Infinitvm | 01 You

1
0
Deskripsi

potongankehidupan,terputus,motif

Chapter 01 | You

 

Kediaman Luciena Lena, Senin, 1 April 2024.

 

***

 

Bip-bip-bip! Bip-bip-bip!

“Hmm?” 

Kubuka paksa kelopak mataku yang berat. Cahaya pagi menyelinap masuk lewat celah tirai di kamar. Dalam keadaan setengah sadar, aku mengusap ponselku ke atas, mematikan alarm yang berisik itu. 

Terasa janggal, mentari bersinar lebih terang dari biasanya kali ini. Begitu kusadari,

‘Sreekk...’ gorden di samping ranjang kubuka.

Wah! yang bener aja,

Bergegas aku bergerak tuk meraih ponselku di atas meja,

Duk!

 “Aduh!” aku terjatuh dari ranjang, membentur meja, menjatuhkan ponsel dari atasnya. Ponselku menyala, layar kunci menampilkan─06:42.

Ah! Kesiangan!

Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai, dengan gerakan terburu-buru, kusiapkan keperluan sekolahku.

Keluar dari kamar, tas kusampirkan di bahu, kemudian memakai sepatu.

“Lena, ngga sarapan dulu?” Mama menoleh dari meja makan, dengan sendok berada di tangannya.

“Nggak ah, udah telat, Ma!” 

“Bekal ini gamau bawa?”

“Oh iya,” 

Setelah kuambil kotak makanan itu, tanpa pamit dengan benar, aku langsung bergegas keluar rumah. Benar-benar pagi yang berantakan di hari pertama tahun terakhirku di SMA.

 

***

 

Dengan buku terbuka di tangannya, Arven berjalan pelan menyusuri gerbang sekolah. Mata, telinga, dan pikirannnya terpaku pada isi buku itu. Tak ada yang bisa memecah fokusnya di pagi itu; sampai,

 

“Arven,”...

 

“Arven!” Lena menyerunya.

 

 

 

 

Hoi!

Arven terkesiap.

 

 

“Oh, Elise. Kenapa?” 

 

Elise tersenyum;

“Serius amat baca bukunya,” ia berjalan disisi.

Menanggapinya dengan senyum tipis, kemudian Arven lanjut membenamkan diri dalam bacaannya, membalik halaman berikutnya. 

Elise melirik ke arah buku itu. “Baca apa sih?”

Tanpa berkata apa-apa, Arven memiringkan bukunya, memperlihatkan sampul buku itu kepada Elise.

“Eh? mau jadi ilmuwan atau apa nih?” Elise menatapnya, menyeringai tak percaya.

Dengan wajah bercanda, Arven menjawab, “Iya.” 

“Wow,” Elise menanggapi. “By the way, lu tadi dipanggilin sama o-” 

Kriiiinggg!

 

Bel sekolah berdenting, berkumandang di sepanjang koridor yang riuh oleh celoteh siswa. 

“Lah, udah bel. Ayok cek kelas kita dimana.” Arven mulai berlari. Elise pun mengejarnya. 

Hiruk-pikuk para peserta didik memenuhi papan pengumuman. Agak lama sampai mereka berdua menemukan kelas mereka. 

“Kelas mana?” tanya Elise.

“3-3.” 

“Gue 3-1, pantesan ga nemu.” Ucapnya.

“Apaan?” Tanya Arven penasaran.

“Nam- oh iya, gue sekelas sama Reo,” celetuknya. “Lena kelas mana ya? Lu sekelas ga?” sambungnya.

“Nggak tau ya, gua cuman nyari nama gua sendiri soalnya,” jawab Arven.

“Yaudah, sampai nanti ya, om!” Elise berlari menuju kelasnya.

“Hahahah..” 

Arven dan Elise berpisah jalan di sana. 

 

Laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kelasnya, matanya menyapu ruangan, menyusuri kelas untuk bangku yang cocok. Ia enggan duduk di barisan belakang, tapi juga tak mau duduk di barisan paling depan bak siswa teladan. 

Arven memilih bangku di barisan ketiga, di pinggir, dekat dinding kelas. Tak banyak wajah-wajah di kelasnya yang ia kenali; hanya ada 6 anak yang cukup baik hubungan dengannya di sana.

Wali kelas datang, kemudian mulai memanggil nama mereka satu persatu. Satu bangku masih kosong berada di belakang Arven. 

“Lena... Luciena?” 

 

Srek... Pintu kelas terbuka.

 

“H-hadir!” dengan napas tersengal, seorang siswi dengan suara yang familiar masuk ke kelas itu. 

Sedikit pertanyaan dilontarkan oleh guru mereka kepada gadis yang terlambat itu. Akhirnya ia mempersilahkan Lena untuk duduk di kursi kosong di belakang Arven. ‘Oh, sekelas ternyata,’ terbesit di benaknya.

“Kok bisa telat banget? kenapa nih sebenernya, Lena?” Arven bertanya.

“Kesiangan sih. Terus tadi MRT-nya delay,” kata Lena sembari menyiapkan tempat duduknya. 

“Kesiangannya kok ga disebutin tadi pas ditanya? hahaha,” Arven tertawa kecil, Lena pun tersenyum sedikit.

 

Hari itu berlangsung dengan begitu biasa tanpa ada kejadian berarti, bagaikan potongan cerita dari serial slice of life coming of age anak sekolahan. Hari-hari awal sekolah terlewati; matahari terbit, bel masuk, jam pelajaran, percakapan ringan, kegiatan eskul, hal-hal kecil yang segera terlupakan. 

Tanpa terasa, dua pekan berlalu begitu saja. Waktu terus maju ke masa depan, membawa perubahan kecil yang mungkin hanya disadari oleh mereka yang peka. Hari-hari datang dan pergi. 

Seiring waktu, beberapa orang merasa semakin dekat satu sama lain, ada pula yang merasa menjauhi, maupun dijauhi. Sebuah hubungan yang aneh, begitulah pertemanan.

Begitu juga apa yang dirasakan Lena Luciena. Ia merasa semakin akrab, kelihatan semakin erat hubungan kuartet protagonis itu walau tak seruangan─apalagi dengan Arven yang kebetulan ia sekelas dengannya. Tempat duduk mereka berdekatan, membuat Lena seringkali disatukelompokkan dengannya. 

mereka bertukar pikiran, berdiskusi; sesekali bahkan hanya sekadar mengobrol santai. Lena mungkin tak sadar, di antara semua teman-temannya, Arven adalah orang yang paling sering ia ajak bicara.

Interaksi Lena dengan dia terjadi begitu alami, seolah keberadaannya selalu ada dalam kesehariannya. Di sekolah, di hari libur, maupun saat berkumpul dengan yang lain.

 

Tak begitu disadari, setengah semester berlalu begitu saja. Bulan Juni datang, membawa hujan renyai yang berulang, pula membawa pekan ujian. 

 

Tiga hari menjelang PTS, Arven masih tampak tenang─mungkin terlalu tenang buat sebagian orang.

Sore itu di perpustakaan sekolah, empat siswa─tiga siswa sedang mengkaji pelajaran-pelajaran yang akan di ujikan tiga hari mendatang.

“Ini beneran soal yang keluar bakal mirip kayak gini?” bisik Reo sambil menatap lembar kertas di tangaannya. “Ujian tengah semester gak ada harga dirinya lagi.”

“KATANYA sih gitu ya...” Jawab Elise. “Jangan terlalu berharap.” 

“Iya sih, semoga ini Pak Tom lagi baik kayak pas itu,” balas Reo. (Kala itu karena pak Tom bertunangan.)  "Atau ngisengin kita aja ini?” lanjutnya.

“Mendingan pelajarin semua, tapi yang di kertas lebih kita prioritasin,” menurut Lena.

“Iya,” jawab Reo. “Emang selain pas itu kapan dia dermawan kayak gini?” lanjutnya. 

“Udah udah, salin ini cepet, terus kita ganti ke Matematika.” Elise menyudahi.

 

Usai menyalin soal dari kertas itu, Lena melirik ke arah Arven yang sedang memisahkan diri; membaca buku yang sepertinya tidak berkaitan dengan apa yang tengah mereka bahas.

Lena menyipitkan mata, mencoba mengintip judul buku yang Arven baca. Sampulnya hitam putih, tajuknya pun tak familiar. 

“Arven,” panggilnya setengah berbisik.

Yang dimaksud tak memberi tanggapan apapun. Di mata Lena, fokusnya membaca buku bagai kucing yang tengah memerhatikan Laser Pointer─ekornya bergoyang, tak bisa diganggu.

“Arven?” kedua kalinya ia disebut. Kali ini suara Lena agak keras.

“Ah,” Arven sadar. “Kenapa?”

“Lagi baca apa?” tanya Lena.

“Oh, ini. Novel yang mau diadapta-”

Reo menginterupsi, “udahlah, biarin. Gak pake beginian juga dah bagus nilai dia.”

“Emang kalian lagi bahas pelajaran apa?” tanya Arven, pura-pura tertarik.

“Tadi Biologi, habis ini MTK.” Jawab Lena.

“Pak Tom kan ngasih latihan soal, hapalin aja.” 

“Ragu sih kalo ini beneran,” kata Elise. Ia melanjutkan, “semoga pak Adrian nggak ada niatan ngubah-ngubah soal lagi, amin."

Mereka punya kebiasaan membuat panggilan untuk seseorang dengan ciri khas dari orang tersebut. Pak Adrian mereka panggil “pak Tom” karena dia punya tompel yang mencolok di pipinya.

 

Masa persiapan telah usai. Senin, 17 Juni 2024─mereka menghadapi Penilaian Tengah Semester dengan sangat tidak dramatis.

dalam 6 hari, para siswa dan siswi di sana bertarung melawan diri sendiri, banyak siswa yang memegang teguh harga diri mereka─ada pula bibit-bibit sampah masyarakat: membohongi diri sendiri, curang, menghalalkan segala cara semata-mata demi goresan nilai di atas kertas. Calon para koruptor bedebah, babi-babi hina yang tamak.

 

 

 

SMA Concordia─Ruang kelas 3-3, 

Senin, 24 Juni 2024.

Hari Pengumuman Hasil Ujian.

 

 

“Hahh!?” teriak salah seorang teman sekelas Arven. “Kok bisa kayak gini? Arven?”

“Yaudah lah, masih sama-sama remed kok kita,” balas Arven.

“Gue gak pernah ngeliat lo belajar sama sekali. Nilai kita berdua hampir sama!? gue belajar mati-matian; pas kelas pak Adrian lo tidur mulu! nyontek lo ya?” katanya, mengoceh kesal.

“Ga mungkin, Connie. Arven itu orang paling pelit pas ujian,” ujar salah satu temannya.

“Yaudah lah, Connie. Lagian masih gedean nilai lu dari gua,” kata Arven. 

Connie menjawab, “tapi nilai lo masih di atas delapan puluh?!”

“Lu belajarnya juga pake sistem kebut semalam,” kata Arven. “Pas pelajaran pak To-, pak Adrian kalian ngobrol kan? kelompok lu akhirnya gak dapet kertasnya dan...”

Perdebatan mereka terus berlanjut─hanya karena nilai biologi yang beda tipis, Connie mempermasalahkannya. Menurutnya, dirinya telah belajar mati-matian. Namun, nilainya berada di bawah KKM. Sementara Arven yang tak pernah terlihat belajar malah mendapat nilai yang hanya beda sedikit darinya.

 

 

Sinar mentari mulai nyaman, roda waktu di dinding telah menunjuk ke angka 4. Tidak ada kegiatan ekstrakulikuler maupun bimbingan belajar pada saat itu, Arven langsung bersiap-siap untuk pulang. 

Ia membungkuk di samping meja, memasukkan buku-buku serta kertas ujiannya ke dalam tasnya. Para siswa lain telah duluan pergi, menyisakan Arven dan Lena. 

Lena di bangku belakang─sudah selesai duluan, menunggunya. Setelah ia selesai, Lena menarik napas pendek, melangkah pelan, mendekatinya.

“Arven...” panggilnya.

Arven menoleh sambil menyampirkan tali tas ke bahunya. 

Belum Lena menyampaikan kata-kata lanjutan, Arven tiba-tiba berkata, “Lena, pulang bareng yok.” 

“Eh?”

“Reo sama Elise ada eskul, kita berdua aja nggak apa-apa kan?” lanjut Arven.

“Oh, iya. Ayok deh.” 

 

Jalanan tak begitu ramai. Kendaraan berlalu-lalang juga tidak terlalu sering. Suara langkah sepatu mereka berdua terus mengisi. Ucapan-ucapan jarang dilontarkan. ‘Begitu canggung,’ terbesit di hati Lena.

“Libur musim panas udah bentar lagi aja ya.” Lena memulai obrolan.

Arven mengaduh, “waduhh, iya lagi.”

“Loh, kok waduh?” 

“PR dan sekutunya. Sial, jangan diingetin,” 

“Siapa yang ngingetin? hahaha,” kata Lena. “Tapi kan, lebih banyak liburnya nanti?” sambungnya.

Arven menghela napas, “iyaa, tapi nanti tiap hari juga bakal gitu-gitu aja biasanya,” 

“Gitu-gitu aja? gimana tuh?” 

“Ngga ada hal baru, atau sesuatu yang, gimanaa gitu(?)” 

“Hmm,” Lena tersenyum kecil.

Obrolan mereka terjeda hingga mereka sampai di stasiun. Lena dan Arven akan berpisah jalan di sana. 

Lena nyeletuk, “yahh...”

“Kenapa nih?” Arven menanggapi.

“Kuharap liburan musim panas tahun ini ngasih kamu hal yang gimanaa gitu ya?” Lena tertawa kecil.

“hahah, apaan dah?” jawabnya.

Lena memberinya senyuman, terus berpamitan.

 

 

 

Sabtu, 20 Juli 2024.

Libur Musim Panas.

 

Arven berbaring di kamar, tatapannya kosong, tak ada hal menarik yang terjadi seharian ini. Ia tak melakukan apapun. Lupa akan tugas sekolahnya, ia merasa tidak harus melakukan sesuatu. 

Baru sehari. Mungkin besok baru nemu something.

Ia menyalakan ponsel, mencoba menemukan konten menarik yang mungkin muncul di beranda YouTube-nya.

Sebuah wawancara siaran langsung membuatnya penasaran, lantas ia membukanya.

“Perkembangan teknologi kita akan benar-benar melesat ya? kenapa Anda bisa begitu yakin?” kata si pewawancara.

“AI beberapa tahun lagi, ah, bukan. Bahkan sebentar lagi, mungkin akan mencapai singularitas.” Jawab sang narasumber, seorang ilmuwan.

“Singularitas?”

“Ya. Singkatnya, saat mesin menjadi sangat cerdas, bahkan lebih cerdas daripada kita, manusia.”

Terdiam sejenak, pewawancara kemudian melanjutkan, “Itu.. jadinya buruk atau baik, Pak?”

“Semoga saja mereka bisa kita ajak kerjasama, hahaha.” Jawab sang pakar dengan nada bercanda. “Kita sudah tidak bisa mundur.” Lanjutnya.

“Apa yang harus kami, para manusia awam, bisa lakukan sekarang?”

“Entahlah, mungkin berdoa?” jawabnya. “Namun, jika berjalan lancar, misi-misi antariksa yang kami, NASA rencanakan, Artemis misalnya, bisa kita wujudkan dengan waktu singkat. Yahh, motif awal kami mengembangkan AI itu juga karena itu juga sih.” Lanjutnya.

“Apa benefitnya bagi orang banyak, Pak?”

“Jika misi-misi awal lancar, maka sudah pasti tercipta efek domino kepada misi-misi selanjutnya. Pasti akan berjalan sangat mulus dengan bantuan AI. Kita bahkan bisa atasi masalah-masalah over populasi di Bumi, memindahkan sebagian kalian ke planet lain, hahaha.”

Untuk pertama kalinya, pada liburan musim panas Arven, terdapat sesuatu yang menggugah hatinya. Topik itu bukan sekadar menarik─ia juga seolah dibisikkan untuk membuat tujuan hidupnya.

Sebuah motivasi mulai tumbuh di dalam dirinya, pelan tapi pasti. Jawabannya saat bercanda dengan Elise kala itu sepertinya menjadi doa. 

Ia tertarik untuk bergabung dengan NASA.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Some
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan