
Deskripsi
Tn. Chiu dan istrinya yang baru dinikahinya sedang makan siang di alun-alun depan Stasiun KA Muji. Di atas meja, di antara mereka, ada dua botol soda berbuih kecoklatan dan dua dus nasi dan tumis mentimun dan daging babi. “Ayo makan,” katanya, dan mematahkan sambungan di ujung sumpitnya. Ia mencomot seiris daaging dan memasukkannya ke mulut. Selagi mengunyah, muncul beberapa kerutan di rahangnya yang kurus.
Di sebelah kanannya, di meja seberang, dua polisi patroli KA sedang minum teh dan ketawa-ketawa;...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Musa (cerpen terjemahan)
2
0
karya Kamel Daoud [Aljazair]Musa kakak saya. Kepalanya sundul langit. Badannya jangkung, kurus dan berbonggol-bonggol, postur tahan lapar; tenaganya bersumber dari pendaman amarah. Bermuka persegi dan bertangan besar, tangan yang melindungi saya, dan bersorot mata keras yang diwarisi dari mata para leluhur yang telah kehilangan tanah. Namun, saat saya memikirkan hal itu, saya yakin dia menyayangi kami sebagaimana gestur cinta orang yang tak lagi bernyawa, tanpa kata berbunga-bunga dan dengan tatapan dari akhirat. Saya hanya punya sedikit gambaran tentang dia di kepala saya, tetapi saya ingin menggambarkannya kepada Anda secara saksama. Misal, gambaran ketika dia pulang lebih awal dari pasar lokal, atau dari pelabuhan—tempat dia bekerja sebagai seorang tukang dan portir, pembawa barang, dengan menyeret atau memikul— sambil bersimbah keringat. Pada hari itu dia menghampiri saya yang sedang bermain roda bekas, lalu membopong saya di atas bahunya, menyuruh saya memegangi kedua telinganya, seumpama sedang menyetir. Saya ingat keriangan yang saya rasakan sementara dia ganti menggelindingkan roda dan bersuara seperti mesin. Aroma tubuhnya juga saya ingat, campuran pekat sayur busuk, keringat, dan bau naga dari mulutnya. Gambaran lain dalam kenangan saya berasal dari hari Idulfitri suatu tahun. Musa memukul saya sehari sebelumnya gara-gara saya nakal, dan pada hari lebaran itu kami sama-sama merasa malu atas kejadian kemarin. Itu hari bermaaf-maafan, dan dia seharusnya mencium saya, tetapi saya tak mau dia kehilangan muka, merendahkan diri dengan meminta maaf kepada saya. Saya juga ingat kemampuannya bergeming sama sekali, misal ketika dia sedang berdiam diri di ambang pintu rumah kami, menghadap ke tembok rumah tetangga, sambil merokok dan minum kopi hitam bikinan ibu kami.Ayah kami sudah lama menghilang dan kini eksistensinya hanya berupa potongan-potongan kabar burung yang kami dengar dari orang-orang yang konon menjumpainya di Prancis. Hanya Musa yang bisa mendengar suaranya. Dia memberi perintah-perintah kepada Musa melalui mimpi, dan Musa akan menyampaikannya kepada kami. Kakak saya itu hanya pernah satu kali melihatnya semenjak pergi dari rumah, dan itu juga dari kejauhan; Musa jadi tidak yakin apakah itu betul Ayah. Sedari kecil, saya belajar bagaimana membedakan hari-hari penuh gosip dengan hari-hari sepi gosip. Ketika Musa mendengar orang-orang bergunjing tentang Ayah, badannya gemetar dan kedua matanya membara, lalu dia dan Mama akan terlibat percakapan panjang dengan suara ditahan, yang akan berakhir dengan pertengkaran. Saya tidak dilibatkan, tetapi tahu intinya: kurang jelas alasannya, tetapi kakak saya memendam kedongkolan terhadap Mama, dan ibu saya membela diri dengan cara yang bahkan lebih tak jelas. Itu masa-masa yang meresahkan, sarat amarah, dan saya takut oleh pikiran bahwa Musa mungkin akan meninggalkan kami juga. Namun, dia selalu kembali sore hari, mabuk—cara membanggakan pemberontakan yang aneh—dan seperti selalu mendapatkan energi baru setelah menenggak miras. Lalu, setelah pengaruh alkohol reda, dia akan lesu. Dia hanya ingin tidur, dan, kalau sudah begitu, ibu saya kembali bisa mengendalikannya.Saya punya beberapa gambaran di kepala—hanya itu yang bisa saya tawarkan. Tentang secangkir kopi, puntung-puntung rokok, dan sepasang selopnya; tentang Mama menangis, dan kemudian segera menyeka air mata untuk melontarkan senyuman kepada seorang tetangga yang datang pinjam teh atau bumbu, sangat cepat berubah-ubah ekspresi sampai-sampai saya meragukan kejujurannya sedari kecil. Segala sesuatu berpusar pada Musa, dan Musa memusar pada ayah kami, yang tidak pernah kulihat dan yang tidak meninggalkan apa pun kepada saya selain nama keluarga. Tahu sebutan kami pada masa itu? Uled el-assas, putra-putra penjaga. Satpam, persisnya. Ayah bekerja sebagai peronda malam di pabrik yang entah memproduksi apa. Suatu malam dia menghilang. Cuma begitu kejadiannya. Itu cerita yang bisa saya tangkap. Pada tahun 1930-an, tepat setelah saya dilahirkan. Jadi, Musa ibarat dewa di mata saya, dengan secuil sabda. Jenggotnya yang tebal dan dua lengannya yang kekar membuatnya terlihat seperti seorang raksasa yang bisa mudah saja mematahkan leher tentara Firaun. Itu sebabnya, pada hari ketika kami tahu dia mati dan sebab musababnya, awalnya saya tidak merasa sedih atau marah; malah merasa kecewa dan tersinggung, seperti sedang diejek. Kakak saya itu mampu membelah lautan, tetapi dia kehilangan nyawa begitu saja, macam bidak catur dicaplok, di tepi pantai zaman kuna, di dekat deburan ombak yang seharusnya membuat namanya termasyhur.Sewaktu kecil, saya hanya boleh mendengarkan sebuah cerita pada malam hari, cerita yang anehnya terdengar indah. Cerita tentang Musa, kakak saya yang tewas terbunuh, yang berubah-ubah setiap kali disampaikan, seturut suasana hati Mama. Dalam ingatan saya, malam-malam itu bersuasana lembap musim hujan, dengan penerangan temaram cempor di dalam pondok kami, dengan suara Mama yang agak menggumam. Tidak sering, hanya ketika kami kekurangan stok makanan, ketika hawanya menusuk tulang, dan, mungkin, ketika Mama kembali merenungi kehidupan menjandanya. Duhai, cerita bisa memudar, Anda tahulah, dan saya tidak ingat persis apa saja yang telah diceritakan ibu saya yang malang itu kepada saya, tetapi beliau tahu cara menyederhanakan hal-hal yang susah dipahami, bagaimana perkelahian tangan kosong antara Musa, raksasa tak kasat mata, dan pria Prancis gendut, si gaouri ((orang kulit) putih), si roumi (nonmuslim), pencuri tamak negeri ini. Maka, dalam imajinasi kami, kakak saya Musa mengemban banyak tugas: melayangkan pukulan balasan, membalas hinaan, merebut kembali tanah yang disita, dan menuntut pembayaran upah. Ujug-ujug, Musa yang legendaris ini punya kuda dan, sambil menghunus pedang, dibantu arwah penasaran yang menuntut keadilan. Dan, … yah, Anda tahu sendirilah kelanjutannya. Semasa hidupnya, dia punya reputasi sebagai orang yang mudah meledak amarahnya, dan suka tanding tinju dadakan. Akan tetapi, sebagian besar cerita Mama adalah rentetan detail tentang hari terakhir Musa, yang sekaligus adalah juga hari pertama kebakaannya. Mama bisa menarasikan peristiwa-peristiwa pada hari itu dengan teramat rinci sampai-sampai terdengar begitu hidup. Ibu saya tidak pernah menggambarkan pembunuhan dan kematian; beliau mengubahnya menjadi sesuatu yang fantastis, mengubah seorang pemuda sederhana dari salah satu permukiman miskin di Aljazair menjadi seorang pahlawan tak terkalahkan yang telah lama dinantikan, semacam juru selamat. Detail-detailnya akan berubah-ubah. Dalam beberapa versi cerita itu, Musa keluar rumah lebih awal daripada biasanya, tergugah oleh sebuah nubuat dalam mimpi atau oleh suara nyaring yang menyerukan namanya. Dalam versi lain, dia dipanggil oleh beberapa temannya—uled el-huma, anak-anak tetangga—para pemuda pengangguran yang kerjanya hanya membahas cewek, rokok, dan tato. Perbincangan yang tak jelas ujung pangkalnya dan berakhir dengan tewasnya Musa. Saya tak yakin: Mama punya stok seribu satu cerita, dan kebenaran bukan sesuatu yang penting untuk saya yang masih kanak-kanak. Yang paling penting pada saat itu adalah kedekatan yang nyaris sensual dengan Mama, rekonsiliasi kami yang tak perlu kata-kata sepanjang malam. Esok paginya, segala sesuatu tetap sama, ibu saya dalam dunianya sendiri, saya di dunia berbeda.Yang bisa saya ceritakan kepada Anda, Bapak Penyelidik, tentang kejahatan yang terjadi dalam buku itu? Saya tidak tahu apa yang terjadi pada hari itu, pada musim panas yang mengerikan itu, antara pukul enam pagi hingga pukul dua sore, waktu kematian Musa. Yang jelas, setelah Musa terbunuh, tidak seorang pun datang menanyai kami. Tidak ada penyelidikan serius. Saya sulit mengingat apa saja yang saya lakukan pada hari itu. Setiap pagi, para tetangga sudah bermunculan di jalan. Di ujung sana ada Tawi dan anak-anak lelakinya. Tawi berbadan besar. Tungkai kirinya sulit dibawa jalan, dan batuknya parah gara-gara kebanyakan merokok. Pagi-pagi sekali, sudah kebiasaannya untuk keluar rumah dan kencing ke tembok, sesuka hatinya. Semua orang mengenalnya, ritualnya ya begitu-begitu saja, persis gerak jarum jam; irama seretan langkah kakinya dan batuk-batuknya merupakan penanda datangnya fajar. Di sebelah kanan rumahnya, ada El-Hadj, “Pak Haji,” meski bukan karena dia naik haji ke Makah dia dipanggil begitu, melainkan karena dia anak seorang haji. El-Hadj hanya julukan. Dia juga pendiam. Kesibukan utamanya adalah bikin marah ibunya dan mengawasi para tetangganya dengan tatapan menantang. Di dekat sudut gang sana, orang Maroko yang punya kafé El-Blidi. Anak-anak lelakinya semua berandalan dan maling kelas teri, kalau menggasak buah, habis satu pohon. Mereka menemukan keasyikan dalam permainan mengadu kecepatan batang-batang korek api yang dihanyutkan air limbah di selokan itu. Tidak capek-capeknya mereka mengulang permainan itu. Saya juga ingat seorang wanita sepuh, Taï bia; besar, gemuk, tak punya anak, dan pemberang. Sorot matanya bikin tak nyaman saat melihat kami—anak-anak perempuan lain—meski kami membalasnya dengan tawa terkekeh. Kami semua ibarat kutu-kutu di punggung hewan geologis yang dulunya adalah sebuah kota, kota dengan ribuan gang.Jadi, pada hari itu, tidak ada yang di luar kebiasaan. Bahkan Mama, yang suka mengindahkan firasat-firasat dan bisa merasakan kehadiran makhluk-makhluk halus, tidak mendeteksi hal-hal yang abnormal. Rutinitas biasa, pendeknya—para wanita bersahut-sahutan, cucian dijemur di atas teras, para pedagang keliling hilir mudik. Tidak seorang pun mendengar letusan senjata api dari kejauhan itu, tembakan di bawah sana, di pantai itu. Tidak juga pada jam jahanam itu, pukul dua sore di musim panas—jam tidur siang. Jadi, saya ulangi, tidak ada apa pun saja yang tidak biasa. Setelah itu, tentu saja, saya memikirkannya dan, sedikit demi sedikit, saya menyimpulkan, pasti ada—di antara ribuan versi yang diceritakan Mama, di antara fragmen-fragmen ingatannya dan intuisinya yang masih gamblang—satu versi yang paling mendekati kebenaran.Dengan menceritakan sedemikian banyak cerita tak masuk akal dan dusta yang kentara, Mama pada akhirnya membangkitkan kecurigaan saya dan walhasil intuisi saya bergerak dengan sendirinya. Saya merekonstruksi keseluruhan detail. Kebiasaan minum-minum Musa pada periode itu, bau yang menguar di udara, senyum angkuhnya ketika berpapasan dengan teman-temannya, keseruan obrolan mereka yang dilebih-lebihkan, cara kakak saya beratraksi dengan pisaunya dan saat dia menunjukkan tatonya kepada saya: Echedda fi Allah, “Allah penopangku.” “Maju atau mati” di bahu kanannya. “Diam” di bagian dalam lengan kirinya, di bawah lukisan jantung retak. Ini satu-satunya buku yang ditulis Musa. Cuma tiga kalimat pendek yang dirajahkan ke atas kertas tertua di dunia ini, yakni kulitnya sendiri. Saya mengingat tatonya seperti ingatan sebagian besar orang tentang buku gambar pertama mereka. Detail lain? Oh, saya tidak tahu, jubahnya, selopnya, jenggot sunah nabinya, kedua tangan besarnya, yang berusaha memegang hantu ayah kami, dan kisah hidupnya bersama seorang perempuan tanpa nama dan bukan dari kalangan terhormat.Ah! Perempuan misterius! Itu juga kalau dia benar ada. Saya hanya tahu nama depannya; atau, paling tidak, saya menganggapnya memang benar itu namanya. Kakak saya mengigaukan nama itu, pada malam sebelum dia mati: Zubida. Sebuah pertanda? Mungkin. Yang pasti, pada hari ketika Mama dan saya meninggalkan permukiman itu selamanya—Mama telah memutuskan untuk menjauh dari kota Alger[1] dan laut—saya merasa yakin telah melihat seorang perempuan yang mengawasi kami. Tatapannya sangat tajam. Dia pakai rok pendek dan berstoking lusuh, dengan potongan rambut ala bintang film pada masa itu: meski jelas warna asli rambutnya cokelat, dia memirangkannya. “Zubida selamanya,” ha-ha! Barangkali kakak saya sudah menato frasa itu entah di bagian tubuh mana—saya tidak yakin. Namun, saya yakin dialah yang datang pada hari itu.Pagi-pagi sekali. Kami bersiap pergi meninggalkan rumah itu untuk selamanya, dan di sanalah perempuan itu, memegangi tas merah kecil, memandangi kami dari jarak agak jauh. Saya masih bisa melihat jelas bibir dan mata belonya, yang seperti memendam tanya. Saya nyaris yakin itulah dia, Zubida. Pada saat itu, saya ingin perempuan itu benar Zubida, dan saya telah memutuskan bahwa dia memang Zubida, sebab dengan demikian ada nuansa lain pada cerita kematian Kakak. Saya ingin Musa punya sebab, sebuah alasan. Tanpa sadar, saya menolak keabsurdan kematiannya; saya menginginkan sebuah cerita seumpama kain kafan untuk menyelubunginya. Yasudah …. Saya menarik haik—semacam kerudung lebar—Mama supaya menghalangi pandangannya dari perempuan itu. Namun, beliau pastilah merasa sikap saya janggal, sebab Mama jadi merengut dan mengomeli saya. Saya membalikkan badan, tetapi perempuan itu sudah tidak di sana. Lalu kami hengkang.Saya ingat perjalanan ke tempat tinggal baru kami, di desa Hadjout, melewati ladang-ladang yang tidak diperuntukkan bagi kami, teriknya sinar matahari, bersama para penumpang lain di dalam bus berdebu. Bau bensin bikin saya mual, tapi saya suka deru garang mesin oto yang nyaris menenangkan saya, seperti garangnya sosok ayah yang merenggut kami, ibu dan saya, keluar dari labirin gedung-gedung besar, dari kumpulan orang-orang tertekan, dari permukiman kumuh penuh anak-anak gembel, polisi perisak, dan pantai-pantai yang berbahaya bagi orang-orang Arab. Bagi kami berdua, kota itu akan selalu menjadi TKP pembunuhan, tempat yang kehilangan kemurnian dan warisannya. Ya, Alger, dalam memori saya, adalah sosok kotor dan korup, pembunuh dan pengkhianat yang suka menikam dalam kegelapan.Saya coba mengingatnya secara persis …. Bagaimana kami tahu Musa mati? Saya ingat ada semacam awan tak kasat mata yang menggantung di atas gang di depan rumah kami, dan orang-orang dewasa berbicara keras-keras sambil menggerak-gerakkan tangan dan bernada marah. Awalnya, Mama memberi tahu bahwa seorang gaouri—lelaki kulit putih—telah membunuh salah satu anak lelaki tetangga saat berusaha membela kehormatan seorang perempuan Arab. Akan tetapi, semakin malam, kecemasan semakin menebal di dalam rumah kami, dan saya kira Mama mulai menyadari kebenarannya. Barangkali saya juga begitu. Lantas, tiba-tiba saja, saya mendengar suara mengerang panjang tertahan yang akhirnya menjelma menjadi teriakan lantang menembus tembok, membuat saya merasa sendiran. Saya ingat, saya mulai menangis tanpa tahu alasannya, hanya karena orang-orang pada memandangi saya. Mama tak kelihatan, dan saya dibawa keluar, didorong-dorong oleh sesuatu yang lebih penting daripada saya, tiba-tiba saya sudah berada di tengah-tengah suasana bencana kolektif. Aneh tidak, menurut Anda? Saya mengira, dirundung kebingungan, bahwa mungkin ini berkaitan dengan Ayah, bahwa kali ini dia sudah dipastikan mati, yang malah makin membuat saya makin keras menangis. Malam yang terasa panjang; tidak ada yang bisa tidur. Silih berganti orang datang berbela sungkawa. Orang-orang dewasa berbicara kepada saya dengan nada serius. Saat saya tidak kunjung paham maksud perkataan mereka, saya hanya menatap ke mata mereka, ke jabatan tangan mereka, dan ke sepatu-sepatu butut mereka. Menjelang pagi, saya merasa sangat lapar, dan tertidur tak tahu tempat. Sekeras apa pun saya menggali ingatan, saya tidak ingat hal lain pada hari itu dan pada esoknya, kecuali bau kuskus. Hari-hari itu mengabur menjadi satu hari tiada akhir, seperti melewati kelak-kelok lembah luas. Hari terakhir kehidupan kakak saya tidak eksis. Di luar buku-buku cerita, tidak ada harapan, hanya laksana letupan gelembung sabun. Itulah bukti terbaik keabsurdan eksistensi kami, Sohib: tidak ada yang bisa menjamin hari pemungkas, hanya sebuah interupsi kebetulan yang mengakhiri hidupmu.Sekarang ini, ibu saya sudah sedemikian tuanya sampai-sampai terlihat seperti neneknya, atau mungkin buyutnya, atau bahkan canggahnya. Begitu menginjak usia tertentu, waktu akan menyematkan ciri-ciri para leluhur kepada kita, semacam kombinasi reinkarnasi. Dan mungkin begitulah rupa alam selanjutnya—sebuah koridor tak berujung tempat semua keturunan berbaris. Mereka menantikan kedatangan anak keturunannya tanpa kata dan tanpa gerak sama sekali, mata sabar mereka terpaku pada tanggal perjumpaan itu. Saya tidak tahu usia persis ibu saya, seperti halnya Mama tidak tahu usia saya. Sebelum Kemerdekaan[2], orang tidak peduli soal tanggal; irama kehidupan ditandai oleh kelahiran, pagebluk, kelangkaan pangan, dan seterusnya. Nenek saya wafat gara-gara tipus, itu sebuah episode yang menandai almanak. Ayah pergi pada tanggal 1 Desember, dan semenjak itu tanggal tersebut menjadi titik rujukan suasana hati, ibaratnya begitu deh.Anda ingin kebenaran? Saya jarang menemui Mama sekarang. Beliau tinggal di sebuah rumah di bawah langit tempat arwah seorang lelaki berkeliaran di dekat sebatang pohon jeruk. Beliau menghabiskan waktu dengan menyapu setiap sudut rumah di rumah di desa Hadjout itu, dahulu namanya desa Marengo, 70 kilometer dari ibu kota. Di sanalah saya menghabiskan paruh kedua masa kanak-kanak dan masa remaja saya, sebelum pergi ke Alger untuk belajar ilmu profesi (administrasi tanah pemerintah) dan kemudian kembali ke Hadjout untuk menerapkannya. Kami—Mama dan saya—sudah sangat berjarak.Mari kita urutkan kronologinya. Kami meninggalkan Alger—pada hari termasyhur itu, ketika saya yakin telah melihat Zubida—dan menuju rumah keluarga seorang paman, yang tidak terlalu menyukai kami. Kami mendiami gubuk di area rumahnya lalu didepak oleh orang yang tadinya menerima kami itu. Lalu kami tinggal di dalam bangsal di depan halaman tempat menjemur panenan di sebuah perkebunan kolonial, dengan kami berdua ikut bekerja di sana; Mama jadi pembantu rumah tangga dan saya pesuruh. Bos kami lelaki berbadan sangat gemuk dari Alsace yang kemudian mati sesak napas, kayaknya. Konon dia biasanya menyiksa pelanggar kerja dengan menduduki badan mereka. Ada yang bilang, lelaki itu berjakun besar sebab itu tonjolan tulang orang Arab yang tersangkut di kerongkongannya. Saya masih punya kenangan dari periode itu: seorang pendeta tua yang kadang-kadang membawakan makanan untuk kami, karung goni yang diubah ibu saya menjadi baju luar saya, masakan semolina—gandum durum—yang kami santap pada kesempatan-kesempatan spesial. Saya tak ingin menceritakan kepada Anda kesulitan-kesulitan yang kami alami, sebab pada masa itu satu-satunya masalah adalah soal perut, bukan soal ketidakadilan. Pada malam hari, kami, anak-anak kecil, asyik bermain kelereng, dan jika salah satu dari kami tidak kelihatan esok harinya, itu berarti dia mati—dan kami akan tetap melanjutkan bermain. Itu zaman wabah dan kelaparan. Kehidupan perdesaan berlangsung keras. Orang-orang kota berusaha menutupinya—menutupi fakta bahwa banyak rakyat negara ini terancam mati kelaparan. Saya hidup dalam ketakutan, terutama pada malam hari, saat mendengar bunyi langkah kaki penuh ancaman, takut kalau itu adalah para lelaki yang tahu bahwa Mama tak punya pelindung. Malam-malam keterjagaan dan kewaspadaan, sambil badan saya menempel ketat pada badan Mama. Saya sungguh-sungguh telah menjadi seorang uld el-assas, anak penjaga malam.Anehnya, kami bisa bertahan di Hadjout dan sekitarnya sebelum akhirnya kami bisa tinggal di dalam rumah bertembok kokoh. Siapa yang bisa menduga seberapa kuat kadar kecerdikan dan kesabaran Mama sampai bisa mendapatkan rumah untuk kami berdua, rumah yang hingga hari ini masih beliau huni? Saya sulit membayangkannya. Yang jelas, beliau menemukan cara yang tepat: beliau berhasil menjadi seorang pembantu dan menunggu, sambil membesarkan saya, Kemerdekaan. Sebenarnya, rumah itu milik satu keluarga kolonis yang cabut secara tergesa-gesa, dan kami bisa mengambil alih rumah itu pada hari-hari awal Kemerdekaan. Rumah berkamar tiga dengan dinding-dinding sudah dipasangi kertas dinding, dan pekarangan dengan sebatang pohon jeruk pendek. Ada dua gubuk kecil di samping rumah, dan satu pintu kayu. Saya masih ingat tanaman rambat yang rimbun di sepanjang tembok luar, suara kicau burung-burung. Sebelum kami pindah ke rumah utama, kami menghuni gubuk yang menempel di sana terlebih dahulu, yang sekarang dipakai seorang tetangga buka lapak kelontong. Bagini, saya tidak suka mengingat-ingat periode itu. Saya merasa seperti dipaksa mengemis.Sewaktu menginjak usia lima belas, saya bekerja sebagai buruh tani. Lapangan kerja sedang langka, dan ladang terdekat berjarak tiga kilometer dari desa itu. Anda tahu cara saya dapat pekerjaan itu? Saya mengaku saja: suatu hari, sebelum subuh, saya menggembosi ban sepeda milik seorang buruh lain supaya saya bisa sampai di tempat kerja lebih awal dan menggantikan tempatnya. Ya, itulah dampak buruk dari kelaparan! Saya tidak ingin berpura-pura sebagai korban di sini, tapi perlu bertahun-tahun bagi kami untuk bisa berpindah dari gubuk di sana ke rumah kolonis itu, tahun-tahun kaki-kaki kami terbelenggu, kami seperti sedang mengarungi lumpur sepinggang atau melawan sedotan pasir isap. Saya yakin, sepuluh tahun lebih untuk kami akhirnya bisa mendaku rumah itu sebagai milik kami! Ya, ya, kami bertindak seperti semua orang lain selama masa-masa awal kebebasan: kami mendobrak pintu rumah orang, menggasak peralatan makan dan wadah lilin. Aduh, saya melantur. Panjang sih ceritanya, jadi ke mana-mana.Setelah terbunuhnya Musa, sementara kami masih tinggal di Alger, ibu saya mengubah amarahnya menjadi satu periode berkabung yang panjang dan spektakuler, memperoleh simpati para tetangga perempuan dan mendapat sejenis legitimasi yang membuatnya bisa keluar rumah, berbincang dengan para lelaki dan bekerja di rumah-rumah lain, menjual bumbu dapur, dan bersih-bersih, tanpa mendapatkan risiko dipandang negatif. Sifat femininnya sudah sirna, dan sirna pula kecurigaan orang-orang. Saya jarang bersama Mama pada waktu itu. Saya lebih sering menunggu beliau pulang dari berkeliling kota, menyelidiki sendiri kematian putranya Musa, menanyai orang-orang yang mengenalnya, mengenalinya, atau sekadar berpapasan untuk terakhir kalinya, setahun penuh, 1942. Para wanita tetangga kamilah yang mengurus makan saya, dan anak-anak lain di lingkungan itu menunjukkan rasa hormat sebagaimana penghormatan kepada orang yang sedang sakit keras atau patah hati. Saya langsung menyandang status sebagai “adik pemuda yang mati itu”; sebenarnya saya belum mulai merasakan kesedihan hingga mendekati usia remaja, saat telah belajar membaca dan menyadari nasib buruk kakak saya, dan kematiannya yang tidak adil di dalam sebuah buku.Setelah dia wafat, cara saya bertumbuh dewasa berubah. Saya hidup di dalam kebebasan mutlak hanya selama empat puluh hari. Anda tahu kan, upacara pemakamannya belum dilaksanakan hingga saat itu. Imam di lingkungan itu pastilah sudah uring-uringan karenanya. Sebab jasad Musa tidak pernah ditemukan, dan orang hilang jarang-jarang mendapatkan upacara pemakaman …. Ibu saya sudah mencari jasad Kakak ke mana-mana—di kamar mayat, di kantor polisi di Belcourt—beliau sudah mengetuk pintu semua instansi. Nihil. Musa telah lenyap; kematiannya telah menjadi mutlak, sempurna, dan tak bisa dimengerti. Pastilah hanya ada dua orang di tempat berpasir dan berair laut itu, dia dan pembunuhnya. Mengenai pembunuh itu, kami nyaris tidak tahu sama sekali. Dia adalah seorang el-roumi, orang luar, “orang asing.” Orang-orang menunjukkan fotonya di koran-koran, tetapi bagi kami dia sama saja seperti para kolonis lain yang menjadi gemuk dari memakan hasil panen curian. Tidak ada hal istimewa apa pun pada dirinya, kecuali sebatang rokok di sudut bibirnya; ciri-cirinya langsung terlupakan, menghablur dengan ciri-ciri orang-orang sebangsanya.Ibu saya mendatangi pekuburan-pekuburan, membengkengi teman-teman kakak saya. Upayanya sia-sia belaka, tetapi menunjukkan bahwa dia sebenarnya berbakat mengobrol lama-lama, dan periode berkabungnya berangsur menjadi komedi yang mengejutkan, yang beliau mainkan berulang kali hingga menjadi sebuah mahakarya. Seperti menjadi janda dua kali, beliau mengubah drama priadinya menjadi sebuah urusan yang membuat semua orang yang berada di sekitar dirinya mencurahkan kasih sayang. Beliau berlagak sakit macam-macam agar selalu dirubungi para tetangga perempuan, seringnya sakit kepala. Beliau menunjuk-nunjuk saya seolah-olah saya ini sudah menjadi anak yatim, dan beliau bisa sangat cepat mengalihkan perhatian orang-orang terhadap saya ke dirinya, lalu memandang saya dengan picingan mata curiga dan tatapan tajam menegur. Lebih aneh lagi, saya diperlakukan seperti kakak saya yang meninggal itu, dan Musa malah jadi seorang penyintas pembunuhan yang kemudian diberi sesaji kopi panas sore hari, dengan kasur yang sudah dirapikan, dan yang suara langkah-langkah kakinya ditunggu-tunggu penuh harap, seperti dia habis dari tempat yang sangat jauh, atau setelah dari main di pusat kota Alger, atau bahkan hanya dari kampung sebelah. Saya bernasib menjadi aktor pembantu sebab saya tidak punya apa pun untuk ditawarkan. Saya merasa bersalah sebab masih bernyawa, tetapi juga merasa bertanggung jawab atas nyawa yang bukan milik sendiri. Saya penjaga, seorang assas, seperti ayah saya, yang mengawasi raga lain.Saya juga ingat momen pemakaman aneh itu: orang-orang berjubel; obrolan ramai membahas mendiang; kami, anak-anak kecil, terpukau oleh bohlam-bohlam dan banyaknya lilin; dan liang lahat kosong itu, dan doa untuk mendiang. Setelah periode menunggu selama 40 hari, Musa dinyatakan meninggal—tersapu ombak ke tengah laut—dan dengan demikian, meski absurd, tetap dilangsungkan tata cara pemakaman seperti bagi orang yang mati tenggelam. Lalu semua orang pulang, kecuali Mama dan saya.Saya ceritakan momen pada suatu pagi. Saya kedinginan padahal sudah pakai selimut, menggigil. Musa sudah meninggal berminggu-minggu. Saya dengar suara-suara di luar—sepeda lewat, batuk-batuk Tawi, derit kursi-kursi, jendela-jendela dibuka. Di kepala saya, setiap suara terhubung kepada seorang perempuan, ke suatu masa kehidupan, ke suatu perhatian dan suasana hati tertentu, atau bahkan kepada jenis cucian yang akan dijemur pada hari itu. Pintu rumah kami diketuk. Beberapa orang perempuan mengunjungi Mama. Saya hafal urut-urutan skenarionya: sunyi terlebih dahulu, disusul isak tangis, lalu peluk dan cium; lebih banyak air mata; lalu salah satu dari mereka mengangkat tirai pembatas ruangan, menatap saya, tersenyum canggung, kemudian mengambil cerek kopi atau benda lain. Adegan semacam itu akan berlangsung hingga sekitar tengah hari. Hanya pada sore hari, setelah ritual membasahi kerudung dengan air jeruk dan mengenakannya ke kepala, setelah berkesah sekian lama dan kemudian diam sangat lama, Mama akan ingat kepada saya dan memeluk saya. Namun, saya tahu, Musa-lah yang ingin Mama peluk, bukan saya. Saya biarkan saja. Seperti sudah saya bilang, jenazah Musa tak pernah ditemukan.Konsekuensinya, Mama menugasi saya untuk menjadi reinkarnasinya. Misalnya, begitu saya sudah agak besar, saya melungsuri pakaian kakak saya—baju dalam, kemeja lengan panjang, sepatu—meski semuanya masih kebesaran, saya tetap harus memakainya sampai baju-baju itu tak layak pakai lagi. Saya dilarang jauh-jauh dari ibu saya, berjalan sendirian, atau tidur di tempat-tempat yang tidak diketahui, dan, sebelum kami meninggalkan Alger, dilarang dekat-dekat pantai. Laut menjadi area terlarang bagi saya. Mama menakut-nakuti saya dengan cerita tentang bahaya isapan air laut—sampai sekarang, saat saya berjalan di pantai, meski yang berombak lemah, sensasi pergerakan pasir pada kaki sudah mulai menerbitkan rasa takut tenggelam. Di dalam lubuk hati, Mama memaksakan diri percaya bahwa lautlah pelaku pembunuhan terhadap putranya, air lautlah yang menelan jasad anaknya. Raga saya, dengan demikian, menjadi satu-satunya jejak kasatmata putranya yang telah tiada, yang kemungkinan besar bisa menjelaskan kelemahan fisik saya—meski berkompensasi otak yang lumayan encer, meski tidak ambisius. Saya sering jatuh sakit. Dan saban kali saya gering, Mama memerhatikan badan saya dengan kepedulian yang nyaris dilambari rasa berdosa, dengan perhatian yang mengandung hasrat inses yang samar. Ibu saya mengomeli saya habis-habisan ketika kulit saya tergores sedikit saja; di matanya, saya telah melukai Musa.Maka, saya tidak mengalami masa muda yang menyenangkan, absen dari kebangkitan perasaan-perasaan erotis akil balig. Saya pendiam dan pemalu. Saya menghindari hamam—tempat pemandian umum—dan tidak bermain dengan teman sepantar, dan pada musim dingin saya pakai jilaba—jubah uniseks—yang menutupi sekujur tubuh saya. Butuh waktu bertahun-tahun untuk saya berdamai dengan tubuh dan dengan diri saya sendiri. Faktanya, hingga sekarang, saya belum kunjung yakin. Gestur saya selalu kaku, terpengaruh perasaan bersalah karena masih bernyawa. Seperti anak peronda malam sejati, saya tidur sedikit saja, itu pun tidak nyenyak—saya lekas terserang panik karena memikirkan bahwa setelah memejamkan mata, saya akan terjatuh ke dalam palung tanpa ingat nama sendiri. Mama-lah yang memberi saya perasaan jeri itu, dan Musa memberi nyawanya. Bisa apa seorang pemuda di usia itu, terjebak di antara kematian dan ibunya?Saya ingat hari-hari, meski jarang, ketika saya menemani ibu saya menelusuri jalan-jalan di Alger untuk mencari informasi tentang menghilangnya kakak saya. Mama berjalan cepat dan saya harus menyamainya, mata saya harus terpaku pada haik-nya supaya tidak keliru membuntuti. Terciptalah keintiman yang menyenangkan, sumber dari periode singkat kelembutan di antara kami. Dengan gaya bahasa dan rengekan terukur khas seorang janda, Mama mengumpulkan petunjuk dan informasi yang bercampur aduk dengan firasat dan ilham para “saksi.” Saya masih ingat pegangan erat Mama ke lengan salah seorang teman Musa saat melewati permukiman Prancis, tempat kami dianggap penyusup.Ya, kami dua orang aneh yang berkeliaran di jalan-jalan ibu kota! Lama setelah itu, setelah cerita kematian Musa telah menjadi buku terkenal dan melanglang buana[3], meninggalkan kami yang tetap dalam ketidaktahuan—padahal kamilah oran-orang yang mengalami derita dari meninggalnya orang yang dikorbankan dalam cerita buku itu—saya sering kembali ke ingatan terhadap permukiman Belcourt dan penyelidikan kami, ingat bagaimana kami mengamati jendela dan fasad gedung-gedung, mencari-cari petunjuk. Suatu hari, Mama mendapatkan info, meski lemah, yang dirasa perlu untuk ditelusuri: seseorang memberitahukan sebuah alamat. Sekarang Alger serupa labirin menggiriskan setiap kali kami pergi ke luar wilayah kediaman kami, tetapi Mama tak bisa disetop, melewati pekuburan dan pasar dan beberapa kafé, mengarungi rimba tatapan mata, teriakan, dan jeritan klakson mobil, hingga Mama akhirnya berhenti tiba-tiba setelah melihat sebuah rumah di seberang jalan. Sudah petang, dan saya tertinggal jauh di belakang Mama sebab beliau berjalan terlalu bersemangat. Sepanjang jalan saya mendengar umpatan dan ancamannya, doa kepada Tuhan dan kepada leluhurnya, atau mungkin kepada leluhur Tuhan sekaligus, entahlah!. Saya agak dongkol melihat Mama seperti itu, meski alasan persisnya tidak saya pahami. Sebuah rumah dua lantai, dengan semua jendelanya tertutup—tidak ada hal lain untuk dilaporkan. Orang-orang kulit putih di jalan mengamati kami dengan pandangan mencemooh.Kami lama berdiri saja di sana. Sejam, dua jam, mungkin; lalu Mama, tanpa melirik minta persetujuan saya terlebih dahulu, menyeberang jalan dan mengetuk pintu rumah itu dengan mantap. Seorang perempuan renta Prancis membukanya. Lampu penerangan jalan di belakang Mama membuat perempuan itu kesulitan memastikan rupa ibu saya, sehingga dia meletakkan tangan ke alis untuk mengamati tamunya lebih saksama, dan saya melihat ketidaknyamanan, ketidakmengertian, dan akhirnya ketakutan pada wajahnya. Muka perempuan itu memerah, teror mengembang pada matanya, dan dia seperti hendak berteriak. Lalu saya menyadari bahwa Mama sedang melontarkan untaian sumpah serapah terpanjang yang pernah diucapkan. Sambil murka, perempuan Prancis itu mengusir Mama. Saya mengkhawatirkan Mama; saya mengkhawatirkan kami berdua. Sekonyong-konyong, perempuan Prancis itu ambruk tak sadarkan diri di ambang pintu. Orang-orang yang sedang lewat pada berhenti untuk melihat. Saya tidak bisa memastikan ada berapa orang di sana—mulai terbentuk kerumunan-kerumunan kecil—lalu ada yang meneriakkan “Polisi!” Seorang wanita berteriak dalam bahasa Arab, menyuruh Mama untuk lekas pergi dari situ. Pada saat itulah Mama membalikkan badan dan berteriak, sepertinya ditujukan kepada semua orang kulit putih di seluruh dunia, “Laut akan menelan kalian semua!” Lalu Mama mencengkeram lengan saya, dan kami berlari seperti dua orang kesetanan. Begitu sudah di dalam rumah sendiri, Mama diam seribu bahasa. Kami tidur tanpa mengisi perut terlebih dahulu. Paginya, Mama menjelaskan kepada para tetangga bahwa beliau sudah menemukan rumah tempat pembunuh itu dibesarkan dan telah meyumpah-serapahi, mungkin, nenek si pembunuh, dan menambahi, “Atau salah satu anggota keluarganya, yang jelas orang kulit putih nonmuslim.”Pembunuh itu tinggal di permukiman tak jauh dari laut. Ada sebuah gedung dengan lantai atas agak melengkung di atas sebuah kafé, dengan sedikit pepohonan yang merindanginya, tetapi jendela-jendelanya selalu tertutup pada waktu itu; jadi, saya pikir Mama sebenarnya telah memaki seorang perempuan tua Prancis awanama yang tidak punya keterkaitan dengan tragedi kami. Lama setelah Kemerdekaan, penghuni barunya punya kebiasaan membuka jendela-jendelanya lebar-lebar dan mencoret kemungkinan terakhir pemecahan sebuah misteri. Inilah yang bisa saya katakan kepada Anda, bahwa tidak seorang pun yang kami temui waktu bisa memastikan bahwa dia pernah berpapasan jalan dengan pembunuh itu atau pernah bersemuka dengannya serta mengerti motifnya. Mama telah menanyai banyak orang, terlalu banyak, sampai-sampai saya akhirnya merasa malu sendiri, seperti sedang melihat beliau mengemis minta uang, bukan minta petunjuk. Penyelidikan Mama berfungsi sebagai ritual untuk meredakan kepedihan hatinya, dan keluar masuknya kami di area hunian orang-orang Prancis di kota itu, betapapun tidak patutnya, menjadi peluang kami berkesempatan keluar rumah lebih jauh.Saya ingat hari ketika akhirnya kami sampai di tepi laut. Langitnya kelabu, dan, beberapa meter dari tempat saya berdiri, bergerombol-gerombol musuh-musuh terbesar keluarga kami—para penggarong harta orang-orang Arab, pembunuh para pemuda berbaju jubah. Di sana ada saksi terakhir dalam daftar Mama. Begitu kami sampai di sana, Mama meneriakkan nama Sidi Abderrahman dan kemudian, setelah berkali-kali—Ya Allah—menyuruh saya untuk menjauhi air laut, Mama mendeprok di atas pasir sambil memijati kakinya yang pegal. Saya berdiri di belakang Mama, sebagai seorang anak kecil yang sedang berhadapan dengan sebuah tempat terjadinya kejahatan dan dengan segaris kaki langit. Apa yang saya rasakan? Tidak ada, selain terpaan angin pada kulit saya—saat itu musim gugur, semusim setelah pembunuhan. Saya merasai bau garam. Saya melihat ombak berdeburan. Hanya itu. Laut seperti tembok lunak yang berubah-ubah. Jauh di depan sana, ke atas sana, iring-iringan mega. Saya mulai memunguti benda-benda yang bertebaran di sana: cangkang kerang laut, beling, tutup botol, gumpalan rumput laut. Laut tidak mengatakan apa pun kepada kami, dan Mama duduk geming di atas pasir, agak membungkuk seperti sedang takzim berdoa di atas makam. Akhirnya, Mama berdiri tegak, memandang penuh perhatian ke kanan kiri, dan berkata, dengan suara parau, “Allah mengutuk kalian semua!” Lalu Mama menggenggam tangan saya dan menyeret saya pergi dari pantai itu, seperti biasanya. Saya ikut saja.Satu ingatan lain: kunjungan-kunjungan ke alam baka, pada hari Jumat, di puncak Bab-el-Oued. Maksud saya Pekuburan El-Kettar, dikenal juga sebagai “Pabrik Parfum,” sebab pernah ada penyulingan melati di dekat situ. Setiap Jumat kami berziarah ke makam kosong Musa. Mama akan merengek, yang menurut saya tidak perlu, konyol malah, sebab toh tidak ada apa-apa di liang lahat itu. Saya ingat tanaman mint yang tumbuh di pekuburan, pohon-pohonnya, dan gang-gangnya yang berangin, pemandangan Mama berhaik putih dengan latar langit yang sangat biru. Semua orang di situ tahu bahwa makam itu kosong, tahu bahwa Mama tetap berdoa dan menganggapnya berisi. Pekuburan itu adalah tempat elan kehidupan saya terbangkitkan. Di sana saya menjadi sadar bahwa saya punya sebuah hak untuk mencetuskan api kehadiran saya di dunia ini—ya, saya berhak hidup!—tak peduli akan keabsurdan kondisi saya, yang setelah menyorong jasad kakak saya ke puncak bukit, membiarkannya terguling kembali ke kaki bukit, begitu terus tiada henti[4]. Pada hari-hari itu, hari-hari ziarah kubur, adalah masa ketika saya bersembahyang bukan menghadap ke Makah, melainkan ke dunia ini. Sekarang saya sedang mengupayakan bersembahyang yang lebih baik. Namun, dahulu itu saya mendapati, dengan cara yang kurang jelas, sebentuk sensualitas. Bagaimana saya menjelaskannya, ya? Sudut jatuhnya cahaya, kegemilangan warna biru pada langit, dan embusan angin membangkitkan sesuatu di dalam diri saya, yang lebih menggelisahkan ketimbang kepuasan sederhana yang kita rasakan sesudah terpenuhinya sebuah kebutuhan. Ingat, waktu itu usia saya belum genap sepuluh tahun, dan, ibarat kata, saya masih mengempeng susu ibu saya. Pekuburan itu saya anggap taman bermain. Mama tidak pernah mengira bahwa di sanalah saya secara pasti menguburkan Musa, dan, tanpa kata, meneriakinya supaya jangan terus-terusan mengganggu saya. Persis di sana, di El-Kettar, sebuah pekuburan Arab. Sekarang tempat itu tak terurus, tempat mangkal buronan dan pemabuk. Konon ada saja marmer makam digasak maling setiap malam. Anda mau memeriksanya? Buang-buang waktu—kalian tidak akan menemukan siapa-siapa di sana, Anda terutama tak akan menemukan jejak makam itu, yang sekarang sudah mirip lubang sumur tempat nabi Yusuf dibuang saudara-saudaranya. Kalau ada jasad di dalamnya, Anda toh tidak bisa membuktikan apa pun. Mama tidak mendapat apa-apa. Tidak permintaan maaf sebelum Kemerdekaan, tidak pula uang pensiun setelah negeri ini merdeka.Setelah Musa meninggal, Mama berubah jadi pemberang. Cobalah bayangkan nasibnya: tercerabut dari puaknya, dipaksa kawin dengan lelaki yang tidak mengenalnya, lelaki yang ingin segera meninggalkannya; wanita beranak dua orang putra, satu meninggal dan satu anak yang terlalu pendiam untuk bisa diajak bicara sepatutnya; seorang perempuan yang sudah kehilangan dua orang lelaki dan dipaksa bekerja untuk para kulit putih demi bertahan hidup. Beliau tidak bisa tidak sudah mirip seorang martir. Apakah saya menyayanginya? Tentu saja. Dalam budaya kami, seorang ibu adalah separuh dunia. Namun, saya tidak pernah memaafkan beliau untuk perlakuan kepada saya yang sedemikian rupa. Beliau membenci saya atas suatu kematian yang tidak bisa diikhlaskan; jadi, sayalah yang dihukum. Entahlah—saya punya banyak pergulatan di dalam hati, dan beliau bisa merasakan itu, dalam kebimbangan hatinya.Mama tahu seni menghidupkan hantu dan, sebaliknya, sangat mahir mematikan siapa pun yang dekat dengannya, menenggelamkan mereka ke pusaran arus kisah-kisah karangannya. Mama tidak bisa membaca, tetapi saya jamin, Sohib, beliau bisa menceritakan kisah keluarga kami dan kisah tentang kakak saya lebih piawai daripada gaya saya bercerita. Mama berbohong bukan karena keinginan mengelabui, tetapi demi tujuan mengoreksi realitas dan untuk mengurangi keabsurdan yang menghajar dunianya dan dunia saya juga. Wafatnya Musa menghancurkan Mama, tetapi, meski paradoksikal, kenyataan itu menghantarkannya pada kenikmatan takwajar sebuah perkabungan senantiasa. Untuk waktu yang lama, tidak ada tahun dilalui tanpa ibu saya bersumpah akan menemukan jasad Musa, mendengar pengakuan Mama bahwa beliau mendengar suara napas dan langkah kaki kakak saya itu, melihat bekas tapak sepatunya. Dan, untuk waktu yang lama, kelakuannya telah bikin saya malu luar biasa—dan, kelak, hal itu mendorong saya untuk belajar sebuah bahasa yang bisa berfungsi sebagai penabir antara kegilaannya dan saya. Ya, bahasa. Bahasa yang saya baca, bahasa yang saya ucapkan sekarang, yang berbeda dengan bahasanya. Bahasa Mama sangat kaya dengan penggambaran, vitalitas, sentakan mendadak, dan improvisasi, tetapi jauh dari presisi. Kesedihan Mama sangat berlarat-larat sampai-sampai beliau perlu idiom baru untuk mengungkapkannya. Dalam bahasa Mama, beliau berbicara seperti seorang nabi yang tengah merekrut pengikut yang berempati dadakan, dan berteriak penuh amarah kepada hal-hal yang melalap kehidupannya: kepada angin yang menelan suaminya, kepada air yang menelan putranya. Saya harus belajar bahasa berbeda. Untuk bertahan hidup. Setelah ulang tahun kelima belas, yang tanggalnya dikira-kira, ketika kami pindah ke Hadjout, saya menjadi seorang pelajar yang serius dan tekun. Buku-buku secara bertahap mampu membuat saya menamai hal ihwal, untuk mengorganisir dunia ini dengan kata-kata saya sendiri.Di Hadjout, saya juga menemukan pepohonan dan langit yang nyaris bisa saya sentuh. Akhirnya saya masuk sekolah dengan sedikit saja teman sesama pribumi. Itu membantu perhatian saya teralihkan dari hanya memikirkan Mama dan dari cara beliau mengamati saya makan dan tumbuh besar dengan tatapan yang tidak mengenakkan; saya merasa seperti kambing yang sedang digemukkan untuk kemudian dijadikan kurban Iduladha. Itu tahun-tahun yang aneh. Saya merasa hidup ketika sudah berada di jalan, di sekolah, atau di ladang tempat saya bekerja; pulang berasa seperti melangkah ke dalam area pekuburan, dengan perasaan seperti mau jatuh sakit. Mama dan Musa menunggui kepulangan saya, dengan cara mereka sendiri-sendiri, dan saya merasa wajib punya penjelasan, untuk membenarkan pilihan saya dengan tidak menyia-nyiakan waktu dengan terus menerus mengasah pisau dendam keluarga. Rumah bekas kami tinggal dulu dianggap angker. Anak-anak kecil menyebut saya sebagai “putra janda itu.” Orang-orang segan kepada Mama, tetapi mereka pun mencurigai beliau telah melakukan sebuah kejahatan, kejahatan yang ganjil—jika tidak, mengapa kami meninggalkan ibu kota dan mau bekerja membersihkan rumah kulit putih? Kami pastilah menjadi bahan tontonan yang aneh sewaktu tiba di Hadjout: seorang ibu yang menyimpan bundelan kliping koran di dadanya, seorang remaja yang pandangannya tak lepas dari kakinya sendiri yang dekil tak bersepatu, dan beberapa buntalan kain rombeng. Sekitar tahun itu, si pembunuh sedang menapaki tangga terakhir kemasyhurannya. Tahun 1950-an; para perempuan tua Prancis mengenakan gaun pendek bermotif bunga-bunga, dan sinar matahari menyengat dada mereka. ♦(Terjemahan ke bahasa Inggris (dari b. Prancis) oleh John Cullen.)Terbit di majalah The New Yorker edisi cetak 6 April 2015. https://www.newyorker.com/magazine/2015/04/06/musa Kamel Daoud adalah seorang wartawan Aljazair yang bermukim di Oran. Novelnya, Meursault, contre-enquête terbit pertama kali di Aljazair pada 2013, lalu diterbitkan ulang di Prancis pada 2014, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 2015 dengan judul The Mersault Investigation. Novel debut ini memenangi Prix François-Mauriac 2014, dan Prix des cinq continents de la Francophonie 2014, serta Prix Goncourt 2015.
[1] Kota Algiers. Alger adalah penyebutan resmi menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Kedutaan Besar Indonesia di Aljazair. Versi lainnya adalah Aljir.[2] Kemerdekaan Aljazir diakui Prancis pada tanggal 3 Juli 1964, setelah diadakan referendum pada 1 Juli. Pernyataan revolusi kemerdekaannya sendiri dimulai secara resmi sejak 1 November 1954 setelah deklarasi FLN (Front Pembebasan Nasional Aljazair)[3] Ini menarik, Daoud beralusi ke novel Camus dengan menganggap seolah-olah buku L'etranger adalah penggambaran sebuah kisah nyata, yakni kasus pembunuhan terhadap Musa.[4] Tentu saja ketika Daoud menyebut soal ‘keabsurdan’, dia sedang menyenggol tema Absurditas dalam buku filsafat Camus Le Mythe de Sisyphe.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan