
Deskripsi
terjemahan cerpen Hassan Blasim (Irak-Finlandia)
Pada hari-hari tak terlupakan sebelum mukjizat itu terjadi dan ketika aku mengetahui kebenaran yang sekarang disangkal atau diabaikan oleh semua orang, kami berjaga-jaga di platform tempat berdirinya dua patung itu. Kami memiliki persenjataan ringan, tiga mortir dan tujuh peluncur RPG. Para tokoh berpengaruh dan pemuka warga di distrik kami telah menolak perintah dari pemerintahan baru untuk merobohkan patung-patung itu, dan kami dapat kabar bahwa...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Penyabot - Cerpen Terjemahan
0
0
Tn. Chiu dan istrinya yang baru dinikahinya sedang makan siang di alun-alun depan Stasiun KA Muji. Di atas meja, di antara mereka, ada dua botol soda berbuih kecoklatan dan dua dus nasi dan tumis mentimun dan daging babi. “Ayo makan,” katanya, dan mematahkan sambungan di ujung sumpitnya. Ia mencomot seiris daaging dan memasukkannya ke mulut. Selagi mengunyah, muncul beberapa kerutan di rahangnya yang kurus.Di sebelah kanannya, di meja seberang, dua polisi patroli KA sedang minum teh dan ketawa-ketawa; kelihatannya pria separuh baya yang berbadan kekar itu sedang menceritakan lelucon kepada rekannya yang masih muda, yang badannya tinggi dan bersosok atletis. Sesekali mereka mencuri-curi pandang ke arah meja Tn. Chiu.Udaranya menguarkan bau melon busuk. Beberapa ekor lalat terusmenerus mendengung di atas menu makan siang pasangan pengantin baru itu. Ratusan orang bergegas menuju peron atau mengejar bis menuju pinggirkota. Penjual makanan dan buah berteriak menawari pemberi dengan suara malas-malasan. Sekitar selusin wanita muda, mengiklankan hotel-hotel lokal, membawa plakat yang menampangkan harga harian dan huruf-huruf seukuran kepalan tangan, seperti MAKANAN GRATIS, AC, dan DI ATAS AIR. Di tengah alun-alun berdiri patung semen Ketua Mao, di kakinya para petani tidur-tidur ayam, punggung mereka menempel batu granit yang hangat dengan wajah menghadap langsung ke langit yang cerah. Sekumpulan burung dara bertengger di atas tangan dan lengan Ketua yang teracung.Nasi dan mentimunnya lezat, dan Tn. Chiu makan dengan tak tergesa-gesa. Wajahnya yang pucat tampak letih. Ia senang bulanmadunya akhirnya berakhir sudah dan bahwa mereka sedang dalam perjalanan pulang ke Harbin. Selama dua minggu liburan, dia mencemaskan livernya, karena tiga bulan yang lalu dia menderita hepatitis akut; dia takut kambuh lagi. Namun, dia tak mengalami gejala-gejala yang berat, meskipun livernya tetap membesar dan lunak. Secara keseluruhan dia senang dengan kondisi kesehatannya, dia bisa bertahan bahkan di masa bulan madu yang ‘menegangkan’; memang, dia tengah dalam proses penyembuhan. Ia menatap istrinya, yang mencopot kacamata bertalinya, menekan-nekan pangkal hidungnya dengan ujung jari. Bulir-bulir besar keringat berleleran di pipi istrinya yang pucat.“Kau baik-baik saja, Sayang?” Tanyanya.“Aku pusing. Tidurku tak nyenyak semalam.”“Minum aspirin, ya?”“Tidak berat kok. Besok itu Minggu dan aku bisa tidur sepuasnya. Jangan khawatir.”Sementara mereka mengobrol, si polisi gemuk di meja sebelah berdiri dan melemparkan semangkuk teh ke arah mereka. Baik sandal Tn. Chiu maupun istrinya langsung basah.“Berandalan!” katanya dalam suara rendah.Tn. Chiu berdiri dan berteriak, “Kamerad polisi, kenapa kau begitu?” Dia menjulurkan kakinya untuk memperlihatkan sandalnya yang basah.“Begitu ‘gimana?” si lelaki gemuk berkata dengan suara parau, membelalak pada Tn. Chiu sementara si pemuda bersiul-siul.“Lihat, teh yang kau buang mengenai kaki kami.”“Kau bohong. Sepatumu memang sudah basah.”“Kamerad polisi, tugasmu menjaga ketertiban, tetapi kau dengan sengaja menyusahkan warga biasa. Kenapa kaulanggar hukum yang semestinya kautegakkan?” Saat Tn. Chiu bicara, lusinan orang mulai berkerumun.Sambil mengibaskan tangannya, si lelaki berkata kepada si pemuda rekannya, “Ayo kita tangkap dia!”Mereka memegangi Tn. Chiu dan mengapitkan borgol ke pergelangan tangannya. Dia menjerit, “Kalian tak boleh begini. Ini sungguh keterlaluan.”“Diam!” Si lelaki mencabut pistolnya. “’ngomongnya di markas kami saja.”Si pemuda menambahkan, “Kau seorang penyabot, paham? Kau mengganggu ketertiban umum.”Istrinya begitu terperenjat hingga omongannya tak jelas. Ia baru saja lulus kuliah, dari jurusan seni rupa, dan belum pernah melihat polisi menangkap orang. Yang bisa dikatakannya hanya, “Oh, tolonglah, kumohon!”Kedua polisi itu menarik-narik Tn. Chiu, tapi dia menolak dibawa pergi, memegangi ujung meja dan berteriak, “Kami harus segera naik kereta. Kami sudah beli tiket.”Si lelaki kekar memukul dadanya. “Diam. Biar saja tiketmu hangus.” Dengan popor pistol dia menetak tangan Tn. Chiu, yang langsung membuatnya melepaskan meja. Bersamaan, kedua orang itu menggelandangnya ke markas polisi.Menyadari bahwa tidak bisa tidak harus ikut mereka, Tn. Chiu menoleh dan berteriak kepada istrinya, “Jangan menungguku di sini. Naiklah ke kereta. Kalau aku belum kembali besok, kirim orang untuk membebaskan aku.”Istrinya mengangguk, menutupi mulutnya yang tersedu dengan telapak tangannya. Sesudah melepaskan ikat pinggangnya, mereka mengurung Tn. Chiu ke dalam sel di belakang Markas Polisi Kereta Api. Satu-satunya jendela di ruangan dipalangi enam ruas baja; letaknya menghadap halaman luas, ada beberapa pohon cemara. Di bawah pohon, ada dua ayunan tergantung di sebatang besi, bergoyang lembut tertiup angin sepoi-spoi. Di suatu tempat di dalam gedung ada yang tengah mempergunakan golok pencincang daging, suara bacokannya terdengar berirama. Pasti ada dapur di lantai atas, pikir Tn. Chiu.Dia sudah begitu kelelahan hingga tak kepikiran untuk mencemaskan apa yang akan dilakukan oleh mereka terhadap dirinya, jadi, dia rebahan di ranjang yang sempit dan memejamkan matanya. Ia tidak takut. Revolusi Kebudayaan sudah berakhir, dan akhir-akhir ini Partai telah menyebarkan gagasan bahwa semua warga sama kedudukannya di depan hukum. Polisi seharusnya jadi teladan kepatuhan pada hukum bagi warga biasa. Sepanjang dia berkepala dingin dan bicara baik-baik dengan mereka, mungkin mereka tak akan menyakitinya.Saat menjelang senja dia dibawa ke Biro Interogasi di lantai kedua. Di tengah jalan, di tangga, ia berpapasan dengan pria paruh baya yang menangkapnya. Polisi itu menyeringai, memutar-mutarkan matanya yang menonjol dan mengarahkan telunjuk ke arahnya seolah sedang menembakkan pistol. Kutu kupret! Maki Tn. Chiu dalam hati.Pada saat ia duduk di ruang kantor, dia bersendawa, telapak tangnnya menutupi mulutnya. Di hadapannya, di seberang meja panjang, duduklah kepala biro dan seorang pria bermuka-bagal. Di atas permukaan meja dari kaca ada berkas yang memuat informasi kasusnya. Ia merasa lucu bahwa hanya dalam hitungan jam mereka sudah menyusun setumpuk kecil laporan tentangnya. Pikiran lain terlintas di benaknya, apakah mereka selama ini menyimpan sebauh berkas pribadinya. Bagaimana ini bisa terjadi? Ia tinggal dan bekerja di Harbin, lebih dari 450 Km jaraknya, dan ini pertama kalinya dia ke Kota Muji.Kepala biro merupakan pria kurus, botak, tampak tenang dan cerdas. Tangannya yang ramping memegang kertas laporan di dalam map dengan sikap seorang dosen. Di sebelah kiri Tn. Chiu duduk seorang pemuda pencatat, dengan papanjepit di lututnya dan pena tinta hitam di tangan.“Namamu?” tanya Kepala, rupanya mengucapkan pertanyaan dari formulir.“Chiu Maguang.”“Usia?”“Tigapuluh empat.”“Pekerjaan?”“Dosen.”“Tempat kerja?”“Universitas Harbin.”“Status politik?”“Anggota Partai Komunis.”Sang Kepala meletakkan kertas dan mulai bicara. “Kejahatanmu adalah sabotase, meskipun belum menimbulkan akibat yang serius. Dikarenakan kau anggota Partai, hukumanmu seharusnya lebih berat. Kau telah gagal jadi model bagi massa dan kau–”“Permisi, Pak,” Tn. Chiu menyela.“Apa?”“Aku tak melakukan apa pun. Anak buah Andalah penyabot ketertiban sosial kita. Mereka menyiramkan teh, membasahi kakiku dan istriku. Secara logis, Anda seharusnya menegur mereka, jika tidak menghukum mereka.”“Pernyataan itu tak berdasar. Kau tak punya saksi-saksi. Kenapa aku harus memercayaimu?” sang Kepala mulai bicara ‘berdasarkan fakta’.“Ini buktiku.” Ia mengangkat tangan kanannya. “Anak buah Anda memukul jari-jari saya menggunakan pistol.”“Itu tak membuktikan bagaimana kakimu bisa basah. Selain itu, bisa saja luka itu akibat ulahmu sendiri.”“Namun, aku bicara jujur!” Kemarahan tersulut dalam diri Tn. Chiu. “Markas polisimu berutang maaf padaku. Tiket keretaku jadi hangus, sandal kulit baruku jadi rusak, dan aku jadi terlambat mengikuti konferensi di ibukota provinsi. Kau harus ganti-rugi atas kerusakan dan kehilangan yang kualami. Jangan salah mengira bahwa aku hanya seorang rakyat biasa yang akan gemetar oleh bersinmu. Aku seorang sarjana, filsuf, dan pakar soal dialektika materialisme. Jika perlu, kita bisa debat tentang ini di koran The Northeastern Daily, atau kita menghadap Majelis Rakyat tertinggi di Beijing. Sebutkan namamu?” Dia terbawa emosi oleh pidatonya sendiri, yang tentu saja bukan asal omong dan telah berhasil menguntungkannya dalam beberapa kesempatan.“Berhentilah menggertak,” si muka-bagal turut campur. “Kami sering menghadapi orang sepertimu sebelumnya. Dengan mudah, kami bisa buktikan kebersalahanmu. Ini beberapa pernyataan yang diberikan para saksimata.” Dia menyorongkan beberapa lembar kertas kepada Tn. Chiu.Tn. Chiu bingung membacai berbagai tulisan tangan berbeda-beda, yang kesemuanya menyatakan bahwa dirinya telah berteriak-teriak di alun-alun untuk menarik perhatian dan menolak mematuhi polisi yang datang menenangkannya. Salah satu saksi wanita menyatakan dirinya sendiri sebagai seorang penyedia barang di galangan kapal di Shanghai. Perut Tn. Chiu bergejolak, rasa nyeri naik ke iganya. Dia mengerang dengan lemah.“Sekarang kau harus mengaku bersalah,” kata sang Kepala. “Meskipun ini kejahatan serius, kami tak akan menghukummu dengan berat, cukup kau tuliskan kritik-diri dan berjanji bahwa kau tak akan mengganggu ketertiban umum lagi. Dengan kata lain, pembebasanmu tergantung pada sikapmu atas kejahatan ini.”“Kau melantur,” Tn. Chiu menjerit. “Aku tak akan menulis satu kata pun, karena aku tak bersalah sama sekali. Aku menuntut kau menuliskan surat permohonan maaf supaya aku bisa menjelaskan alasan keterlambatanku di universitas.”Kedua penginterogasi itu tersenyum meremehkan. “Wah, kami tak pernah melakukan hal seperti itu,” kata sang Kepala, mengembuskan asap rokoknya.“Kalau begitu jadikan ini sebagai preseden.”“Tak perlu. kami cukup yakin kau akan menuruti keinginan kami.” Sang Kepala meniupkan segulung besar asap ke muka Tn. Chiu.Cukup dengan memiringkan kepalanya, sang Kepala memerintahkan dua penjaga melangkah maju dan mencengkeram lengan si kriminal. Semntara Tn. Chiu terus berkata, “Akan kulaporkan kalian ke Pemerintah Provinsi. Kau harus mendapat ganjaran! Kalian lebih buruk daripada Kempetai[i].”Mereka menyeretnya keluar ruangan. Sesudah makan jatah malam, yang terdiri dari semangkuk bubur jawawut, roti jagung, sepotong acar lobak, Tn. Chiu mulai kena demam, menggigil kedinginan dan basah kuyup oleh keringat. Ia tahu api amarah telah membakar livernya dan penyakitnya mungkin kambuh. Tak ada obat tersedia, karena kopornya ditinggalkan bersama istrinya. Biasanya, di rumah, ini waktunya duduk di kursi depan TV berwarna mereka, minum teh melati dan menonton berita malam. Ia kesepian di sini. Bohlam jingga di atas ranjang tunggal menjadi satu-satunya sumber cahaya, yang membuat penjaga bisa memantaunya pada malam hari. Beberapa saat yang lalu dia meminta kepada mereka koran atau majalah untuk baca-baca, tapi mereka menolaknya.Lewat celah kecil di pintu terdengar suara-suara. Tampaknya polisi piket sedang main kartu atau catur di kantor sebelah; teriakan dan suara tawa sesekali terdengar. Sementara itu, suara harmonika terputus-putus dari ujung terpencil di gedung itu. Memandangi bolpoin dan kertas surat yang ditinggalkan untuknya oleh penjaga saat mereka membawanya kembali dari Biro Interogasi, Tn. Chiu teringat pepatah lama, “Manakala seorang sarjana berdebat dengan para tentara, semakin lama dia berargumen, makin tak keruan maksud pembicaraannya.” Betapa konyolnya kejadian ini. Dia menyugar rambut tebalnya.Ia merasa sengsara, terus memijat-mijat perutnya. Sejujurnya, dia lebih merasa jengkel daripada takut, karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya begitu sampai rumah – sebuah makalah harus sudah dicetak minggu depan, dan dua lusin buku harus dibacanya untuk kuliah yang diajarkannya di musim gugur.Bayangan manusia melintasi celah pintu. Tn. Chiu bergegas ke arah pintu dan berteriak lewat lubang, “Kamerad penjaga, Kamerad penjaga!”“Apa maumu?” sebuah suara garau menimpali.“Kabarilah atasanmu, aku sakit berat. Aku punya penyakit hati dan hepatitis. Aku bisa mati jika kau menyekapku tanpa obat-obatan.”“Tak ada ketua yang bertugas di akhirpekan. Kau harus menunggu hingga Senin.”“Apa? maksudmu, aku di sini sampai besok?”“Ya.”“Markasmu ini akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa denganku.”“Kami mengerti. Tenanglah, kau takkan mati.”Tak masuk akal bahwasannya Tn. Chiu tidur cukup nyenyak malam itu, meskipun lampu di atas kepalanya menyala terus sepanjang waktu dan tikar jerami itu begitu keras dan banyak kepindingnya. Ia takut kutu anjing, nyamuk, kecoa – segala macam serangga kecuali kepinding dan bangsat. Sekali waktu, di daerah pedesaan, di mana para dosen dan staf fakultas membantu petani panen selama seminggu, para koleganya bikin lelucon perihal dagingnya, kepinding tidak doyan karena tak berasa seperti daging manusia. Kecuali dirinya, mereka menderita kena gigit ratusan kali.Yang lebih menakjubkan, ia tak begitu kangen istrinya. Ia bahkan menikamti tidur sendirin, mungkin karena bulanmadunya sedemikian menguras tenaganya dan dia butuh lebih banyak istirahat.Halaman belakang sepi pada Minggu pagi. Sinar matahari yang pucat menerobos dahan-dahan cemara. Beberapa burung pipit berlompatan di tanah, mematuki ulatbulu dan kumbang. Sambil memegangi terali baja, Tn. Chiu menghirup udara pagi, yang menguarkan bau daging. Pasti ada kedai atau penjual daging matang di dekat-dekat sini. Ia mengingatkan diri sendiri, dia harus menyikapi penahanan ini dengan tenang. Satu kalimat yang dituliskan Ketua Mao untuk teman yang sedang diopname muncul di benaknya: “Karena kau telanjur di sini, jalanilah saja dan manfaatkan sebaik mungkin.”Hasratnya untuk ketenangan pikiran ditimbulkan oleh ketakutan bahwa hepatitisnya makin memburuk. Dia berusaha tetap tegar. bagaimanapun, dia yakin livernya sudah membengkak, karena demamnya tetap tinggi. Selama seharian penuh di tempat tidur, ian memikirkan makalahnya tentang sifat alamiah kontradiksi. Berkali-kali dia diselimuti kemarahan, mengutuki dengan suara keras, “Gerombolan bajingan!” Dia bersumpah, begitu keluar dia akan menulis artikel tentang pengalamannya. Ia harus mencari tahu nama-nama para polisi itu.Ternyata seharian itu lebih banyak senyapnya; dia yakin bahwa universitasnya akan mengirim orang untuk menyelamatkannya. Yang harus dilakukannya sekarang ini adalah tetap tenang dan sabar menunggu. Cepat atau lambat polisi akan membebaskannya, meskipun mereka tak akan pernah menduga bahwa mungkin dia akan menolak pergi kecuali mereka menulis surat permintaan maaf. Berandal-berandal terkutuk, mereka sudah melampaui batas! Saat dia terbangun pada Senin pagi, cuaca sudah crah. Di suatu tempat, ada seorang lelaki mengerang; bunyinya dari halaman belakang. Setelah menguap lama, dan menyepak selimut compang-camping, Tn. Chiu bangkit dari ranjang dan mendekat ke jendela. Di tengah halaman, seorang pemuda diikatkan ke pohon cemara, pergelangan tangannya terborgol dari belakang dan dikaitkan ke batang pohon. Ia menggeliat-geliat dan menyumpah-serapahi dengan suara keras, tapi tak ada orang lain di lapangan. Samar-samar pemuda itu tampak familiar bagi Tn. Chiu.Tn. Chiu memicingkan matanya untuk bisa memandang lebih tajam. Dengan rasa heran, dia mengenali pria itu, dia Fenjin, lulusan anyar Jurusan Hukum di Universitas Harbin. Dua tahun lalu Tn. Chiu mengajar kuliah tetang materialisme Marxis, yang diikuti Fenjin. Kini, bagaimana bisa si pria muda itu terdampar di sini?Lalu terbetik di benaknya, pastilah Fenjin yang dikirim oleh istrinya. Dasar perempuan bodoh! Kutu buku, tahunya baca novel-novel asing! Dia berharap istrinya menghubungi Bagian Keamanan universitas, yang pasti akan mengirim kadernya ke sini. Fenjin tak punya jabatan resmi; dia hanya pegawai firma hukum swasta dengan hanya dua pengacara; nyatanya, bisnis mereka sepi kecuali untuk kerja detektif bagi pria-wanita yang mencurigai pasangannya berselingkuh. Tn. Chiu diliputi gelombang rasa muak.Haruskah dia berteriak supaya mahasiswanya itu tahu dia ada di dekatnya? Dia putuskan tidak, karena dia tak tahu kejadiannya secara pasti. Fenjin pasti cekcok dengan polisi hingga harus dihukum seperti itu. Namun, itu pasti takkan terjadi jika bukan karena Fenjin datang untuk menolongnya. Jadi, apa pun hasilnya, Tn. Chiu harus melakukan sesuatu. Namun, dia harus bagaimana?Hari ini akan terik sekali cuacanya. Dia bisa lihat larik cahaya keunguan berkilauan dan menaik di antara pohon-pohon cemaara itu. Pemuda yang malang, pikirnya, saat mengangkat semangkuk sup jagung kental ke mulutnya, menyesapnya, dan mengggigit sepotong asinan seledri.Ketika penjaga datang mengambil mangkuk dan sumpit, Tn. Chiu bertanya, apa yang terjadi kepada pria di halaman belakang. “Dia menyebut bos kami ‘bandit,’” kata penjaga. “Dia mengaku sebagai pengacara atau apalah. Bedebah songong.”Sekarang menjadi jelaslah bagi Tn. Chiu, dia harus melakukan sesuatu untuk menolong penolongnya. Sebelum dia terpikirkan bagaimana caranya, terdengar jeritan dari halaman belakang. Dia bergegas ke jendela dan melihat polisi jangkung tengah berdiri di depan Fenjin, ada ember besi di tanah. Ia pemuda yang sama yang menangkap Tn. Chiu di alun-alun dua hari yang lalu. Si polisi menjepit hidung Fenjin, lalu mengangkat tangganya, yang tetap tergantung di udara selama beberapa detik, lalu menampar si pengacara bolak-balik. Saat Fenjin mengerang, si polisi mengguyurkan air ke kepalanya.“Itu mencegahmu semaput kena panas, bocah. Akan kuguyur setiap jam sekali,” kata si polisi dengan keras.Mata Fenjin tetap terpejam, tapi muka masamnya menunjukkan bahwa dia berjuang menahan diri untuk tidak memaki si polisi, atau lebih tepatnya, dia tersedu dalam diam. Dia bersin, lalu mengangkat wajahnya dan berteriak, “Izinkan aku buang air.”“Oh begitu?” hardik si polisi. “Kencing saja di celana.”Tn. Chiu tetap diam tak mengeluarkan suara apa pun, mencengkam teralis baja dengan kedua tangannya hingga jari-jarinya memutih. Si polisi berbalik dan menoleh ke jendela sel; pistolnya, tersarungkan setengahnya, berkilauan terkena cahaya matahari. Dengan mendengus, dia meludahkan puntung rokoknya dan menindasnya jadi abu.Kemudian pintu terbuka dan penjaga mendorong Tn. Chiu keluar. Ia kembali dibawa ke lantai atas di Biro Interogasi.Orang di kantor itu masih sama, kali ini si pencatat hanya duduk dengan tangan kosong. Begitu Tn. Chiu muncul sang Kepala berkata, “Ah, kau rupanya. Silaakan duduk.”Sesudah Tn. Chiu duduk, sang Kepala mengibas-ibaskan kipas sutra putih sembari berkata, “Kau bisa bertemu pengacaramu. Dia seorang pemuda yang lancang, jadi bos kami meberinya pelajaran singkat di halaman belakang.”“Itu tindakan ilegal. Kau tak takut beritanya muncul di koran?”“Tidak, bahkan jikalau disiarkan TV sekali pun. Apalagi bisamu? Kami tak takut menghadapi cerita karanganmu yang mana pun. Kami menyebutnya fiksi. Yang kami inginkan adalah kerjasamamu dengan kami. Begitulah, kau harus mengakui kejahatanmu.”“Bagaimana jika aku menolak bekerjasama?”“Maka, pengacaramu melanjutkan pelajarannya di bawah terik matahari.”Rasa mau pingsan muncul sekilas, dan Tn. chiu mencengkam pegangan kursi untuk menegakkan diri. Rasa sakit yang kebas menyengatnya di atas perut dan membuatnya mual, dan kepalanya berdenyut. Ia yakin penyakit hepatitisnya akhirnya menyerangnya kembali. Amarah membakar dadanya; tenggorokannya merekat dan tersumbat.Sang Kepala melanjutkan, “Pada kenyataanya, kau bahkan tak perlu menulis kritik-dirimu. Kami telah menerangkan kejahatanmu dengan jelas di sini kemarin. Kami hanya butuh tandatanganmu.”Menahankan amarahnya, Tn. Chiu berkata, “Coba kulihat.”Dengan menyeringai, si muka-bagal menyerahinya selembar kertas, yang berisi pernyataan:Dengan ini, saya menyatakan mengakui bahwa pada 13 Juli telah mengganggu ketertiban umum di Stasiun KA Muji, dan bahwa saya menolak untuk patuh ketika poisi KA menyampaikan peringatan. Dus, sayalah yang bertanggung jawab atas penangkapan diri saya sendiri. Setelah dua hari penahanan, saya mafhum sifat alamiah reaksioner kejahatan saya. Mulai saat ini saya akan terus mengajari diri sendiri dengan sepenuh hati dan tak akan mengulang kejahatan yang sama lagi.Muncul sebuah suara protes di telinga Tn. Chiu, “Dusta, dusta!” Namun, digelengkannya kepalanya dan memaksa suara itu lenyap. Ia bertanya kepada Kepala, “Jika ini kutandatangani, kalian akan membebaskan kami berdua?”“Tentu saja, akan kami lakukan.” Sang Kepala menabuhkan jemarinya di atas map biru – berkas pribadinya bikinan mereka.Tn. Chiu menandatangani namanya dan mengecapkan sidik jari ke atas tanda tangannya.“Sekarang kalian bebas,” sang kepala berkata sambil tersenyum, dan mengangsurkan selembar kertas untuk mengelap jempolnya.Tn. Chiu begitu sakitnya hingga tak mampu berdiri dari kursi saat berusaha pertama kali. Lalu dia melipat gandakan upayanya dan perlahan berdiri. Dengan sempoyongan, ia keluar gedung untuk menemui pengacaranya di halaman belakang, lupa untuk meminta ikat pinggangnya kembali. Di dadanya terasa ada bom yang akan meledak. Jika mampu, dia akan membumihanguskan markas polisi itu dan membunuhi anggota keluarga mereka. Meskipun dia tahu bahwa tak bisa melakukan hal sedemikan, dia merencanakan sesuatu. “Maafkan aku soal penyiksaan ini , Fenjin,” Kata Tn. Chiu ketika mereka berjumpa.“Tak masalah. Mereka semua memang biadab.” Si pengacara menyeka sejumput tanah di jasnya dengan jari-jari gemeter. Air masih menetes dari ujung pantalonnya.“Ayo kita pergi sekarang,” kata si dosen.Pada saat keluar dari markas polisi, Tn. Chiu melihat ada penjual minuman teh. Dia menggenggam tangan Fenjin dan menghampiri seorang wanita tua di meja jualannya. “Dua mangkuk teh hitam,” katanya dan mengangsurkan uang kertas satu yuan.Sesudah mangkuk pertama, mereka tambah minuman masing-masing sekali lagi. Kemudian mereka menuju stasiun KA. Namun, belum lagi mereka berjalan sejauh 45 meter, Tn. ngotot ingin makan semangkuk sup jamur kuping di kedai makanan. Fenjin setuju. Ia berkata kepada dosennya, “Tak perlu mentraktirku seolah aku ini tamu.”“Tidak, aku sendiri lapar.”Seolah-olah sedang sekarat karena kelaparan, Tn. Chiu menyeret-nyeret pengacaranya dari restoran ke restoran di dekat kantor polisi, tetapi di setiap tempat dia hanya memesan dua mangkuk makanan. Fenjin mengira-ngira apa alasan dosennya itu tidak makan di satu tempat saja hingga kenyang.Tn. Chiu membeli mi, pangsit, bubur gandum, dan sup ayam, secara berurutan, di empat restoran. Selagi makan, dia terus berkata lewat giginya, “Andai saja aku bisa membunuh para bajingan itu!” Di tempat terakhir dia cuma mencicip beberapa seruput kuah sup tanpa mencicipi potongan ayam dan jamurnya.Fenjin tercengang oleh kelakuan dosennya, yang tampak kalap dan mengomel sendiri dengan misterius, dan yang wajah kekuningannya penuh kerut kehitaman. Untuk pertama kaliny Fenjin berpikir betapa jeleknya Tn. Chiu. Hanya butuh waktu sebulan lebih dari delapan ratus orang terpapar hepatitis akut di Kota Muji. Enam orang tewas karena penyakit itu, termasuk dua anak kecil. Tak seorang pun tahu bagaimana wabah itu bermula. ***
[i] Polisi Militer Jepang Ha Jin, penyair dan penulis novel dan cerpen Tionghoa-Amerika kontemporer bernama asli Jin Xuefei. Nama pena Ha diambilnya dari nama kota favoritnya, Harbin. Selama Revolusi Kebudayaan ia masuk Tentara Pembebasan Rakyat. Ia kuliah bahasa Inggris di Universitas Heilongjiang dan mendapat gelar master sastra Anglo-Amerika di Universitas Shandong. Ia memprotes kekerasan pemerintah Tiongkok terhadap demonstrasi Tiananmen 1989, dan memutuskan pindah ke AS dan menulis dalam bahasa Inggris “untuk menjaga integritas berkaryanya”. Beberapa cerpennya muncul dalam banyak bunga rampai The Best American Short Stories. Peraih banyak penghargaan sastra, di antaranya National Book Award, PEN, dan Flannery O’Connor Award. Novelnya War Trash, pada 2004, masuk lima besar Pulitzer Prize.Penyabot diterjemahkan dari Saboteur yang terdapat pada buku kumcer The Bridgeroom (Pantheon Books, 2000). Setting cerita ini adalah kota fiktif Muji yang sering jadi latar kisah-kisah karangannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan