
“Akan ada hari di mana, entah Mera atau kakak yang harus pulang terlebih dahulu. Saat hari itu tiba, yang tinggal harus berjanji untuk tetap hidup dengan baik.” Kalau aku yang pulang pertama, kakak harus tetap hidup dengan baik, jika sebaliknya, aku akan menyusul kakak pada hari itu juga. Tentu saja aku menyimpan kalimat itu dalam kepalaku, tidak ada niatan mendengar ceramah Alle di pagi hari.
Halo, ini cerita ke-4 dari seri ‘PAMIT’. Sedikit berbeda dari 3 cerita sebelumnya yang lebih menunjukkan...
Aku tidak pernah tahu, akan ada hari di mana aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Alle.
Aku dan Alle tidak sengaja bertemu saat aku mengikuti sebuah kompetisi tingkat SMA, di universitas tempat Alle mengenyam pendidikan. Di mana aku adalah peserta dan Alle panitianya. Waktu itu aku masih masih duduk di kelas-XII dan Alle mahasiswa tingkat II. Aku tersesat di kampus Alle yang menurutku cukup besar, dan Alle yang mengantarku sampai ke tempat kompetisi.
“Kak, aula ini ada di mana ya kak?” kalimat pertama yang aku ucapkan kepada Alle. Mungkin takdir yang membawaku bertanya padanya saat itu. Aku sudah beberapa kali melewati kakak mahasiwa yang lain, tapi tidak berani bertanya.
Pertemuan tidak sengaja itu, menjadikan Aku dan Alle teman satu hari. Karena waktu itu aku mengikuti kompetisi seorang diri, dan kebetulan itu sebuah kompetisi mandiri dan bukan dari sekolah. Aku hanya bertanya lokasi, tapi Alle benar-benar menemaniku sampai selesai, bahkan dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang.
“Aku mau minta nomor sih sebenarnya, tapi nanti aja deh. Kita ketemu lagi waktu kamu jadi mahasiswa di kampusku ya Mer.” Kata Alle saat itu sambil tersenyum. Mungkin karena terbawa suasana, aku merasa senyum Alle saat itu, adalah senyuman paling manis yang pernah ku lihat.
Aku tidak menjawabnya, hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Setelah hari itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Alle, tidak pernah mendengar kabarnya dan juga tidak berusaha mencari tahu tentang Alle. Aku juga tidak pernah berkuliah di kampus Alle, karena sejak awal memang bukan kampus itu yang jadi tujuanku. Pertemuan hari itu benar-benar hanya pertemuan satu hari.
Sampai, setelah 5 tahun berlalu, takdir kembali mempertemukanku dengan Alle.
“Apa kabar Mera?” Kalimat pendek yang menjadi simpul benang antara aku dan Alle.
Tidak butuh waktu lama untuku dan Alle menjadi dekat. Lingkungan pekerjaan, tempat tinggal yang berdekatan, dan tentu saja karena kami merasa sejalan.
Kebetulan juga, Alle adalah team leader di devisiku, yang mengharuskan kami banyak berinteraksi.
“Nanti pulang bareng ya Mer, temenin makan dulu.” Seperti sudah di-setting di kepalanya, kalimat ini terus diucapkan Alle saat setelah makan siang, setiap hari. Jawabanku juga selalu sama, satu kali anggukan kepala.
Berangkat bekerja bersama, makan siang bersama, pulang bersama, weekend juga masih bersama. Rutinitas yang kami lalui selama satu tahun lamanya, dan akhirnya memutuskan untuk terus bersama-sama.
~~~
Bagiku Alle adalah sosok kakak, sahabat? entahlah – ohh dan kekasih tentu saja. Alle juga memberiku keluarga, dia membagi kasih sayang orangtuanya, padaku yang tidak pernah tahu siapa orangtuaku. Alle ini Tipikal pria yang hangat, lucu, dan sangat menyenangkan belum lagi sifatnya yang baik, sebaik-baiknya manusia. Kadang aku berpikir, kenapa bisa ada manusia seperti Alle hidup di dunia tipu-tipu ini.
Keberadaan Alle di hidupku seperti matahari yang muncul setelah sekian lama badai besar menghantam duniaku, dia juga seperti pelangi yang memberi warna-warni baru untuk hidupku yang hitam kelabu.
“Jika Alle yang bersama Mera, nenek tidak perlu khawatir lagi.” Itu yang diucapkan nenek saat pertama aku membawa Alle ke rumah.
“Sepertinya aku sudah tidak bisa hidup lagi tanpa kakak.” Suatu pagi, setelah semangkuk bubur ayam dan secangkir teh hangat, di alun-alun kota. Alle terkekeh menendengar ujaran ku,
“Akan ada hari di mana, entah Mera atau kakak yang harus pulang terlebih dahulu. Saat hari itu tiba, yang tinggal harus berjanji untuk tetap hidup dengan baik.” Kalau aku yang pulang pertama, kakak harus tetap hidup dengan baik, jika sebaliknya, aku akan menyusul kakak pada hari itu juga. Tentu saja aku menyimpan kalimat itu dalam kepalaku, tidak ada niatan mendengar ceramah Alle di pagi hari.
“Jangan pernah punya pikiran, jika kakak yang pulang pertama kamu mau langsung menyusul.” Pria ini seperti cenayang, bisa-bisanya dia tahu isi pikiranku.
“Kakak bukan cenanyang, kelihatan itu di jidat kamu.” Katanya lagi, yang membuatku dengan sigap menutup jidat dengan kedua tangan. Alle terkekeh melihatnya. Lihatlah senyuman itu, bahkan matahari saja kalah cerah dari senyumnya Alle. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa senyuman itu.
Alle harus tetap dan selalu ada di hidupku, entah bagaimana caranya, akan aku usahakan.
~~~
‘Selama kakak pergi, kamu baik-baik ya. Jangan sampai salah naik angkot lagi.’ Isi pesan singkat Alle. Bangaimana bisa aku tahu, angkot yang aku tumpangi itu salah atau benar, harusnya kakak jangan pergi. Kenapa juga Alle harus tugas di luar kota. Tentu saja aku tidak sampaikan itu pada Alle.
‘Iya kak!’ Balasku singkat, tidak ingin berdebat.
Setelah sadar, angkot yang aku tumpangi berhenti di dekat pemakaman umum, pemberhentian terakhirnya. Alle tidak boleh tahu ini, pikirku. Tapi, Itu bukan masalah Mera, sekarang pikirkan bagaimana caranya agar tidak terlambat masuk kerja. Lagian, bisa-bisanya aku nyasar sampai ke kuburan.
“Mba Mera?” Terlalu sibuk melamun, sampai aku tidak sadar driver ojek online yang ku pesan sudah berhenti di hadapanku. Karena tidak mau salah angkot lagi dan takut terlambat, akhirnya aku memilih naik ojek online. Tentu saja ongkosnya membuat m-banking ku gemetar, bayangkan betapa jauhnya aku nyasar. Tahu begini harusnya aku pergi naik ojek online saja dari rumah tadi.
Hembusan angin yang bertiup membuat mataku perih, inilah salah satu alasan aku tidak suka naik ojek, padahal aku memakai kacamata dan helm yang menghalangi mataku dari tiupan angin. Aku juga tidak suka naik taxi, karena aku selalu merasa sesak nafas saat berada di dalamnya, padahal aku baik-baik saja saat berada di dalam mobil Alle.
“Mba nyasar lagi ya, sering banget mba nyasar ke pemakaman itu. Sepertinya ini kali ketiga saya nganter mba.” Pak Sugeng, driver ojek yang aku tumpangi tiba-tiba mengajakku bicara, membuatku tersadar lagi dari lamunan, hari ini entah berapa kali aku melamun.
Eh, iya ya pak? Saya lupa.” Jawabku sekenanya. Masa sih sesering itu aku salah angkot? Perasaan Alle jarang keluar kota, yang otomatis aku tidak terlalu sering naik angkot.
“Iya Mba. Mba juga lumayan terkenal di kalangan supir angkot dan driver ojek karena sering nyasar ke pemakaman itu.” Lanjut Pak Sugeng lagi. Aku diam saja tidak tahu harus menjawab apa, karena aku sendiri tidak merasa melakukannya. Aneh!
Karena aku diam saja, Pak Sugeng juga tidak mengajak bicara lagi. Sepanjang perjalanan, aku terus menunduk menghindar tiupan angin, sambil sesekali memikirkan perkataan Pak Sugeng. Kurang-lebih 30 menit aku sampai di kantor, syukurnya aku sampai tepat waktu. Hah, Rasanya berat sekali harus masuk kantor tanpa Alle.
Sesuai perkiraan, suasana kerja tanpa Alle benar-benar sepi. Aku tidak punya teman di kantor, biasanya hanya Alle yang mengajakku bicara. Terutama saat jam makan siang seperti ini, aku bingung harus melakukan apa.
“Mba Mera itu, memang selalu sendiri gitu ya mba?” Sayup tanya yang ku dengar itu langsung dihentikan si lawan bicara. Aku tidak terlalu mengenal mereka berdua, tapi keduanya ada di devisi yang sama denganku, yang bertanya tadi sepertinya anak magang yang baru 3 bulan terakhir ini bergabung.
Yang menggangguku bukan karena mereka membicarakanku di belakang, hal seperti itu sudah sering, jadi aku tidak peduli. Yang aneh, kenapa dia bilang aku selalu sendiri ya? memang benar aku tidak banyak bergaul, tapikan aku selalu bersama Alle, tidak sendirian.
‘Kak, hari ini aneh banget deh, nanti kalau kakak lagi luang, telfon Mera ya.’ Aku mengirim pesan singkat pada Alle, aku tidak punya teman cerita selain Alle.
‘Oh iya, hari ini Mera pulang ke rumah nenek. Kakak mau titip sesuatu untuk bapak-ibu? nanti sekalian mampir.’ Tulisku lagi. Kenapa centang satu?
~~~
2 hari sudah aku tidak mendapat kabar dari Alle, pesan yang ku kirim juga masih centang satu. Aku juga sudah berusaha bertanya pada atasan Alle, namun tidak mendapat jawaban. Tidak biasanya Alle seperti ini.
“Ayo makan dulu Mera, matanya jangan ke handphone terus.” Aku langsung meletakkan ponsel setelah mendapat teguran dari ibu Alle. Aku sedang mengunjungi kedua orang tua Alle. Sejak setahun yang lalu, Alle berhenti mengunjungi kedua orang tuanya, aku tidak mengerti kenapa, sepengetahuanku tidak ada masalah diantara mereka, bahkan saat aku datang berkunjung Alle selalu menitipkan sesuatu untuk kedua orangtuanya. Sejak setahun yang lalu juga aku yang menggantikan Alle mengunjungi mereka.
“Mera lagi ada masalah?” Kali ini ibu Alle duduk di sampingku, dan memegang tangganku. Ku perhatikan wajah beliau yang mulai terlihat menua, rambut hitam panjangnya yang sekarang selalu diikat juga mulai memutih. Tentu itu tidak mengurangi wajah cantik beliau. Ibunya Alle, sangat mirip dengan Alle.
Sedikit ragu, tapi tetap ku jawab, “Sudah 2 hari Alle tidak bisa dihubungi Bu, dia sedang tugas di luar kota.” Ku perhatikan lagi wajah ibu, raut khawatirnya tiba-tiba berubah menegang. Genggaman tangan yang lembut, kini terasa berat. Membuat perasaanku jadi tidak nyaman.
“Mungkin di tempat Alle sedang tidak ada sinyal. Nanti kalau sudah ada pasti langsung menghubungi Mera.” Ayah, yang sedari tadi asik membaca koran di ruang televisi, ikut menimpali. Walaupun tidak yakin dengan alasan Ayah. Setidaknya kalimat itu cukup membuatku tenang. Sementara ibu, masih terlihat tegang dan tanggannya masih menggenggam tanganku.
“Sekarang Mera makan dulu. Nanti nenek marah lagi, cucu kesayangannya tidak diberi makan.” Lanjut ayah, sedikit bergurau. Aku tersenyum kecil menanggapinya.
Berkat Ayah, segala pikiran jelek di kepala-ku mulai berkurang. Siang itu kami habiskan mengobrol bersama. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ibu, tapi wajahnya terlihat sedih, tanggannya terus menggenggam ku, setiap aku duduk di sampingnya.
Aku pamit ke toilet, sekaligus bersiap untuk pulang. Hari sudah mulai malam, dan besok aku harus mengejar kereta pagi. Saat aku kembali dari toilet, ku lihat ayah dan ibu sedang berbicara serius. Tidak ingin mengganggu, aku duduk di ruang makan yang terhubung dengan ruang televisi.
“Sampai kapan kita biarkan Mera hidup seperti ini?” Ku dengar suara ibu bergetar dan sangat frustasi. Aku hidup dengan baik selama ini?
“Tunggulah sedikit lagi, sampai hatinya lebih siap.” Jawab ayah pelan, dari sini aku bisa lihat wajah ayah yang sedari tadi terlihat ceria kini juga tampak sedih. Apa yang sebenarnya terjadi, hal apa yang mereka sembunyikan dariku?
Jika dipikirkan lagi, nenek juga bersikap aneh. Setiap kali aku membahas Alle, raut wajah nenek selalu sedih dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Padahal dulu nenek selalu bersemangat saat aku menceritakan soal Alle. Apa ada kaitannya dengan Alle yang tidak bisa dihubungi?
~~~
“Mera, kakak pamit ya. Kamu jaga diri baik-baik ya.” Setelah satu minggu lebih tidak ada kabar, Alle muncul di depan pintu rumahku pada malam hari, wajahnya terlihat lelah dan pucat. Apa terjadi sesuatu saat dia di luar kota? Saat aku mengajaknya masuk, bukannya ikut Alle diam saja dan malah berpamitan.
“Kakak mau pergi ke mana lagi? Sini masuk dulu.” Kataku masih berusaha membujuknya masuk ke rumah. Alle menggeleng lalu berbalik berjalan meninggalkanku, membuatku panik.
“Kakak mau ke mana?” Tanyaku lagi, mengikuti Alle dari belakang, dan dihiraukan olehnya. Alle berjalan cepat sekali membuatku ke susahan mengikutinya, dia tidak pernah memperlakukanku seperti ini. Biasanya Alle selalu berjalan di sampingku.
Hari sudah gelap dan jalanan sangat sepi. Aku tidak tahu Alle akan pergi ke mana, aku bahkan tidak mengenal jalan yang kami lewati ini. Aku terus mengikutinya dan memanggil-manggil Alle, berharap dia menoleh ke arahku. Telapak kakiku mulai lecet dan terasa berat sekali untuk melangkah, aku bahkan tidak sadar jika tidak menggunakan alas kaki, saat megejar Alle.
“Hiduplah dengan benar Mera. Jangan seperti ini!” Alle tiba-tiba berhenti. Aku tidak mengerti maksud perkataannya itu. Bukankah aku hidup dengan baik?
Belum lagi sempat aku menjawab Alle, tiba-tiba suara ledakan terdengar di sekitar kami. Suasana yang tadi sepi mendadak menjadi ramai, telihat orang-orang berteriak panik, suara sirine polisi dan pemadam kebakaran menggema menjadi satu. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil yang menempel dinding jalan dengan kondisi sudah terbakar dan sosok perempuan berambut hitam sebahu tergeletak di jalan tidak jauh dari mobil itu. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi tubuh wanita itu sudah di penuhi darah.
Mendadak dadaku menjadi sesak dan aku kesulitan bernafas, keringat dingin mulai mengucur dan tubuhku tidak bisa bergerak, mataku panas dan mulai berair. Di hadapanku Alle sedang memandangi wanita yang tergeletak itu. Aku berusaha memanggilnya, tapi suaraku tidak keluar.
“Mba Mera, Mba Mera, Mba . . .” Kesadaranku perlahan mulai menurun, ku rasakan sakit pada tubuhku yang menghantam aspal jalanan. Pandanganku mulai menggelap, hal terakhir ku lihat adalah Alle yang berbalik ke arahku sambil menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Satu-satunya suara yang ku dengar adalah seseorang yang terus memanggil namaku. Suaranya tidak asing!
“Mba Mera!!” Satu teriakan keras akhirnya menyadarkanku. Hah, Mimpi apa itu? Jantung berdegup sangat kencang, keringat dingin mengucur dan tubuhku gemetar. Saat kesadaranku mulai terkumpul, ku lihat Pak Sugeng ada di hadapanku membuatku terlonjak kaget. Bagaimana Pak Sugeng ada di rumahku? Ku perhatikan sekelilingku, ternyata bukan hanya Pak Sugeng tapi ada beberapa orang lain yang sama sekali tidak ku kenal. Pemakaman. Bagaimana bisa aku ada di pemakaman?
Pak Sugeng terlihat begitu lega, saat aku bangun untuk duduk, beliau juga terlihat khawatir,
“Kenapa saya ada di sini pak?” Tanyaku bingung. Pak Sugeng dan beberapa orang lain di sana juga sama bingungnya denganku.
Pak Sugeng menawarkan agar aku ikut ke rumahnya yang tidak jauh dari lokasi pemakaman, namun ku tolak dengan alasan aku tidak nyaman jika harus ikut ke rumah orang yang tidak begitu ku kenal dan minta diantar pulang, yang akhirnya dituruti oleh Pak Sugeng.
Hari sudah malam, suasana jalan sangat sepi hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Tidak ada pembicaraan yang keluar. Hanya suara mesin motor tua yang menggema.
“Qalle Ibra, itu temannya Mba Mera ya?” Tanya Pak Sugeng yang akhirnya memecah keheningan. Alle, Pak Sugeng kenal Alle?
“Bapak kenal Alle?” tanyaku ragu-ragu.
“Saya tidak kenal mba?” Jawa Pak Sugeng lagi, dan terdiam sebentar. Aneh pikirku.
“Namanya ada di nisan makam tempat Mba Mera tertidur tadi.” Sedikit ragu, Pak Sugeng menambahkan lagi. Ha? Mungkin namanya kebetulan sama.
“Kata warga yang tinggal di sekitar makam, setiap malam ada perempuan yang datang ke makam itu. Tapi kata mereka, perempuan itu akan pergi setelah beberapa jam duduk di sana. Tapi hari ini, perempuan itu datang sejak sore dan tidak pergi-pergi, jadi warga khawatir dan benar saja Mba Mera sudah tertidur di sana. Saya tadi tidak sengaja lewat dan ikut nimrung, curiga perempuan yang mereka maksud itu Mba Mera dan ternyata benar.” Pak Sugeng kembali menjelaskan. Apa maksudnya?
Mendengar penjelasan Pak Sugeng, membuat sekujur tubuhku menjadi dingin. Ada perasaan mengganjal yang membuatku tidak nyaman, tapi aku tidak mengerti apa. Apa aku berjalan sambil tidur? Lagi pula, selama ini setiap pulang kerja aku akan mampir ke rumah Alle untuk membantunya membersihkan rumah, jika aku melakukan hal aneh pasti Alle akan menghentikannya, dan jarak rumah ke pemakaman itu sangat jauh. Jadi, rasanya tidak mungkin, aku rasa mereka salah orang.
Banyak sekali hal aneh terjadi padaku akhir-akhir ini. Mungkin aku terlalu merindukan Alle yang tak kunjung memberi kabar.
~~~
10 hari sudah berlalu, aku masih belum mendapat kabar apapun dari Alle, pesan yang ku kirim juga masih centang satu, ponselnya juga selalu di luar jangkauan.
Karena sudah tidak tahan, akhirnya aku memberanikan diri untuk menghadap atasan Alle secara langsung. Tidak mungkin beliau tidak mengetahui keberadaan Alle, toh Alle pergi karena ada pekerjaan yang diberikan oleh atasannya. Pak Sapta.
“Maaf Pak, kalau boleh tahu saat ini Qalle ada di mana?” Tanyaku tanpa basa-basi, saat berada di ruangan Pak Sapta, pasalnya ini sudah lewat satu minggu, sementara Alle bilang dia hanya pergi untuk satu minggu.
Ku lihat beliau terdiam cukup lama lalu menghembuskan nafas sangat berat, tapi matanya enggan menatapku. Apa terjadi sesuatu pada Alle saat dia di luar kota? Tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku. Ku lihat lagi, Pak Sapta mengambil ponselnya dan berdiri membelakangiku, terlihat menghubungi seseorang.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dari raut wajahnya sepertinya sesuatu yang buruk telah terjadi. Perasaanku menjadi sangat tidak nyaman dibuatnya. Apa benar-benar terjadi sesuatu pada Alle?
Setelah selesai berbicara di telfon, Pak Sapta menghampiriku lagi. Kali ini beliau langsung menatap mataku, membuatku sedikit tidak nyaman. Pasalnya sorot mata Pak Sapta saat ini, memberi seribu pesan yang tidak mampu aku tangkap.
“Dengarkan saya baik-baik ya Mba Yamera . . .” Pak Sapta mulai menjelaskan, ku perhatikan setiap kata yang disampaikan Pak Sapta secara perlahan. Aku menghargai usaha beliau yang berusaha menjelaskan dengan perlahan dan hati-hati, tapi aku sama sekali tidak mengerti satupun yang beliau katakan. Apa yang sebenarnya ingin beliau katakan?
“Maaf pak saya potong, seingat saya ulang tahun saya masih lama pak. Saya rasa lelucon seperti ini tidak lucu sama sekali.” Kataku dengan nada tinggi. Aku sudah berusaha untuk bicara sesopan mungkin, tapi tidak bisa. Pak Sapta kembali menarik nafas panjang dan memijat pelipisnya.
“Mba Yamera, mungkin ini kasar. Tapi saya sudah bicara dengan keluarga Mba Yamera untuk melakukan pengobatan kepada mba, karena kami sudah tidak bisa mentolerirnya lagi. Percaya atau tidak percaya itu terserah Mba Yamera, tapi bagaimanapun, Mas Qalle sudah tidak bisa kembali.” Setelah ucapan Pak Sapta itu aku langsung keluar dari ruangan beliau dan membanting pintunya. Ku lihat orang-orang memperhatikanku dengan tatapan kasihan. Mereka mendengar percakapan kami? Apa mereka selalu menatapku seperti itu? Terserah!
Aku pergi meninggalkan kantor, tidak memperdulikan orang-orang yang berusaha menahanku. Aku bergegas menuju rumah Alle, mungkin dia ada di sana. Mungkin Alle selama ini sakit dan tidak mau merepotkanku. Bodoh sekali, kenapa tidak terpikirkan olehku.
Saat aku sampai di rumah Alle, rumah itu terlihat sangat bersih dan tidak berpenghuni? Dengan keadaan pagar rumah yang tergembok. Ah, kunci-nya ada di rumahku, aku tidak membawanya. Berarti Alle memang tidak ada di rumah. Dengan lemas, aku berjalan menjauhi rumah Alle. Aku tidak tahu harus kemana, aku tidak mau pulang.
Selintas, perkataan Pak Sugeng malam itu kembali berputar di kepala-ku, membuatku tersentak dan bergegas ke area pemakaman itu. Tentu saja aku tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Pak Sugeng, aku hanya ingin memastikannya.
Entah bagaimana, kakiku lancar sekali menyusuri jalan membawaku ke pemakaman itu, padahal lokasinya cukup jauh, dan seperti sudah biasa dengan jalan yang ku lalui, tanpa sadar aku sudah berada di depan makam yang sedang ku cari.
‘Qalle Ibra bin Jaffar, 1992 – 2022’ Jaffar, itu nama ayah Alle, apa ini juga kebetulan?Lututku langsung lemas membaca tulisan di batu nisan, membuatku terduduk tak berdaya. Apa ini, Alle selalu bersamaku?
Dengan bergetar, aku mengambil ponsel di saku dan membuka aplikasi pesan yang selama ini kami gunakan untuk berkirim pesan, seingatku pesan terakhir yang Alle kirim sekitar 10 hari yang lalu, sebelum tiba-tiba menghilang.
Aku mencari-cari pesan terakhir yang Alle kirimkan padaku 10 hari yang lalu, tapi nihil. Ku lihat, history percakapan kami, semuanya penuh dengan pesan yang ku kirim, bercentang satu. Sampai akhirnya, aku menemukan pesan terakhir yang Alle kirim padaku, pada 24 Juni 2022.
‘Mer, nanti kita pulang naik taxi online saja ya. Cape banget kakak, males nyetir.’ Masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat, aku mencoba melihat panggilan terakhir dari Alle, ada, 23 Juni 2022.
Bagaimana mungkin? Selama ini Alle selalu bersama ku. Kami pergi dan pulang bersama, kami makan bersama, kami berkirim pesan, kami mengobrol, Alle masih bersamaku 10 hari yang lalu. Apa maksudnya ini? Tidak, Ini pasti mimpi, sama seperti malam itu.
Berkali-kali aku menampar pipiku, dan mencakar tanganku berusaha bangun dari mimpi buruk ini. Tubuhku masih gemetar dan air mata perlahan mengalir membasahi wajahku.
“Ayo bangun Mera!!” Teriakku, masih melukai diri sendiri berusaha untuk bangun.
~~~
‘Mer, nanti kita pulang naik taxi online saja ya. Cape banget kakak, males nyetir.’ Ku lihat pesan yang baru saja dikirim Alle. Beberapa hari ini, Alle lembur terus bahkan setiap hari pekerjaannya selalu dibawa pulang, aku tidak tahu apakah dia tidur atau tidak. Jika melihat wajahnya, mungkin dia tidak tidur. Seandainya aku bisa bawa mobil.
‘iya kak.’ Balasku singkat. Entah kenapa hari ini aku tidak ingin pulang dengan taxi. Biasanya jika perasaanku tidak enak begini, pasti ada saja sesuatu yang terjadi. Tapi aku berusaha untuk menghilangkan pikiran buruk itu. Walaupun tempat tinggal kami tidak terlalu jauh dari kantor, tidak tega aku mengajak Alle pulang dengan berjalan kaki, dia pasti sangat lelah.
“Yuk Pulang, kakak sudah pesan taxinya, kita tunggu di bawah ya.” Kata Alle yang menghampiriku. Lihatlah, padahal wajahnya sangat lelah tapi dia masih bisa tersenyum lebar ke arahku. Rambut ikalnya yang biasa terlihat ‘bersemangat’ hari ini terlihat begitu klimis. Kasihan sekali Alle-ku.
“Kakak itu jangan maksain diri kenapa. Nanti kalau sakit gimana?” protesku, hari sudah malam, kantor sudah sepi, di lantai 3 hanya tinggal kami berdua dan security yang sedang berkeliling memeriksa ruangan.
“Ini tuh demi masa depan kita. Sebentar lagi kita mau nikah nih, kakak mau kamu kamu hidup nyaman setelah kita nikah nanti. Kalau perlu jangan kerja lagi.” Tukas Alle, sambil merangkulku. Saat ini kami berjalan menyusuri ruang-ruang sepi. Tentu saja jika ada orang kami tidak bisa seperti ini.
“Kita bisa hidup sederhana, Mera gak mau muluk-muluk. Yang penting sama kakak.” Jawabku. Memang benar.
Entah gemas atau apa, Alle langsung memeluk leherku dan menempelkan kepalanya di kepalaku, sambil mendusel gemas. Langsung ku cubit perutnya dan melepaskan diri, bagaimana kosongnya kantor ini, kamera cctv ada di mana-mana.
Sambil tertawa-tawa Alle menggenggam tanganku, sambil menuruni anak tangga menuju lantai 2. Kantor ini ada lift, tentu saja, tapi kami lebih suka turun lewat tangga. Kalau kata Alle sih, mengurangi perut buncit karena banyak duduk.
“Seandainya, kakak bisa jangain Mera sampai kita kakek-nenek.” Tiba-tiba saja Alle berujar lagi. Aku sedikit tidak senang dengan ucapannya itu, tentu saja Alle harus menjagaku sampai kami kakek-nenek, memangnya Alle mau pergi kemana?
“Ya kan memang harus gitu, memang kakak mau pergi kemana?” Tanyaku sedikit sewot. Alle tidak menjawab dan hanya tertawa-tawa saja, didekatkannya kepalaku dan memberi kecupan ringan. Alle memang selalu berlaku manis seperti ini, tapi aku merasa ada yang berbeda. Lagi-lagi perasaan tidak enak itu muncul.
“Mas Alle?” Tidak sadar, kami sudah berada di lobby dan langsung di sambut oleh driver taxi online yang di pesan Alle. Perasaanku saja atau, driver ini sedang mabuk? Wajahnya merah dan pandangannya tidak fokus.
Aku mengeratkan genggaman tangan Alle, mengisyratkan aku tidak ingin naik taxi itu. Namun, Alle membujukku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja, sepertinya Alle juga sadar dengan keanehan driver taxi itu. Akhirnya aku mengalah dan mengikuti Alle masuk ke mobil, di kursi belakang. Benar saja, bau alkohol begitu menyengat menyerang penciuman kami, membuatku sangat tidak nyama.
“Cuma sebentar kok, ditahan ya. Paling 15 menit. Soalnya ini sudah terlalu malam, susah dapat taxi lain.” Alle berbisik ditelingaku dengan nada membujuk. Dirangkulnya bahuku, berusaha membuatku untuk tenang. Aku merapatkan diri dengan Alle, berusaha mencari tenang.
Sesaat keluar dari lingkungan kantor, tiba-tiba saja dirver taxi yang kami tumpangi ini meracau tidak jelas, dia menyumpah dan memaki sendiri, dan bukannya membawa kami ke tempat tujuan, dia malah melaju berlawanan arah dengan tujuan seharusnya.
“Pak, harusnya ke-arah sana.” Alle berusaha berbiaca pada diver taxi itu dan dihiraukan. Bukannya berbalik arah, driver ini malah membawa kami semakin jauh dari lokasi tujuan, dengan kecepatan yang sangat tinggi. Membuatku semakit takut.
“Pak, kalau tidak bisa mengantar kami, tolong turunkan kami disini saja.” Alle masih berusaha membujuk driver itu dan masih dihiraukan. Kecepatan mobil makin tinggi dan kami berada di jalanan yang cukup padat.
“Pak . . .” Belum sempat Alle berbicara lagi, driver taxi itu mengarahkan mobil ke dinding jalan dan dengan sengaja menabrakkan kami di sana. Kejadian itu sangat cepat, membuatku tidak bisa merekam kejadiannya.Yang aku sadari driver itu meninggal seketika, dan aku sudah terhimpit oleh kursi penumpang di depanku. Tapi aku sama sekali tidak merasakan apa-apa. Seperti mati rasa, padahal darah mengucur deras dari tubuhku. Apa semua kecelakaan terasa seperti ini?
Ku lihat Alle di sampingku, kondisinya tidak jauh berbeda, tapi dia masih berusaha untuk bergerak. Matanya terlihat panik dan tidak fokus, berusaha mengeluarkanku dari himpitan, tidak perduli bahwa dia juga sedang terhimpit. Di luar sana sayup ku dengar suara orang-orang berteriak dan berusaha mengeluarkan kami
“Sabar ya sayang, sebentar lagi kamu keluar dari sini.” Suara yang biasa ceria itu, kini merintih lemah. Ku lihat, tangganku masih di genggamnya.
“Mba, Mas, bisa dengar saya? Tahan sebentar ya, sebentar lagi akan kami keluarkan.” Kata seseorang di luar, berusaha membuat kami tenang. Aku sudah lemas sekali tidak bisa menanggapi apa-apa, dan hanya pasrah.
Tidak sadar, kaca jendela di kursi depan sudah di pecahkan. Karna posisiku dan Alle yang terhimpit di belakang, membuat para relawan yang berusaha mengeluarkan kami kesulitan. Pintu terkunci mati dan tidak bisa terbuka, mesin masih menyala tidak bisa dimatikan membuat mobil menjadi sangat panas.
Alle terus mendekapku sebisanya, memastikan aku baik-baik saja dan membuatku merasa tenang. Kesadaranku mulai menurun, aku tidak bisa mendengar dengan jelas dan pandanganku mengabur. Tapi aku masih bisa merasakan kericuhan di sekitarku.
“Mera, jangan tidur ya. Ayo bernafas pelan, kakak bantu.” Mendengar suara Alle, aku berusaha untuk tetap terjaga. Alle terus berusaha menguatkanku, padahal kondisinya sendiri sudah sangat memperihatinkan.
Setelah berusaha cukup lama, akhirnya para relawan bisa membuka pintu di sebelah Alle. Sayangnya, mesin mobil masih belum bisa dimatikan. Para relawan berusaha untuk mengeluarkan Alle terlebih dahulu, tapi Alle menolak dan memaksa untuk mengeluarkanku dengan Alasan kesadaranku sudah semakin menurun. Walaupun sempat ada perderbatan sedikit, akhirnya para relawan setuju dan berfokus untuk mengeluarkanku. Tentu saja sulit, karena aku terhimpit oleh kursi, dan berada di antara Alle dan pintu kiri yang menghimpit tembok beton.
Dengan segala upaya, akhirnya mereka bisa mengeluarkanku. Alle melepaskan genggaman tangannya, membuatku menoleh dan melihat wajahnya. Alle tersenyum padaku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saat itu aku merasa bahwa ini terakhir kalinya aku akan melihat Alle, tanpa sadar aku sudah menangis.
Mereka meletakkanku di jalan aspal tidak terlalu jauh dari taxi yang kami tumpangi dan segera menuju Alle yang masih terhimpit. Belum sempat mereka berjalan mendekat, suara ledakan dari mobil yang sudah terlalu panas terdengar begitu keras. Memang bukan ledakan besar, tapi suaranya membuat semua orang yang ada di sana berteriak panik apalagi saat melihat mobil mulai terbakar.
Kulihat tubuh Alle masih di dalam sana, ikut terbakar bersama taxi itu. kulihat terakhir kalinya wajah Alle yang tersenyum ke arahku, tapi matanya menangis. Ingin sekali aku berlari ke arah Alle dan memeluknya, aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya tubuh Alle. Sayangnya aku tidak bisa melakukan apa-apa hanya tergeletak tak berdaya. Suara sirine pemadam kebakaran samar ku dengar bersautan dengan sirine polisi.
“Ambulance-nya masih jauh, pakai motor saja, cari rumah sakit paling dekat.” Sayup-sayup ku dengar suara teriakan di dekatku. Bersusah payah aku mempertahankan kesadaranku, tapi tubuhku sudah sangat lelah.
Kejadian terakhir yang ku ingat adalah, saat seseorang membopongku menaiki motor. Dilihat dari helm yang digunakan drivernya, sepertinya ini ojek online. Aku duduk di antara diver ojek dan seseorang yang memeluku di belakang. Hal terakhir yang aku lihat adalah tubuh Alle yang sudah hangus terbakar, diletakkan di jalan aspal. Sama sepertiku tadi.
~~~
Aku tidak ingat berapa lama aku tidur, tapi saat aku terbangun tubuhku terasa kaku dan sakit semuanya. Aku mengerjapkan mata berusaha membukanya, susah sekali karena sinar lampu menusuk mata dan itu perih. Sekali lagi, aku berusaha membuka mata, kali ini sedikit lebih mudah karena ada seseorang yang menghalangi sinar lampunya. Saat aku membuka mata dengan sempurna, ku lihat orang itu masih berusaha menghalangi sinar lampu dan tersenyum ke arahku.
“Alle . . .” Gumamku tanpa suara, dan mulai menangis merasa lega, karena ada Alle di sini. Sepertinya kecelakaan mengerikan itu hanya mimpi.
~~~
Aku terbangun dari tidur yang sepertinya cukup panjang. Ku lihat sekelilingku, tidak ada orang, hanya aku seorang diri, warna putih yang mendominasi ruangan membuatku tidak nyaman. Sepertinya aku sedang di rumah sakit. Tapi sepertinya ini bukan rumah sakit biasa?
Aku berusaha bangkit dari tidur berusaha untuk duduk dan kembali memperhatikan sekelilingku. Dari luar sayup ku dengar suara nenekku, Ayah dan ibunya Alle sedang berbicara dengan dokter.
“Sepertinya Mba Mera tidak bisa membedakan mimpi dan kondisi sebenarnya. Trauma di kepalanya cukup parah. Tapi tidak perlu sampai di rawat, yang penting rutin konsul dan terus diberi pengertian. Jangan sampai ditinggal sendiri.” Nenek, Ayah dan Ibu terdengar lega mendengar penjelasan dari dokter. Apa maksudnya?
Tidak ambil pusing, aku berusaha menggapai ponselku, sepertinya Alle belum kembali, aku ingin memastikan bahwa dia sudah membalas pesanku. Banyak sekali yang ingin aku ceritakan, terutama mimpi-mimpi aneh yang ku alami.
Saat ponsel berhasil ku buka, ada satu pemberitahuan dari catatan kalender. Aku tidak ingat pernah membuat peringatan di kalender seperti ini. Karena penasaran aku membuka isi pemberitahuan itu,
“24 Juni 2023, peringatan 1 tahun kepergian Qalle Ibra.”
Aku menatap isi pemberitahuan itu dengan tatapan kosong, lalu tersenyum kecil.
“Selamat tinggal Alle.” Ucapku lirih.
“Kenapa aku harus bermimpi seperti ini. Aku harap aku segera bangun.” Lanjutku lagi pada diri sendiri.
~~~
Ada beberapa perpisahan yang tidak bisa direlakan. Bagi Mera, Alle akan selalu hidup bersamanya, semua hari tanpa kehadiran Alle adalah mimpi buruk menurutnya. Saat ini Mera hanya belum siap untuk berpamitan dengan Alle. Semoga akan ada hari di mana, Mera bisa hidup lebih baik lagi, walaupun Alle tidak bersamanya.
Selesai, hehehe :)
Aku sengaja buat endingnya dengan keadaan Mera yang masih tidak 'baik-baik saja, karena menurutku tidak semua perpisahan bisa di ikhlaskan dengan mudah. Lain waktu, jika ada kesempatan aku mau buat lanjutannya dengan Mera yang sudah lebih baik. Semoga ya, hehehe
Ohh iya, fun fact juga nih, tepat satu hari setelah aku selesai buat bagian kecelakaan itu, aku juga ngalamain kecelakaan ringan. Lebih tepatnya, lagi jalan-jalan naik sepeda, aku di tabrak motor, sampai sekarang masih lecet-lecet :'D
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
