Keesokan harinya, Gina datang lebih awal ke ruang Instalasi Gizi. Meja di depannya sudah terisi berkas-berkas pasien yang harus dia cek dan evaluasi. Sebelum menyusun menu, Gina memutuskan untuk menemui Ibu Hesti, yang selalu memiliki pandangan yang lebih luas mengenai prosedur di rumah sakit. "Bu Hesti," sapa Gina sambil mengetuk pintu ruang kepala instalasi. "Iya, Gina. Ada apa?" jawab Ibu Hesti tanpa menoleh, sibuk dengan laptop di mejanya.
Gina mendekat dan duduk di depan meja Ibu Hesti. "Ada beberapa hal terkait menu pasien pasca-op kanker lambung yang perlu saya diskusikan. Terutama soal penyesuaian menu yang harus lebih bertahap."
Ibu Hesti mengangguk. "Kamu memang harus lebih hati-hati. Jangan sampai menu yang kamu buat malah memberi dampak buruk. Ingat, ini bukan hanya soal makan, tapi bagaimana kamu memperlakukan tubuh mereka untuk pemulihan." Gina menghela napas, memahami dengan baik tanggung jawab besar yang dia pikul. Setelah berbincang sebentar, Ibu Hesti memberinya arahan untuk langsung merancang menu dan melaporkannya.
Saat keluar dari ruangannya, Gina bertemu dengan Zidan yang sedang berjalan menuju ruangan konseling. Mereka saling menatap, ketegangan masih terasa. Gina tahu, meskipun sudah melalui rapat kemarin, konflik mereka belum berakhir.
"Jadi, menu apa yang kamu pilih untuk pasien kita kali ini?" tanya Zidan, suaranya datar.
Gina menatapnya sejenak. "Seperti biasa, saya akan membuat menu yang sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. Apakah ada yang ingin kamu ubah, dokter?" jawab Gina dengan nada sedikit menyindir.
Zidan hanya mengerutkan kening. "Kamu selalu cepat membuat keputusan tanpa memikirkan semua aspek medis, Gina. Itu masalahnya."
Gina menahan napas, merasa amarahnya mulai naik lagi. Tidak lagi, pikirnya. Saya tidak akan membiarkan dia mengatur semuanya. Dengan tegas, Gina menenangkan diri, berusaha menjaga sikap profesional. "Dokter ada waktu kosong? Gimana kalau kita diskusi lebih lanjut mengenai menu ini di ruangan dokter? Atau ada pasien yang mau konsultasi setelah ini?"
Zidan menatapnya dengan ekspresi datar, seakan-akan tidak ada yang penting. "Tidak ada, kita bisa ke ruangan saya sekarang," jawabnya singkat.
Mereka berdua pun berjalan ke ruangan Zidan. Sesampainya di sana, masing-masing duduk di kursi yang berlawanan. Gina membuka laptopnya, menampilkan rencana menu yang telah ia sesuaikan. "Ini, Dokter. Bisa dilihat rencana menu yang saya buat untuk pasien Pak Surya? Saya sudah menyesuaikannya sesuai hasil rapat kemarin."
Zidan memeriksa layar laptop Gina, sementara Gina menunggu dengan cemas. "Jadi, seperti yang kita bahas kemarin, saya mengurangi kadar lemak jenuh dan meningkatkan asupan protein untuk mempercepat proses penyembuhan pasca-operasi," jelas Gina. "Menu ini dirancang agar memenuhi kebutuhan energi pasien tanpa memberatkan sistem pencernaannya yang masih dalam proses pemulihan. Selain itu, saya juga menambahkan beberapa suplemen yang aman untuk mendukung kesehatan pencernaan."
Gina melanjutkan dengan lebih bersemangat, "Dan tentu saja, saya sudah mempertimbangkan pantangan makanan yang perlu dihindari, seperti makanan pedas atau berlemak yang bisa memperburuk kondisi lambung pasca-operasi. Jadi, semuanya sudah diperhitungkan dengan hati-hati."
Zidan masih fokus pada layar laptop, tidak memberikan komentar. Gina sedikit kesal, tapi berusaha menjaga kesabaran. "Mungkin bisa Anda beri masukan, dokter? Atau mungkin ada tambahan suplemen yang lebih spesifik yang bisa membantu proses pemulihan ini?"
Zidan akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Gina dengan serius, "Kalau hanya soal menu, saya rasa sudah sesuai. Tapi kamu tahu, kalau ada satu hal yang saya tidak bisa terima... itu adalah ketika seseorang merasa 'terlalu pintar' dalam hal yang bukan urusannya," ujarnya dengan nada dingin.
Setelah itu, Gina memaksakan senyum manis, meskipun hatinya sudah mulai mendidih. "Apa maksudnya, ya, Dokter? Mohon maaf kalau saya terkesan sok terlalu pintar, tapi mungkin bisa dijelaskan, maksudnya 'terlalu pintar dalam hal yang bukan urusannya' itu apa, ya? Maksudnya saya atau tembok di belakang saya?"
Zidan menatapnya tanpa ekspresi, seolah tidak ada yang perlu ditanggapi lebih lanjut. Namun, ada sedikit kilatan ketegangan di matanya. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Gina. Saya hanya mengingatkan agar kita tetap dalam jalur profesional."
Gina menahan napas, mencoba tetap tenang meskipun kata-kata Zidan sudah meresap ke dalam dirinya. "Baik, dokter. Saya paham. Tapi jika kita berbicara soal profesionalisme, saya rasa kita semua tahu bahwa setiap profesi punya peran masing-masing. Dokter memiliki kewenangan dalam hal medis, sementara ahli gizi—kami—memiliki kewenangan dalam hal gizi dan pemulihan pasien." Gina mencoba mengatur suaranya agar tetap terdengar tenang. "Jika ada ketidaksesuaian dalam menu atau intervensi gizi, saya rasa itu adalah bagian dari tanggung jawab saya untuk memberi saran, bukan?"
Zidan menghela napas, sedikit terlihat jengkel. "Saya tahu betul apa yang harus dilakukan. Tapi... terkadang, saran-saran seperti itu lebih baik jika disampaikan dengan cara yang lebih lembut."
Gina tersenyum sinis dalam hati, merasa terpojok. "Oh, tentu, dokter. Saya akan ingat untuk lebih lembut lagi," jawabnya, hampir tidak terdengar.
Mereka terdiam sejenak, masing-masing merenung dalam keheningan yang canggung, sampai akhirnya Gina membuka laptopnya lagi untuk memeriksa kembali menu yang telah disusun. "Saya akan mengupdate rencana ini sesuai dengan standar medis, dan kalau ada revisi lebih lanjut dari dokter, silakan beri tahu," kata Gina sambil menatap layar, berusaha mengalihkan perhatian dari ketegangan yang terasa semakin tebal.
Zidan hanya mengangguk pelan, masih merasa enggan untuk melanjutkan pembicaraan. "Baiklah, saya akan lihat dan beri komentar setelah ini."
Gina menghela napas lega. Setidaknya untuk saat ini, pertemuan ini berakhir tanpa pertengkaran lebih lanjut. Namun, ketegangan di antara mereka sudah semakin terasa—dan Gina tahu, ini baru permulaan. Setelah berbincang sebentar tentang permasalahan menu, Gina keluar dari ruangan dengan ekspresi jengkel. Dia berjalan cepat ke arah temannya yang sedang duduk di bangku panjang. “SAL! NAY!” panggil Gina dengan agak teriak, membuat Salsa dan Naya berbalik menengok ke arah gina.
Gina berjalan cepat ke arah mereka. “Eh, Gina? Lah? Dari ruangan dokter ganteng? Ngapain?” tanya Naya, sambil melirik Gina yang tampak kesal. Memang, meskipun sikap Zidan sangat ngeselin, nggak bisa dipungkiri bahwa dia adalah dokter yang paling ganteng di rumah sakit ini. Itulah kenapa banyak orang memanggilnya dengan sebutan ‘dokter ganteng.’
Salsa Ardani dan Naya Kencana adalah dua teman dekat Gina yang juga bekerja sebagai ahli gizi. Salsa bertanggung jawab atas bangsal Anggrek (penyakit dalam), sedangkan Naya mengelola bangsal Matahari (ibu hamil). Sebenarnya, masih ada satu teman lagi yaitu Ayla Safira. Ayla ini jarang sekali mereka temui, karena dia lebih sering berada di ruangan konsultasi gizi bersama Zidan. Ayla lebih suka menyendiri dan baru muncul saat jam pulang, terutama kalau ada Zidan di sekitar.
Setelah pertanyaan dari Naya, Salsa yang sudah paham situasi itu tertawa kecil. “Ada pasien pasca-operasi kanker lambung, trus kemarin rapat jadi ya gitu deh. Dokter ganteng sama Gina mesti kerja sama lagi.”
Naya mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati, Gin. Udah saling nggak suka, eh malah sering ketemu lagi. Jangan-jangan jatuh cinta, aww!” Naya berkata dengan nada bercanda, yang langsung membuat Salsa tertawa terbahak-bahak.
Gina mendengus dan menggulirkan matanya. “Suka banget ya kalian ngegodain aku,” jawabnya sambil tersenyum setengah malas. “Emang sih, si Zidan itu... ya, tau sendiri. Suka banget bikin pusing.”
“Yah, siapa tau kan? Cinta itu kadang datang dari musuh bebuyutan, kan?” Salsa menambahkan sambil menahan tawa. Gina menatap kedua temannya dan menggelengkan kepala. “Nggak ada waktu buat itu, deh. Mending urusin pasien daripada urusin perasaan.”
“Tapi Gin, siapa tau nanti di ruang pasien kamu jadi nggak bisa bedain mana menu, mana... hati?” Naya kembali menggoda dengan wajah polos, yang membuat Salsa tertawa semakin keras.
Gina hanya bisa mengangkat bahu dan kembali ke pekerjaan. “Yaudah deh, udah cukup, yuk! Jangan pada resek, udah ah aku mau balik ngecek pasien yang lainnya, dah ah byeeee” Gina pun berjalan meninggalkan kedua temannya itu yang masih tertawa puas, setelah itu Gina melakukan rutinitas pekerjaannya seperti biasa.
Gina menghela napas sambil memeriksa jam tangannya. Masih ada beberapa pasien yang perlu dia periksa. Meskipun baru saja selesai bercanda dengan Salsa dan Naya, hatinya masih agak kesal dengan sikap Zidan yang suka meremehkan pendapatnya. Tapi, tugasnya sebagai ahli gizi lebih penting sekarang. Saat Gina memasuki bangsal, dia langsung disambut oleh suara dering ponsel dan aktivitas pasien di sekitar. Begitu sampai di ruang Pak Surya, pasien pasca-operasi kanker lambung stadium 2 yang menjadi perhatian utama, Gina melihat sebuah pemandangan yang cukup membuatnya terkejut.
Di meja samping tempat tidur Pak Surya, terlihat beberapa piring penuh dengan makanan yang sangat tidak sesuai dengan rekomendasi diet pasca-operasi—terutama makanan berat dan berlemak yang sangat dilarang dalam kondisi pasien seperti Pak Surya. Terlihat nasi goreng, sate, dan bahkan sebotol air kelapa yang seharusnya dihindari untuk pasien yang sedang dalam proses pemulihan pasca-bedah.
Gina langsung berjalan ke arah mereka, dengan raut wajah yang sedikit kaget. "Bapak Surya, ini makanan apa, Pak? Saya sudah merekomendasikan menu yang sesuai dengan kondisi Anda, kenapa malah makan ini?" tanya Gina sambil menunjuk makanan yang terhidang.
Seorang perempuan yang tampaknya adalah istri Pak Surya segera menjawab dengan nada agak defensif, "Oh, ini masakan dari keluarga, Bu. Ada pepatah dari nenek moyang kami yang bilang kalau orang yang sakit, harus makan makanan yang 'panas' dan 'bertenaga' biar cepat sembuh. Kalau enggak, nanti malah 'dikejar setan' katanya."
Gina terdiam sejenak, berusaha menahan tawa sambil berpikir keras. “Dikejar setan? Maaf, Bu, tapi saya rasa kalau Bapak makan nasi goreng dengan sambal yang pedas dan ayam bakar ini, yang kejar malah asam lambung, bukan setan, loh.” Gina berusaha tetap sopan, meskipun sedikit kesal dengan kepercayaan yang tidak didasari oleh pengetahuan medis yang tepat.
"Saya paham, Bu, kalau ada tradisi dan kepercayaan dari keluarga. Tapi, berdasarkan prinsip medis, khususnya setelah operasi kanker lambung, Bapak harus menjaga pola makan dengan hati-hati. Kami di sini sudah menyusun diet khusus yang kaya akan protein dan rendah lemak, untuk membantu proses pemulihan jaringan setelah operasi. Makanan berat dan berlemak bisa menyebabkan masalah pencernaan, bahkan meningkatkan risiko komplikasi,” jelas Gina dengan sabar, meskipun ada rasa frustasi yang sudah mulai muncul. Istri Pak Surya tetap terlihat ragu. "Tapi, katanya kalau enggak makan yang 'bertenaga', nanti malah susah sembuh, Bu."
Gina mencoba memberi penjelasan medis yang lebih jelas. "Iya, Bu, saya mengerti bahwa makanan yang bergizi penting, tapi kami harus mengutamakan jenis makanan yang lebih mudah dicerna dan tidak memberatkan sistem pencernaan. Contohnya, kami menyarankan makanan yang lembut dan mudah diserap tubuh seperti kaldu ayam tanpa lemak, telur rebus, atau bahkan bubur ayam tanpa bumbu yang berlebihan."
Sambil menunggu reaksi, Gina berusaha tetap tersenyum, tetapi sedikit kelelahan mulai tampak di wajahnya. “Dan soal ‘setan,’ saya rasa lebih baik kita khawatirkan gejala pencernaan seperti mual atau bahkan sembelit, yang lebih mungkin terjadi kalau dietnya tidak sesuai. Saya jamin, Bapak lebih takut kolesterol tinggi daripada 'setan'!”
Tapi saat itu, istri Pak Surya malah tertawa kecil. “Hahaha, benar juga, Bu. Tapi tetap, itu harus ada yang panas-panas sedikit, supaya bisa cepat sembuh. Kalau enggak, nanti katanya badan jadi lemes, katanya sih gitu.”
Gina memutar bola matanya perlahan. "Iya, Bu, saya ngerti. Tapi yang lemes-lemes itu bukan karena kurang makan pedas, tapi karena tubuh Bapak butuh istirahat dan pemulihan, bukan malah kerja keras mencerna makanan berat. Kami ini, para ahli gizi, bukan hanya 'penyihir' yang bisa menghilangkan rasa sakit dengan resep yang asal-asalan. Kami pakai sains, Bu!" Setelah beberapa menit mencoba meyakinkan keluarga Pak Surya untuk mengikuti menu yang telah disarankan, akhirnya mereka setuju untuk memberikan kesempatan pada diet yang telah disusun oleh tim medis. "Oke deh, Bu, kami ikut, tapi kalau nanti Bapak masih kelihatan lemes, kami akan bawa makanan 'panas' lagi," kata istri Pak Surya sambil tersenyum lebar.
Gina mengangguk dan tersenyum, meski dalam hati masih merasa sedikit kesal dengan kebiasaan yang menganggap kepercayaan lebih kuat daripada ilmu medis. “Sesuai prosedur, Bu. Semoga Bapak cepat pulih ya, dan kalau ada keluhan, bisa segera dilaporkan ke saya. Saya akan siap bantu kapan saja.”
Saat Gina meninggalkan ruang Pak Surya, dia kembali teringat bagaimana banyaknya tantangan yang dihadapi dalam pekerjaannya sebagai ahli gizi. Kadang, rasanya lebih seperti menjadi pengacara untuk makanan sehat daripada seorang ahli gizi. Tapi, meskipun lelah, Gina tahu bahwa itu bagian dari tugasnya—untuk menyebarkan pengetahuan yang benar, meski harus melawan banyak mitos dan kepercayaan yang sudah lama beredar di masyarakat.
--
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰