Demi Kamu, Cewek Jutek!

0
0
Deskripsi

Di mata Guntur, seorang Gina Pramudita adalah senior paling menyebalkan sekaligus paling menggemaskan di kantor. Sepanjang sejarah peradabannya di bumi, belum pernah ada makhluk bergender perempuan mana pun yang menolak pesonanya. Namun, Gina sebaliknya. Cewek itu seolah memandang Guntur seperti hama yang harus segera dimusnahkan.

"Lihat aja, gue akan bikin Gina terbucin-bucin sama gue. Dia bukan nggak suka, tapi belum." Itu kalimat yang selalu jadi mantra penyemangatnya tiap kali habis disemprot...

Tahu Gejrot, I'm in Love

“Awas, aja, gue kirim mereka ke Neptunus!”

Suara cewek yang penuh dengan emosi itu mengalihkan perhatianku dari ke-khusyuk-an menyantap tahu gejrot di samping pon bensin. Aku mencari sumber suara. Hanya ada lima orang di sini: aku, abang penjual tahu gejrot, kakek-kakek yang sedari tadi senyam-senyum menatapku di sebelah gerobak tahu gejrot, ibu penjual minuman, juga anak kecil yang sedang bermain sepeda di sekitar lapak minuman.

Ah, tidak mungkin salah satu dari mereka bukan? Aku kembali melanjutkan makan. Apa aku berhalusinasi?

“Berani banget mereka ninggalin gue!"

Suara itu lagi! Ini sebenarnya di mana, sih, orangnya? Aku celingukan. Saat aku memutar kepala untuk menengok arah belakang, saat itu pula ada sebuah tangan yang entah dari mana datangnya, mendarat tepat di piring tahu gejrotku dan menyentaknya tanpa ampun. Tak ayal, kuahnya yang pedas itu berhamburan ke mana-mana, termasuk ke wajahku yang tingkat kegantengannya unlimited.

“AW!” Aku refleks menutup mata dengan tangan, meskipun terlambat. Kuah yang dipenuhi biji  cabe itu sudah traveling manja ke mataku. Paling perih yang sebelah kanan. Piring tanah liat yang tadi kupegang terlepas dan terdengar beradu dengan aspal.

“Astaga! Maas, Maf!”

Suara cewek tadi terdengar kaget bercampur panik. Apa katanya tadi, 'Maas, Maf'? Kalimat apa itu?

“Eh, maksudnya, maaf, Mas!” Dia meralat dengan suara makin panik. Apa dia bisa baca pikiranku?

“Oalah, Mas Ganteng. Ini, cuci pakai ini!” Ibu penjual minuman yang bertubuh tambun menyodorkan sesuatu.

Lewat penglihatan yang masih agak buram dari mata kiri, aku menerima sodoran itu tanpa pikir panjang dan langsung menyiramnya ke mata kanan. Dingin. Dan ... aroma ini ... teh, juga ....

“Bu, ini es teh manis, ya?” tanyaku gelagapan.

“Iya, Mas.”

“Aduh, masa es teh manis, Bu?” Aku kembalikan gelas itu ke sembarang arah, karena mataku malah makin perih. “Abang Tahu, nggak punya air bersih, gitu?”

“Adanya air cucian piring, Mas. Mau?”

“Enak aja!”

“Aduuuh, gimana, dong? Mas, mohon maaf, ya." Suara cewek itu lagi. Kali ini sarat penyesalan.

Untuk beberapa waktu aku cuma bisa mengucek mata pelan-pelan, berharap air mata yang keluar secara alamiah sejak tadi bisa mengurangi rasa perih. Tak kupedulikan suara serak-serak becek nan seksi itu.

“Pakai ini aja, Dek.”

Suara siapa ini? Sebentar ... aku intip dulu. Ooh, si Kakek yang tadi senyam-senyum gaje ke arahku. Laki-laki beruban dengan gigi yang sebagian ompong itu menyodorkan air di sebuah cangkir putih berukuran sedang.

Aku menerima cangkir itu, lalu menyiramkan isinya yang hanya separuh sedikit demi sedikit. “Makasih, Kek. Lumayan, nih, berkurang perihnya.” Sebagian wajahku jadi banjir, tapi aku yakin, sama sekali tidak mengurangi kadar kegantengan.

“Ini, bersihin pake ini mukanya, Mas.” Cewek itu menyodorkan sapu tangan.

Aku mendongak. Masya Allah ... ini, sih, salah satu keindahan dunia. Mumpung masih pandangan pertama, masih rezeki, kan? Ya Tuhan, kenapa aku jadi deg-degan begini? Matanya indah banget.

“Halo ..., Mas!”

Aku berkedip. “Oh, iya, terima kasih, Mbak.” Kusambut sapu tangan ungu muda itu disertai senyum paling menawan yang kupunya.

“Maaf banget, ya,Mas. Saya benar-benar nggak sengaja tadi.”

“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Santai. Udah oke, kok.”

“Iyalah udah oke, dikasih sapu tangan wangi sama cewek cantik,” sambar si Abang Tahu tanpa permisi. Ikut campur aja lu, Bambang!

Suara dering ponsel menginterupsi adegan bak FTV ini. Bukan nada deringku yang pasti. Secepat kilat, cewek di hadapanku ini mengangkat telepon.

“Iya, Pak? Udah sampai mana?” Dia celingukan ke arah kanan, seperti mencari seseorang. “Oh, oke. Saya di samping pom bensin, ya, yang ada tukang tahu gejrot.”

Tak lama kemudian sebuah Avanza hitam berhenti di depan kami. Sambil memainkan ponsel, cewek dengan rambut model bob rata di atas kerah yang setelan pakaiannya mirip pekerja kantoran itu melenggang tanpa basa-basi.

“Mbak, sapu tangannya!” Aku bangkit itu hendak mengejar, tapi mobil yang membawanya keburu melaju. Dalam hati aku bertekad, akan kucari dia sampai dapat!

“Tenang, Mas, kalau jodoh pasti ketemu lagi,” kata ibu penjual minuman sok bijak. Aku tersenyum tanda setuju. “Jangan lupa es teh manisnya dibayar, ya. Tiga ribu.”

“Kok? Kan, saya nggak pesan es teh manis, Bu.”

“Lha, itu tadi, yang udah diobok-obok buat cuci muka.”

“Tapi, kan, bukan saya yang pesan, Bu. Lagian juga nggak bantu banyak.”

Ibu berjilbab instan itu maju selangkah. Wah, aura perang, nih, Jenderal!

“Kamu itu ndak menghargai niat baik orang, ya. Udah syukur saya mau bantu. Coba kalau saya diam aja!”

Apa katanya tadi? Niat baik? Niat baik, kok, ada pamrihnya. Kalau ujung-ujungnya bayar mah namanya bukan niat baik, tapi cari kesempatan dalam kepedasan.

“Saya bukan cari kesempatan, tapi cari uang sekarang ndak gampang. Jual satu gelas es teh manis itu uangnya bisa buat anak saya naik odong-odong!”

Astaga, apa dia bisa dengar suara hatiku juga?!

“Udah, Mas, bayar aja, cuma tiga ribu doang. Ganteng-ganteng, kok, pelit.” Si Abang Tahu lagi-lagi nyamber kayak bensin. “Sekalian ganti rugi piring saya yang pecah, tuh. Lumayan harganya, tiga puluh ribu. Tapi karena udah nggak baru, saya diskon jadi dua puluh lima ribu.”

“Lha, kan, tadi kecelakaan, Mas. Masa harus ganti rugi juga?”

Si Abang Tahu meletakkan piring yang sedang dilapnya dengan serbet. Dia sepenuhnya menghadap ke arahku. Kami dipisahkan oleh gerobak tahu gejrot.

“Kalau Mas nggak kecipratan air kuah, piring saya nggak bakal jatoh, Mas.”

Apaan ini? Aku nggak terima. Kenapa malah aku yang jadi tersangka? “Mas, kalau cewek tadi nggak nyenggol tangan saya, itu tahu gejrot juga nggak bakal tumpah. Salahin, tuh, cewek tadi. Minta ganti rugi sama dia.”

Si abang bertubuh kurus itu menggebrak gerobak. “Sana, mintain ganti rugi sama dia, Mas. Kan, tadi situ yang ngobrol sama dia. Tuh, sekalian balikin sapu tangannya. Liat cewek cantik aja sampe hampir ileran gitu. Malu-maluin kaum laki-laki.”

Ow ... ow! Ini keterlaluan, Komandan. Penghinaan! Tidak ada dalam sejarah peradaban manusia, seorang Guntur Bima Adyaksa Raharja lihat cewek cantik sampai hampir ileran, yang ada cewek-cewek yang nggak sadar sampai belekan karena tidak kuat menahan pesonaku.

“Ya, udah. Iya, iya, saya bayar semuanya, nih.” Aku mengeluarkan dompet dan memberikan uang senilai yang masing-masing diminta.

“Kurang ini, Mas.”

Sumpah, ini Abang Tahu benar-benar ngajak adu sumo.

Aku mendesah kesal. “Apa lagi, Mas?”

Dia memamerkan uang yang tadi kuberikan. “Ini cuma biaya ganti rugi piring aja, Mas. Tahu gejrotnya yang tadi dimakan belum dibayar. Sepuluh ribu.”

Aku mengerang dalam hati. Tanpa banyak cingcong, kutambahkan lagi sepuluh ribu ke telapak tangan Abang Tahu yang masih terbuka.

“Dek.” Suara lain menyusul. Ternyata si Kakek.

“Kenapa, Kek? Mau nagih bayaran juga? Berapa, Kek?”

Si Kakek tersenyum, memamerkan giginya yang banyak jendelanya. “Bukan.  Itu, cangkir saya tolong dibalikin, jengan dipegangin terus.”

Kulirik cangkir yang memang tanpa sadar masih dalam genggaman. “Oh, iya, maaf, Kek. Ini, ya.”

Transaksi itu berlangsung khidmat, tanpa nyinyiran Abang Tahu atau Si Ibu Galak.

“Oya, ngomong-ngomong tadi itu air apaan, Kek? Kok, aromanya kayak bukan air putih biasa?”

Kali ini si Kakek tertawa. Makin banyak terlihat ruang kosong di mulutnya. “Itu air bekas rendaman gigi palsu Kakek tadi.” Dia menjawab tanpa dosa sambil memamerkan gigi palsunya. Sementara aku hanya mampu menelan ludah yang terasa pahit. 
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Pengangguran, Dua Bocil dan Semangkuk Indomie Soto Mie #CeritadanRasaIndomie
5
7
Pengangguran, Dua Bocil dan Semangkuk Indomie Soto Mie Oleh : Salmah NurhalizaHidup sebagai seorang pengangguran selama beberapa bulan setelah lulus SMA, kurasa membuat tingkat intelegensiaku menurun separuh. Bagaimana tidak, jika setiap hari pekerjaanku hanya makan, tidur, bengong dan nonton televisi. Satu-satunya kegiatan yang masih ada hubungannya dengan mengasah otak hanya saat aku menjaga warung Ibu. Ya ... itu pun terasah hanya ketika aku harus menghitung belanjaan dan uang kembali. Temanku pernah bilang, “Apa lagi yang dilakukan seorang pengangguran saat menunggu warung dengan terpaksa, selain duduk bengong sambil makan Indomie mentah yang diremuk?” Dia tertawa puas setelah mengatakan itu. Meski terdengar lucu dan sesuai fakta, tapi tetap saja itu sangat menyebalkan. Salah satu bukti bahwa tingkat intelegensiaku berkurang adalah kejadian di suatu pagi, di tahun 2008.***Pagi itu, seperti biasa aku membuka warung dengan ogah-ogahan setelah selesai memasak, karena mengantuk. Sementara Ibu sudah pergi bekerja. Aku menyalakan televisi agar tidak terlalu suntuk. Tak berapa lama, tanteku yang tinggal dua rumah di sebelah kiri dari rumahku, datang membawa anak ketiganya yang masih balita. “Tante titip Putra, ya, mau berangkat kerja dulu.” Aku hanya mengiyakan dengan terpaksa. Mau bagaimana lagi? Memang, jam kerja tanteku hanya setengah hari, tapi setengah hari itu adalah empat jam. Empat jam aku harus mengasuh anak tiga tahun? Ini ujian berat. Lebih berat dan mengerikan dari ujian nasional. Tak begitu lama berselang, seorang tetangga yang rumahnya tepat di depan rumah tanteku datang dan membawa anaknya yang seusia dengan Putra. “Damar, main di sini aja, ya, sama Putra. Wul, saya titip Damar juga, ya,” katanya, lalu kembali ke rumah. Aku tak sempat menolak. Bahkan tidak mungkin juga aku menolak. Dengan alasan apa aku menolak? Tidak suka anak kecil? Huh, bisa-bisa aku kena ceramah panjang lebar barisan ibu-ibu. “Anak gadis, kok, gak suka anak kecil? Nanti gimana kalau punya anak?” Mengerikan, bukan, kalau ras terkuat di bumi itu meneriakkannya dengan kompak di depan wajahmu? Jadi, lebih baik aku iyakan saja, meskipun bagiku ini adalah tekanan. Tekanan berat. Harus menjaga dua balita sekaligus. Benar-benar ujian hidup!Menit ke menit berlalu. Ternyata tidak seburuk yang aku pikirkan. Putra dan Damar asyik main berdua. Aku? Aku fokus menonton film televisi yang diiringi lagu merdu dari Yovie and the Nuno. Biarkan saja mereka bermain apa yang mereka temukan di ruang televisiku yang memang tidak banyak barang, hanya televisi beserta mejanya, lemari perabot dan dipan kayu tanpa kasur. Aku berbaring di dipan sambil memegang remote, sementara mereka main di lantai. Kalau suasana ini berlangsung sampai tanteku pulang bekerja, setidaknya aku tidak perlu merasa tertekan. Sayangnya, ternyata itu semua hanya jeda. Jeda dari ujian hidupku pagi ini. Tanteku yang lain, istri dari adik bungsu Ibu yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Putra, datang membawa anak perempuannya yang baru berusia kurang dari sepuluh bulan. “Wul, Tante titip Aulia, ya. Mau nyuci terus mandi. Nggak ada orang di rumah. Tolong, ya.” HAH? APA LAGI INI?Sejujurnya aku sangat ingin menolak, tapi ada perasaan tidak enak. Kasihan juga tanteku. Akhirnya aku mengiyakan--lagi-lagi dengan terpaksa. Putra dan Damar memang tidak terlalu membuatku tertekan, tapi ini bayi. BAYI! Entah mengapa aku merasa hari ini tidak akan baik-baik saja.*** Kurang lebih sepuluh menit setelah kedatangan Aulia, Putra dan Damar mulai rusuh. Mereka berebut remote. Ah, ya. Aku melupakan remote itu karena terlalu fokus menjaga Aulia yang sebenarnya sedang tidur. Kalau mereka ribut seperti itu bisa-bisa Aulia bangun dan menangis. Aku akan jadi semakin repot. “Putra, Damar, jangan berisik, nanti Dedek Aul bangun.” Aku mengingatkan dengan setengah berbisik sambil bergeser pelan dari dipan. “Ini punya Uta!” Putra menarik remote yang dipegang Damar. “Unya Damai!” Damar menarik balik. Kedua bocah itu saling tarik dan mulai meninggikan suara. Ah, apa-apaan ini? “Udah, jangan rebutan. Ini remote Kakak. Jangan berisik, ya, nanti Dedek Aul bangun.” Aku mengambil remote itu dan menyembunyikannya di belakang punggung. “Uta mau lemot!”“Damai juga mau lemot!” Tiba-tiba terdengar suara tangis. Aulia! Ya Allah ... cobaan apa lagi ini?“Tuh, kan. Jangan berantem makanya, Dedeknya nangis, tuh!” Tanpa sadar aku meninggikan suara, membuat dua bocah itu mengkerut dan kompak diam. Susah payah aku mendiamkan Aulia yang terus menangis. Rasanya ingin ikut menangis juga saking kesalnya. Apa yang harus kuakukan? Aku belum pernah menjaga bayi sebelumnya. Makin lama tangisnya makin keras. Aku pun makin panik. “Aulia nangis, ya?” Suara itu membuatku tersentak sekaligus lega. Syukurlah mamanya datang. Beliau mengangkat Aulia dari dipan dan menggendongnya. Ajaib, tangis Aulia perlahan-lahan mereda. Apakah itu yang dinamakan kekuatan tersembunyi seorang ibu? “Makasih, ya, Wulan, udah jagain Aulia. Tante pulang dulu, ya.” Aku mengembuskan napas lega. Satu tekanan berkurang. Tinggal dua bocil itu yang hampir aku lupakan keberadaannya karena sibuk dengan Aulia. Ternyata mereka masih diam. Entah karena takut dengan nada tinggiku tadi atau terlalu fokus memperhatikan Aulia yang menangis. “Kak, Uta lapal”Astaghfirullah. Ada lagiii. “Ya, udah, makan nasi, ya.”“Nda mau. Mau mi.”“Anak kecil ga boleh makan mi. Nasi aja, ya.” “Mau mi!” Putra ngotot. “Mau mi!” Damar membeo. Aaarrgghh! Ini lebih merepotkan dari perkiraanku. “Ya, udah, iya. Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Jangan berantem.” “Iya!” Mereka menjawab kompak. Aku pun mengambil sebungkus Indomie rasa soto mie dari warung dan memasaknya dengan perasaan agak kesal. Sambil menunggu mi matang, aku memasukkan semua bumbu pelengkap ke dalam mangkuk, dan sesekali bolak-balik untuk mengecek ruang tengah. Bukan untuk melihat keadaan Putra dan Damar, tapi mencuri-curi kesempatan untuk menonton film televisi yang sejak tadi terganggu. Begitu mi matang, aku bergegas membawanya ke hadapan bocil-bocil itu. Kukipasi sebentar, lalu menyuapi mereka bergantian. Tiba-tiba Putra memuntahkan mi dari mulutnya, begitu pun dengan Damar. “Kenapa? Panas, ya?” “Ham!” jawab Damar sambil menjulurkan lidah.“Pedeh. Minum!” Putra ikut berteriak. Aku panik. Bergegas mengambil minum untuk mereka. Pedas? Oh, ya, ampun! Aku memasukkan bubuk cabenya juga ke mangkuk. Astaga, Wulan .... Huft! Jadi makin repot, kan!“Sebentar.” Aku berjalan lagi ke dapur dan menambahkan sesuatu ke mangkuk. Sesuatu yang kupikir bisa membuat rasa pedas itu hilang.“Nih, udah ga pedes.” Aku kembali menyuapi mereka. Putra lebih dulu, kemudian Damar.Kutunggu satu kunyahan Putra, belum ada reaksi. Dan ... di kunyahan kedua ... Putra memuntahkan lagi mi yang baru kusuapi. Disusul Damar pun melakukan hal yang sama.“Gak enak!” protes Putra. “Ga mau lagi!”Damar tidak mengeluarkan suara, dia langsung minum. “Gak enak? Gak enak kenapa, sih?” Aku mencoba satu suapan dan memuntahkannya di kunyahan kedua juga. Ternyata bukan cuma ‘gak enak’, tapi rasanya tidak karuan. Sangat tidak karuan! Aku baru sadar ... keputusanku menambahkan gula pasir ke mangkuk Indomie itu adalah keputusan yang salah besar! Apa yang ada di otakku sampai bisa punya ide semacam itu? Ah, Wulan,  ke mana otakmu yang encer selama sekolah? Benar, bukan, tingkat intelegensiaku menurun separuh? ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan