CERITA DI SIANG ITU #BanyakCeritadiRumah

0
0
Deskripsi

Itu kali terakhir aku bertemu ayah. Aku tidak pernah dekat dengan beliau. Sejak kecil kami memang sering tinggal terpisah dengan ayah karena pekerjaan orangtua kami yang tidak memungkinkan untuk tinggal bersama-sama. Setiap kali ayah datang, bukannya perasaan senang yang ku miliki tapi rasa tertekan, karena setiap bertemu orangtua ku selalu bertengkar. Tapi, absennya ayah dari kehidupan kami, membuatku merasa hampa, bagaimanapun beliau tetap ayah.

Mengingat hari itu, awal mula rumah yang tadinya hangat berubah menjadi terlalu panas hingga membakar dan terlalu dingin menusuk kulit.

Hari itu, aku berangkat ke sekolah seperti biasa, bermain dan tertawa bersama teman-teman seperti biasa. Kebetulan ujian semester baru saja usai, kegiatan di sekolah hanya seputar remedial dan class meeting. Seperti biasa pula, aku tidak terlalu banyak bicara, hanya sesekali ikut nimbrung dengan teman-teman dekatku yang kerap meleparkan guyonan. Benar-benar seperti biasa, hanya saja, hari itu perasaanku ditutupi gelap yang membuatku tidak nyaman, padahal matahari menantang dengan sangat gagah, tapi mendung menyelimuti diriku. Sepanjang hari, hingga pulang sekolah.

Hari itu, ibu mengirim pesan tidak bisa menjemput ke sekolah, dan memintaku untuk pulang naik angkot. Bukan hal aneh jika ibu tidak bisa menjemputu dan menyuruhku naik angkot, tapi aneh karena ayah sedang berada di rumah, dan biasanya beliau yang menjemputku ke sekolah, seingatku orangtuaku tidak ada kegiatan hari itu. Sudah lah. 

Dengan perasaan yang sedikit sebal, aku menunggu angkot di depan sekolahku, dan sialnya hari ini lama pula angkot itu datang. Sebenarnya sudah banyak angkot yang berjejer menunggu penumpang, tapi, hanya satu angkot ini yang berhenti tepat di depan rumahku, kebetulah pula, bapaknya ini tetanggaku. Jadi aku hanya mau naik angkot beliau, bayangkan dengan ongkos yang sama, tapi aku masih harus berjalan lagi menuju rumah, bukankan lebih baik memilih yang diantar sampai rumah?

Setelah cukup lama, akhirnya bapak angkot tersayang datang menjemput, aku dengan sigap berlari karena takut tidak kebagian tempat duduk. Benar saja, di belakangku, manusia-manusia pengincar tempat duduk langsung ikut menyerbu. Syukur lah aku bisa duduk, di depan pula. Karena penumpangnya orang-orang dari lingkungan tempat tinggal yang sama, dan bersekolah di tempat yang sama pula, suasana di dalam angkot, selalu seperti suasanya dalam mobil rekreasi keluarga. Dalam perjalanan kami yang sebenarnya singkat, ada saja cerita dan gosip yang dibahas. Tambah lagi kakak-kakak SMA yang ikut mengompori, makin panas saja suasana siang ini. Tapi, karena perasaanku masih tidak nyaman, aku sama sekali tidak ikut nimrung, aku hanya diam saja di depan.

Saat sampai di rumah kami yang terbilang besar itu, entah mengapa aura dingin mendadak menyergapku, perasaanku makin tidak nyaman, saat membuka pagar dan berjalan ke area rumah. Dari luar ku lihat AC kamar menyala, tidak biasanya ibu mengizinkan AC dinyalakan di siang hari, kecuali bulan ramadhan. Seperti biasa, aku masuk dari pintu samping yang terhubung dangan garasi mobil.

Benar saja, ternyata perasaan tidak enakku sedari tadi memang beralasan. Saat ku buka pintu, di ruang tamu ku dengar suara Mbah uti yang sedang menangis, suara ibuku yang berteriak parau dan ayahku yang terlihat menahan emosi. Ini bukanlah hal yang jarang terjadi, hampir setiap kali bertemu, orang tuaku selalu bertengkar, dan itu tetap tidak membuatku biasa. Aku benci suara pertengkaran.

Karena tidak mau mendengar lebih jauh, aku langsung berlari ke kamar yang ku tahu adikku sedang ada di sana. Saat membuka pintu kamar, ku dapati adikku menangis tersedu-sedu, hal yang tidak biasa, karena adikku jarang bereaksi saat orang tua kami bertengkar. Perasaanku yang tidak nyaman semakin tidak nyaman dibuatnya.

Tangisan mbah uti yang tak henti membuat perasaanku semakin tidak nyaman, cek-cok antara ayah dan ibuku yang tak kunjung usai, tangisan adikku yang makin menjadi, membuat kepala dan mataku jadi berat, mungkin jika aku ikuti perasaanku, aku sudah menangis bersama adikku. Tapi, aku tidak bisa runtuh disaat seperti ini, setidaknya harus ada satu orang yang bersikap tenang.

Aku mengeluarkan buku pelajaran, berusaha mengalihkan kalimat-kalimat yang dilontarkan kedua orang tuaku, sedikit berhasil karena aku hanya bisa mendengar suara mereka tapi tidak dengan perkataannya. Aku ingin mencoba menenangkan adikku yang masih menangis, tapi aku sendiri masih berusaha menenangkan diri.

Orang tua kami memang sering bertengkar, setelah tidak tinggal bersamapun, setiap kali bertemu pasti bertengkar, dan kali ini yang terparah. Saat itu aku hanya berharap keduanya berpisah saja dan tak perlu bertemu lagi, jadi tidak perlu ada pertengkaran lagi, aku bahkan tidak ingat kapan keduanya terlihat akur. Tapi, itu hanya keinginan saat itu, bukan sebuah doa yang ku harap diijabah.

Aku tidak ingat bagaimana, tapi tiba-tiba saja suasana menjadi hening, tidak ada suara tangisan dari mbah uti, tidak ada suara kemarahan ibu, suara ayah pun tidak terdengar sama sekali. Sangking heningnya, aku bisa mendengar langkah kaki seseorang yang mendekati kamar.

“Udah adik jangan nangis, gak apa-apa, nanti ayah bisa sering-sering datang.” Ucap ayahku tenang, berdiri di depan pintu kamar kami. Wajahnya tersenyum, tapi aku tahu dia tertekan. Aku tidak ingin menebak-nebak apa yang terjadi, tapi sepertinya aku mengerti.

Ayah masuk dan memeluk kami berdua, adikku kembali menangis, dan aku hanya diam saja, ayah kemudian mengambil beberapa barangnya yang ada di kamar, setelah itu pamit dengan mbah uti. Aku mendengar suara langkah kaki ayah yang berjalan menuju mobil, rasanya aku ingin mengejar beliau, tapi tubuhku kaku tidak bisa bergerak. Sampai akhirnya aku mendengar suara pintu gerbang dibuka dan ditutup kembali, bersamaan dengan suara mesin mobil yang semakin menjauh. Aku bahkan sudah tidak terpikir untuk menangis lagi, karena terlalu kaget dan bingung dengan situasi yang sering terjadi.

Itu kali terakhir aku bertemu ayah. Aku tidak pernah dekat dengan beliau. Sejak kecil kami memang sering tinggal terpisah dengan ayah karena pekerjaan orangtua kami yang tidak memungkinkan untuk tinggal bersama-sama. Setiap kali ayah datang, bukannya perasaan senang yang ku miliki tapi rasa tertekan, karena setiap bertemu orangtua ku selalu bertengkar. Tapi, absennya ayah dari kehidupan kami, membuatku merasa hampa, bagaimanapun beliau tetap ayah.

Mungkin karena sehari-hari aku selalu bersama ibu, setiap mereka bertengkar, secara tidak sadar aku selalu memihak ibu, walau tidak pernah aku utarakan, dan aku sadar, hampir setiap pertengkaran yang terjadi, ibu lah pemicunya. Hal itu membuatku selalu merasa bersalah dengan ayah, membayangkan betapa kesepiannya beliau.

Setelah kejadian itu, terjadi perubahan signifikan pada kami semua. Ibuku lebih sering marah pada kami, dan sering jatuh sakit juga, adikku lebih suka berada di luar rumah, aku mengasingkan diri dari orang-orang dekatku, bahkan ibu dan adikku, dan setiap harinya ada saja perdebatan tidak penting yang membuat kami lelah.

Aku selalu takut pulang ke rumah, tapi tidak ingin berada di luar, hal itu membuatku merasa sangat lelah.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya JANGAN GANGGU, PLEASE! #BanyakCeritadiRumah
0
0
“Kak, udah mau maghrib, bangunlah.” Ujar seseorang, membangunkanku. Suaranya pelan sangat halus. Tangannya halus mengusap kening dan rambutku, lalu menggenggam telapak tanganku. Mungkin karena sedang demam, aku merasa tangan itu sangat dingin.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan