A Billion Desires 1

4
0
Deskripsi

Spoiler Alert!!!

"Oke, sudah dua menit. Persiapan DC shock 120 joule, please!"

Si perawat defibrilator-monitor mengatur alat itu sampai ke angka yang diminta sang dokter. Alat tersebut berdenging nyaring bersamaan dokter Smith mengaba-aba agar perawat di sekeliling pasien tidak menyentuh selama pemberian kejut listrik. 

"Clear!" seru dokter Smith.

"Clear!" seru para perawat menjauh beberapa langkah dari bed pasien. 

"Shocking!" seru dokter Smith berbarengan dada pasien membusung beberapa detik. "Switch!"

Chapter 1

"Code blue!" teriak Anna mendapati pasiennya tidak sadarkan diri, menurunkan posisi kepala tempat tidur agar sejajar kemudian melakukan pijat jantung.

"Code blue 12B room 10, Code blue 12B room 10!"

Tak berapa lama suara pengumuman menggaung untuk memberitahukan tim code blue bahwa ada pasien mendadak kritis. Disusul seorang wanita berambut keriting menghampiri Anna sambil memakai sarung tangan dan mengambil ambu bag.

"Apa yang terjadi?" tanya perempuan itu berusaha tidak panik. Dia memosisikan diri di atas kepala pasien usai melepas headboard supaya lebih leluasa. Lalu menarik bantal yang menyangga kepala, dilanjut memberikan bantuan napas. Beberapa saat kemudian, lima orang datang berbarengan termasuk dokter berkacamata sebagai ketua code blue. Salah satu dari mereka menyeret troli berisi obat-obat dan alat-alat emergensi.

"Ini Jhon, 28 tahun yang beberapa hari lalu dirawat karena overdosis obat," lapor Anna kepada dokter selagi terus memijat jantung pasien. "Tadinya dia baik-baik saja karena hari ini akan direncanakan pulang."

"Jadi, tadinya dia baik-baik saja?" tanya dokter yang mengenakan tanda pengenal Erick Smith. 

Anna melenggut cepat. "Ya, Dok! Dia baik-baik saja. Tapi, saat aku datang untuk memberikan obat anti-nyeri, dia sudah tidak sadarkan diri. Dia riwayat pemakai obat narkoba melalui suntikan."

"Selang infusnya apa masih terpasang?" tanya dokter Smith.

"Sorry, tadi aku melepas infusnya karena dia akan keluar hari ini, Dokter Smith," jawab Anna merasa bersalah.

"Oke, sekarang pasang infus lagi dan berikan narcan!" perintah dokter itu kepada perawat lain berambut pendek yang bertugas sebagai tim pemberian obat.

Yang diberi mandat langsung bertindak, memasang jalur infus baru di lengan kiri. Tak lama, darah dari vena mengalir ke flash chamber lalu disambungkan ke cairan saline. "Infus terpasang," lapornya dilanjut memakaikan tensi monitor dan AED pad oleh perawat defibrilator-monitor. "Narcan masuk," tambahnya lagi.

"Oke. Berapa nadinya?" Dokter Smith tampak serius walau nada bicaranya terdengar begitu tenang.

"164 kali per menit," jawab si perawat monitor.

"Teruskan CPR. Bagaimana jalan napasnya, Anna?" tanya dokter Smith.

"Aman, Dok!" jawab perawat berambut ala Demi Moore yang menekan balon ambu bag secara beraturan.

"Pasang intubasi. Dan infusnya, tolong suntikkan epinefrin 1 miligram sekarang juga," pinta dokter Smith terus memberikan instruksi.

Di kamar sepuluh, suasana makin tegang ketika pasien belum menunjukkan perbaikan. Seolah-olah tim medis sedang tarik-menarik nyawa pasien dengan malaikat yang sedari tadi mengawasi dan menunggu tak sabar. Semua alat-alat emergensi telah terpasang, sementara Anna tanpa kenal lelah terus mengeluarkan tenaga untuk melakukan pompa jantung. Dokter Smith melihat jam di tangan kiri, menghitung sudah berapa lama obat perangsang denyut itu masuk, lantas dia berkata, 

"Oke, sudah dua menit. Persiapan DC shock 120 joule, please!"

Si perawat defibrilator-monitor mengatur alat itu sampai ke angka yang diminta sang dokter. Alat tersebut berdenging nyaring bersamaan dokter Smith mengaba-aba agar perawat di sekeliling pasien tidak menyentuh selama pemberian kejut listrik. 

"Clear!" seru dokter Smith.

"Clear!" seru para perawat menjauh beberapa langkah dari bed pasien. 

"Shocking!" seru dokter Smith berbarengan dada pasien membusung beberapa detik. "Switch!" perintahnya membuat posisi Anna dan perawat senior yang tadi memasang intubasi berpindah. 

Denyut jantung pasien makin meningkat menuju angka 200 dan dokter yang memimpin tim respons cepat itu mengomando agar terus melakukan CPR. Garis hijau di layar monitor bergerak cepat menunjukkan getaran tak normal yang menggambarkan bahwa jantung tengah berpacu tanpa henti namun tidak ada denyut. Apabila tidak segera dihentikan, bisa saja jantung mengalami kelelahan secara tiba-tiba. 

Dokter meminta perawat menyuntikkan magnesium sulfat supaya pacu jantung yang tak karuan tersebut cepat turun. Keadaan semakin genting, manakala gambaran di layar makin lama makin cepat sampai dilakukan kejut jantung kedua. 

"Shocking!" seru dokter Smith setelah menyuruh perawat menjauh berbarengan dada pasien membusung lagi menerima guncangan itu.  

Anna menggeleng pelan, nyaris menyentuh batas pasrah namun tidak ingin menyerah. Dia mengamati garis hijau bagai sandi rumput di layar monitor menampilkan gerakan cepat kemudian memeriksa pupil pasien. Dilatasi. "Masih tidak ada perubahan, Dok!" seru Anna berusaha tenang walau sebenarnya berbanding terbali dengan suasana hati yang begitu panik. 

Sebuah beban besar bagi diri Anna selama menjadi perawat kalau ada pasien yang tiba-tiba menurun secara drastis. Manalagi usia pria yang sedang bertaruh nyawa ini sebaya dengannya dan pasti akan menimbulkan sebuah penyesalan jika berakhir kematian. Pernah sekali waktu, Anna jatuh terduduk tidak dapat mempertahankan salah seorang pasien yang kala itu baru beberapa hari dirawat pasca operasi bedah abdomen. Menangis sesenggukan hingga tak nafsu makan akibat merasa bersalah pada keluarga pasien.

Namun, dia selalu diingatkan teman maupun seniornya jika keadaan-keadaan di rumah sakit memang tidak pernah bisa ditebak. Sekarang membaik, tapi sejam kemudian sekonyong-konyong mengalami henti jantung. Selain itu, mereka berkata bahwa perawat atau dokter bukanlah Tuhan yang berhak menentukan hidup dan mati manusia. Tenaga medis yang dipercaya Sang Pencipta hanyalah tangan-tangan ketiga yang hanya menunda kapan nyawa-nyawa itu kembali pada-Nya.

"Masukkan amiodaron dan ambil ABG untuk evaluasi elektrolit," pinta dokter Smith kepada perawat defibrilator-monitor. "Kita naikkan kekuatan listriknya jadi 300 joule kalau memang tidak ada perbaikan."

Beberapa saat kemudian, seperti cahaya yang menerangi gelapnya malam, senyum tipis muncul di bibir Anna tatkala angka denyut dan garis rekam jantung mulai melambat. Walau tidak bisa dikatakan normal, Anna menemukan secuil harapan dan segera memeriksa karotis. Dia menghela napas penuh kelegaan, melaporkan kepada dokter Smith kalau nadi pasien teraba lemah. 

"Masukkan satu miligram atropin, sepertinya mulai mengarah ke AV Blok ketiga," ujar dokter Smith. "Jika tidak ada perbaikan, berikan dopamin lima mikrogram per kilo berat badan per menit. Lalu laporkan padaku, setidaknya target tekanan darah harus mencapai 80."

Perawat defibrilator-monitor menekan salah satu tombol untuk mengukur tekanan darah sembari mendengarkan dokter Smith memberi arahan agar mengobservasi ketat pasien ini. "Tensi 70/40 tanpa dopamin, Dok. Nadi masih teraba lemah 38 kali per menit."

"Oke, kita pantau, sementara hubungi Coronary Care Unit supaya bisa dievaluasi lebih lanjut di sana," kata dokter Smith.

"Thanks, Dok!" 

###

"Lelahnya," keluh Anna sembari mengaduk kopi di ruang pantry ICU. Dia menguap lebar mirip kerbau dan tanpa malu bahwa ada rekannya tengah duduk di depannya. Memaksa kaki yang terasa pegal di bagian betis lalu mendudukkan diri di samping perempuan berambut keriting bernama Shanon. Untuk beberapa saat, Anna menghidu dalam-dalam biji Arabica memenuhi rongga dada, setidaknya cara inilah yang mampu merelaksasikan betapa padat kegiatan yang harus dikerjakan.

"Bersemangatlah, Annie," ujar Shanon memanggil nama Anna dengan Annie karena mengingatkan sosok sepupunya yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu. "Beberapa jam lagi kau akan terbebas dari kontrakmu dan aku ... merasa sedih." Nada bicara Shanon terdengar tak rela.

"Oh, Shanon ..." Anna menyandarkan kepala ke bahu Shanon, merasa terharu atas hubungan baik yang terjalin selama tiga bulan bekerja di Fairfield Hospital. "Aku tidak langsung pulang ke Indonesia. Jadi, kita bisa hang out seperti rencanamu minggu lalu. Menari seperti orang gila di No lights No Lycra atau tertawa sampai perut sakit di Comedy Nights?"

"Keduanya!" seru Shanon antusias. Menangkup dan menepuk-nepuk pipi tembam Anna kegirangan. "Jangan lupakan kue semangka Black Star Pastry. Kita harus datang lebih awal karena mereka akan mengadakan diskon musim panas. Aku tidak mau kehabisan lagi."

"Bagus. Aku tidak sabar menaikkan kadar gulaku setelah semua hari berat yang kita lalui," tandas Anna mengenang minggu-minggu terakhir di ICU benar-benar terasa sulit.

Dia menyeruput kopinya lagi sambil sesekali memijit tengkuk yang terasa kaku hampir dua belas jam standby tanpa henti. Di sisi lain, menjalani kerja jangka pendek seperti sekarang benar-benar menguntungkan. Anna bisa mengumpulkan pundi-pundi uang hampir empat ribu dollar tiap minggu selama tiga bulan bekerja di ruang intensif. Ya ... walau terkadang, segelas kafein tidak mempan menahan kantuk ketika dinas jaga. Lihat saja lingkaran hitam di bawah matanya tampak mengerikan jikalau tidak ditutupi alas bedak. Mungkin sebentar lagi orang-orang akan membanding-bandingkannya dengan panda di kebun binatang.

"I know," kata Shanon menepuk-nepuk tangan Anna yang mendekapnya. "Setelah ini kau akan berpetualang ke mana?"

Anna terdiam, menimang-nimang daftar hal yang ingin dilakukan setelah kontrak kerjanya di sini selesai besok pagi. Dalam kebisuan, iris cokelat gelap Anna mengamati langit-langit pantry seakan-akan di sana ada sebuah jawaban yang sedang digali, hingga Shanon mengikuti arah pandang gadis manis itu. Sejujurnya Anna ingin menghabiskan waktu untuk rehat sebentar, setidaknya tiga hari ke depan sebelum pulang ke kampung halaman atau sebelum mengambil kontrak kerja baru di negara bagian Australian yang lain. 

"Apa kau membayangkan seseorang sampai kau meneteskan air liurmu, Annie?" bisik Shanon memicingkan mata besarnya. "Aku penasaran."

Sontak saja Anna memukul lengan Shanon, mengelak tegas apa yang dilontarkan temannya seraya terbahak-bahak. Anna tidak punya waktu untuk memikirkan pria jika mereka hanya bisa menyakiti hati saja. Pria parasit! Setidaknya itu terpatri sempurna di kepala Anna dari kisah menyedihkannya terakhir kali. Lagi pula, kalau dipikir-pikir ulang, dia merasa perempuan lebih bisa mengeksplorasi hidupnya lebih bebas dan bahagia ketimbang saat bersama pria bermodalkan kata sayang semata. Apalagi sekarang sudah banyak perempuan memutuskan untuk menggapai mimpi dan memajukan karier agar tidak sembarang jatuh ke pelukan pria murahan.

"Mungkin aku akan cuti," tandas Anna membuyarkan imajinasi liar Shanon. "Ibuku membutuhkanku, Shanon."

"I see," ujar Shanon melengkungkan bibir masam. "Kau benar-benar pekerja keras, Annie. Tetap bernafas dan jangan lupakan liburan agar hidupmu tetap seimbang."

"Thanks." Anna menenggak kopinya sampai habis tak tersisa. Hatinya tersentuh atas ucapan Shanon yang begitu memperhatikannya bagai seorang kakak. Mendadak Anna ingin tahu bagaimana rasanya memiliki seorang saudara yang mau memberi tempat bersandar. Dia menghela napas panjang, menepis fatamorgana dalam kepala yang tidak mungkin menjadi kenyataan. "Aku tidak sabar kita liburan bersama," lanjutnya mengalihkan topik.

"Dan mencari pria," sambung Shanon mengerlingkan sebelah mata. "Sudah waktunya untuk memanjakan mataku melihat, berkenalan dengan seorang pria seksi, dan bersenang-senang menikmati hidup sebagai lajang."

"Pria seksi? Ah ... itu bukan ide bagus," canda Anna kembali meneguk kopi yang keburu dingin. "Kecuali mereka adalah Ian Somerhalder."

***

code blue : kode darurat di rumah sakit saat ada pasien butuh bantuan secepatnya. 

Ambu bag : alat untuk memberi bantuan napas ketika pasien tidak sadarkan diri. Bentuknya seperti balon dan ada selang kaku sebagai penyambung. 

Narcan : obat emergensi saat pasien overdosis narkoba untuk menghalangi efeknya ke otak. 

AED : alat untuk memberikan kejut listrik.

Intubasi : tindakan memasukkan selang dari mulut ke tenggorokan agar masuk ke paru-paru pada pasien tidak sadar. 

Epinefrin : obat emergensi untuk merangsang denyut jantung.

CPR : resusitasi jantung paru. 

Atropin dan dopamin : obat emergensi untuk menaikkan denyut dan tekanan darah pasca resusitasi jantung paru. 

AV Blok ketiga : kondisi darurat pada jantung di mana bagian atrium dan ventrikel  berdenyut sendiri-sendiri. (biar enggak bingung teman-teman membayanginya)

ABG : Analisa gas darah

Dilatasi : pelebaran pupil

Abdomen : perut

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
A Billion Desires
Selanjutnya His and Her Rules VOL 15
1
0
Spoiler Alert!!!One night stand berujung cinta yang manis sering terjadi,  Sophie, sindirnya sambil terkekeh.Itu bukan salahku, timpal Sophie dengan wajah memerah. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan