tidak mungkin akan terjadi. Aku menyayanginya sebagai seorang paman. Bukan sebagai seorang pria. Mungkin anak itu sedang bercanda. Kau tahu kan kelakuan dia? Anak yang usil. Mungkin sebentar lagi dia akan melupakan perkataannya. Benar kan, Jack?" Jawabku meyakinkan hatiku bahwa ini yang benar, bukan seperti perkiraan Jack kepadaku.
"Kau hanya sedang memungkirinya, Jay. Tapi, ya sudahlah. Benar katamu, mungkin saja itu hanya keusilan Evelyn saja. Bisa jadi, dia juga akan menyukaiku dan melupakan kau nantinya. Hahaha...." Tawa Jack memenuhi seisi ruangan ini yang sialnya membuatku semakin kesal saja.
"Sialan kau.. Itu tidak mungkin terjadi, aku tak kan membiarkannya. Jangan mimpi..." kesalku.
"Rileks buddy.. I'm just kidding. Okay .. So, to solve this problem, aku akan mencarikan seorang wanita yang nantinya akan menjadi pacar pura-pura kamu. Sehingga, Evelyn tidak akan berharap apapun lagi denganmu. Apa kau setuju?" Tawarnya kepadaku.
Ya tidak ada jalan lain lagi. Evelyn harus melenyapkan rasanya terhadapku. Ini untuk kebaikan kami berdua.
"Baiklah. Tapi itu hanya pura-pura saja. Aku belum ada niatan untuk menjalin hubungan yang serius sekarang ini..." Ucapku menyetujui pendapatnya.
"Oke.. Tapi ku ingatkan Jay, jika kau menyukai Evelyn. Ucapkanlah, sebelum semuanya terlambat. Bye.." Jack pun langsung pergi, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa.
'Tidak. Aku tidak mungkin menyukai, Evelyn. Ya, itu yang benar. Jack salah' batinku.
Namun, ternyata Jack kembali lagi menghampiriku.
“Oh ya, urusanmu di Yogya sudah selesaikan? Buruan pulang, Evelyn sudah khawatir denganmu karena dari semalam kau tak ada mengabarinya sama sekali. Habis ini aku mau jemput Evelyn dulu, baru langsung ke kantor lagi untuk menyelesaikan sisa pekerjaanmu..” Ucapnya mengingatkanku untuk segera pulang, dan akhirnya dia pun pergi meninggalkanku sendiri, tanpa perlu repot mendengarkan tanggapanku.
***
"Bibi.. Uncle J sudah pulang?" Tanyaku begitu pulang dari kampus.
"Sudah, Nona. Tuan Jay, ada di kamarnya. Tapi sepertinya beliau sedang tidak ingin diganggu Non. Begitu pesan tuan Jay tadi.." Jawab Bi Fatma dari dapur.
'Tumben sekali, uncle begini. Apa dia mencoba menghindariku? Untuk apa coba..' Batinku sedih mengingat jika benar uncle berencana menghindariku.
Tapi aku tidak peduli. Langkah kakiku justru berjalan menyusuri tangga rumah kami. Ya, kamar uncle J berada di lantai 2 paling ujung. Dan tidak ada seorang pun yang akan diizinkannya masuk kecuali aku dan ART yang setiap pagi akan membersihkan kamarnya.
"Tok.. Tok.. Tok.." Ketukku di balik pintu kamar uncle yang terkunci.
"Sudah saya bilang, jangan ada yang menggangguku. Pergi sana." Bentak uncle dari dalam kamarnya. Seakan menyimpan kekesalan yang kuat dari nada bicaranya.
"Hikss.. Uncle menghindariku ya? Maafin, Evelyn. Evelyn janji tidak akan mengulangi perkataan yang kemarin kalau uncle tidak suka. Tapi, please.. Uncle jangan nggak pulang tanpa kabar lagi ya. Jangan jauhi aku. Aku sangat sedih uncle. Aku tidak akan mengganggu uncle.." Ucapku lirih di balik pintunya. Perasaanku tak menentu. Aku sangat merindukan uncleku. Tapi dia sama sekali tidak ingin berbicara denganku. Sesak sekali.
Aku melangkah langsung ke kamarku yang letaknya sama di lantai 2. Membanting pintu sekuat tenagaku. Aku tidak peduli jika suaranya sangat mengganggu yang lain. Aku marah. Aku kesal. Tapi aku merindukan uncle Jay. Sejak kemarin aku tidak melihat wajahnya. Dia sengaja menghindariku. Aku menangis tersedu-sedu di kamarku.
"Ayah.. Ibu.. Aku rindu kalian. Kini, uncle J tidak mau berbicara lagi denganku. Kenapa kalian semua meninggalkanku?" Aku menangis sejadi-jadinya dengan wajah yang ku benamkan dalam kedua lututku. Hingga terdengar suara pintu yang terbuka.
Ceklek...
"Maafkan uncle, Eve.. Jangan menangis.." Uncle ku mencoba menghampiriku yang berada di atas kasur dengan posisi yang sama saat sebelum dia datang.
"Pergi saja, uncle. Bukankah uncle sedang tidak ingin diganggu? Aku tidak apa-apa disini. Aku hanya merindukan ayah dan ibuku.." Jawabku tanpa melihatnya dan langsung merubah posisiku membelakanginya.
"Tidak, Eve. Jangan berkata seperti itu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Maafkan, uncle.." Ucapnya dan langsung memelukku dari belakang. Meraih kepalaku untuk disandarkan di dadanya yang bidang.
"Hikss.. Hikss. Uncle tidak perlu minta maaf. Aku yang salah. Pasti uncle sangat terbebani dengan perasaanku. Maafkan aku yang tidak memikirkan perasaan uncle. Hiks.." Aku langsung memeluk pamanku erat.
“I had good intentions, and the highest hopes. But I know right now, it probably doesn't even show. Please, go easy on me, uncle..”
"I was still a child, I didn't get the chance to
feel the world around me. I had no time to choose, what I chose to do. So go easy on me…" Ucapku lirih dengan menatap matanya.
Entah ada hal apa. Tiba-tiba, uncle meraih wajahku dan menempelkan bibirnya di kedua kelopak mataku. Dia mengecupnya dengan lembut. Membuat air mataku kembali luruh.
"Hei, Eve. Lihat aku. Aku tidak merasa terbebani sama sekali. Tapi, uncle butuh waktu untuk mencerna semua ini. Kamu bisa mengertikan sayang?" Ucapnya tulus tanpa ada niatan untuk menyakitiku.
Aku tertegun mendengar jawaban uncle. Mungkinkah dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Entah setan apa yang merasukiku, dengan sedikit keberanian yang ku miliki, aku bisa melakukan hal segila ini. Aku meraih wajahnya dan mencium bibirnya secepat kilat. Aku telah mencium pamanku sendiri. Entah ini bisa disebut ciuman atau tidak, tapi ini yang pertama bagiku.
“Eve, apa yang kau lakukan?” Ucapnya serak dengan menatap mataku.
Aku mencoba mengalihkan pandanganku, melihat lantai kamar, menautkan jari-jariku. Aku takut. Aku takut, uncle akan marah lagi padaku. 'Evelyn yang malang', pikirku.
Namun, tiba-tiba..
"Kau harus bertanggung jawab, Eve.." Uncle J langsung mendorongku terlentang di atas kasur dengan dia berada di atas tubuhku. Mengurungku dengan tubuhnya yang tegap. Aroma maskulin dari tubunya menguar begitu saja, terhirup oleh indra penciumanku.
Dia mulai mencium bibirku dengan lembut. Sangat lembut seperti tidak ingin menyakitiku. Awalnya aku bingung dengan hal ini. Aku terkejut. Namun, akal sehatku sepertinya sudah lenyap saat uncle ku menaikkan ritme ciumannya di bibirku. Dia mencoba melesakkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku pun memberikan akses untuknya, lidah kami saling membelit, menemukan satu sama lain.
Tanpa ku sadari, tanganku sudah berada di dada bidang pamanku. Mencoba membuka kancing kemeja putih yang membungkusnya sedari tadi. Ku raba tubuh pamanku. Perut six packnya. Tanganku sangat lancang saat ini. Pamanku mengerang.. "Emmm.. Eve.." Suaranya serak menahan sesuatu.
Tiba-tiba tangan pamanku, membuka paksa kemeja pink yang ku pakai. Dia meraba buah dadaku tanpa sedikitpun melepaskan ciuman bibirnya di bibirku.
Tangannya meremas payudaraku yang berukuran sedang. Aku menggila menerima perlakuannya. Hingga desahan nikmat keluar dari bibirku..
"Ahh.. Rasanya aneh sekaligus nikmat sekali uncle.." Desahku di bawah kungkungannya.
Namun, tiba-tiba pamanku melepas ciumannya dan berdiri seketika. Dia melihat kondisiku yang sudah awut-awutan dengan rambut yang tidak tertata lagi. Kemeja yang menutup tubuhku sudah koyak akibat pembukaan paksa yang dilakukan pamanku, hingga memampangkan payudaraku yang sedari tadi diremasnya.
"Ohh.. Shit.. Evelyn, maafkan aku.." Ucapnya dan langsung pergi meninggalkanku begitu saja.
***
'Gilaaaa.. aku sudah gila. Bisa-bisanya aku melakukan hal itu dengan Evelyn? Sadarlah Jay. Kau sudah hampir merusak keponakanmu sendiri', batinku berteriak, membuat kepalaku semakin pusing.
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak akan bisa menghadapi Evelyn. Aku tidak punya muka lagi.
'Bullshit banget, kau Jay. Mana janjimu yang selalu ingin melindungi Eve mu. Justru kau yang akan menghancurkannya..' Batinku kembali berperang.
Aku harus pergi dari sini sementara waktu dan mencari penyelesaian dari masalah ini.
Evelyn ku. Dia tidak boleh hancur karena aku pamannya.
Aku membuka lemari pakaianku, ku ambil beberapa helai pakaianku dan memasukkannya ke dalam koperku dengan paksa.
Aku tidak bisa disini. Aku harus pergi sementara waktu untuk menormalkan kembali isi pikiranku.
"Tap.. Tap.. Tap.." Langkah kakiku menyusuri anak tangga dan bersiap untuk langsung kabur dari sini sebelum Evelyn menyadari kepergianku. Tapi ternyata.
Sial..
"Uncle J, mau kemana? Uncle, mau pergi lagi? Tuh kan.. Uncle pasti marah denganku lagi kan. Maafin, Evelyn uncle.. Hikss.. Hikss.." Air matanya seketika mengalir di wajahnya yang cantik.
Bagaimana ini, aku tidak bermaksud menyakitinya. Tapi ucapannya memang benar dan itu sangat menohokku.
"Hei sayang.. Tenanglah. Uncle pergi bukan untuk menghindari kamu sayang. Uncle punya tugas ke luar kota selama 1 minggu ini. Cabang perusahaan kita sedang memerlukan kehadiran uncle. Kamu ingatkan kalau sebelumnya uncle harus ke Yogya karena salah satu pabrik kita terbakar disana, nah ternyata urusannya masih belum selesai. Uncle masih harus kesana lagi. Uncle janji setelah selesai, uncle pasti langsung kembali. Okay.. Jangan nangis lagi ya sayang.." Kataku mencoba mencari alasan, walaupun sebenarnya masalah itu memang benar terjadi. Tapi sebenarnya hal ini masih bisa diurus oleh Jack tanpa aku harus kesana, namun sekali lagi aku memanfaatkan momen ini untuk menjernihkan akal sehatku terlebih dahulu. Berharap Evelyn dapat menerima alasan yang ku berikan ini.
"Benarkah? Uncle nggak bohong kan?" Ucapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca kembali.
"Oh, ayolah Eve. Sejak kapan uncle pernah berbohong dengan kamu? Jaga diri baik-baik ya sayang, jangan keluyuran selama uncle pergi. Okay.." Ucapku dan langsung mengecup keningnya lama.
"Hemm. Baiklah, uncle. Semoga urusannya cepat selesai ya uncle.." Ucapnya melepas kepergianku.
"Bye.. Eve.." Ucapku dengan melambaikan tanganku dan menghilang di balik pintu keluar rumahku.
‘Maafkan uncle sayang, uncle berbohong dengan kamu. Uncle butuh waktu untuk menormalkan perasaan uncle..’ Ucapku pada diri sendiri dan segera pergi dari tempat itu.
***
"Hallo, Bell.." Panggilku dari seberang telepon.
"Apalagi, Eve? Kamu ini gangguin aku mulu. Nggak di rumah, di kampus.. Ck.." Ucap sahabatku yang terdengar kesal disana.
"Iiihh. Kok gitu sih, Bell. Nanti kamu kangen loh kalau nggak ada sahabatmu yang bawel ini lagi.. Kikikik.." Godaku sambil terkikik geli. Mendengar ini pasti Bella semakin kesal denganku. Tapi biarinlah..
"Issh, ya ampun nih anak. Cepetan kalau mau ngomong. Entar aku matiin nih.. Ganggu aja, orang lagi baca novel juga.." Ucapnya ketus.
"Hahaha. Okay.. Okay. Bell, tadi uncle ku cium bibir aku. Gila nggak itu Bell? Aku senaaaaaanng banget. Ternyata uncle J juga punya perasaan yang sama denganku.." Aku tertawa bahagia menjelaskannya.
"What?? Are you serious?" Tanya sahabatku tak percaya.
"Of course.. I am.. Jadi Bella, ku batalkan niatku dicarikan pacar olehmu ya sayang. Hahaha.." Ucapku dengan senyum lebar yang menghiasi wajahku.
"Okay.. Terserah kamu deh. Selamat ya sayang aku, Evelyn. Kalau kamu senang, aku juga ikutan senang.." Katanya tulus di seberang sana.
Aku tahu sahabatku Bella. Di balik ketusnya dia, tapi dia sahabat yang baik dan selalu mendukung apapun keputusanku.
"Okay, Bell. Thank you, dear.. Ku tutup dulu ya. See you.." Aku pun langsung memutuskan panggilan itu.
Ya. Aku sangat bahagia sekali saat ini. Semoga saja, aku dan uncle benar-benar bisa menjadi sepasang kekasih. Aku mencintainya. Sangat..
***
Penasaran dengan visual dari tokoh sahabat peran utama dalam cerita ini guys??
Nih, author kasih bonus imajinasi karakter mereka 😆
Yuk, intip yuk… Are you ready? 🤪 👇👇👇






Gimana nih respon UFG Lovers? 💕💕
Keren banget kan setiap karakternya 🤩
Silahkan kalian berimajinasi, semua ini hanyalah FIKTIF BELAKA 🤣
Best Regards,
E. Sasaki 💚
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
