Half Blood Queen

2
0
Deskripsi

(WATTYS 2020 KATEGORI PARANORMAL)

Bangkitnya Stella Rogers sebagai klan terakhir rubah merah berdarah campuran membuat para vampir berlomba-lomba memiliki darah Sang Half Blood. Meski telah mengganti nama,  mengubah warna iris mata,  hingga aroma tubuh layaknya manusia, Stella Rogers yang kini menjadi Federica Dawson harus menghadapi berbagai rintangan untuk melindungi diri dari mereka yang berusaha membangkitkan vampir half blood bernama Grim Ripper.

Di antara rintangan itu,  Federica Dawson dipertemukan...

BAB 1

Kapal pesiar bercat hitam metalik melaju dengan santai melintasi sepanjang sungai Gordon yang membelah hutan belantara Taman Nasional Franklin. Udara yang bersahabat dan cuaca cerah di bulan Februari tahun ini memang cocok untuk melakukan perjalanan. Termasuk beberapa turis yang terlihat asyik memotret dengan latar belakang deretan hutan yang menjulang tinggi dari jenis pinus huon dan eukaliptus.

Arus sungai yang begitu tenang dihiasi kicauan burung-burung endemik Pulau Tasmania yang beraneka ragam; Burung Sariawan, Burung Periwrens yang memiliki dahi berwarna biru cerah mencolok, hingga Tasmania Rosella atau Burung Beo khas Tasmania. Selain itu, gesekan dedaunan di antara pohon-pohon itu seakan menambah rasa nyaman para turis, hingga tiba-tiba salah satu di antara mereka berteriak histeris membuat semua orang terperanjat kaget.

What’s wrong, Marry?” Lelaki bertubuh gembul menatap wanita di sampingnya. “I’m so sorry, mungkin dia terlalu banyak melamun, Tuan dan Nyonya,” lanjutnya merasa kikuk melihat istrinya bertingkah tidak sopan di depan umum. 

“Bukankah batu itu terlihat seperti manusia, Freddy?” Marry—wanita berambut blonde yang wajahnya terlihat pucat menunjuk ke arah kanan sungai dengan gemetaran. “Mengapa bentuknya aneh?”

Freddy menyipitkan kedua mata. “Hei, Man. Bisakah kita mendekati benda itu?” teriaknya pada kru kapal.

“Tidak bisa, Tuan. Kita memiliki waktu tur yang terbatas,” kata kru kapal berseragam hitam dan putih.

“Kupikir itu tidak sekadar batu,” sahut penumpang lain yang berdiri tak jauh dari Marry. “Bagaimana jika itu mayat yang mengapung dari dasar sungai?”

Semua orang bergidik ngeri sambil berbisik. Kedua mata dan pikiran mereka memang tidak bisa menyangkal pada keanehan batu berwarna coklat kehitaman yang sangat mirip dengan seorang manusia dalam posisi menungging. Bahkan salah satu penumpang lain berkata bahwa batu itu mirip batu yang berada di Indonesia di mana ada mitos batu Malin Kundang yang sangat populer.

“Sebaiknya kau menelepon polisi. Aku yakin batu itu bukan sekadar batu,” ujar Freddy pada kru kapal.

####

Penemuan bongkahan mirip dengan manusia pun menggegerkan warga di kota Strahan, Tasmania. Pihak kepolisian dibantu dengan tim arkeologi forensik berhasil memindahkan batu seberat 55 kilogram untuk diteliti di pusat kota Hobart. Sedangkan lokasi kejadian diberi pembatas kuning untuk penelitian lebih lanjut yang memungkinkan ditemukannya situs sejarah, termasuk sisa tengkorak makhluk hidup di jaman purba maupun jaman es.

Awalnya banyak yang mengira bahwa bongkahan itu berisi korban pembunuhan, hingga muncul spekulasi adanya pembunuhan berantai. Mengingat beberapa minggu ini banyak orang-orang yang mendadak menghilang. Namun, melihat kondisi kerakal besar dan mayat yang ditemukan pada umumnya, membuat sebagian orang menebak mungkin dia bukan korban pembunuhan. Melainkan mumi jasad seorang wanita suku Aborigin yang tewas tenggelam di sungai selama ratusan tahun lamanya hingga endapan lumpur serta arus sungai membawanya muncul ke permukaan.

“Sungai Gordon tidak memiliki arus sungai yang deras, mana mungkin jika batu itu mengapung dengan sendirinya?” tanya salah satu polisi yang bertubuh kurus ketika melihat penampakan batu di ruang forensik. “Kecuali dia adalah batu apung yang berukuran sangat besar, tapi aku masih tidak yakin. Ini mustahil bukan?”

“Kalaupun mayat, harusnya tidak seperti ini. Bahkan hewan yang tenggelam di sungai pun akan mengalami edema di seluruh tubuhnya dan tidak serta merta menjadi batu. Ini aneh.” polisi lainnya berpendapat. “Jika dia adalah salah satu daftar korban hilang, maka ini menjadi sebuah pertanda baik. Kita bisa menangkap pelakunya.”

“Benar, kuharap begitu.” 

Kemudian, seorang lelaki memakai kemeja kotak-kotak dan berkacamata tebal dengan sebuah kartu tanda pengenal bertuliskan 'Nicholas Houston' datang. Dia mendekati batu itu dan menyentuhnya dengan tangan terbalut sarung tangan berwarna putih. Kedua alisnya bertaut merasakan tekstur lembut bongkahan berbentuk wujud manusia, setelah dibersihkan oleh tim arkeolog dengan air tekanan tinggi. Ragu-ragu, dia menekan sisi bongkahan dengan sedikit dorongan.

Alangkah terkejutnya ketika hasil gencetan tangan Nicholas membuat sebuah cekungan dalam. Dia mengernyit semakin penasaran lalu mencoba memasukkan jarinya untuk menemukan sesuatu di balik benda aneh di depannya ini. Sembari mencoba meraba, dia merasakan sesuatu yang lebih kenyal daripada tekstur batu yang keras. Nicholas mencungkil lapisan endapan lumpur yang mulai melunak dan tampaklah sesuatu berwarna putih pucat menyerupai kulit manusia.

“Jack! Jack!” teriaknya dengan mata melotot. “Ini bukan batu! Ini mayat!”

Kedua polisi itu terkejut bukan main saat Nicholas mengeruk lapisan endapan lumpur yang membungkus mayat itu. Mereka semakin dibuat penasaran saat Nicholas memberanikan diri membongkar lapisan lumpur yang melapisi tubuh mayat. Dan semakin tercengang kala tahu di balik bongkahan besar itu ada seorang perempuan telanjang berambut ginger dengan banyak bekas luka cakaran yang terlihat masih sangat baru.

“Bagaimana mungkin?” tanya polisi bertubuh kurus yang dipanggil dengan sebutan Jack. “Ketika kami di lokasi, batu itu bukan sebuah endapan lumpur yang bilamana terkena air akan menjadi lembek. Bahkan seperempat dari batu itu terendam air sungai, bukankah harusnya dia lembek sejak awal?”

“Oke, sekarang aku yakin dia salah satu korban hilang, Jack,” ucap teman polisi Jack dengan wajah pucat. “Psikopat atau sosiopat, aku yakin dia akan mendapat hukuman setimpal atas pembunuhannya.”

Jack membisu dengan iris mata yang masih memandangi luka-luka yang berada di sekujur mayat itu. Keningnya berkerut, banyak pertanyaan yang menggerayangi benaknya namun seperti tidak ada benang merah. Tapi, dia pun setuju dengan pernyataan teman polisinya itu, mungkin saja ini adalah kasus pembunuhan berantai yang melibatkan seorang psikopat atau sosiopat.

“Kasus menarik,” gumam Jack menoleh kepada temannya. “Sebaiknya kita bawa ke Royal Hospital saja.”

####

Kepolisian Hobart dibuat bingung dengan penemuan yang berawal dari sebuah batu asing dan berakhir menjadi penemuan mayat perempuan dengan kondisi yang tidak membusuk sama sekali seolah dia baru dibunuh beberapa jam lalu. Tim dokter forensik meneliti jejak kematian pada mayat perempuan yang diperkirakan berusia enam belas tahun. Ajaibnya, tidak ada jejak identitas yang tertinggal di lokasi kejadian. Bahkan, di daftar pencarian orang hilang pun tidak ada ciri-ciri fisik yang sama dengan korban. Seolah-olah mayat perempuan itu orang baru di Hobart.

“Apa kau percaya teori konspirasi?” tanya Chloe—salah satu tim penyidik berambut pirang. Dia memijit keningnya sendiri, menatap deretan data-data di layar komputer bersama tiga rekannya. “Bagaimana mungkin dia bukanlah warga Hobart bahkan warga di negara ini? Sekalipun dia warga negara asing yang sengaja diselundupkan seseorang, harusnya para petugas imigrasi mempunyai datanya ‘kan?”

“Ya, kau benar,” jawab Oliver memandang serius foto-foto mayat perempuan yang diberi label Jane doe—mayat tanpa identitas di papan di sisi kiri Chloe. “Tapi, aku tidak percaya konspirasi atau apa pun itu, Chloe. Meski kita tahu bahwa mayat ini memang terbilang sangat dan sangat aneh.” Lelaki plontos dengan mata biru terang menatap Chloe seraya mengatupkan bibir. “Aku bingung. Kepalaku rasanya ingin meledak mendapat kasus seperti ini.”

Chloe menganggukkan kepala sambil mengusap tengkuk lehernya yang kaku. Dia tidak tidur beberapa hari demi memecahkan kasus misterius ini. “Bagaimana jika orang-orang yang hilang itu, bukan terbunuh karena serangan hewan, Oliver? Dan bagaimana jika tiba-tiba mereka akan muncul dengan pola yang sama?”

Oliver tertawa dengan suaranya yang terdengar seperti mengejek Chloe. “Oh ayolah, mana mungkin? Kita sudah menyusuri sungai Gordon, Chloe. Dan kita pun sudah memegang kasus itu hampir enam bulan. Hasilnya nol besar. Mereka hilang seperti asap dan menurutku tidak ada hubungannya dengan Jane doe.”

Bibir tebal Chloe mengetat dengan rahang yang terkatup keras. Dia pun sama dengan Oliver, kepalanya hampir meledak mendapat dua kasus yang sama-sama membingungkan. Di sisi lain, para dokter menyimpulkan bahwa mayat itu bukan berasal dari Tasmania. Andaikan dia mumi terbaik, seharusnya kulit mumi tidak pucat seperti ciri fisik orang Eropa pada umumnya melainkan coklat kehitaman khas suku Aborigin. Mereka berpendapat kalau mayat itu juga memiliki kelainan genetik pada iris matanya yang memiliki perbedaan warna yang tidak dimiliki manusia.  

Hasil dari ekstraksi hati ditemukan kandungan racun ular yang cukup banyak disertai luka bekas cakaran hewan sedalam kurang lebih lima senti. Tapi, tidak ditemukan retak baik di tulang dada maupun tulang tengkorak. Mereka menduga mayat itu tewas akibat serangan binatang buas serta gigitan ular besar, tapi belum bisa memecahkan masalah mengapa tubuhnya bisa terbungkus oleh endapan lumpur hingga menjadi batu di sungai. Seraya menunggu penyelidikan lebih lanjut oleh tim penyidik kota Hobart, akhirnya, tubuh Jane doe disimpan di lemari khusus dengan suhu empat derajat Celsius untuk dilakukan penelitian lebih dalam.

 

BAB 2

Terdengar suara sirene dua ambulans yang menggelegar jalanan menuju Royal Hospital, membawa tiga pasien korban kecelakaan lalu lintas. Seorang lelaki berusia enam puluh tahunan dengan perban di kepala serta luka gores di tubuh, sedang menangisi istrinya yang terbaring tak terkapar di atas brankar. Petugas ambulans sibuk melakukan tindakan medis dengan sesekali melakukan pijat jantung. Lelaki tua itu menangis sesenggukan, menyalahkan diri sendiri mengapa kecelakaan nahas ini terjadi pada keluarganya. 

“Alice ....” lirihnya memanggil sang istri yang sedang mempertaruhkan nyawa. “Kau harus bertahan, Dear.”

Petugas ambulans dengan label nama di dada kiri yang bertuliskan Norin terlihat tegang dengan peluh keringat yang membasahi dahi. Kedua tangan yang terbalut sarung tangan medis berlumuran darah karena harus menekan perdarahan di bagian paha kanan. Sementara petugas lain sibuk memasukkan obat ke dalam selang infus berharap bisa mempertahankan nyawa korban.

Lelaki tua itu semakin tersedu-sedu mendengar penjelasan Norin kalau istrinya dalam kondisi kritis akibat cedera di bagian kepala, dada, dan kaki. Harapan untuk selamat semakin menipis, bahkan dia pun tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan hidupnya yang sudah senja tanpa anak dan belahan jiwanya itu. 

Ambulans berhenti tepat di lobi bertuliskan Emergency Room dengan pintu kaca yang langsung disambut oleh perawat dan dokter. Dua tubuh yang berlumuran darah itu ditarik begitu saja dari atas brankar dan dilarikan menuju ruang gawat darurat dengan suara-suara petugas medis yang saling memberi instruksi untuk menyelamatkan korban. Sementara lelaki itu di antar menuju ruang lain untuk diobati luka-lukanya.

Sejenak pikiran lelaki bernama William Dawson kini mundur pada musibah yang menimpa dirinya tepat di tikungan Lower Domain Road untuk menghindari seseorang yang mendadak muncul di tengah jalan.  Antara percaya dan tidak, dia melihat seorang lelaki berambut sedikit panjang menutupi leher mengenakan kaus hitam dengan mata merah menyala dan mulut serta kedua tangan yang berdarah-darah. Tentunya William yang tidak percaya dengan hantu pun berusaha menampik apa yang dilihat. Dia tidak mungkin berhalusinasi di siang hari meski cuaca mendung di pertengahan musim gugur.

Namun, saat dievakuasi oleh petugas ambulans, William tidak melihat lelaki bermata merah itu. Dia menghilang seperti kepulan asap dan tak berjejak. William mengatakan kepada petugas bahwa ada lelaki yang berdarah-darah di mulut dan tangan, tapi mereka tidak percaya karena hanya keluarga William yang ada di tempat kecelakaan. 

Are you okay, Mr. Dawson?” tanya perawat yang baru saja selesai menutup luka-luka William, membuyarkan lamunan panjang lelaki berjanggut putih itu. 

Well ... ya, aku tidak baik. Aku memikirkan istri dan anakku, Nona. Tapi, apakah kalian pernah menerima korban kecelakaan di tikungan itu?”

Perawat berwajah oriental yang menangani William mengernyit sejenak kemudian mengangguk. “Beberapa minggu ini sering terjadi kecelakaan, Tuan. Dan sayangnya sering terjadi di tempat sama, seolah seseorang sengaja menaruh umpan di sana. Saya sangat prihatin atas apa yang terjadi pada Anda, Tuan.”

“Apakah kau percaya bahwa aku melihat seseorang bermata merah di tikungan itu, Nona? Seseorang yang tiba-tiba muncul membuatku banting setir mobil dan dia menghilang begitu saja,” ungkap William.

Perawat terdiam cukup lama sebelum akhirnya menyuruh pasiennya untuk beristirahat dan menjelaskan kronologi kecelakaan kepada polisi. Sedangkan William masih bertanya-tanya dalam benaknya sendiri, merasa begitu janggal dengan sosok lelaki misterius. Bagaimana mungkin lelaki bermata merah muncul dan hilang begitu cepat? Tidak ada manusia yang bisa menghilang sekali pun dia pelari terhebat. 

“Mr. Dawson!” seru dokter yang muncul di ujung pintu perawatan. Wajahnya terlihat tegang dengan muka pucat membuat kedua bahu pria itu merosot seakan tahu tatapan dari wajah sang dokter. 

###

Hidupnya serasa dijungkir balik oleh waktu yang kini tidak bisa diputar kembali. Entah sudah berapa lama, dia duduk dengan bahu terguncang menangisi dua orang yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dadanya begitu sesak hingga untuk bernapas pun susah. Tak henti-hentinya dia menyalahkan waktu dan diri sendiri mengapa memilih jalanan yang menjadi perjalanan terakhir istri dan anaknya. Fisiknya memang jauh dari kata sakit, namun hatinya begitu hancur bahwa keluarga yang dicintai telah meninggalkan dirinya seorang diri. 

William meratapi seorang diri di depan kamar jenazah setelah istri dan anaknya dinyatakan meninggal oleh dokter. Perdarahan hebat dan cedera parah membuat kondisi keduanya tidak bisa bertahan. Apalagi Jessica—putri satu-satunya yang dimiliki William mengalami cedera leher yang mempengaruhi organ pernapasan membuat gadis itu meninggal dunia terlebih dahulu daripada ibunya.

“Selamat sore, Sir,” sapa seorang polisi membuat William mendongak. “Kami ingin meminta sedikit kronologi kejadian kecelakaan yang menimpa keluarga Anda.”

Hati William semakin pilu. Dia memejamkan kedua mata berusaha menghilangkan semua rasa bersalahnya ketika polisi meminta mengulang kejadian nahas itu. Lidahnya terasa begitu kelu tak sanggup mengatakan apa pun.

“Tolong beri aku waktu sebentar, Tuan,” pinta William seraya mengusap wajah dengan tangan kanan.

Polisi bertubuh tambun itu membisu tanpa membalas kalimat William. Di dalam benaknya, dia begitu iba, namun di sisi lain tugasnya kali ini menuntut untuk segera diselesaikan serta dilakukan investigasi dibalik peristiwa kecelakaan di Lower Domain Road yang selalu menelan korban jiwa.

“Aku akan kembali ke sini lima belas menit lagi, Sir.”

Hening. Tinggallah William seorang di depan ruang jenazah ketika petugas kepolisian meninggalkan dirinya entah ke mana. Kedua mata yang berada di usia senja itu menerawang jauh membayangkan jika Tuhan memberinya satu kesempatan, William tak kan menyia-nyiakan waktu untuk menyelamatkan keluarganya. Tapi, semesta telah menuliskan garis takdir hidup seseorang. William tahu bahwa istri dan anaknya tak kan kembali, sekali pun dia memohon untuk menukar nyawa.

Sayup-sayup di antara udara musim gugur yang mulai memasuki waktu petang, William mendengar suara jeritan. Meski usianya sudah tua, namun indra pendengarannya masih tajam seperti saat dirinya muda. Beberapa kali William mencoba meyakinkan diri bahwa itu bukan halusinasi akibat kehilangan sanak keluarga.

Mengikuti naluri, pria berkemeja flanel merah itu beranjak dari tempat duduk lalu memasuki ruang jenazah. Bulu kuduknya meremang mengingat ruangan ini memiliki beberapa lemari khusus untuk menyimpan mayat. Dengan perasaan bercampur aduk, William melangkahkan kedua kaki menelusuri sumber suara di dalam ruangan yang dingin nan mencekam. Sejenak, dia menoleh pada brankar dengan dua tubuh yang tertutup kain putih dan bercak merah yang menembusnya.

Tidak mungkin pula 'kan, jika istriku berteriak? Tapi kenapa suara itu seperti berada di dalam lemari?

Tangan kanan nan keriput yang dibalut perban menyentuh lemari pendingin di sisi kanan ruangan. Dinginnya lemari berwarna silver dan berbahan besi semakin membuat nyali William ciut. Dirabanya satu persatu lemari itu seraya menajamkan seluruh indranya. Dia berharap ini hanya sekadar imajinasi konyol. Setidaknya dia tidak ingin bertemu sosok hantu meski pun dia berusaha untuk tidak percaya.

Tubuh jangkung William berhenti pada lemari bernomor 1205. Tangannya merasakan getaran di dalam sana diiringi suara jeritan yang semakin jelas. William tidak yakin, bagaimana bisa mayat di dalam suhu empat derajat bisa hidup kembali. Jikalau hidup, harusnya dia berteriak tidak sekencang ini akibat hipotermia.

"Help me!"

Terdengar suara perempuan dari dalam lemari itu. William mundur beberapa langkah dengan tubuh menggigil. Pikirannya yang tadi kalut mendadak diselimuti bayangan horor. Dia menelan ludah, lantas kembali mendekat dengan hati-hati untuk menyentuh lemari itu seraya memastikan bahwa apa yang dia sentuh adalah lemari berisikan mayat. 

Tubuhnya gemetaran bukan main, kala berusaha meraih kunci yang tergantung manis di pintu 1205. Berbagai macam spekulasi berputar-putar di dalam kepala. Mungkinkah itu hantu atau seseorang yang baru saja berhasil melewati kematian dan mendapatkan kehidupan kembali. Sungguh kedua tungkainya sudah tidak bisa menahan beban badan William lebih lama, nyalinya benar-benar lenyap, rasa kehilangan yang dia alami tadi menguap entah ke mana. Berulang kali dia menelan salivanya sendiri berusaha meyakinkan diri bahwa apa pun yang ada di dalam lemari itu, William siap melihatnya.

Tapi, siapa di dalam lemari itu?

 

BAB 3

"Help me!"

Suara itu kian jelas terdengar, membuat seluruh sel saraf di tubuh William memantik dirinya untuk berlari menemui siapa pun petugas di rumah sakit dan urung membuka lemari. Pria berambut putih itu tak bisa berpikir jernih ketika bayangan suhu dingin di dalam lemari jenazah bisa menyebabkan henti jantung pada manusia. Dirinya berpacu dengan waktu, terlalu takut jika dalam waktu kurang dari empat menit terjadi kematian batang otak pada manusia ajaib yang bangkit dari kematian.

“Tolong,  ada suara perempuan di kamar jenazah!” seru William dengan muka pucat pasi saat berpapasan dengan seorang perawat laki-laki berambut blonde berbaju ungu.

“What the hell!” seru perawat seraya menekan alarm code blue di pintu masuk ruang jenazah kemudian berlari mendekati almari penyimpanan nomor 1025. “Mengapa bisa terjadi?”

“Aku tidak tahu. Kau harus menyelamatkannya sebelum dia kembali mati!” tandas William dengan intonasi tinggi.

Dengan gerakan cepat,  perawat segera membuka kunci peti pendingin 1025 tanpa berpikir panjang bahwa di dalam berisikan tubuh mayat yang baru diautopsi hari ini. Dalam hitungan sepersekian detik,  pintu peti berbahan besi itu terbuka cepat menampakkan tubuh perempuan yang diselimuti kain putih tipis. Perempuan berambut ginger  bangkit dengan kedua iris mata menyala yang berbeda warna. Iris mata kanan berwarna keemasan, sedangkan iris mata kiri berwarna hijau zamrud yang begitu mencolok. Dia mengaum lalu melompat dari lemari sambil berkata,

“Ular! Ular! Ular!”

Tubuh perempuan itu tidak tertutupi sehelai benang pun. Dia seperti kehilangan akal ketika memorak-porandakan beberapa alat medis di ruang jenazah. Bahkan ketika dirinya melihat jasad istri dan anak William yang tertutupi kain,  kedua matanya semakin menyala dengan menampakkan gigi taring. 

Kedua lelaki itu tercengang dengan apa yang dilihat, perempuan yang lebih mirip seperti monster dalam cerita anak-anak kini memandang nyalang lalu mendesis seraya menjulurkan lidah seperti ular. Perawat berusaha kabur untuk memanggil bala bantuan, namun tidak berhasil ketika bahunya dicabik tanpa ampun.

Teriakkan tak terelakkan hingga tubuh besar perawat ambruk ke lantai dengan darah yang mengucur deras. Pupil biru William melebar dan tidak sengaja dia tersandung kakinya sendiri. Pantatnya mendarat di lantai mengenai darah yang masih mengalir dari tubuh perawat.  William tidak yakin apakah lelaki itu masih hidup atau pingsan melihat luka robek yang cukup besar dan bisa saja memutus karotisnya. 

“Ka-kau boleh me-membunuhku,” ucap William terbata-bata, memejamkan kedua mata melihat tubuh molek perempuan itu. “Ja-jangan tubuh istri dan anakku di sana.” Dia menunjuk dua brankar di belakang si manusia aneh.

Tidak ada respons. William mencoba mengintip dari balik bulu matanya. Si monster meringkuk sembari melihat tubuhnya sendiri dengan bingung. Sejenak, perempuan berkulit pucat seperti batu pualam menangis membuat William tertegun. Antara takut dan ragu, diraihnya kain putih yang tergeletak di lantai lalu memberikannya pada perempuan yang baru saja bangkit dari kematian.

Sedetik kemudian,  beberapa perawat dan dokter datang. Mereka menjerit histeris melihat tubuh perawat berambut blonde terkapar tak berdaya dengan genangan darah segar di lantai. Mereka memandang perempuan berselimut kain putih dengan mulut yang berlumuran darah, mayat yang sudah diautopsi mendadak hidup dengan tanpa luka sedikit pun. 

“Matt! Matt!” pekik perawat berkulit hitam menghampiri jasad Matt. “Dia tewas! Matt tewas!”

“Apa yang terjadi di sini! Ya Tuhan, kenapa dia bisa hidup!” seru dokter berkacamata meraih gunting dari atas meja petugas kamar jenazah.

“Bagaimana dia bisa hidup lagi setelah pihak dokter forensik sudah menyatakan bahwa dia meninggal karena bisa ular mematikan?” sahut perawat lain yang berusaha memindahkan jasad Matt.

Perempuan itu mendongak dan menatap William sambil sesenggukan. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir merahnya. Hidung lancip yang mencium berbagai aroma; anyir, amis, manis,  hingga busuk. Kedua manik mata yang berbeda warna juga melihat berbagai kepulan asap yang mengelilingi orang-orang di depannya dengan huruf dan angka yang tidak dimengerti kecuali dua tubuh kaku yang berada di atas brankar. 

Perempuan itu bingung bagaimana bisa dirinya bangkit setelah perang besar. Bagaimana dia bisa berada di tempat aneh yang penuh dengan manusia dan membunuh lelaki yang kini teronggok seperti bangkai. Dan bagaimana bisa dia memiliki tubuh yang mirip dengan mereka padahal seharusnya belum terjadi.

Aku di mana? Bagaimana aku bisa berubah seperti mereka? Jacob?  Ayah? Ibu?  Ke mana mereka?

Dia merasa harus pergi dari sini. Ini bukan tempat tinggalnya, lagi pula dia harus menemukan keluarganya di sekitar sungai Gordon. Dia mengendus aroma lain,  tapi tak satu pun dari aroma itu yang mewakilkan aroma klannya.

What the hell are you!” pekik dokter dengan wajah memerah seraya mengacungkan gunting ke arah perempuan yang dianggapnya gila. Tak sabar, dia pun menyerang tapi detik itu juga lehernya digigit hingga suara teriakan kembali terdengar memenuhi kamar jenazah. 

Tubuh sang dokter ambruk, petugas medis yang tersisa kini bergerak mundur dengan irama jantung yang saling berpacu tak ingin menjadi sasaran selanjutnya. Sedangkan William masih terpaku di tempat, terlalu lemah untuk pergi dari sana. Monster mengerikan berwujud gadis cantik menatap tajam seraya menjulurkan lidahnya.

“Makhluk apa dia sebenarnya?” lirih salah satu petugas medis yang hampir kencing di celana.

Perempuan berlidah ular berlari cepat seperti seekor hewan yang mengabaikan dua manusia yang telah terbunuh. William berlari mengikuti perempuan itu dengan tenaga yang tersisa. Sedangkan para petugas medis berteriak meminta tolong untuk menangkap perempuan aneh dengan warna mata mencolok.

####

Ibukota Tasmania geger dengan kemunculan sosok perempuan pelik yang bangkit setelah dilakukan autopsi dan melakukan aksi penyerangan terhadap dua petugas rumah sakit. Para polisi berlomba-lomba mencari perempuan berambut cokelat bergelombang berwarna kemerahan sepinggang, iris mata yang berbeda warna nan mencolok, serta berkulit pucat bak pualam. 

Bahkan hingga berita itu disiarkan,  warga di seluruh kota Hobart tidak berani keluar rumah dengan alasan takut terbunuh. Banyak dari mereka yang mengaitkan hal itu dengan siluman jadi-jadian atau manusia yang dikutuk. Akan tetapi,  beberapa pendapat juga mengatakan bahwa, bisa jadi perempuan itu adalah orang gila yang terobsesi menjadi reptil hingga memiliki lidah ular dan iris mata berbeda.

William mematikan siaran televisi yang tidak hentinya menyiarkan perempuan berambut ginger hampir seminggu ini. Kedua kakinya melangkah menatap jendela rumah sambil menerawang jauh. Malam yang harusnya begitu tenang di musim gugur menjadi begitu mencekam. Jalanan di depan rumah bergaya Inggris kuno itu terlihat sangat sepi seperti tidak ada kehidupan.

William menatap wajahnya yang terpantul di kaca jendela. Guratan di wajah yang tua serta cahaya remang-remang yang menghiasi rumahnya menambah kesan horor. Tangan kiri pria itu meraih cerutu dari dalam saku celana pipanya lalu menyalakannya dengan pikiran bercabang. Tapi,  jika diingat-ingat, ketika William menatap pupil perempuan itu, dia melihat sesuatu yang aneh. Dia tidak bisa mengartikannya karena kejadian yang begitu cepat, sama seperti kecelakaan mobil yang menimpa keluarganya.

“Apa dunia ini sudah gila? Atau aku yang sudah tidak waras?” gumam William, menyesap ujung cerutu menikmati tembakau sebelum mengeluarkan asapnya dari lubang hidung.

Pria yang memiliki janggut putih sedikit memanjang,  mengembuskan napas sambil membenarkan letak kacamata silinder yang menggantung manis di hidung bengkoknya. Kini, bayangan William beralih pada istri dan anaknya, menimbulkan rasa hampa yang begitu menyakitkan di hati. Biasanya di jam seperti ini, mereka akan berbincang di ruang keluarga dengan Alice yang sangat suka merajut pakaian untuk persiapan menyambut musim dingin. Air mata lelaki itu menggenang, disesapnya cerutu lebih dalam seakan mengisap kembali kenangan yang bisa jadi terlupakan karena usia. 

“Aku sangat merindukanmu, Alice, Jessica,” lirih William dengan mata berkaca-kaca jika mengingat kematian tragis mereka.

Beberapa detik kemudian,  terdengar suara ketukan pintu dari pintu belakang rumah membuat si empunya terperanjat kaget. Jantung William berpacu ketika ketukan itu terdengar lagi dan malah lebih keras. Diraihnya tongkat pemukul bisbol yang berada di sisi kiri dekat dengan meja untuk menaruh foto dan vas bunga. 

Dengan langkah mengendap-endap,  dia mendekati pintu bercat putih gading yang mulai memudar dimakan waktu. Banyak spekulasi yang bersemayam di otak William, di luar pintu belakang tidak ada rumah kecuali kebun anggur milik mendiang istrinya. Jika itu pencuri,  bukankah harusnya mereka mendobrak langsung. Kalau pun itu hewan, seharusnya ada suara geraman. Ah, mana mungkin hewan bisa mengetuk pintu, pikirnya.

Lalu siapa? Batin William.

 

BAB 4

Langkah William begitu pelan seiring dengan tarikan napas di dadanya. Tetapi, itu semua berbanding terbalik dengan pacu jantungnya yang tidak karuan. Bahkan bulir keringat sudah membasahi dahi keriput itu. Dia berdiri sejenak mencoba menyembunyikan tubuh tuanya di sisi kanan pintu dekat dengan kenop. Seraya menarik napas dan mengambil ancang-ancang untuk memukul siapa pun yang membuatnya takut setengah mati.

Satu.

William memegang kenop sambil menarik napas sekali lagi.

Dua.

Dia memutar kenop dan dengan gerakan cepat membuka pintu lalu berseru,

“Siapa pun di sana,  aku akan membunuhmu!”

Tubuh William membeku. Ingin sekali dia berteriak sekeras mungkin ketika melihat sosok seekor rubah. Bukan hal aneh melihat hewan nokturnal itu,  melainkan kedua mata hewan berbulu oranye yang sangat diingat William. Iris mata berwarna keemasan dan hijau zamrud menyala di antara kegelapan kebun belakang rumah, membawa dirinya pada seberkas sosok wajah perempuan di kamar jenazah minggu lalu yang kini sedang menatapnya dengan begitu lekat.

Tanpa disadari, langkah William mundur membuat rubah berukuran sedang itu masuk ke dalam kediamannya. Sesekali dia mengibaskan ekor panjang lalu berlari menuju jendela yang terdapat tirai bercorak bunga Lily kesukaan mendiang Alice. Beberapa detik kemudian, muncullah sosok lebih tinggi dari tubuh rubah diiringi suara deheman seorang perempuan.

“Siapa kau!” William mengacungkan tongkat bisbolnya dengan kaki gemetaran. Sungguh dirinya takut dengan rumor bahwa manusia jadi-jadian yang menjadi buah bibir orang Tasmania memang benar adanya.

“Jangan takut.”

Seorang anak perempuan mengintip dari balik tirai, rambutnya terurai panjang begitu terawat. Dia tersenyum lebar seolah sudah mengenal William lama.

“Bisakah kau meminjamkan aku baju seperti yang manusia kenakan?”

Seperti terhipnotis, William terdiam dan mengambil baju mendiang anaknya yang masih tersimpan di kamar. Tak berapa lama, William memberikan satu setel piyama berwarna biru kepada perempuan itu tanpa banyak kata. Sejujurnya,  rasa takut William menguap begitu saja ketika melihat wajah cantik siluman rubah itu. Justru,  benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan.

“Maaf,  William, aku mengagetkanmu,” ucap si manusia rubah sambil keluar dari balik tirai. Dia melihat piama yang diberikan William terlihat begitu kontras dengan kulit putihnya yang sangat pucat seperti pualam. Ada aroma bunga Lavendel yang melekat di setiap serat kain katun yang gadis itu kenakan, dia menciumnya sesekali dengan senyum manis. 

“Kau tahu namaku?” tanya William dengan kerutan di dahi yang semakin dalam. “Siapa sebenarnya kau ini? Mengapa bisa menemukanku?”

Perempuan itu menelengkan kepala dan menyipitkan kedua mata mengamati William. Dia bisa melihat kepulan asap di sekeliling tubuh pria berambut putih nan keriting itu mendadak berwarna abu-abu diiringi detak jantung yang bertalu-talu. Kedua mata ajaibnya juga bisa melihat cairan merah di tubuh William yang mengalir cepat di setiap pembuluh darah. Hidung mancungnya mengendus bau campuran tembakau dan kayu manis yang menguar dari tubuh pemilik rumah. 

Kemudian, dia mengalihkan pandangan ke sekeliling tempat yang terasa lembap dan sering disebut manusia sebagai rumah. Bau bangunan yang sepertinya sudah lama tak terkena matahari ini terlihat cukup penuh. Di atas kaki telanjangnya, dia berjalan mendekati meja dengan berbagai macam foto yang di dalamnya ada gambar William dan dua perempuan serta bunga yang sudah lama layu di dalam vas. Aroma bunga itu sedikit busuk dan dia menoleh ke arah si pemilik rumah dengan tatapan mengejek. Kemudian, dibelai dinding rumah yang terasa kasar menyentuh telapak tangannya, dia meyakini bahwa dinding ini terbuat dari bebatuan atau semacam pasir yang dipadatkan. 

“Apa tempat ini bisa melindungi kalian dari serangan?” tanya gadis itu tanpa memandang ke arah William. “Bagaimana kalian bisa memiliki tempat berlindung tanpa diusik? Apakah manusia sekuat itu?”

“Bagaimana kau menemukanku?” cecar William mengabaikan pertanyaan yang diajukan oleh tamu tanpa diundang.

Gadis berambut panjang itu melirik William sejenak sebelum mengambil salah satu bingkai foto pemilih rumah seraya berkata, “Aku menemukanmu karena aroma tubuhmu,  William. Baumu beda dengan yang lain.”

Refleks pria itu menciumi aroma ketiaknya sendiri. Tidak ada yang spesifik kecuali aroma bekas cerutu yang tadi dihisapnya. Mana mungkin orang akan mudah menemukan seseorang hanya dengan bau yang kadang hanya bisa dicium dari jarak dekat, pikir William. Jika dipikir, manusia di depannya bukanlah sembarang manusia mengingat dia bisa membunuh dua manusia tanpa merasa bersalah. Ah! Menyadari hal itu seharusnya dia meraih telepon genggam yang terletak di depan gadis itu agar polisi segera datang dan menangkapnya. 

“Lalu siapa kau ini?” tanya William dengan nada selidik. “Kau sungguh kembali dari kematian atau kau ini manusia jadi-jadian?”

Kedua iris mata perempuan asing kembali menyala dengan lidah ular yang menjulur melihat ekspresi William yang mendadak berubah. Sementara lelaki itu mematung dengan pikiran bahwa nyawanya pasti akan melayang sebentar lagi. Beberapa detik, gadis misterius itu menggeleng keras tuk mengembalikan lidahnya ke bentuk lidah manusia kemudian tersenyum lebar.

“Aku Stella Rogers,  klan terakhir rubah yang mati di Sungai Gordon.”

 

BAB 5

“Klan apa? Rubah?” William mengulangi kalimat Stella yang terdengar seperti ucapan orang gila. “You must be so crazy, girl. Aku yakin ini hanya mimpi. Oh, come on God, aku sudah mengikhlaskan kematian mereka. Tapi, jangan buat aku berhalusinasi seperti ini,” racaunya mengacak rambut sambil mondar-mandir.

Gadis bernama Stella menatap William dengan alis yang bertaut. “Ayolah, William, kau tidak berhalusinasi. Kau masih ingat aku di ruang mengerikan itu. Oke, aku minta maaf karena membunuh mereka.”

Refleks, kepala William menoleh dengan mulut menganga lebar, memandang Stella yang mengucapkan kata maaf begitu mudah. Nyawa bukanlah sebuah mainan yang jika hilang bisa dibeli kembali. William bergerak mendekati Stella dengan tetap mengacungkan tongkat bisbol, meski kedua kakinya sudah tidak bertulang. Dia takut jika tiba-tiba dicabik seperti daging domba.

“Kau psikopat, Stella. Polisi sedang memburumu dan mereka akan tahu bahwa kau di sini. Kumohon, jangan ganggu aku, please.” William memohon, kedua matanya memerah, perasaannya campur aduk antara takut dan marah.

“Aku tahu jika  duniamu tak kan percaya dengan keberadaan kami. Tapi,  asal kau tahu, William, duniamu tak hanya diisi oleh manusia saja,” jelas Stella dengan tegas, mendekati tongkat bisbol seakan tak takut kalau kepalanya bisa hancur dengan kayu itu. “Dan aku sudah menghipnotis para polisi, sehingga kejadian kemarin tidak pernah terjadi dan mereka akan mengira bahwa itu serangan hewan.”

Kali ini giliran William yang paham mengapa gadis itu datang ke rumahnya. Dia bergerak mundur hingga tubuh kurusnya tersudut di dinding. Dibunuh bukanlah hal yang menyakitkan jika dibandingkan dengan proses hipnotis yang bisa menghilangkan semua perasaan dan kenangan bersama keluarganya. William tentu tidak mau hal itu terjadi.

“Aku tidak akan membunuhmu atau menghilangkan ingatanmu, William.” Suara Stella terdengar rendah, menurunkan tongkat bisbol yang masih tertahan di udara. “Aku tidak bisa menyakiti orang tua sepertimu, kecuali jika keadaan memaksaku. Tapi, kau harus percaya padaku, di dunia ini tidak hanya diisi manusia.” Stella mengulang kalimatnya dengan iris mata yang menyala lalu meredup lagi.

Kening William semakin mengerut. Dia benar-benar tidak paham apa yang dikatakan Stella meski berusaha mencerna kelogisan kalimat itu. Bahkan beberapa kali William mencubit dirinya sendiri memastikan bahwa ini bukan sebuah ilusi akibat kematian istri dan anaknya. Tapi, meski kulitnya memerah akibat cubitan,  nyatanya sosok perempuan itu masih berdiri di sana.

“Dunia ini masih terus menjadi misteri meski kau berusaha untuk mengungkapnya.  Sedikit celah yang terbuka selalu mengandung rahasia lagi dan lagi,” kata Stella menjauhi William dan melangkah menyusuri setiap sudut rumah yang menurutnya cukup suram jika dihuni manusia. Dia mendudukkan diri di atas sofa berbahan beludru yang mulai banyak debu. Stella terbatuk sambil mengusap hidung lalu menggaruk kepalanya.

“Sudah berapa lama kau tidak mencucinya?” sindir Stella kepada si tuan rumah. “Maaf, hidungku terlalu sensitif. Baiklah, William, aku sungguh tidak membunuhmu. Jangan menatapku seperti itu, oke.” Stella melipat kedua tangan di dada dengan mulut mengerucut.

William berdehem, mendaratkan pantat di sofa dan berhadapan dengan Stella seraya memangku tongkat bisbol untuk sekadar berjaga-jaga. Netranya masih menatap, meneliti gadis berambut panjang yang kini mengenakan baju piama Jessica membuat William merasa sangat sedih. Stella yang bisa melihat perubahan kepulan asap di tubuh tua itu serta perubahan detak jantungnya,  paham bahwa dia masih berduka.

“Apa dua tubuh yang kulihat minggu lalu adalah keluargamu?” tebak Stella.

Mau tak mau William mengangguk lemah. “Kau memakai baju tidur kesukaan anakku. Aku hanya merindukan mereka.”

“Maafkan aku.”

William mengangguk. “Bagaimana kau bisa datang ke sini hanya karena aroma tubuhku? Bagaimana pula kau bisa hidup setelah dokter membedah tubuhmu? Bahkan bagaimana caramu menghipnotis polisi? Tunggu! Apakah kau seseorang yang kulihat di tikungan itu? Tapi warna matamu berbeda.”

Bibir sensual yang merah bak delima milik Stella mengembang, iris mata itu kembali menyala seperti cahaya kembang api di langit malam. Harus diakui William, bahwa warna mata yang keemasan dan juga hijau zamrud meskipun menakutkan tapi juga menakjubkan. Jarang ada manusia bahkan hewan memiliki warna mata berbeda akibat kelainan genetik. William mengangguk dalam hati, mungkin Stella adalah salah satunya.

 “Seperti kukatakan sebelumnya. Dunia ini penuh misteri dan aku klan rubah terakhir di sini,  William. Aku tidak tahu mengapa aku dihidupkan kembali dengan tubuh seperti ini. Lagi pula, aku kabur dari tempat mengerikan kemarin untuk pergi ke sungai Gordon untuk mencari keluargaku. Namun, aku sadar bahwa waktu sudah lama berputar hingga tidak tersisa apa pun di sana.”

William tersentak, dia masih saja berusaha mengelak kenyataan, tapi semua itu sirna saat sosok asing masih saja duduk tenang di depannya. Pikirannya mendadak pening, terlalu aneh jika mayat yang terendam dalam lumpur bisa sehat bugar dan menatapnya seolah dia kemarin hanya tidur siang. Jemarinya memeluk tongkat bisbol dengan erat, William berpikir bahwa dirinya butuh terapi psikologis sekarang.

“Ja-jadi benar bahwa kau ini mayat yang ditemukan itu?” tanya William dengan suara gemetaran. “A-Apa yang terjadi? Bukankah harusnya tubuhmu hanya tersisa tulang belulang?”

Stella menyandarkan punggung ke sofa. “Ceritanya sangat panjang. Jika kau sudah mengetahui semuanya, bisakah kau merahasiakan ini?”

William terdiam sejenak menimang permintaan gadis itu. Malam ini mungkin dirinya memang sudah tidak waras mendengarkan cerita khayalan dari bibir Stella. Gadis yang seharusnya sudah menjadi hantu, bukan tamu dadakan yang menatapnya dengan senyum lebar. 

Mau tak mau, dia pun mengangguk sambil berkata, “Asal kau tidak membunuhku, aku orang yang pandai menjaga rahasia. Apa itu juga berhubungan dengan warna matamu?”

Stella tertawa. “Ya, tentu saja. Dan aku harap ceritaku bukan sekadar dongeng pengantar tidur karena apa yang terjadi kepadaku di masa lalu akan menjadi sesuatu yang besar di masa yang akan datang. Aku tahu apa yang kau pikirkan.” Jemari gadis itu mengetuk-ngetuk dahinya dengan senyum miring. 

 

BAB 6

Seseorang mengenakan baju serba hitam melangkah begitu pelan di bawah cahaya rembulan di hutan Franklin. Tubuh yang tinggi, mata yang tajam dengan iris merah mengitari sekeliling seolah sedang mencari sesuatu yang terpendam. Kaki panjangnya menginjak pinggiran sungai Gordon, endapan lumpur langsung menyelimuti sepatu boots cokelat tua yang dipakainya. Hidung lancip sedikit bengkok itu mengendus, menyaring aroma-aroma darah yang selama ini dicari namun hasilnya masih sama. Nihil. Tidak satu hari atau dua hari, namun bertahun-tahun dia menjelajahi tempat ini hingga mendengar berita tentang mayat yang hidup kembali dengan iris mata yang tak biasa. 

Kepalanya menengadah, memandangi pantulan rembulan yang begitu gagah di antara bintang-bintang yang berkelap-kelip seolah sedang saling menyapa, walau pun di antara mereka ada bintang yang tidak terlihat. Ibarat seperti dia yang selama ini bersembunyi di antara perkumpulan manusia dan hidup berdampingan. Dan beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat teraman pasca perang dunia dan penjajahan yang melanda negeri puluhan tahun lalu. 

Mencoba mengumpulkan kembali orang-orang yang masih bertahan setelah pertarungan blood moon tahun 1866 untuk menyiapkan perang besar itu lagi, meski dia belum tahu kapan sang half blood akan muncul. Bukan hal baru pula, bahwa mitos kekuatan half blood yang tiada bandingnya menjadi incaran tersendiri beberapa klan vampir.

“Sampai kapan kau akan berdiri di sini?” suara perempuan bertubuh kurus dengan wajah lonjong, berdiri tak jauh dari sosok lelaki yang masih setia menatap arus sungai. “Apa kau akan mengeruk seluruh sungai ini dan berharap ada yang masih hidup seperti dia? Bahkan kita pun tidak tahu wujudnya.”

Lelaki berambut ikal sebatas tengkuk leher itu memutar badan, menatap sang adik dengan tajam. Aroma anyir tercium kuat menandakan saudara perempuannya baru saja memangsa manusia untuk ke sekian kali. 

“Jika kau terus membunuh manusia, mereka akan semakin curiga, Cassie,” desis Blake. “Perjanjian kita dengan mereka masih berlaku.”

Cassie meludah ke tanah, tak terima dengan kalimat yang dilontarkan kakak yang penuh dengan aturan. “Kita adalah klan terkuat, Blake. Bagaimana bisa kau begitu takut seperti anak tikus, hah!”

Ucapan Cassie membuat Blake tersulut emosi, tangan kanannya mencekik leher adiknya dan menyudutkan tubuh kurus itu hingga membentur batang pinus. Gadis berambut hitam legam itu terbatuk merasakan udara di sekitarnya semakin menipis. Kedua iris mata merahnya menyala, tidak terima dengan perlakuan sang kakak. 

“Tidak bisakah kau diam dan menuruti kata kakakmu ini, Cassie? Aku tahu kita klan terkuat tapi jangan sampai kita lengah. Aku yakin ada gerombolan klan yang siap menyerang kita kapan saja terutama mencari jasad ayah!” Dilepas cengkeraman tangannya di leher Cassie, meninggalkan jejak merah yang begitu kentara di sana. 

###

Tasmania Island,  1834

Semenjak banyak imigran baru yang datang, serta narapidana berkelakuan buruk dipindah ke Tasmania. Banyak hal yang terjadi, mulai tindakan anarkis kepada kriminalis, pemerkosaan terhadap perempuan, pergusuran penduduk asli hingga pergantian pemerintahan selama masa kolonial Inggris. 

Tindak kekerasan yang kebanyakan dialami para pelaku kejahatan mendorong mereka untuk memilih kabur dan bersembunyi di hutan hingga gunung di luar pemukiman untuk menjadi brushranger—pemberontakSedangkan penduduk asli yang merupakan suku Aborigin,  menderita berbagai macam penyakit yang dibawa oleh bangsa kulit putih hingga pembunuhan massal yang dilakukan penjajah.

Bersamaan dengan itu, para imigran yang datang dari Inggris memperkenalkan anjing dan rubah untuk sekadar membantu perburuan seperti kanguru yang hasilnya akan diperjualbelikan. Selain, kedatangan hewan, tanpa disadari ada beberapa manusia vampir yang bersembunyi di balik populasi imigran dan tahanan untuk membentuk komunitas sendiri.

Komunitas gelap itu, lebih memilih mengadu domba para penjahat untuk mendapat hukuman cambuk atau hukuman gantung, yang kemudian darah korban diminum beramai-ramai. Beberapa di antara mereka yang berhasil bebas dari bangunan penjara Port Arthur untuk bersembunyi di kota kecil di Strahan atau di belantara hutan sekitar sungai Franklin,  sungai Gordon,  hingga pegunungan.

Akan tetapi,  konflik kembali terjadi di antara manusia vampir ketika mereka diusir oleh para klan rubah merah yang telah terlebih dulu menduduki tanah tersebut. Para vampir tidak menyangka bahwa pulau baru yang ditemukan oleh koloni Inggris ini ternyata menyimpan banyak misteri yang tidak terduga.

“Kita bagi saja wilayah teritorial agar tidak terjadi pembunuhan.  Kami di sini saling menyeimbangkan ekosistem, biarlah para manusia itu saling membunuh asal populasi kami bisa bertahan selamanya,” ucap rubah merah tertua. Dia bernama Jake Rogers yang pertama kali dibawa oleh sang majikan di awal tahun 1830-an. 

Vampir yang bernama Matthias Bennett yang berambut keriting dan pirang sebahu dengan kulit pucat kebiruan serta mata merah menyala hanya tersenyum meski dalam hati dia sangat ingin mencabik leher Jake.

“Tapi,  aku minta satu syarat,” pinta Matthias membuat Jake menatap vampir itu dengan tatapan bingung. “Biarkan selama blood moon muncul, kami mencari makanan tanpa terhalangi oleh wilayah teritorial.”

“Tidak!” sebuah suara diiringi desisan muncul di balik semak-semak. Lalu muncul seorang perempuan setengah ular berkulit hitam dengan mata hijau zamrud dan kulit sisik yang berkilauan diterpa cahaya bulan.

“Aaliyah!” seru Jake terkejut dengan kemunculan Ratu klan ular itu.

“Aku tidak menyetujui jika vampir mencari makanan saat blood moon muncul tanpa melihat teritorial. Itu akan merugikan kami,” tandas Aaliyah sambil sesekali menjulurkan lidah ularnya. “Carilah mangsa tapi bukan dari klan seperti kami atau klan lain. Bila perlu, kau habisi nyawa manusia serakah itu!”

Matthias terdiam sesaat, dalam benaknya dia sangat penasaran mengapa ratu klan ular yang terlihat sombong, seolah begitu takut dengan peristiwa blood moon yang hanya terjadi 100 tahun sekali. Lagi pula, apa ruginya jika mereka kehilangan beberapa anggota klan,  pikir Matthias.

“Aku tahu yang kau pikirkan, Bennett!” seru Aaliyah menatap tajam Matthias. “Jangan harap kau bisa tahu alasan kami membuat peraturan teritorial saat blood moon muncul. Jika kau melanggar,  kami tidak segan-segan membantai klan kalian.”

“Aku tahu,” kata Jake. “Kami menjunjung tinggi keseimbangan populasi dan ekosistem, Aaliyah,  kau jangan khawatir dengan klanku.”

Perempuan bertubuh molek dan bersisik itu hanya mengangguk. Namun, dia benar-benar harus menjaga jarak dengan Matthias Bennett,  firasatnya mengatakan bakal ada sesuatu yang terjadi. Tapi, Aaliyah tidak bisa melihat dengan jelas.

Tanpa ada kalimat yang terucap dari bibir tipis Matthias,  vampir itu pergi secepat kilat tanpa berpamitan sedikit pun. Sikap congkaknya membuat Aaliyah dan Jake mendecih tak suka. Jake sudah mendengar rumor bahwa banyak manusia yang tewas akibat pembunuhan massal. Dia menduga bahwa pembunuhan itu akibat adanya penyerangan yang dilakukan oleh vampir.

“Kau juga harus menjaga klanmu, Jake,”  titah Aaliyah membaca pikiran kalut tertua klan rubah merah itu.

Jake menganggukkan kepala sambil mengibaskan ekornya. Dia menatap Aaliyah lalu berkata,

“Para manusia mulai membantai klan kami atas apa yang tidak kami lakukan, Aaliyah. Populasi kami memang berkembang pesat, namun hal itu tidak sedikit pun membuat kami membunuh manusia sebanyak itu. Kau tahu sendiri bahwa kami juga tidak seberapa suka daging manusia yang terasa aneh.”

Tubuh Aaliyah kembali menyusut menjadi ular bersisik hijau kehitaman. Iris mata hijaunya menatap mata Jake sambil mendesis. “Kau harus hati-hati saat blood moon muncul, Jake. Penglihatanku mengatakan bahwa akan ada sesuatu yang besar terjadi.”

Sekali lagi kepala rubah itu hanya mengangguk. Lalu Aaliyah pergi meninggalkan Jake sendiri di tepi sungai Gordon. Mata Jake kini memandangi sinar purnama yang sangat terang. Samar-samar dia mendengar suara gonggongan serigala yang berada di ujung hutan, sedikit banyak dirinya tahu bahwa setiap klan memiliki waktu puncak kekuatan dan kelemahan mereka.

Jake berpikir sambil memandangi pantulan dirinya di sungai Gordon. “Apa yang akan terjadi jika blood moon benar-benar muncul?”

 

BAB 7

Tasmania Island,  1866

Perang hitam melawan pribumi baik di Australia maupun di Tasmania semakin sering terjadi, walau gubernur sudah bernegosiasi agar penduduk asli pulau Van Diemen bermigrasi ke tempat lain. Selain itu, para penjajah berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alam yang akan menguntungkan bagi mereka terutama emas. 

Di sisi lain, korban yang berjatuhan adalah sesuatu yang berharga bagi para klan vampir yang menyamar sebagai bagian dari kolonial Inggris.  Sebelum puncak blood moon datang di bulan Maretinsting dan rasa haus akan darah semakin meningkat dari hari demi hari. Banyak dari mereka tak pernah puas menghisap darah satu korban, hingga beberapa di antaranya memilih untuk mencuri kantung darah di rumah sakit atau membunuh hewan ternak di malam hari.

Matthias berdiri di balik batang pinus besar yang berada cukup jauh dari klan ular di sisi utara sungai Gordon. Sejak perdebatan tentang wilayah teritorial dengan Aaliyah, dia begitu penasaran apa yang terjadi pada ketika mencicipi darah klan sombong itu. Dia mengendus aroma klan ular dengan hidung lancipnya. Tidak perbedaan yang begitu mencolok dengan aroma darah lain selain aroma anyir dan amis. Bahkan dia bisa menyebut aroma darah klan ular paling busuk di antara darah lain. 

Bibir tipis nan pucat milik Matthias mengembang membentuk satu garis lurus dengan tatapan penuh arti. Mata beriris merah darah itu menatap langit yang sedikit gelap dengan awan yang bergerak pelan menuju selatan.  Semilir udara menggerakkan helai demi helai rambut pirangnya dengan aroma tanah yang menunjukkan hujan sebentar lagi turun. Selentingan aroma manis menggelitik hidung, dia menyisir sekeliling sembari melangkah menembus semak belukar mencari sumber aroma yang memabukkan.

Langkahnya terhenti kala Matthias mendapati sosok Aaliyah sedang berganti kulit di bawah pohon pinus.  Dengan setengah tubuh manusia yang begitu cantik serta kulit bersisik kehijauan yang mengelupas,  Aaliyah terlihat begitu pucat dibalik kulit eksotisnya. Matthias memicingkan mata saat bulir-bulir keringat dari tubuh manusia Aaliyah berkilauan bak mutiara. Vampir itu kembali menghidu,  aroma manis tubuh Aaliyah semakin kuat diiringi aroma darah yang sungguh berbeda dengan sebelumnya.

Bibir tipis Matthias semakin menyeringai lebar lalu kembali melirik langit yang semakin gelap. Kemudian, dia pergi dari tempat persembunyian sambil mengingat kembali bau darah yang membuat dirinya tidak sabar menunggu datangnya blood moon.

“Sebentar, Stella,” ucap William menginterupsi. “Jadi, selama blood moon tidak muncul vampir tidak memiliki kekuatan, begitukah?”

Stella mengangguk. “Selama blood moon tidak muncul,  mereka tidak lebih dari manusia biasa. Hanya saja mereka memiliki kebiasaan menghisap darah dan suka adu domba.”

“Kenapa? Di film-film vampir digambarkan monster kuat yang bisa membunuh manusia kapan pun mereka mau.”

Stella terbahak-bahak membuat kedua pipinya bersemu merah.  Dia menggeleng lalu berkata, “Mereka terlalu melebih-lebihkan. Padahal kenyataannya vampir adalah klan terlemah di antara klan lain. Mereka memiliki perjanjian dengan manusia murni bahwa tidak boleh ada berita kematian lebih dari dua puluh orang dalam satu hari di satu kota. Mereka juga memiliki perjanjian dengan klan lain bahwa tidak akan menyerang saat blood moon.

“Lalu bagaimana mereka bertahan? Bukankah makanan pokok mereka darah?” tanya William yang masih tidak memahami dengan dunia asing yang baru didengarnya. 

“Mereka mencuri kantung darah,  memanfaatkan darah korban kecelakaan, atau darah korban yang meninggal akibat perkelahian. Begitu cara mereka bertahan,  William.”

Pria tua itu mengangguk seraya menatap lurus mata Stella.  Tiba-tiba dia teringat dengan peristiwa kecelakaan yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu.  Sekujur tubuh kurusnya mendadak tegang, mungkin apa yang dilihat William waktu itu memanglah vampir. Sayang, tidak ada satu orang pun yang percaya dengan manusia bermata merah dan bertaring itu. Dan mungkin juga, vampir mendadak muncul untuk membuat kecelakaan tragis dengan tujuan  menguras darah korban.

“Mungkinkah ... mungkinkah kecelakaan yang dialami istri dan putriku adalah perbuatan mereka?” tuduh William dengan emosi yang mulai naik. “Waktu itu, tidak ada yang percaya padaku bahwa aku melihat manusia yang ciri-cirinya sama persis dengan yang kau jelaskan, Stella.”

“Kau sungguh bertemu mereka?” tanya Stella balik dengan memicingkan kedua matanya. 

William mengangguk cepat, “Ya. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Stella. Dia lelaki berambut sedikit panjang, mata merah, dan mulutnya penuh darah. Ketika dia muncul di tengah jalan, aku masih ingat bahwa kulitnya bersinar seperti kristal.” 

Sejenak Stella terdiam mengingat aroma dua manusia kaku yang terbujur di ruangan aneh minggu lalu.  Tidak ada jejak vampir bahkan Stella bertanya-tanya mengapa mereka mulai menampakkan diri. Itu melanggar aturan yang dulu mereka buat dengan para manusia. 

“Aku tidak tahu William. Aku tidak melihat jejak mereka, bahkan aroma vampir tidak kutemukan di tubuh istri dan putrimu,” ujar Stella.

William bernapas dengan lega.  Seingatnya, begitu jenazah istri dan anaknya di kremasi,  William langsung memakamkan orang tercintanya di pemakaman pusat kota. Tidak mungkin juga kan jika vampir rela membongkar area pemakaman hanya untuk mencari darah.   

“Tapi ... beberapa minggu ini banyak orang yang tewas akibat serangan hewan. Itu yang diyakini polisi, Stella. Jika aku menyimpulkan ceritamu, kemungkinan besar mereka yang menyebabkan kekacauan ini.”

Gadis itu membenarkan alibi William. Seingatnya, vampir hanya akan keluar saat blood moon tidak seperti sekarang ketika bulan purnama sebagai malam puncak werewolf berlangsung. Jika vampir telah berani menampakkan diri, itu artinya jaman telah berevolusi, termasuk aturan yang dulu dibuat. 

“Kita akan menyelidikinya nanti. Jadi,  apa aku boleh melanjutkan ceritaku?” pinta Stella.

William mengangguk. “Silakan.”

####

March, 1866

Malam yang begitu pekat dengan bintang yang bersinar semakin mempercantik langit di kota Strahan. Belum lagi, ketika fenomena alam yang pertama kali terjadi di mana bulan tampak berwarna kemerahan seperti darah. Banyak orang baik para kolonial Inggris maupun suku pedalaman menikmati pemandangan alam yang langka itu. Namun, semuanya berbanding terbalik dengan suasana di sekitar sungai Gordon. 

Embusan angin yang menggoyangkan setiap helai daun dari pohon-pohon tua di sana seolah sedang menandakan akan terjadi sesuatu yang besar. Jake Rogers berdiri di tepian sungai Gordon sembari menatap langit gelap dengan rembulan merah yang begitu mencolok. Dia telah memerintahkan beberapa rubah dewasa untuk berjaga-jaga di setiap sudut perbatasan wilayah. Kedua mata oranye Jake memandangi pantulan di sungai yang riaknya begitu tenang. 

Sejenak, kedua telinga lancipnya bergerak kala menangkap suara gesekan yang berada tak jauh dari posisinya sekarang. Jake mengibaskan ekor, memasang ancang-ancang bersiap menyerang siapa pun yang datang. Dia memutar kepala seraya menajamkan pupil untuk menangkap obyek aneh. Moncongnya mengendus-endus aroma, namun tidak ada aroma lain selain aroma dirinya sendiri. 

Jake mengaum tuk memperingati kawanan lainnya, untung saja dia sudah menyembunyikan para wanita dan anak-anak di ujung pertemuan sungai Gordon dan sungai Franklin. Tiba-tiba ada bayangan bergerak di balik punggung Jake, membuat rubah itu waspada. Jake menelusuri semak belukar waspada. Ada bau aneh menggelitik hidung, aroma ini tidak pernah dia temukan sebelumnya. Bau yang begitu harum seperti bunga dan manis seperti madu.

Jake hampir terlena dengan aroma itu hingga tak sadar bahwa di belakangnya ada seseorang dengan warna mata merah menyala sedang menyeringai.  Belum sempat Jake berbalik,  vampir itu menyerang dan mencabik tubuh rubah Jake dengan beringas.  Rubah malang itu tidak sempat berteriak sebelum akhirnya darahnya terkuras habis.

Vampir berambut pirang melempar tubuh Jake Rogers ke sungai hingga air menjadi merah. Kedua matanya terpejam sesaat sambil menjilat sisa darah rubah yang ternyata begitu lezat. Tidak. Matthias menggeleng keras,  bukan karena darah rubah yang lezat tapi darah Aaliyah-lah yang menjadikan santapan vampir terasa begitu menyenangkan.

Blood moon semakin menyala di tengah langit malam. Tiba-tiba tubuh Matthias terasa begitu panas dengan kulitnya yang merah seperti terbakar. Vampir itu menjerit, mengeluarkan busa dari mulut.  Dia tidak tahu,  apakah ini efek dari menghisap darah Aaliyah dan Jake.  Matthias semakin menjerit-jerit tatkala kulit pucatnya bersisik kehijauan yang menimbulkan aroma yang sangat busuk. Tulang ekornya menonjol dan memunculkan ekor rubah dengan cakar di kesepuluh jarinya.

Rasa panas itu semakin menjadi-jadi hingga kulit bersisiknya kini melepuh. Kepala dan dadanya serasa dihantam batu besar hingga busa dari mulut yang tadi keluar kini berganti darah yang menyembur keras.  Kerongkongannya terasa terbakar dan pedih seperti luka menganga yang dibubuhi garam. Matthias berteriak kesakitan ketika penderitaan itu menjalar di kedua matanya.  Cairan berwarna kehitaman keluar dari sela-sela mata dengan rahang yang maju ke depan menjadi moncong mirip rubah. 

Vampir itu tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Pita suaranya mungkin sudah terputus saat efek darah ular dan rubah menyatu di pembuluh venanya.  Matthias tidak tahu kapan semua ini berakhir. Dia berpikir bahwa mungkin hidupnya sebagai vampir akan berakhir.

Sinar dari fenomena blood moon menerpa tubuh Matthias.  Dia melangkah tanpa tahu arah saat pandangannya semakin lama semakin kabur. Hingga tidak sengaja,  kaki kanan Matthias menabrak batang pohon pinus tua lalu membuat vampir bertubuh tinggi itu terjatuh menghantam tanah. 

Matthias mengerang kesakitan diiringi tubuh bersisik, kini ditumbuhi bulu-bulu oranye khas rubah. Lalu detik berikutnya,  kedua iris mata Matthias menyala terang dengan  iris kanan berwarna hijau dan iris kiri berwarna oranye.  Rasa nyeri luar biasa yang menerpanya mendadak lenyap berganti dengan sensasi luar biasa.

Tubuh tinggi itu beranjak dari tanah. Pandangannya yang tadi buram kini bisa memandang sekitar dengan lebih tajam, bahkan dia bisa melihat pergerakan debu yang mengelilingi lelaki itu.  Indera penciumannya pun bisa mengendus berbagai aroma termasuk bangkai baru yang terpendam di dalam tanah.  Begitu juga dengan indra pendengaran yang bisa menangkap berbagai jenis suara hingga gesekan daun di atas pohon pinus yang tertinggi.

Seringai mengembang di bibir tipis itu, dia tidak menyangka efek darah Jake dan Aaliyah bisa sedahsyat ini. Kemudian, vampir yang masih memiliki bulu-bulu rubah di kedua tangan dengan sisik di wajah mencoba melompati sungai Gordon. Dengan mudahnya,  tubuh Matthias melayang di udara kemudian berpijak di sisi lain sungai. 

“Bagaimana mungkin?” ucap Matthias pada dirinya sendiri. “Bagaimana mungkin campuran darah mereka bisa membuatku sekuat ini?”

Kedua iris vampir itu menatap sang rembulan. Matthias tertawa merasa bahagia dengan fenomena puncak klan vampir. Dirinya tidak menyangka bisa bertahan melewati masa transisi yang mungkin tidak bisa dilalui oleh vampir mana pun.

Matthias menaiki pohon pinus dengan gerakan cepat dan begitu lihai.  Dia pun berdiri di salah satu ranting pohon memandangi sekelilingnya dengan lapang pandangan yang lebih luas dan tajam dari sebelumnya.  Dari sini,  dia bisa melihat dengan jelas klan-klan yang sedang bersembunyi di sarang. Matthias kembali tersenyum licik lalu bergumam,

“Mari kita lihat,  sejauh mana kekuatan ini bisa dicoba.”

 

BAB 8

“William,  aku lelah, bisakah kita melanjutkan kisahku besok?” pinta Stella sambil menguap. “Rubah pun butuh tidur seperti manusia, bukan?”

William melirik jam dinding di tembok yang menempel di atas Stella. Waktu memang sudah menunjukkan pukul satu pagi. Begitu cepat bagi lelaki tua itu saat pikirannya masih mencerna satu demi satu kisah yang dibawa oleh gadis kecil di depannya. Namun, dia tidak tega dengan wajah lelah Stella yang sesekali menguap sambil menggaruk kepala. William bangkit dan menyuruh Stella tidur di kamar anaknya.

“Kau bisa tidur di sini,” perintah William ketika Stella masuk ke kamar yang didominasi warna pink dan hiasan kuda poni.

Kedua mata berbeda warna itu menelusuri setiap benda di sana dan menangkap satu bingkai foto yang tergeletak di atas meja di samping beberapa buku di sudut kanan. Bau parfum mawar dengan sedikit vanila menggoda indra penciuman Stella. Aroma dari mendiang anak William masih berjejak walau si pemilik kamar telah meninggal dunia. Tangan kurus gadis itu meraih sebuah bingkai foto yang terpampang wajah William bersama keluarganya, kemudian dia menoleh menatap raut wajah si pemilik rumah yang bermuram durja.

“Putrimu cantik,  William,” puji Stella dengan tulus. “Istrimu juga. Kau beruntung memiliki mereka.”

Bibir William mengatup rapat, menahan gejolak kesedihan yang kapan saja bisa meledak, kristal bening di pelupuk mata senja itu bergumul. Tapi pada akhirnya dia hanya bisa menganggukkan kepala menyetujui perkataan Stella. Tanpa banyak kata,  pria tua itu segera menutup pintu lalu berjalan ke kamarnya dan berharap dia bisa bertemu istri dan putrinya dalam dunia mimpi.

####

Esoknya,  William memasak beberapa menu sarapan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan seumur hidup. Asap yang memenuhi dapur dengan bau gosong dari omelet membuatnya terbatuk-batuk. Sambil mematikan api,  William mengangkat telur dadar di atas piring lalu menggaruk kepalanya bingung. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Seharusnya dia menggunakan jasa drive thru dan memesan makanan tanpa bersusah payah seperti ini. Namun, kehadiran Stella yang mengingatkan pada mendiang Jessica membuatnya sangat ingin menunjukkan kebolehan walau gagal total.

Stella muncul ketika hidung lancipnya mengendus aroma seperti arang. Dia terkejut melihat perabotan William tampak seperti kapal pecah.  Gadis itu berpikir, apakah semua manusia memiliki kebiasaan seperti itu?

“Selamat pagi, Stella,” sapa William seraya membereskan peralatan dapurnya ke dalam wastafel.

Stella mengangguk. “Selamat pagi. Kenapa kau memasak arang?” tanya Stella dengan wajah polos membuat rona merah di pipi William muncul.

Sejenak pria itu terkekeh. “Maafkan aku. Itu bukan arang tapi omelet.”

Memiringkan kepala sambil mengembangkan pipi, Stella berkata, “Omelet? Apa itu?”

Mau tak mau William tertawa keras hingga air matanya keluar. Dia lupa bahwa gadis di depannya ini bukan manusia biasa. Tangan kanan pria itu terulur menunjuk sebuah piring dengan dua omelet yang berwarna kehitaman.

“Semacam adonan telur dadar yang ditambahi beberapa potong sayuran,” jelas William membuat anggukan di kepala Stella walau sebenarnya benda itu lebih mirip arang.  “Apa yang kau makan,  Stella?”

“Aku?” tunjuk Stella pada diri sendiri. “Aku suka makan buah.”

“Buah? Kukira kalian akan memakan daging,” kilah William sambil terkekeh. “Aku memiliki beberapa apel di kulkas di sana.”

“Kulkas?  Apa itu?” Stella kembali mengernyit.

William kembali tertawa, dia benar-benar mudah lupa jika Stella tidak tahu kehidupan manusia. Lalu dia pun melangkah mendekati kulkas di sisi kanannya dan mengambil tiga apel merah yang terlihat sangat segar.

“Kulkas adalah benda untuk menyimpan makanan dan minuman,” jawabnya memberi apel itu kepada Stella. “Mereka membuatnya segar lebih lama dan terasa dingin saat kau menyentuhnya.”

Gadis berambut ginger itu terkejut ketika tangan kanannya menerima buah yang terasa dingin. “Bagaimana bisa kulkas menjadikan apel ini dingin? Apa kalian menggunakan sihir?”

“Haha ... bukan. Kami menggunakan semacam freon agar kulkas bisa mendinginkan berbagai bahan makanan.”

“Apa itu freon?” tanya Stella sembari menggigit apel, seketika rasa manis dengan sedikit asam nan renyah memanjakan lidahnya. “Aku sungguh tidak memahami bahasa kalian. Mengapa begitu banyak istilah aneh?”

“Manusia berkembang dari waktu ke waktu, Stella. Mereka selalu membuat perubahan untuk masa depan. Kau akan mempelajarinya sedikit demi sedikit. Bagaimana jika kau kumasukkan ke sekolah?” tawar William dengan harapan Stella bisa berbaur dengan kehidupan manusia. 

“Sekolah? Apa itu?” Stella memiringkan kepalanya, kini dia begitu tertarik dengan kehidupan manusia yang lebih maju. Sayang, kemajuan yang dibuat manusia justru merugikan kehidupan lain seperti kepunahan beberapa hewan termasuk klannya yang pernah dibantai habis-habisan untuk menekan populasi.

“Sekolah adalah tempat manusia untuk belajar banyak hal. Kau akan mendapatkan berbagai macam hal baru tentang dunia kami,” jawab William antusias.

Stella menatap kedua mata William sambil menelan makanannya. “Jika aku bisa mendapatkan banyak hal baru darimu kenapa aku harus sekolah? Bukankah sama saja?”

William tertawa. “Tidak semua hal bisa kuajarkan kepadamu. Kau perlu mencari teman baru yang seusia denganmu, Stella.”

Gadis itu manggut-manggut meski dalam kepalanya masih banyak yang ingin ditanyakan. Namun,  tiba-tiba terdengar suara pecahan dari arah depan rumah. Mereka berdua bertatapan, jemari telunjuk kanan Stella menempel di bibir mengisyaratkan William diam. Mengingat kebangkitan dirinya pasti memantik sesuatu untuk mendatangi tempat di mana dia berada. Dari aroma tamu tak diundang itu, dia bisa mencium bau darah bercampur sesuatu yang busuk.

Vampir sialan!

“Kau bawa itu!” tunjuk Stella ke pisau yang tergeletak di wastafel. “Mereka bukan manusia.”

Mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan gadis kecil itu,  nyali William langsung menciut. Banyak spekulasi serta bayangan aneh yang menjalari otaknya bagaimana rupa makhluk yang mengganggu ketenangan di pagi hari ini. Jika saja itu ulah anak-anak remaja,  sudah pasti William akan mengadu kepada orang tua mereka. Namun,  jika 'mereka' bukan manusia,  lantas kepada siapa William mengadu.

“Aku bersembunyi di sini,” bisik Stella menunjuk meja makan di belakangnya. Pria itu mengangguk lalu mencari sumber suara seraya membawa pisau di tangan kanan.

Betapa terkejutnya saat William melihat dua manusia berkulit pucat dan bermata merah sedang menatapnya seram. Dia menelan ludah melihat pecahan kaca jendelanya dihancurkan oleh manusia asing dengan batu besar, juga menghancurkan vas bunga kesayangan Alice. Di pikirannya,  jika manusia itu bukanlah makhluk buas, pastinya pisau ini sudah menusuk mereka. Sayang, tatapan mata merah menyala penuh murka, menandakan William tak tahu apakah masih memiliki peluang untuk hidup melawan mereka.

Jesus! Apa aku akan mati semudah ini?

 

BAB 9

“Siapa kalian?” teriak William seraya mengacungkan pisaunya. Tungkainya gemetaran, pandangan mata itu sama persis dengan apa yang dialaminya saat kecelakaan. Yang dia takutkan adalah mereka akan menyerang kemudian mencabik dan menguras habis darahnya tanpa tersisa, meninggalkan jasad William dengan mengenaskan. 

Dua pria berambut pirang dengan gigi taring yang panjang melangkah secepat kilat lalu menendang pintu rumah William hingga hancur. Pria itu mundur beberapa langkah dengan bulu kuduk yang meremang, jantungnya bertalu-talu tidak karuan. Harusnya William berlari, menjauhi manusia yang jelas bukan manusia murni. Nyatanya, kedua vampir itu memang benar adanya, William tidak berhalusinasi bahkan saat kecelakaan terjadi. 

“Mereka memiliki iris mata merah. Kulit pucat seperti porselen. Mereka tidak lebih seperti zombie, William. Kadang mereka lemah seperti kelinci tak berdaya,  tapi mereka kadang bisa ganas seperti monster. Tapi,  jangan takut. Kau tancapkan saja senjata perak ke jantung mereka.”

Dengan gerakan cepat, William melempar pisau itu ke jantung salah satu vampir. Namun, gerakannya sangat mudah dibaca sehingga salah satu vampir dengan mudah menangkap pisau itu sambil menyeringai lalu berkata,

“Mencoba melawan, huh?” ejeknya. “Aku sungguh sedang tidak minat darah pria tua sepertimu.”

“Apa mau kalian!” seru William dengan lutut yang sudah tidak bertulang lagi. 

“Hanya permintaan kecil,” kata vampir itu sambil mengelus bilah pisau dan menyayat tangannya sendiri hingga darah merembes. Dijilat pisau yang berlumuran darah seolah benda tajam itu bukanlah hal yang berbahaya. “Aku mencium aroma menyenangkan di sini. Bisakah aku mencicipinya setetes?”

“Ti-tidak!” pekik William dengan suara bergetar. Ah,  dia tidak pandai berbohong.

Salah satu vampir yang memakai kemeja hitam geram lalu mendorong tubuh tua William ke tembok sambil mencekik lehernya. William terbatuk-batuk berusaha meraih leher vampir itu namun kekuatannya tak seimbang. Sang pengisap darah terlalu kuat untuk dilawan oleh pria berusia lebih dari separuh abad. Oksigen di paru-paru William makin menipis, tapi dia tidak ingin menyerahkan Stella begitu saja apa pun alasan mereka.

“Bagaimana bisa lidahmu mudah berkata bohong di saat detak jantungmu berdegup cepat?” geram vampir itu menatap William dengan tajam dibalik iris mata merahnya.

Beberapa detik kemudian tak disangka vampir lain berteriak keras ketika sebuah benda tajam menghunus jantungnya hingga tembus ke depan. Detik berikutnya, tubuh pucat itu tergeletak tak berdaya dengan kulit yang menjadi abu-abu. Vampir berkemeja hitam menghempas tubuh William hingga menghantam tembok sampai terbatuk-batuk dan merasakan nyeri di sekujur tubuh.

Vampir itu melangkah mengendap-endap di ruang tamu. Gelap. Namun, dia bisa mendengar suara detak jantung lain dengan aroma yang sungguh berbeda dengan aroma pria tua di sana. Aroma memabukkan yang mungkin tidak didapatkan manusia lain yang membuat mereka datang ke tempat ini.

Sesungguhnya dia begitu penasaran makhluk seperti apa 'dia'. Dia sebenarnya berbohong kepada William tentang menyembunyikan seseorang. Justru dia hanya menebak ketika melintasi kawasan ini untuk mencari mangsa.  Sungguh dia harus mendapatkan 'dia' walau hanya setetes darah.

Tanpa disadari, Stella yang sedang bersembunyi di balik meja dengan membawa benda tajam yang diambil dari perabotan William secara acak. Napasnya memburu dengan degup jantung yang berdetak begitu cepat. Dia bisa membaca pikiran vampir yang sangat menginginkan darahnya. Sejenak gadis itu memejamkan kedua mata untuk memikirkan cara menyelamatkan diri dan William.

“Oh, kau di sini ternyata.”

Suara itu berhasil membuat Stella menendang meja dengan kekuatan penuh hingga tubuh vampir terpental menghantam pantry. Bersamaan dengan itu, tangan kanan Stella menghunus benda tajam ke arah jantung vampir, tapi ternyata meleset. Vampir itu tertawa sambil bangkit mendekati Stella dengan gerakan cepat. Stella menghindar dan mendaratkan pukulannya tepat ke rahang tegas si vampir. Dia melihat ada beberapa kayu meja yang hancur berceceran, dengan sigap Stella mengambilnya lalu menusuk jantung vampir.

“Sial!” gerutu Stella ketika kayu meleset dan hanya menggores lengan kiri manusia jadi-jadian itu.

“Wow! Makhluk apa kau ini?”

Sadar akan perbedaan iris mata yang dimilikinya, Stella melempar semua barang yang ada. Sebaliknya, vampir itu melempar vas bunga tepat ke arah kepala Stella membuatnya berteriak kesakitan. Darah mengucur dari sela-sela rambut panjangnya membuat kedua mata vampir semakin berbinar. Dia menghirup aroma darah itu dalam-dalam. Aroma darah yang sangat berbeda dengan yang lain. Manis seperti madu.

Vampir itu sambil menjilat bibirnya sendiri. “Aromamu memabukkan.”

Tak disangka William datang dan memukul kepala vampir itu dari belakang dengan keras. Bersamaan, Stella menghajar vampir dengan membabi buta. Dia tidak tahu cara bertarung dan hanya mengandalkan insting saja. Memukul rahang, meninju ulu hati hingga mematahkan lengan tanpa ampun. William melempar piala dengan ujung runcing milik anaknya yang terbuat dari perak lalu menikam dada vampir membuat darah muncrat mengenai wajahnya.

Vampir itu menggelepar dengan jeritan yang mengerikan, tatapan matanya membelalak seolah masih mendamba darah milik Stella sebelum tubuhnya berubah menjadi abu-abu.

William dan Stella saling berpandangan lalu melihat sekeliling mereka. Semua perabotan di rumah itu hancur berantakan. Mereka berdua masih tidak menyangka dengan kehadiran musuh di sini. William berjongkok mengambil bingkai foto keluarganya yang tergeletak di lantai.

“Kita harus pergi dari sini William,” usul Stella. “Kita sudah tidak aman di sini. Bagaimana bisa mereka mengendus aromaku?”

William terangguk dalam diam menatap foto keluarga tercinta. Dia menatap Stella lalu berkata, “Kita memang harus pergi. Aku memiliki satu tempat yang aman untukmu, Stella. Dan, sepertinya ... mau tak mau, aku harus membuat sesuatu untuk menyembunyikan identitasmu.”

Gadis itu melenggut. “Dan mataku. Aku takut mereka akan tahu siapa diriku sebenarnya dari warna mata ini,  William. Apa kau punya pistol? Setidaknya kita harus berjaga-jaga selama perjalanan. Aku bukan ahli bertarung.”

“Sebaiknya kita harus cepat. Dan sebaiknya kau memakai softlens.

 

BAB 10

Langkah kaki panjang terbalut celana pipa hitam itu melangkah cepat, sesekali dia melihat ke belakang waswas bahwa wajahnya bakal menjadi incaran vampir lain. Napasnya naik turun mengimbangi irama pembuluh darahnya yang mengalir begitu deras, jika pertarungan seperti kemarin akan terjadi lagi. Apalagi kemarin Stella telah membunuh dan membakar tubuh dua vampir tanpa ada perasaan bersalah. 

Jarum jam tangan antik milik William menunjukkan pukul sebelas malam. Jalanan sedikit sepi walau suara gonggongan anjing penjaga rumah terdengar saling bersahutan Sinar rembulan pun tampaknya malu-malu untuk memantulkan cahaya sempurnanya. William berharap bahwa bulan akan redup untuk sementara waktu jika mengingat cerita Stella tentang kekuatan puncak para vampir. 

Selagi mencari solusi untuk menyembunyikan identitas Stella, William membawa si gadis rubah bersembunyi di sebuah kamar kecil di sebuah bangunan gereja yang letaknya jauh dari pusat kota. Lelaki tua itu yakin bahwa vampir akan takut dengan tempat suci di mana Tuhan berada.

Gadis berhidung lancip yang sudah menyelamatkannya nyawanya, terpaksa dia kunci di dalam kamar itu, memberi pengertian bahwa dunia luar sudah tidak aman apalagi statusnya sebagai manusia yang baru bangkit dari kematian. Hal yang begitu tabu dan aneh bagi sebagian manusia modern. Berbekal pisau cukur dan air suci yang ditampung di dalam botol, William menaiki bus menuju perpustakaan di pusat kota Hobart. 

Setidaknya, dia meyakini bahwa vampir adalah manusia yang tidak seharusnya berada di tengah kehidupan. Mereka hanyalah sekelompok orang mati yang nyawanya tidak bisa masuk ke alam baka, sehingga mencari ketenangan dengan menghantui dan mengisap darah manusia. Oleh karena itu, air suci dari gereja ini pasti membuat mereka kepanasan. 

Pikiran William bercabang, tidak menyangka bahwa makhluk yang hanya ada di dalam buku cerita anak-anak ternyata muncul di hadapannya sendiri. Seperti mimpi tapi semuanya terasa nyata, bayangan si mata merah di tikungan jalan itu pun masih begitu jelas di kepala William. 

Dia menggeleng, cerita-cerita kuno mengenai vampir dan manusia rubah dari berbagai negara memang sudah terkenal, tapi bagaimana mereka bisa muncul dan berbaur dengan manusia dengan mudah, terutama vampir—makhluk anti matahari yang bisa bertahan hingga sekarang. Mengapa manusia tidak memburu dan memusnahkan makhluk itu saja, mengapa harus ada perjanjian di antara manusia murni dengan manusia supranatural itu ketika hidup manusia pun sudah sangat sulit.

Bus yang membawanya berhenti di halte, William segera turun, jarak perpustakaan umum Tasmania cukup jauh dari tempat persembunyian Stella di gereja. Matahari yang mulai merangkak naik ke atas ubun-ubun, membuat William berkejaran dengan waktu. Dia merapatkan jaketnya, udara dingin di akhir musim gugur seakan ingin menyelimuti tubuh kurus itu. William bergegas, menaiki satu per satu anak tangga dan menyapa petugas perpustakaan yang dia kenal saat membawa Jessica ke tempat ini. 

“Hei, lama tak jumpa,” sapa lelaki berambut putih dengan senyum lebar menjabat tangan William. “Bagaimana kabarmu, dude?”

“Baik. Aku baik,” jawab William. “Aku sedikit berburu dengan waktu, Hayley, sampai jumpa lain waktu.”

Sebelum lelaki yang dipanggil Hayley itu menjawab, William melangkah masuk ke dalam perpustakaan terbesar di kota Hobart yang selalu ramai di hari minggu. Dia mendongak, membaca papan penunjuk arah mencari di mana letak rak buku sejarah dan mitologi.  Tubuhnya bergerak ke kiri, menelusuri rak-rak buku-buku yang menjulang tinggi hingga ke langit-langit perpustakaan yang luas itu. Beberapa anak terlihat naik sebuah tangga, mencari-cari buku yang mereka inginkan. William terdiam, namun matanya tidak berhenti untuk menelusuri buku yang dicarinya.

Hampir tiga jam lamanya, William bergulat dengan ratusan buku-buku mitologi. Tidak satu pun dari mereka yang menerangkan bagaimana membuat seorang makhluk supranatural bisa menyamar seperti manusia. Dia hampir putus asa, kebanyakan dari buku tebal itu hanya menjelaskan sejarah serta fakta, termasuk bagaimana cara membunuh mereka di masa lampau. 

Sambil bertopang dagu, William berpikir kembali, bola matanya tidak sengaja menangkap sebuah buku yang cukup tebal berada di sisi kanan atas rak buku mitologi. Dia pun berdiri, menaiki tangga yang terbuat dari kayu dengan hati-hati. Buku itu terlihat sangat usang, setiap lembar kertasnya terlihat menguning, sampulnya pun terlihat rapuh. William ragu, akan tetapi ini adalah cara terakhirnya, mengingat dari judulnya saja sudah membuatnya tertarik. Dengan hati-hati dan perlahan, tangan kanan William mengambil buku itu, dia hampir terhuyung ke belakang saat menariknya. Untung saja keseimbangan William masih baik di usia senja. 

“Untung saja,” gumam William sambil memeluk buku itu dan turun dari tangga. 

Dia menoleh kiri dan kanan, memastikan sekitarnya aman mengingat rak mitologi dan sejarah merupakan tempat yang cukup ramai didatangi mahasiswa. William melangkah menuju sudut tempat baca dengan waspada. Dia kembali berpaling dengan degup jantung tak karuan meniti untaian kata di judul buku itu. 

Herbologi dan Mitologi abad V.

Judul sederhana, pikir William. Dibuka buku tebal yang benar-benar sudah ringkih dan menguning. Baunya saja sangat lembap dan tak sedap, namun membaca daftar isinya yang tertera rapi di sana membuat senyum di bibir William mengembang. Dia membuka salah satu bab yang menjelaskan tentang kehidupan supranatural di tengah manusia lengkap dengan ilustrasi yang digambar langsung dengan tangan penulisnya.

Mereka menyamar menjadi manusia dengan beberapa bahan alam yang ada di dunia. Ini dilakukan untuk bisa berbaur, meneliti kehidupan sosial manusia walau pada akhirnya manusia itu sendiri yang akan menjadi sasaran. Tidak semua makhluk supranatural memanfaatkan wujud manusia mereka untuk merugikan dunia manusia itu sendiri, beberapa dari mereka justru menemukan kehidupan yang lebih baik.

Klan rubah salah satu kelompok supranatural yang suka sekali bersosialisasi dengan manusia. Dengan bantuan para leluhur, mereka membuat ramuan yang bisa membuat mereka bertahan selama kurang lebih enam bulan di masa transisi di bulan purnama.

William tersenyum bangga, hatinya berbunga-bunga, tak sia-sia berada di sini berjam-jam lamanya. Bahan yang tertera di sana cukup mudah dia dapatkan, setidaknya dia bisa meraciknya lebih baik daripada membuat sepotong wafel. Dia pun bergegas membawa buku itu dan pergi menemui Stella. Berharap buku ini menjadi penyelamat keduanya.

###

Stella menginjakkan kaki yang terbalut sepatu boot cokelat di sebuah tempat di mana banyak benda-benda aneh yang memiliki sayap namun begitu kaku. Manusia berjalan cepat dengan membawa kotak-kotak berwarna hitam, kulit putih mereka sedikit memerah, dan baju tebal yang berlapis. Sesekali pula terdengar suara seorang perempuan menggema, membuat sebagian manusia melangkah ke salah satu lorong menuju benda bersayap itu. 

Stella terpana melihat benda bercat aneka warna yang mengkilap membawa para manusia terbang menembus cakrawala, padahal mereka bukan seekor burung. William berkata padanya bahwa kendaraan yang dinaiki manusia untuk melintasi tempat jauh melalui udara dan menembus awan adalah pesawat. Stella mengangguk antusias, baginya manusia itu memang terlihat cerdas. Sayangnya beberapa dari mereka memanfaatkan kecerdasannya untuk memeras kehidupan lain.

Masih teringat ketika dia masih kecil dulu, saat mendengar suara dentuman bahkan teriakan manusia dengan senjata laras panjang yang mereka panggil pistol. Entah dewa mana yang merasuki jiwa manusia, ketika dengan mudah mereka membunuh rubah membuat ayah dan ibunya hanya bisa diam di dalam tempat persembunyian.

“Kita tidak bisa melawan kekuatan manusia murni. Mereka terlalu kuat dan cerdik. Jika mereka tahu kita bisa berubah wujud seperti mereka,  aku yakin manusia semakin memperdaya kita semua untuk keuntungan mereka semata,” ujar Julius Rogers—ayah Stella saat berpindah habitat ke pedalaman hutan.

Kedua mata lentiknya menatap langit yang begitu cerah melalui dinding kaca tebal.  Dari sini dia bisa melihat mesin burung raksasa itu berjejer dan beberapa terbang jauh meninggalkan tempatnya berpijak. Dalam hati, Stella bertanya-tanya ke mana takdir akan membawa dirinya sekarang. Pergi meninggalkan habitatnya dan menemui tempat baru yang begitu asing. Sejenak dia merindukan keluarganya dalam diam.

Jika ada Ayah dan Ibu, apakah kisah ini akan tetap sama? batin Stella.

“Stella,” panggil William membuyarkan lamunan gadis itu. “Kau harus memakai ini.”

William memberikan Stella sebuah kacamata hitam. Gadis itu mengernyit sembari membenarkan letak penutup kepalanya yang William sebut sebagai topi. Dia menunduk lalu membisikkan ke telinga kanan pria tua itu dan bertanya,

“Benda apa ini?”

William menahan tawa tuk sekian kalinya. “Ini kacamata. Benda ini untuk menutup warna matamu.” Lalu William membantu mengenakan kacamata di wajah Stella.

“Mengapa semuanya gelap,  William?” jerit Stella panik. “William, tolong aku!”

Mau tak mau William tertawa kencang membuat beberapa orang menatap mereka dengan aneh. William berdehem sejenak lalu berbisik, “Karena dibuat seperti itu agar mereka tidak tahu banyak matamu berbeda.”

“Oh iya, ke mana kita akan tinggal?”

“Rotorua. Kita akan tinggal di sana dan kau akan mempelajari semua yang kuketahui sebelum kau masuk ke sekolah.”

“Sekolah?  Kurasa itu tak kan buruk,” ucap Stella antusias sambil melangkah meninggalkan bandara

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Half Blood Queen VOL 2
2
0
Bab 11-20
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan