
Di mata Guntur, seorang Gina Pramudita adalah senior paling menyebalkan sekaligus paling menggemaskan di kantor. Sepanjang sejarah peradabannya di bumi, belum pernah ada makhluk bergender perempuan mana pun yang menolak pesonanya. Namun, Gina sebaliknya. Cewek itu seolah memandang Guntur seperti hama yang harus segera dimusnahkan.
"Lihat aja, gue akan bikin Gina terbucin-bucin sama gue. Dia bukan nggak suka, tapi belum." Itu kalimat yang selalu jadi mantra penyemangatnya tiap kali habis disemprot...
Tahu Gejrot, I'm in Love
“Awas, aja, gue kirim mereka ke Neptunus!”
Suara cewek yang penuh dengan emosi itu mengalihkan perhatianku dari ke-khusyuk-an menyantap tahu gejrot di samping pon bensin. Aku mencari sumber suara. Hanya ada lima orang di sini: aku, abang penjual tahu gejrot, kakek-kakek yang sedari tadi senyam-senyum menatapku di sebelah gerobak tahu gejrot, ibu penjual minuman, juga anak kecil yang sedang bermain sepeda di sekitar lapak minuman.
Ah, tidak mungkin salah satu dari mereka bukan? Aku kembali melanjutkan makan. Apa aku berhalusinasi?
“Berani banget mereka ninggalin gue!"
Suara itu lagi! Ini sebenarnya di mana, sih, orangnya? Aku celingukan. Saat aku memutar kepala untuk menengok arah belakang, saat itu pula ada sebuah tangan yang entah dari mana datangnya, mendarat tepat di piring tahu gejrotku dan menyentaknya tanpa ampun. Tak ayal, kuahnya yang pedas itu berhamburan ke mana-mana, termasuk ke wajahku yang tingkat kegantengannya unlimited.
“AW!” Aku refleks menutup mata dengan tangan, meskipun terlambat. Kuah yang dipenuhi biji cabe itu sudah traveling manja ke mataku. Paling perih yang sebelah kanan. Piring tanah liat yang tadi kupegang terlepas dan terdengar beradu dengan aspal.
“Astaga! Maas, Maf!”
Suara cewek tadi terdengar kaget bercampur panik. Apa katanya tadi, 'Maas, Maf'? Kalimat apa itu?
“Eh, maksudnya, maaf, Mas!” Dia meralat dengan suara makin panik. Apa dia bisa baca pikiranku?
“Oalah, Mas Ganteng. Ini, cuci pakai ini!” Ibu penjual minuman yang bertubuh tambun menyodorkan sesuatu.
Lewat penglihatan yang masih agak buram dari mata kiri, aku menerima sodoran itu tanpa pikir panjang dan langsung menyiramnya ke mata kanan. Dingin. Dan ... aroma ini ... teh, juga ....
“Bu, ini es teh manis, ya?” tanyaku gelagapan.
“Iya, Mas.”
“Aduh, masa es teh manis, Bu?” Aku kembalikan gelas itu ke sembarang arah, karena mataku malah makin perih. “Abang Tahu, nggak punya air bersih, gitu?”
“Adanya air cucian piring, Mas. Mau?”
“Enak aja!”
“Aduuuh, gimana, dong? Mas, mohon maaf, ya." Suara cewek itu lagi. Kali ini sarat penyesalan.
Untuk beberapa waktu aku cuma bisa mengucek mata pelan-pelan, berharap air mata yang keluar secara alamiah sejak tadi bisa mengurangi rasa perih. Tak kupedulikan suara serak-serak becek nan seksi itu.
“Pakai ini aja, Dek.”
Suara siapa ini? Sebentar ... aku intip dulu. Ooh, si Kakek yang tadi senyam-senyum gaje ke arahku. Laki-laki beruban dengan gigi yang sebagian ompong itu menyodorkan air di sebuah cangkir putih berukuran sedang.
Aku menerima cangkir itu, lalu menyiramkan isinya yang hanya separuh sedikit demi sedikit. “Makasih, Kek. Lumayan, nih, berkurang perihnya.” Sebagian wajahku jadi banjir, tapi aku yakin, sama sekali tidak mengurangi kadar kegantengan.
“Ini, bersihin pake ini mukanya, Mas.” Cewek itu menyodorkan sapu tangan.
Aku mendongak. Masya Allah ... ini, sih, salah satu keindahan dunia. Mumpung masih pandangan pertama, masih rezeki, kan? Ya Tuhan, kenapa aku jadi deg-degan begini? Matanya indah banget.
“Halo ..., Mas!”
Aku berkedip. “Oh, iya, terima kasih, Mbak.” Kusambut sapu tangan ungu muda itu disertai senyum paling menawan yang kupunya.
“Maaf banget, ya,Mas. Saya benar-benar nggak sengaja tadi.”
“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Santai. Udah oke, kok.”
“Iyalah udah oke, dikasih sapu tangan wangi sama cewek cantik,” sambar si Abang Tahu tanpa permisi. Ikut campur aja lu, Bambang!
Suara dering ponsel menginterupsi adegan bak FTV ini. Bukan nada deringku yang pasti. Secepat kilat, cewek di hadapanku ini mengangkat telepon.
“Iya, Pak? Udah sampai mana?” Dia celingukan ke arah kanan, seperti mencari seseorang. “Oh, oke. Saya di samping pom bensin, ya, yang ada tukang tahu gejrot.”
Tak lama kemudian sebuah Avanza hitam berhenti di depan kami. Sambil memainkan ponsel, cewek dengan rambut model bob rata di atas kerah yang setelan pakaiannya mirip pekerja kantoran itu melenggang tanpa basa-basi.
“Mbak, sapu tangannya!” Aku bangkit itu hendak mengejar, tapi mobil yang membawanya keburu melaju. Dalam hati aku bertekad, akan kucari dia sampai dapat!
“Tenang, Mas, kalau jodoh pasti ketemu lagi,” kata ibu penjual minuman sok bijak. Aku tersenyum tanda setuju. “Jangan lupa es teh manisnya dibayar, ya. Tiga ribu.”
“Kok? Kan, saya nggak pesan es teh manis, Bu.”
“Lha, itu tadi, yang udah diobok-obok buat cuci muka.”
“Tapi, kan, bukan saya yang pesan, Bu. Lagian juga nggak bantu banyak.”
Ibu berjilbab instan itu maju selangkah. Wah, aura perang, nih, Jenderal!
“Kamu itu ndak menghargai niat baik orang, ya. Udah syukur saya mau bantu. Coba kalau saya diam aja!”
Apa katanya tadi? Niat baik? Niat baik, kok, ada pamrihnya. Kalau ujung-ujungnya bayar mah namanya bukan niat baik, tapi cari kesempatan dalam kepedasan.
“Saya bukan cari kesempatan, tapi cari uang sekarang ndak gampang. Jual satu gelas es teh manis itu uangnya bisa buat anak saya naik odong-odong!”
Astaga, apa dia bisa dengar suara hatiku juga?!
“Udah, Mas, bayar aja, cuma tiga ribu doang. Ganteng-ganteng, kok, pelit.” Si Abang Tahu lagi-lagi nyamber kayak bensin. “Sekalian ganti rugi piring saya yang pecah, tuh. Lumayan harganya, tiga puluh ribu. Tapi karena udah nggak baru, saya diskon jadi dua puluh lima ribu.”
“Lha, kan, tadi kecelakaan, Mas. Masa harus ganti rugi juga?”
Si Abang Tahu meletakkan piring yang sedang dilapnya dengan serbet. Dia sepenuhnya menghadap ke arahku. Kami dipisahkan oleh gerobak tahu gejrot.
“Kalau Mas nggak kecipratan air kuah, piring saya nggak bakal jatoh, Mas.”
Apaan ini? Aku nggak terima. Kenapa malah aku yang jadi tersangka? “Mas, kalau cewek tadi nggak nyenggol tangan saya, itu tahu gejrot juga nggak bakal tumpah. Salahin, tuh, cewek tadi. Minta ganti rugi sama dia.”
Si abang bertubuh kurus itu menggebrak gerobak. “Sana, mintain ganti rugi sama dia, Mas. Kan, tadi situ yang ngobrol sama dia. Tuh, sekalian balikin sapu tangannya. Liat cewek cantik aja sampe hampir ileran gitu. Malu-maluin kaum laki-laki.”
Ow ... ow! Ini keterlaluan, Komandan. Penghinaan! Tidak ada dalam sejarah peradaban manusia, seorang Guntur Bima Adyaksa Raharja lihat cewek cantik sampai hampir ileran, yang ada cewek-cewek yang nggak sadar sampai belekan karena tidak kuat menahan pesonaku.
“Ya, udah. Iya, iya, saya bayar semuanya, nih.” Aku mengeluarkan dompet dan memberikan uang senilai yang masing-masing diminta.
“Kurang ini, Mas.”
Sumpah, ini Abang Tahu benar-benar ngajak adu sumo.
Aku mendesah kesal. “Apa lagi, Mas?”
Dia memamerkan uang yang tadi kuberikan. “Ini cuma biaya ganti rugi piring aja, Mas. Tahu gejrotnya yang tadi dimakan belum dibayar. Sepuluh ribu.”
Aku mengerang dalam hati. Tanpa banyak cingcong, kutambahkan lagi sepuluh ribu ke telapak tangan Abang Tahu yang masih terbuka.
“Dek.” Suara lain menyusul. Ternyata si Kakek.
“Kenapa, Kek? Mau nagih bayaran juga? Berapa, Kek?”
Si Kakek tersenyum, memamerkan giginya yang banyak jendelanya. “Bukan. Itu, cangkir saya tolong dibalikin, jengan dipegangin terus.”
Kulirik cangkir yang memang tanpa sadar masih dalam genggaman. “Oh, iya, maaf, Kek. Ini, ya.”
Transaksi itu berlangsung khidmat, tanpa nyinyiran Abang Tahu atau Si Ibu Galak.
“Oya, ngomong-ngomong tadi itu air apaan, Kek? Kok, aromanya kayak bukan air putih biasa?”
Kali ini si Kakek tertawa. Makin banyak terlihat ruang kosong di mulutnya. “Itu air bekas rendaman gigi palsu Kakek tadi.” Dia menjawab tanpa dosa sambil memamerkan gigi palsunya. Sementara aku hanya mampu menelan ludah yang terasa pahit.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
