RUMAH YANG HILANG #BanyakCeritadiRumah

0
0
Deskripsi

Walau saat ini aku sudah bersama ibuku lagi, kenangan yang dulu tetap tidak bisa terulang lagi, tidak ada ramai yang hangat itu lagi, semuanya hanya sepi dan dingin.

‘Rumah?’ 

Adalah satu kata yang sampai hari ini tidak terlalu ku pahami artinya. Bagiku, rumah hanyalah sebuah bagunan yang memiliki atap dibagian atasnya. Tapi, di dunia yang unik ini, sering kali aku menemukan, orang-orang memberi makna lain tentang rumah. Seperti, pasangan, keluarga, bahkan sahabat mereka, yang mereka sebut sebagai rumah. Jika seperti itu, apakah aku tidak memiliki rumah?

Aku belum pernah memiliki pasangan, sahabat? Entahlah aku kurang yakin. Tentu aku memiliki keluarga, aku memiliki seorang adik laki-laki, ayah dan ibu yang alhamdulillah sampai saat ini dalam keadaan sehat – semoga seterusnya begitu. Tapi, jika keluarga adalah rumahku, maka rumah yang aku miliki sudah hancur belasan tahun yang lalu, dalam artian lain, aku tidak memiliki rumah.

Sepuluh tahun terakhir ini, aku menghabiskan hari-hariku berkelana tanpa arah dan tujuan. Mengejar pendidikan, tersesat dalam perjalanan, mengikuti arus pekerjaan, aku terseret ke tepian yang gersang. Bahkan, ketika aku kembali ke bangunan beratap yang aku sewa setiap bulannya, aku masih merasa aku berada pada tempat yang kurang tepat.

Setelah cukup lama berkelana seorang diri, akhirnya ibuku datang menjemput untuk menemani. Lebih tepatnya ibu mengikuti perjalananku, dan akhirnya membawanya tersesat bersamaku. Huh, Bahkan setelah ibuku datang, aku masih merasa berada di tempat yang salah. Jadi, kesimpulanku, keluarga bukanlah rumahku, benarkan begitu?

Sadar tidak sadar, aku sering bergumam ‘ingin pulang’, padahal aku sedang berada di rumah, hmm, maksudku tempat tinggalku. Hal yang sebenarnya selalu membuatku binggung sendiri, aku ini ingin pulang ke mana? Kadang aku merasa gusar tanpa alasan, karena memikirkannya. Aku ingin sekali pulang, tapi tidak tahu ke mana.

Mungkin itu karena dulu sekali, kata ‘pulang’ adalah kata yang paling aku sukai. Terlepas dari diriku yang memang tidak terlalu suka berada di luar, bahkan sekolah adalah salah satu tempat paling menyeramkan, mengingat begitu banyak manusia yang harus aku temui, enam dari tujuh hari selama kurang lebih 8 jam per hari di setiap minggunya, belum lagi keramaian yang harus aku lewati dalam perjalanan pergi dan pulang yang selalu memuatku ingin muntah, hal-hal seperti itu yang membuatku selalu menyukai ‘pulang ke rumah’.

Bersyukur, dulu aku tinggal di tempat yang nyaman. Rumah besar dengan halaman luas yang dipenuhi dengan tanaman buah-buahan dan bunga-bunga yang cantik, teras yang lebar dan ada ayunan pula, hal-hal nyaman di rumah yang membuatku tidak suka berada di luar dan lebih memilih jika teman-temanku yang datang untuk bermain.

Tapi, bukan hal itu yang membuatku senang ‘pulang ke rumah’, kalian tau, saat lelah berada di luar seharian, ketika kalian pulang, akan di sambut dengan suasana tenang yang menyenangkan, masakan rumahan sudah tersedia di meja, acara tv yang berisik terdengar di ruang keluarga, hal-hal kecil seperti itu yang membuatku selalu ingin pulang.

Dahulu sekali juga, rumah besar yang hanya diisi tiga orang ini, tidak pernah sepi. Benar, tontonan ibu selalu menjadi suara wajib yang didengar setiap harinya, tapi teriakanku dan adik yang bertengkar juga menjadi melodi yang dirindukan, belum lagi ujaran ibu yang tak hentinya menyuruh belajar, makan atau sholat, suara-suara yang sulit ku dengar lagi saat ini.

Ah iya, sebelum akhirnya orangtua ku memilih jalan masing-masing, kami memang sudah tidak tinggal bersama ayah, sesekali ayah akan datang untuk berkunjung atau sekedar mengajak kami jalan-jalan, paling akan singgah dua sampai tiga malam. Aku tidak memiliki banyak kenangan dengan ayah, kebetulan memang tidak terlalu dekat juga. Hal-hal yang ku ingat hanya saat beliau bertengkar dengan ibu, atau bertengkar denganku, hehehe. Ayahku bukanlah orang yang jahat, kebetulan aku sendirilah yang bukan anak baik.

Suasana rumah yang paling aku rindukan adalah ketika ramadhan. Karena rumah yang kami tempati terbilang besar, biasanya setiap akan menyiapkan sahur, ibu akan membangunkanku dan adikku, untuk menemani di dapur yang terhuung dengan ruang tv karena merasa takut, ibu akan sibuk menyiapkan sahur, aku dan adik bertengkar merebutkan remot tv, dan setelah sahur menunggu imsak, aku dan adikku biasanya akan bermain kembang api di halaman rumah, hal ini kami lakukan hampir sebulan penuh selama ramadhan. Ah, sungguh kenangan yang manis.

Sampai aku SMP, selama ramadhan, sekolah diliburkan, jadi kami diberi tugas sangat banyak sebagai ganti pertemuan tatap muka di sekolah. Mungkin hal ini yang membuat suasana ramadhan dulu selalu terngiang di kepala ku, karena selama ramadhan aku habiskan di rumah saja. Pagi pergi ke pasar bersama ibu, siang mengerjakan tugas, sore pergi berburu takjil, sembari menunggu buka, menjelang lebaran kami akan membuat kue bersama-sama, walaupun aku dan adikku biasanya hanya ikut merusuh. Biasanya selama Ramadhan, aku lebih sering bermain sendiri di rumah, atau kadang bertengkar dengan adiku. Sulit menjelaskan perasaan saat itu, tapi yang jelas kenangan seperti ini yang selalu ingin aku rasakan lagi.

Sejak aku memutuskan untuk merantau, rumah itu akhirnya kami tinggalkan, kami semua saling berpencar mencari kehidupan masing-masing, sejak saat itu, aku merasa cerita dulu yang aku anggap hal sangat biasa, menjadi sesuatu yang sangat berharga, apalagi saat aku harus menjalani segala sesuatu sendiri. Ketika aku pulang, tidak ada makanan atau keributan yang menyambutku, saat aku bangun, hanya ada ruang minimalis yang hanya berisikan perabotan dan aku. Tidak ada suara tv, tidak ada pertengkaran, yang ada hanya sepi dan hening, suasana yang dulunya aku harap aku dapatkan, dan ternyata tidak aku inginkan.

Walau saat ini aku sudah bersama ibuku lagi, kenangan yang dulu tetap tidak bisa terulang lagi, tidak ada ramai yang hangat itu lagi, semuanya hanya sepi dan dingin.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CERITA DI SIANG ITU #BanyakCeritadiRumah
0
0
Itu kali terakhir aku bertemu ayah. Aku tidak pernah dekat dengan beliau. Sejak kecil kami memang sering tinggal terpisah dengan ayah karena pekerjaan orangtua kami yang tidak memungkinkan untuk tinggal bersama-sama. Setiap kali ayah datang, bukannya perasaan senang yang ku miliki tapi rasa tertekan, karena setiap bertemu orangtua ku selalu bertengkar. Tapi, absennya ayah dari kehidupan kami, membuatku merasa hampa, bagaimanapun beliau tetap ayah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan