
Spoiler Alert!!!
"Eh, Nan, cowok di dunia itu ada dua macam. Tahu enggak?" Ardi mendudukkan diri ke kursi, melirik Gita yang sepertinya sudah paham betul isi kepala sang ketua tim.
"Bencong sama Normal 'kan?" balas Nanda memutar bola matanya jengah. Entah kenapa kepala ruangannya menempatkan dirinya satu tim bersama Ardi yang suka menguji kesabaran.
"Salah." Ardi terkekeh melayangkan ekspresi jahil.
Bab 4
Setelah beberapa hari bersandar di pelabuhan Haydarpasa, kali ini kapal bulk carrier yang ditumpangi Hakan kembali berlayar menuju Ukraina melalui laut hitam. Masih dalam pengiriman gandum, Turki memang menjadi negara pengekspor biji-bijian tersebut ke negara tetangga selain Rusia. Sebaliknya, mereka mengirim minyak mentah maupun batu bara yang dibutuhkan negara itu. Salah satu hubungan paling menguntungkan di tengah pergolakan ekonomi yang menerjang Turki.
Cuaca cukup bersahabat siang ini, setidaknya begitu yang dirasakan Hakan saat mengendalikan kemudi kapal di anjungan. Dia berharap perjalanannya bakal lancar hingga tiba di pelabuhan Kherson Ukraina nanti dan tidak ada amukan badai seperti sebelum-sebelumnya, walau kondisi lautan tidak pernah bisa ditebak.
Lain halnya dengan sikap Nanda. Membayangi wajah menggemaskan gadis itu seketika menghangatkan perasaan Hakan. Dia tidak menyangka bila menemukan banyak kesamaan dalam hal kebudayaan. Meski bekerja di atas kapal selama bertahun-tahun, Hakan masih menggilai sejarah yang tidak akan ada habisnya untuk diulas. Jangankan negara orang lain, dia menjelajahi dan membaca jejak leluhur negeri sendiri pun rasanya ada hal baru yang muncul mengingat beberapa peradaban telah dilalui.
Hati Hakan melambung tinggi bagai menyentuh awan di langit. Pipinya merona hanya memikirkan nama Nanda dan tak sabar untuk menelepon gadis itu kembali. Bagi Hakan, mendengarkan suara antusias Nanda adalah hobi baru. Apalagi saat membahas Cappadocia sebagai pemukiman era Paleolitikum sebelum ditempati orang Kristen yang melarikan diri dari Kekaisaran Romawi. Dia masih ingat, sorot berapi-api Nanda tatkala mengetahui kampung halaman Hakan yang terletak di salah satu distrik di Kayseri.
"Seriously?" pekiknya dengan mata membulat seperti telur mata sapi. Senyumnya lebar menampakkan geligi rapi yang terlihat memesona.
Hakan menyengguk. "But you need one hour with a car to reach there, Nanda."
"It's not a big problem, Hakan! I wanna go there!" serunya sembari menopang wajah dengan tangan mungilnya.
Dia terkikik, menertawakan ekspresi Nanda yang tidak bisa lenyap dari kepala walau tangan memutar kemudi kapal dan telinga mendengarkan arahan nakhoda. Hakan menggosok jejak-jejak janggut yang sudah dipangkas habis di dagu dan menanti reaksi Nanda nanti. Kebanyakan orang yang bergelut di atas laut selalu lengah terhadap penampilan. Pernah sekali waktu Hakan terlalu malas bercukur dan memangkas rambut sampai setahun penuh. Alhasil, ketika pulang ke rumah, ibunya hampir tidak mengenali anaknya sendiri dan mengira Hakan pencuri yang mengendap-endap masuk ke dalam rumah.
"Allah Allah, naptın Anne? Ben Hakan ya!" seru Hakan setelah dipukul dengan ganggang sapu.
(Allah Allah, apa yang kau lakukan, Bu? Aku Hakan!)
"Hakan? Gerçek mi?" Ibunya--Melek--mengerutkan kening lantas memasang kacamata minus yang lupa tidak terpasang.
(Hakan? Benarkah?)
"Evet ya! Ben Hakan, senin oğlun, Anne. Neden beni unuttun?"
(Ya! Aku Hakan, anakmu, Bu. Mengapa kau melupakanku?)
"Kau kenapa mirip manusia keluar dari gua? Kau membuatku jantungan!" protes sang ibu sebelum akhirnya merangkul sang anak tersayang.
Dia geleng-geleng kepala setiap kali mengenang kejadian memalukan itu. Dia melirik sang kapten kapal yang duduk di sudut kanan anjungan tengah mengamatinya dalam diam lalu bertanya,
"Ada apa, Kapten?"
"Mukamu berbeda," tandas sang kapten. "Apakah ada gadis yang kau sukai?"
"Sejelas itu, Ahmet Bey?" terka Hakan tercengang. "Benar, Anda benar."
Pria paruh baya yang rambutnya memutih itu terbahak-bahak seraya menunjuk Hakan. "Cinta bisa mengubah seseorang dan ternyata terbukti hari ini. Jadi, gadis mana yang kau kencani?"
Hakan memiringkan kepala, menerka-nerka apakah hubungannya bersama Nanda sudah berada di tahap 'sepasang kekasih'. Dia tidak berani mengungkapkannya, kendati pertemuan mereka baru seumur jagung. Meski waktu-waktu sudah dilewati, tetap saja ada keraguan yang menelusuk masuk ke dalam hati.
Mereka terpisah jarak dan waktu, belum lagi pasti ada pria-pria lain yang mencoba merenggut hati Nanda. Gadis itu pasti memikirkan hal yang sama. Pekerjaan Hakan yang berlayar lalu singgah di berbagai negara membuatnya bertemu banyak wanita. Dia menggeleng, Hakan tidak menaruh ketertarikan pada perempuan lain selain Nanda. Tidak ada yang bisa menggetarkan jiwanya seperti yang dilakukan Nanda.
Apa aku harus bertanya? pikir Hakan.
"Aku tidak tahu apakah kami pantas disebut teman kencan," jawab Hakan. "Kami baru bertemu beberapa minggu lalu."
Namun, rasanya dia sedekat nadi.
"Kuharap ada jalan terbaik untuk kalian," ujar Kapten Ahmet. "Berapa haluannya sekarang, Hakan?"
"165, Pak!" jawab Hakan tegas.
"Starboard 10!" perintah Kapten Ahmet melipat tangan di dada memberikan streering order kapal ke arah kanan.
Hakan mengangguk. "Starboard 10," ulangnya lantang selanjutnya memutar kemudi kapal ke arah kanan. Lalu mengamati rudder angle indikator yang bergerak menuju angka sepuluh. "Starboard 10!" lapornya.
"Port 20," kata Kapten Ahmet memberi aba-aba ke arah kiri.
"Port 20," ulang Hakan lagi memutar kemudian ke kiri hingga jarum indikator menunjuk ke angka dua puluh. "Port 20, Pak."
"Berapa haluannya?" tanya sang kapten lagi.
"166," timpal Hakan melirik indikator.
"Midship!" perintah Kapten Ahmet sekali lagi.
"Midhsip," ucap Hakan memutar kemudi di tengah hingga indikator bergerak menuju ke tengah.
"Berapa haluannya?"
"167."
"Steady!" Kapten Ahmet menyuruh menahan kemudi agar mempertahankan kecepatan kapal
"Steady, Pak!"
"Berapa haluannya?"
"162."
"Tamam, Teşekkürler. Semoga cuacanya bagus terus." (Oke, terima kasih)
"Rica ederim, Ahmet Bey. Kuharap begitu."
(Terima kasih kembali, Pak Ahmet)
###
Tangan Nanda menggosok punggung pasien seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan yang terbaring koma selepas menjalani operasi pengangkatan tumor di kepala. Menggunakan waslap basah bercampur air hangat, Nanda berdendang seolah-olah pekerjaan yang biasanya terasa berat kini seringan kapas. Dunia di sekelilingnya menjadi lebih berwarna semenjak kehadiran Hakan di hidupnya yang gersang. Maksudnya, Hakan memberi sesuatu yang tidak didapatkan Nanda dari orang lain.
Kecuali Dave, dia tidak bisa dikategorikan orang lain. Dia beda dan kami hanya berteman.
"Saya miringkan ke sisi kiri ya, Bu," kata Nanda setelah mengeringkan area kanan punggung pasien dan memberikannya bedak.
Ardi yang duduk tak jauh dari posisi Nanda memicingkan mata menangkap gelagat aneh rekannya. Nanda si jones, kini lebih sering senyum-senyum sendiri tanpa ada hal lucu lain. Bahkan saat dia iseng menegur atas suatu hal, Nanda membalasnya begitu ramah melebihi kasir supermarket. Bulu kuduk Ardi meremang membayangkan andai kata ada hantu genit yang merasuki Nanda yang mengambil alih tubuh mungil itu. Tangan kanan Ardi meraih tisu di sudut kiri meja kerja perawat, meremasnya dan melemparkannya tepat mengenai kepala Nanda.
"Sehat?" tanya Ardi.
Nanda mengangguk dan lagi-lagi mengukir senyum seakan-akan keisengan Ardi hanyalah angin lalu.
"Wah nggak beres nih anak," gumam Ardi. "Kerja yang bener, Nan, senyum-senyum sendiri kayak udah gebetan aja," ledeknya.
Refleks tangan Nanda dicelupkan ke dalam baskom air kotor lalu mencipratkannya ke arah muka Ardi. Lelaki berkacamata itu memang suka menggodai Nanda yang selalu terlibat skandal cinta tak berujung bahagia.
"Siang-siang nggak usah nyindir ya, Bang! Hawanya panas tambah panas!" ketus Nanda melanjutkan pekerjaannya. "Maaf, Bu, ada orang gila iri lihat kebahagiaan saya," bisiknya kepada pasien yang masih terpejam itu.
"Sama siapa lagi sekarang?" tanya Ardi.
"Rahasia," jawab Nanda kini membasuh punggung pasien dengan waslap bersih kemudian mengeringkannya.
"Idih ... sama Abangnya pelit." Kini Ardi melempar tutup bolpoin yang mengenai kepala gadis itu lagi. "Sukurin, hehehe ..."
Nanda memilih diam tak menanggapi lebih jauh kekepoan Ardi terhadap kehidupan pribadinya. Dia harus merampungkan pekerjaan ini sebelum beralih ke pekerjaan lain. Beruntung ada lima anak mahasiswa keperawatan yang membantu sehingga daftar tugas Nanda jauh lebih mudah. Mereka juga memandikan pasien karena proses ini yang paling lama dibandingkan tindakan lain.
"Ayolah, kasih tahu Abangmu ini, Nan," rengek Ardi. "Biar Abangmu ini bisa menilai cowok mana yang pantas kamu pacarin."
"Lho ... ada yang baru emang, Bang?" sahut Gita--perempuan berjilbab dan berlesung pipit di kedua pipi tampak terkejut mendengar ucapan Ardi. Dia baru saja menuntaskan pergantian obat-obatan yang memakain mesin syringe pump. "Anak mana? Traktiran dong."
"Jadian saja belum, Mbak," ucap Nanda mencuci tangannya di wastafel setelah membuang air baskom dan mencuci wadah itu. Kemudian dia melangkah mendekati Ardi, melempar balik tutup bolpoin tepat ke dahi seluas lapangan sepak bola yang berkilau diterpa lampu ruangan ICU. "Bang Ardi kebiasaan bikin gosip deh, sebel aku!"
"Siapa suruh pakai ketawa-ketawa nggak jelas," cibir Ardi manakala Nanda duduk di depannya dan menulis di lembar observasi. "Tadi aku sempat kepikiran, jangan-jangan kamu kerasukan setan."
"Heh!" sungut Nanda tak terima. "Ih, apaan sih, Bang!"
"Abang bisikkin nih, Nan." Suara Ardi mendadak terdengar serius walau wajahnya tidak menunjukkan sebuah keseriusan. Dia beranjak, menarik telinga Nanda namun ditepis gadis itu. "Dibilangin kok!"
Gita hanya bisa tertawa melihat interaksi kedua temannya yang tidak pernah akur.
"Eh, Nan, cowok di dunia itu ada dua macam. Tahu enggak?" Ardi mendudukkan diri ke kursi, melirik Gita yang sepertinya sudah paham betul isi kepala sang ketua tim.
"Bencong sama Normal 'kan?" balas Nanda memutar bola matanya jengah. Entah kenapa kepala ruangannya menempatkan dirinya satu tim bersama Ardi yang suka menguji kesabaran.
"Salah." Ardi terkekeh melayangkan ekspresi jahil.
"Lanang nek nggak bencong yo normal, Bang. Opo maneh? Sampean iki aneh-aneh ae, heran aku," cerocosnya kesal bukan main.
(Laki-laki kalau nggak bencong ya normal, Bang. Apa lagi? Kamu ini aneh-aneh saja, heran aku.)
"Loh dikandani wong tuwek nggak percoyo arek iki," kilah Ardi mengacak rambut Nanda. "Cowok itu, Nan, ada dua macam. Kalau nggak bajingan ya homo.
(Loh dibilangin orang tua nggak percaya anak ini)
"Yo koyok sampean, bajingan tengik!" olok Nanda menjulurkan lidah.
(Iya kayak kamu, bajingan)
(Bajingan tengik sebuah kiasan untuk memaki orang seperti penjahat)
"Loh, Abang bajingan wajar dong yang penting sudah pernah punya pacar banyak. Lah, gebetan kamu? Memang kamu tahu dia bajingan apa enggak?" ujarnya membalikkan fakta.
Sontak Nanda melontari Ardi dengan bungkus tisu, tapi berhasil ditangkap dan membalasnya balik ke arah Nanda. Melihat wajah partner kerjanya yang kini cemberut, Ardi semakin tertawa terbahak-bahak. Begitu pula Gita yang sudha tidak bisa berkomentar jauh mengamati perseteruan itu.
Mendadak kalimat yang Dave kirimkan padanya terbayang-bayang di kepala memunculkan keraguan sebesar bola dalam dada. Apakah benar tidak ada lelaki tulus di dunia ini sekalipun dia mencarinya di dunia maya? Jika iya, kenapa Tuhan mempertemukannya bersama Hakan? Kenapa komunikasinya dengan cowok manis itu seolah-olah ada harapan besar di depan mata? Kenapa?
Argh! Mau suka sama orang saja hambatannya banyak! rutuk Nanda dalam hati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
