MENCARI SUARA TINTA #05

0
0
Terkunci
Deskripsi

Lima jam setelah petaka, keadaan sudah mulai tenang. Tangisan suara orang tua Pena yang kini menunggu anak mereka di ruang perawatan vip sudah tak terdengar. Namun diamnya saat itu lebih menyakitkan. 

Diandra menatap kosong tembok ruang dimana Pena dirawat, bersandar di dinding seberang. Sudah cukup lama dia di sana. Sedang memikirkan kekacauan tadi siang, terutama petakanya. Apa yang terjadi setelah kecelakaan itu? Pengemudi taksi dari bandara hanya terpaku melihat apa yang terjadi. Diandra...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
25
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Sebelumnya MENCARI SUARA TINTA #04
1
0
Seseorang sedang mondar-mandir di pinggir jalan, di seberang sebuah cafe. Beberapa pejalan kaki yang melewatinya dibuat penasaran kenapa orang itu mondar-mandir di tempat umum. Wajahnya bingung, memikirkan sesuatu yang sepertinya penting. Ini adalah kebiasaannya jika dia punya sesuatu yang penting yang harus diputuskan, terutama jika ini menyangkut hidupnya sendiri.Kadang dia terlalu overthinking, sampai harus berkaca jauh ke kehidupannya di masa lalu bahkan sampai waktu di mana dia masih seorang anak kecil.Diandra namanya. Singkatnya, dia bisu dari lahir, masalah disfungsi alat produksi suara. Namun bukannya tidak bisa memproduksi suara sama sekali. Dia bisa berdecak, tertawa, atau menggunakan bagian tubuh lainnya seperti bertepuk tangan. Namun itu belum cukup baginya untuk menghindari anak-anak jahil dengan rasa superior atas dirinya. Dia tidak cukup beruntung akan dimana tempat tinggalnya.Diandra punya mental yang cukup kuat untuk anak seumurannya waktu itu, namun delapan tahun dicaci oleh teman sebayanya melunturkan semangatnya. Apalagi dia bukanlah berasal dari keluarga yang besar akan kekuatan. Namun sebaliknya, anak-anak yang memelonconya secara verbal yang punya orang tua terpandang. Ibunya yang bertengkar dengan orang tua anak-anak itu, membela anaknya sendiri, kalah galak dibandingkan mereka yang tidak tahu malu, memanjakan anak mereka. Sudah pernah Diandra melawan, tapi jumlahnya yang cuma sebiji tak sebanding dengan jumlah mereka. Adapun anak-anak yang membelanya malah ikut dijajah. Sisanya hanya anak-anak yang memalingkan mukanya, hidup sebagai sebatas penonton.Diandra tidak mengikuti sekolah formal, dan lebih memilih homeschooling. Alasan utamanya tak jauh berbeda dengan apa yang dialaminya di kompleks perumahannya. Masuk ke sekolah khusus disabilitas pun rasanya tak ingin. Dia terlalu sadar akan pandangan anak-anak lain. Bersekolah di sana hanya akan menambah daftar bahan ejekan untuknya. Belum lagi rasa gengsinya yang sebenarnya cukup besar untuk usianya saat itu. Suatu hari, dia melewati sebuah sekolah dasar di dekat rumahnya. Kebanyakan anak-anak itu bersekolah di sana. Melihat Diandra di sisi lain gerbang, mereka menghampiri dan menyeretnya masuk ke sekolah mereka. Saat itu masih jam belajar, tiga anak yang menyeretnya punya perasaan kesal karena diusir oleh gurunya, belum lagi orang tua mereka akan dipanggil karena berkelakuan nakal. Kebetulan sekali, samsak hidup mereka lewat di depan mata mereka, sedang membeli jajanan. Mereka menertawakan Diandra karena bertingkah seolah dirinya adalah murid di sekolah itu; mereka tahu Diandra sering membeli jajanan di sana, di jam-jam sekolah, sebelum jam istirahat. Benar, ada alasan sendiri untuk hal itu. Melihat anak-anak sebayanya bergerombol di pagar sekolah membuatnya terbayang asyiknya jadi salah satu dari mereka, berdesakan, memanggil abang-abang jajanan gerobak, dengan… suara mereka sendiri.Jadi, empat anak kecil di ujung sekolah, delapan langkah saja dari toilet sepi berbau tajam. Tiga diantaranya punya pakaian identik ala anak sekolah dasar; tiga diantaranya bertubuh sehat, imut menggemaskan; dan tiga diantaranya sedang mengantri menendangi anak sisanya yang tengah terbaring melingkar di tanah melindungi kepalanya dengan tangan. Pakaiannya berbeda, kaos polos dan wajah lecet bertabur pasir. Bergiliran kaki-kaki mereka, dengan sepatu mengulek perutnya dengan kaki sebelum berganti mencolek bibirnya dengan debu kotoran yang menempel di alas kakinya.Tubuhnya mati rasa.Pernah dia melawan. Buktinya ada beberapa bekas cakar di lengan tiga anak itu. Namun jumlah mereka dengan mudah meredamnya. Mereka bilang padanya kalau mereka akan berhenti jika ia bilang berhenti. Dari matanya saja bisa tahu kalau dia tak punya niat untuk tunduk, tak bisa mengatakan kata menyerah dari mulutnya.Yang terjadi kemudian, seperti ada sesosok setan berlari mendekat. Tubuhnya segumpal lemak, postur besar, bergerak kencang. Serasa mustahil. Bagaimana si gembrot ini berlari sekencang itu? Mereka berempat berpikir sama. Dan sejujurnya, orangnya sendiri tak percaya dia bisa berlari secepat itu. Padahal berjalan saja malas rasanya. Mungkin karena serial superhero yang ditontonnya di TV kemarin lusa, yang masih terbayang di lemaknya--maksudnya, dibenaknya.Tak berhenti, si gembul menabrakan diri ke salah satu dari tiga anak itu, yang berdiri di samping anak yang kakinya menapak di perut Diandra. Anak itu tergusur, terpental jatuh, lengan mencium lantai batu. Si gembul kehilangan keseimbangannya barang beberapa detik, sebelum dapat menjaga keseimbangannya kembali. Segera saja tangannya mengayun sembarang ke arah ke kedua anak lainnya. Matanya kelihatan panik, jelas tak pernah berkelahi. Namun bunyi kencang ayunan, dan ukuran tangan sebesar botol 1 liter membuat keduanya ciut. Mata si gembul pun tampak seperti orang gila di hadapan mereka. Jadi, tanpa bicara mereka menarik temannya yang tersungkur, lalu pergi.Segalanya terjadi relatif cepat. Tak mengira semenit lalu Diandra masih mencium tanah. Yang dia lihat sekarang adalah seorang pahlawan yang berdiri mengulurkan tangan, dengan nafas ngos-ngosan, lengan bergetar, dan kulit berkeringat--adrenalinnya masih menyala. “Kamu tidak apa-apa?” Diandra mengangguk. Tangannya diterima dan ditarik berdiri. Ada banyak lecet di sana-sini tapi sepertinya keadaannya baik-baik saja, setidaknya dari luar. “Aku sering lihat kamu di dekat pagar sekolah. Kamu bukan murid sekolah ini, ya?”Sekali lagi mengangguk.“Kalau mereka mengganggu kamu lagi, aku akan hajar mereka.” Tangan Diandra naik setinggi dada dan membentuk rangkaian isyarat tangan.“Apaan itu?” nada suara si gembul berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya terasa palsu dan dibuat-buat, kali ini seperti kaget.Tanpa jeda, Diandra mengambil sebuah papan tulis kecil dari dalam tasnya lalu sebuah spidol kecil dari saku belakang celananya. Dengan sigap ia menulis sesuatu dan menunjukkannya.“Maaf. Aku bisu,” barulah setelahnya si gembul mengerti.“Aku tadi bilang ‘terima kasih’.”“Sama-sama,” Ramon bersikap acuh tak acuh, “Nama kamu siapa?” dan kembali dengan nada bicara anehnya.Dan anak itu merasakannya, “Diandra,” dengan sigap ia menghapus dan mengganti tulisan di papannya. “Aku Ramon… Kenapa anak-anak tadi memukuli kamu?”“Sudah biasa mereka begitu. Iseng.”Diandra terdiam sebentar memperhatikan wajah Ramon sebelum menuliskan sesuatu lagi.“Cara bicara kamu aneh.”“Maksud kamu?”“Rasanya kayak nonton tv... ”“Ini adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bapakku bilang kita harus melestarikan bahasa nasional kita.”“Tetep aja rasanya aneh,” apa yang Diandra maksud adalah cara bicara yang terlalu kaku untuk dipakai sehari-hari. “Kamu enggak masuk kelas?”“Sekarang jam olah raga. Aku sedang tidak enak badan. Karena itu aku minta izin untuk tidak ikut kelas,” Diandra memperhatikan kembali wajah Ramon. Dia terlihat sehat-sehat saja. “Bagaimana kalau kita membeli jajanan di dekat lapangan. Sebentar lagi waktu istirahat. Jadi aku rasa tidak ada masalah,” gaya bicara Ramon membuat Diandra berkernyit. Rasanya bakal butuh selamanya untuk terbiasa dengan gaya bicaranya.Dan itulah sedikit kisah awal mereka. Berteman sampai saat ini, dimana Ramon duduk di bangku kuliah. Diandra tidak pernah mengikuti sekolah formal, bahkan sampai di jenjang SMA. Kuliah pun tak terpikirkan olehnya.Pertemanan mereka berjalan monoton. Tak ada kejadian menggemparkan yang dapat mengubah hubungan mereka. Sejak saat itu, Ramon sering main ke rumah Diandra, sering main dengan anak-anak yang dulu meremehkan Diandra. Ramon punya sosok pemimpin di dalam dirinya, setidaknya untuk menjadi pusat dan pilar sebuah pertemanan. Daripada memusuhi mereka yang menyakiti sahabatnya, Diandra, dia berteman dengan mereka. Namun walau mereka berada dalam satu lingkaran pertemanan, tentu mereka lebih dekat dengan Ramon. Bahkan sepertinya mereka tidak akan bicara dengan Diandra jika bukan karena dia adalah sahabat Ramon. Bukan, di mata mereka, Diandra terlihat seperti kacungnya Ramon, meski sahabatnya itu sendiri tak pernah sama sekali menganggapnya demikian, dan selalu menganggapnya sejajar dengannya. Tapi apa daya, sifatnya Diandra sudah seperti pecundang. Ini terjadi secara alamiah. Apalagi sudah sejak dulu dia dijajah fisik dan mentalnya. Karenanya berkembanglah perasaan inferiornya. Dia lebih menuruti selera Ramon di saat-saat pergaulan mereka. Mau makan dimana? Terserah Ramon; mau liburan ke mana? Terserah Ramon; mau main apa? Terserah Ramon. Sebagai sebuah pengecualian, Diandra tidak pernah bersikap seperti ini dengan yang lainnya. Bahkan kepada mereka yang menindasnya. Selalu dia coba melawan meski merasa ketakutan. Rasanya menyerah akan terasa lebih mudah bagi Diandra. Namun terpikir, apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia menyerah kepada anak-anak itu akan membuatnya lebih merana. Berbeda dengan Ramon. Dia tak perlu merasa tegang seperti saat bersama anak-anak itu. Sebuah tempat yang lebih baik baginya. Namun Diandra sudah kepalang tersiksa bertahun-tahun. Sehingga, Ramon, tempat yang aman baginya, menjadi tempat dimana dia merasa bisa menyerah. Sahabatnya itu melindunginya, tak pernah meremehkannya, dan setia. Dia tak perlu merasa was-was. Karena itu dia menyerah. Seperti seseorang yang mencari perlindungan. Ramon tak cukup peka untuk merasakan gelagat sahabatnya. Sampai di masa-masa akhir sekolah menengah, Ramon sudah cukup dewasa untuk memahami kompleksitas sahabatnya. Selebihnya, pertemanan mereka berjalan “monoton”.Kemonotonan ini sedikit berubah di masa-masa Ramon duduk di akhir sekolah menengah. Waktu itu Diandra menunggunya di halaman depan sekolahnya, seusai class meeting. Banyak yang berlalu lalang di sana, menyaksikan pertandingan basket antar kelas. Ramon ikut bertanding di turnamen bulu tangkis, dan meraih hasil yang tak terlalu mengecewakan: kalah di babak pertama.Sambil menunggu, Diandra menjaga menonton pertandingan basketnya, sedikit menjaga jarak dengan kerumunan yang terlalu ramai menurutnya. Lalu, seseorang menabraknya.“WHAT THE F---” sebuah kamera melayang rendah, jatuh. Benturan mereka sedikit keras, namun tak sampai menimbulkan sakit yang berlebihan. Hanya saja barang mahal baru saja berada dalam masa krisis. “...” Diandra tak tahu apa yang harus dia lakukan. Gadis yang menabraknya belum tersadar kemeranya jatuh. Dilihat dari name tag tergantung di dari lehernya, dia adalah seorang panitia. Mungkin dokumentasi, pikirnya. Dan hal yang Diandra paling pikirkan yaitu bagaimana menanggapi kecelakaan ini. Dia merasa malu untuk berinteraksi; malu kalau dia bisu.“Auw… auw… auw… sorry, sorry sorry. Gua enggak seng--OH MY GOD! KAMERA!!” gadis itu secepat kilat menarik kameranya yang jatuh.“...”“Ahhh ELU SIH! NGALANGIN JALAN,” dan sekarang dia diomeli. Sedangkan gadisnya sibuk memeriksa kameranya.“...”“Huft! Untung enggak kenapa-kenapa,” matanya melirik ke Diandra. “Anu… sorry. Tadi gua kelepasan. Maklum emosi.”Sedari tadi, Diandra tak menjawab. Bahkan jika dia bisa bicara pun, dia tidak punya kesempatan untuk menyela gadis itu. Mulutnya seperti di setel semi otomatis.“Loe lihat Milla enggak? Tunggu tunggu tunggu. Gw kayaknya enggak kenal loe. Situ dari kelas mana? Anak kelas berapa? Sendirian? Nungguin siapa di sini? Atau cuma mau nonton basket? Eh… anak luar ya?”Saat itu, dalam hati Diandra, dia berdoa, ya Tuhan, tolong jangan buat dia berhenti ngoceh. Senang rasanya sesekali diperlakukan seperti orang normal. Tak perlu takut disepelekan atau sekedar dikasihani. Rasanya diomelin tadi pun kesannya menyenangkan. Tolong jangan berhenti.“Ng… loe enggak perlu khawatir soal kameranya. Enggak kenapa-kenapa kok. Ini punya kakaknya Milla sih. Mana ini kamera profesional. Kalau sampai rusak bisa-bisa gua diseret pakai jeep abangnya. Oh ya kita belum kenalan. Nama gu--”Namun seseorang menghentikannya. Seorang temannya menarik perhatian si gadis. “PEENAAA!!”“OOOIII! MILLAAAA! Sorry. Gua pergi dulu. Ga perlu khawatir soal kameranya (Milla: ‘Wooi! Cepet kesini!’). IyAAAAAAA tunggu!”“...”“Bye~”“Bye~” balas Diandra, dalam hati.“GUAA CARII DARI TADI! NYUMPUT DIMANA LOE?!” gadis itu pun semakin menjauh, suara semakin pelan, lalu menghilang.Seluruh pergerakannya terhenti. Seperti ada konsleting. Ada yang rusak dari dalam. Omelan gadis itu masih membekas di kenangan.“BANGBRO!!” Ramon melompat, menepuk keras pundak Diandra--dan rasanya seperti ada yang tergeser. Tubuhnya sudah tak segembul dulu, namun masih besar dan tinggi. Otot-ototnya terlihat, namun sama sekali tak menonjol.Helaan nafas besar dan cepat keluar dari hidung, sebuah ekspresi kesakitan Diandra. Dengan wajah gusar, dia mengisyaratkannya dengan tangan, “santai dong! Keras banget tadi!”“Maaf, maaf!” nada suaranya Ramon pun sudah tak seaneh dulu. “Makan yuk! Udah sore nih. Siang tadi gua belum makan,” tangannya merangkul sahabatnya yang menganggukkan ajakannya. “Makan dimana?”“Terserah!”Ramon diam berpikir, menggeledah kepalanya mencari tempat makan yang ingin dia kunjungi. Diandra pun sama, diam berpikir, namun untuk hal lainnya. Wajahnya masih terlihat tertegun. Dan akhirnya, dia menepuk bahu sahabatnya untuk bicara.“Hmmm?”“Aku butuh bantuan kamu!”Wajahnya ragu namun berapi-api. Pertama kalinya Ramon melihat wajahnya seperti itu. Sesuatu yang asing baginya. Diandra sudah sering meminta bantuan, tapi itu hanya untuk hal-hal sepele, dan cara memintanya pun terlalu sopan untuk ukuran lamanya persahabatan mereka. Kali ini sahabatnya terasa tegas, dengan mata yang berniat.“Bantuan apaan?” dan dengan senang hati dia akan membantu.Tentu saja ini tentang gadis tadi, Penata Ezralia. Meminta Ramon untuk mencari tahu tentangnya. Sebagai pengetahuan dasar, gadis itu satu sekolah dengan Ramon, umurnya sebaya dengan mereka. Punya sahabat sejak kecil bernama Nur Milla Kartika Dewi dan selalu bersekolah di sekolah yang sama dari dulu. Ibu mereka satu geng sejak SMP, setelah masing-masing punya keluarga, mereka berdua sudah dijejalkan ke satu sama lain.Untuk memata-matai Pena, Ramon harus berbaur dengan murid-murid perempuan--yang dirasa lebih tahu satu sama lain ketimbang murid laki--terutama dengan mereka yang sering bergaul dengan Pena dan Milla. Hal ini melahirkan sebuah gosip yang tak jelas. Tentu saja mereka semua mengira kalau Ramon punya perasaan terhadap Pena. Sedangkan, kedua orang yang digosipkan ini hanya cuek, sehingga gosip itu tetaplah menjadi gosip.Ramon sama sekali tidak keberatan melakukannya, senang malah. Baru kali itu dia sebegitu capek dan repot demi sahabatnya. Berharap Diandra akan berubah lebih baik dan ini adalah awalnya.Dan harapan itu tak kunjung terwujud. Kurang lebih satu setengah tahun kemudian, tak ada yang berubah. Diandra masih sekedar mengagumi Pena seperti orang asing, kadang lewat sosial media, dan kebanyakan mengambil kesempatan melirik dengan alasan menjemput Ramon. Tak ada dekat-dekatnya sama sekali dia dengan Pena.Ramon pun sudah hampir capek menunggu barang sedikit perkembangan dari Diandra. Maunya, dia ingin menyeret sahabatnya ke hadapan Pena.Suatu saat, mereka berdua mendengar kalau Pena dan Milla bertengkar. Pena mendiamkan sahabatnya itu. Diandra dan Ramon tak tahu apa yang sebenarnya yang membuat keduanya sampai bertengkar. Ketidaktahuan ini membuat Diandra cemas.Hal ini terlihat seperti sebuah kesempatan bagi Ramon. Dia memutuskan untuk tidak membantu sahabatnya lagi untuk mengumpulkan kabar tentang Pena. Berharap dia dapat mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya sendiri kepada orangnya.Tentunya, sekali lagi, apa yang diharapkan sahabatnya itu tak terjadi. Diandra hanya diam dan cemas, tak punya keberanian untuk “bicara” dengan Pena. Gadis itu bahkan tidak tahu dia eksis.Kabar dari Ramon tentang Pena terputus. Saat Ramon bilang dia akan berhenti membantunya, wajahnya sangat serius dan itu membuatnya takut untuk memintanya untuk kedua kalinya. Diandra hanya bisa frustasi.Mereka kini sudah masuk ke umur perkuliahan. Terkecuali untuk Diandra, dia lebih memilih untuk langsung berbisnis. Bersama Ramon dan kedua teman dekatnya yang lain, mereka mendirikan sebuah cafe dengan uang tabungan mereka. Tempatnya berada dekat dengan kampusnya Ramon. Mereka menyewa sebuah ruang dua lantai yang dimana lantai di atas dijadikan kantor dan sekaligus tempat tinggal mereka berempat. Meski rumah orang tua mereka berada di kota yang sama, tapi lokasi cafe mereka lebih dekat dengan kehidupan perkotaan, lagipula mereka lebih suka berkumpul bersama. Desain interior cafe-nya mengejar nuansa retro. Paman dari teman Ramon adalah seorang barista, dan punya teman seorang mixologist. Mereka berempat kadang belajar dari mereka dengan gratis, berbagi resep-resep yang relatif mudah dibuat dengan bahan yang mudah didapat.Namun mereka merasa cafe mereka masih kurang satu sentuhan. Sesuatu yang dapat menjadi ciri khas milik mereka sendiri. Dan tentu saja menu utamanya adalah kopi.Disinilah, Diandra menumpahkan kesedihannya karena keadaannya belakangan ini. Menawarkan sebuah ide dimana mereka membuat sebuah mading seluas satu sisi dinding. Nantinya pelanggan-pelanggan mereka bisa menuliskan apapun untuk ditempel. Pastinya ada unek-unek atau suatu hal yang ingin mereka luapkan, yang kadang tidak bisa dikatakan ke siapa pun. Ramon tahu premisnya mirip sekali dengan sahabatnya itu. Dan ide dari Diandra pun disepakati bersama.Cafe EMPAT ARAH pun mereka bangun.Dua bulan berjalan, ide mading yang Diandra usulkan menjadi primadona utama setelah menu kopi yang ada di urutan kedua, dan pilihan interior dari Ramon. Bisnis mereka berjalan dengan sangat baik.Pada suatu saat, Diandra melihat Pena mengunjungi cafenya. Baru kali itu dia melihatnya mengunjungi cafe miliknya. Namun di kesempatan itu, dia hanya berani melihatnya dari ruang staff. Melihatnya tak bersemangat, mengetik yang-sepertinya-tugas. Sering sekali dia melihat langit. Kopinya tak diminum, dan cream puff yang ia pesan pun hanya setengah tergigit. Rasanya seperti bukan seorang Pena.Apa masih bertengkar dengan Milla? pikirnya.Pena pun pergi tanpa menghabiskan menu yang dipesan. Sebelum pekerja sambilan membersihkan mejanya, Diandra bergegas duduk, dan mengisyaratkan pegawainya itu untuk membiarkannya. Pekerja itu kaget karena itu pertama kalinya dia melihat salah satu bosnya itu, spesifiknya bosnya yang bisu, memerintah dengan tegas. Biasanya dia terlihat agak ragu dengan isyarat-isyarat tangannya.Diandra sendiri memandang langit dari tempat dimana Pena memandang, ke arah timur. Selain langitnya, dia melihat pantulan samar bayangannya sendiri di kaca jendela. Nanar menatap cermin… Diandra bergumam di benak sendiri, rasa melankolis. bayangan tak sudi bertemu mata. Kenapa menatap ke timur? Ada apa di timur? Kami sudah tak satu kepala belakangan ini. Seperti sudah berbeda jalannya. Pastinya, suara pun tak sampai ke kamu di cermin sana. Tak berani memanggil menoleh ke saya. Sudikah kamu mendengar ceritaku, bila kubisikkan, Pena?Dia tak tahu kenapa dia bergumam puisi itu. Mungkin akibat film terakhir ditonton. Mungkin saja itu kata-kata yang hendak dia katakan pada Pena jika saja dia punya suara--tak juga puitis seperti itu. Jika tidak bisa diutarakan, pikiranku ini tak lebih dari sekedar sampah.Dengan lemas dia pergi ke kamarnya di lantai dua, merogoh kotak sampah di sebelah meja dapurnya. Ramon yang sedang bermain game di PC-nya pun sampai memperhatikannya, walau tak digubris lebih lanjut. Diandra mengambil sebuah bungkus mie instan dari kotak sampah, berjalan mengambil spidol merah di meja dekat PC dimana Ramon bermain. Dia duduk di ruang tengah, dan menuliskan isi pikirannya tadi menjadi sebuah puisi utuh di atas sampah itu.Kemudian kembali turun dan menempelkannya di mading cafe mereka. Tak ada harapan apapun di puisi itu, hanya sekedar kelakuan iseng seorang Diandra yang melankolis.Seminggu itu Pena rutin mengunjungi cafe untuk sekedar mengerjakan tugas. Kadang bersama teman-temannya, dan kadang sendiri. Tak sekalipun dia menggubris mading di cafe tersebut. Baginya itu cuma gimmick. Menu-menunya lah yang paling penting.Namun, setelahnya, lama kelamaan, dia menyadari sebuah sampah yang sangat menonjol di antara postingan-postingan kertas ala kadarnya di dinding. Saat itu dia hanya sendirian, terlihat sedang suntuk dengan tugas-tugas. Diandra yang selalu memperhatikannya lewat ruang staff, menyaksikan keajaiban itu. Pena membaca puisi yang dibuatnya.Matanya seksama memperhatikan ekspresi wajah Pena. Terlihat bingung. Cukup lama memperhatikan tulisannya. Sampai akhirnya dia pergi, dengan wajah yang sama bingungnya.Diandra tak dapat mengerti apa yang dipikirkan Pena.Esoknya, Pena tidak datang ke cafe. Diandra yang setengah menunggu di jam-jam biasanya Pena datang, selalu mengeluh. Dan esoknya lagi, gadis itu pun tetap tak terlihat. Ada apa gerangan? Setahunya Pena suka dengan menu-menu di cafenya. Atau mungkin dia punya tempat nongkrong favorit lainnya di jam-jam siang seperti itu?Sebuah postingan instagram yang muncul di akun milik Pena akhirnya menjawab kegundahan Diandra. Sebuah foto, dua gadis tersenyum, Milla dan Pena, muncul di feednya. Lokasinya menunjuk di Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Senyum Diandra merekah. Hati damai melihat Pena akhirnya berbaikan dengan Milla. Dilihatnya mading, tepatnya puisinya untuk Pena. Sudah berapa lama puisi itu menempel di sana? Mungkin karyawan-karyawannya tidak berani untuk membersihkannya karena tahu itu tulisannya, sama seperti fotonya bersama tiga pendiri dari cafe itu di tengah dinding. Berpikir sudah saatnya semua ini dibersihkan. Melihat puisinya sampai dilihat Pena sudah membuatnya puas. Lagian, dia ingin menyimpan puisi itu sebagai kenang-kenangan. Mengira kalau itu adalah yang pertama dan terakhir. Tak pernah terpikir olehnya bahwa kejadian itu menyambungkannya dengan Pena. Beberapa hari setelah madingnya dibersihkan, dia menemukan sebuah dasi abu-abu khas anak sekolah menengah tertempel di mading, yang menonjol dibandingkan belasan kertas di sana. Serasa dejavu, Diandra berharap bahwa dasi dikirim dari seseorang yang dia harapkan. Benar, itu dari Pena, sebuah haiku yang membalas puisinya.Senang mabuk kepayang.Membuatnya menggebu. Seperti gadis yang dia kagumi mengakui keberadaannya. Apa yang Ramon harapkan dulu dari awal dia membantunya, kini muncul. Tamak Diandra muncul. Dia tak ingin berhenti sampai di situ. Jadi, dia menulis puisi balasan untuk Pena, menggunakan metode yang sama, ditulis di atas sebuah sampah. Namun kali itu, ada harapan yang disematkan di tulisannya, berharap Pena menyadarinya.Kali itu, harapannya terkabul. Tak hanya menemukan, Pena pun kembali membalas puisinya. Dan mereka berdua saling membalas tulisan, dicoretkan di atas sebuah sampah, ditempel di dinding. Tiga tahun lamanya mereka melakukannya. Namun tak ada kemajuan diantara mereka berdua, nampaknya. Perkembangannya kembali stagnan.Waktu itu, Pena sudah lama tak membalas tulisannya. Yang Diandra tahu, Pena sedang berlibur bersama Milla di Pulau Jawa. Biasanya, Pena akan menempelkan balasannya sebelum dia pergi, namun tak terjadi. Ada apa gerangan?Diandra dan Ramon berkumpul di lantai 2 cafe, sekedar makan mie rebus bersama di kala mendung. Dia memperhatikan Diandra yang setengah makan dan setengah menguntit Pena di instagram tanpa menggunakan akun--Diandra tidak punya akun media sosial apapun. “Dra, kamu enggak mau, ngobrol langsung sama Pena, gitu?”Diandra cukup kaget mendengar pertanyaan Ramon. Karena sudah jarang dia mengurusi masalah Pena.“Entahlah, Mon.”“Kok entah?”“Berani aja belum.”“Dicoba dulu. Nanti juga jalan sendiri.”“Suatu hari nanti, deh.”Ramon menyeruput kuah mienya yang tersisa sedikit, sebelum kembali ke percakapan. “Sudah tiga tahun lebih loh. Keburu telat.”“Telat gimana maksudnya?”“Yaa menurut gua sih Pena itu cukup atraktif, walau agak sengklek. Sejak dia bertengkar dengan Milla, dia sudah lumayan dewasa… seenggaknya dari luar.”“Yang lo maksud itu egois, kan? Bukan sengklek.”“Oke, itu maksudnya. Aku tahu dia udah enggak seegois dulu, sudah dewasa. Zaman-zaman alay-nya juga udah lewat. Maksudku, ini udah tiga tahun, Dra. Aku rasa kamu udah cukup berani untuk berhadapan langsung. Ya, kan?”“...” Diandra tak menjawab, diam dan hanya melahap mienya.“Mau sampai kapan kamu bertukar tulisan? Gimana nanti kalau suatu hari dia enggak membalas tulisanmu? Lihat sekarang? Begini aja kamu sudah gelisah.” Sejujurnya, ekspektasi Ramon sangatlah rendah, berkaca dari pengalamannya berinteraksi dengan sahabatnya jika sudah menyangkut keinginannya sendiri. Diandra selalu aware akan bagaimana orang lain bakal menilainya jika dia melakukan suatu hal. Hal yang selalu mengekangnya, yang selalu coba diubah oleh Ramon. Permasalahan soal Pena pun tak jauh dari alasan tersebut. Bagaimana Pena akan bereaksi terhadap keadaan Diandra. Jika harus menjawab, Ramon akan berkata “tidak ada yang tahu!” Masa kecil Diandra sudah membentuk inferioritas dan kompleksitas terhadap diri sendiri yang sulit diubah. Dan Ramon merasa dia akan mendapat jawaban yang selalu sama dari mulut sahabatnya.Namun kali itu, pertama kalinya Ramon salah. Diandra berhenti mengunyah, menatap mata sahabatnya, lalu memberitahunya dengan isyarat tangan yang meragukan. “Haruskah aku melakukannya?”Melihat apa yang diisyaratkan Diandra membuat mata Ramon terbelalak. Mungkinkah rasa tamak yang baru-baru ini dikenal sahabatnya itu sudah mengalahkan inferioritas yang seperti sudah mendarah daging?Meski terasa bahwa jawaban Diandra masih ragu, Ramon dengan mantap menjawab “LAKUKAN!”Diandra terlihat bingung dan ragu. Pikiran negatif yang sudah jadi teman bermainnya masih jelas ada di sana. Tapi Ramon tak melihat sedikitpun niat dari rasa tamaknya ingin mundur. Ini memberikan harapan untuknya. Diandra sudah berbuah.Tiba-tiba, Diandra berdiri. “Aku mau jalan-jalan dulu” melihat isyaratnya, Ramon tersenyum dan mengangguk. Ini merupakan apa yang Diandra selalu lakukan jika ada sesuatu yang harus dia pikirkan dan tentukan. Dengan ini, Ramon yakin bahwa ada kemungkinan yang cukup besar bahwa hasil yang dia inginkan akan terjadi.Namun tak butuh memaksakan kakinya berjalan lama tanpa ada tujuan, keputusan sudah dibuat oleh Diandra. Dibuat saat dia melihat seseorang datang dengan sebuah taxi bandara. Dia berada di seberang jalan, melihat gadis yang dia pikirkan masuk ke dalam cafe.Akhirnya dia datang. Apa dia punya tulisan untukku?Melihat sosoknya dari kejauhan memberikan dorongan penuh. Ada sebuah sampah bungkus keripik kentang di tangannya. Dengan cepat dia membersihkannya dengan tisu, lalu mengeluarkan spidol merah di kantong celana belakang. Dia melihat Pena sudah keluar dari cafe, dan berjalan tengil menuju taxi yang parkir di ruko sebelah. Dengan cepat Diandra menulis, ayo bertemu. Melihat sampah itu, Pena pasti akan mengenal siapa dirinya. Jalanan di cafe cukup sepi, dan mobil-mobil yang lewat melaju cepat. Seperti sebuah firasat, Diandra melihat sebuah mobil yang gelagatnya berbahaya, pengendara serampangan. Di jalanan lurus dan sepi itu, mestinya akan sangat kentara namun Pena terlihat sedang sangat lengah.Secara refleks, Diandra berdiri dan berteriak “AAWAAAAAASSSSS!!!”. Suaranya keras… dan menggelegar… dan penuh kekhawatiran.. dan terdengar ke segala penjuru arah… dan hanya terjadi di imajinasinya saja. Kenyataannya, tak ada suara yang keluar, berkali-kali pun dia mencoba berteriak. Kejadiannya sangat cepat. Berlari pun takkan sanggup Diandra sampai tepat waktu. Perasaannya menjerit-jerit. YA TUHAN! SEKALI INI SAJA, BIARKAN BICARA!!Doanya dibalas dengan tragedi. Mobil itu menghantam Pena. (BERSAMBUNG)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan