"Kalian kenal Sasuke?" Temari bertanya sembari melihat ketiga sahabat tersebut dikarenakan Kiba masih belum pulang kuliah karena harus menyelesaikan tugasnya.
Serempak mereka semua mengangguk. "Tentu saja, kita satu sekolah dulu." Jawab Shikamaru.
"Lo nikah ko ga undang kita?" Protes Naruto kepada Sasuke yang hanya terdiam sedari tadi.
"Gimana mau ngundang? Orang dia aja belum nikah." Sasuke melotot ke arah Temari yang seenaknya membeberkan aibnya, namun bukan Temari namanya jika dia takut, ia malah balik menantang Sasuke. "Apa? Aku benar kan?"
"Terus itu anak siapa?" Tanya Hinata yang penasaran. Sedangkan balita cantik tadi sudah menggeliat tidak nyaman di pangkuan Temari. Temari yang menyadarinya pun menepuk-nepuk pantat balita cantik itu dengan perlahan agar dia kembali tertidur. Dia melirik ke arah Sasuke yang kebingungan, namun ia tidak peduli, yang terpenting sekarang balita cantik ini bisa tidur kembali dengan nyaman.
Semua mata tertuju pada Sasuke, membuat pria berambut kelam tersebut menghela nafas panjang. "Setelah gue liat sih gue percaya kalo Sarada anak gue."
"Hah?"
"Maksud lo? Lo baru liat anak itu? Namanya Sarada?" Sasuke hanya mengangguk menjawab pertanyaan Shikamaru.
"Astaga... Selama ini lo kemana? Terus ibunya siapa?" Mendengar pertanyaan Naruto membuat lidah Sasuke kelu untuk menjawab.
"Sas?"
"Sakura." Gumamnya dengan suara nyaris berbisik. Sungguh ia merasa malu dan juga sungkan untuk menjawab, mengingat dulu Sakura pernah berpacaran dengan Naruto.
"Apa?" Benar kan fikiran Sasuke, pasti ketiga orang tersebut akan terkejut.
"Astaga... kamu punya anak dari Sakura, tapi tidak menikahinya?" Ini gila, Hinata tidak habis fikir.
"Belum lebih tepatnya."
"Gimana mau nikah, waktu tau Sakura hamil anak dia aja, dia langsung kabur gitu aja." Ya, Sasuke bingung kala itu, dia tidak menganggap Sakura bohong, karena seingatnya mereka selalu menggunakan pengaman. Namun sialnya waktu itu mereka mabuk sehingga lupa tidak memakai pengaman. Di saat kebingungan, Sasuke di tambah pusing dengan tekanan keluarganya yang terus memintanya untuk membereskan masalah kantor cabang yang ada di Korea. Bukan hal aneh jika keluarganya meminta Sasuke untuk meluruskan masalah perusahaan. Walaupun Sasuke baru lulus SMA 1 tahun dan baru kuliah semester 2, tapi masalah mengelola bisnis dia sudah sangat pintar. Pusing mendapatkan tekanan terus dari keluarganya, akhirnya Sasuke memilih mengalah. Ia pergi ke Korea guna membereskan masalah di kantor cabang dan melanjutkan kuliah di sana. Tentu saja tanpa memberikan kabar kepada Sakura karena situasinya yang pelik. Hingga saat beberapa hari lalu ia pulang ke Jepang dan tidak sengaja bertemu dengan Temari ketika sedang rapat dengan perusahaan Sabaku. Dari situlah Temari memaksa Sasuke untuk bertemu 4 mata menceritakan apa yang terjadi selama 2 tahun ini kepada Sakura dan anaknya.
"Ck, gue bukan kabur, gue cuma syok."
"Cih! Syok itu sehari dua hari. Lah ini 2 taun."
"Gue kan udah jelasin tadi di cafe."
"Ya ya ya." Semua orang terdiam mendengar nada kekesalan dari Temari. Ketiga sahabat itu tidak berani menanggapi karena mereka merasa bukan ranahnya.
Sungguh Temari sangat marah kepada Sasuke. Selama Sasuke menghilang 2 tahun,Temarilah yang selalu berada di sisi Sakura. Mengingat Sakura di usir dari keluarganya karena sudah merusak nama baik keluarganya dengan aib hamil di luar nikah, tanpa diketahui siapa ayahnya. Sakura terpaksa berhenti kuliah dan dia bekerja banting tulang untuk keperluannya dan calon anaknya pada waktu itu.
Setelah hening beberapa saat Shikamaru akhirnya angkat bicara. "Eh berarti ibu Sarada yang lagi di rumah sakit itu Sakura?" Temari mengangguk. "Sakit apa?"
"Dia kecelakaan 2 hari yang lalu, korban tabrak lari. Sakura tertabrak ketika ia pulang kerja." Temari sedih mengingat keadaan Sakura yang memprihatinkan. "Aku juga minta maaf tadi terlalu lama meninggalkan Sarada di sini. Tadi Sasuke panik jadi kita langsung ke rumah sakit. Pas di rumah sakit, aku baru ingat kalo menitipkan Sarada di sini. Maaf ya."
"Tak apa. Santai saja." Jawab Shikamaru seolah ia tidak keberatan sama sekali.
"Padahal tadi dia mau lapor polisi." Gumam Naruto lirih, namun masih bisa terdengar oleh Shikamaru yang di sampingnya. Jadilah Shikamaru menyikut perut Naruto hingga membuat Naruto mengaduh kesakitan.
Mereka sedikit melanjutkan perbincangan ringan, setelahnya ketiga sahabat itu memutuskan untuk mengikuti Sasuke dan Temari ke rumah sakit untuk menengok Sakura, melupakan masa lalu mereka yang tidak begitu baik.
.
.
.
Hinata merasa heran, kenapa akhir-akhir ini Naruto terlihat sering melamun? Lebih tepatnya setelah kepulangan mereka dari rumah sakit. Awalnya biasa saja ketika mereka memasuki kamar pasien secara bersamaan. Namun ditengah perbincangan, Sakura meminta untuk berbicara empat mata dengan Naruto, membuat semua orang yang ada di sana dibuat penasaran. Sampai pada akhirnya Naruto keluar dari bangsal tersebut dengan senyum tipis yang dipaksakan, kemudian memilih pulang. Sepanjang perjalanan menuju hostel, tidak ada percakapan yang keluar dari mulut Naruto, pria itu hanya akan berbicara ketika ditanya dan jawabannya pun seadanya. Membuat para sahabatnya merasa kebingungan, sebenarnya apa yang diucapkan Sakura pada Naruto?
Apakah Naruto tidak bisa menerima Sakura yang sekarang telah bersama Sasuke?
Hal tersebut sangat membuat Hinata penasaran.
Seperti sekarang ini, Naruto masih sibuk melamun di atas kursi santai di pinggir kolam renang. Ia terlihat sedang menikmati secangkir kopi di pagi hari, namun nyatanya kopi itu tidak di sentuhnya sama sekali. Pikirannya melayang ke percakapannya dengan Sakura tempo hari.
Sakura terlihat menundukkan kepalanya dengan tangan yang mencengkram erat selimut rumah sakit yang menutupi sebagian tubuhnya. "Naruto. Aku tau ini sudah sangat terlambat. Aku ingin minta maaf atas sikapku yang dulu."
Naruto tak menjawab, ia hanya diam menunggu apa lagi yang akan Sakura ucapkan padanya. "Uuumm... Aku sadar dulu aku sudah keterlaluan terhadapmu. Aku memanfaatkan kebaikanmu demi kesenanganku semata. Termasuk untuk lebih dekat dengan Sasuke."
"Aku sudah tau dan aku juga sudah memaafkanmu dari dulu" Jawab Naruto santai.
Sakura mengangkat wajahnya dengan raut wajah penasaran yang kentara. Naruto yang mengerti pun berucap kembali, "Sikapmu terlalu jelas untuk dibaca. Kamu terang-terangan memberikan perhatian lebih kepada Sasuke dibandingkan aku yang waktu itu sebagai pacarmu." Naruto berujar dengan tenang, tidak ada emosi di dalamnya. Bahkan ia sesekali tersenyum. Membuktikan bahwa masa lalunya dengan Sakura memang sudah ia ikhlaskan.
Sakura tersenyum miring, "Kau benar, tapi ada satu hal yang belum kau ketahui." Naruto mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya 'kenapa?' "Aku sempat merasa cemburu."
"Hah?"
"Aku cemburu pada Hinata." Kening Naruto semakin mengkerut mendengar penuturan Sakura.
"Dulu kamu lebih perhatian pada Hinata daripada aku sebagai pacarmu. Kamu selalu memprioritaskan Hinata dari apa pun. Sampai akhirnya aku terlalu banyak menuntut padamu agar mendapat perhatianmu. Tapi jelas caraku sangat salah dan itu pasti sangat merugikanmu."
"Kenapa kamu cemburu, padahal jelas kamu memanfaatkanku agar dekat dengan Sasuke."
Sakura mengangkat kedua bahunya, "Entahlah, mungkin tanpa sadar aku mulai menyukaimu. Apa sekarang kalian berpacaran?"
"Tidak, kita tetap bersahabat seperti dulu. Tentu saja bersama Shika dan Kiba juga."
"Aku penasaran, apa kamu tidak memiliki rasa apapun ke dia? Aku merasa kedekatan kalian berbeda."
"Tentu saja aku tidak punya rasa apa-apa ke dia. Lagian Shikamaru dan Kiba juga deket banget sama Hinata."
"Cara Shikamaru dan Kiba natap dia itu beda. Ga kaya tatapan kamu ke dia."
"Udah ah jangan ngelantur."
"Aku mau tanya apa setelah putus dariku kamu punya pacar?" Naruto menggeleng. "Apa semua gadis menolakmu?"
Naruto melotot ke arah Sakura. "Enak saja. Yang ada gue yang nolak mereka semua?"
Sakura terkikik melihat ekspresi Naruto yang tidak terima dengan ucapannya. "Kenapa?"
"Semua cewe sama aja, beda sama Hinata."
"Kamu bodoh." Sakura menjitak kepala Naruto yang duduk di pinggir ranjang pasien hingga membuat pria itu mengaduh kesakitan.
"Kenapa lo jitak kepala gue?" Naruto terus mengusap kepalanya berharap dapat meringankan rasa sakitnya.
"Itu karena kamu bodoh. Secara ga langsung kamu itu menginginkan Hinata."
"Apa bener ya yang Sakura bilang." Gumamnya.
"Emang Sakura bilang apa?"
Naruto tersentak ketika melihat wajah Hinata yang sangat dekat dengannya. "Astaga... kamu ngagetin aja." Ucap Naruto sembari mengelus-elus dadanya.
"Aku dari tadi duduk di sini loh!? Bahkan aku udah negur kamu, kamu malah diem aja." Ucap Hinata jujur, gadis itu menjauhkan wajahnya lalu meminum jus yang ia simpan di meja.
Naruto hanya tesenyum kikuk menanggapi ucapan Hinata. "Emang Sakura bilang apa? Sampe kamu ngelamun terus beberapa hari ini?"
"Tidak ada. Dia hanya meminta maaf karena sikapnya dulu padaku."
Hinata menyipitkan matanya ke arah Naruto. "Bohong! Pasti ada hal lain yang membuatmu melamun terus begini."
Naruto tertawa sumbang, "Tidak." ia kemudian mengambil kopi di meja lalu meminumnya sedikit, berusaha menetralkan kegugupannya.
Hinata sadar pasti ada yang disembunyikan pria itu, namun ia tak mau memaksa jika pria pirang disampingnya ini tidak mau bercerita padanya. Berakhir ia menghembuskan nafas pelan. "Ya sudah kalau begitu." Sejurus kemudian Hinata beranjak dari duduknya, ia melepas handuk kimono yang ia pakai lalu menyampirkannya di kursi santai itu.
Mata Naruto membola melihat Hinata yang hanya mengenakan bikini, membuatnya terkejut sekaligus salah tingkah. Ia kemudian memalingkan wajahnya yang memerah ke arah lain. "Ke-kenapa kamu membuka kimononya?"
Kening Hinata mengernyit tanpa menoleh ke arah Naruto, ia sibuk melakukan pamanasan kecil di pinggir kolam. "Tentu saja karena aku akan berenang."
Di tengah pemanasannya, Hinata merasakan sebuah benda menutupi punggungnya, ia menoleh mendapati Naruto sedang menyampirkan kimono yang ia pakai tadi kepadanya. Hinata berbalik menghadap Naruto dengan wajah kesal, ia menyimpan kedua tangannya di pinggang rampingnya. "Apa yang kamu lakukan Naruto?"
Bukannya menjawab, Naruto malah terpaku dengan apa yang ia lihat. Sejak kapan mereka tumbuh besar seperti itu? Ia meneguk ludahnya susah payah. Sungguh pemandangan yang ia lihat dapat merusak fungsi otaknya seketika.
"Naruto?" Hinata kembali memanggil karena pria itu tak menjawab ucapannya dan hal itu sukses mengembalikan kembali kesadaran pria pirang tersebut.
Naruto melirik asal kemana saja, ia bingung memikirkan jawaban apa yang pas. Sementara Hinata memutar bola matanya malas. Kenapa Naruto bersikap aneh?
Bosan menunggu jawaban Naruto Hinata kembali membuka kimononya, namun segera di tahan oleh Naruto, "Jangan!" Posisi tangan Naruto berada di lengan Hinata, mencengkram erat, agar Hinata tak melepaskannya.
"Kamu itu kenapa sih? Aku ingin berenang."
"Eeuumm... nanti kalau ada orang lihat bagaimana?"
"Di sini cuma ada kamu."
"Aku juga kan laki-laki."
"Memangnya kenapa? Kita kan sudah sering berenang bersama sejak dulu." Ah benar, yang diucapkan Hinata benar sekali. Dulu mereka sering berenang bersama, tapi kenapa rasanya sekarang berbeda ketika melihat Hinata berbikini?
Naruto kembali memutar otaknya. "Pokoknya jangan. Kamu harus membuat makanan untuk tamu!"
"Ck, apa kamu lupa? Tamu kita sudah pergi semua setelah sarapan. Sekarang juga juga masih jam 9 pagi. Hostel belum buka." Hinata benar lagi dan Naruto bodoh melupakan fakta tersebut.
"Pokoknya tidak boleh." Naruto bersikeras dengan kemauannya, kemudian ia memakaikan paksa kimono itu ke tubuh Hinata.
Geram dengan sikap Naruto yang seenaknya, Hinata menggeliat di dalam kimono yang Naruto pegang erat bagian depannya agar tidak terbuka. Emosinya memuncak, Hinata berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga, hingga membuat genggaman tangan Naruto terlepas dan membuat keseimbangan pria itu goyah. Merasa akan terjatuh, refleks Naruto meraih apa pun yang berada di hadapannya yang kebetulan adalah lengan Hinata, "Kyaaaaaa....." jadilah mereka jatuh bersamaan ke dalam kolam renang.
Hinata dan Naruto menaikkan kepalanya ke permukaan air, mereka berdiri di atas lantai kolam renang. Untung saja mereka jatuh di tempat yang dangkal, hanya sebatas dada Hinata yang berarti sebatas perut Naruto. Nafas mereka sama-sama tersengal. Berusaha meraup oksigen sebanyak yang mereka bisa. Naruto yang mulai tenang memperhatikan Hinata yang masih menetralkan nafasnya akibat keterkejutannya. Sejurus kemudian gadis itu menatap Naruto tajam dan memberikan pukulan kecil di dada pria pirang di hadapannya yang sama-sama basah kuyup. "Kalau mau ikut berenang bilang, jangan tiba-tiba menarik tanganku seenaknya saja."
Naruto terkekeh, sejak dulu Naruto suka wajah kesal Hinata yang seperti ini. Naruto menggenggam tangan Hinata hingga terpaksa menghentikan gadis itu memukuli dadanya. Sejurus kemudia ia menariknya hingga membuat Hinata terpaksa mendekat. Naruto menyimpan tangan Hinata di dadanya, lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Hinata yang tidak terbalut apa pun, mengingat kimononya yang terlepas ketika mereka terjatuh ke dalam air. Naruto tersenyum lebar, pinggang Hinata sangat pas jika berada di pelukannya. Naruto semakin merapatkan tubuhnya, ia menyeringai melihat wajah Hinata yang sudah memerah, entah karena malu atau marah ia tidak peduli selagi gadis itu tidak menolak sentuhannya berarti tidak masalah. Naruto memajukan dan memiringkan wajahnya, lalu menghentikan wajahnya tepat di telinga Hinata dan berbisik lembut, hingga membuat Hinata meremang seketika.
"Bagaimana kalau ternyata aku menyukaimu?"
.
.
.
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ