
Volume 2 — Déjà Vu: Reset
“Kelanjutan dari kisah hidup Vino didunia barunya. Di volume kedua ini, tantangan semakin berat, rahasia semakin dalam, dan pilihan semakin sulit. Saat kebenaran mulai terungkap, apakah Vino siap menghadapi yang ada di baliknya?”
=======
Daftar bab :
- Bab 6 — Keluarga Cemara
- Bab 7 — Sempurna?
- Bab 8 — Harapan Baru
- Bab 9 — Viona
- Bab 10 — Mimpi
- Bab 11 — Alumni
- Bab 12 — Titik Balik
=======
<Makasih dah mau mampir kak!>
<Tersedia juga di Fizzo | Wattpad ges aku upload lebih cepet...
Bab 6 — Keluarga Cemara
Seorang bayi perempuan telah lahir.
Saat itu, Vino dan adik-adiknya berkunjung ke rumah sakit.
Victoria dan Verro berlarian di lorong rumah sakit yang kala itu sangat ramai.
Ayah mereka hanya tertawa melihat kelakuan mereka sambil berkata, “Guys, jangan lari-lari! Nanti nabrak orang atau jatuh.”
Sesampainya di ruangan tempat ibunya dirawat, ayah tersenyum penuh semangat. “Ayah punya kejutan buat kalian di dalam kamar ini. Siap-siap ya!”
Victoria dan Verro langsung penasaran. Mereka berjalan masuk, menahan rasa ingin tahu.
Ketika masuk kedalam rumah sakit, Vino teringat akan masalalunya. Tempat dimana dia dirawat, bau obat kala itu, dan seperti apa suasana disana.
Di sana, mereka melihat seorang bayi perempuan yang sangat cantik dan anggun, tertidur dalam baby box rumah sakit.
Di sebelahnya, ibu mereka tersenyum penuh kasih. Matanya yang sedikit lelah tetap memancarkan kebahagiaan saat memperhatikan anak-anaknya.
Victoria dan Verro langsung mendekat.
"Halo Kakak-kakak yang cantik dan ganteng. Kenalin, namaku Viona Virendra," ujar ayah mereka, memperkenalkan bayi mungil itu.
"Halo, Viona!" ucap Victoria sambil menatap adiknya yang tertidur pulas.
"Verro jadi seorang kakak deh sekarang!" kata ayah sambil menepuk pelan kepala Verro.
Verro, yang baru berusia dua tahun, terlihat sangat gembira, meski belum terlalu lancar berbicara. Dia mencoba mengatakan sesuatu dengan suara imutnya, “B-baby. Hih... aku k-kakak...!”
Suasana di rumah sakit kala itu penuh kebahagiaan. Dengan kehadiran anggota keluarga baru, rumah mereka kini akan semakin ramai.
--
Beberapa hari setelah itu, Vino sadar satu hal. Hidupnya sekarang jadi lebih ribet.
Setiap pagi, rumah ini bukan lagi tempat tinggal biasa. Ini lebih mirip pasar pagi yang kebetulan ditempatin sama orang-orang yang overdosis energi.
“KAK VINOOOO! Bangun woy!!”
Teriakan itu sukses bikin Vino lompat dari kasur, hampir kejedot tembok.
Mata masih setengah merem, dia melihat pintu kamar kebuka dengan kasar. Di sana berdiri Victoria, adik perempuannya yang kelihatan sudah siap nyodorin tinju kalau dia masih molor.
"Kita udah kelar mandi, kakak kapan?" tanya Victoria, nyodorin handuk ke muka Vino dengan ekspresi malas.
Vino menguap lebar. "Santai, baru jam—" Dia melirik jam dinding. “Hah?! Udah jam segini!?”
Di sudut ruangan, Verro tertawa melihat kakaknya yang terkejut sambil asyik main puzzle.
Vino cuma bisa garuk-garuk kepala. Hidup di keluarga ini bener-bener gak ada damainya.
--
Setelah berhasil bangun dan gak kena teriakan pagi lagi, Vino turun ke ruang makan.
Seperti biasa, suasana di meja makan rame banget.
Victoria sibuk nyendok nasi sambil ngelirik HP. Verro, masih setengah sadar, duduk dipangkuan ibu yang menyuapinya susu sambil menggendong Viona yang saat itu sedang tertidur."
Vino duduk dan langsung mengambil piringnya. Tapi begitu dia baru mau mulai makan—
"Kakak Vino! Suapin aku!" seru Victoria dengan senyuman tipis.
Vino melotot. “Lah, kamu udah gede bisa makan sendiri gak sih?”
"Tapi aku mau disuapin biar rasanya lebih enak!" Victoria mendengus sambil menyilangkan tangan.
Ayah ngakak. “Udah, Kak, penuhi aja permintaan si bocil biar diem.”
Vino mendengus, tapi tetap menyuapkan sesendok nasi ke mulut Victoria.
“Yayyy! Kakak paling baik!”
Vino cuma bisa ngelirik Ayah dan Ibu dengan tatapan penuh penderitaan.
“Kenapa kehidupan gue yang dulunya damai jadi serba ribet dan berisik begini dah?”
--
Di balik semua kekacauan di rumah, Vino punya satu tempat pelarian: Jayden.
Dulu di kehidupan sebelumnya, dia kurang suka bergaul. Temannya paling cuma dua atau tiga orang yang benar-benar dekat. Tapi kali ini, dia punya kesempatan kedua untuk mengubah itu.
Saat di sekolah, Vino menghampiri Jayden dan duduk di sebelahnya.
Tiba-tiba Jayden membuka percakapan terlebih dahulu. “Vino, kamu suka gak sama musik?”
Mata Vino sedikit terkejut. “Wih, tumben banget dia duluan yang buka percakapan.”
“Musik, ya...”
"Iya, musik. Aku sih sebenernya suka, tapi malu buat ngungkapin itu ke orang lain." Jayden berbicara dengan sedikit malu.
“Wih, kamu berbakat di musik??”
“Kalau dibilang berbakat sih enggak. Cuma bisa dikit-dikit.”
Vino mulai tertarik. Dunia baru, kesempatan baru. Kenapa gak dia manfaatin buat belajar hal-hal baru juga?
“Kalau bisa, nanti kamu ajarin aku, ya. Kamu bisa main alat musik apa?”
“Aku bisa main drum sedikit, tapi udah lumayan lancar main gitar.”
"Wih, bisa dapet ilmu baru gue nih!" pikir Vino.
“Boleh tuh, nanti aku boleh gak main ke rumah kamu buat belajar musik?”
“Boleh kok! Tapi aku minta izin dulu sama papa mama aku.”
“Oke!”
--
Sepulang sekolah, Jayden meminta izin ke orang tuanya untuk mengundang Vino.
“Mah, Pah, boleh gak aku ajak temen main ke rumah?”
"Boleh kok, Nak," jawab mereka dengan lembut.
“Yey, makasih Pah, Mah! Aku bilang ke Vino dulu, ya. Nanti aku pulang bareng dia.”
Kebetulan, rumah Jayden gak jauh dari sekolah. Jalan kaki lima menit pun udah sampai.
Jayden menghampiri Vino dan melihat ia sedang berbincang dengan ayahnya yang sedang didalam mobil.
Kemudian ia diam diam bersembunyi dibalik pohon sambil mendengarkan perbincangan mereka.
“Yah, Boleh gak aku main sama temen aku?”
"Ohh anak ayah dah punya temen Deket nih." Ucap ayahnya sambil nyengir. “Gimana dia cakep gak?”
"Apa sih yah, dia cowok, namanya Jayden." Balas Vino dengan tatapan malas.
"INI KENAPA AYAH GUE JADI BEGINI DAH? BEDA BANGET SAMA YANG DULU JIR." Vino berkata dalam hati.
Ayah tertawa “Yaudah main sana, terus nanti pulangnya gimana?”
“Tenang yah, aku bisa jalan sendiri.”
“Bener ya? Yaudah ayah tinggal ya. Dadah!”
Vino terdiam sambil melihat mobil ayahnya pergi. Lalu datanglah Jayden dari belakang.
"Itu siapa?" Tanya Jayden. “Itu ayah aku. Jadi gimana boleh kah?”
“Boleh kok. Yuk jalan sekarang, rumahku dekat kok!”
Dulu dikehidupan lamanya ia bahkan tidak tau dimana rumah Jayden. Tapi kini untuk pertama kalinya ia akan pergi kerumah temannya ini.
--
Sesampainya dirumah Jayden.
Vino sedikit terkejut melihat rumah Jayden yang dari luar terlihat sederhana. Tapi begitu masuk…
"Hah?! Ini rumah atau ruang dimensi lain?" pikirnya.
Di dalam, rumah ini terasa jauh lebih luas dari yang terlihat di luar.
Saat berjalan mengikuti Jayden, Vino melihat ada secarik surat di meja makan.
“Jay, surat apa ini?”
Jayden menoleh sambil menyalakan lampu dan AC. “Surat apaan? Coba sini lihat.”
Ternyata itu surat dari orang tua Jayden, yang bilang kalau mereka sedang pergi belanja.
"Jay, kamu tinggal sendiri kah?" tanya Vino, sedikit penasaran.
“Iya, biasanya aku sendiri di rumah.”
“Gak pernah main keluar?”
“Aku gak punya teman di luar.”
Iya juga. Kalau diingat-ingat, Jayden memang orangnya agak tertutup.
“Ayo, sini kutunjukin tempat biasanya aku main gitar.”
Mereka berjalan menuju sebuah ruangan kecil di sudut rumah. Saat pintunya dibuka—
“Wah, ternyata ada studio musik di rumah kamu?”
“Ehm, iya. Dulu ini punya Ayah aku.”
Dia punya gitar akustik yang selalu dia petik tiap sore di teras rumah. Kadang dia belajar lagu-lagu yang lagi viral, kadang dia iseng nyiptain lagu sendiri.
Waktu dia lagi nyetem gitar listriknya, Vino bertanya pada.
“Jay, kamu bisa main lagu metal gak?”
Jayden menjawab dengan nada datar. “Bisa aja, tapi ini effect distorsi dan overdrive nya gak bisa dipakai.”
“Rusak?”
“Iya”
“Vin, kamu tau lagu ini gak?”
Jayden mulai memainkan lagu karya Dewa-19 yang berjudul Kangen. Dan menunjukan solo gitarnya.
Vino terkejut. Ia tidak menyangka Jayden sehebat itu bermain gitar. “Wih keren, aku tau kok itu kangen dari dewa 19 kan?”
“Iya kok bisa tau, kamu sering denger lagu kah?”
Vino tertawa tipis “ehehe ya begitulah.”
“Ini mah lagu gue waktu jaman jaman SMP”
Setelah itu Vino mulai meminta Jayden untuk mengajarinya dasar dasar gitar.
Sejak hari itu, Vino mulai belajar gitar dari Jayden. Dan itulah awal dari keseruan mereka di studio musik kecil milik Jayden.
--
Malam itu. Sesudah pulang dari rumah Jayden, Vino dan keluarganya makan malam bareng seperti biasa.
Sambil makan, tiba-tiba ayah mereka nyeletuk.
“Kalian sadar gak sih, kalau rumah ini makin lama makin rame?”
Vino langsung meletakkan sendoknya dan menatap ayahnya dengan ekspresi capek. “Yah, baru nyadar sekarang?”
Ibu mereka ketawa. “Ya namanya keluarga, Vin. Makin banyak anak, makin banyak rezeki.”
Vino menghela napas. “Kalau rezeki dalam bentuk suara berisik, kita udah kaya raya sih.”
Victoria menjawab. “Tapi seru! Jadi kakak itu seru banget bisa main bareng adik sambil bercanda dan tertawa kak!”
(Vino tersenyum tipis sambil mengacak rambut Victoria.)
"Iya, iya. Punya banyak saudara itu seru... walaupun kadang bikin pusing juga," gumamnya pelan.
Ayah tertawa. “Nah, itu dia. Makin rame, makin banyak cerita, makin banyak pengalaman.”
Ibu mengangguk setuju. “Dan yang paling penting, kalian semua selalu ada satu sama lain. Itu yang bikin keluarga kita kuat.”
Victoria tersenyum lebar, sementara Verro hanya tertawa kecil sambil melanjutkan makannya. Vino melirik mereka sebentar sebelum akhirnya ikut tersenyum.
Ditengah tengah percakapan hangat mereka. Viona mulai menangis di kamar.
Dan ibunya segera datang ke dalam kamar untuk memeriksa Viona, sementara ayah dan adik adiknya berbincang dan bercanda.
"Meski begitu apa salahnya juga kan?"
"Aku sangat bersyukur bisa mendapatkan kehidupan yang seperti ini.."
"Kuharap kehangatan seperti ini berlangsung terus selamanya." Ucap Vino dalam hati sambil tersenyum melihat keluarganya dengan hangat.
Mungkin, meskipun hidupnya di kehidupan baru ini lebih ribet dan berisik, tapi setidaknya... ia gak pernah sendirian lagi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya—atau lebih tepatnya, dalam kehidupan barunya—Vino merasa benar-benar punya rumah.
--
Bab 7 — Sempurna?
“Kesempurnaan adalah ilusi. Bahkan bintang paling terang pun bisa redup ketika waktunya tiba.”
--
Tahun-tahun berlalu. Sejak diberikan kesempatan kedua untuk hidup, Vino menjalani hari-harinya dengan penuh semangat.
Kini, ia berusia hampir 11 tahun dan duduk di kelas 5 SD yang beberapa bulan lagi kenaikan kelas tiba. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas, berbakat, dan penuh ambisi. Nilai-nilainya selalu bagus, sering menang perlombaan akademis, dan menjadi kebanggaan di kelasnya. Tak hanya itu, ia juga mulai mengembangkan minat di berbagai bidang—bermain gitar, membaca buku, memperdalam bahasa pemrograman, hingga mencoba bisnis kecil-kecilan bersama teman-temannya.
Adik-adiknya pun tumbuh dengan pesat.
Victoria, 9 tahun, kini duduk di kelas 3 SD. Ia ceria, energik, lebih dewasa, dan sangat mengagumi Vino. Sementara Verro, si pemberontak kecil yang kini berusia 7 tahun, duduk di kelas 1 SD. Vino sempat membayangkan bagaimana adiknya itu saat besar nanti, dan ternyata dugaannya benar. Verro aktif, berenergi, keras kepala, dan sedikit bandel. Namun di balik semua itu, ia tetap anak yang baik dan penuh rasa ingin tahu.
Sedangkan si bungsu, Viona, baru berusia 5 tahun dan masih di taman kanak-kanak. Viona kecil yang manja tapi pintar, menggemaskan layaknya seorang putri dari negeri dongeng. Jika dunia ini adalah fantasi, mungkin ia sudah menjadi seorang putri kerajaan yang anggun.
Vino menjadi lebih sering berbincang dengan Jayden. Sudah hampir lima tahun berteman namun tidak ada perubahan. Jayden tetaplah orang yang sulit bergaul. Kadang dikelas aja dia jarang ngobrol sama teman teman yang lain, kecuali dengan Vino.
Bahkan ketika Vino berkumpul dan duduk bersama untuk bercanda dengan anak laki laki dikelasnya, Jayden tidak pernah ingin bergabung. Ia hanya berbicara dengan Vino saat sedang sendiri saja.
Meski begitu sekarang kehidupan Vino menjadi lebih ramai dibanding kehidupan sebelumnya.
Hidup Vino terasa sempurna. Setidaknya, begitulah yang ia pikirkan selama beberapa tahun terakhir.
Sejak kecil, ia memiliki segalanya—keluarga yang hangat, teman-teman yang baik, dan kehidupan yang jauh lebih baik daripada kehidupan sebelumnya. Ia berkembang pesat, baik secara akademik maupun sosial.
Di sekolah, ia dikenal sebagai anak cerdas yang bisa diandalkan. Bukan hanya unggul dalam pelajaran, tapi juga aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Guru-guru menyukainya, teman-temannya menghormatinya. Dunia ini terasa ramah, seperti seharusnya.
Di rumah, keluarganya masih utuh. Ayahnya masih berangkat kerja dengan senyum di wajahnya, ibunya masih memasak sarapan setiap pagi. Segalanya terasa... sempurna.
Namun, kesempurnaan itu tidak bertahan lama.
--
Masalah itu datang perlahan, seperti awan hitam yang perlahan menutupi langit cerah.
Bisnis ayahnya, yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, mulai mengalami kemunduran. Awalnya hanya sedikit, nyaris tak terasa. Tapi semakin lama, semakin buruk. Hingga akhirnya, semua menjadi nyata—bisnisnya bangkrut.
“Ternyata... dunia ini... tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya...”
Ayahnya dulunya seorang pengusaha di bidang konstruksi. Ia menangani proyek-proyek besar, membangun gedung, rumah, dan berbagai infrastruktur. Pekerjaannya bergengsi, uang mengalir deras, dan kehidupan mereka nyaman.
Namun, ekonomi tidak selalu stabil. Kontrak proyek mulai dibatalkan, klien besar pergi satu per satu, pemasukan menurun drastis. Awalnya, ayahnya masih bertahan, mencoba segala cara agar bisnis tetap berjalan. Tapi kenyataan semakin tak berpihak. Hingga akhirnya, ia harus menyerah.
Dalam beberapa bulan, kondisi finansial keluarga mereka berubah drastis. Mobil yang dulu membawa mereka ke mana-mana kini sudah dijual. Barang-barang mewah yang dulu menghiasi rumah perlahan menghilang. Ayahnya kini tidak memiliki pekerjaan, dan mereka hanya bisa bertahan dengan uang hasil penjualan aset.
Laki-laki yang dulu terlihat kuat dan tegar itu kini sering duduk diam di ruang tamu dengan tatapan kosong. Ia tidak lagi banyak berbicara. Sekalinya tersenyum pada anak-anaknya, senyuman itu terasa dipaksakan. Kadang, di malam hari, Vino mendengar desahan napas berat dari ruang kerja, seolah ayahnya sedang memikul beban yang tak bisa dibagikan kepada siapa pun.
Rumah itu masih berdiri, tapi rasanya berbeda.
--
Malam itu, Vino terbangun karena haus. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti di depan ruang tamu.
Suara ayah dan ibunya terdengar jelas.
Awalnya, Vino tidak berniat mendengarkan. Tapi nada suara mereka begitu serius, penuh kekhawatiran. Tanpa sadar, ia berdiri diam di balik dinding, menguping percakapan mereka.
"Aku sudah mencoba semuanya, tapi tetap saja... tidak ada yang bisa diharapkan sekarang." Suara ayahnya terdengar begitu lelah, lebih lelah dari yang pernah Vino dengar sebelumnya.
"Jadi... benar-benar tidak ada jalan keluar?" Suara ibunya bergetar.
“Aku sudah menjual semua aset yang bisa dijual, bahkan properti cadangan. Kita masih punya cukup uang untuk bertahan beberapa tahun, tapi setelah itu... aku tidak tahu lagi.”
..…
Keheningan panjang menyelimuti ruangan.
“Lalu bagaimana dengan pekerjaan? Apa tidak ada perusahaan yang bisa menerimamu?”
"Siapa yang mau menerima seorang mantan direktur yang bahkan tidak bisa mempertahankan bisnisnya sendiri?" Ayah tertawa kecil, penuh kepahitan. “Aku sudah melamar ke mana-mana. Tidak ada yang cocok. Kalau pun ada, gajinya tidak cukup untuk menopang keluarga kita.”
"Tapi kita tidak bisa terus begini..." Suara ibu semakin melemah. “Anak-anak butuh masa depan. Mereka masih kecil, masih harus sekolah...”
Ayah terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab.
"Aku tahu, Sayang. Aku tahu..." suaranya hampir seperti bisikan.
Vino menggigit bibirnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingin keluar dari persembunyiannya, ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia tahu, kata-kata itu tidak akan mengubah kenyataan.
Ia menelan ludah, berbalik dengan hati yang terasa berat, dan berjalan kembali ke kamarnya dalam diam.
Saat itu, ia menyadari sesuatu.
Kehidupan sempurnanya sudah berakhir.
Sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya. Dejavu.
Ia tidak mengingat banyak tentang kehidupan sebelumnya, tapi suasana ini… perasaan ini… begitu mirip. Kehilangan, ketidakpastian, ketakutan akan masa depan.
Namun kali ini, Vino tidak ingin menyerah.
Meski hidupnya tidak lagi semewah dulu, ia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan. Ia masih memiliki kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik, dan ia bertekad untuk memanfaatkannya.
Ia mulai lebih berhati-hati dalam menggunakan uang sakunya, lebih menghargai setiap hal kecil yang ia miliki. Ia belajar untuk lebih mandiri, membantu ibunya di rumah, mencari cara agar keluarganya tetap bertahan tanpa kehilangan harapan.
Bahkan Vino belajar lebih giat lagi. Yang ia pelajari bukanlah sekedar sebuah mata pelajaran sekolah, melainkan sebuah skill seperti coding ataupun skill lainnya untuk pekerjaan nantinya.
Tapi meski ia berusaha sekuat tenaga, jauh di dalam hatinya, ia tahu…
Badai yang lebih besar masih menunggu di depan.
--
Bab 8 — Harapan Baru
“Kadang, kita harus melewati malam yang panjang sebelum akhirnya melihat cahaya pagi.”
--
Satu tahun telah berlalu.
Vino kini duduk di kelas 6 SD. Usianya 12 tahun, dan dalam setahun ini, banyak hal yang berubah dalam hidupnya. Dulu, ia menjalani hari-hari dengan nyaman, tanpa perlu terlalu memikirkan uang atau masa depan. Namun, sekarang ia hidup dalam dunia yang berbeda. Dunia yang menuntutnya untuk lebih bijak, lebih dewasa, dan lebih mandiri.
Kehidupan mereka tidak seburuk yang ia bayangkan, tetapi jauh dari kata mudah. Ia kini lebih berhati-hati dalam menggunakan uang, lebih sering membantu di rumah, dan mulai mencari cara untuk mendapatkan uang sendiri, meskipun jumlahnya kecil.
Vino sering menjual barang-barang kecil di sekolah—kadang alat tulis, kadang jajanan. Ia juga pernah membantu temannya mengerjakan tugas dengan bayaran seikhlasnya. Hasilnya tidak banyak, tetapi cukup untuk membeli sesuatu untuk dirinya sendiri atau membantu adiknya jika mereka butuh sesuatu.
Victoria, yang kini duduk di kelas 4 SD, mulai menyadari perubahan dalam kehidupan mereka. Meskipun Vino berusaha menyembunyikannya, Victoria cukup cerdas untuk mengerti bahwa keluarga mereka tidak lagi sebaik dulu. Namun, alih-alih mengeluh, Victoria menjadi lebih dewasa. Ia tidak lagi meminta barang-barang mahal seperti dulu. Ia mulai membantu ibu di rumah dan lebih memperhatikan Verro dan Viona.
Sementara itu, Verro, yang sekarang kelas 2 SD, masih menjadi bocah yang berisik dan selalu membawa keceriaan di rumah. Kadang, justru karena keusilannya, Vino bisa sedikit melupakan tekanan yang ia rasakan.
Dan di sisi lain, Viona sepertinya menyimpan sedikit misteri yang bahkan belum diketahui Vino.
--
Suatu hari, saat mereka makan malam sederhana di meja makan, Verro tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang membuat semua orang menahan tawa.
“Ibu, kenapa sekarang kita jarang makan ayam? Ayamnya lagi pada terbang ke mana?”
Vino hampir tersedak mendengar itu, sementara Victoria langsung menutup mulutnya menahan tawa. Ibunya menghela napas dan tersenyum kecil.
"Ya, mungkin ayamnya nyari makan juga, Nak," jawab ibunya sambil mengusap kepala Verro.
Verro berpikir sejenak sebelum berkata, “Kalau aku punya makanan, aku bakal bagi makananku ke ayam.”
Lalu dimulailah perdebatan bocah.
"Kak, ayam mana bisa terbang!" kata Viona dengan percaya diri.
"Lah, kamu nggak percaya ayam bisa terbang? Bisa lah, mereka punya sayap kok!" balas Verro.
"Emangnya semua hewan yang punya sayap bisa terbang?" Viona menoleh ke Victoria.
Victoria mengangguk. “Bener. Ayam nggak bisa terbang jauh. Bisa, tapi nggak sampai ke langit.”
Verro menggeleng cepat. “Kak, kemarin aku lihat ayam bisa terbang sampai ke langit!”
"Kamu lihat di mana?" tanya Victoria.
“Di kartun, Kak!”
Seketika, semua orang menatap Verro sambil menahan tawa.
"Hahaha! Lihat di kartun!" Viona tertawa tipis.
“Heh, aku kalau jadi ayam juga pasti bisa terbang!”
Vino dan Victoria akhirnya meledak dalam tawa. Meskipun hidup mereka sulit, setidaknya masih ada momen seperti ini yang bisa membuat mereka tersenyum.
--
Di sekolah, Vino tetap menjalani hidup seperti biasa, tetapi ada satu orang yang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan—Jayden.
Jayden adalah sahabatnya sejak kelas 1, seseorang yang selalu ada untuknya. Meskipun Jayden bukan tipe orang yang suka terlalu serius, ia adalah pendengar yang baik.
Suatu sore sepulang sekolah, mereka duduk di taman kecil dekat sekolah sambil minum es teh yang Vino beli dengan uang hasil jualannya.
"Bro, lo udah kayak bapak-bapak aja sekarang," ujar Jayden tiba-tiba.
Vino mengernyit. “Maksud lo?”
"Lo tuh kebanyakan mikir, hemat banget, terus kerja sana-sini. Hidup lo udah kayak orang dewasa. Gue sampai kasihan, bro." Jayden menepuk bahu Vino dengan ekspresi prihatin yang sedikit berlebihan.
Vino tertawa kecil, meskipun dalam hati ia tahu ada sedikit kebenaran dalam kata-kata Jayden.
“Ya, mau gimana lagi? Gue nggak bisa duduk santai kayak lo. Keluarga gue butuh ini, Jay.”
Jayden terdiam sejenak, lalu menatap Vino dengan serius. “Gue nggak bisa bantu lo dalam hal uang, bro. Tapi kalau lo butuh tempat buat cerita, gue ada.”
Vino tersenyum. “Thanks, Jay. Lo emang sahabat terbaik.”
Jayden mendengus dan memasang ekspresi sok keren. “Ya, gue tau gue keren.”
Vino mendorong bahunya sambil tertawa. Setidaknya, di tengah semua kesulitan ini, ia masih punya seorang sahabat yang bisa membuatnya merasa lebih ringan.
--
Sementara Vino berusaha bertahan dengan caranya sendiri, ayahnya juga tidak tinggal diam.
Setahun ini, ayahnya telah berjuang mencari pekerjaan. Ia melamar ke berbagai perusahaan, mencoba berbagai pekerjaan yang bahkan jauh dari bidangnya dulu. Namun, ia selalu ditolak.
Sampai akhirnya, suatu malam, saat Vino sedang mengerjakan tugas di kamarnya, ia mendengar suara ayah dan ibunya berbicara di ruang tamu. Ia tidak bermaksud menguping, tetapi kali ini, ia tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Aku sudah menemui teman lama hari ini," kata ayahnya pelan. “Dia menyarankan aku untuk mulai bisnis sendiri, sesuatu yang lebih kecil dari dulu, tapi masih dalam bidang yang aku kuasai.”
Ibu terdiam sejenak. “Bisnis apa?”
"Renovasi rumah," jawab ayah. “Aku masih punya banyak koneksi di dunia konstruksi. Daripada menunggu perusahaan besar menerimaku, lebih baik aku memulai dari nol lagi, tapi dengan skala yang lebih kecil. Aku bisa mulai dengan proyek-proyek kecil, dan kalau berhasil, aku bisa memperluasnya lagi nanti.”
Ibu menatap ayah dengan ragu. “Tapi modalnya? Kita sudah menjual hampir semua aset...”
“Aku masih punya sedikit tabungan, dan aku bisa meminjam dari teman yang percaya padaku. Aku juga bisa bekerja sama dengan beberapa orang yang dulu pernah bekerja denganku.”
Hening sejenak. Lalu, ibu tersenyum kecil.
"Aku percaya padamu," katanya lembut.
Ayah menghela napas lega. “Terima kasih, Sayang. Aku janji kali ini aku tidak akan gagal.”
Dari balik pintu kamarnya, Vino tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia melihat ayahnya kembali memiliki semangat dalam hidupnya.
---
Seminggu kemudian, kabar baik datang.
Ayah berhasil mendapatkan proyek pertamanya—sebuah rumah yang perlu renovasi kecil. Itu bukan proyek besar, tetapi cukup untuk menjadi langkah pertama menuju kebangkitan.
Ketika ayah pulang dengan senyum di wajahnya, seluruh keluarga tahu bahwa harapan telah kembali.
"Kita bisa makan ayam lagi, ya?!" seru Verro penuh semangat.
Vino tertawa dan mengacak rambut adiknya. “Iya, kita bisa makan ayam lagi.”
Meskipun jalan di depan mereka masih panjang, setidaknya kini mereka tahu bahwa mereka tidak akan menyerah.
Kesulitan tidak membuat mereka hancur. Justru, itu membuat mereka semakin kuat.
Dan bagi Vino, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan hidup.
Ini adalah perjalanan untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya.
--
Bab 9 — Viona
Bisnis ayah akhirnya mulai berjalan lagi, meskipun belum sebesar dulu. Proyek renovasi rumah pertama yang ia kerjakan berjalan lancar, dan dari situ mulai ada pelanggan lain yang datang. Beberapa dari mereka adalah kenalan lama, beberapa lagi didapat dari rekomendasi mulut ke mulut. Pemasukan belum stabil, tapi setidaknya sekarang ada harapan.
Di rumah, suasana terasa lebih ringan. Ibu tidak lagi sesering dulu membicarakan keuangan dengan wajah khawatir. Verro tetap dengan energinya yang gak habis-habis, Victoria masih seperti ibu kecil di rumah, dan Viona…
Viona tetap menjadi Viona.
Sangat misterius.
--
Di sekolah, Vino mulai sibuk dengan ujian akhir semester 2. Guru-guru semakin sering memberikan latihan soal dan tugas tambahan. Kelas terasa lebih serius, bahkan Jayden yang biasanya santai mulai menunjukkan tanda-tanda panik.
"Bro, kenapa ujian harus ada?" Jayden mengeluh saat mereka berjalan keluar kelas.
"Karena kalau nggak ada ujian, lo makin males," jawab Vino sambil tertawa.
“Tapi seriusan, ngafalin semua ini tuh bikin otak gue mau meledak.”
"Yah tapikan dengan adanya ujian kita bisa mengetahui sejauh mana kita menangkap materi suatu pelajaran." Vino menjelaskan layaknya seorang guru.
Vino hanya menggeleng. Dia sendiri gak bisa bilang kalau ujian itu gampang, tapi setidaknya dia masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Apalagi dengan ingatan dari masa lalunya—ingatan seorang bocah SMA yang seharusnya sudah mengetahui materi-materi dasar SD.
Jayden mendesah panjang. “Gue ngerasa semakin kesini pelajarannya makin susah.”
"Bukannya lo anaknya lumayan pinter?" tanya Vino, sedikit bingung.
"Pinter sih, tapi males," jawab Jayden santai. “Kalau ada mata pelajaran yang bisa gue skip, gue udah skip dari kemarin.”
Vino hanya tertawa kecil. Klasik Jayden.
Saat mereka hampir sampai di gerbang sekolah, Jayden tiba-tiba berhenti. “Eh Vin, besok kita belajar bareng, nggak?”
Vino berpikir sejenak. Dia memang sudah paham sebagian besar materi, tapi gak ada salahnya belajar bareng.
“Boleh lah. Lo yang bawa camilan. Kabarin aja di chat kalo mau gue dateng.”
Jayden mengangkat jempol. “Setuju!”
--
Sesampainya di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah suara Verro.
“Kak Vinooo! Kak Vinooo!”
“Apa sih, Ver?”
"Viona pinter banget!" Verro berlari ke arahnya dengan mata berbinar-binar.
“Hah?”
Di ruang tamu, Victoria sedang duduk di lantai sambil menatap Viona yang sibuk dengan buku gambar.
Viona, yang masih enam tahun, terlihat anggun bahkan saat sedang menggambar. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, dan ekspresinya tetap tenang dan datar seperti biasa.
Vino berjalan mendekat. “Viona, kamu lagi ngapain?”
Viona menoleh sebentar, lalu mengangkat gambarnya dengan wajah yang datar. “Aku lagi buat ini.”
Di atas kertas, ada gambar seekor burung. Tapi bukan sembarang burung—detailnya terlalu rapi untuk anak seusianya. Bentuk sayapnya sempurna, proporsinya pas, dan bahkan ada garis-garis halus yang menunjukkan bulu-bulunya.
"Buset, ni anak berbakat menggambar coy." Vino sedikit terkejut.
"Kamu yang gambar ini?" Vino bertanya, agak ragu.
Viona mengangguk. “Iya.”
Vino menatap Victoria. “Beneran dia yang gambar?”
Victoria mengangguk. “Tadi aku lihat sendiri.”
Vino kembali melihat gambar itu. Dia tahu Viona memang anak yang pintar, tapi ini…
"Aku suka burung," kata Viona tiba-tiba. “Burung bisa terbang. Aku juga mau terbang.”
Vino tersenyum kecil. “Kamu mau jadi burung?”
Viona menggeleng. “Aku mau lihat dunia dari atas.”
Vino terdiam sejenak. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya.
"Anak ini mungkin lebih pintar dan berbakat daripada gue," pikir Vino.
Kemudian Vino mengambil sebuah kertas kosong yang tergeletak di lantai bersebelahan dengan buku gambar Viona.
Lalu dia mulai menuliskan angka-angka.
“Vi, coba kamu jawab.”
Viona melihat apa yang ditulis oleh kakaknya. Ternyata itu adalah soal penjumlahan.
"Tujuh ditambah empat itu sebelas." Ucap Viona sambil lanjut menulis jawabannya di kertas yang diberikan.
"Wah keren, pinter kamu. Coba kerjain yang ini sekarang." Vino mulai menulis soal yang lebih sulit.
"Dua puluh tiga ditambah empat puluh dua itu enam puluh lima." Jawabnya dengan cepat tanpa coret-coret di kertas.
“Wah gila, ni anak jenius.”
Saat tengah mengajar Viona.
Tiba tiba Verro mengucapkan sesuatu dengan nada berbisik.
“Dahlah kak aku mau main aja. Bosen lama lama, gak ada yang seru.”
“Lah dia kenapa jir?”
Kemudian Victoria datang dengan sebuah buku untuk meminta Vino mengajarkan dia matematika. Sedangkan Verro meninggalkan mereka bertiga karena merasa bosan dan pergi untuk bermain.
--
Di sekolah, Viona dikenal sebagai anak yang terlalu pintar untuk ukuran anak TK. Dia bisa membaca sejak usia tiga tahun, berhitung lebih cepat dari anak-anak lain, dan memahami konsep-konsep yang biasanya baru diajarkan di SD atau mungkin... lebih dari itu.
Tapi dia jarang berbicara.
Saat jam istirahat, sementara anak-anak lain berlarian dan bermain, Viona lebih sering duduk diam di sudut ruangan, menggambar atau membaca buku. Guru-guru memuji kepintarannya, tapi teman-temannya menganggapnya aneh.
Di rumah, Victoria sering mencoba mengajaknya bermain dengan anak-anak lain.
"Vi, kenapa nggak main sama teman-teman di sekolah?" tanya Victoria suatu hari.
Viona hanya mengangkat bahu. “Mereka gak suka aku.”
Vino yang mendengar itu ikut nimbrung. “Siapa yang bilang gitu?”
“Mereka bilang aku aneh.”
Vino terdiam sejenak. “Kenapa mereka bilang gitu?”
"Karena aku gak suka main kejar-kejaran," jawabnya pelan. “Aku gak suka teriak-teriak. Aku sukanya diam.”
Victoria menatapnya dengan khawatir. “Tapi kan punya teman itu penting.”
Viona hanya menunduk.
Vino menghela napas. Dia tahu Viona bukan anak yang kesepian. Dia punya dunia sendiri, pikirannya sendiri, layaknya seorang putri yang tidak peduli dengan apa yang ada disekitarnya. Namun meski begitu Viona adalah anak yang baik. Ia selalu membantu orang lain yang sedang merasa kesulitan.
Yah…
"Ni bocah mungkin aja lebih dingin daripada Jayden," pikir Vino.
Tapi tetap saja…
"Vi, kalau suatu hari kamu butuh teman, kamu bisa datang ke kakak atau ke kakak Victoria, ya?" kata Vino dengan lembut.
Viona menatapnya. Mata hitamnya yang besar berkedip sekali sebelum dia mengangguk pelan.
Lalu menjawab dengan wajah datar dan suara yang dingin. “Oke.”
--
Setiap pagi, Vino selalu merasa pusing dan bingung.
Akhir-akhir ini, dia sering mengalami mimpi aneh.
Tapi setiap kali dia bangun, dia gak bisa mengingatnya dengan jelas. Hanya ada perasaan aneh yang tersisa—seperti sesuatu yang seharusnya dia ingat, tapi menghilang begitu saja.
Dia gak terlalu peduli. Mimpi hanyalah mimpi.
Namun, entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang terasa penting.
Mengingat bahwa dirinya adalah seseorang yang terlahir kembali ke dunia ini…
Seharusnya wajar jika ada keanehan.
Seperti cerita-cerita reinkarnasi pada umumnya…
Tapi tetap saja, Vino masih tidak mengetahui tentang dunia yang ia tempati saat ini.
Masih banyak misteri besar yang harus ia ungkap ke depannya.
Dan mungkin, Viona adalah salah satu kunci dari semua itu.
--
Bab 10 — Mimpi
Malam itu, Vino terbangun lagi.
Bukan karena suara bising atau mimpi buruk. Tapi karena perasaan itu—perasaan kosong yang selalu menyelinap di pikirannya setiap kali ia mencoba mengingat mimpinya.
Ia duduk di tempat tidur, mengusap wajahnya yang masih terasa panas setelah bangun mendadak. Matanya melirik ke arah jam di dinding.
04:00 pagi.
Vino menghela napas panjang. "Kenapa selalu jam segini?" gumamnya lirih.
Sudah beberapa minggu ini, ia selalu terbangun di waktu yang sama. Awalnya ia mengira ini hanya kebetulan, tapi semakin lama, semakin terasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Mimpi-mimpi aneh itu selalu terasa nyata, seakan meninggalkan jejak samar dalam pikirannya. Tapi saat ia berusaha mengingatnya, semuanya menghilang seperti kabut yang tersapu angin.
Vino mengusap tengkuknya, mencoba menenangkan diri. Ia lalu bangkit, berjalan menuju jendela, dan menyingkap tirainya.
Dari lantai dua kamarnya, ia bisa melihat halaman rumah yang diselimuti kegelapan. Langit penuh bintang, bulan menggantung tinggi, memberikan cahaya redup ke dunia di bawahnya. Angin malam berembus pelan, menggerakkan dedaunan pohon di halaman.
Namun, di antara semua itu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Di seberang jalan, berdiri seekor kucing.
Bulu hitam pekat, mata keemasan yang bersinar dalam gelap. Posturnya anggun, duduk dengan tenang, seperti sedang mengawasi sesuatu. Dari ukurannya, kucing itu tampak masih muda—bukan anak kucing, tapi juga belum sepenuhnya dewasa.
Namun, ada satu hal yang membuat bulu kuduk Vino meremang.
Kucing itu menatapnya.
Bukan sekadar tatapan biasa. Mata emas itu menembusnya, seolah bisa melihat ke dalam pikirannya. Ada sesuatu yang aneh—sesuatu yang membuat Vino merasa tidak nyaman.
Ia mengerjap.
Dalam sekejap, kucing itu menghilang.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menggeleng pelan. "Halusinasi, kah?" bisiknya.
Tidak mungkin kucing bisa menghilang secepat itu.
Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah efek dari kurang tidur. Tapi perasaan aneh itu tetap ada, mengendap di dalam dirinya.
Vino kembali ke tempat tidur, mencoba memejamkan mata.
Tapi kali ini, tidur terasa lebih sulit dari biasanya.
--
Pukul 06:00 pagi.
Suara alarm berdering, menggema di kamarnya.
Vino mengerjap pelan, menatap langit-langit kamarnya. "Lah, ketiduran juga gue," gumamnya sambil meregangkan tubuh. “Untung gak kesiangan.”
Ia beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar. Suasana rumah masih seperti biasa. Di dapur, aroma roti panggang dan teh hangat menyambutnya.
Victoria sudah bangun lebih awal dan membantu ibu menyiapkan sarapan, sementara Verro masih tertidur di kamarnya.
Di meja makan, Viona sudah duduk dengan roti di tangannya. Tapi ia tampak lebih fokus pada buku yang ada di pangkuannya, matanya menelusuri setiap kata di halaman itu dengan serius.
Vino menarik kursi dan duduk di sebelahnya. "Vi, pagi-pagi udah baca buku? Gak bosen?" tanyanya sambil menuangkan teh ke gelasnya.
Viona menoleh sebentar, lalu kembali membaca. “Enggak.”
Victoria ikut duduk di meja. “Dia baca buku yang isinya soal matematika tingkat SMP.”
Vino mengangkat alis. “Lah, seriusan? Vi, kamu masih TK, tapi baca soal SMP? Memangnya kamu ngerti?”
Viona tidak menjawab, hanya mengangguk kecil.
"Anak ini makin lama makin kayak alien," pikir Vino.
Victoria melirik adiknya, lalu bertanya, “Vi, sekolahnya gimana?”
"Aku dapet tugas menggambar," jawab Viona tanpa mengangkat kepalanya.
Vino menelan rotinya sebelum bertanya, “Gambar apa?”
Viona akhirnya menutup bukunya dan menatap Vino. “Aku menggambar sesuatu yang aku suka.”
Victoria tersenyum. “Kamu gambar apa?”
Viona mengambil selembar kertas dari tas kecilnya dan memperlihatkan gambarnya.
Vino mengira itu akan menjadi gambar burung lagi. Tapi ternyata bukan.
Yang tergambar di kertas itu adalah sebuah kota yang gelap. Gedung-gedung tinggi tampak hancur di beberapa bagian, seperti bekas ditinggalkan bertahun-tahun. Ada sosok kecil berdiri sendirian di tengah jalan yang kosong, di bawah lampu jalan yang redup.
Vino menatap gambar itu dengan bingung. “Vi… ini kota apa?”
Viona diam sebentar sebelum menjawab. “Aku gak tahu. Tapi aku pernah lihat.”
Vino dan Victoria saling bertukar pandang.
"Kamu lihat di mana?" tanya Vino, merasa ada sesuatu yang janggal.
“Aku gak ingat.”
Hening.
Vino merasa ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Viona. Gambar itu bukan sesuatu yang biasanya dibuat oleh anak berusia enam tahun.
“Vi, kamu pernah mimpiin ini?”
Viona menatap Vino dengan mata besarnya yang tajam. Lalu, perlahan, ia mengangguk.
--
Di sekolah, Vino semakin merasa bahwa ada sesuatu yang salah.
Mimpi-mimpi anehnya semakin sering, dan setiap kali ia mencoba mengingatnya, kepalanya terasa kosong.
Hari itu, Jayden menepuk pundaknya saat mereka duduk di kantin.
"Bro, lo kenapa sih? Dari tadi diem aja," kata Jayden.
"Ah, enggak. Gue cuma kurang tidur aja," jawab Vino sambil meminum tehnya.
Jayden mengernyit. “Jangan bilang lo begadang gara-gara game.”
Vino menggeleng. “Bukan… cuma kebangun tengah malam mulu, gak tau kenapa.”
“Jangan-jangan lo ada insomnia, Vin.”
"Emangnya insomnia itu apa hayoo?" tanya Vino dengan nada sarkas.
"Insomnia itu orang yang tidurnya gak nyenyak gitu kan?" balas Jayden.
Ada benarnya juga.
"Emangnya lo kebangun di jam berapa?" tanya Jayden.
Vino berpikir sejenak. “Selalu sekitar jam 4 lebih dikit.”
Jayden menatapnya serius. “Mungkin itu… ada artinya?”
Vino tertawa kecil. "Oh, lo percaya yang begituan, Jay?" tanyanya dengan nada mengejek.
Jayden mengangkat bahu. “Gak juga. Cuma ya siapa tau.”
Tapi... mungkin yang dikatakan Jayden ada benarnya.
Sebagai seseorang yang telah tereinkarnasi, Vino mulai berpikir—apakah ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi?
--
Malam itu, Vino kembali terbangun.
Tapi kali ini…
Mimpi itu semakin jelas.
Sebuah bisikan terdengar di kepalanya.
“Tidak seharusnya kau berada di sini.”
Jantung Vino berdegup kencang.
Apa maksud dari bisikan itu?
Ia mengambil buku catatannya dan mulai menulis. Kali ini, ia menemukan petunjuk baru.
Apa ini hanya sekadar mimpi biasa?
Atau…
Apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi?
Dan yang lebih penting…
Siapa yang membisikkan kata-kata itu padanya?
Pertanyaan itu terus menghantui dirinya.
Sama seperti malam-malam sebelumnya.
Ia duduk di tempat tidur, menekan pelipisnya yang terasa berdenyut. Kepalanya berat, seolah ada sesuatu yang mendesak masuk ke dalam pikirannya. Tapi setiap kali ia mencoba menggali lebih dalam, semua terasa kabur.
Ia melirik jam di dinding.
04:00 pagi. Lagi.
Vino menghela napas. Kali ini, ia tidak langsung kembali tidur. Ada dorongan aneh dalam dirinya untuk bangkit, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai perlahan.
Matanya langsung tertuju ke seberang jalan.
Kucing itu ada lagi.
Duduk di tempat yang sama. Tatapan emasnya menusuk ke arah Vino, tak berkedip.
Jantung Vino berdebar. Ada sesuatu yang berbeda kali ini.
Angin malam bertiup lebih kencang. Daun-daun beterbangan. Kucing itu masih diam, namun bayangannya di aspal bergerak. Seolah ada sesuatu yang lain... sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Vino menelan ludah. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya seakan membeku.
Lalu, kucing itu membuka mulutnya.
Tidak ada suara. Tidak ada gerakan lain. Tapi entah kenapa, Vino merasa... seolah sesuatu sedang berbisik di dalam kepalanya.
“Vino.”
Mata Vino membelalak. Ia tersentak ke belakang, terjatuh ke lantai kamar. Saat ia kembali melihat ke luar jendela, kucing itu sudah tidak ada.
Hening.
Hanya ada suara napasnya sendiri yang berat dan tidak beraturan.
Apa yang baru saja terjadi?
--
Beberapa jam berlalu.
Vino menjalani paginya seperti biasa.
Tapi kepalanya masih penuh dengan kejadian semalam. Kata-kata itu terngiang di pikirannya, mengganggu konsentrasinya.
Saat ia sampai di sekolah, Jayden langsung menyadari ada yang tidak beres.
“Bro, lo makin pucet. Lo baik-baik aja?”
Vino menghela napas, lalu duduk di bangku kantin dengan lesu. “Gue gak tahu, Jay. Ada sesuatu yang aneh.”
Jayden menyipitkan mata. “Aneh gimana?”
Vino menatap meja, berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Ada sesuatu yang gue lupa. Sesuatu yang penting. Tapi gue gak tahu apa.”
Jayden mengernyit. “Lo yakin ini bukan cuma karena kurang tidur?”
Vino menggeleng. “Gue yakin ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Saat itu, bel sekolah berbunyi, menandakan ujian kelulusan akan segera dimulai.
Vino menghela napas dalam.
Apa pun yang terjadi, ia harus tetap fokus.
Namun, satu hal yang ia tahu pasti…
Ini baru permulaan.
--
Bab 11 — Alumni
Hari itu adalah hari yang telah lama dinantikan. Semua di sekolah mulai berubah, dan akhirnya tiba saat yang ditunggu-tunggu: hari kelulusan Vino. Sekolah dasar yang selama ini menjadi tempatnya mengukir prestasi, menjalin persahabatan, merasakan tawa, sekaligus duka, kini menyongsong momen perpisahan.
Pagi itu, langit tampak cerah meskipun udara masih terasa sejuk. Vino bangun lebih awal dari biasanya. Perasaannya campur aduk—antara bangga, sedih, dan sedikit gugup. Sejak kelas 6, ia telah bekerja keras, mengumpulkan berbagai prestasi yang membuatnya dikenal sebagai anak cerdas dan berdedikasi. Namun, hari ini bukan sekadar tentang nilai dan pelajaran; hari ini adalah tentang perpisahan dan langkah pertama menuju dunia yang lebih besar.
Setelah bangun, Vino segera mengambil buku catatannya. Seperti biasa, meskipun ia tidak lagi sering terbangun pukul empat pagi seperti sebelumnya, ia masih menyisihkan waktu untuk menuliskan mimpi-mimpi yang pernah mengganggunya. Tapi pagi ini berbeda. Tak ada mimpi-mimpi aneh yang menghantuinya—hanya harapan yang mulai tumbuh, meskipun masih diselimuti kekhawatiran akan masa depan.
Di kamar mandi, Vino berdiri di depan cermin. Rambutnya yang sedikit berantakan dihiasi coretan spidol warna-warni kecil yang diberikan oleh teman-temannya. Ia tersenyum tipis, mengingat begitu banyak momen kebahagiaan dan canda tawa yang ia alami selama di sekolah dasar.
"Yah... Ini hari spesial, Vin," gumamnya sendiri. “Hari di mana gue bukan lagi anak SD, tapi bakal mulai menyentuh kehidupan remaja dikehidupan ini.”
Tak lama kemudian, ia bergabung dengan keluarganya di meja makan. Suasana pagi itu terasa lebih hening dari biasanya, seolah semua orang menyadari betapa pentingnya hari ini. Ibu telah menyiapkan sarapan sederhana—roti panggang, selai, dan teh hangat. Ayah, dengan senyum lelah tapi penuh harapan, duduk di depan, mendengarkan percakapan ringan antara adik-adiknya.
Victoria, yang kini duduk di kelas 4 SD, tampak penuh semangat. "Kak Vino, besok itu hari kelulusan, kan? Aku pengen tahu, gimana rasanya lulus SD?" tanyanya polos, matanya berbinar.
Verro, adik yang lebih muda dan sekarang sudah di kelas 2, tertawa kecil sambil berujar dengan nada sombong, “Kak, aku mau jadi murid paling keren! Nanti pas kelas 6, tinggi aku bakal lebih tinggi dari kakak!”
Vino hanya bisa mengangguk sambil tersenyum, meskipun di dalam hatinya campur aduk. "Aku sih gak tau yak. Tapi yang pasti, hari ini bakal jadi awal sesuatu yang baru. Kalau tinggi kamu nanti sama kayak kakak, kakak bakal lebih sering main bola sama kamu," ujarnya bangga.
"Aku gak sabar banget pengen cepat-cepat dewasa!" sahut Verro antusias.
Ibu menatap mereka dengan lembut. “Anak-anak, hari ini kita semua akan merayakan keberhasilan kalian. Kita mungkin tidak punya segalanya seperti dulu, tapi kebersamaan ini yang paling penting. Ingat, kita akan selalu bersama, apa pun yang terjadi.”
Ayah menimpali, “Aku bangga sama kalian. Hari ini, Vino sudah menunjukkan bahwa kerja keras dan dedikasi tidak pernah sia-sia. Dan kalian, Victoria dan Verro, kalian juga telah membuat keluarga kita bahagia dengan tawa dan kehangatan kalian.”
Vino merasakan kehangatan menyelimuti dirinya. Namun, di balik semua itu, bayangan mimpi dan bisikan malam tetap menghantuinya. Meski ia berusaha melupakan mimpi-mimpi aneh itu, ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan rasa penasaran yang menyertainya.
--
Setelah sarapan, Vino berangkat ke sekolah bersama adik-adiknya, Victoria, Verro, dan Viona. Ayah menyetir mobil dengan antusias. Meskipun mobil yang dikendarainya lebih kecil dibanding sebelumnya, ia tetap bersemangat dan tersenyum.
Di perjalanan, Vino memperhatikan lingkungan sekitar yang mulai berubah. Beberapa gedung tampak sudah direnovasi, ada poster-poster penerimaan murid baru, dan pemandangan lainnya yang terasa akrab.
Perasaan déjà vu seketika muncul. Vino merasa seolah pernah mengalami semua ini sebelumnya. Ia ingat betul bagaimana rasanya kelulusan SD di masa lalunya—perasaan campur aduk yang kini kembali menghampirinya.
Sesampainya di sekolah, suasana berbeda dari hari-hari biasa. Ada kegembiraan yang tak terbendung, tetapi juga ada kesedihan karena perpisahan semakin dekat. Di aula besar, para guru dan siswa kelas 6 berkumpul untuk upacara kelulusan. Vino duduk di barisan depan, menatap ke arah panggung sambil mencoba menenangkan diri.
Saat upacara dimulai, kepala sekolah menyampaikan pidato tentang perjalanan panjang selama di sekolah dasar, persahabatan, dan masa depan yang menanti. Vino mendengarkan dengan seksama. Di antara tepuk tangan dan sorak-sorai, ia menyadari betapa berartinya momen ini—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk seluruh keluarganya yang selalu mendukungnya.
Di sela-sela acara, Jayden berbincang Vino.
"Vin, lo inget nggak, waktu kita pertama kali kenalan di kelas 1?" tanya Jayden dengan senyum mengenang.
Vino tertawa kecil. “Iya, gue ingat. Lo waktu itu dingin banget, tapi sekarang udah jauh lebih terbuka.”
Jayden memiringkan kepalanya. “Emang iya? Kayaknya nggak, deh.”
“Iya bener, ngapain gue bohong.”
Jayden tertawa. “Ya, mungkin sekarang gue udah nggak kayak dulu lagi... Dulu mah kayak anak culun.”
Vino mengangguk, lalu bertanya, “Ngomong-ngomong, nanti SMP lo di mana, Jay?”
"Gue udah minta orang tua gue buat masuk ke sekolah yang sama kayak lo," jawab Jayden dengan antusias.
“Baguslah! Jadi kita bisa tetap ngobrol bareng.”
Mereka berdua tertawa, tapi di balik tawa itu, Vino menyadari bahwa banyak hal telah berubah. Teman-temannya mulai merencanakan masa depan mereka, dan ia sendiri merasa bahwa hidupnya akan segera memasuki babak baru.
--
Setelah upacara kelulusan selesai, para siswa dipersilakan untuk berfoto bersama. Saat itulah Vino melihat sesuatu yang membuatnya terdiam sejenak.
Di sudut jalan, tepat di depan gerbang sekolah, seekor kucing hitam dengan mata keemasan mengawasi seluruh kegiatan kelulusan dengan tatapan mendalam, seolah mencatat setiap detik perpisahan dan harapan yang tersisa.
Jantung Vino berdegup lebih kencang. Seperti biasa, kucing itu selalu muncul setiap kali ia pulang sekolah, menatapnya seakan mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui. Kini, di tengah momen kelulusan, kehadiran kucing itu membuatnya merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar menunggunya—sesuatu yang mungkin berkaitan dengan mimpi-mimpi aneh yang terus menghantuinya.
--
Sore harinya, setelah pulang dari sekolah, Vino duduk di ruang tamu bersama keluarganya. Suasana di rumah terasa berbeda; ada campuran kebahagiaan, dan perasaan antusiasme yang tak karuan tertuang dalam tatapan mereka. Victoria, dengan wajah polosnya, mulai bertanya pada ibu. “Kapan kita bisa rayain kelulusan kak Vino ,Bu? Aku mau nonton bioskop dan makan direstoran!”
Verro, sambil tertawa, menimpali, “Aku juga pengen nonton!!”
Sementara itu, Viona yang biasanya pendiam, hanya tersenyum kecil sambil kembali asyik dengan bukunya.
Ayah duduk di pojok ruang tamu dengan tatapan yang ceria. Ibu mengusap kepala Victoria. "Nanti, tunggu libur kenaikan kelas ya!" Sambil tersenyum kepada Victoria.
Vino menunduk, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia tahu bahwa hari ini bukan hanya soal kelulusan, tapi juga soal harapan baru, meskipun masa depan terasa suram.
"Kadang aku merasa gelisah, walaupun semuanya tampak sempurna di sekolah dan dirumah." bisiknya pelan pada dirinya sendiri. “Tapi meski begitu, sepertinya aku tidak perlu terlalu memikirkan itu.. aku harus lebih menikmati kehidupan di dunia ini!”
Di tengah keheningan itu, suasana kembali diwarnai oleh tawa kecil. Victoria berkata dengan polos kepada Vino. “Kak, nanti kalo dah besar aku mau jadi guru. Biar aku bisa ngajarin semua pelajaran dengan benar!”
Verro ikut menimpali, “Aku mau jadi pilot, biar bisa terbang tinggi, kayak burung yang digambar Viona.”
"Ya, ya suka suka kalian dah.." Vino berkata dalam hati sambil tersenyum pada adiknya.
Viona sedikit melirik Verro karena namanya disinggung. Namun tetap dia tidak peduli dengan itu semua dan melanjutkan membaca buku seakan ia sudah masuk kedalam dunia yang ada dibuku itu.
Semua tertawa. Meskipun suasana penuh beban, canda dan tawa adik-adiknya selalu mampu mencerahkan hari-hari mereka.
--
Beberapa hari kemudian, ujian kelulusan benar-benar selesai, dan hari pembagian nilai pun tiba. Di sekolah, suasana di ruang kelas berubah menjadi penuh antisipasi dan semangat. Guru-guru dengan bangga mengumumkan nilai-nilai terbaik, dan Vino mendapatkan nilai sempurna di hampir setiap mata pelajaran. Sorak-sorai dan tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.
Di antara kegembiraan itu, Jayden mendekati Vino di lorong kelas.
"Keren banget, Vin. Nilai lo sempurna. Tapi meski begitu gue juga gak mau kalah!" ujar Jayden dengan penuh semangat.
Vino tersenyum tipis. “Iya, bro. Tapi semua itu cuma angka. Yang penting, kita terus belajar dan berkembang, ya?”
Mereka berdua bercanda, saling menantang tentang soal matematika yang paling sulit. Tawa mereka mengalir, membuat suasana kelulusan sejenak terasa ringan meskipun di baliknya masih tersimpan kekhawatiran tentang masa depan.
--
Malam itu, setelah hari kelulusannya berlalu, Vino duduk di kamarnya. Ia membuka buku catatan mimpinya dan membaca ulang kalimat yang ia tulis sebelumnya:
“Kau tidak seharusnya ada di sini.”
Kalimat itu terasa begitu aneh dan menggema di pikirannya. Meskipun ia tidak mengerti maksudnya, perasaan gelisah semakin kuat. Ditambah lagi, sosok kucing hitam bermata keemasan itu terus muncul.
Sambil menyalakan lampu kecil di meja belajar, ia meraih pulpen dan mencoba menuliskan apa pun yang bisa menghubungkan mimpi-mimpinya dengan kenyataan. Namun, sebelum ia bisa menorehkan satu kata pun, angin malam berhembus dari jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai bergoyang pelan.
Vino menghela napas dan menutup bukunya. "Udah lah, mungkin gue cuma capek," gumamnya, mencoba menepis pikiran aneh yang terus menghantuinya.
Ia beranjak ke tempat tidur, menarik selimut, dan memejamkan mata. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
--
Vino berdiri di dalam sebuah ruangan luas yang tampak tak berujung. Cahaya putih pucat menyelimuti segalanya, membuat batas antara lantai, dinding, dan langit-langit nyaris tak terlihat. Ruangan itu kosong, tak ada furnitur, tak ada pintu atau jendela—hanya kehampaan yang membentang sejauh mata memandang.
Udara di sekitarnya terasa dingin, bukan seperti hawa malam biasa, tapi lebih seperti dinginnya sesuatu yang tidak seharusnya ada. Setiap hembusan napasnya menggantung di udara dalam bentuk kabut tipis, seolah-olah ia berada di tempat yang terpisah dari dunia nyata.
Di kejauhan, samar-samar terdengar suara yang aneh—seperti bisikan yang datang dari segala arah, bergema tanpa sumber yang jelas. Suara itu bukan sekadar suara manusia, melainkan campuran antara suara angin yang berdesir dan suara-suara lain yang tak bisa ia pahami.
Lantai di bawahnya tampak padat, tapi ketika ia melangkah, kakinya terasa seperti menyentuh sesuatu yang lembut, seolah berjalan di atas kabut yang dipadatkan. Namun, ada sesuatu yang lebih aneh—ia tidak mendengar suara langkahnya sendiri.
"Di mana ini...?" bisiknya.
Ia mulai menyusuri tempat itu. Setiap langkah terasa berat, seolah sesuatu menahannya untuk melangkah lebih jauh.
Lalu, dari kejauhan, ia melihatnya.
Sosok bayangan putih yang tidak jelas seperti apa rupanya. Namun Vino bisa merasakan seolah sedang mengawasi setiap gerakan Vino.
Tiba-tiba, suara berbisik terdengar di telinganya.
“Jangan pergi.”
Vino terkejut. Ia menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa.
“Jangan pergi.”
Kini suara itu lebih jelas, seperti seseorang yang berbisik tepat di sampingnya.
Jantungnya berdebar kencang. Ia kembali menatap sosok bayangan itu, tetapi kini makhluk itu sudah tidak ada di sana.
Vino ingin berlari, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Seolah ada kekuatan tak terlihat yang menahannya.
"Siapa... Disana...?" suaranya bergetar.
Sebelum Vino mendapatkan jawaban yang jelas dari mimpinya, segalanya berubah menjadi gelap.
Vino terbangun dengan napas tersengal-sengal. Kamarnya gelap, hanya diterangi oleh sinar bulan yang masuk melalui celah jendela. Ia bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Ia segera melihat jam di meja belajar. Pukul 3:59 dini hari.
Matanya beralih ke jendela. Dan di sana, di atas pagar rumah, kucing hitam bermata keemasan itu duduk diam, menatapnya.
Untuk pertama kalinya, Vino merasakan sesuatu yang berbeda.
Bukan sekadar perasaan aneh atau déjà vu.
Tapi rasa takut yang nyata.
Seolah ada sesuatu yang sedang menunggu.
Dan kali ini, ia tidak bisa mengabaikannya.
--
Bab 12 — Titik Balik
“Beberapa pertemuan ditakdirkan untuk terjadi, dan beberapa perpisahan… tidak bisa dihindari.”
--
Langit pagi tampak kelabu, seolah menyimpan sesuatu di balik awan-awan yang menggantung rendah. Udara dingin masih terasa sejak subuh tadi, menyisakan embun tipis di jendela kamar Vino.
Ia terjaga, duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong mengarah ke luar jendela. Sisa mimpi itu masih melekat dalam pikirannya—ruangan putih, suara bisikan yang menyuruhnya untuk tidak pergi, dan sosok samar yang berdiri dalam kehampaan. Namun, yang paling mengganggu adalah tatapan kucing hitam bermata keemasan yang terus mengikutinya… bahkan setelah ia terbangun.
Vino mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Hari ini adalah hari terakhir sebelum liburan panjang. Harusnya ia merasa lega, tapi ada sesuatu yang terasa salah.
"Mungkin cuma perasaan gue aja," pikirnya, berusaha mengabaikan rasa gelisah yang mengendap di dadanya.
Tapi meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, perasaan aneh itu tetap ada.
Ia meraih buku catatan mimpinya yang terletak di meja belajar.
Duduk di kursi, ia mulai menuliskan semua hal yang ia lihat dan alami. Setiap detail dari mimpinya, dari ruangan putih yang tak berujung hingga suara bisikan yang berulang kali terdengar. Ia mencoba menyambungkan semua ini, seolah sedang menyusun puzzle yang belum lengkap.
Namun, semakin ia berpikir, kepalanya semakin terasa penuh.
"Ahhh, puyeng banget! Ini sebenarnya kenapa sih?" gumamnya frustrasi.
Vino akhirnya menutup bukunya dan beranjak dari kursi. Ia perlu sesuatu yang bisa menenangkan pikirannya.
Dan itu artinya: sarapan.
--
Di meja makan, suasana terasa lebih santai dibanding kemarin. Ibu sedang menyiapkan sarapan, sementara Victoria dan Verro sibuk bercanda soal rencana liburan mereka.
"Kak Vino, besok udah libur, kan?" tanya Victoria sambil menyendok bubur ayamnya.
"Iya," jawab Vino singkat.
"Aku mau main ke rumah temen besok!" seru Victoria penuh semangat.
"Aku mau main bola sama anak-anak komplek!" sahut Verro. “Kakak nggak mau ikut?”
Vino mengangkat bahu. “Nggak tau, lihat nanti aja.”
Di sisi lain meja, Viona—adik perempuannya yang biasanya pendiam—tengah makan bubur sambil membaca buku dongeng. Sesekali matanya melirik ke arah Vino.
"Kak," panggilnya tiba-tiba.
Vino menoleh. “Kenapa, Vi?”
“Kakak nggak apa-apa?”
Vino mengerutkan dahi. “Eh? Maksudnya?”
“Kakak aneh… nggak seperti biasanya.”
Hah?
Vino menatap Viona. Ada sesuatu dalam sorot mata adiknya yang terasa berbeda.
“Kayaknya dia bisa lihat isi pikiran dan hati gue, jir.”
Sebelum ia sempat menjawab, ibu datang sambil menyajikan semangkuk bubur ayam untuknya.
Ibu tersenyum. “Kamu nggak ada rencana, Nak?”
Vino menggeleng. “E-eee… nggak tau, Bu. Mungkin cuma di rumah aja. Atau palingan main bareng Jayden.”
Ayah yang dari tadi diam akhirnya bersuara. “Iya, main aja sama temen kamu. Kalau bosan di rumah, coba jalan-jalan keluar. Jangan terus-terusan ngurung diri di kamar, main game mulu.”
Vino tersenyum kecil, tapi tidak berkomentar. Jujur saja, ia tidak punya energi untuk memikirkan liburan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang memenuhi pikirannya—sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.
Setelah sarapan, ia berpamitan pada ibunya dan berangkat ke sekolah bersama ayah dan adik-adiknya.
--
Mobil ayah melaju pelan melewati jalanan yang mulai ramai. Vino duduk di bangku belakang bersama adik-adiknya, memperhatikan pemandangan luar dengan mata kosong.
Dan di sana, di trotoar, kucing hitam itu kembali terlihat.
Ia berjalan perlahan, sejajar dengan mobil yang mereka naiki. Mata keemasannya bersinar samar di bawah sinar matahari pagi.
Vino menelan ludah.
Kenapa kucing itu selalu ada di mana-mana?
Saat mobil berhenti di lampu merah, kucing itu juga ikut berhenti. Berdiri diam di sudut jalan, masih menatap ke arah Vino.
Entah kenapa, pemandangan itu memberinya firasat buruk.
--
Setibanya di sekolah, suasana sudah terasa berbeda. Hari ini adalah hari terakhir sebelum liburan panjang, dan semua orang tampak lebih santai.
Di kelas, Jayden langsung menyambutnya.
"Vin! Hari ini kita jamkos! Gak ada pelajaran!" katanya dengan nada antusias.
Vino tersenyum tipis. “Baguslah.”
Jayden memperhatikannya sebentar. “Lo kenapa? Mukanya kayak orang kurang tidur.”
Vino menghela napas. “Nggak tau, Jay… gue ngerasa aneh aja hari ini.”
“Aneh gimana?”
“Kayak… ada yang bakal terjadi.”
Jayden tertawa kecil. “Ah, lo kebanyakan mikir. Hari ini harusnya kita santai, bro. Udah, jangan kebanyakan overthinking!”
Vino tertawa kecil. Ia mencoba mengabaikan kegelisahannya. Ia menghabiskan sisa hari itu bercanda dengan teman-temannya, mencoba menikmati momen terakhir sebelum liburan.
Tapi di sudut matanya, setiap kali ia menoleh ke jendela, kucing hitam itu selalu ada.
Mengawasinya.
Menunggu.
--
Setelah bel pulang berbunyi, Vino dan Jayden berjalan keluar gerbang sekolah.
"Lo mau langsung pulang, Vin?" tanya Jayden.
Vino mengangguk. “Iya.”
“Besok kita main nggak? Nanti soalnya besoknya gue mau pergi bareng keluarga gue.”
“Li… lihat nanti, Jay.”
Jayden mengernyit. “Kok lo aneh hari ini?”
“Udahlah, Jay. Gue jalan duluan.”
Jayden mengangkat bahu. “Yaudah, kabarin aja nanti di WA. Dadah bro, sampe ketemu nanti!”
Vino melangkah pergi, tapi sebelum ia benar-benar meninggalkan area sekolah… ia melihatnya lagi.
Kucing hitam itu.
Dan tanpa sadar, kakinya mulai bergerak.
Ia mengikutinya.
Setiap kali Vino mendekat, kucing itu berlari.
Ke gang sempit. Ke lorong-lorong kecil. Menyelinap di antara celah-celah bangunan.
Vino mempercepat langkahnya, rasa penasarannya semakin memuncak. Ada sesuatu tentang kucing ini yang membuatnya tidak bisa berhenti. Ia tidak tahu kenapa, tapi ia harus tahu ke mana kucing ini pergi.
Tapi setiap kali ia hampir menangkapnya, kucing itu selalu berhasil lolos.
Sampai akhirnya, mereka tiba di pinggir jalan raya yang ramai.
Langit masih mendung, dan lalu lintas di jalan itu padat. Mobil-mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Klakson terdengar bersahut-sahutan, membaur dengan suara deru mesin dan langkah kaki orang-orang yang lalu lalang di trotoar.
Namun, kucing hitam itu berhenti.
Berdiri diam di tepi trotoar.
Untuk pertama kalinya, ia tidak berlari lagi.
Vino berhenti, napasnya memburu. Ia memperhatikan kucing itu, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
"Kenapa lo selalu muncul?" pikirnya.
Kucing itu tetap diam.
Hanya menatapnya.
Mata keemasannya bersinar aneh di tengah keramaian.
Lalu, sebelum Vino sempat berpikir lebih jauh—
Kucing itu melompat ke tengah jalan.
Dan kali ini, ia tidak berlari sekencang sebelumnya.
“Eh?”
Jantung Vino berdebar.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah maju, mengejar kucing itu.
Langkah Vino semakin cepat.
Keramaian di sekitarnya seakan menghilang. Suara klakson, deru kendaraan, dan langkah kaki manusia—semuanya meredup dalam kepalanya.
Yang ia lihat hanya kucing itu.
Ia berlari lebih cepat.
Satu langkah.
Dua langkah.
Kucing itu sudah hampir ia tangkap.
Tapi di saat yang sama—
“AWASSSS!!”
Sebuah truk box besar melaju kencang dari arah kiri.
Vino menoleh.
Mata mereka bertemu.
Detik itu terasa melambat.
Semua suara mendadak membisu.
Lalu—
BRRAAAK!!!
Tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang.
Punggungnya menghantam aspal.
Sebuah rasa sakit luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya, seperti ribuan jarum menancap ke dalam dagingnya.
Ia bisa merasakan darah hangat mengalir dari kepalanya.
--
Buku-buku dari tasnya terhambur di jalan. Kertas-kertas berterbangan, bercampur dengan debu dan angin yang berhembus.
Orang-orang di sekitar berteriak panik.
Beberapa berlari mendekatinya.
Beberapa mengeluarkan ponsel.
Beberapa merekam.
Vino terbaring diam.
Matanya terbuka, menatap langit yang perlahan berubah kelabu.
Lalu rasa sakitnya perlahan… menghilang.
Tangannya mati rasa.
Kakinya tak bisa digerakkan.
Semuanya terasa jauh… menjauh…
D-darah??!
Apa ini?
Apa gue baru aja ditabrak?
Gak!.... NGGAK!!... GUE GAK MAU MATI LAGI!!!
Gak... nggak.... GAK MUNGKIN…
Suaranya tak keluar saat ia mencoba bicara.
Tapi ia tahu.
Ia akan mati.
Dalam sisa pandangannya yang mulai kabur, ia melihat sesuatu.
Di pinggir jalan.
Di antara orang-orang yang mengerumuninya.
Kucing hitam itu.
Masih berdiri di sana.
Masih menatapnya.
Masih menunggu.
Mata keemasannya kini terasa lebih dalam… seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
"Kucing sialan…" gumamnya lemah.
Rasa marah, kesal, dan frustasi bercampur menjadi satu.
Namun, suaranya terlalu lirih.
Tidak ada yang mendengarnya.
Tidak ada yang peduli.
Di antara desahan napas terakhirnya, ia bisa melihat orang-orang mengelilinginya, beberapa menangis, beberapa sibuk berbicara di telepon memanggil ambulans, dan beberapa hanya merekam.
Supir truk box keluar dari mobilnya, wajahnya pucat pasi. Ia mendekat, berusaha berbicara, tapi suaranya terdengar seperti gumaman jauh.
Semua itu… sudah terlambat.
Vino ingin berteriak.
Ingin menangis.
Ingin mengatakan sesuatu.
Tapi ia tidak bisa.
Tubuhnya menolak untuk bergerak.
Darah di sekelilingnya semakin banyak.
Dan kemudian—
Dunia menjadi gelap.
Sama seperti dalam mimpinya.
“Sial.”
.... .... .…
--
<End Volume 2>
--
<Sip dah masuk ke cerita utama>
<Kira kira si kucing itu maunya apa ges? Dan sosok dari mimpi Vino mau ngasih tau apa?>
<Tebak aja ges hehe>
<Volume 3 bakal kuselesaikan secepat mungkin>
<Makasih ges dah baca karya gabut seorang bocah SMA ini>
<Aku sangat menghargai kritik dan saran, silahkan komen ges kalo merasa ada kekurangan di karya karya yang aku buat>
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
