#SOUL2SOUL _ 13. Popok Cerah

0
0
Deskripsi

“Yang Cerah lihat, kamulah ibunya,” jawab Kamala.

“Jadi?” Mata Agni melebar.


“Jadi, ya, kamu yang harus mengganti popoknya!” bentak Kamala tak sabar karena makin tersiksa mendengar tangis Cerah.


Dengan teramat terpaksa Agni pun melakukannya di bawah instruksi Kamala. Sembari mengenakan masker dobel menutupi hidung dan mulut, pelan-pelan ia buka perekat popok Cerah. Kamala bisa melihat tangannya bergetar dan meragu.


“Saranku, lebih baik kamu melakukannya dengan cepat,” perintah Kamala. 

“Cepat gimana?...

 Setengah jam perjalanan dari apartemen Agni menuju rumahnya terasa sangat lama dan menyiksa. Berkali-kali Kamala meminta pengendara ojek online yang ia tumpangi untuk lebih cepat lagi walau sudah ngepot kanan-kiri dan berkali-kali diprotes pengendara lain gara-gara memotong jalan tanpa peringatan. Kamala menuntutnya mencari jalan tikus agar tidak terjebak macet jalanan Surabaya di sore hari. Gerutunya Kamala bungkam di awal dengan janji uang tip dua kali lipat dari harga ongkos antar.


Setibanya di rumah, ia segera saja disambut tangisan Cerah. Kamala melangkahkan kaki Agni yang jenjang lebar-lebar cepat-cepat. Beberapa hari menjalani hidup menggunakan tubuh Agni, terasa cukup nyaman. Tubuhnya terasa lebih ringan dan gesit saat digerakkan. Otot yang sudah terbentuk juga rupanya membuat Kamala merasa tak mudah lelah. Bahkan sore tadi, untuk pertama kali seumur hidupnya, Kamala bisa merasakan euphoria berlari di tread mill selama satu jam—perintah Agni yang harus ia turuti. Baru saja merasa bangga dan melirik jajaran dumbbell pelbagai ukuran, berniat untuk mencoba olahraga lain yang biasanya tak sanggup ia lakukan, ponselnya berdering.


“Kemari sekarang saja, La?” Agni menelepon. Ia terdengar panik.


Ia mendesah kecewa. “Bukannya kita janjian jam lima? Ini masih jam empat dan ...” Ia lantas saja rebah di sofa sembari mengelap keringat di lehernya dengan handuk kecil.


“A-aku nggak sanggup membuka diaper anakmu,” tuturnya terus terang.


Kamala duduk menegak.


“Siang tadi dia menolak puree bayamnya. Padahal aku sudah memasak sesuai yang kamu resepkan,” keluh Agni.


Kamala menahan diri dengan embusan napas keras. “Sudah berapa lama kamu biarkan diapernya?”


“Aku nggak yakin. Tapi aku curiga saat dia tiba-tiba diam di sudut ruang sekitar setengah jam lalu. Dan aku baru sadar setelah tercium baunya.”


Kamala menepok jidat. Segera saja, setelah mandi singkat yang sama sekali tidak ia nikmati, Kamala berganti pakaian dan langsung memesan ojek.


Tepat saat kaki mencapai lantai teras rumah, pintu membuka. Muncul Agni dalam tubuh Kamala dengan rambut dicempol asal dan kusut. Ia terlihat sebagaimana Kamala biasanya, meski tetap melakukan gerakan favorit Agni: memijit kening. Sekarang Kamala sudah mulai terbiasa melihat dirinya sendiri melakukan gerakan itu. Gerakan yang menandakan jiwa di dalamnya tengah dilanda frustrasi.


Berdiri tepat di tentang Agni, giliran Kamala yang meletakkan tangan di kedua pinggang dan dan berdecak lelah. “Kamu tinggal membersihkan dan menggantinya. Apa susahnya?”


Agni mendengus keras. “Kamu lupa? Cerah bukan anakku dan aku belum pernah punya pengalaman mengasuh bayi. Kamu berharap apa? Aku punya bayi dari suamimu?”


Telinga Kamala juga sudah mulai kebal dengan kata-kata pedas perempuan satu ini. Bahkan saat kemudian melangkah masuk, selintas ia mendengar gerutuan lirih Agni: lagian aku benci anak kecil. Namun Kamala memilih untuk tak menggubrisnya. Seluruh perhatiannya tersedot pada tangis Cerah yang kian menjadi.


Anak bayi kesayangan Kamala itu sedang berada di dalam boks, berdiri berpegangan pada tepian sembari terus menangis. Wajahnya begitu merah dan basah. Ia pasti sedang merasa sangat tak nyaman dengan diaper penuh kotoran.


“Aduh, Cerah Sayang,” ucap Kamala seraya menjulurkan tangan untuk menggendongnya. Tetapi tangis bocah itu malah kian menjadi.


“Nak, Ayo Mama ganti popokmu,” bujuk Kamala.


Cerah memberingsut. Ia menuju sudut dan menolak Kamala jemput. Pada saat ia berhasil meraihnya, Cerah malah memberontak dari gendongan. Padahal selama ini, dekapan serta wangi tubuh Kamala tak pernah gagal untuk membius kerewelannya.


Begitu Agni muncul, tangan Cerah segera terjulur padanya seakan memohon untuk diselamatkan dari orang asing yang mengaku-aku ibunya. Nyaris saja Kamala berniat menjauhkannya dari Agni akibat rasa tak terima yang spontan tersulut. Cemburu yang ia rasakan melebihi rasa cemburu yang biasa ia rasakan jika itu terjadi pada Bara. Kendati demikian, rasa cemburu itu segera berusaha ia padamkan begitu tersadar bahwa dirinyalah yang Cerah lihat ada pada Agni. Kamala pun mengangsurkan Cerah pada Agni yang segera mengernyitkan hidung.


“Kenapa dikasihkan aku lagi, sih?” Ia menerima meski tampak jelas menolak. Tangis Cerah mereda, meski belum sepenuhnya tenang.


“Cerah nggak tahu apa-apa soal apa yang terjadi sama kita.”

“Terus gimana?” Agni mulai panik.


“Yang Cerah lihat, kamulah ibunya,” jawab Kamala.

“Jadi?” Mata Agni melebar.


“Jadi, ya, kamu yang harus mengganti popoknya!” bentak Kamala tak sabar karena makin tersiksa mendengar tangis Cerah.


Dengan teramat terpaksa Agni pun melakukannya di bawah instruksi Kamala. Sembari mengenakan masker dobel menutupi hidung dan mulut, pelan-pelan ia buka perekat popok Cerah. Kamala bisa melihat tangannya bergetar dan meragu.


“Saranku, lebih baik kamu melakukannya dengan cepat,” perintah Kamala. 

“Cepat gimana? Huek.” Agni mengumpat begitu popok terbuka.


“Kalau kamu kelamaan begitu, kamu justru akan makin tersiksa.”


“Huek.” Mata Agni terlihat berair. “Astaga, baunya tembus masker.”


“Ya, Tuhan. Kalau begitu, lakukanlah dengan cepat!” Kamala semakin tak sabar. 

“Huek.” Agni tetap melakukannya dengan gagap.


“Bungkus dengan rapi.”


Agni tak menjawab. Ia melakukan pekerjaannya seraya menahan diri agar tidak muntah. 

“Rekatkan dengan rapi, kalau tidak ...”


“Bisa berhenti mengomel?!” bentak Agni.


Fine.” Kamala mundur, membiarkan Agni melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia bungkus diaper Cerah dengan plastik dan mengikatnya rapat-rapat. Lalu membersihkan pantat Cerah sembari terus mengumpat. Sesekali ia menjerit histeris ketika tanpa sengaja kotoran mengenai tangannya. Menyaksikannya, perut Kamala malah tergelitik. 

Bahkan Cerah yang sudah tenang pun terkikik.


“Sialan kalian berdua!” umpat Agni.


“Bisa nggak, nggak usah pakai kata-kata kasarmu di depan anak kecil? Mereka peniru ulung,” ujar Kamala memperingatkan.


“Bawel.”


Namun entah mengapa, perut Kamala malah makin tergelitik. Tawanya pun terburai. Cerah ikut tergelak dan menularkannya juga Agni. Mereka tertawa bersama di dalam ruangan yang masih berbau kotoran.


Kejadian ini justru mengantarkan sebungkus ingatan ke dalam kepala Kamala. Saat itu Cerah masih berumur dua minggu. Kamala meninggalkannya terlelap dalam box bayi sementara ia memanfaatkan waktu sempit yang dimilikinya sampai Cerah bangun lagi, untuk mandi. Baru saja usai dan bersiap keluar kamar mandi, terdengar Cerah menangis. Cepat-cepat ia membuka pintu dan berlari-lari kecil untuk menengoknya. Tapi ia terkejut saat didapatinya Bara telah datang. Tangannya tanpa ragu membuka perekat popok Cerah.


Kamala menyaksikan sang suami melepas popok anak mereka sembari berusaha menenangkannya, “Ssst, Sayang. Iya, Papa ganti ya. Maaf ya, Sayang, Papa nggak selembut Mama kamu.”


Otot pipi Kamala terangkat menyaksikannya. Ia tampak begitu ahli sebagai seorang ayah pemula. Padahal setahu Kamala, selama dua minggu memiliki bayi, tak pernah ia biarkan siapa pun melakukannya selain dirinya, termasuk Bara. Selain karena cemas hasilnya tidak seusai dengan yang ia harapkan, Bara juga memang selalu sibuk dan pulang dalam keadaan teramat lelah.


Kamala pun mendekati mereka dan berdiri di sisi Bara. Mengetahui Kamala datang, Bara menoleh.


“Hai,” sapanya, “Tadi waktu aku datang, Cerah nangis. Jadi cepat-cepat aku cek. Ternyata dia pup. Ya sudah, aku bersihkan. Kasihan kalau menunggu kamu kelamaan. Maaf kalau nggak missal nanti hasilnya nggak serapi kamu.”
“Enggak apa-apa. Itu kamu terlihat mahir kok,” pujinya Kamala.


“Harus bisa, dong. Masa kalah sama kamu,” ujarnya sembari membasuh pantat sang anak yang tertidur. “Eh, bisa ya, cebok sambil tidur?” Bara tergelak melihat tingkah sang anak.


“Itu artinya dia sudah merasa nyaman.” Kamala mengambilkan diaper baru dan menyerahkannya pada Bara.


Dengan lembut Bara mengangkat sedikit pantat Cerah untuk menyelipkan diaper di bawahnya. Baru saja ia akan menurunkannya untuk kemudian merekatkan diaper, pipis cerah membanjir, meluber hingga membasahi lengan kemeja Bara.


“Duh. Baju kamu jadi kena pipis, nih.” Lekas-lekas Kamala mengambil tisu dan mengelap lengannya. “Kamu masih akan berangkat kerja lagi, kan?”


“Sudah nggak apa-apa, Sayang. Aku ganti saja nanti.” Bara malah cekikikan. “Cerah ini yaaa. Tahu banget kalau habis ini Papanya mau kabur kerja lagi. Ya sudah, kalau Cerah mau Papa di rumah saja, Papa libur dulu hari ini, deh. Capek kerja terus.” Tanpa mempedulikan lengannya yang basah. Ia lanjutkan mengganti popok Cerah.

Memori itu kira-kira terjadi tak sampai setengah tahun lalu. Dalam sekejapan mata, Bara terlepas darinya begitu saja. Padahal waktu itu ia masih terlihat penuh kehangatan dan bahagia. Apa yang ada pada diri Agni yang tak ada pada dirinya? Kamala memandangi tubuhnya sendiri yang kini duduk terlelap di sofa ruang tamu dengan mulut menganga. Matanya lantas beralih pada cermin hias besar dan menatap sosok Agni yang balas menatapnya. Mereka seperti berasal dari dua dunia yang jauh berbeda. Kamala menunduk meratapi dirinya sendiri.


Apakah begitu dangkal cinta Bara padanya selama ini, sehingga perubahan pada tubuh dan paras juga akan begitu mudahnya mempengaruhi perasaan yang selama ini ia gadang-gadang sebagai cinta? Atau apakah sesungguhnya cinta itu tak pernah ada?


Ponsel Kamala yang tergeletak di atas meja bergetar. Kamala yang hafal dengan nadanya, tahu bahwa ada satu pesan masuk. Rasa penasaran dan keadaan yang mendukung—Agni tidur dan seperti tak akan terusik sama sekali—membuat tangannya tergerak untuk meraih ponsel itu. Ia geser layarnya dan mendapati satu pesan masuk dari Bara: Bagaimana Cerah? Dia sudah pulang?


Kamala merasa ia boleh sedikit bernapas lega lantaran mendapati suaminya masih mempedulikan sang anak. Sayangnya, perasaan lega itu pun harus segera musnah ketika beberapa menit kemudian ponsel Agni yang ada di dalam sakunya berdering. Kalang kabut ia berlari keluar rumah dan mengangkatnya.


“Halo?”


“Hai, Sayang. Kenapa pesanku nggak kamu balas? Kamu kesal karena hanya kupameri foto Paris? Aku janji suatu saat akan membawamu kemari. Atau sepulangku dari sini nanti, kita bisa pergi ke mana pun yang kamu mau.”


Jemari tangan Kamala bergetar dan tanpa sadar meremas ponsel yang masih ia genggam di dekat telinganya. Serbuan janji-janji manis Bara pada Agni berikutnya, membuat air mata mengaliri pipi Kamala tanpa halangan.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Soul2Soul
Selanjutnya #SOUL2SOUL _ 14. Racun
0
0
“La, seriusan rumah segede gini kamu urusin sendiri. Suami kamu, kan, tajir, sih? Seharusnya kamu bisa hidup kayak artis-artis yang kawin sama anak pengusaha tajir. Yang bersihin rumah ada, yang masakin beda lagi, ngurusin anak apa lagi. Pokoknya kamu tinggal perintah saja. Ongkang-ongkang menikmati hidup.  Lagian kamu juga habis jatuh. Tega amat suamimu nggak kasih ART.” Ratna menyusul duduk. Tetapi matanya seperti enggan menyudahi pengamatannya pada setiap sudut rumah Kamala. “Astaga Ratna ... Kamala mau pakai ART apa nggak juga terserah dia. Pasti mereka juga sudah mempertimbangkan alasannya. Lagian Kamala juga nggak kerja. Biar nggak nganggur-nganggur amat juga di rumah. Ya, kan, La?” Andini menyela.Agni ingin menyetujui dalam batin. Namun, ia merasa kalimat semacam ini semestinya tak keluar dari mulut seseorang yang mengaku sahabat. Ia bisa melihat Ratna memang berbicara lebih apa adanya. Namun, Andini yang terlihat lebih berhati-hati, justru seperti menyimpan racun dalam benaknya. Tapi, apa pedulinya? Mereka sahabat Kamala. Bukan urusan yang harus ia pusingkan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan