Mimpi Buruk Carlos Fuentes - Cerpen Terjemahan

0
0
Deskripsi

 terjemahan cerpen karya  Hassan Blasim (Irak-Kanada)

 

 Di Irak, namanya adalah SALIM ABDUL HUSAIN, dia bekerja departemen kebersihan kotapraja, bagian dari satu kelompok yang ditugaskan oleh manajer untuk membersihkan lokasi pengeboman. Dia meninggal di Belanda pada 2009 dengan nama: Carlos Fuentes.

Merasa bosan dan jijik seperti biasanya di setiap harinya yang menyedihkan, Salim dan rekan-rekannya tengah menyapu jalan pasar setelah sebuah mobil tanker minyak meledak di dekat situ, menyingkirkan...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Man-Man - Cerpen Terjemahan
0
0
terjemahan cerpen karya V. S. Naipaul (Inggris-Karibia-India)  SEMUA ORANG DI JALAN MIGUEL bilang Man-man itu orang gila; jadi, mereka menjauhinya. Akan tetapi, sekarang aku tidak yakin bahwa ia sableng, dan aku bisa menyebutkan banyak orang yang lebih gila ketimbang Man-man.            Ia tidak tampak gila. Tinggi badannya sedang-sedang saja, kurus; dan tampangnya pun tidak buruk-buruk amat. Ia tidak pernah menatapmu sebagaimana biasanya seorang gila memandang; dan saat kau mengajaknya bicara, bisa dipastikan kau akan ditanggapinya dengan waras.            Namun, ia memang punya kelakuan-kelakuan ganjil.            Ia mengikuti setiap pemilu, untuk dewan kota atau dewan legislatif, dan kemudian akan menempelkan poster di sekujur distriknya. Semua poster itu dicetak. Isinya cuma kata ‘Pilihlah’ dan di bawahnya, foto Man-man.            Pada setiap pencoblosan, ia mendapat tiga suara. Itulah yang aku tidak paham. Man-man mencoblos dirinya sendiri, tetapi siapa lagi dua lainnya?            Aku tanyakan pada Hat.            Hat berkata, ‘Aku tidak bisa bilang, Nak. Itu sungguh sebuah misteri. Mungkin dua orang itu tukang guyon. Tapi guyonnya jadi garing kalau mereka melakukan hal yang sama berkali-kali. Mereka pasti sama miringnya.’            Dan untuk waktu yang lama pikiran tentang dua orang miring yang mencoblos untuk Man-man membayangi benakku. Setiap kali aku lihat orang yang berkelakuan aneh, aku menduga-duga, ‘Apakah dia yang memilih Man-man?’            Lama-lama kota ini penuh dengan orang yang berciri-ciri seperti dua orang misterius itu.            Man-man tidak pernah bekerja. Akan tetapi, ia tak bisa diam. Ia tersirep oleh kata, terutama kata tertulis, dan ia akan meghabiskan waktu sehari penuh menuliskan satu kata.            Pada suatu hari, aku bersua Man-man di pojok Jalan Miguel.            ‘Nak, kau mau ke mana?’ tanya Man-man.            ‘Aku mau ke sekolah,’ kataku.            Dan Man-man, menatapku lekat-lekat, berkata dengan nada mencibir, ‘Jadi kau bersekolah, eh?’            Aku langsung berkata, ‘Iya, aku mau ke sekolah.’ Dan aku tidak bermaksud untuk menirukan bahasa Inggris Man-man yang korek dan berlogat sangat Inggris.            Itu juga misteri lainnya tentang Man-man. Logatnya. Jika kau pejamkan mata selagi ia bicara, kau pasti yakin seorang Inggris-lah – seorang Inggris kelas atas yang tidak perlu berpikir terlebih dahulu perihal tatabahasa – yang sedang bicara kepadamu.            Man-man berkata, seolah sedang bicara kepada dirinya sendiri, ‘Jadi, anak kecil ini berangkat ke sekolah.’            Kemudian, ia melupakan aku, dan mengeluarkan sebatang panjang kapur dari sakunya dan mulai menulis di atas trotoar. Ia menuliskan huruf s yang sangat besar dengan bergaris luar dan kemudian mengarsir bagian dalamnya, lalu huruf e dan k dan o dan l dan a. Namun, ia mulai membuat beberapa huruf a, yang makin mengecil, sampai ia menulis huruf kursif, a demi a.            Saat aku pulang untuk makan siang, ia sudah mencapai Jalan Prancis, dan ia masih menuliskan deretan huruf a, menghapus salah tulis dengan secarik gombal.            Pada sore hari, ia sudah mengitari blok dan balik lagi ke Jalan.            Aku pulang, berganti baju dari seragam ke baju rumahan dan pergi ke jalan.            Ia sekarang sudah di tengah Jalan Miguel.            Ia berkata, ‘Jadi, anak kecil sudah bersekolah hari ini?’            Aku berkata, ‘Ya.’            Ia berdiri dan meluruskan punggung.            Lalu ia berjongkok kembali dan menggambar garis luar huruf H besar dan mengarsirnya dengan perlahan dan penuh cinta.            Saat selesai, ia bangkit dan berkata, ‘Kau selesaikan kerjamu. Kuselesaikan kerjaku.’            Atau yang seperti ini. Apabila kau mengatakan kepada Man-man bahwa kau mau menonton pertandingan kriket, ia akan menulis KRIKE dan kemudian akan berkonsentrasi pada deretan huruf T hingga kau melihatnya lagi.            Pada suatu malam, Man-man masuk ke sebuah kafé di ujung Jalan Miguel dan mulai menggonggong dan menggeram ke para pengunjung yang lagi duduk di bangku-bangku, seolah-olah dirinya seekor anjing. Pemiliknya, seorang Portugis berbadan besar dan tangannya berbulu lebat, berkata, ‘Man-man, keluar dari warung ini sebelum kamu aku pelintir.’            Man-man cuma ketawa.            Mereka mendepak Man-man.            Esok harinya, si pemilik mengetahui ada yang telah masuk ke kafé malam-malam dan membiarkan semua pintunya terbuka. Namun, tidak ada yang hilang.            Hat berkata, ‘Satu hal yang tak boleh kau lakukan ialah menyinggung Man-man. Dia mengingat semuanya.’            Pada malam itu, kafé itu dimasuki lagi dan semua pintunya terbuka lagi.            Malam berikutnya, kafé itu dimasuki lagi dan kali ini gumpalan-gumpalan kecil tahi ditaruh di atas setiap bangku dan meja dan dideretkan sepanjang konter.            Si pemilik kafé jadi bahan olok-olok penghuni jalan itu selama berminggu-minggu, dan butuh waktu lama untuk orang-orang mendatangi kafé itu lagi.            Hat berkata, ‘Seperti yang kubilang. Nak, aku tak mau berurusan dengan orang itu. Orang-orang kayak gini tidak beres otaknya, kau tahulah. Tuhan membikinnya seperti itu.’            Hal-hal begini yang membuat orang-orang menjauhi Man-man. Teman satu-satunya ialah seekor anjing kampung mungil, berbadan putih dengan belang-belang hitam di kedua telinganya. Anjing itu seperti Man-man juga. Anjing aneh. Tidak pernah menggonggong, tidak pernah menatapmu, dan apabila kau menatapnya, ia akan berpaling. Tidak pernah ia berteman dengan anjing-anjing lainnya, dan jika beberapa anjing berusaha akrab atau pun galak kepadanya, anjingnya Man-man akan memberi mereka tatapan sekilas yang tidak acuh dan berlalu dengan santainya, tanpa menoleh lagi.            Man-man mencintai anjingnya, dan anjing itu mencintai Man-man. Mereka berjodoh, dan Man-man tidak bisa hidup tanpa anjingnya.            Man-man tampaknya berlatih mengontrol gerakan isi perut anjingnya.            Hat berkata, ‘Itu sungguh bikin pusing. Aku tak pernah bisa paham.’            Semuanya berawal di Jalan Miguel.            Pada suatu pagi, beberapa wanita mendapati bahwa pakaian-pakaian yang telah mereka kelantang semalaman telah ternoda kotoran anjing. Tak seorang pun yang mau memakai kain-kain atau kemeja-kemeja itu setelahnya, dan saat Man-man berkunjung, semuanya memberikan pakaian-pakaian kotor itu.            Man-man menjualnya.            Hat berkata, ‘Yang seperti ini yang bikin aku heran, apakah dia sungguh-sungguh gila.’            Dari Jalan Miguel kelakuan Man-man tersebar, dan semua orang yang telah dijaili anjingnya Man-man cemas kalau-kalau orang lain juga mengalami hal yang sama.            Kami di Jalan Miguel jadi agak bangga dengannya.* Aku tidak tahu apakah penyebab Man-man berubah jadi baik. Mungkin kematian anjingnya punya peran. Anjing itu terlindas mobil, dan ia, kata Hat, hanya mencicit pendek sekali saja, dan sesudahnya diam.            Man-man luntang-lantung berhari-hari, tampak linglung dan hilang akal.            Ia tidak lagi menulisi trotoar dengan kata-kata; tidak lagi mengajak aku atau pun bocah-bocah lain di jalan ini. Ia mulai ngomong sendirian, menggerak-gerakkan tangan dan gemetaran seolah-olah ia sedang berdebat.            Kemudian, ia bilang bahwa ia habis melihat Tuhan sewaktu mandi.            Ini tidak mengejutkan bagi kami. Melihat Tuhan adalah peristiwa yang cukup lazim di Port of Spain dan, begitulah, di Trinidad pada waktu itu. Pandit Ganesh, seorang tabib sakti dari Fuente Grove, yang memulainya. Ia pun telah melihat Tuhan, dan menerbitkan sebuah buklet kecil berjudul Apa yang Disampaikan Tuhan Kepadaku. Banyak tabib mistik pesaingnya, dan tidak sedikit para tukang pijat, telah menyatakan hal yang sama, dan kukira wajar saja, toh Tuhan sering menampakkan diri di wilayah ini, kalau Man-man pun berjumpa dengan Dia.            Man-man mulai berkhotbah di pojok Jalan Miguel, di bawah bidai tokonya Mary. Ia melakukannya setiap Sabtu malam. Ia menumbuhkan jenggot dan mengenakan jubah putih panjang. Ia membawa Injil dan beberapa benda suci lainnya dan berdiri diterangi sebuah lampu karbid dan berkhotbah. Ia seorang penceramah yang mengesankan, dan ia berceramah dengan cara yang aneh. Ia membuat para wanita menangis, dan ia membuat orang seperti Hat sungguh cemas.            Biasanya ia memegang Injil dengan tangan kanannya dan menepuk-nepuknya dengan tangan kiri dan berkata dalam logat Inggris-nya yang sempurna, ‘Aku telah berbicara dengan Tuhan beberapa hari ini, dan apa yang dikatakannya kepadaku tentang kalian sungguh tak enak didengar. Akhir-akhir ini kalian mendengar para politikus yang mengatakan hendak membuat pulau ini makmur. Kalian tahu apa yang Tuhan katakan kepadaku tadi malam? Barusan semalam, sehabis aku selesai makan? Tuhan berkata, “Man-man, perhatikanlah orang-orang ini.” Ia tunjukkan kepadaku suami memakan istri dan istri memakan suami. Ia perlihatkan bapak memakan putranya dan ibu memakan putrinya. Ia tontonkan saudara memakan saudari dan saudari memakan saudara. Merekalah para politikus itu dan seperti itulah maksud perkataan mereka saat berkata hendak menjadikan pulau ini makmur. Tapi, para saudaraku, belum terlalu terlambat untuk kembali pada Tuhan.’            Aku mendapat mimpi buruk setiap Sabtu malam setelah mendengarkan khotbahnya Man-man. Akan tetapi, anehnya, semakin ia menakut-nakuti orang, semakin mereka berkerumun mendengar ia berkhotbah. Dan saat kotak amal diedarkan, mereka makin banyak menyumbang.            Pada hari-hari biasa ia berjalan-jalan saja, dalam jubah putihnya, dan ia meminta-minta makan. Ia berkata bahwa ia meengamalkan perintah Yesus dan telah menghibahkan semua harta bendanya. Dengan jenggot hitam panjangnya dan pandangan matanya yang dalam dan cerah, kau tidak bisa menolaknya. Ia tak lagi memperhatikan aku, dan tak pernah lagi menanyaiku, ‘Jadi, kau berangkat ke sekolah?’            Orang-orang di Jalan Miguel tidak tahu apa yang mengubahnya. Mereka berusaha menentramkan pikiran dengan mengatakan bahwa Man-man sudah teramat gila, tetapi, seperti halnya aku, kukira mereka tidak benar-benar yakin bahwa Man-man tidak sungguh-sungguh benar.            Apa yang berlaku selanjutnya sungguh tidak terduga.            Man-man mengumumkan dirinya sebagai Messiah baru.            Hat berkata pada suatu hari, ‘Kau sudah dengar kabar terbaru?’            Kami berkata, ‘Apa?’            ‘Soal Man-man. Ia bilang, ia akan disalibkan dalam waktu dekat-dekat ini.’            ‘Tak seorang pun yang mau dekat-dekat dia,’ kata Edward. ‘Semua orang takut sama dia sekarang.’            Hat menjelaskan. ‘Tidak, bukan begitu. Ia mau menyalib dirinya sendiri. Pada Jumat-Jumat depan, ia akan ke Blue Basin dan mengikatkan diri ke sebuah salib dan meminta orang-orang merajamnya.’            Seseorang – Errol, kukira – ketawa, tetapi begitu menyadari tidak ada yang ikut tertawa, ia jadi kelu.            Akan tetapi, melebihi keheranan dan kekhawatiran, kami punya kebanggan mengetahu bahwa Man-man berasal dari Jalan Miguel.            Pengumuman bertulisan tangan kecil-kecil mulai bermunculan di toko-toko dan kafé- kafé dan di gerbang-gerbang beberapa rumah, mengabarkan rencana penyaliban Man-man.            ‘Akan ada kerumunan besar di Blue Basin,’ terang Hat, dan menambahkan dengan bangga, ‘dan kudengar akan ada polisi juga.’            Pada hari itu, pagi-pagi sekali, sebelum toko-toko dan trem-trem mulai beroperasi di Jalan Raya Ariapita, kerumunan besar tercipta di pojok Jalan Miguel. Ada banyak para lelaki berpakaian hitam-hitam dan bahkan lebih bnayak lagi para wanita berpakain putih-putih. Mereka menyanyikan himne-himne. Ada pula sekitar duapuluh orang polisi, tetapi tidak ikut bernyanyi.            Saat Man-man muncul, ia tampak amat kerempeng dan amat murni, para wanita menangis dan berebutan menyentuh baju yang dipakainya. Para polisi bersiaga menghadapi apa pun.            Sebuah mobil van datang mengangkut sebuah salib kayu besar.            Hat, terlihat tidak senang dalam setelan jas keparnya, berkata, ‘Mereka bilang bahannya dari kayu tatal. Tidak berat. Ringan sekali.’            Edward berkata, dengan agak jengkel, ‘Memangnya penting? Jiwa dan semangatlah yang penting.’            Hat berkata, ‘Aku tidak akan bicara lagi.’            Beberapa orang mulai menggotong salib dari mobil untuk diberikan kepada Man-man, tetapi ia menghentikan mereka. Logat Inggrisnya terdengar mengesankan di pagi hari. ‘Jangan di sini. Nanti saja kalau sudah di Blue Basin.’            Hat kecewa.            Kami berjalan ke Blue Basin, air terjun di pegunungan di baratlaut Port of Spain, dan kami sampai dalam dua jam. Man-man mulai menggotong salib itu dari jalan, naik ke lintasan berbatu dan kemudian turun ke Basin.            Beberapa lelaki menegakkan salib itu, dan mengikatkan Man-man.            Man-man berkata, ‘Rajam aku, saudara.’            Para wanita terisak danmelontarkan sedikit pasir berkerikil ke kakinya.            Man-man merintih dan berkata, ‘Bapa, maafkan mereka. Mereka tak tahu apa yang sedang mereka perbuat.’ Lalu ia menjerit, ‘Rajam aku, saudara!’            Sebutir kerikil seukuran telur menghantam dadanya.            Man-man berteriak, ‘Rajam, rajam, RAJAM aku, saudara! Aku mengampuni kalian.’            Edward berkata, ‘Lelaki itu sungguh bernyali.’            Orang-orang mulai sungguh-sunguh melemparkan batu-batu besar ke arah Man-man, menyasar muka dan dadanya.            Man-man tampak kesakitan dan kaget. Ia berteriak, ‘Apa-apaanini? Kalian pikir, apa yang sedang kalian lakukan? Dengar, turunkan aku segera dari sini, cepat turunkan aku, dan akan aku hajar haram jadah yang melempariku.’            Dari tempat Edward dan Hat dan kami semua berdiri, jeritannya terdengar kesakitan sekali.            Sebuah batu yang lebih menghantam Man-man; para wanita melemparinya pasir dan kerikil.            Kami mendengar jeritan Man-man, jelas dan banter, ‘Hentikan ketololan ini. Hentikan, aku perintahkan. Aku tak mau melanjutkan taikucing ini, dengar, kalian.’ Dan kemudian ia mulai bersumpah serapah sedemikian kerasnya dan kasarnya, sampai-sampai orang-orang yang melempari berhenti karena terkesiap.            Para polisi membawa Man-man pergi.            Pihak berwenang menahannya untuk dirawat. Kemudian ia ditahan selamanya.*** Sir Vidiadhar Surajprasad Naipaul, penulis Inggris kelahiran Trinidad, pengarang lebih dari tigapuluh judul buku, baik fiksi maupun non-fiksi, termasuk catatan perjalanan. Kakeknya pindah dari India ke Trinidad untuk menjadi buruh perkebunan, ayahnya menjadi wartawan. Mendapat beasiswa bersekolah ke Inggris dan, setelah itu, mulai menulis selama lebih dari 50 tahun karier kepenulisannya. Dianugerahi Booker Prize pada 1971, gelar kesatria oleh kerajaan Inggris atas sumbangsihnya dalam kesusasteraan pada 1990, dan menerima Nobel Sastra pada 2001.Kisah Man-man termuat dalam kumpulan cerita pendek yang saling berkaitan Miguel Street, yang diterbitkan oleh Andre Deutsch pada 1959. Karakter Pandit Ganesh yang disinggung di cerpen ini adalah tokoh utama dalam Tabib Sakti, novel pertama Naipaul yang diterbitkan oleh Penerbit Basabasi pada Juni 2017 (diterjemahkan oleh David Setiawan).
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan