
PERKARA-PERKARA YANG MENYELAMATKAN
- Taubat
Pokok perkara yang menyelamatkan diri ialah, bertaubat kepada ALLAH SWT. dari segala dosa. ALLAH SWT. telah memerintahkan para hamba-Nya agar bertaubat kepadaNya, dan ditunjukkan-Nya tatacara bertaubat itu, berikut janji pengabulan dan balasan yang baik.
ALLAH SWT. berfirman:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada ALLAH, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (an-Nur, 24:31).
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada ALLAH dengan taubat yang semurni-murninya”. (at-Tarim, 66:8)
“Sesungguhnya ALLAH menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (al-Baqarah 2:222)
“Maka barang siapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya ALLAH menerima taubatnya. Sesungguhnya ALLAH Maha Penganpun lagi Maha Penyayang”.
“Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (asy-Syura 42:25)
Rosulullah Saw. Bersabda:
“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak berdosa lagi.”
“Sesungguhnya ALLAH SWT. membuka tangan-Nya lebar-lebar diwaktu siang untuk menerima taubat orang yang membuat kejahatan diwaktu malam. Dan Dia membuka tangan-Nya lebar-lebar diwaktu malam untuk menerima taubat orang yang membuat kejahatan diwaktu siang. (keadaan seperti ini berlangsung terus) hingga matahari terbit dari arah barat”.
“Wahai sekalian manusia! Bertaubatlah kalian kepada ALLAH SWT. sebelum mati. Gunakanlah kesempatan yang ada untuk beramal saleh sebelum kalian disibukkan oleh urusan kerja. Hubungkanlah pertalian antara kamu dan Tuhanmu dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya”.
“Sesungguhnya Tuhan menerima taubat seorang hamba, selagi nyawanya belum sampai di kerongkongan (sebelum naza’)”.
“Barang siapa bertaubat, niscaya ALLAH SWT. meneriam taubat”.
- Syarat-syarat Taubat
Perlu diketahui –semoga ALLAH SWT. merahmati anda- bahwa taubat itu bukan sekedar ucapan di ujung lidah dengan menyebut “Astaghfiru’l-lah!” aku bertaubat kepada ALLAH SWT! sedang hatinya tidak pernah menyesal, membersihkan dan menjauhkan diri dari dosa.
Para ulama bersepakat menentukan beberapa syarat taubat yang harus di patuhi, dan tidak akan sempurna suatu taubat, melainkan dengan tiga perkara berikut ini:
- Menyesali diri atas dosa-dosa yang telah lalu.
- Menyucikan diri dari dosa. Yakni, taubatnya tidak akan berarti, manakala ia masih melakukan dosa yang sama dan tidak berhenti dari padanya
- Ber’azam tidak akan melakukan dosa lagi sepanjang hidupnya.
Ketiga syarat ini harus menyertai taubat seorang hamba kepada Tuhannya.
Ada satu syarat lagi yang harus diperhatikan dalam kaitan dosa seorang hamba terhadap hamba ALLAH yang lain. Berikut ini tentang keterangan tentang hal itu:
Jika anda menganiaya seorang anak adam (manusia), atau mencederainya, menyinggung kehormatannya, atau merampas hartanya, maka anda berkewajiban menebus haknya. Apabila itu menyangkut masalah jiwa (diri), hendaklah anda membenarkan untuk melakukan qishash atas diri anda. Dan jika menyangkut masalah harta atau benda, maka anda berkewajiban mengembalikan haknya seperti semula. Jika menyangkut masalah kehormatan, maka anda wajib memohon maaf kepadanya atas kesalahan itu. Perlu diperhatikan, bahwa anda harus berusaha sungguh-sungguh untuk menghapus dan membersihkan segala kesalahan itu.
Dalam kaitan dosa seorang hamba terhadap Tuhannya pada masalah shalat, puasa, zakat, dan lain-lainnya, maka anda harus bertaubat kepada ALLAH SWT., manakala kewajiban-kewajiban ini ada yang anda lalaikan atau tinggalkan. Caranya, dengan mengqadha’ segala yang terlewatkan atau terabaikan sejauh kemampuan dan sejauh pelaksanaan itu dibenarkan.
Setelah bertaubat dari dosa-dosa tadi, hendaklah ia senantiasa meletakkan dirinya pada perasaan antara takut dan harap. Berharap agar ALLAH SWT. menerima taubatnya dengan karunia dan belas kasih-Nya, dan takut sekiranya ALLAH SWT. tidak menerima taubatnya, lantaran bimbang jika taubatnya tidak dilakukan secara sempurna, sesuai dengan tata cara yang diperintahkan ALLAH SWT. sehingga ia menjadi orang yang tidak bertaubat kepada ALLAH SWT. secara benar.
Seterusnya, setiap mu’min yang sejati, berkewajiban memelihara diri dari segala dosa secara benar dan menyeluruh. Sebab melakukan dosa dan maksiat hanya akan mendatangkan kutukan dan kemurkaan ALLAH SWT. dan demikan itu adalah sumber segala bala’ dan bencana yang akan membinasakan manusia di dunia dan di akhirat. Karena itu, jika seseorang telah melakukan dosa, hendaklah ia bertaubat kepada ALLAH SWT. dari dosa itu, tidak berkeinginan untuk mengulang dosa itu lagi, atau melakukannya lagi sesudah bertaubat, dan menyesali diri atas dosa yang terjadi itu.
Setiap mu’min harus senantiasa bertaubat kepada ALLAH SWT. dan memperbarui tobatnya itu disetiap saat dan kesempatan. Sebab, kita tentu telah banyak sekali melakukan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, dosa yang tersmbunyi maupun dosa yang tampak, dosa yang kita ketahui maupun tidak. Dan terkadang, dosa itu disebabkan kelalaian tidak mau menuntut ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang dosa dan pahala. Dan mungkin pula dosa itu ada pendahuluan dan sebab-sebab yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan pilihan diri.
- Istighfar
memperbanyak istighfar adalah perbuatan penting yang sangat dianjurkan oleh agama. ALLAH SWT. telah memerintahkan dan menggalakkan kita senantiasa beristighfar.
ALLAH SWT. berfirman;
“Dan mohonlah ampun kepada ALLAH, sesungguhnya ALLAH Maha Penganpun dan Maha Penyayang”. (al-Baqarah,2:199)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad,47:19)
ALLAH SWT. berfirman menyifati hamba-hambaNya yang banyak sholat dan berbakti:
“Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepad ALLAH)”. (adz-dzariyat,51:18)
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Barang siapa menjadikan istighfar sebagai amalan yang tetap, niscaya ALLAH akan membebaskannya dari segala rupa kesusahan, dan melepaskannya dari segala bentuk tekanan, dan mengaruniakan rizki yang tak terhitung banyaknya”.
“Beruntunglah orang yang mendapatkan di dalam buku catatannya (di akherat) istighfar yang banyak”.
Tentang keutamaan istighfar, manfaat dan faedahnya, memadailah dengan sebuah firman ALLAH SWT. berikut ini:
“Dan tidaklah (pula) ALLAH akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun”. (al-Anfal,8:33)
ALLAH SWT. berfirman menyatakan tentang Nabi Nuh as. di dalam Al-Qur’anu’l-karim:
“Maka aku katakana kepada mereka, mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (Nuh,71:10-12)
Yakinlah, bahwa taubat dan istighfar adalah perbendaharaan amal dan bakti, dan keduanya juga merupakan kunci pendekatan diri kepada ALLAH SWT. dan penyebab keberkatan-Nya, di samping meluruskan jalan menuju segala amal kebajikan, baik untuk di dunia maupun di akherat. Karena itu, biasakanlah bertaubat dan beristighfar sepanjang siang dan malam, semoga ALLAH SWT. merahmati anda.
Dalam pada itu, hendaklah kaum muslimin –khususnya mereka yang kaya dan berada- senantiasa waspada terhadap tipu daya setan yang sering membisikkan kata-kata beracun, seperti: bagaimana mungkin anda bertaubat, sedang anda tidak meyakini diri akan tetap bertaubat? Berapa banyak anda sudah bertaubat, tetapi anda masih tetap melakukan dosa lagi? atau dengan bisikan-bisikan lain yang senantiasa menimbulkan was-was di dalam hati manusia. Karena itu, hendaklah setiap muslim bersikap waspada dan tidak terpedaya oleh bisikan-bisikan setan.
Nabi Saw. Pernah mengingatkan kita di dalam sabdanya:
“Seseorang tidak dianggap melakukan dosa terus-menerus, selama ia senantiasa beristighfar, meski sesudah itu ia melakukan dosa yang lain dalam sehari sebanyak tujuh puluh kali”.
Setiap hamba ALLAH SWT. wajib bertaubat, seraya memohon kepada-Nya agar ditetapkan imannya. Sesudah itu jika ia mendapatkan dirinya masih cernderung melakukan dosa, maka hendaklah ia membiasakan diri untuk bertaubat sesudahnya.
Hanya ALLAH SWT. yang memberikan taufik dan pertolongan.
- Antara Harap dan Cemas (Takut)
Berharap sepenuhnya kepada ALLAH SWT. dan merasa cemas kepada-Nya adalah termasuk di antara perkara yang menyelamatkan. Perasaan harap dan cemas adalah suatu peringkat yang mulia dari ALLAH SWT., karena keduanya menjadi sifat para Nabi dan Rasul, juga para pengikutnya dari orang-orang saleh yang muslim.
ALLAH SWT. berfirman:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada ALLAH) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya, sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”.(al-Isra’, 17:57).
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami”.(al-Ambiya’.:21:90)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan ALLAH SWT., mereka itu mengharapkan rahmat ALLAH, dan ALLAH Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.(al-Baqarah,2:28)
“Serta pengajaran bagi 0rang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang takut akan (adzab) Tuhan mereka, sedang mereka melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat”.(al-Anbiya”,21:48-49)
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”. (al-Mu’minun,23:60)
Rasulullah saw. Bersabda di dalam sebuah hadist Qudsi:
“ALLAH SWT. berfirman, AKU berada pada sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, dan Aku senantiasa bersamanya setiap ia mengingat-Ku”.
“ALLAH SWT. berfirman, wahai anak adam! Setiap engkau memohon dan mengharap kepada-Ku, maka Aku tetap akan mengampunimu atas segala kesalahan yang telah engkau lakukan, betapa besar dan banyak sekalipun. Wahai anak adam! Seandainya kesalahan-kesalahanmu setinggi langit sekalipun, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu. Wahai anak adam! Seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa seisi bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku, sedang engkau tidak pula menyekutukan Aku dengan sesuatupun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sesisi bumi pula”.
“ALLAH SWT. berfirman, demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan bagi hamba-Ku dua ketakutan atau dua keamanan, jika ia takut kepada-Ku di dunia, niscaya ia akan Aku sentausakan di hari kiamat. Jika ia merasa aman dari pada-Ku di dunia, niscaya Aku akan menakutkannya di hari kiamat”.
“Pokok kebijaksanaan adalah takut kepada ALLAH SWT”.
Sekali peristiwa, tatkala Rasulullah Saw. melawat seorang pemuda yang sedang menghadapi maut, beliau berkata, “bagaimana keadaanmu?” dia menjawab, “aku mencemaskan dosaku yang banyak itu. Aku sungguh mengharap rahmat Tuhanku”. maka Nabi Saw. bersabda, “Tidak akan berkumpul perasaan harap dan cemas di dalam hati seorang hamba, sedang ia dalam keadaan seperti ini, melainkan ALLAH SWT. memberinya segala yang diharapkan, dan mengamankannya dari segala yang dicemaskan”.
Perlu diingat, bahwa perasaan takut akan menghalangi seseorang dari melakukan maksiat dan kesalahan. Sedang perasaan harap, akan membimbing seseorang untuk melakukan ketaatan dan mengikuti perintah. Barangsiapa tidak dihalangi oleh peraasaan takut untuk melakukan maksiat kepada ALLAH SWT., dan tidak dibimbing oleh perasaan harap untuk mengerjakan ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya, niscaya perasaan takut (cemas) dan harapnya hanya sekedar omongan nafsu yang tidak bererti apa-apa dan tidak bisa dipegang, karena kosong dari maksud dan faedah yang dicita-citakan.
Perlu diketahui pula, bahwa yang paling utama bagi seorang mu’min yang senantiasa mengerjakan ketaatan kepada ALLAH SWT. adalah, meletakkan dirinya pada perasaan antara takut dan harap, hingga keduanya menjadi seperti dua sayap burung yang kembar, atau neraca timbangan yang setara.
Rasulullah Saw. bersabda:
”Sekiranya ditimbang perasaan takut dan harap dari seorang mu’min, niscaya keduanya akan sama rata”.
Jika seorang mu’min senantiasa mencampuradukkan amalannya, dan senantiasa mencemaskan dirinya bakal terperosok dari ketaatan kepada larangan-larangan ALLAH SWT., maka yang terbaik baginya adalah memperbanyak perasaan takut, lantaran ia akan menahan dan menghalangi seseorang dari melakukan sesuatu secara sewenang-wenang dan melampaui batas. Tetapi, jika dirinya senantiasa dikungkungi hawa nafsu dan sahwatnya, sedang ia tidak melakukan sesuatupun selain hanya berharap, maka sikap seperti itu justru akan membinasakannya. Sebab, setiap kali dirinya yang suka berbuat jahat ingat akan keluasan rahmat ALLAH SWT. atas hamba-Nya, dan bahwa Dia suka memaafkan dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya, maka ia mejadi semakin berani bebuat maksiat, dan semakin jauh dari ketaatan, dan lebih mudah pula terperosok ke dalam kemaksiatan, hingga tanpa disadarinya ia beroleh kebinasaan.
Perkara seperti ini sering terjadi atas sebagian kaum muslimin yang terpedaya dan terlampau berharap rahmat ALLAH SWT. pengharapan seperti ini, dinamakan pengharapan yang dusta dan palsu, dan bukan pengharapan yang benar dan terpuji. Sebab, pengharapan yang benar dan terpuji akan membimbing seorang hamba kepada penunaian ketaatan kepada ALLAH SWT. dan memimpinnya kejalan keridhaan-Nya.
Lantaran itu, hendaklah setiap mu’min memelihara dirinya dari penghargaan palsu atau angan-angan kosong, karena yang demikian itu adalah tipu daya setan, yang telah menampakkan kejahatan dalam rupa kebaikan. Dan manakala ajal seseorang telah hampir tiba, dan maut telah ada di ambang pintu, maka apa yang terbaik dilakukannya ketika itu, adalah memperbanyak berharap dan menyangka baik terhadap ALLAH SWT. betapapun susah dan payahnya keadaannya.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw. pernah mengingatkan kita dengan sabdanya:
“Janganlah seseorang kamu mati, melainkan ia menyimpan sangkaan baik terhadap ALLAH SWT.”.
Setiap mu’min harus membebaskan dirinya dari rasa aman terhadap adzab ALLAH SWT. dan dari rasa putus asa terhadap rahmat-Nya.
ALLAH SWT. berfirman:
“Tiada yang merasa aman dari adzab ALLAH SWT. kecuali orang-orang yang merugi”.(al_A’raf7:99)
“Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya , kecuali orang-orang yang sesat”.(al-hijr,15:56)
Perasaan aman dari adzab ALLAH SWT. adalah, bila seseorang hanya mempunyai takut semata-mata tanpa adanya perasaan harap sama sekali, sehingga ia menentukan sendiri di hatinya, bahwa ALLAH SWT. tidak akan merahmati lagi dan tidak akan mengampuninya sama sekali. Sedang aman dari adzab Tuhan dan putus asa dari rahmat-Nya, dianggap sebagai dosa yang besar. Lantaran itu, hendaklah setiap mu’min berhati-hati dengan senantiasa menempatkan dirinya pada perasaan antara takut dan harap. Jangan sekali-kali memperdayakan Tuhanmu dan bersikap menentang kepada-Nya, karena sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, sedang Dia juga Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
- Bersabar Atas Bala’
Termasuk diantara perkara besar yang menyelamatkan ialah: bersabar atas segala bala’ yang datang dari ALLAH SWT., bersukur atas segala nikmat yang dikaruniakan-Nya atasmu, berzuhud dari dunia yang melalaikan manusia dari mengingat ALLAH SWT.
Sifat sabar itu mempunyai keutamaan-keutamaan yang besar. Hajat manusia akan sifat sabar, amat nyata dalam segala keadaannya. Perintah dan anjuran mengenai sifat sabar ini, banyak terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, dan telah dikenal secara luas.
ALLAH SWT. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Tuhanmu) dengan sabar dan sholat, sesungguhnya ALLAH beserta orang-orang yang sabar”. (al-Baqoroh,2:153)
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (al-Baqoroh, 2:155)
“ALLAH menyukai orang-orang yang sabar”. (Ali imron, 3:146)
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan ALLAH”. (an-Nahl, 16:127)
“Dan besabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami”. (art-Thur, 52:48)
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar”. (as-Sajdah, 32:24)
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (az_Zumar, 39;10)
Rosulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa suka bersabar, niscaya ALLAH akan memperteguh hatinya. Dan tidak seorang pun diberi karunia yang lebih baik dan lebih luas daripada sifat sabar”.
“Sifat sabar itu cangkul seorang mu’min. dan sifat sabar juga panglima tentara mu’min”.
“Bersabar terhadap hal-hal yang engkau tidak menyukainya , terkandung kebaikan yang banyak”.
Di dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa iman itu terbagi dua. Pertama sabar, sedang kedua syukur.
Karena itu, seorang mu’min sangat berhajat kepada sifat sabar, terutama ketika menghadapi bala’ dan bencana, kesulitan dan kesusahan, dan segala macam penganiayaan. Yakni, manakala ia ditimpa suatu musibah, maka ia tidak boleh berputus asa. Malah ia harus bersikap tenang dan lapang dada, tidak merasa kesempitan dan bosan, dan tidak pula mengadukan halnya kesana kemari. Ia harus senantiasa menghadap ALLAH SWT. dengan penuh khusyu’ dan khudhu’, memohon dan merendahkan diri kepada-Nya, seraya menyangka baik terhadap-Nya. Sesudah itu, hendaklah ia meyakinkan dirinya, bahwa segala bala’ dan bencana yang ditimpakan ALLAH SWT. kepadanya, merupakan ujian yang mengandung banyak kebaikan seperti, meningkatkan derajad, melipat gandakan pahala dan menebus dosa, sebagaimana telah diriwayatkan oleh beberapa hadits. Diantaranya ialah, sabda Rasulullah Saw.:
“Tidak ada yang menimpa seorang mu’min dari bala bencana, atau kesusahan, atau kecemasan, hingga duri yang mencocoknya, melainkan ALLAH SWT. akan menebus dengannya segala dosanya”.
Seoarang mu’min butuh banyak kesabaran didalam mengerjakan segala macam ketaatan. Yakni, hendaklah ia tidak bermalas-malasan di dalam menunaikannya, menyempurnakannya dengan menghadirkan hati ketika menghadap ALLAH SWT. dengan keikhlasan yang penuh, tidak riya’, tidak berpura-pura atau mengada-adakannya dimata orang ramai. Memang, sudah menjadi tabiat seseorang untuk bermalas-malasan dan merasa berat hati untuk mengerjakan amal ibadah. Lantaran itu, ia harus memaksa dirinya untuk melawan segala hambatan ini dengan perasaan penuh sabar dan hati yang teguh.
Seorang mu’min senantiasa butuh kesabaran yang banyak dalam upaya merintangi diri dari melakukan maksiat dan melanggar larangan-larangan ALLAH SWT. Sebab, hawa nafsu sering mengajak kita untuk melakukan dosa dan mengangan-angankan maksiat. Ketika itu, hendaklah kita menahan diri dengan penuh kesabaran dari melakukan maksiat itu secara lahir, dan menggambarkan secara batin.
Seorang mu’min juga butuh kesabaran yang banyak dalam mengekang diri dari keinginan hawa nafsu terhadap perkara-perkara yang dibolehkan, yang kebanyakan manusia amat menggemarinya seperti, bermewah-mewahan dengan kelezatan dan perhiasan dunia. Sebab, mengikuti secara berlebihan, akan menjerumuskan manusia kedalam perkara-perkara yang syubhat, dan seterusnya kepada yang haram pula. Jika demikian keadaannya, tidak mustahil seseorang akan melahirkan kecintaan terhadap harta benda dunia secara berlebihan, hingga akhirnya ia akan mengutamakan dunia di atas segalanya. Ia tidak lagi memperhatikan urusan akheratnya, juga segala usaha yang mengarahkan dirinya kepadanya.
Semoga anda memahami secara benar apa yang saya bicarakan tadi tentang hajat manusia kepada sifat sabar di dalam segala keadaan, dan di setiap masa dan waktu. Maka berpegang teguhlah kepada sifat sabar, niscaya anda memperoleh kebaikan dan kebahagiaan.
- Mensyukuri Nikmat
Syukur itu merupakan derajad yang mulia dan pangkat yang tinggi. ALLAH SWT. berfirman:
“Dan syukurilah nikmat ALLAH, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. (an-Nahl, 16:114)
“Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya”. (Saba’, 34:15)
“Bekerjalah hai keluarga daud untuk bersyukur (kepada ALLAH). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterimakasih”. (saba’, 34:13)
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (Ali imron, 3:145)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang diberi karunia lalu bersyukur (berterima kasih), diuji lalu bersabar, dianiaya lalu memaafkan, dan bila menzhalimi ia meminta maaf”… kemudian beliau berdiam diri. Maka para sahabat bertanya, ’Mengapa, wahai Rasulullah?’ beliau menjawab, “Mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka juga mendapat hidayah”.
“Hendaklah seseorang kamu menjadikan lisannya senantiasa berdzikir dan hatinya senantiasa berterima kasih”.
“Orang pertama yang dijemput ke surga ialah, orang-orang yang suka memuji, yakni mereka yang senantiasa memuji ALLAH SWT. di setiap keadaan”.
Masih banyak lagi riwayat yang menunjukkan tentang kelebihan bersyukur dan perintah agar bersyukur.
Maksud syukur ialah adanya pengertian dan kesadaran bahwa semua nikmat yang ada pada diri seorang hamba, baik lahir maupun batin, adalah dari ALLAH SWT., sebagai karunia dan pemberian daripada-Nya.
Tanda syukur ialah, adanya perasaan gembira terhadap keberadaan nikmat pada diri yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan amal ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya.
Tanda syukur lainya ialah, memperbanyak ucapan syukur dan terima kasih kepada ALLAH SWT. dan memuji-Nya dengan lisannya.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sekiranya salah seorang dari umatku diberi dunia dan isinya, kemudian ia mengucapkan Alhamdulillah, niscaya ucapan Alhamdulillah itu lebih utama dari dunia dan isinya”.
“Alhamdulillah itu memenuhi timbangan Mizan”.
“Sesungguhnya ALLAH SWT. meridhai seorang hamba yang memakan makanan dan meminum minuman, kemudian memuji ALLAH SWT. terhadap rizki itu”.
Tanda bersyukur yang lain ialah, mengerjakan ketaatan kepada ALLAH SWT. seraya memohon pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan ketaatan itu dengan nikmat-nikmat-Nya. Hendaklah ia menggunakan kenikmatan itu pada tempat-tempat yang diridhai ALLAH SWT., dan itulah puncak segala perwujudan rasa syukur. Jangan takabur atas nikmat-nikmat yang dimilikinya, jangan menonjolkan diri di hadapan orang banyak, jangan menganiaya, jangan melampaui batas, dan jangan memusuhi orang lain. Barang siapa melakukan salah satu perkara dari perkara-perkara yang disebut tadi, maka jelaslah bahwa ia telah mengkufuri nikmat ALLAH SWT. dan tidak mensyukurinya. Sedang mengkufuri nikmat akan menghapus kenikmatan itu dan menukarnya menjadi kehampaan.
ALLAH SWT. berfirman:
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya ALLAH sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”.(al-Anfal, 8:53)
Yakni, dengan tidak mensyukuri segala nikmat yang dikaruniakan ALLAH SWT. kepadanya. Orang yang tidak tahu bersyukur atau berterima kasih, akan ditarik kembali segala kenikmatan itu daripadanya, sedang ia dicampakkan ke dalam kebinasaan. Akan halnya orang yang pandai bersyukur dan berterima kasih, maka akan ditambahkan kepadanya kebajikan dan karunia nikmat-Nya.
ALLAH SWT. berfirman:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu”.(Ibrahim, 14:7)
Tanda bersyukur lainnya lagi ialah, memandang besar sesuatu nikmat, sekalipun nikmat itu kecil saja, memandang keagungan penganugerahannya, yakni ALLAH SWT. Dalam pada itu, sesungguhnya ALLAH SWT. telah menganugerahkan berbagai nikmat kepada hamba-Nya, yang semuanya tidak terhitung banyaknya, baik yang besar maupun yang kecil. Setiap hamba tidak akan mampu menghitung nikmat-nikmat yang diterimanya setiap hari, apalagi untuk bersyukur kepada ALLAH SWT. atas setiap nikmat itu.
ALLAH SWT. berfirman:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat ALLAH, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya ALLAH benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (an-Nahl, 16:18)
Hendaklah seorang mu’min tidak melihat orang lain dengan pandangan iri hati dan heran, atas segala kelebihan yang dikaruniakan ALLAH SWT. kepadanya berupa nikmat yang banyak. Sebab, perasaan iri hati akan menyebabkan dirinya tidak menghargai karunia nikmat yang diterimanya, dan bahkan hanya akan memperkecil arti pemberian itu, sehingga ia pu lalai untuk bersyukur kepada-Nya atas karunia nikmat-Nya. Lebih dari itu, seluruh nikmat tadi bakal dicabut oleh-Nya dan dipindahkan dari dirinya. Akhirnya, apa yang diirikan atas saudaranya berupa nikmat yang banyak, ternyata tidak bisa diperolehnya. Malah, sedikit nikmat yang diterimanya telah dicabut pula dari dirinya. Semua itu adalah dampak keengganan mensyukuri nikmat dan keengganan menjaga adab dan tertibnya kepada Tuhan.
Tersebut dalam sebuah hadits:
“Perhatikanlah orang yang (nasibnya) berada di bawah kamu. Demikian itu lebih baik, agar kamu tidak memperkecil nikmat ALLAH yang dikaruniakan kepadamu”.
ALLAH SWT. telah melebihkan sebagian hamba-Nya atas sebagian yang lain disebabkan beberapa rahasia dan nikmat tersembunyi, yang tidak akan bisa diketahui oleh seorangpun kecuali Dzat-Nya semata. Dalam perbuatan-Nya itu juga terkandung banyak manfaat dan maslahat bagi hamba-hamba itu sendiri, yang tidak disingkapkan rahasianya kepada mereka. Lantaran itu, sebaiknya setiap hamba bersikap ridha terhadap bagian yang telah ditentukan ALLAH SWT. atasnya. Dan tidak lupa mensyukuri segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Sesudah itu, ia boleh memohon tambahan karunia-Nya sebanyak yang ia butuhkan. Sebab, perbendaharaan langit dan bumi berada dalam genggaman-Nya, segala rizki dan nikmat ada di dalam tangan-Nya. Dia menggerakkan segala sesuatu atas kehendak-Nya, sedang Dia berkuasa atas segala sesuatu.
- Zuhud
Berzuhud di dunia merupakan perkara yang mulia yang bisa menyelamatkan dan mendekatkan diri anda kehadhirat ALLAH SWT. Dia juga telah menganjurkan para hamba-Nya agar berzuhud di dunia melalui firman-Nya:
“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus”. (al-Kahfi, 18:7-8)
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya, sedang apa yang disisi ALLAH adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? Maka apakah orang yang kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi, kemudian dia pada hari kiamat termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)”. (al-Qashash, 28:60-61)
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (al‑A’la, 87:16-17)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Berzuduhlah di dunia, niscaya ALLAH akan menyintaimu. Dan berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka akan mengasihimu”.
“Anggaplah kamu di dunia seola-olah orang asing, atau seorang musafir, dan perhatikan dirimu atas penghuni kubur”.
“Barang siapa menyintai akherat, akan terancamlah dunianya. Dan barang siapa menyintai dunia, akan terancamlah akheratnya. Karena itu, hendaklah kamu memilih yang kekal (akherat) daripada yang membinasakan (dunia)”.
“Barang siapa bangun pagi hari, sedang ingatannya hanya akherat semata, maka ALLAH akan menghimpunkan segala urusanya, memelihara usahanya, sedang dunia akan datang menyembah kepadanya”.
Zuhud pada hakekatnya ialah, menjauhkan dunia dari hati dan pikiran, sehingga ia tampak kecil dan tak berarti. Ketika itu, seorang hamba akan merasakan ketiadaan dunia, atau ia hanya menyintai dan mengutamakan yang sedikit saja daripadanya. Dan hal ini manakala ditinjau dari aspek batiniahnya.
Adapun dari segi lahiriahnya, maka seorang yang berzuhud hendaklah berpaling dari urusan harta benda dunia, meski ia mampu dan kuasa mengumpulkannya. Apa yang diambilnya dari harta benda, hanyalah sekedar pencukupan kebutuhan dirinya dari makan, minum, pakaian dan tempat tinggal, di samping beberapa kebutuhan lainnya yang memang sangat diperlukan, sebagaimana Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Hendaklah apa yang diambil oleh seseorang kamu dari dunia sekadar bekal seorang musafir”.
Seseorang yang terlampau menyintai dunia, hatinya amat cenderung kepadanya, dan senantiasa mengumpulkan harta bendanya, dengan maksud untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu syahwat dan kelezatannya, maka orang seperti ini dikatagorikan sebagai pecinta dunia, dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah zuhud. Tetapi, jika kesayangan dan kecenderungannya kepada dunia tidak untuk dinikmati seorang diri, malah dibelanjakannya pada jalan-jalan kebaikan dan kebaktian yang bisa mendekatkan dirinya kepada ALLAH SWT., maka amal seperti ini memang baik, jika niat dan tujuannya ditepati. Namun demikian, perkara ini juga tidak kurang bahayanya.
Adapun orang yang senantiasa mengejar dan mengharapkan dunia, sedang dunia yang dikejar dan diharapkan tidak juga diperolehnya sehingga ia tetap timggal dalam kemiskinannya, maka simiskin ini bukanlah seoramg yang berzuhud. Tetapi, lantaran ia bersabar hidup di dalam kemiskinannya, maka ALLAH SWT. bakal memuliakannya dan membalasnya dengan pahala yang besar, selagi ia tetap sabar dan ridha terhadap ketentuan Tuhan.
Jika seseorang bersenang-senang dalam kehidupan dunia dan memuaskan dirinya dengan pemenuhan syahwat dan kelezatannya, sedang ia mendakwakan dirinya bukan sebagai pecinta dunia dan tidak cenderung kepadanya, maka ia adalah seorang pendusta yang terpedaya, pengakuannya tidak mempunyai bukti dan alasan yang bisa dibenarkan. Apabila demikian keadaannya, maka ia tidak mempunyai pimpinan yang bisa dipegang dari para imam yang mendapat petunjuk, ulama shalihin, ataupun para salaf dan khalaf. Perhatikanlah masalah ini baik-baik, semoga ALLAH SWT. memberi petunjuk kepada anda.
- Tawakkal Kepada ALLAH SWT.
Termasuk di antara perkara mulia yang menyelamatkan ialah, berserah diri (tawakkal) kepada ALLAH SWT., menyintai-Nya, ridha terhadap ketentuan-Nya, memperbaiki niat kepada-Nya, dan mengikhlaskan diri kepada-Nya lahir dan batin.
Tawakkal kepada ALLAH SWT. merupakan peringkat amat mulia yang telah dicapai oleh para ahli yakin, dan merupakan hasil dari keyakinan itu sendiri.
ALLAH SWT. berfirman:
“Maka bertawakkallah kepada ALLAH”. (Ali imron, 3:159)
“Sesungguhnya ALLAH menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali imron, 3:159)
“Karena itu hendaklah kepada ALLAH saja orang-orang mu’min bertawakkal”. (Ali imron 3:160)
“Dan hanya kepada ALLAH hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (al-Maidah, 5:23)
“Dan tawakkallah kepada ALLAH. Cukuplah ALLAH menjadi pelindung” (an-Nisa’, 4:81)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sekiranya engkau bisa bertawakkal kepada ALLAH dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberimu rizki, sebagaimana Dia memberi rizki kepada burung-burung yang senantiasa pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar, dan kembali petang hari dalam keadaan kenyang”.
Tersebut dalam sebuah atsar:
“Cukuplah ALLAH menjadi penolong kami dan ALLAH adalah sebaik-baik pelindung” (Ali imron, 3:173)
Ayat tersebut pernah dibaca oleh Nabi Ibrahim As. ketika beliau dilemparkan ke dalam api oleh raja namrud. Juga pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. bersama kaum muslimin ketika disampaikan kepada mereka berita ini, sebagaimana dikisahkan di dalam Al-Qur’anu ‘l-Karim:
“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah ALLAH menjadi penolong kami dan ALLAH adalah sebaik-baik pelindung”. (Ali Imron, 3:173)
Sebagian salaf saleh berkata:
”Barangsiapa menerima ALLAH sebagai pelindung, niscaya ia akan terdorong kepada jalan kebajikan”
Prinsip tawakkal ialah, keteguhan hati dan keyakinan, bahwa semua perkara tergantung pada tangan dan genggaman ALLAH SWT. Tidak ada yang mendatangkan suatu mahdharat atau manfaat, tidak memberi atau menahan, melainkan ALLAH SWT. Kemudian, hendaklah hati merasa aman dan tenteram terhadap janji-janji ALLAH SWT. dan jaminan-Nya, sehingga ia tidak merasa goncang manakala ditimpa kesusahan atau kecelakaan. Sebaliknya, ia malah harus mengembalikan dan menyerahkan perkaranya sepemuhnya kepada ALLAH SWT., baik perkara besar ataupun kecil. Jika ada ketergantungan kepada manusia, maka yang demikian itu hanyalah pada lahirnya saja, tidak menyentuh batinnya. Dan itu akan terjadi sesuai dengan pentunjuk perintah Tuhan sebagaimana di tentukan oleh syari’at.
- Tawakkal Bukan Penyerahan Secara Buta
Syarat tawakkal itu tidak harus kosong dari sebab-sebab keduniaan. Malah urusan keduniaan sering bersangkut-paut dengan sebab-sebab yang harus disertai dengan tawakkal. Namun demikian, kejadiannya mesti bergantung sepenuhnya kepada ALLAH SWT. bukan kepada sebab-sebab tadi. Tanda kebenaran orang bertawakkal ialah, hendaknya ia tidak meyakini sepenuhnya kepada sebab-sebab keduniaan, ataupun merasa tenteram dengan adanya sebab-sebab tadi. Demikian pula ia tidak akan merasa goncang, manakala sebab-sebab tadi tidak ada atau terhalangi.
Terkadang, seseorang itu kosong dari sebab-sebab keduniaan, tetapi ia tidak dikatakan bertawakkal kepada ALLAH SWT., selama ia tetap bergantung kepada sebab-sebab itu, dan menadahkan tangan kepada orang lain untuk mengharap belas kasih
Sebab-sebab keduniaan itu terbagi dua:
- Sebab keagamaan
- Sebab keduniaan
Sebab-sebab keagamaan itu misalnya, ilmu-ilmu yang bermanfaat dan amal saleh yang wajib dikerjakan. Setiap muslim harus menunaikan perkerjaan itu dan mengamalkannya, kemudian menyerahkan segala perkara kepada ALLAH SWT., bukan kepada amalan itu sendiri.
Adapun sebab-sebab keduniaan misalnya, segala usaha dan perbuatan yang mendatangkan hasil untuk menopang kehidupan sehari-hari. Sebab-sebab seperti itu tidak boleh ditinggalkan oleh manusia, lantaran ia sangat dibutuhkan dalam kehidupannya. Kecuali, jika orang itu dalam kondisi lemah tak berdaya, dan tak mampu berusaha mencari rizki. Atau jika ia memang digolongkan dari hamba-hamba ALLAH SWT. yang ahli ilmu makrifat dan ahli yakin.
Pokonya, walau bagaiman, seseorang tidak boleh meninggalkan sebab-sebab mencari rizki untung menyambung kehidupannya, kecuali jika ia memang dalam keadaan lemah tak berdaya, atau jika ia dikhususkan untuk suatu tugas tertentu. Haram hukumnya seseorang duduk menganggur dan enggan bekerja. Padahal, ia mampu bekerja dan butuh mata pencaharian untuk menghidupi dirinya, anak istrinya, kaum keluarganya, agar tidak tersia-sia dan meminta-minta kepada orang lain, dan mengharap-harapkan sesuatu yang ada ditangan orang.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Cukuplah seseorang itu menanggung dosa, lantaran menyia-nyiakan orang-orang yang ditanggungnya”.
- Cinta Karena ALLAH SWT.
Cinta karena ALLAH SWT. merupakan peringkat yang tinggi dan mulia.
“Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada ALLAH”. (al-Baqarah, 2:165)
”Maka kelak ALLAH akan mendatangkan suatu kaum yang ALLAH menyintai mereka dan merekapun menyintai-Nya”. (al-Maidah, 5:54)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga perkara, apabila ia ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman yaitu, hendaklah ALLAH dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang selainnya”.
“Cintailah ALLAH lantaran nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan-Nya kepadamu, dan cintailah aku karena cinta kepada ALLAH”.
Maka cinta kepada ALLAH SWT. ialah, kecenderungan hati seorang hamba kepada-Nya, perasaan adanya hubungan yang erat dengan-Nya, berTuhan hanya kepada-Nya sebagai kehadhirat Yang Maha Suci dan Maha Tinggi dan Puncak kemahaagungan, Kemahasucian, dangan penuh hormat dan takut kepada-Nya, tanpa menyerupai-Nya dengan sesuatu yang lain, tidak menyertai peribadatan kepada-Nya dengan keraguan apapun. Maha Suci ALLAH dari segala penyerupaan dan keraguan.
Sengaja perkara ini kami ingatkan di sini, karena sebagian orang yang tidak memiliki pandangan batin – manakala mereka mendengar sesuatu tentang ihwal ahli kecintaan kepada ALLAH SWT. (orang saleh yang sangat erat hubungannya dengan ALLAH) dan perilaku mereka dalam menyintai ALLAH SWT. – hati dan pemahaman mereka sering terganggu oleh perasaan was-was dan keraguan yang berbahaya dan membinasakan. Mereka tidak mengerti, bahwa kecintaan orang yang benar-benar menyintai ALLAH SWT. akan mendorongnya untuk mengutamakan ALLAH SWT. ketimbang yang selain-Nya, dan membimbingnya untuk berusaha sekuat tenaga dalam mendekatkan dirinya kepada ALLAH SWT. dan memohon keridhaan-Nya. Ia juga berusaha sengguh-sungguh untuk mengerjakan ketaatan dan berkhidmat kepada-Nya dengan membelakangi segala sesuatu yang bisa melalaikannya dari mengingat ALLAH SWT. dan berbakti kepada-Nya.
- Ridha Kepada ALLAH
Diantara tanda-tanda yang menunjukkan kecintaan seseorang kepada ALLAH SWT. ialah, senantiasa mengikuti jejak langkah Rasulullah Saw.
ALLAH SWT. berfirman:
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) menyintai ALLAH, ikutilah aku, niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ali Imran, 3:31)
Ridha kepada ALLAH SWT. adalah suatu sikap yang mulia dan tinggi derajadnya.
ALLAH SWT. berfirman:
“ALLAH ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya”. (al-Bayyinah, 98:8)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya ALLAH apabila menyintai suatu kaum, maka diuji-Nya mereka. Barangsiapa ridah, ALLAH meridhai mereka. Dan barangsiapa mengeluh, ALLAH murka terhadap mereka”.
“Sesungguhnya, dengan kebijaksanaan-Nya, ALLAH telah memberikan kesenangan dan kemudahan di dalam keyakinan dan keridhaan. Dan memberikan kesempitan dan kesusahan di dalam keraguan dan kemarahan”.
Orang yang ridha kepada ALLAH SWT., adalah orang yang tabah menerima segala ketentuan-Nya. Apa pun yang ditakdirkan ALLAH, meski bertentangan dengan keinginannya, atau tidak disukai oleh hawa nafsunya seperti, kecelakaan jiwa dan harta, ditimpa bala bencana, tekanan hidup, kemiskinan, dan kesempitan mata pencaharian, namun ia tetap sabar dan ridha terhadap apa yang ditakdirkan ALLAH atasnya. Jiwanya tetap tenang dan tidak pernah menggerutu, tidak menentang dan tidak goyah sedikitpun. Sebab, ALLAH SWT. berkuasa melakukan segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Tak seorangpun kuasa menentang dan membangkang kepada kekuasaan-Nya.
Hendaklah anda waspada terhadap ucapan yang bernada mengingkari ketentuan ALLAH SWT., sebagaimana anda tahu, bahwa ALLAH Maha Bijaksana dan Maha Adil dalam segala ketentuan dan keputusan-Nya. Dan bahwa Dia tidak akan menentukan bagi seorang mu’min suatu perkara yang dibencinya, melainkan padanya terkandung sebab yang baik atau bijaksana bagi dirinya, atau balasan mulia yang tidak diketahuinya. Karena itu, hendaklah ia berprasangka baik terhadap ALLAH SWT. dan ridha terhadap segala ketentuan-Nya. Kemudian, hendaklah ia senantiasa kembali kepada-Nya dengan merendah dan mengingatkan dirinya, bahwa ia senantiasa menghajatkan pertolongan ALLAH SWT. Hendaklah ia senantiasa menghadapkan diri kepada-Nya dengan perasaan hina, memperbanyak puji dan syukur kepada-Nya dikala senang atau susah, disaat lapang atau sempit. Sepatutnyalah kita memanjatkan puji kepada ALLAH SWT. Tuhan semesta alam.
- Niat Baik dan Ikhlas
Berniat baik dan ikhlas kepada ALLAH SWT., termasuk di antara perkara besar dan penting yang bisa menyelamatkan manusia.
ALLAH SWT. berfirman:
“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”. (Ali imron, 3:152)
”Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akherat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik”. (al-Isaro’, 17:19)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal itu disertai niat, dan sesungguhnya setiap orang itu diberi balasan berdasarkan niatnya”
“Setiap manusia dibangkitkan (di hari kiamat) menurut niat masing-masing”.
”Barangsiapa berjuang, sedang niatnya hanya untuk mendapatkan tali pengikat unta (yang dimaksud, untanya, pen.), maka balasannya sesuai apa yang diniatkannya”.
”Niat seorang mu’min lebih baik dari amalannya”.
Sebab, niat adalah amalan hati, sedang hati adalah anggota tubuh manusia yang paling mulia. Lantaran itu, amalan hati lebih baik ketimbang amalan anggota. Sebab lainnya ialah, lantaran hanya dengan niat di dalam hati sudah bisa menghasilkan manfaat. Sedang perbuatan anggota tanpa niat, tidak akan mendatangkan manfaat apapun.
Tersebut di dalam sebuah hadits:
“Barangsiapa bercita-cita untuk membuat suatu kebajikan, tetapi terhalang untuk melaksanakannya, maka ALLAH akan mencatatkan suatu kebajikan yang sempurna”.
Hendaklah anda senantiasa menyimpan niat baik di dalam hati dan mengikhlaskannya kepada ALLAH SWT. Jangan melakukan ketaatan, melainkan padanya niat untuk mendekatkan diri, patuh kepada-Nya dan mencari keridhaan-Nya. Kemudian mengharapkan pula pahala di akherat, sebagaimana telah di janjikan ALLAH SWT. sebagai balasan dan karunia dari-Nya. Apabila anda mengerjakan suatu perkara yang mubah, seperti makan, minum, dan tidur, maka hendaklah anda niatkan untuk memelihara tubuh, agar kuat beramal ibadah kepada ALLAH SWT., meneguhkan takwa dan ketaatan kepada-Nya. Dengan niat seperti itu anda telah membarengkan amal mubah dengan amal wajib (ketaatan), sedang anda akan memperoleh pahala pula, lantaran perbuatan anda telah diikat dengan hukum niat. Orang yang lalai untuk memperbaiki niatnya, senantiasa hidup dalam kerugian.
Lantaran itu, hendaklah anda senantiasa menyimpan niat baik di dalam segala amal anda, baik yang wajib maupun yang mubah, sehingga ia akan memperoleh karunia pahala yang penuh dari ALLAH SWT. Jika anda tidak kuasa atau merasa belum mampu melakukan suatu ketaatan atau kebaktian, maka hendaklah anda meniatkannya di dalam hati dan berupaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat itu apabila kuasa dan mampu kelak. Dan hal itu hendaklah diamalkan dengan maksud yang benar, ‘azam yang kuat dan niat yang lurus. Misalnya, anda berkata di dalam hati, “jika aku mampu, insyaALLAH aku akan melaksanakannya”. Dengan itu saja, anda mendapat pahala sepadan dengan pahala orang yang mengerjakannya.
Ada sebuah cerita: Seseorang dari kaum bani israil melewati setumpuk pasir seperti busut kecil (onggokan tanah sarang anai-anai, pen), sedang ketika itu orang ramai ditimpa kelaparan, karena tidak cukup makan. Maka, berkatalah orang itu kepada dirinya, “Alangkah baiknya, jika busut ini menjadi makanan, dan aku pula yang memilikinya, niscaya aku bagi-bagikan kepada orang-orang yang kelaparan itu”. Maka ALLAH SWT. mewahyukan kepada Nabi umatnya dengan firman-Nya, “Katakan kepada si fulan itu, bahwa ALLAH telah menerima sedekahnya, dan berterima kasih kepadanya atas niat baiknya itu”.
Tersebut di dalam sebuah atsar: Bahwa manakala para malaikat membawa ke langit catatan seorang hamba kepada ALLAH SWT., maka Dia berkata kepada mereka, “Catatkanlah sekian dan sekian!”. Para malaikat berkata, “Dia belum sempat melakukannya”. ALLAH SWT. menjawab “Tetapi dia telah meniatkannya”.
ALLAH SWT. berfirman tentang keikhlasan:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah ALLAH dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menuaniakan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (al-Bayyinah, 98:5)
“Ingatlah, hanya kepunyaan ALLAH-lah agama yang bersih (dari syirik)”. (az-Zumar, 39:3)
Rasulullah Saw. bersabda:
“ikhlaskanlah agamamu itu, niscaya memadailah amalan yang sedikit”
Rasulullah Saw. jika ditanya orang, “apakah iman itu?” beliau menjawab, “ikhlas kepada ALLAH SWT.”.
Sabdanya lagi:
“ALLAH tidak akan menerima suatu amalan, melainkan yang dikerjakan dengan penuh keikhlasan kepada-Nya, dan ditunjukan untuk memperoleh keridhaan-Nya semata”.
“Barang siapa ikhlas kepada ALLAH selama empat puluh hari, niscaya ALLAH akan menimbulkan tanda-tanda kebijaksanaan dari hatinya kepada lidahnya”.
Makna ikhlas ialah, menyengajakan semua amal ibadah, ketaatan dan perbuatan semata-mata kepada ALLAH SWT. untuk mendekatakan diri dan memperoleh keridhaan-Nya. Bukan untuk tujuan-tujuan yang lain seperti, berpura-pura mengerjakan ketaatan, menampilkan diri di hadapan orang banyak, mengharap pujian orang, atau tamak untuk mendapatkan suatu pemberian.
Sahil bin Abdullah ats-tsauri mengatakan bahwa, para ulama bijaksana telah meneliti surat al-Ikhlas, sedang mereka tidak menemukan makna yang lebih tegas dan pantas dari berikut ini, yakni: Mengarahkan segala gerak-gerik dan diamnya, baik lahir maupun batin, hanya kepada ALLAH SWT. semata, tidak dicampuri oleh sesuatupun, baik jiwa, hawa nafsu maupun dunia. Orang yang ikhlas adalah, orang yang menyengajakan amalannya hanya untuk mendekatkan diri kepada ALLAH SWT., mencari keridhaan-Nya dan memperoleh balasan pahala-Nya. Manakala orang riya’, ialah orang yang menyegerakan amalannya untuk menonjolkan dirinya kepada orang ramai agar mereka melihatnya, sedang amalannya tidak akan diterima oleh ALLAH SWT.
Orang yang beramal sekedar untuk pamer kepada orang ramai, dan tidak beramal sama sekali manakala tidak ada yang melihatnya, maka perbuatan itu berada dalam bahaya yang besar, sedang amalan yang dipamerkan itu adalah amalan orang munafik. Kita berlindung kepada ALLAH SWT. dari amalan serupa itu, dan memohon kepada-Nya agar menyelamatkan kita dari segala macam bencana.
- Kebenaran dan Kesetiaan Kepada ALLAH SWT.
Termasuk diantara perkara yang menyelamatkan ialah, berlaku benar dan setia kepada ALLAH SWT., suci pemikiran, pendek angan-angan, dan senantiasa mengingat mati dengan menyiapkan diri untuk menghadapinya.
Tentang sikap benar, ALLAH SWT. telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada ALLAH, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang beriman”. (at-Taubah, 9:119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka”. (al-Maidah, 5:119)
“Diantara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH” (al-Ahzab, 33:23)
“Supaya ALLAH memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya”. (al-Ahzab, 33:24)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Kebenaran itu memimpin kepada kebajikan, sedang kebajikan memimpin ke surga. Dan setiap hamba akan tetap benar dan menuju kepada kebenaran, sehingga ALLAH mencatatkan namanya di sisi-Nya sebagai pembenar. Dan dusta itu memimpin kepada kecelakaan, sedang kecelakaan memimpin ke neraka. Dan setiap hamba akan tetap berdusta dan menuju kepada kedustaan, sehingga ALLAH mencatatkan namanya di sisi-Nya sebagai pendusta”.
Sikap benar ialah, tidak berdusta di dalam semua tutur katanya. Kebenaran juga mempunyai tempat di segala amalan dan niat, juga semua tingkat dan maqam.
Makna kebenaran dalam perkara-perkara tadi ialah, menetapkan diri padanya dan membuatnya dengan cara yang paling baik, sempurna dan hati-hati, sejauh kemampuan dan sekuat usaha, dan giat berusaha lahir dan batin karena ALLAH SWT.
Adapun maksud muraqabah (berhati-hati) ialah, merasakan betapa ALLAH SWT. amat dekat kepada seorang hamba di sepanjang masa, dan bahwa ALLAH SWT. senantiasa bersamanya, meliputinya, menelitinya, mengawasinya dan melihatnya.
ALLAH SWT. berfirman:
“Dan ALLAH Maha Mengawasi segala sesuatu”. (al-Ahzab, 33:52)
“Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat”. (Thaha, 20:46)
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher”. (Qaf, 50:16)
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan ALLAH Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (al-Hadid, 57:4)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Berbuat baik adalah, engkau menyembah ALLAH seolah-olah engkau melihat-Nya. Seandainya engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihatmu”.
Muraqabah, atau mengawasi diri adalah dari maqam ihsan. Barang siapa meneliti dirinya dengan sifat muraqabah, niscaya akan membuahkan perasaan takut dan cemas kepada ALLAH SWT., dan perasaan malu sekiranya Dia melihat dirinya melakukan sesuatu yang di larang oleh-Nya, atau tidak melaksanakan sesuatu yang diperintahkan-Nya, atau berat untuk mengerjakan sesuatu ketaatan dan merasa malas untuk menunaikan suatu ibadah, atau membelakangi pengkhidmatan kepada-Nya, lalai dari mengingat-Nya dan berbakti kepada-Nya.
- Tafakur
Tafakur (berpikir) pada perkara-perkara yang baik dan berguna, padanya terkandung banyak manfaat dan faedah yang besar.
ALLAH SWT. berfirman:
“Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir, tentang dunia dan akherat”. (al-Baqarah, 2:219-220)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran ALLAH) bagi kaum yang memikirkan”. (ar-Rad, 13:3)
“Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”. (Yunus, 10:101)
Diriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah Saw. :
“Berpikir sesaat lebih baik dari beribadah setahun”.
Sayyidina Ali berkata, “Tidak ada suatu ibadah seperti berpikir”.
Berpikir itu banyak ragamnya, dan berpikir yang paling mulia dan baik adalah, berpikir tentang segala sesuatu tentang ciptaan ALLAH SWT. berikut bukti-bukti dan keajaiban cipataan-Nya di langit dan di bumi. Barangsiapa menumpukkan pikirannya kepada semua itu, niscaya akan bertambahlah makrifatnya kepada ALLAH SWT. dan itu merupakan sesuatu hal yang tak ternilai harganya.
Jenis berpikir yang lain ialah, meneliti segala nikmat dan pemberian ALLAH SWT. yang dikhususkan bagi setiap hamba-Nya, baik yang berkaitan dengan urusan agama maupun dunia. Memikirkan hal-hal seperti itu, akan melahirkan pertambahan cinta dan syukur kepada ALLAH SWT.
Jenis lainnya ialah, memikirkan kebesaran hak-hak ALLAH SWT. terhadap seorang hamba, manakala ia senantiasa mengabaikan dan melalaikan hak-hak ketuhanan-Nya. Memikirkan hal-hal serupa itu, akan melahirkan perasaan takut, cemas dan malu kepada-Nya, yang seterusnya akan menaikkan semangatnya untuk bersungguh-sungguh di dalam menaati-Nya dan menunaikan segala hak-Nya yang telah terabaikan selama ini.
Anda juga harus memikirkan ihwal dunia dengan segala kefanatikannya, yang akan segera lenyap dari genggaman seseorang. Padanya juga tedapat kekotoran hidup dan kesibukan orang-orang yang memburunya. Mengarahkan pemikiran kepada bencana-bencana dunia, akan melahirkan perasaan zuhud di dalam diri dan mengurangi kecenderungan dan kecintaan seseorang kepadanya.
Seterusnya, hendaklah anda memikirkan pula tentang hari akherat dan keabadiannya, nikmat-nikmat yang kekal, kelezatan yang tak terhingga dan kegembiraan yang tidak ada habisnya. Memikirkan hal-hal serupa itu, akan melahirkan kecintaan untuk mengutamakan akherat melebihi dunia, menambah keinginan untuk mencapainya dan berupaya sungguh-sungguh untuk beramal karenanya.
Masih banyak lagi jenis berpikir yang lain. Setiap orang yang luas pandangan batinnya dan meliputi segala sesuatu, ilmunya mendalam dan luas pula, maka wawasan berpikirnya pun menjadi lebih luas dan banyak.
- Senantiasa Mengingat Maut
Pendek harapan untuk hidup terus, memperbanyak mengingat mati dan mempersiapkan diri untuk menghadapi mati, terkandung banyak manfaat bagi manusia. Sebab, seseorang yang merasa ajalnya sudah semakin dekat, sedang ia senantiasa mengingat mati, maka ia akan bersungguh-sungguh memperbanyak amal saleh di setiap waktu, dan meninggalkan segala perkara yang tidak berguna, juga perasaan malas untuk beramal. Di samping itu, ia akan senantiasa berzuhud dari dunia dan berusaha untuk mengejar kebaikan bagi akherat, ia akan segera bertaubat kepada ALLAH SWT. dari segala dosa dan kembali kepada-Nya, menjauhkan diri dari segala tingkah laku yang bisa menghalangi dari melakukan ketaatan kepada ALLAH SWT., dan senantiasa memilih jalan yang diridhai-Nya.
Sebaliknya, orang yang panjang harapan untuk hidup lama di dunia dan kurang mengingat mati, maka sikapnya akan berlawanan dengan sikap orang yang pertama tadi.
Rasulullah Saw. telah bersabda:
“sukakah kamu sekalian masuk surga?” para sahabat menjawab, “tentu, wahai Rasullah!” Rasulullah Saw. berkata.”pendekkan cita-citamu, buktikan (gambarkanlah) ajalmu di depan mata, dan jagalah baik-baik kesopananmu di hadapan ALLAH”.
Dalam do’a, Rasulullah Saw. senantiasa mengucapkan do’a ini:
“Ya ALLAH, Ya Tuhanku! Aku berlindung kepada-Mu dari dunia yang menghalangi kebajikan untuk akherat. Aku berlindung kepada-Mu dari kehidupan yang menghalangi kebajikan untuk mati, dan aku berlindung pula kepada-Mu dari cita-cita yang mengganggu kebajikan untuk beramal”.
Siti Aisyah ra. Berkata “Wahai Rasulullah! Adakah orang yang bukan syahid bisa dibangkitkan bersama para syuhada?” Beliau menjawab, “bisa! Yakni orang yang mengingat mati sebanyak dua puluh kali pada siang dan malam hari”.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Perbanyaklah mengingat mati, sesungguhnya yang demikan itu akan membersihkan dosa dan menjadikannya berzuhud di dunia”.
Manakala Rasulullah Saw. ditanya tentang maksud firman ALLAH SWT.:
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan ALLAH hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?”. (az-Zumar, 39:22)
Maka beliau menjawab:
“Sesungguhnya cahaya (hidayah) itu, apabila menerangi hati, menjadi lapang dan luaslah dadanya”. Para sahabat bertanya, “apakah tanda-tandanya?” Beliau menjawab, “Merenggangkan diri dari dunia yang memperdaya, menuju ke akherat yang abadi, dan mempersiapkan diri sebelum kematian tiba”.
Imam Ghazali berkata di dalam kitabnya, AL-BIDAYAH: Hendaklah anda senantiasa merenungkan umur yang pendek (di dunia), jika jika dibandingkan dengan tempat tinggal di negeri akherat yang kekal sepanjang masa, meski anda merasa bisa hidup selama seratus tahun. Renungkan pula, betapa susah, payah dan hinanya pengejaran anda terhadap dunia, sebulan atau setahun, dengan harapan anda bisa hidup senang selama dua puluh tahun misalnya. Tetapi, mengapa anda enggan bersusah-susah sedikit ketika hidup di dunia, agar anda merasakan peristirahatan yang kekal di akherat kelak.
Karena itu, hendaklah anda tidak memanjangkan harapan untuk hidup lama di dunia, agar anda tidak merasa berat untuk beramal. Malah hendaklah anda menganggap bahwa maut itu sudah hampir tiba, dan bisikkanlah kepada dirimu keinginan untuk bersusah-susah sedikit, karena mungkin anda akan mati nanti malam. Jika tidak malam ini, mungkin esok. Sebab, maut tidak akan merenggut nyawa pada masa tertentu, atau keadaan dan umur tertentu pula. Yang jelas, kematian pasti datang, dan pada masa yang tidak bisa ditentukan. Maka, sebaiknya anda mempersiakan diri untuk menghadapi mati ketimbang untuk dunia. Ketahuilah, bahwa kehidupan anda di dunia hanya bersifat sementara. Anda tidak tahu, bahwa mungkin sisa hidup anda hanya tersisa untuk satu tarikan napas saja, atau hanya tinggal satu hari saja.
Bisikan seperti itu harus senantiasa diulang-ulang di hati setiap hari. Latihlah diri anda untuk berlaku tabah dan sabar dalam menjalankan segala tugas yang diperintahkan agama, hari demi hari. Anda tidak akan bisa tabah dan sabar menjalankan ketaatan kepada ALLAH SWT., sekiranya anda mengetahui batas umur yang telah ditakdirkan untuk anda, sedang masa itu masih panjang dan anda masih muda. Sudah barang tentu, anda akan menolak dan berontak terhadap keputusan ini.
Lantaran itu, hendaklah anda senantiasa ingat, bahwa kematian seseorang itu tidak diketahui waktunya, sehingga anda senantiasa mempersiapkan diri baik-baik. Kelak, bila kematian itu tiba, anda akan merasakan kebahagiaan yang tiada berkesudahan. Tetapi, jika anda mengabaikan nasehat itu, dan tanpa diduga maut pun tiba, sedang anda tidak siap menghadapinya, maka anda akan merasakan kekecewaan yang tak ada habisnya pula. Sebuah pepatah mengatakan: Manakala muncul pagi, orang berjalan malam pun memuji dan berterima kasih. Demikian pula bila kematian tiba kelak, anda pun akan meyakini dan membenarkan beritanya. Sedang berita itu tidak jauh dari anda, sekejap mata lagi akan tiba.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
