SANTRI BUKAN MALAIKAT

11
12
Deskripsi

Sinopsis:

Dunia pesantren sering dianggap penuh dengan kesucian, kesempurnaan, dan tanpa cela. Namun, bagi Azzam, seorang santri kelas akhir di Pesantren Nurul Hikmah, kehidupan ini adalah perjalanan manusia biasa—penuh lika-liku, ujian, dan kesalahan.
Azzam bukanlah malaikat. Ia berjuang melawan dirinya sendiri: dari rasa iri terhadap teman-teman yang lebih alim, rasa malu akibat kegagalannya menghafal Al-Quran, hingga jatuh cinta pada seseorang yang tak seharusnya ia pikirkan.

Namun, pesantren bukan...

Prolog:

Malam itu, angin dingin berhembus menyapu dedaunan di halaman Pesantren Nurul Hikmah. Azzam duduk termenung di serambi masjid, Al-Quran terbuka di pangkuannya.
“Kau yakin bisa jadi hafidz dengan cara seperti ini, Zam?” tanya Shidiq, teman dekatnya, yang sudah menyelesaikan hafalan.
Azzam hanya tersenyum pahit. “Aku ini manusia, Diq, bukan malaikat.”

Kalimat itu menggema di benaknya saat sebuah peristiwa besar mengguncang pesantren, membawa Azzam ke dalam pusaran konflik yang menguji iman, keberanian, dan kesetiaannya. 

Bab 1: Langit Pesantren Nurul Hikmah

Azan subuh menggema dari menara masjid. Suaranya menggugah para santri yang terlelap di atas kasur tipis dan dingin, menyelinap di antara suara dengkuran yang tak mau kalah keras.

“Azzam! Bangun! Kau imam pagi ini!” teriak Shidiq sambil menarik selimut Azzam.

Azzam membuka matanya perlahan, masih berat. Semalam ia baru tidur pukul satu karena mengulang hafalan yang tak kunjung masuk ke kepalanya.

“Ah, kau saja, Diq. Aku lupa lagi surat terakhirku,” gumam Azzam dengan suara parau.

Shidiq mendengus, lalu menarik bahu Azzam hingga ia terduduk. “Kau santri senior, Zam. Kalau bukan kita, siapa lagi? Lagipula, kau harus belajar memimpin!”

Meski enggan, Azzam akhirnya bangkit. Dengan langkah gontai, ia menuju masjid, menyeberangi lapangan kecil yang masih diselimuti embun. Dalam hati ia mengulang-ulang surat An-Najm yang sudah ia hafal setengah-setengah.

Saat iqamah dikumandangkan, para santri berbaris rapi. Masjid Nurul Hikmah memang tak megah, tapi penuh dengan jiwa muda yang terus mencari ilmu. Azzam berdiri di depan saf, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat tangan.

“Allahu Akbar…”

Hafalan Azzam mengalir lancar di rakaat pertama. Namun, di rakaat kedua, pikirannya mulai mengembara—tentang hafalan yang belum selesai, tentang nilai ulangan fiqih yang buruk, bahkan tentang Laila, seorang santriwati yang sesekali ia lihat dari jauh.

Dan di sanalah ia tersangkut. Ia lupa ayat berikutnya.

Masjid hening. Para santri mulai saling menoleh, tetapi tak ada yang berani bersuara. Shidiq yang berada di saf pertama berdehem pelan, memberi isyarat. Azzam menunduk malu, menyelesaikan bacaan dengan ayat pendek.

Saat salam terakhir diucapkan, Azzam merasa seluruh masjid menatapnya dengan tatapan menghakimi.

“Imam macam apa kau ini, Zam?” cemooh Iqbal, salah satu santri yang terkenal pandai tetapi angkuh.

Azzam tak membalas. Ia tahu ini salahnya.

Setelah selesai wirid, Shidiq mendekati Azzam. “Sudah kubilang, Zam, jangan terlalu memikirkan hal lain. Fokuslah pada hafalanmu.”

“Tapi aku sudah mencoba, Diq,” balas Azzam lirih. “Sepertinya otakku tak seperti kalian. Hafalan ini seperti angin, datang dan pergi tanpa aku minta.”

Shidiq tersenyum simpul. “Mungkin kau lupa, kita ini santri, bukan malaikat. Belajar itu proses. Allah menilai usaha kita, bukan hasil akhirnya.”

Namun, ucapan Shidiq tak mengurangi beban di hati Azzam. Ia tahu bahwa menjadi santri bukan sekadar soal hafalan. Ada harapan besar dari keluarganya di rumah, ada nama baik pesantren yang harus dijaga.

Di tengah kekalutannya, sebuah kabar mengejutkan datang saat waktu dhuha. Salah satu ustaz senior ditemukan pingsan di kamarnya, dengan sepucuk surat misterius di tangannya. Surat itu menyimpan rahasia yang akan mengguncang Nurul Hikmah—dan kehidupan Azzam tak akan pernah sama lagi.

Bab 2: Rahasia di Balik Pintu

Riuh suara para santri memenuhi halaman depan asrama. Mereka berkerumun, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ustaz Haris, sosok yang selama ini menjadi pembimbing utama di pesantren, tiba-tiba pingsan di kamarnya.

Azzam dan Shidiq berdiri di tepi kerumunan. “Apa yang terjadi?” tanya Azzam, mencoba melihat ke dalam, tapi tubuh para santri terlalu rapat.

“Katanya, ustaz ditemukan memegang surat,” bisik Iqbal yang tiba-tiba muncul di sebelah mereka. Nada suaranya lebih seperti membicarakan gosip daripada sesuatu yang serius.

“Surat apa?” Shidiq bertanya.

Iqbal mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi katanya penting. Bahkan Kyai sendiri yang diminta datang.”

Mendengar itu, Azzam semakin gelisah. Ia melihat Kyai Ma’ruf, pemimpin pesantren, berjalan cepat menuju kamar Ustaz Haris, ditemani beberapa ustaz lain. Wajahnya serius, sorot matanya penuh kewaspadaan.

“Ini aneh,” gumam Azzam.

“Kenapa?” tanya Shidiq.

“Entahlah. Ustaz Haris itu orang yang paling tegar. Aku tidak bisa membayangkan dia sampai pingsan tanpa sebab.”

Siang itu suasana pesantren terasa tegang. Semua santri dipanggil berkumpul di aula utama. Kyai Ma’ruf berdiri di podium, wajahnya terlihat lelah namun tetap tegas.

“Anak-anakku sekalian, ada hal penting yang ingin saya sampaikan,” kata beliau membuka pertemuan.

Suasana hening. Para santri mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Pagi ini, Ustaz Haris ditemukan dalam kondisi lemah. Beliau sekarang sedang dirawat di klinik pesantren. Namun, yang menjadi perhatian utama kami adalah isi surat yang beliau tinggalkan.”

Para santri mulai saling berbisik, tapi suara Kyai Ma’ruf kembali memenuhi ruangan.

“Surat ini menyebutkan adanya seseorang di pesantren yang telah melanggar nilai-nilai yang kita junjung tinggi. Sesuatu yang bisa mencoreng nama baik Nurul Hikmah.”

Hati Azzam berdetak lebih cepat. Ia menatap Shidiq di sebelahnya, mencoba membaca reaksinya, tapi Shidiq tampak sama bingungnya.

Kyai Ma’ruf melanjutkan, “Saya tidak akan menyebutkan detailnya saat ini. Namun, kami sedang menyelidiki hal ini dengan sangat serius. Saya meminta kalian semua untuk tetap menjaga kedisiplinan, saling mengingatkan, dan tidak menyebarkan desas-desus yang belum tentu benar.”

Ucapan itu seolah membuat suasana semakin tegang. Azzam bisa merasakan tatapan-tatapan mencurigai yang mulai tersebar di ruangan itu.

Setelah pertemuan, Azzam kembali ke kamar dengan perasaan tidak tenang. “Apa maksud Kyai tadi? Seseorang di pesantren melanggar aturan? Apa yang mereka lakukan?” tanyanya kepada Shidiq.

Shidiq menggeleng. “Entahlah. Tapi aku yakin, ini bukan masalah kecil kalau sampai Kyai Ma’ruf turun tangan langsung.”

Malam itu, Azzam tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi berbagai dugaan. Apa mungkin ada santri yang berbuat sesuatu yang buruk? Atau mungkin ada ustaz yang menyimpan rahasia besar?

Saat ia hampir terlelap, suara ketukan pelan di jendela membuatnya tersentak. Dengan jantung berdegup kencang, ia bangkit dan membuka jendela perlahan.

Di luar, berdiri seorang santri yang ia kenal: Hamid, salah satu santri baru yang pendiam. Wajahnya pucat, matanya gelisah.

“Ada apa, Hamid?” bisik Azzam.

Hamid menunduk, lalu berkata dengan suara bergetar, “Kak, aku tahu siapa yang disebut dalam surat itu…”

Bab 3: Bayang-bayang Pengkhianatan

Azzam tertegun mendengar kata-kata Hamid. Tubuhnya membeku di tepi jendela, hanya suara jangkrik malam yang terdengar. “Apa maksudmu?” tanyanya, menatap santri muda itu dengan tajam.

Hamid menelan ludah, jelas terlihat ketakutan. “Aku… aku dengar sesuatu, Kak. Malam kemarin, saat aku sedang mengambil air wudu di sumur belakang, aku melihat seseorang… dan dia—”

“Dia apa?” Azzam mendesak, suaranya berbisik tapi tegas.

Hamid menggeleng, lalu melanjutkan dengan suara gemetar. “Dia masuk ke kantor Ustaz Haris. Diam-diam. Dan aku yakin dia membawa sesuatu keluar…”

Perasaan Azzam bercampur aduk—antara bingung, marah, dan penasaran. “Siapa yang kau lihat, Hamid?!”

Hamid terdiam. Bibirnya gemetar seolah menahan sesuatu yang berat untuk diucapkan. “Aku tak bisa bilang, Kak. Aku takut… kalau aku salah, aku akan dihukum. Tapi, Kak Azzam harus tahu… aku yakin ini berhubungan dengan surat itu.”

Azzam ingin bertanya lebih jauh, tapi Hamid buru-buru pergi, meninggalkan Azzam yang kini dihantui rasa curiga.

Pagi harinya, pesantren kembali ramai. Meski aktivitas belajar dan menghafal berjalan seperti biasa, Azzam merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Tatapan para santri penuh kecurigaan satu sama lain. Bahkan Iqbal, yang biasanya penuh percaya diri, terlihat lebih pendiam dari biasanya.

Sore itu, Azzam mendapati dirinya berjalan ke arah sumur belakang. Kata-kata Hamid terus terngiang di kepalanya. “Kenapa seseorang harus menyelinap ke kantor Ustaz Haris? Dan apa yang mereka cari?”

Saat ia tiba, tempat itu sepi. Hanya suara air mengalir dari keran kecil di dekat sumur. Namun, langkah kakinya berhenti ketika ia melihat sesuatu yang aneh: ada jejak sepatu di tanah basah yang menuju pintu belakang kantor Ustaz Haris.

Jantungnya berdegup kencang. Rasa penasaran mendorongnya untuk mengikuti jejak itu. Ia mendekat perlahan, memastikan tak ada orang yang melihatnya. Saat tiba di depan pintu, ia menyadari sesuatu—pintu itu sedikit terbuka.

“Apa ini?” bisiknya pada diri sendiri.

Dengan hati-hati, Azzam mendorong pintu. Ruangan itu gelap, hanya ada sedikit cahaya dari sela-sela jendela. Ia melangkah masuk, dan bau lembap langsung menyergap hidungnya. Di atas meja Ustaz Haris, ia melihat sebuah amplop cokelat besar dengan segel pesantren.

Tangan Azzam gemetar saat ia mendekati amplop itu. Tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, suara langkah kaki terdengar dari luar.

“Siapa di sana?!” suara berat terdengar, membuat Azzam tersentak.

Ia bergegas keluar lewat pintu belakang, napasnya tersengal-sengal. Tapi sebelum ia bisa kabur terlalu jauh, sebuah tangan besar menarik bahunya.

“Apa yang kau lakukan di sini, Azzam?”

Ia mendongak dan menemukan wajah serius Ustaz Khalid, salah satu pengawas pesantren. Wajahnya penuh kecurigaan.

“Saya… saya hanya ingin tahu apa yang terjadi, Ustaz,” jawab Azzam dengan suara bergetar.

Namun, tatapan Ustaz Khalid tak melunak. “Kau tahu ini masalah besar. Jika kau mencampuri urusan ini tanpa izin, kau bisa dihukum. Jadi, lebih baik kau jujur sekarang.”

Azzam terdiam. Ia tahu jika ia menceritakan tentang Hamid, itu akan membahayakan santri muda itu. Tapi jika ia diam, kebenaran tentang surat itu mungkin tidak akan pernah terungkap.

“Saya tidak melakukan apa-apa, Ustaz. Hanya penasaran saja,” jawabnya akhirnya.

Ustaz Khalid menghela napas panjang. “Kau ini santri senior, Azzam. Sudah seharusnya kau tahu mana batasan yang boleh dan tidak boleh kau langgar.”

Azzam menunduk, merasa malu sekaligus bingung.

“Dan satu lagi,” lanjut Ustaz Khalid. “Jangan coba-coba mencari tahu lebih jauh soal surat itu. Ini bukan urusanmu. Fokuslah pada hafalan dan ibadahmu. Mengerti?”

Azzam mengangguk pelan, meskipun hatinya tak setuju.

Malam harinya, saat semua santri sudah tertidur, Azzam duduk sendiri di serambi masjid. Ia menatap langit penuh bintang sambil memikirkan semua yang telah terjadi.

“Aku tahu ada sesuatu yang salah,” gumamnya pada diri sendiri. “Tapi kenapa semua orang begitu menutupinya? Apa yang sebenarnya terjadi di pesantren ini?”

Suaranya bergema di antara sunyi malam, dan dalam hati ia bersumpah. Apa pun yang terjadi, ia akan mencari tahu kebenarannya—meskipun itu berarti ia harus melanggar batas yang selama ini dijunjung tinggi.

Bab 4: Hafalan yang Terhapus

Pagi itu, Azzam duduk di serambi masjid dengan Al-Qur’an terbuka di depannya. Tapi pikirannya mengembara, jauh dari ayat-ayat yang seharusnya ia hafal. Bayangan Hamid, jejak kaki di sumur belakang, dan peringatan Ustaz Khalid terus berputar di benaknya.

“Zam,” suara Shidiq mengagetkannya. “Kau baik-baik saja?”

Azzam menutup Al-Qur’annya perlahan. “Aku merasa ada sesuatu yang salah, Diq. Tentang surat itu… tentang semuanya.”

Shidiq duduk di sebelahnya. “Aku tahu. Semua orang merasakan hal yang sama. Tapi kalau Kyai Ma’ruf sendiri bilang untuk tidak ikut campur, sebaiknya kita patuhi.”

Azzam menggeleng. “Tidak, Diq. Kalau ada yang salah di pesantren ini, kita harus tahu. Ini bukan cuma soal nama baik Nurul Hikmah, ini soal kebenaran.”

Shidiq menghela napas panjang. Ia tahu Azzam terlalu keras kepala untuk dihentikan.

“Apa rencanamu?” tanya Shidiq akhirnya.

“Aku ingin bicara lagi dengan Hamid,” jawab Azzam. “Dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu.”

Saat malam tiba, Azzam menunggu di belakang asrama. Angin dingin menyapu wajahnya, tapi ia tetap berdiri di sana, menunggu Hamid yang ia minta untuk bertemu.

Namun, waktu berlalu, dan Hamid tak kunjung muncul.

“Aneh,” gumam Azzam. Ia memutuskan untuk pergi ke kamar Hamid, tetapi saat ia tiba, ia melihat pintu kamar itu terkunci.

“Hamid?” panggilnya pelan, mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

Seorang santri junior lewat dan berhenti. “Hamid tidak ada di kamar, Kak. Katanya dipanggil ke kantor ustaz tadi sore.”

Jantung Azzam berdegup lebih cepat. “Kenapa?”

Santri itu mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi sejak itu, dia belum kembali.”

Khawatir, Azzam memutuskan untuk mencari tahu. Ia menyelinap ke kantor ustaz, memastikan semua orang sudah tertidur. Kantor itu gelap, hanya lampu temaram di sudut ruangan yang menyala.

Ketika ia mendekat, ia mendengar suara langkah kaki. Dengan cepat, Azzam bersembunyi di balik lemari besar. Dari celah sempit, ia melihat dua orang masuk ke ruangan.

Yang pertama adalah Ustaz Khalid. Tapi orang kedua membuat Azzam hampir kehilangan napas—Iqbal.

“Aku sudah bilang, jangan sampai ada yang tahu,” suara Ustaz Khalid terdengar dingin.

“Tenang, Ustaz. Hamid tidak tahu apa-apa,” jawab Iqbal, suaranya penuh keyakinan.

“Tapi dia curiga. Dan kau? Kau yakin tak ada satu pun santri lain yang tahu tentang ini?”

Iqbal terdiam sejenak sebelum menjawab. “Ada Azzam. Dia terlalu banyak bertanya.”

Azzam merasa tubuhnya membeku.

“Kita harus segera menyelesaikan ini. Kalau sampai Kyai tahu tentang surat itu dan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab, kita semua akan hancur.”

Ucapan Ustaz Khalid membuat Azzam semakin yakin: mereka menyembunyikan sesuatu yang besar.

Ketika keduanya pergi, Azzam keluar dari persembunyiannya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena kemarahan yang memuncak.

“Iqbal… jadi ini ulahnya,” gumamnya.

Namun, sebelum ia bisa memikirkan langkah selanjutnya, sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang.

Azzam terlonjak, dan ketika ia berbalik, ia melihat Hamid berdiri di sana, wajahnya pucat dan matanya penuh ketakutan.

“Kak Azzam… aku harus bicara. Sekarang,” katanya dengan suara bergetar.

Tanpa menunggu jawaban, Hamid menarik tangan Azzam, membawanya keluar dari kantor dan menuju ke halaman belakang pesantren.

“Apa yang terjadi, Hamid?” tanya Azzam.

Hamid menoleh, dan dengan air mata mulai

Bab 4 (Lanjutan): Pecahnya Rahasia

Hamid menoleh, dan dengan air mata mulai mengalir, ia berkata, “Kak, aku dengar semua yang terjadi. Aku ada di sana ketika Iqbal menyelinap ke kantor Ustaz Haris. Dia… dia mencuri sesuatu. Sesuatu yang penting.”

Azzam memegang bahu Hamid, mencoba menenangkan santri muda itu. “Apa yang dia ambil? Apa yang kau dengar?”

Hamid terisak, suaranya gemetar. “Dia mengambil dokumen keuangan pesantren, Kak. Aku dengar dia bicara dengan seseorang di telepon malam itu. Dia bilang kalau pesantren ini akan bangkrut kalau dokumen itu sampai ke tangan Kyai.”

Mata Azzam melebar. Dokumen keuangan? Apa hubungan itu dengan surat Ustaz Haris?

“Tapi ada hal lain, Kak…” Hamid melanjutkan dengan lirih. “Aku juga dengar kalau ada uang pesantren yang hilang. Jumlahnya banyak. Dan… dan aku dengar Ustaz Khalid terlibat.”

Azzam merasa jantungnya seperti berhenti. Tuduhan itu terlalu besar. Ustaz Khalid adalah sosok yang disegani, sekaligus pengawas keuangan pesantren.

“Kau yakin dengan semua ini, Hamid?” tanya Azzam dengan nada tegas.

Hamid mengangguk lemah. “Aku takut, Kak. Kalau aku bilang sesuatu, mereka pasti akan menyakitiku. Aku hanya ingin memberitahu Kak Azzam karena aku tahu Kakak pasti akan melakukan sesuatu.”

Malam itu, Azzam tak bisa tidur. Kata-kata Hamid terus terngiang di kepalanya. Iqbal mencuri dokumen. Ustaz Khalid terlibat. Uang pesantren hilang.

Jika semua itu benar, maka pesantren Nurul Hikmah berada dalam masalah besar. Tapi bagaimana ia bisa membuktikannya?

Azzam memutuskan untuk bertemu Shidiq. Di tengah malam, ia menyelinap ke kamar temannya dan membangunkannya perlahan.

“Diq, bangun,” bisiknya.

Shidiq membuka mata setengah sadar. “Ada apa? Kau tahu ini sudah hampir subuh, kan?”

Azzam menarik kursi, duduk di sebelah tempat tidur Shidiq. “Aku tahu siapa yang menyelinap ke kantor Ustaz Haris. Aku tahu siapa yang membuat surat itu.”

Ucapan itu membuat Shidiq terjaga sepenuhnya. “Apa maksudmu, Zam?”

Azzam menceritakan semuanya—dari pengakuan Hamid hingga apa yang ia dengar dari Ustaz Khalid dan Iqbal di kantor tadi malam. Wajah Shidiq berubah serius.

“Ini bukan masalah kecil, Zam,” kata Shidiq setelah mendengar penjelasan. “Kalau yang kau katakan benar, ini bisa menghancurkan pesantren.”

“Itulah kenapa aku butuh bantuanmu,” kata Azzam. “Kita harus menemukan dokumen itu. Jika Iqbal menyembunyikannya, kita harus mencarinya dan menyerahkannya langsung ke Kyai.”

Shidiq terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi kita harus hati-hati. Jika mereka tahu kita mencampuri urusan ini, mereka tidak akan tinggal diam.”

Keesokan harinya, Azzam dan Shidiq mulai mencari cara untuk menyusup ke kamar Iqbal. Namun, mereka tahu itu bukan hal yang mudah. Iqbal selalu berada di sekitar teman-temannya, dan dia bukan tipe orang yang lengah.

Saat waktu istirahat siang, Azzam melihat peluang. Iqbal sedang berbicara dengan beberapa santri di lapangan, jauh dari asramanya. Dengan cepat, Azzam dan Shidiq menuju kamar Iqbal, memastikan tak ada yang melihat mereka.

“Kau yakin dia menyembunyikannya di sini?” bisik Shidiq.

“Jika itu dokumen penting, dia pasti tidak akan meninggalkannya di tempat lain,” jawab Azzam.

Mereka mulai memeriksa setiap sudut kamar. Laci, tas, bahkan di bawah kasur. Tapi tak ada yang mencurigakan.

“Aku rasa tidak ada di sini, Zam,” kata Shidiq, mulai putus asa.

Namun, Azzam memperhatikan sesuatu. Sebuah kotak kecil di pojok lemari, hampir tersembunyi di balik tumpukan pakaian. Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu.

Di dalamnya, ia menemukan beberapa amplop cokelat dan selembar kertas yang terlihat seperti laporan keuangan.

“Apa ini?” tanya Shidiq, mengambil salah satu amplop.

Azzam membuka laporan itu dan membacanya dengan cepat. Wajahnya memucat.

“Ini… ini laporan palsu. Mereka memanipulasi keuangan pesantren,” katanya dengan nada panik.

Sebelum mereka bisa memproses apa yang baru saja mereka temukan, suara langkah kaki terdengar di luar kamar.

“Cepat, sembunyikan!” bisik Shidiq.

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pintu kamar terbuka, dan di sana berdiri Iqbal, dengan wajah marah yang penuh curiga.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya tajam, tatapannya seperti pisau.

Azzam memegang amplop di tangannya erat. Ia tahu, ini saatnya ia memilih—menghadapi risiko besar atau menyerah pada ketakutan.

Bab 5: Perangkap di Balik Pintu

Azzam dan Shidiq saling berpandangan. Detik terasa seperti menit ketika Iqbal melangkah masuk ke kamar, menutup pintu dengan pelan, dan menyilangkan tangannya.

“Jadi, kalian berdua mencoba menjadi detektif sekarang?” Suaranya rendah, tapi penuh ancaman.

Shidiq mencoba menenangkan diri. “Iqbal, kami hanya—”

“Kalian mencari sesuatu yang bukan urusan kalian,” potong Iqbal dengan dingin. Matanya tertuju pada amplop di tangan Azzam. “Dan aku yakin kalian tahu persis apa yang sedang kalian lakukan.”

Azzam tahu tidak ada jalan untuk mundur. Dengan tenang, ia berdiri tegak dan menatap Iqbal. “Kami hanya ingin mencari kebenaran, Iqbal. Dan sekarang, kami tahu semuanya.”

Iqbal tertawa kecil, tapi tawa itu tidak terdengar tulus. “Kalian pikir bisa mengubah sesuatu hanya dengan menemukan dokumen itu? Kau bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Kami tahu lebih dari cukup,” balas Azzam dengan suara tegas. “Uang pesantren dicuri, dan kau terlibat. Kami juga tahu Ustaz Khalid adalah dalang di balik semuanya.”

Mendengar itu, senyum di wajah Iqbal memudar. Ia mendekat ke Azzam, langkahnya berat dan mengintimidasi. “Kau pikir siapa yang akan mempercayai kalian, hah? Dua santri yang memata-matai, melanggar peraturan, dan mencuri barang dari kamar orang lain?”

Kata-katanya membuat Azzam tersentak. Iqbal benar—kalau ia melaporkan ini tanpa bukti yang cukup, mereka bisa saja berbalik dituduh sebagai pelaku.

Namun, Azzam tetap berdiri teguh. “Kami punya dokumen ini. Kyai Ma’ruf akan tahu mana yang benar.”

Mata Iqbal menyipit. Ia merogoh sesuatu dari saku bajunya, dan dengan cepat menarik sebuah ponsel. Ia mengetuk layar beberapa kali sebelum menunjukkannya kepada Azzam dan Shidiq.

“Lihat ini,” katanya dengan suara dingin.

Di layar ponsel itu, terlihat sebuah rekaman video. Azzam dan Shidiq ternganga saat mereka menyadari apa yang ada di dalamnya—rekaman mereka berdua menyelinap ke kamar Iqbal dan membuka laci-lacinya.

“Kalian pikir aku tidak tahu? Aku sudah menyiapkan ini sejak awal,” ujar Iqbal dengan nada puas. “Sekarang, jika kalian melangkah lebih jauh, video ini akan sampai ke semua ustaz. Kalian akan diusir dari pesantren sebelum sempat mengatakan apa-apa.”

Azzam dan Shidiq berjalan keluar kamar Iqbal dengan perasaan campur aduk—antara marah, takut, dan frustrasi. Mereka berhasil membawa keluar satu amplop, tapi risiko yang mereka hadapi kini jauh lebih besar.

“Dia sudah mempersiapkan segalanya, Zam,” kata Shidiq, suaranya penuh putus asa.

“Dia hanya ingin kita takut, Diq,” balas Azzam sambil menatap amplop yang kini tersembunyi di balik bajunya. “Tapi aku yakin Kyai akan mendengarkan kita. Kita harus bertindak sebelum mereka bergerak lebih jauh.”

Namun, sebelum mereka bisa membahas rencana selanjutnya, seorang santri mendekati mereka dengan wajah panik.

“Kak Azzam, Kak Shidiq, cepat ke aula utama! Ada masalah besar!”

Aula pesantren dipenuhi oleh para santri dan ustaz. Di tengah ruangan, Kyai Ma’ruf berdiri dengan wajah serius. Di depannya, berdiri Ustaz Khalid dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada kalian semua,” suara Kyai Ma’ruf menggema di ruangan itu. “Pagi ini, kami menemukan bukti adanya penyimpangan besar dalam pengelolaan keuangan pesantren.”

Azzam dan Shidiq saling berpandangan, terkejut. Mereka belum sempat melaporkan apa pun, jadi bagaimana Kyai Ma’ruf bisa tahu?

“Dan, berdasarkan penyelidikan kami,” lanjut Kyai Ma’ruf, “penyimpangan ini melibatkan salah satu ustaz di sini.”

Seluruh ruangan hening. Para santri saling berbisik, menatap Ustaz Khalid dengan tatapan curiga.

“Namun, sebelum saya mengambil tindakan lebih lanjut, saya

Bab 5 (Lanjutan): Tuduhan yang Berbalik

“Namun, sebelum saya mengambil tindakan lebih lanjut, saya ingin mendengar penjelasan langsung dari pihak yang bersangkutan,” ujar Kyai Ma’ruf, matanya tajam menatap Ustaz Khalid.

Ustaz Khalid menunduk, ekspresinya terlihat tenang, namun ada getar kecil di tangannya yang mencerminkan kegelisahan. “Saya tidak tahu apa yang sedang dibicarakan, Kyai. Jika ada bukti, tolong tunjukkan. Saya siap menjelaskan apa pun yang dibutuhkan.”

Kyai Ma’ruf mengangguk perlahan. “Kami menemukan sejumlah dokumen yang menunjukkan adanya dana pesantren yang tidak tercatat. Uang tersebut dialihkan ke rekening pribadi, dan penanggung jawab utama dari laporan keuangan ini adalah Anda.”

Azzam terkejut. Mereka bahkan belum sempat memberikan dokumen yang mereka temukan. Jadi siapa yang melaporkannya?

Saat Azzam mencari tahu apa yang sedang terjadi, pintu aula tiba-tiba terbuka. Semua mata tertuju ke sana, dan masuklah Iqbal dengan langkah percaya diri. Di tangannya, ia membawa sesuatu—sebuah map tebal.

“Izinkan saya, Kyai,” ujar Iqbal dengan nada penuh kepastian. “Saya rasa ada banyak hal yang perlu diluruskan.”

Iqbal berdiri di tengah aula, tepat di sebelah Ustaz Khalid. Ia membuka map itu dan mengeluarkan beberapa dokumen. Dengan sengaja, ia memegangnya tinggi agar semua orang dapat melihat.

“Saya tahu ada banyak fitnah yang beredar di pesantren ini. Dan sebagai pengurus pesantren, saya merasa bertanggung jawab untuk meluruskan segalanya. Dokumen ini adalah bukti bahwa dana yang dikatakan hilang sebenarnya digunakan untuk proyek pengembangan Nurul Hikmah di luar pesantren.”

Ia menyerahkan dokumen itu kepada Kyai Ma’ruf. Sang Kyai membacanya dengan seksama, alisnya sedikit mengernyit.

“Apa maksudmu, Iqbal?” tanya Kyai Ma’ruf.

Iqbal melanjutkan, “Dana ini digunakan untuk membeli tanah di desa sebelah, yang akan dijadikan lahan baru untuk pengembangan pesantren. Semuanya legal dan tercatat, meskipun mungkin beberapa orang salah paham karena proses administrasinya belum selesai.”

Ustaz Khalid mengangguk pelan. “Benar, Kyai. Saya sudah menyampaikan rencana ini kepada pihak manajemen, tapi mungkin ada keterlambatan komunikasi sehingga muncul kesalahpahaman.”

Bisik-bisik mulai terdengar di antara para santri. Suasana yang awalnya menegangkan mulai terasa mengarah ke pembelaan Ustaz Khalid.

Azzam, yang masih memegang amplop di balik bajunya, merasakan sesuatu yang janggal. Ia tahu ada kebohongan dalam penjelasan itu. Tapi bagaimana ia bisa membuktikannya?

Shidiq menyenggol lengannya dan berbisik, “Zam, kita harus bertindak sekarang.”

Azzam mengangguk. Ia melangkah maju ke tengah aula, menarik perhatian semua orang.

“Kyai, izinkan saya berbicara,” ucap Azzam dengan suara lantang.

Semua mata kini tertuju padanya. Kyai Ma’ruf mengangguk perlahan. “Silakan, Azzam.”

Azzam mengeluarkan amplop dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Kyai Ma’ruf. “Dokumen ini saya temukan di kamar Iqbal. Dokumen ini menunjukkan bahwa laporan keuangan yang mereka buat telah dimanipulasi.”

Suasana menjadi hening seketika. Wajah Iqbal memucat, dan ia melangkah maju dengan tergesa-gesa. “Apa maksudmu? Kau menyelinap ke kamarku?”

“Benar,” jawab Azzam tanpa ragu. “Saya tahu ini melanggar peraturan, tapi saya tidak punya pilihan lain. Saya yakin Anda menyembunyikan sesuatu, dan dokumen ini membuktikannya.”

Kyai Ma’ruf membuka amplop itu dan membaca dokumen di dalamnya. Raut wajahnya berubah serius. “Ini… laporan keuangan palsu,” gumamnya.

Iqbal kehilangan kata-kata. Ia mencoba mendekati Kyai Ma’ruf, tapi sang Kyai mengangkat tangannya, menghentikan langkah Iqbal.

“Jelaskan ini, Iqbal,” kata Kyai Ma’ruf dengan nada dingin.

Iqbal tergagap. “Itu… itu bukan milik saya. Azzam memfitnah saya! Dia yang menyelinap ke kamar saya dan membawa dokumen palsu untuk menjebak saya!”

Kebohongan Iqbal membuat Azzam semakin marah. “Iqbal, cukup! Kami juga punya saksi yang mendengar semuanya. Hamid tahu apa yang terjadi!”

Hamid, yang berdiri di belakang kerumunan, terkejut namanya disebut. Namun, dengan keberanian yang tersisa, ia maju ke depan.

“Kyai… semuanya benar. Saya mendengar Iqbal berbicara tentang dokumen itu. Dia juga bekerja sama dengan Ustaz Khalid untuk menyembunyikan semuanya.”

Kyai Ma’ruf memandang semua orang dengan tatapan tajam. Ia memanggil beberapa ustaz lain untuk segera memeriksa laporan keuangan secara lebih mendalam. Sementara itu, wajah Iqbal dan Ustaz Khalid semakin tegang.

“Akan ada penyelidikan menyeluruh terkait masalah ini,” ujar Kyai Ma’ruf akhirnya. “Dan jika ditemukan bukti lebih lanjut, siapa pun yang terlibat akan menghadapi konsekuensi berat.”

Iqbal mencoba membela diri, tapi tak ada yang mendengarkannya lagi. Untuk pertama kalinya, ia tampak kalah.

Azzam dan Shidiq menarik napas lega. Namun, di balik semua itu, Azzam tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Kebenaran mungkin telah terungkap, tapi intrik di pesantren ini masih jauh dari selesai.

Bersambung ke Bab 6: Bayang-Bayang Pengkhianatan 

Bab 6: Bayang-Bayang Pengkhianatan

Setelah pertemuan di aula, suasana pesantren berubah menjadi tegang. Para santri berbisik-bisik, membicarakan Iqbal dan Ustaz Khalid yang kini menjadi sorotan. Namun, di balik ketegangan itu, Azzam merasa ada sesuatu yang belum selesai.

Malam itu, di kamar asramanya, Azzam duduk bersama Shidiq dan Hamid. Mereka membahas apa yang telah terjadi, tapi Azzam merasa masih ada sesuatu yang janggal.

“Rasanya terlalu mudah,” ujar Azzam sambil memandang ke arah jendela. “Iqbal menyerahkan dokumen palsu, tapi dia masih punya nyali untuk masuk ke aula. Apa dia benar-benar yakin bisa lolos?”

Shidiq mengangkat bahu. “Mungkin dia hanya terlalu percaya diri.”

Hamid, yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. “Kak Azzam, aku rasa bukan hanya Iqbal yang harus kita waspadai.”

Keduanya menoleh ke Hamid. “Apa maksudmu?” tanya Azzam.

Hamid menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Aku pernah mendengar Ustaz Khalid berbicara dengan seseorang di telepon. Dia menyebutkan nama… Ustaz Haris.”

Pernyataan Hamid mengguncang Azzam. Ustaz Haris adalah sosok yang selama ini dikenal sangat disiplin dan tegas, namun juga dihormati oleh banyak santri. Jika dia terlibat, maka ini bukan hanya sekadar masalah keuangan.

“Hamid, kau yakin dengan apa yang kau dengar?” tanya Azzam serius.

Hamid mengangguk. “Aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan, tapi Ustaz Khalid bilang sesuatu tentang surat yang ada di kantor Ustaz Haris. Surat itu… katanya bisa membuat Kyai Ma’ruf kehilangan jabatannya.”

Azzam merasakan dingin menjalar di tubuhnya. Pesantren ini bukan hanya menghadapi masalah keuangan, tapi juga perebutan kekuasaan.

“Kita harus memastikan apa yang ada di surat itu,” kata Azzam akhirnya.

Shidiq menatapnya dengan kening berkerut. “Zam, itu berbahaya. Kalau Ustaz Haris benar-benar terlibat, kita melawan dua kekuatan besar di pesantren ini.”

“Tapi kita tidak bisa diam,” balas Azzam tegas. “Jika mereka berhasil menjatuhkan Kyai Ma’ruf, pesantren ini akan hancur.”

Malam berikutnya, Azzam dan Shidiq kembali menyusun rencana. Mereka tahu kantor Ustaz Haris adalah tempat yang paling aman di pesantren. Semua dokumen penting disimpan di sana, dan hanya Ustaz Haris yang memiliki kunci.

Namun, Hamid memberikan sebuah petunjuk penting. “Aku pernah melihat Ustaz Haris menyembunyikan kunci duplikat di belakang lemari buku. Mungkin itu bisa membantu kalian.”

Dengan informasi itu, Azzam dan Shidiq menunggu waktu yang tepat. Setelah semua santri tidur dan pesantren hening, mereka menyelinap keluar.

Mereka bergerak dengan hati-hati menuju kantor Ustaz Haris. Cahaya bulan yang samar membantu mereka melihat jalan, tapi jantung mereka berdebar kencang setiap kali mendengar suara langkah atau angin yang menerpa dedaunan.

Setibanya di kantor, Azzam mengarahkan senter kecil ke lemari buku. Setelah mencari beberapa saat, ia menemukan kunci yang dimaksud Hamid.

“Hamid benar,” bisik Azzam, memperlihatkan kunci itu kepada Shidiq.

Mereka membuka pintu kantor perlahan, dan udara dingin menyambut mereka. Ruangan itu gelap, tapi rapi. Di meja utama, terdapat tumpukan dokumen dan satu kotak besi kecil.

“Itu dia,” kata Azzam sambil menunjuk kotak itu.

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara langkah kaki terdengar dari luar. Mereka langsung bersembunyi di balik lemari, menahan napas.

Pintu kantor terbuka, dan masuklah Ustaz Haris dengan wajah serius. Ia membawa sebuah amplop tebal dan duduk di meja, membuka kotak besi itu, dan memasukkan amplop tersebut ke dalamnya.

Azzam dan Shidiq saling berpandangan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ustaz Haris kemudian mengambil teleponnya dan menelepon seseorang.

“Semua sudah siap,” katanya dengan suara pelan. “Besok, dokumen itu akan diserahkan ke pihak luar. Setelah itu, Kyai Ma’ruf tidak akan punya pilihan selain mengundurkan diri.”

Azzam menahan napas. Apa yang ia dengar benar-benar mengejutkan.

“Tapi pastikan Khalid diam,” lanjut Ustaz Haris. “Kalau dia mencoba macam-macam, kita harus siap mengorbankannya.”

Setelah percakapan selesai, Ustaz Haris keluar dari kantor, meninggalkan kotak besi itu terkunci. 

Bab 6 (Lanjutan): Rahasia yang Terbuka

Azzam dan Shidiq keluar dari persembunyian dengan tubuh gemetar. Percakapan Ustaz Haris barusan benar-benar membuka mata mereka. Ini bukan sekadar masalah keuangan—ini adalah konspirasi untuk menjatuhkan Kyai Ma’ruf dan merebut kendali pesantren.

“Kita harus ambil dokumen itu,” bisik Shidiq.

Azzam mengangguk. Tapi kotak besi itu terkunci, dan mereka tidak tahu bagaimana membukanya. Setelah memeriksa sekeliling, Azzam menemukan kunci kecil di laci meja Ustaz Haris.

“Kau yakin ini kuncinya?” tanya Shidiq ragu.

“Kita harus mencobanya,” jawab Azzam mantap.

Dengan hati-hati, Azzam memasukkan kunci itu ke lubang di kotak besi. Detik-detik yang terasa panjang akhirnya terhenti ketika kunci itu berhasil membuka kotak tersebut. Di dalamnya, terdapat amplop tebal dan beberapa dokumen lain.

Azzam mengambil amplop itu dan membukanya. Ia membaca dengan cepat, dan wajahnya semakin pucat.

“Shidiq, ini gila…” gumam Azzam.

Di dalam amplop itu, terdapat bukti transfer uang yang menunjukkan bahwa Ustaz Haris dan Ustaz Khalid bekerja sama dengan pihak luar—sebuah perusahaan besar yang berencana membeli lahan pesantren untuk dijadikan proyek komersial.

“Mereka ingin menjual pesantren ini,” lanjut Azzam dengan suara penuh amarah. “Ini semua tentang uang. Kyai Ma’ruf adalah penghalang mereka, jadi mereka mencoba menjatuhkannya.”

Shidiq mengepalkan tangannya. “Kita harus menyerahkan ini ke Kyai sekarang juga.”

Namun, sebelum mereka bisa melangkah keluar, suara langkah kaki terdengar lagi. Kali ini, langkah itu terdengar terburu-buru.

“Cepat, sembunyi!” bisik Azzam.

Mereka kembali bersembunyi di balik lemari, dengan dokumen di tangan. Pintu kantor terbuka dengan kasar, dan masuklah Iqbal. Wajahnya tampak tegang, dan ia langsung menuju ke kotak besi.

Iqbal membuka kotak itu, lalu membeku ketika menyadari bahwa amplop yang ia cari telah hilang.

“Tidak mungkin!” desisnya. Ia menggeledah kotak itu, tetapi tetap tidak menemukan apa pun.

Azzam tahu mereka tidak bisa menunggu lebih lama. Dengan keberanian yang tersisa, ia keluar dari tempat persembunyian dan menghadapkan diri kepada Iqbal.

“Apa yang kau cari, Iqbal?” tanyanya dengan nada tegas.

Iqbal terkejut, tapi ekspresinya segera berubah menjadi marah. “Kau! Kembalikan apa pun yang kau ambil!”

Shidiq muncul dari belakang, berdiri di sisi Azzam. “Kami tahu semuanya, Iqbal. Tentang kau, Ustaz Khalid, dan Ustaz Haris. Kalian berencana menjual pesantren ini untuk keuntungan pribadi.”

Iqbal tertawa sinis. “Kau pikir hanya dengan dokumen itu, kau bisa menghentikan kami? Tidak ada yang akan mempercayai dua anak ingusan seperti kalian.”

“Tapi Kyai Ma’ruf akan mempercayainya,” balas Azzam. “Dan aku yakin, setelah ini, tidak akan ada tempat untuk orang-orang seperti kalian di pesantren ini.”

Iqbal maju, mencoba merebut dokumen dari tangan Azzam. Tapi Azzam sigap menghindar, dan dalam sekejap, suara pintu lain terbuka.

Di pintu itu, berdiri Kyai Ma’ruf, bersama beberapa ustaz senior. Wajah mereka penuh keterkejutan melihat Iqbal dan dua santri di dalam kantor Ustaz Haris.

“Iqbal! Apa yang kau lakukan di sini?” suara Kyai Ma’ruf menggema.

Iqbal membeku, kehilangan kata-kata. Azzam segera melangkah maju dan menyerahkan dokumen itu kepada Kyai Ma’ruf.

“Kyai, ini semua bukti tentang apa yang terjadi. Iqbal, Ustaz Khalid, dan Ustaz Haris berencana menjual pesantren ini kepada pihak luar.”

Kyai Ma’ruf membaca dokumen itu dengan raut wajah yang semakin serius. Para ustaz yang bersamanya pun ikut membaca, dan salah satu dari mereka berseru, “Ini tak bisa dimaafkan!”

Iqbal mencoba membela diri. “Kyai, ini semua fitnah! Mereka hanya mencari masalah. Mereka bahkan menyelinap ke kantor ini tanpa izin!”

Namun, sebelum Iqbal bisa melanjutkan, salah satu ustaz senior berbicara. “Cukup, Iqbal! Semua bukti ada di sini. Kau tidak bisa mengelak lagi.”

Pagi berikutnya, pengumuman besar dibuat di pesantren. Ustaz Khalid, Ustaz Haris, dan Iqbal resmi dinonaktifkan dan akan menjalani investigasi lebih lanjut. Kebenaran yang terungkap menghancurkan rencana mereka, tapi Azzam tahu ini hanyalah awal dari perjuangan menjaga pesantren tetap berada di jalur yang benar.

Meskipun merasa lega, Azzam dan Shidiq kini menyadari bahwa mereka harus lebih berhati-hati. Karena di balik setiap tembok pesantren, selalu ada bayang-bayang pengkhianatan yang menunggu kesempatan untuk muncul kembali.

Bersambung ke Bab 7: Cahaya di Tengah Gelap 

Bab 7: Cahaya di Tengah Gelap

Pengusiran Iqbal, Ustaz Khalid, dan Ustaz Haris menjadi topik utama di pesantren. Para santri, ustaz, hingga staf pesantren sibuk membicarakan kejadian besar itu. Meskipun suasana sedikit lebih tenang, Azzam merasa perjuangannya belum selesai.

Hari itu, Azzam dipanggil ke ruang Kyai Ma’ruf. Ia melangkah dengan gugup, bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Shidiq dan Hamid ikut menemani, meskipun tidak dipanggil secara langsung.

Sesampainya di sana, Kyai Ma’ruf menyambut mereka dengan senyum tipis. Namun, di balik senyumnya, ada guratan lelah yang terlihat jelas.

“Azzam, Shidiq, Hamid… Saya mendengar apa yang kalian lakukan untuk pesantren ini,” ucap Kyai, suaranya berat namun penuh rasa syukur. “Saya sangat berterima kasih. Tanpa keberanian kalian, mungkin kebenaran tidak akan pernah terungkap.”

“Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan, Kyai,” jawab Azzam dengan nada rendah.

Kyai Ma’ruf mengangguk. “Namun, kalian juga harus tahu, apa yang kalian lakukan bukan tanpa risiko. Pesantren ini masih belum sepenuhnya bersih dari masalah. Ada pihak-pihak di luar sana yang tidak akan diam melihat rencana mereka digagalkan.”

Shidiq menyahut, “Kyai, apakah pihak luar itu… perusahaan yang disebutkan dalam dokumen?”

Kyai Ma’ruf menghela napas panjang. “Benar. Perusahaan itu sudah lama mengincar tanah pesantren ini. Mereka menawarkan harga tinggi, bahkan mencoba memanipulasi beberapa ustaz untuk mendukung mereka.”

Azzam mengepalkan tangannya. “Apa yang bisa kami lakukan, Kyai? Kami tidak ingin pesantren ini jatuh ke tangan mereka.”

Kyai tersenyum tipis. “Kalian sudah melakukan banyak hal. Tapi kali ini, biarkan saya dan para pengurus pesantren yang menanganinya. Saya hanya meminta satu hal dari kalian—tetaplah menjadi teladan bagi teman-teman kalian. Kalian adalah harapan generasi berikutnya.”

Namun, di balik pertemuan itu, masalah baru mulai muncul. Pesantren tiba-tiba kedatangan tamu dari sebuah firma hukum yang mengaku mewakili perusahaan besar tersebut. Mereka datang dengan ancaman—menggugat pesantren atas dasar pengingkaran kontrak.

Kyai Ma’ruf memimpin pertemuan darurat dengan para pengurus pesantren untuk membahas masalah itu. Azzam dan Shidiq, yang mendengar kabar tersebut dari Hamid, kembali merasa gelisah.

“Mereka belum menyerah,” gumam Shidiq sambil menatap Azzam.

Azzam mengangguk. “Mereka mencoba cara lain. Kalau kita tidak hati-hati, pesantren ini bisa kalah.”

Di malam yang sama, Azzam menerima pesan rahasia dari salah satu ustaz yang dikenal dekat dengan Kyai Ma’ruf. Pesan itu berbunyi:

“Azzam, ada seseorang yang harus kau temui. Dia bisa membantumu menyelamatkan pesantren ini. Temui aku di ruang administrasi setelah Isya.”

Usai shalat Isya, Azzam menyelinap ke ruang administrasi seperti yang diminta. Di sana, ia menemukan Ustaz Rahmat, salah satu pengurus senior yang dikenal bijak namun jarang terlihat aktif dalam konflik pesantren.

“Ustaz Rahmat, Anda yang mengirimkan pesan ini?” tanya Azzam.

Ustaz Rahmat mengangguk. “Benar. Azzam, ada sesuatu yang harus kau ketahui. Masalah ini tidak hanya melibatkan pesantren, tetapi juga nama baik Kyai Ma’ruf. Perusahaan itu memiliki bukti yang bisa menghancurkan reputasinya.”

“Bukti apa?” tanya Azzam dengan kening berkerut.

“Mereka memiliki dokumen palsu yang menunjukkan seolah-olah Kyai Ma’ruf pernah menandatangani kesepakatan awal dengan perusahaan itu. Jika dokumen ini sampai ke pengadilan, pesantren bisa kalah.”

Azzam merasa kepalanya berputar. “Jadi, apa yang harus saya lakukan?”

“Ada seseorang di luar sana yang tahu tentang pemalsuan ini,” jawab Ustaz Rahmat. “Dia adalah mantan karyawan perusahaan tersebut yang keluar setelah mengetahui niat buruk mereka. Tapi sekarang dia hidup dalam bayang-bayang karena takut akan ancaman mereka.”

Azzam menatap Ustaz Rahmat dengan tekad. “Di mana saya bisa menemukannya?”

Pencarian ini membawa Azzam ke sebuah desa kecil di pinggir kota. Bersama Shidiq dan Hamid, ia menemui orang yang dimaksud—seorang pria bernama Pak Salman.

Pak Salman awalnya enggan berbicara. Wajahnya dipenuhi rasa takut, dan ia terus melihat ke sekeliling seolah-olah ada yang mengawasinya. Namun, setelah diyakinkan oleh ketulusan Azzam, ia mulai membuka diri.

“Saya tahu perusahaan itu tidak akan menyerah,” ujar Pak Salman dengan nada lirih. “Mereka memalsukan dokumen dan menyuap banyak orang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

“Pak Salman, kami butuh bukti,” desak Azzam. “Kami harus melindungi pesantren kami.”

Pak Salman ragu sejenak, tapi akhirnya ia masuk ke dalam rumahnya dan kembali dengan sebuah map kecil. “Ini semua yang saya punya. Ada salinan dokumen asli dan catatan pembayaran kepada pihak-pihak yang terlibat.”

Azzam menerima map itu dengan penuh syukur. “Terima kasih, Pak Salman. Kami akan memastikan kebenaran ini terungkap.”

Namun, perjalanan mereka kembali ke pesantren tidaklah mudah. Dalam perjalanan pulang, sebuah mobil hitam membuntuti mereka. Azzam segera menyadari bahwa mereka sedang diawasi.

“Shidiq, Hamid, cepat masuk ke gang itu!” seru Azzam sambil menunjuk jalan kecil di antara deretan rumah.

Mereka berlari secepat mungkin, mencoba menghindari mobil yang terus mengikuti. Namun, di tengah pelarian, sebuah suara keras menghentikan langkah mereka.

“Berhenti, atau kami tidak segan-segan bertindak!”

Azzam menoleh dan melihat

Bab 7 (Lanjutan): Pelarian yang Berbahaya

Azzam menoleh dan melihat dua pria berpakaian serba hitam keluar dari mobil. Salah satunya memegang tongkat besi, sementara yang lain membawa sesuatu yang menyerupai pistol kejut listrik. Wajah mereka penuh intimidasi.

“Berikan apa yang kalian bawa!” bentak salah satu pria dengan nada mengancam.

Shidiq dan Hamid tampak ketakutan, tetapi Azzam berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. Ia tahu dokumen di tangannya terlalu berharga untuk diserahkan begitu saja.

“Kami tidak membawa apa-apa,” jawab Azzam mencoba menunda waktu, sembari melirik gang sempit di sebelah kanan mereka. Itu satu-satunya jalan keluar.

Pria dengan tongkat besi maju, matanya menyipit penuh curiga. “Jangan bohong! Kami tahu kalian baru saja menemui seseorang yang memiliki sesuatu milik kami!”

Hamid, yang dari tadi gemetar, berbisik pelan. “Azzam, apa yang harus kita lakukan?”

Azzam berpikir cepat. Dengan suara pelan, ia berkata, “Ketika aku memberi isyarat, lari ke gang itu. Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”

“Apa?! Kau gila, Zam!” bisik Shidiq.

“Percayalah, ini satu-satunya cara. Dokumen ini harus sampai ke Kyai Ma’ruf,” tegas Azzam.

Sebelum kedua temannya bisa menolak, Azzam membuat keputusan nekat. Ia memegang map dokumen itu erat-erat, lalu berpura-pura melemparkan sesuatu ke arah pria-pria itu.

“Ambil kalau kalian bisa!” teriaknya, kemudian berlari ke arah berlawanan dari gang.

Pria-pria itu, yang tergoda untuk mengejar Azzam, langsung mengikuti. Shidiq dan Hamid, meskipun ragu, memanfaatkan momen itu untuk kabur melalui gang sempit, membawa dokumen yang berisi kebenaran penting.

Azzam berlari sekuat tenaga, melewati lorong-lorong gelap di antara rumah-rumah kumuh. Ia tidak berhenti meskipun paru-parunya terasa terbakar. Namun, langkah pria-pria itu semakin dekat.

Di ujung lorong, Azzam mendapati dirinya terpojok. Tidak ada jalan keluar, hanya tembok tinggi yang menghalangi.

“Sekarang, berikan dokumen itu, atau kau tidak akan keluar dari sini dengan selamat!” ancam salah satu pria, kini berdiri beberapa meter darinya.

Azzam tahu ia tidak punya dokumen itu lagi—Shidiq dan Hamid sudah membawanya pergi. Tapi ia tetap pura-pura memegang sesuatu di balik jaketnya.

“Kalian pikir aku akan menyerahkannya begitu saja?” tantangnya dengan suara lantang, meskipun tubuhnya gemetar.

Pria dengan tongkat besi maju, mengayunkan tongkatnya ke arah Azzam. Namun, sebelum tongkat itu mengenai tubuhnya, sebuah suara keras terdengar.

“Berhenti!”

Azzam menoleh, begitu pula pria-pria itu. Di ujung lorong, seorang lelaki tua muncul bersama beberapa pemuda desa. Lelaki itu memegang parang, sementara pemuda-pemuda di belakangnya membawa tongkat kayu.

“Ini wilayah kami. Kalian tidak punya hak mengancam anak ini!” ujar lelaki tua itu tegas.

Pria-pria berpakaian hitam itu saling pandang, menyadari bahwa mereka kalah jumlah. Salah satu dari mereka menggerutu, “Ini belum selesai.” Kemudian, mereka mundur dengan enggan, kembali ke mobil mereka dan pergi meninggalkan lorong.

Lelaki tua itu mendekati Azzam. “Nak, kau tidak apa-apa?” tanyanya dengan nada khawatir.

Azzam mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Terima kasih, Pak. Kalau tidak ada kalian, saya tidak tahu apa yang akan terjadi.”

“Syukurlah kau selamat,” ujar lelaki itu. “Sekarang pulanglah. Jangan biarkan mereka menang.”

Azzam mengucapkan terima kasih, lalu segera mencari jalan kembali ke pesantren.

Sementara itu, Shidiq dan Hamid berhasil mencapai pesantren dengan dokumen. Mereka langsung menemui Kyai Ma’ruf dan menyerahkan map itu.

“Mana Azzam?” tanya Kyai dengan wajah khawatir.

“Dia… dia mengalihkan perhatian mereka agar kami bisa kabur,” jawab Shidiq dengan suara bergetar.

Mendengar itu, Kyai segera mengirim beberapa santri senior untuk mencari Azzam.

Setelah hampir satu jam pencarian, Azzam akhirnya tiba di gerbang pesantren, lelah dan penuh keringat. Wajahnya pucat, tetapi ia tersenyum lega saat melihat Shidiq, Hamid, dan Kyai Ma’ruf berdiri di sana menunggunya.

“Kyai, dokumennya aman?” tanya Azzam.

Kyai mengangguk. “Ya, anakku. Kau sudah melakukan hal yang luar biasa.”

Azzam menghela napas panjang, merasakan beban besar akhirnya sedikit terangkat dari bahunya.

Dokumen yang diberikan oleh Pak Salman menjadi bukti kunci dalam melawan ancaman perusahaan tersebut. Dengan bantuan pengacara yang terpercaya, pesantren berhasil membuktikan bahwa dokumen yang diajukan oleh perusahaan adalah palsu.

Perusahaan itu akhirnya kalah dalam gugatan, dan nama baik Kyai Ma’ruf kembali pulih. Pesantren pun selamat dari ancaman kehancuran.

Namun, Azzam tahu bahwa perjuangan ini tidak akan menjadi yang terakhir. Di dunia yang penuh intrik dan godaan, ia dan teman-temannya harus terus waspada untuk menjaga cahaya pesantren tetap bersinar.

Bersambung ke Bab 8: Titik Balik

 

Bab 8: Titik Balik

Ketenangan di pesantren mulai kembali setelah perusahaan besar yang mengincar tanah pesantren kalah dalam gugatan. Namun, di balik kemenangan itu, ada sesuatu yang mengusik hati Azzam.

Hari-hari berlalu, dan meskipun banyak santri dan ustaz yang mengucapkan terima kasih atas keberanian Azzam, ia merasa ada jarak antara dirinya dan Kyai Ma’ruf. Sosok yang dulu begitu hangat kini lebih banyak diam saat bertemu dengannya.

Pada suatu malam, setelah shalat Isya, Azzam memberanikan diri menemui Kyai Ma’ruf di ruangannya.

“Kyai, bolehkah saya berbicara?” tanya Azzam dengan nada hati-hati.

Kyai Ma’ruf yang sedang membaca kitab menutupnya perlahan. Ia menatap Azzam dengan sorot mata yang sulit ditebak.

“Silakan masuk, Azzam. Apa yang ingin kau sampaikan?”

Azzam duduk di lantai, menyilangkan kakinya seperti seorang murid yang bersiap mendengar wejangan. Namun, kali ini, ia yang ingin berbicara.

“Kyai, saya merasa ada yang berubah sejak kejadian itu. Apakah saya telah melakukan sesuatu yang salah?” tanyanya dengan suara lirih.

Kyai Ma’ruf menghela napas panjang. “Kau tidak salah, Azzam. Justru apa yang kau lakukan adalah hal yang benar. Tapi kau tahu, membawa kebenaran itu berat. Terkadang, meskipun niat kita baik, ada luka yang tak terhindarkan.”

“Luka?” Azzam bingung.

Kyai Ma’ruf menatap lurus ke arahnya. “Kau membawa kebenaran dengan cara yang sangat berani, tapi juga sangat berisiko. Kau membuat beberapa orang merasa malu, bahkan marah. Ada ustaz-ustaz lain yang merasa tersinggung karena mereka pikir kau seolah mengambil alih tugas mereka. Dan aku… Aku merasa gagal karena kau harus memikul beban yang sebenarnya menjadi tanggung jawabku.”

Azzam terdiam. Ia tidak pernah memikirkan dampak emosional dari tindakannya pada orang lain, terutama pada Kyai Ma’ruf.

“Kyai, saya tidak pernah bermaksud mengambil alih. Saya hanya ingin membantu. Saya ingin pesantren ini selamat,” ujar Azzam tulus.

Kyai Ma’ruf tersenyum tipis. “Aku tahu, Azzam. Dan kau benar. Kadang, aku terlalu keras pada diriku sendiri. Kau mengingatkanku bahwa seorang pemimpin tidak boleh berjalan sendirian. Terima kasih, Azzam.”

Malam itu, hubungan Azzam dan Kyai Ma’ruf kembali seperti sediakala. Namun, obrolan itu juga memberi Azzam pelajaran berharga tentang arti kepemimpinan dan tanggung jawab.

Kemenangan pesantren membawa harapan baru bagi para santri. Tapi kehidupan di pesantren tetap penuh tantangan. Suatu hari, Azzam mendengar bahwa beberapa santri baru merasa kesulitan beradaptasi. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, bahkan ada yang sebelumnya tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara formal.

Salah satu santri itu adalah Farhan, seorang anak yatim piatu yang sering terlihat duduk sendirian di pojok masjid.

“Farhan, kenapa kau selalu menyendiri?” tanya Azzam suatu hari saat menemukannya sedang membaca Quran sendirian.

Farhan menatap Azzam sekilas, lalu menunduk. “Aku tidak seperti mereka, Kak. Aku tidak tahu banyak soal agama. Aku

Bab 8 (Lanjutan): Titik Balik

Farhan menunduk, suaranya lirih seperti takut didengar orang lain. “Aku tidak seperti mereka, Kak. Aku tidak tahu banyak soal agama. Hafalan Quranku sedikit, aku bahkan sering salah baca.”

Azzam tersenyum lembut, duduk di sebelah Farhan. Ia tahu rasa rendah diri itu bukan hal yang asing di pesantren, terutama bagi mereka yang merasa tertinggal dibandingkan teman-temannya.

“Farhan,” Azzam memulai, “tidak ada santri yang lahir langsung menjadi hebat. Semua orang mulai dari nol. Aku pun dulu seperti itu.”

Farhan menatap Azzam, matanya sedikit melebar. “Kakak bercanda, ya? Kakak kan selalu disebut salah satu santri terbaik di sini.”

Azzam terkekeh kecil. “Benar, aku dulu tidak bisa membaca Quran dengan lancar. Bahkan, waktu pertama kali ikut ujian hafalan, aku lupa setengahnya. Rasanya ingin menyerah, tapi ada Kyai Ma’ruf yang terus menyemangatiku.”

Farhan diam sejenak, lalu berkata pelan, “Tapi aku takut, Kak. Aku takut diejek teman-teman kalau salah. Kadang mereka mentertawakanku.”

Azzam merasakan hatinya sedikit tercekat. Ia tahu ini adalah masalah besar bagi seorang anak. “Farhan, mereka yang mengejekmu mungkin tidak mengerti perjuanganmu. Kau di sini bukan untuk mereka, tapi untuk Allah. Setiap huruf yang kau baca, setiap usaha yang kau lakukan, itu dilihat oleh-Nya. Tidak apa-apa salah, yang penting kau mau belajar.”

Farhan mulai tersenyum sedikit. “Benar begitu, Kak?”

“Benar. Mulai sekarang, kalau kau butuh bantuan, cari aku atau teman-teman lain. Kita belajar sama-sama, ya?”

Farhan mengangguk. Dari hari itu, ia mulai terlihat lebih ceria.

Namun, tantangan lain datang. Beberapa santri mulai membicarakan bahwa Farhan sering diolok-olok oleh sekelompok senior. Mereka menyebutnya “santri gagal” atau “anak yang tidak cocok di pesantren.”

Kabar ini sampai ke telinga Azzam, dan hatinya langsung panas. Ia memutuskan untuk mengonfrontasi para senior tersebut di aula kecil pesantren.

Di aula, tiga santri senior—Jamal, Fauzan, dan Rian—sedang bercanda sambil bermain catur. Ketika Azzam masuk, mereka menatapnya dengan sedikit kaget.

“Ada apa, Zam? Serius amat mukanya,” goda Jamal, yang tampaknya menjadi pemimpin kelompok itu.

Azzam tidak membuang waktu. “Aku dengar kalian sering mengolok-olok Farhan. Itu benar?”

Ketiganya saling pandang, lalu tertawa kecil. “Ah, cuma bercanda, Zam. Dia itu sensitif banget. Kita kan cuma ingin seru-seruan,” jawab Fauzan.

Azzam maju selangkah, matanya menatap tajam. “Bercanda itu kalau kedua belah pihak tertawa, Fauzan. Kalau hanya kalian yang tertawa, itu namanya merendahkan.”

Jamal berdiri, menatap Azzam dengan dagu terangkat. “Kau ini kenapa, Zam? Belain anak baru yang bahkan nggak pantas ada di sini? Pesantren ini butuh orang-orang kuat, bukan anak-anak cengeng seperti dia.”

“Pantas? Siapa kalian sampai menentukan siapa yang pantas atau tidak di sini?” Azzam menjawab tegas. “Kita semua di pesantren ini belajar. Tidak ada yang sempurna, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain.”

Rian mencoba menengahi. “Sudahlah, Zam. Kau terlalu serius. Lagipula, Farhan itu anak yang nggak punya bakat di sini. Kau buang-buang waktu membelanya.”

Azzam menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan namun penuh tekanan. “Jika pesantren ini diisi oleh orang-orang yang hanya ingin terlihat hebat tapi lupa akhlak, maka pesantren ini sudah kehilangan jiwanya.”

Ucapan itu membuat suasana hening. Jamal, Fauzan, dan Rian tampak terdiam, tidak bisa membalas.

“Kalau kalian masih ingin melanjutkan ini,” lanjut Azzam, “aku tidak akan tinggal diam. Aku akan bicara langsung pada Kyai.”

Tanpa menunggu jawaban, Azzam berbalik dan meninggalkan aula.

Kejadian itu menyebar dengan cepat di pesantren. Banyak santri mulai menghormati Azzam lebih dari sebelumnya, melihatnya sebagai sosok yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berani membela yang lemah.

Di sisi lain, Farhan merasa lebih diterima. Dukungan Azzam dan teman-temannya memberinya kepercayaan diri untuk terus belajar, bahkan ia mulai mencoba menghafal Quran dengan lebih giat.

Salah satu momen paling mengharukan terjadi saat Farhan membaca surah pendek dalam shalat berjamaah di masjid. Suaranya gemetar, tetapi semua orang mendengarkan dengan khusyuk. Setelah ia selesai, seluruh masjid hening, lalu Kyai Ma’ruf berkata dengan senyuman lebar, “Bacaan yang indah, Farhan. Teruslah belajar.”

Farhan menangis haru. Ia akhirnya merasa bahwa pesantren ini bukan tempat yang hanya diisi orang-orang sempurna, tetapi tempat di mana ia bisa bertumbuh menjadi lebih baik.

Namun, di balik semua itu, ada ancaman baru yang mulai mengintai. Salah satu santri menemukan sebuah surat misterius terselip di pintu gerbang pesantren. Surat itu berisi ancaman dari pihak yang tidak dikenal:

“Pesantren ini selamat kali ini, tapi tidak selamanya akan seperti itu. Kami akan kembali, dan kali ini kalian tidak akan bisa lari.”

Surat itu diserahkan kepada Kyai Ma’ruf, dan berita tersebut segera menyebar di antara para pengurus. Azzam yang mendengar kabar itu merasa jantungnya kembali berdegup kencang.

“Perjuangan ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka akan kembali, dan kita harus lebih siap.”

Bersambung ke Bab 9: Bayangan Ancaman

Bab 9: Bayangan Ancaman

Pagi itu, suasana di pesantren terasa lebih tegang dari biasanya. Surat ancaman yang ditemukan malam sebelumnya telah membuat semua pengurus cemas. Beberapa ustaz mulai berdiskusi tentang keamanan, sementara para santri senior diperintahkan untuk tetap tenang dan tidak menyebarkan kabar buruk di antara adik-adik kelas.

Namun, di balik semua upaya menjaga ketenangan, Azzam tidak bisa mengabaikan firasat buruknya. Ada sesuatu dalam surat itu yang terasa lebih serius dari sekadar ancaman kosong.

“Menurutmu, siapa yang mengirim surat itu?” tanya Shidiq ketika mereka sedang berjalan menuju kelas.

“Entahlah,” jawab Azzam, masih memikirkan isi surat itu. “Tapi jelas, mereka tahu pesantren ini, dan mereka punya tujuan untuk menghancurkan kita.”

Hamid, yang berjalan di belakang mereka, menambahkan, “Kalian pikir ini ada hubungannya dengan perusahaan yang dulu itu? Mereka mungkin belum menyerah.”

“Bisa jadi,” gumam Azzam. “Tapi aku merasa ini lebih dari itu. Ada yang lain di balik semua ini.”

Di malam hari, setelah semua santri tidur, Azzam memutuskan untuk keluar dari kamar dan menuju ke ruang utama pengurus. Ia ingin melihat surat ancaman itu lagi, berharap menemukan petunjuk yang mungkin terlewatkan.

Ketika ia tiba di ruangan, lampu sudah dimatikan, dan suasana sunyi. Namun, saat ia membuka pintu, ia terkejut melihat Kyai Ma’ruf duduk di meja dengan wajah serius, memegang surat tersebut.

“Kyai?” panggil Azzam pelan.

Kyai Ma’ruf menoleh, lalu tersenyum tipis. “Azzam, kau belum tidur?”

“Belum, Kyai. Saya… saya ingin melihat surat itu lagi. Rasanya ada sesuatu yang ganjil.”

Kyai Ma’ruf mengangguk dan menyerahkan surat itu. “Apa yang kau rasakan, Azzam?”

Azzam membaca surat itu dengan seksama. Tulisan tangan di surat itu tampak rapi, tetapi ada beberapa coretan kecil di ujung kertas yang membuatnya berpikir.

“Kyai, ini seperti ditulis oleh seseorang yang paham betul cara mengintimidasi. Ini bukan sekadar ancaman. Mereka ingin kita tahu bahwa mereka serius,” ujar Azzam sambil menunjuk bagian akhir surat yang bertuliskan:

*“Kami tahu segalanya tentang

“Kami tahu segalanya tentang pesantren ini. Kalian tidak akan pernah siap menghadapi apa yang akan kami lakukan.”

Azzam merasakan dadanya bergetar. Kalimat itu seolah ditulis oleh seseorang yang bukan hanya sekadar berniat mengancam, tetapi juga memiliki informasi yang cukup mendalam tentang pesantren.

Kyai Ma’ruf mengangguk pelan, pandangannya menerawang jauh. “Betul, Azzam. Itulah yang membuatku lebih khawatir. Jika ini hanya gertakan dari orang luar, mungkin kita bisa abaikan. Tapi aku merasa… ini adalah pesan dari orang yang pernah masuk ke sini. Orang yang tahu kelemahan kita.”

Azzam memandang Kyai dengan heran. “Kyai, apa maksudnya? Apakah Kyai mencurigai seseorang?”

Kyai Ma’ruf tidak langsung menjawab. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan pelan ke arah jendela, memandang ke luar. “Azzam, kau masih muda. Ada banyak hal di dunia ini yang mungkin belum kau pahami. Terkadang, musuh terbesar kita bukanlah orang luar, tetapi orang yang pernah dekat dengan kita. Mereka yang merasa dikhianati, atau merasa kita tidak adil.”

Azzam terdiam, mencoba mencerna ucapan itu. “Apakah Kyai berpikir bahwa ini ulah salah satu alumni pesantren?”

“Mungkin,” jawab Kyai Ma’ruf singkat. “Atau… seseorang yang dulu pernah merasa terluka karena keputusan kita.”

Malam itu, Azzam tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang menyeramkan. Siapa yang memiliki dendam sebesar itu terhadap pesantren? Dan mengapa mereka menunggu sampai sekarang untuk melancarkan ancaman?

Keesokan harinya, Kyai Ma’ruf memutuskan untuk mengadakan rapat tertutup dengan para pengurus pesantren. Azzam, sebagai salah satu santri senior yang dipercaya, ikut diundang.

Di dalam ruangan, suasana terasa tegang. Kyai Ma’ruf membuka rapat dengan suara tenang, tetapi tegas.

“Kita semua tahu bahwa pesantren ini telah menghadapi banyak ujian. Ancaman terbaru ini bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Namun, kali ini, kita harus lebih waspada.”

“Apakah kita perlu melibatkan pihak keamanan, Kyai?” tanya Ustaz Fadhil, salah satu pengajar senior.

Kyai Ma’ruf menggeleng pelan. “Belum. Kita tidak ingin menimbulkan kepanikan, terutama di kalangan santri. Tapi kita akan meningkatkan pengawasan. Mulai malam ini, akan ada patroli bergilir di sekitar area pesantren.”

Azzam mengangkat tangan. “Kyai, apakah ada kemungkinan ancaman ini berasal dari orang dalam? Maksud saya, mungkin ada seseorang yang bekerja sama dengan pihak luar?”

Pertanyaan itu membuat ruangan menjadi sunyi. Beberapa pengurus saling pandang, seolah mencoba mencari jawaban di wajah satu sama lain.

“Aku tidak menutup kemungkinan itu,” jawab Kyai Ma’ruf akhirnya. “Tapi kita harus berhati-hati. Jangan terburu-buru menuduh tanpa bukti.”

Malam harinya, Azzam bergabung dengan beberapa santri senior untuk berjaga di area gerbang utama pesantren. Mereka membawa senter dan berjalan mengelilingi pesantren secara bergilir.

Sekitar pukul dua dini hari, ketika suasana sangat sepi, Azzam dan Shidiq mendengar suara samar dari arah gudang lama di belakang pesantren. Gudang itu sudah lama tidak digunakan dan dianggap tempat yang cukup angker oleh banyak santri.

“Azzam, kau dengar itu?” bisik Shidiq, suaranya sedikit bergetar.

“Ya,” jawab Azzam tegas. “Ayo kita cek.”

Dengan hati-hati, mereka berjalan mendekati gudang. Pintu gudang yang biasanya terkunci rapat tampak sedikit terbuka. Azzam memberi isyarat kepada Shidiq untuk tetap tenang.

Ketika mereka membuka pintu gudang lebih lebar, suasana di dalam sangat gelap. Dengan senter yang mereka bawa, Azzam mencoba menyisir ruangan. Di sudut ruangan, ia melihat sebuah kotak kayu besar yang tampak mencurigakan.

“Apa itu?” tanya Shidiq, suaranya semakin pelan.

Azzam tidak menjawab. Ia berjalan mendekati kotak itu dan mulai membukanya perlahan. Saat penutup kotak terangkat, mereka terkejut menemukan selembar kain putih besar dengan tulisan berwarna merah:

“Pergilah, atau kalian akan menyesal.”

Selain kain itu, mereka menemukan beberapa benda lain yang lebih mencurigakan: pecahan botol, korek api, dan beberapa bungkusan kecil yang tidak jelas isinya.

“Azzam, ini serius. Kita harus melapor ke Kyai sekarang juga,” ujar Shidiq dengan nada panik.

Azzam mengangguk, meskipun pikirannya masih kacau. Siapa yang bisa melakukan ini? Dan mengapa benda-benda ini ada di dalam gudang pesantren?

Saat Azzam dan Shidiq kembali melaporkan temuan mereka kepada Kyai Ma’ruf, wajah sang Kyai berubah serius. Ia segera memanggil beberapa pengurus lain untuk memeriksa gudang tersebut.

Setelah beberapa saat, Ustaz Fadhil, yang juga memeriksa tempat itu, berkata, “Kyai, ini terlihat seperti persiapan untuk sesuatu. Apakah mungkin mereka merencanakan pembakaran?”

Kyai Ma’ruf mengangguk pelan, wajahnya semakin tegang. “Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Besok, aku akan melibatkan pihak berwenang.”

Azzam, yang mendengar keputusan itu, merasa lega sekaligus khawatir. Ia tahu, ancaman ini lebih besar daripada yang mereka bayangkan.

Namun, satu pertanyaan terus mengganggu pikirannya: Siapa yang berada di balik semua ini, dan apa tujuan mereka sebenarnya?

Bersambung ke Bab 10: Jejak di Balik Bayang-Bayang

 

Bab 10: Jejak di Balik Bayang-Bayang
 

Keesokan paginya, suasana pesantren mulai berubah. Para santri tetap menjalani rutinitas seperti biasa, tetapi di kalangan pengurus, ketegangan terasa nyata. Kyai Ma'ruf telah memutuskan untuk melibatkan pihak berwenang, namun ia tetap meminta semua orang untuk menjaga kerahasiaan agar tidak menimbulkan kepanikan.


 

Azzam duduk di aula utama bersama beberapa pengurus lainnya. Ustaz Fadhil tampak sibuk mencatat laporan sementara Kyai Ma'ruf berdiskusi dengan seorang petugas kepolisian yang baru saja datang.


 

"Saat ini, yang paling penting adalah memastikan keamanan pesantren," ujar petugas itu. "Kami akan menempatkan beberapa orang di sekitar area ini untuk berjaga-jaga. Tapi kami juga butuh informasi lebih banyak tentang siapa yang mungkin terlibat."


 

Kyai Ma'ruf mengangguk. "Kami akan membantu sebisa mungkin. Namun, saya harap semuanya bisa dilakukan tanpa mengganggu kegiatan belajar para santri."


 

Sementara itu, Azzam tidak bisa diam. Ia merasa ada sesuatu yang masih belum terungkap. Setelah pertemuan selesai, ia mendekati Shidiq yang sedang duduk di sudut aula.


 

"Shid, aku merasa kita harus menyelidiki ini lebih jauh," kata Azzam dengan nada serius.


 

"Maksudmu? Kita kan sudah melaporkan semuanya ke Kyai dan polisi," jawab Shidiq sambil mengernyit.


 

"Benar, tapi aku yakin ada jejak lain yang bisa kita temukan. Orang yang meninggalkan benda-benda itu di gudang pasti punya rencana besar, dan mereka mungkin meninggalkan petunjuk lain di sekitar pesantren."


 

Shidiq terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, aku ikut. Tapi kau yakin ini tidak berbahaya?"


 

"Kita hanya mencari petunjuk," jawab Azzam.


 

Malam itu, Azzam dan Shidiq memulai penyelidikan kecil mereka. Mereka memutuskan untuk memeriksa area sekitar gudang lebih detail. Dengan senter kecil di tangan, mereka berjalan pelan, berhati-hati agar tidak menarik perhatian.


 

Saat menyisir area belakang gudang, Azzam menemukan sesuatu yang aneh: jejak sepatu di tanah yang basah. Jejak itu mengarah ke pagar belakang pesantren, yang jarang dilalui santri.


 

"Lihat ini, Shid," bisik Azzam sambil menunjuk jejak tersebut.


 

Mereka mengikuti jejak itu hingga ke pagar. Ketika mereka sampai di sana, Azzam melihat sesuatu yang tergantung di pagar: sehelai kain kecil yang robek, seperti potongan dari pakaian seseorang.


 

"Kain ini... seperti seragam santri," kata Azzam sambil memegangnya.


 

Shidiq menatap kain itu dengan mata melebar. "Apa maksudnya, Zam? Jangan-jangan ini memang ada hubungannya dengan orang dalam, seperti yang Kyai bilang?"


 

Azzam tidak menjawab. Ia hanya menyimpan kain itu di sakunya, lalu melanjutkan pencarian mereka.


 

Keesokan harinya, Azzam menemui Kyai Ma'ruf dengan kain itu. Wajah sang Kyai berubah serius saat melihatnya.


 

"Kain ini memang seperti milik salah satu santri," kata Kyai sambil mengamati potongan tersebut. "Tapi kita tidak bisa langsung menyimpulkan apa-apa. Kita perlu lebih banyak bukti."


 

Azzam mengangguk, tetapi hatinya gelisah. Siapa yang mungkin terlibat dalam rencana jahat ini? Dan mengapa mereka melibatkan pesantren?


 

Sementara itu, sebuah kejadian mengejutkan terjadi di sore hari. Saat para santri sedang bersiap untuk shalat Ashar, terdengar suara gaduh dari arah asrama. Salah satu santri berteriak, "Kebakaran! Kebakaran di dapur!"


 

Semua orang segera berlarian menuju dapur, tempat api mulai membesar. Azzam dan beberapa santri senior mengambil alat pemadam sederhana dan berusaha memadamkan api. Beruntung, mereka berhasil mengendalikan situasi sebelum api menyebar lebih jauh.


 

Namun, saat api padam, Azzam melihat sesuatu yang membuatnya terkejut: sebuah korek api tergeletak di dekat pintu dapur, dengan tulisan kecil di atasnya:


 

"Ini baru permulaan."


 

Azzam segera memanggil Kyai Ma'ruf dan menunjukkan korek itu. Wajah Kyai kembali tegang. "Ini bukan kebetulan," katanya. "Pelakunya ingin mengirim pesan bahwa mereka masih ada di sini."


 

Malam itu, rapat darurat kembali diadakan. Kali ini, suasana jauh lebih serius. Polisi yang sudah diberitahu tentang kejadian kebakaran mulai menyelidiki lebih intensif.


 

"Kami akan memasang kamera pengawas di beberapa titik strategis," kata salah satu petugas. "Tapi kami juga butuh kerja sama dari semua pihak di sini. Jika kalian melihat sesuatu yang mencurigakan, segera laporkan."


 

Azzam memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh. Ia berbicara dengan Kyai setelah rapat selesai.


 

"Kyai, izinkan saya menyelidiki ini lebih dalam. Saya yakin pelakunya bukan orang asing. Mereka pasti ada di antara kita."


 

Kyai memandang Azzam dengan mata penuh kebijaksanaan. "Azzam, aku tahu kau punya niat baik, tapi ini bukan tugas yang mudah. Jika kau memutuskan untuk melakukannya, kau harus sangat berhati-hati. Jangan bertindak gegabah."


 

Azzam mengangguk. "Saya mengerti, Kyai. Saya hanya ingin memastikan bahwa pesantren ini aman."


 

Di malam yang gelap, Azzam duduk sendirian di masjid, memikirkan semua yang telah terjadi. Ia tahu bahwa tugas ini tidak mudah, tetapi ia merasa bahwa ini adalah tanggung jawabnya.


 

"Apa pun yang terjadi, aku harus menemukan pelakunya," gumamnya.


 

Namun, ia tidak tahu bahwa di luar masjid, seseorang sedang mengawasinya dari balik bayangan, dengan senyuman tipis yang penuh makna.


 

Bersambung ke Bab 11: Rencana yang Terbongkar


 

Bab 11: Rencana yang Terbongkar


 

Azzam tidak menyadari bahwa malam itu, dirinya telah menjadi target perhatian seseorang. Ketika ia bangkit dari sajadah dan keluar dari masjid, langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Ia merasa seperti ada yang mengawasinya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tetapi tidak melihat apa pun.


 

Namun, firasatnya tidak salah. Dari kejauhan, bayangan gelap seseorang tampak beringsut pergi, menghilang di balik pohon besar di belakang asrama.


 

Keesokan harinya, Azzam memutuskan untuk memulai penyelidikannya secara diam-diam. Ia mengamati perilaku para santri, terutama mereka yang sering berada di sekitar gudang atau area yang terkait dengan ancaman. Salah satu nama yang mencuri perhatiannya adalah Hilmi, seorang santri senior yang belakangan sering terlihat gelisah dan suka menyendiri.


 

"Apa kau juga merasa Hilmi agak aneh belakangan ini?" tanya Azzam kepada Shidiq saat mereka berjalan menuju kelas.


 

"Ya, dia jarang ikut kegiatan. Bahkan waktu kebakaran kemarin, dia tidak ada," jawab Shidiq.


 

Azzam mengangguk. "Kita perlu mengamati dia lebih dekat."


 

Sore itu, Azzam memutuskan untuk berbicara langsung dengan Hilmi. Ia menemukannya sedang duduk sendirian di bawah pohon dekat lapangan.


 

"Hilmi, aku bisa bicara sebentar?" tanya Azzam sambil mendekat.


 

Hilmi menoleh dengan ekspresi kaget. "Eh, Azzam? Ada apa?"


 

"Aku hanya ingin tahu, kau baik-baik saja? Akhir-akhir ini kau terlihat berbeda," ujar Azzam dengan nada setenang mungkin.


 

Hilmi terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya lelah."


 

Namun, Azzam bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Hilmi. "Kalau kau punya masalah, kau bisa cerita padaku, Hilmi. Kita sama-sama santri di sini, aku hanya ingin membantu."


 

Hilmi tidak menjawab, tetapi ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi tanpa sepatah kata.


 

Malam harinya, Azzam memutuskan untuk mengikuti Hilmi secara diam-diam. Ia merasa bahwa Hilmi mungkin menyimpan petunjuk penting.


 

Benar saja, sekitar pukul 11 malam, Azzam melihat Hilmi keluar dari asrama. Ia membawa sebuah tas kecil dan berjalan cepat menuju area belakang pesantren. Azzam mengikuti dari kejauhan, memastikan agar langkahnya tidak terdengar.


 

Hilmi berhenti di dekat pagar belakang pesantren, tempat Azzam sebelumnya menemukan kain robek. Ia tampak gelisah, mondar-mandir seperti sedang menunggu seseorang.


 

Beberapa menit kemudian, seorang pria muncul dari balik pagar. Ia bukan santri, tetapi orang luar dengan pakaian serba hitam dan wajah yang sebagian tertutup masker.


 

Azzam mendekat sedikit lagi, cukup untuk mendengar percakapan mereka.


 

"Kau sudah melakukannya?" tanya pria itu dengan suara rendah.


 

"Belum," jawab Hilmi dengan nada cemas. "Aku... aku tidak yakin bisa melakukannya. Ini terlalu berbahaya."


 

"Jangan bodoh!" hardik pria itu. "Kau sudah terlibat sejauh ini. Jika kau mundur sekarang, aku pastikan kau tidak akan selamat. Lakukan saja sesuai rencana."


 

Azzam terkejut mendengar percakapan itu. Ia ingin keluar dari persembunyiannya dan menghadapi mereka, tetapi ia tahu itu terlalu berisiko. Sebagai gantinya, ia memutuskan untuk kembali dan melaporkan semuanya kepada Kyai Ma'ruf.


 

Pagi itu, Azzam berdiri di depan Kyai Ma'ruf dengan wajah tegang. Ia menceritakan semua yang dilihat dan didengarnya malam sebelumnya.


 

Kyai Ma'ruf mendengarkan dengan seksama, wajahnya semakin serius seiring cerita Azzam. "Hilmi... tidak kusangka dia terlibat sejauh ini."


 

"Kyai, kita harus bertindak cepat. Orang luar itu jelas memanfaatkan Hilmi untuk tujuan jahat. Jika kita tidak menghentikannya, sesuatu yang lebih buruk bisa terjadi," ujar Azzam.


 

Kyai Ma'ruf mengangguk. "Aku akan memanggil Hilmi. Tapi kita harus hati-hati. Jika dia merasa terpojok, dia mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."


 

Beberapa jam kemudian, Hilmi dipanggil ke ruang pengurus. Awalnya, ia tampak gugup, tetapi berusaha menyembunyikan kecemasannya.


 

"Hilmi," kata Kyai Ma'ruf dengan nada lembut namun tegas, "apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan kepada kami?"


 

Hilmi terdiam, pandangannya tertuju ke lantai.


 

"Kami tahu apa yang terjadi," lanjut Kyai Ma'ruf. "Kami tahu kau bertemu seseorang di belakang pesantren tadi malam. Aku tidak akan memarahimu, Hilmi, tapi aku butuh kau jujur. Apa yang sebenarnya terjadi?"


 

Air mata mulai mengalir di pipi Hilmi. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi, tetapi akhirnya ia tidak bisa lagi.


 

"Saya tidak punya pilihan, Kyai," ujarnya dengan suara bergetar. "Mereka mengancam saya... Mereka bilang mereka akan mencelakai keluarga saya jika saya tidak membantu mereka."


 

Kyai Ma'ruf mendekati Hilmi dan meletakkan tangan di pundaknya. "Hilmi, aku mengerti situasimu. Tapi kau harus percaya, kami di sini untuk membantumu. Siapa mereka, dan apa yang mereka rencanakan?"


 

Hilmi terisak-isak sebelum akhirnya menjawab. "Mereka ingin membakar pesantren, Kyai. Mereka bilang, kalau pesantren ini hancur, mereka bisa mengambil alih tanahnya. Saya diminta untuk menaruh bensin di gudang sebagai persiapan."


 

Azzam, yang mendengarkan dari sudut ruangan, mengepalkan tangan. "Ini pasti ulah perusahaan itu. Mereka tidak menyerah setelah rencana mereka gagal sebelumnya."


 

Kyai Ma'ruf mengangguk pelan. "Hilmi, kau sudah melakukan hal yang benar dengan mengakui ini. Sekarang, kami akan memastikan keluargamu aman, dan kami akan menghentikan rencana mereka."


 

Malam itu, pesantren dipenuhi oleh petugas keamanan yang berjaga-jaga di setiap sudut. Kamera pengawas telah dipasang, dan patroli dilakukan secara rutin. Hilmi, yang merasa lega setelah menceritakan semuanya, membantu Azzam dan pengurus lainnya memberikan informasi tambahan tentang rencana kelompok tersebut.


 

Namun, Azzam tahu, pertempuran ini belum berakhir. Orang-orang yang ingin menghancurkan pesantren masih ada di luar sana, dan mereka tidak akan menyerah begitu saja.


 

Di tengah malam yang hening, Azzam berdiri di halaman pesantren, memandang langit berbintang. Dalam hatinya, ia berjanji: Apa pun yang terjadi, ia akan melindungi pesantren ini sampai akhir.


 

Bersambung ke Bab 12: Serangan Terakhir


 

Bab 12: Serangan Terakhir


 

Malam itu, suasana di pesantren tampak lebih tenang dari biasanya. Para santri telah beristirahat setelah seharian penuh dengan kegiatan rutin. Namun, di balik ketenangan itu, Azzam dan beberapa pengurus berjaga-jaga dengan waspada. Informasi dari Hilmi tentang rencana serangan membuat mereka tidak bisa lengah sedikit pun.


 

Di ruang pengawas, layar monitor menampilkan rekaman dari kamera CCTV yang dipasang di berbagai sudut pesantren. Azzam duduk di depan layar, matanya fokus mengamati setiap pergerakan yang terekam. Shidiq berdiri di sampingnya, sesekali menyesap kopi untuk mengusir kantuk.


 

"Kita harus tetap waspada," ujar Azzam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Mereka bisa datang kapan saja."


 

Shidiq mengangguk. "Semoga saja rencana kita berhasil. Aku tidak ingin ada yang terluka."


 

Tiba-tiba, di salah satu layar, terlihat bayangan bergerak di dekat pagar belakang pesantren. Azzam memperbesar tampilan dan melihat beberapa sosok berpakaian serba hitam mencoba memanjat pagar.


 

"Mereka datang," bisik Azzam. "Cepat, beri tahu yang lain."


 

Shidiq segera menghubungi para pengurus dan petugas keamanan yang telah bersiap di pos masing-masing. Sementara itu, Azzam terus mengamati pergerakan para penyusup.


 

Para penyusup berhasil masuk ke area pesantren dan bergerak menuju gudang, tempat mereka berencana memulai aksi pembakaran. Namun, mereka tidak menyadari bahwa setiap langkah mereka telah dipantau.


 

Saat mereka hendak menyalakan api, lampu sorot tiba-tiba menyala, menerangi area sekitar gudang. Para penyusup terkejut dan mencoba melarikan diri, tetapi para pengurus dan petugas keamanan telah mengepung mereka.


 

"Jangan bergerak!" teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senter ke wajah para penyusup.


 

Mereka terdiam, menyadari bahwa tidak ada jalan keluar. Salah satu dari mereka, yang tampaknya pemimpin kelompok, mencoba berbicara.


 

"Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berurusan," ancamnya.


 

Azzam maju selangkah. "Kami tahu betul siapa kalian. Dan kami tidak akan membiarkan kalian menghancurkan pesantren ini."


 

Para penyusup akhirnya menyerah tanpa perlawanan. Mereka dibawa ke kantor polisi terdekat untuk diproses lebih lanjut. Kyai Ma'ruf mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat dalam pengamanan malam itu.


 

"Alhamdulillah, berkat kerjasama dan kewaspadaan kita semua, pesantren ini selamat dari bahaya," ujarnya dengan wajah penuh syukur.


 

Azzam tersenyum lega. Meskipun lelah, ia merasa puas karena berhasil melindungi tempat yang dicintainya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan belum berakhir. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk menjaga pesantren tetap aman dan damai.


 

Malam itu, Azzam duduk di serambi masjid, merenungi semua yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa menjadi santri bukan hanya tentang belajar agama, tetapi juga tentang keberanian, tanggung jawab, dan pengorbanan.


 

"Aku bukan malaikat," gumamnya pelan. "Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi hamba yang berguna."


 

Dengan tekad yang semakin kuat, Azzam memandang ke langit malam, berharap esok akan membawa kedamaian bagi semua penghuni pesantren.

 

bab 13 : Cinta yang Hanya Bisa Mengagumi

Malam itu, setelah semua kejadian yang mengguncang pesantren, Azzam duduk di serambi masjid, merenungkan semua yang telah terjadi. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk. Meskipun ia merasa bangga telah membantu menyelamatkan pesantren dari ancaman, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya—perasaannya terhadap Laila.

Laila adalah santriwati yang selalu menarik perhatian Azzam. Dengan senyumnya yang cerah dan sikapnya yang ramah, Laila mampu membuat hati Azzam berdebar setiap kali mereka bertemu. Namun, Azzam merasa terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia tahu bahwa cinta bukanlah hal yang bisa dipaksakan, dan ia tidak ingin mengganggu fokusnya dalam belajar dan menghafal Al-Qur'an.

Suatu sore, saat Azzam sedang duduk di bawah pohon besar di halaman pesantren, Laila mendekatinya. Ia membawa buku catatan dan tampak ingin berbicara.

“Zam, bolehkah aku duduk di sini?” tanya Laila dengan senyum manisnya.

“Silakan, Laila,” jawab Azzam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat.

Laila duduk di sampingnya, membuka buku catatannya, dan mulai menjelaskan tentang pelajaran yang baru saja mereka pelajari. Azzam mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya terus melayang. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tetapi kata-kata itu terasa terjebak di tenggorokannya.

“Zam, kau terlihat serius. Ada yang mengganggumu?” tanya Laila, menatapnya dengan penuh perhatian.

Azzam terdiam sejenak, berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. “Aku… hanya berpikir tentang banyak hal. Tentang pesantren, tentang hafalan, dan… tentang kita,” ujarnya, berusaha terdengar santai.

“Tentang kita?” Laila mengangkat alisnya, tampak penasaran.

“Ya, maksudku, kita semua di sini untuk belajar dan tumbuh. Aku hanya merasa… kadang-kadang, kita terlalu fokus pada hal-hal tertentu dan melupakan hal-hal lain yang juga penting,” jawab Azzam, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaannya yang sebenarnya.

Laila tersenyum, tetapi Azzam bisa melihat ada keraguan di matanya. “Kau benar, Zam. Kita harus saling mendukung. Kita semua di sini untuk belajar, bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan.”

Azzam mengangguk, tetapi hatinya terasa berat. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tetapi ia takut jika itu akan merusak hubungan mereka. Ia hanya bisa mengagumi Laila dari jauh, menikmati momen-momen kecil ketika mereka bersama, tetapi tidak pernah berani melangkah lebih jauh.

Hari-hari berlalu, dan Azzam semakin merasa terjebak dalam perasaannya. Ia melihat Laila berinteraksi dengan santri lain, tertawa dan berbagi cerita. Rasa cemburu mulai menggerogoti hatinya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Ia tidak ingin menjadi penghalang bagi kebahagiaan Laila.

Suatu malam, saat Azzam sedang merenung di serambi masjid, Shidiq mendekatinya. “Zam, kau terlihat tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi?” tanya Shidiq, khawatir.

“Aku hanya… bingung, Diq. Tentang banyak hal,” jawab Azzam, menatap bintang-bintang di langit.

“Apakah itu tentang Laila?” tanya Shidiq, langsung menebak.

Azzam terkejut. “Bagaimana kau tahu?”

“Karena aku mengenalmu, Zam. Kau selalu terlihat berbeda ketika dia ada di dekatmu. Kau harus berbicara dengannya,” kata Shidiq dengan tegas.

“Aku tidak bisa, Diq. Aku tidak ingin merusak hubungan kita. Dia berhak bahagia, dan aku tidak ingin menjadi beban,” jawab Azzam, suaranya penuh keraguan.

Shidiq menggeleng. “Cinta bukan beban, Zam. Cinta adalah tentang saling mendukung dan memahami. Jika kau tidak mengungkapkan perasaanmu, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”

Azzam terdiam, merenungkan kata-kata Shidiq. Ia tahu bahwa temannya itu benar, tetapi rasa takut dan keraguannya masih menghalangi langkahnya.

Akhirnya, setelah beberapa hari berpikir, Azzam memutuskan untuk berbicara dengan Laila


Azzam merasa bahwa sudah saatnya untuk mengungkapkan perasaannya kepada Laila. Ia tidak ingin terus-menerus terjebak dalam ketidakpastian dan rasa cemburu. Dengan tekad yang bulat, ia merencanakan untuk berbicara dengan Laila di tempat yang tenang, di mana mereka bisa berbincang tanpa gangguan.

Suatu sore, setelah pelajaran selesai, Azzam mencari Laila di halaman pesantren. Ia menemukan Laila sedang duduk di bangku taman, membaca buku. Dengan langkah yang mantap, Azzam mendekatinya.

“Laila,” panggil Azzam, suaranya sedikit bergetar.

Laila menoleh dan tersenyum. “Zam! Ada apa? Kau terlihat serius.”

Azzam menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Aku ingin bicara denganmu tentang sesuatu yang penting.”

“Baiklah, apa itu?” Laila menutup bukunya dan memberi perhatian penuh kepada Azzam.

Azzam duduk di sampingnya, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. “Aku… aku sudah lama ingin mengungkapkan sesuatu. Tentang perasaanku terhadapmu.”

Laila terdiam sejenak, matanya tampak terkejut. “Perasaan? Maksudmu…?”

“Ya, aku tahu kita sudah berteman baik, dan aku sangat menghargai itu. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa aku memiliki perasaan lebih dari sekadar teman. Aku mengagumimu, Laila. Senyummu, kebaikanmu, semuanya membuatku merasa… berbeda,” Azzam mengungkapkan, suaranya semakin mantap meskipun hatinya berdebar.

Laila menatap Azzam dengan ekspresi campur aduk. “Zam, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Kau adalah teman yang baik, dan aku sangat menghargai persahabatan kita.”

Azzam merasakan hatinya tertegun. “Aku mengerti jika kau tidak merasakan hal yang sama. Aku tidak ingin memaksakan perasaan ini. Aku hanya ingin jujur padamu.”

“Tidak, bukan itu,” Laila cepat-cepat menjawab. “Aku hanya… aku tidak ingin merusak hubungan kita. Kita sudah sangat baik sebagai teman.”

Azzam mengangguk, merasakan beban di dadanya. “Aku tidak ingin merusak apa yang kita miliki. Tapi aku juga tidak bisa terus menyimpan perasaan ini. Aku hanya ingin kau tahu.”

Laila terdiam, tampak berpikir. “Zam, aku menghargai kejujuranmu. Aku juga merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita, tetapi aku takut jika kita melangkah lebih jauh, itu akan mengubah segalanya.”

Azzam merasakan harapannya mulai pudar. “Aku mengerti. Mungkin kita bisa tetap seperti ini, sebagai teman. Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman.”

Laila tersenyum lembut. “Kita bisa tetap berteman, Zam. Aku ingin kita saling mendukung satu sama lain, seperti yang selalu kita lakukan.”

Meskipun Azzam merasa sedikit kecewa, ia tahu bahwa Laila benar. Cinta tidak selalu harus memiliki, dan kadang-kadang, mengagumi dari jauh adalah pilihan yang lebih baik. Mereka berdua sepakat untuk tetap saling mendukung dan menjaga persahabatan mereka.

Hari-hari berlalu, dan meskipun Azzam masih merasakan perasaan itu, ia belajar untuk menghargai momen-momen kecil bersama Laila tanpa mengharapkan lebih. Ia fokus pada studinya dan berusaha menjadi santri yang lebih baik.

Namun, di balik semua itu, Azzam menyadari bahwa cinta yang tulus tidak akan pernah sia-sia. Ia bertekad untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Laila dan pesantren yang dicintainya.

Suatu hari, saat Azzam sedang menghafal di masjid, ia melihat Laila membantu santri junior yang kesulitan. Melihat kebaikan dan ketulusan Laila, Azzam merasa bangga. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak bersama dalam arti romantis, mereka tetap memiliki ikatan yang kuat sebagai teman.

Azzam tersenyum, menyadari bahwa cinta sejati tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang memberi dan mendukung satu sama lain. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang, tidak hanya dalam hafalan Al-Qur'an, tetapi juga dalam hidupnya, dengan harapan bahwa suatu hari nanti, cinta yang tulus ini akan menemukan jalannya.

Setelah melalui berbagai tantangan dan rintangan, Azzam akhirnya menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bangkit. Ia menyadari bahwa setiap masalah yang dihadapinya adalah pelajaran berharga yang membentuk karakternya. Dengan tekad yang kuat, Azzam mulai melakukan perbaikan dalam hidupnya.

BAB 14 :  AZZAM  BERHASIL MOVE ON 

Sejak memutuskan untuk move on, Azzam semakin sering menghabiskan waktu bersama keempat sahabatnya—Shidiq, Farhan, Ilham, dan Rizqi. Mereka adalah sahabat sejati yang selalu ada dalam suka dan duka. Suatu sore, setelah kajian selesai, mereka berkumpul di sudut taman pesantren, menikmati teh hangat sambil berbincang ringan.
 

“Zam,” Shidiq membuka percakapan, “aku perhatiin belakangan ini kamu lebih fokus sama dirimu sendiri. Udah bisa move on, ya?”

Azzam tersenyum tipis. “Aku mencoba, Shid. Tapi jujur aja, kadang masih ada rasa itu.”

Farhan yang terkenal bijak menatap Azzam dengan tenang. “Cinta itu wajar, Zam. Yang penting, bagaimana kita menyikapinya.”

“Menurut kalian, apa sih arti cinta sebenarnya?” Azzam akhirnya mengutarakan pertanyaan yang selama ini mengganggunya.

 

Ilham, yang paling humoris di antara mereka, langsung tertawa. “Cinta itu ketika kamu bisa makan lebih banyak karena bahagia! Hahaha!”

 

Rizqi menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Serius, Ilham. Kalau menurutku, cinta itu tentang memberi tanpa mengharap balasan. Seperti orang tua kita yang mencintai kita tanpa syarat.”


 

Shidiq menambahkan, “Bagiku, cinta adalah amanah. Kalau kita mencintai seseorang, kita harus memastikan bahwa cinta itu mendekatkan kita kepada Allah, bukan malah menjauhkan.”


 

Farhan mengangguk setuju. “Benar. Dan cinta sejati bukan hanya soal memiliki, tapi soal menerima takdir dengan ikhlas. Kalau memang dia bukan jodoh kita, bukan berarti cinta kita sia-sia. Itu bagian dari perjalanan hidup.”


 

Azzam terdiam, mencerna kata-kata sahabatnya. Perlahan, hatinya mulai merasa lebih ringan.


 

“Jadi, intinya cinta bukan sekadar perasaan, tapi juga tanggung jawab dan keikhlasan?” Azzam mencoba menyimpulkan.


 

“Betul,” kata Rizqi. “Dan yang terpenting, jangan biarkan cinta membuat kita lupa pada tujuan utama hidup kita.”


 

Azzam menghela napas lega. Ia tersenyum, merasa bahwa beban di hatinya mulai menghilang. Mungkin inilah jawaban yang selama ini ia cari. Cinta tidak harus dimiliki, dan cinta yang sejati adalah yang membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik.


 

Hari itu, Azzam benar-benar belajar untuk melepaskan. Ia sadar bahwa perasaannya terhadap Laila adalah bagian dari perjalanan hidupnya, tetapi bukan tujuan akhirnya. Kini, ia siap untuk melangkah maju, dengan hati yang lebih tenang dan penuh keyakinan bahwa rencana Allah selalu lebih indah.


 

EPISODE 15
 


 

TAMAT

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya AKU SEBAGAIMANA PRASANGKA HAMBA KU
0
0
Sinopsis:  Zayyan adalah seorang pemuda sederhana yang tumbuh dalam keluarga religius di sebuah desa kecil. Ia dikenal sebagai pribadi cerdas dan penuh semangat, namun hidupnya berubah drastis setelah serangkaian ujian menimpa keluarganya. Ayahnya meninggal mendadak, usaha keluarganya bangkrut, dan tanggung jawab besar jatuh di pundaknya.Dalam kebingungannya, Zayyan mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Ia merasa doa-doanya tidak pernah dijawab, seolah hidupnya ditinggalkan di tengah badai. Namun di balik kerapuhan itu, Zayyan masih menyimpan secercah harapan untuk menemukan jawabannya.Dibimbing oleh sahabatnya, Faiz, serta beberapa peristiwa ajaib yang tidak pernah ia duga, Zayyan mulai memahami bahwa Tuhan bekerja sesuai prasangka hamba-Nya. Perjalanan ini membawa Zayyan pada perjalanan spiritual yang tidak hanya mengubah hidupnya, tetapi juga memberikan harapan bagi orang-orang di sekitarnya.Akankah Zayyan berhasil memperbaiki prasangkanya dan menemukan keajaiban di balik keimanannya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan