
“Sementara aku sendiri, begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang berputar di kepala. Apakah kami akan tetap berteman? Apa kami akan jadi orang asing? Bagaimana saat berpapasan, apa kami akan saling melempar senyum, atau berpura-pura tak saling kenal?”
Haloooo, ini cerita I dari seri “PAMIT".
Terus terang aku kurang puas dengan hasilnya, karena menurutku agak maksa. Tapi aku butuh masukan dari orang lain, jadi aku beranikan diri buat upload, hehehe :)
Kritik dan saran membangun dari kalian sangat aku tunggu yaa ~
Terima kasih :)
"Mari berpisah!" akhirnya ucapan itu terlontar juga dari mulut Ardan.
Tidak, ini bukan pertama kalinya Ardan mengatakan ingin berpisah. Tetapi, ini pertama kalinya Ardan mengucapkannya dengan serius.Sejak dia pulang tadi aku sudah merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia tidak menyapaku, bahkan enggan untuk menatapku.
Satu tahun terakhir ini, kami berdua memang sangat kacau hampir setiap hari ada pertengkatan. Aku menyadarinya cepat atau lambat kami akan berpisah. Akan tetapi, apakah sepuluh tahun kami harus berakhir seperti ini?
"Kenapa?" Tanyaku, tentu saja aku tahu alasannya.
"Aku mencintai orang lain." oh, ternyata bukan alasan yang aku pikirkan.
Aku menghampiri Ardan yang duduk di sofa, menempatkan diriku duduk berhadapan dengannya. Aku hanya menatapnya, tidak tahu ingin mengatakan apa. Lebih tepatnya terlalu takut.
"Kita sangat kacau satu tahun terakhir ini, setiap hari bertengkar. Aku bahkan tidak ingin pulang ke rumah, karena setiap bertemu kita pasti bertengkar. Aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya kita ributkan. Aku merasa sangat kesepian . . ." Ardan berhenti sejenak
"Saat itu aku bertemu dengannya, di tempat kerja. Aku banyak menghabiskan waktu dengannya, dan akhirnya jatuh cinta." Masih enggan menatapku, Ardan menyelesaikan perkataannya. Aku hanya diam tidak bisa mengatakan apa-apa. Terlalu terkejut, terluka dan sedih.
Aku memilih berdiri dan masuk ke kamar tanpa mengatakan apapun. Sempat ku dengar Ardan memanggilku dengan gusar, marah, kesal dan kecewa. Ya, sebagaimana satu tahun ini dia menyebut namaku, tak ada cinta dan kebahagiaan lagi di dalamnya.
~ ~ ~
Esoknya, aku keluar kamar. Tak ada tanda-tanda Ardan di dalam rumah. Aku yakin dia langsung pergi saat aku meninggalkannya. Tubuhku terasa lelah, aku sama sekali tidak bisa tidur dan hanya menangis semalaman.
"Di mana ponselku, aku harus menghubungi Ardan." pikirku, entah apa yang akan ku katakan, aku tetap harus menghubunginya. Begitu banyak notif di ponselku, dan satu pesan menyita perhatianku. Pesan dari agen travel yang aku dan Ardan booking tahun lalu.
"Aku tidak ingin membatalkan perjalanan liburan kita." Tulisku akhirnya, pada pesan singkat yang ku kirim kepada Ardan.
~ ~ ~
"Ayo lakukan perjalan ini, setelah itu kita bisa berpisah baik-baik. Aku tidak ingin kita bepisah dalam keadaan marah." Ardan terdiam dengan ucapanku. Setelah menerima pesanku Ardan langsung menelfon dan tentu saja Dia menolak permintaan itu. Dari suaranya aku tau dia sangat marah.
"Baiklah, tapi setelah ini kita benar-benar harus berpisah." Suara dingin Ardan yang setahun terakhir ini selalu menggema di telinga, dan membuat sakit sekujur tubuhku.
"Aku mengerti" ya, aku sangat mengerti.
~ ~ ~
Perjalanan tiga puluh hari kami menuju perpisahan akan di mulai hari ini.
Ini akan menjadi perjalanan liburan kami yang paling menyedihkan menurutku. Sebulan terakhir ini Aku dan Ardan sudah tidak tinggal bersama. Aku masih menempati rumah yang selama ini kami huni berdua, sementara Ardan memilih untuk tinggal di rumah sepupunya. Kami sepakat untuk bertemu di Bandara, dan tentu saja Ardan terlambat dia baru sampai 15 menit sebelum pemeriksaan dibagian imigrasi.
"Aku berpamitan dengan Andien terlebih dahulu tadi."Aku tidak mengerti mengapa Ardan memberi jawaban yang bahkan tidak aku tanyakan, tapi baiklah. Terlihat wajah Ardan tidak terlalu baik, jelas sekali moodnya sedang buruk. Lagi, tentu saja aku tahu alasannya. Beberapa kali aku mencoba untuk mencairkan suasana dengan mengajaknya bicara, tetapi dia tidak terlalu menanggapinya – dan tentu saja itu menyakitiku.
"Tiga puluh hari terhitung dari hari ini, kita akan berpisah. Aku ingin kita berpisah dengan baik tanpa ada perasaan marah atau benci satu sama lain. Aku tidak ingin kenangan baik selama sepuluh tahun kita tertutup dengan hubungan buruk setahun terakhir ini. Jangan khawatir, aku sama sekali tidak berusahan untuk memperbaiki hubungan ini dan meminta kamu kembali. Aku hanya berusaha untuk mengobati luka-luka satu tahun terakhir ini, dan setelahnya kita bisa melepas dengan tenang. Tapi jika kamu bahkan tidak mau berbicara denganku atau melihatku, tiga puluh hari ini akan menjadi neraka terburuk untuk kita berdua." Utarku panjang, aku langsung menggunakan headphone dan mengalihkan perhatianku pada buku yang sengaja aku bawa untuk menghilangkan kebosanan, tidak menyangka harus secepat ini untukku buka. Sebenarnya ini hanya alasan, untuk menghindari pertengkaran dengan Ardan. Aku tidak berani menoleh ke Ardan, karena aku bisa merasakan tatapan tajamnya kepadaku saat ini.Mungkin ucapanku ini akan memicu pertengkaran, tapi aku harus mengatakannya. Aku tidak ingin ada penyesalan.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami sampai pada destinasi pertama kami. Korea Selatan, pada malam hari. Agen travel yang akan menemani kami selama lima belas hari ke depan sudah menunggu di terminal kedatangan, untuk menghantarkan kami ke hotel. Aku dan Ardan beberapa kali mengunjungi korea selatan bersama-sama, bahkan sebelum kami menjadi sepasang kekasih, dan mungkin ini kali terakhir kami mengunjungi negeri gingseng ini bersama.
~ ~ ~
Sudah sepuluh hari perjalanan perpisahan kami berlalu, sisa dua puluh hari lagi. Aku banyak berkeliling sendiri ditemani Mas Tatang selaku tour guide yang bertanggung jawab menemaniku dan Ardan selama di Korea selatan. Sementara Ardan lebih memilih tinggal di kamar hotel, dia hanya ikut saat kami berpindah kota atau berpindah hotel. Bahkan dia lebih memilih room service daripada makan di luar bersama ku.
"Tour guide ku, partner honeymoon ku." celetukku pada Mas Tatang, yang terbahak-bahak mendengarnya. Aku sempat melihat Ardan menoleh, lalu membuang muka ke arah jendela. Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju Pulau Jeju, lima hari terakhir ini akan kami habiskan di sana.
Aku sangat bersyukur tour guide kami Mas Tatang, selain menyenangkan, beliau ini sangat sopan dan tau menempatkan diri. Biasanya aku cenderung tidak nyaman jika harus berdua saja dengan orang yang tidak ku kenal, tapi Mas Tatang sangat pintar mencairkan suasana jadi aku merasa nyaman-nyaman saja berkeliking bersamanya. Aku bahkan tidak terlalu terpengaruh dengan sikap Ardan dalam perjalanan kami ini. Awalnya memang agak sedih karena aku berharap bisa memperbaiki hubungan buruk ini, jadi setelah kami berpisah nanti tidak ada rasa dendam atau benci di antara kami. Tapi, melihat keadaan selama sepuluh hari ini, justru membuatku khawatir kami akan semakin marah dan benci pada satu sama lain. Kami tidak bertengkar seperti biasanya, hanya saja kami tak saling bicara.
~ ~ ~
"Setelah ini kita mau ke mana?" Tiba-tiba Ardan bertanya. Aku menoleh kaget pada Ardan, Mas Tatang juga sedikit kaget tapi langsung berusaha untuk terlihat biasa. Pasalnya, selama perjalanan ini Ardan sama sekali tidak tertarik dengan apapun. Mas Tatang menjelaskan rencana perjalanan kami selama di Jeju pada Ardan. Aku sudah tau destinasi mana saja yang akan kami kunjungi, karena Mas Tatang sudah menjelaskannya saat sebelum berangkat.
"Di sana nanti, ada satu tempat yang sering dikunjungi banyak pasangan. Katanya sih kalau pasangan berdoa di sana, bisa bareng-bareng selamanya. Katanya sih." Jelas Mas Tatang.
"Skip saja tempat itu mas." Cetusku. Lagian ngapain juga aku dan Ardan ke tempat seperti itu. Awal-awal pacaran kami pernah ke tempat seperti itu, ujung-ujungnya tetap pisah.
"Cus lah kita pergi." Lanjutku lagi, berusaha menghindari suasanan yang tiba-tiba menjadi canggung.
~ ~ ~
"Ramah banget kamu sama Mas Tatang." Aku menoleh ke sumber suara. Ku lihat Ardan menatapku. Saat ini kami hanya berdua, Mas Tatang baru saja menurunkan kami di hotel dan pergi menuju penginapannya.Surprisingly selama dua hari di Jeju Ardan terlihat cukup bersenang-senang. Dia ikuti semua kegiatan tidak hanya berdiam di hotel seperti selum-sebelumnya. Dua hari ini juga dia selalu berusaha membuka pembicaraan denganku.
"Biasa aja sih kayaknya." Ucapku mengadahkan bahu.
"Tapi Mas Tatang, memang baik banget sih." Lanjutku lagi, memang baik banget.
"Kamu suka?" Tanya Ardan tiba-tiba, masih menatapku. Kali ini tatapannya lebih datar dari sebelumnya.
"Gak jelas banget kamu." cemoohku pada Ardan, dan langsung bergegas menuju kamar Hotel ku. Aku dapat merasakan mata Ardan mengikuti pergerakanku. Bukan, bukan hanya matanya, Ardan memang sedang mengikutiku.
"Hei, kamar kamu di sebelah sana!" aku menunjuk kamar Ardan yang berjarak dua kamar, dari kamarku.
"Kita perlu ngobrol Rin. Di kamar kamu saja"
~ ~ ~
Aku dan Ardan akhirnya memutuskan untuk berbicara di café 24 jam yang ada di sekitar hotel. Ardan awalnya sedikit keberatan, karena memang ini sudah larut malam, tapi setelah mendengar alasanku yang merasa tidak nyaman membawanya masuk ke kamar hotelku, dan aku juga tidak ingin masuk ke kamar hotelnya, Ardan akhirnya setuju.
"Jadi apa yang harus kita bicarakan?" Tanyaku berusaha memecah keheningan. Tentu saja, banyak sekali yang harus kami bicarakan. Hanya saja, sudah 30 menit sejak kami duduk, bahkan minumanku hampir habis, tak satupun kata keluar dari mulut Ardan. Beberapa kali Ardan mengusap hidungnya, kebiasaan yang sering dia lakukan saat sedang merasa canggung. Terus terang aku juga merasa canggung. Entah kapan terakhir kali kami berdua duduk tenang seperti ini tanpa pertengkaran atau saling mendiamkan. Aku rasa ini momen terbaik sejak satu tahun terakhir yang kami lalui bersama.
"Aku minta maaf." ucap Ardan sangat pelan, dan masih tidak melihat ke mataku.
"Oh oke." Jawabku spontan dan sedikit kikuk. Aku kaget
"Mungkin konteks permintaan maaf kita agak berbeda. Tapi aku juga minta maaf." Lanjutku lagi, tulus. Aku tidak tahu, permintaan maaf Ardan ini dalam konteks yang mana. Tapi Ardan, aku juga minta maaf karena tidak bisa menjadi kekasih yang baik, aku minta maaf karena membuatmu merasa kesepian, aku minta maaf karena sering membuatmu marah dan kesal, aku minta maaf sudah memaksamu ikut berlibur denganku. Aku minta maaf untuk penderitaan kita selama satu tahun terakhir ini. Aku minta maaf. Tiba-tiba saja aku merasa mataku memanas, dan dadaku merasa tak nyaman. Lagi, suasana menjadi hening kembali. Ardan hanya diam, sambil memainkan sendok dan gelasnya. Tapi terlihat sekali dari wajahnya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
"Aku tidak tahu, hal apa yang ingin kamu bicarakan saat ini. Entah apapun itu, aku harap kesimpulannya adalah kita saling memaafkan. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin membahas masalah satu tahun terakhir ini, karena kita berdua tahu, masalahnya ada pada komunikasi kita yang memburuk, dan tidak satupun dari kita berusaha untuk memperbaikinya. Kita bahas sekarangpun sudah tidak ada artinya, pada akhirnya kita tetap memilih untuk bepisah dan itu adalah keputusan yang sudah kita setujui sebelum pergi berlibur. Awalnya aku ingin kita melalui liburan terakhir ini selayaknya pasangan kekasih, lalu setelahnya saling melepas dengan perasaan tenang. Hanya saja, dengan komunikasi kita yang tak kunjung membaik, aku hanya berharap kita tidak bertengkar selama perjalanan. Tapi, dua hari ini kamu cukup banyak berusaha untuk mendinginkan suasana, aku punya sedikit harapan setidaknya kita bisa melawati liburan ini sebagai teman. Toh, awalnya kita juga teman kan. Aku tidak berharap lagi untuk melanjutkan perjalan terakhir kita berdua ini sebagai pasangan, karena pasti akan canggung. Kita masih punya sisa dua hari di sini, dan lima belas hari perjalanan di Jepang. Ayo berlibur sebagai teman baik." Tuturku panjang. Aku tersenyum pada Ardan, dan mengulurkan tangan untuk menjabat tanggannya. Ardan menyambut tanganku, walau wajahnya terlihat sangat kaget. Seperti inilah akhir yang seharusnya.
Setelahnya kami lanjut bicara santai. Ardan kembali meminta maaf, dan mengutarakan penyesalannya padaku. Dia juga berkata jujur, ingin membuatku marah selama perjalanan liburan ini dan ingin membuatku merasa menyesal sudah memaksanya pergi. Tapi, melihatku yang justru mengabaikannya dan asyik sendiri, Ardan justru merasa menyesal dan memutuskan untuk minta maaf dan memperbaikinya. Ardan juga menceritakan unek-uneknya, selama satu tahun terakhir sampai akhirnya dia menjadi dekat dengan Andien. Sebenarnya perasaanku terasa tak nyaman dan ingin kembali ke kamar hotel, tapi sudah lama kami tidak bicara santai seperti ini, jadi aku berusaha untuk mengabaikan perasaanku.
~ ~ ~
"Mba Arin kusut banget mukanya." Sapa Mas Tatang yang sudah menunggu di lobby hotel.
"Pagi juga Mas Tatang." Sahut ku ketus, yang disambut tawa oleh Mas Tatang. Tentu saja wajahku kusut, sudah dua hari ini aku hanya tidur selama dua jam. Entah bagaimana, aku dan Ardan bergadang sampai subuh, padahal kami hanya berkeliling-keliling di sekitar hotel. Yah, semenjak obrolan panjang malam itu, hubungan kami 180° berubah dalam dua hari ini.
"Sepertinya Mba Arin belum siap pisah dengan saya, ya." Ujar Mas Tatang bergurau, membuat ku tertawa.
"Kita sudah tukeran nomorkan." Jawabku pada gurauannya, masih tertawa-tawa.
Tidak terasa lima belas hari terlewati begitu saja. Aku bersyukur bisa berbaikan dengan Ardan sebelum keberangkatan kami ke Jepang.Hari ini, aku dan Ardan akan melanjutkan perjalanan kami. Di Jepang nanti, kami akan melakukan traveling mandiri, tanpa tour guide. Bayangkan saja jika kami masih perang dingin.
"Cus, cabut sekarang." Tiba-tiba Ardan muncul di belakangku dan Mas Tatang, dengan muka masamnya. Wajah-wajah kurang tidur. See you Korea, sampai jumpa lagi di lain waktu. Mungkin selanjutnya Aku akan berkunjung sendirian atau mungkin dengan kekasihku yang baru, jika ada.
~ ~ ~
Pergerakan waktu sungguh sangat menyeramkan bukan? Jika kembali pada masa sepuluh tahun yang lalu, tidak satupun dari kami membayangkan hal seperti ini bisa terjadi. Aku dan Ardan pernah bercita-cita untuk melakukan foto pre-wed di Jepang. Jepang juga menjadi saksi bisu pernyataan cinta Ardan padaku hingga menjadi sepasang kekasih, dan sepuluh tahun berikutnya, di sinilah kami memutuskan untuk mengakhiri segalannya.
Tidak terasa juga, ini sudah hari terakhir kami berada di Jepang, dan besok kami akan kembali ke Indonesia. Hari pertama hingga hari ini, semua perjalanan sangat menyenangkan. Tidak ada pertengkaran, semuanya menggembirakan dan nyaman terkendali. Mengingatkan masa-masa pendekatan kami dahulu. Kami mengunjungi semua tempat yang pernah kami kunjungi selama menjadi teman dulu, awal-awal menjadi pasangan pasangan dan tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi bersama. Kami benar-benar bernostalgia dengan itu.
Selama di sini, Ardan juga memperlakukanku sangat-sangat baik, fokusnya benar-benar tertuju padaku. Ardan bahkan mengabaikan kontak dengan Andien, yang mana selama di Korea tak satupun panggilan atau pesan dari Andien yang bisa dia abaikan. Jujur saja, ini membuatku jadi sedikit berat untuk sepenuhnya berpisah. Tapi, kesepakatan kami hanya sampai besok, dan aku juga tidak berencana mundur dengan hal itu.
"Yah, besok kita sudah pulang." Ucap Ardan yang tiba-tiba muncul di belakang, membuatku kaget. Ditangannya banyak sekali tas belanja, membuatku terkekeh melihat hal itu. Yah, aku sedang menemani Ardan membeli oleh-oleh. Aku tidak terlalu berminat untuk belanja oleh-oleh saat ini, jadi aku hanya menemani saja.
"Banyak bener kamu beli oleh-oleh. Kayak ibu-ibu." Cetusku, membuat Ardan mendengus.
"Aku beli buat kamu juga. Masa iya tidak bawa oleh-oleh sama sekali." Kata Ardan sambil menyodorkan satu kantong besar kepada ku. Ckk.
"Males soalnya. Lagian mau dikasih ke siapa? Temen? Mereka juga sering kali, ke sini. Lagian aku bakal sibuk buat packing-packing pindahan." Ujarku sedikit menggerutu, tapi tetap mengambil kantong besar yang disodorkan Ardan padaku. Aku lihat, raut wajah Ardan sedikit berubah dan yang telat aku sadari adalah ucapan soal kepindahanku dari rumah 'kami', harusnya itu dibahas besok saja. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi, terlajur diucapkan.
"Ya sudah kita balik ke hotel dulu, naruh ini." Lanjutku lagi berusaha mengalihkan pembicaraan. Ardan diam saja, tapi tetap mengikutiku dari belakang.
~ ~ ~
"Jadi kamu mau keluar dari rumah?" Akhirnya Ardan membuka suara setelah keheningan melanda. Sudah pasti dia tidak akan mengabaikan pembicaraan ini begitu saja. Aku mengangguk menjawabnya. Hening kembali, kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing. Saat ini, aku dan Ardan sedang duduk di taman dekat hotel. Sudah tidak ada tempat lagi yang ingin kami kunjungi. Kami juga harus beristirahat, mengingat akan terbang ke Indonesia besok pagi.
"Kenapa?" Tanya Ardan, kembali memecah keheningan. Apanya yang kenapa Ardan? Jelaslah aku harus keluar. Pikirku tanpa berani mengatakannya.
"Rumah itu, kita beli berdua untuk ditempati berdua. Setelah kita pisah, agaknya akan aneh kalau aku masih tinggal di sana. Yah, berat jugalah buatku, lima tahun loh, kita tempati rumah itu. Tadinya aku mau bahas ini setelah kita pulang, entah rumah kita jual atau disewakan, lumayan jugakan uangnya bisa bagi dua." Jawabku panjang, dengan sedikit bergurau. Biar tidak terlalu tegang. Lama Ardan berpikir, lalu kembali bertanya,
"Jadi kamu mau tinggal di mana, udah dapet tempat tinggal yang baru?" tanya Ardan, dari suaranya aku bisa merasakan dia sedang khawatir. Tentu saja aku mengerti mengapa Ardan khawatir.
"Sementara ini, aku sama Echa dulu. Maklum baru ditinggal suaminya, masih kaget tinggal berdua doang sama Ara mana lagi hamil muda juga. Nanti aku sambil cari-cari tempat." Memang benar, Echa temanku mengajak tinggal di rumahnya untuk sementara waktu. Suami Echa baru saja meninggal, dan saat ini Echa sedang hamil muda. Ara anak perempuannya juga baru mulai masuk TK jadi masih kaget harus tinggal berdua saja, dan Echa juga tidak begitu dekat dengan keluarganya maupun keluarga suaminya.
"Jadi kita beneran pisah ya?" Ardan kembali bertanya, yang sepertinya ditujukan untuk dirinya sendiri. Pertanyaan yang dia lontarkan cukup membuatku kaget, pasalnya Ardan sendiri yang ingin pisah. Jadi, kenapa bertanya?
"Iya beneran." Jawabku seadanya.
Lima belas hari terakhir ini memang terlalu manis untuk dijadikan hadiah perpisahan, aku sendiri sempat lupa bahwa kami ada di sini untuk bepisah, dan saat tersadar ada rasa tak rela. Tapi, bagaimanapun Aku rasa kami tetap harus saling melepas. Mungkin saat ini terasa manis karena kami sebenarnya sadar, kenangan seperti ini tidak akan terulang lagi. Jika kami memutuskan untuk lanjut, mungkin hanya ada perdebatan atau pertengkaran seperti halnya satu tahun terakhir kemarin. Lagi pula Ardan sendiri sudah memindahkan hatinya pada orang lain. Tidak ada celah untukku tetap mempertahankan kami.
Sisa hari ini kami lewati dengan hening. Kembali tenggelam dalam skenario yang muncul di kepala masing-masing. Aku tidak tahu apa yang Ardan pikirkan. Sementara aku sendiri, begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang berputar di kepala. Apakah kami akan tetap berteman? Apa kami akan jadi orang asing? Bagaimana saat berpapasan, apa kami akan saling melempar senyum, atau berpura-pura tak saling kenal? Ardan sudah menemukan tambatan hatinya yang baru, lalu bagaimana dengan aku, apa aku bisa menerima orang lain masuk dalam kehidupanku? Apa aku akan menua seorang diri? Entahlah. Terus terang itu cukup menakutkan, bagaimanapun Aku terbiasa dengan kehadiran Ardan bersamaku. Walau, Ardan sudah tidak tinggal bersamaku, Aku masih berpangku pada status kami sebagai pasangan. Besok kami akan melepas semuanya, dan aku benar-benar akan sendiri setelahnya.
~ ~ ~
"Jadi, ayo kita akhiri di sini." Ujarku, berhadapan dengan Ardan. Saat ini kami sudah berada di bandara, sudah melewati bagian imigrasi dan sedang menunggu boarding. Ardan terlihat kaget dengan ucapan tiba-tibaku.
"Sekarang banget?" Ardan mengusap tengkuknya sedikit kikuk, Ia memperhatikan sekeliling, mungkin khawatir kami jadi pusat perhatian. Siapa peduli, sepuluh tahun yang lalu, Ardan juga melakukan hal yang sama di bandara ini, tanpa peduli orang akan memperhatikan kami. Tentu saja dengan skenario yang ⁷berbeda.
"Iya. Aku yang mulai ya." Balasku langsung menjabat tangan Ardan, yang saat ini terlihat masih kikuk.
"Ardan, pertama Aku mau bilang happy anniversary. Mungkin kamu lupa, tapi hari ini, hari jadi kita yang ke-10 tahun. Kalau kamu tidak ingat, rencana awal perjalanan ini adalah untuk perayaan satu dekade kita." Raut wajah Ardan terlihat sangat terkejut, mungkin dia benar-benar lupa.
"Yang kedua, aku mau minta maaf untuk semua kenangan buruk yang sengaja atau tidak, yang sudah aku torehkan dalam hidup kamu. Aku harap, aku bisa hapus kenangan buruk itu, jadi kamu hanya punya kenangan manis dalam ingatanmu. Terutama kenangan satu tahun terakhir ini. Aku minta maaf." Aku dapat merasakan genggaman tanggan Ardan yang mengerat. Aku tidak berani menatap wajahnya, khawatir konsenterasiku akan buyar, dan suara yang sedari tadi aku paksakan agar tetap terdengar normal, akan bergetar.
"Yang ketiga, terima kasih karena sudah hadir dalam hidupku. Terima kasih sudah menjagaku, dan menemani hidupku yang sunyi. Terima kasih sudah menjadi penerangku, dan mewarnai dunia kelamku. Terima kasih sudah menjadi sumber tawaku, dan menjadi penyeka dalam piluku. Terima kasih juga karena bersedia ikut dalam perjalanan ini. Terima kasih untuk semuanya Ardan." Sedikit lagi. Kita akan berakhir sedikit lagi.
"Terakhir. Mari kita akhiri ini dengan baik-baik. Mari hidup dengan lebih bahagia lagi. Mari saling melepas dengan senyuman. Mungkin setelah ini kita akan jadi orang asing, dan itu lebih baik dari pada kita harus hidup saling membenci." Akhirnya aku berani menatap mata Ardan. Aku tersenyum pada Ardan mengisyaratkan bahawa aku dan dia akan baik-baik saja.Ardan langsung membawaku dalam pelukannya, menggumamkan kata maaf, terima kasih dan menumpahkan segala perasaannya, sedih, marah, kecewa, takut. Entahlah.
Jadi ini pelukan perpisahan itu? Entah kapan terakhir kali kami saling memeluk seperti ini. Aku tidak ingat. Tapi, aku akan mengingat pelukan hari ini, seumur hidupku.
~ ~ ~
Selesai sudah perjalanan kami. Setelah ini aku harus mulai menata lagi hidupku. Awalnya pasti akan terasa aneh. Syukurlah Echa mengajakku tinggal bersamanya, setidaknya aku tidak terlarut sendiri dalam kesedihanku. Untuk Ardan, Aku yakin dia akan baik-baik saja.
"Kamu serius tidak mau bareng?" Entah sudah berapa kali Ardan menanyakan hal ini. Dia menawarkan tumpangan untuk mengantarkanku pulang, bersama sepupunya.
"Tidak Ardan, Aku bisa sendiri. Lagian kita tidak searah. Kamu jangan terlalu khawatir, tuh banyak taxi yang manggil-manggil." Aku menunjuk pada driver taxi yang tersenyum lebar, berusaha mempengaruhiku untuk ikut dengan mereka. Ardan tampak keberatan dengan jawabanku. Lagi pula Aku benar ingin sendirian. Aku ingin ini menjadi tempat terakhir kami mengucap pisah, menutup semua kisah kami di sini. Jika lain hari bertemu lagi, biar itu jadi lembaran baru dengan kisah yang baru.
"Lihat tuh, Bang Reno sudah nungguin." Sepupu Ardan yang super baik. Tempat Ardan kabur, mengadu, dan tempat yang paling sering kami repotkan jika kami sedang bertengkar. Orang yang dari awal mengikuti kisah kami. Ya, dari awal hingga akhir.
"Kamu beneran tidak apa-apa Rin?" Kali ini Bang Reno ikut bersuara.
"Beneran bang, Aku bisa sendiri. Serius." Aku berusaha meyakinkan mereka berdua.
"Ya sudah ya, sudah malam juga. Aku pamit dulu. Sampai bertemu lain waktu kalian berdua." Akhirnya aku mengakiri pembicaraan tak berujung itu. Melambaikan tangan, dan langsung berjalan berlawanan arah. Sempat kulihat Ardan seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi Aku langsung berbalik arah dan pergi.
Mungkin kita tidak berakhir bahagia, tapi Ardan aku selalu berharap agar kamu selalu berbahagia.
Selamat tinggal.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
