#SOUL2SOUL _ 11. It’s Not Just About Latte

1
2
Deskripsi

Hingga akhirnya dua mug latte penuh es batu dengan topping krim kocok telah siap ia tenggak, Agni menahan tangannya.


“Jangan coba-coba!” ancamnya.


Kamala balas melotot dan berkukuh mengangkat gelas.


“Aku bilang jangan coba-coba!” Ia menahan tangan Kamala lagi.


Kamala angkat paksa mug itu hingga menumpahkan sedikit latte ke lantai. Tapi ia tak peduli dan tetap mengangkatnya ke tepi bibir, menelan beberapa teguk yang mejalarkan rasa manis dan dingin di kerongkongan keringnya. Tapi sebelum puas menikmati...

 Belum juga taksi yang baru saja Kamala tumpangi pergi, Agni dalam balutan cangkang tubuh Kamala, sudah mententeng di depan pintu, menyambutnya. Kamala masih saja kaget melihat tubuhnya sendiri digerakkan oleh jiwa manusia lain, tampak sangat murka. Kemarahan macam apa lagi yang akan diterimanya dalam sehari ini.


Sebelumnya, setelah tiga hari beristirahat tanpa melakukan banyak hal dan hanya menonton tayangan-tayangan photoshoot modelling di youtube sekadarnya, Kamala akhirnya datang menemui Andrew pagi tadi. Ia diminta datang ke Y studio, milik Yudha, yang alamatnya segera Kamala tanyakan pada Agni.


Setibanya di sana, Andrew langsung memintanya melakukan pemotretan. Hal yang tak Kamala, pun Agni, duga sebelumnya. Keduanya mengira Andrew hanya akan membicarakan proyek selanjutnya yang akan ia garap.


Protes sudah ada di ujung lidah Kamala saat Andrew berkata, “Kenapa malah pucat gitu? Biasanya juga gimana? Makanya aku mau nungguin di sini karena ini juga job dadakan yang aku kira nggak boleh kamu lewatin. Katalognya Monokrom. Lagi laris-larisnya, loh, mereka. Aslinya ini punya Cecil. Tapi mendadak banget kemarin Monokrom minta ganti. Cecil katanya terlalu bule. Maunya yang Asia banget. Siapa lagi yang terlintas di kepalaku kalau bukan kamu, Say?” bebernya. Mata Andrew menelitinya dari ujung rambut hingga kaki, “Luka-luka kamu gimana? Udah sembuh, kan?” Ia pun beralih pada Ayu yang sedang menata make up-nya di atas meja, “Kalau masih ada tipis-tipis bisa lah ya dipoles, Yu?”


Ayu mengacungkan jempolnya dan segera kembali sibuk. Kamala tak sanggup bersuara. Ia mengitari ruangan studio yang lengang dan dingin itu, seakan berusaha mencari pertolongan. Namun tampaknya tak ada yang bisa menolongnya hari ini, kecuali Tuhan.


Beberapa langkah darinya, tampak Yudha yang hari ini mengenakan kemeja putih polos dan celana jins lusuh. Ia terlihat santai tetapi anehnya, malah semakin menarik. Ia yang tadinya sibuk mengecek kamera beralih pada Kamala dan melempar senyum.


“Sudah enakan?” tanyanya.


Aku baik-baik pagi tadi, tapi sekarang rasanya seperti akan mati, batin Kamala, tetapi ia hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Yudha itu.


“Siap-siap dulu.” Yudha menganggukkan kepala.


Semua orang di studio ini seakan yakin bahwa dirinya akan mampu melakukan yang Andrew minta, kecuali dirinya sendiri.

Hal itu diperparah oleh kostum yang kemudian ia kenakan: dress hitam berkerah rendah, yang panjangnya hanya sebatas separuh paha. Kamala merasa telanjang di depan banyak orang yang tak ia kenal. Berkali-kali tangannya refleks menarik turun gaunnya itu, berusaha menutupi bagian baginya terekspos berlebih.


“Kenapa?” Ayu yang sedang menambahkan sedikit polesan di pipi Kamala menangkap gelagat tak nyamannya.


“Kependekan,” ucapnya jujur.


Ayu yang anggun itu terkekeh pelan. “Serius karena itu?”


“Iya. Nggak ada yang agak lebih normal sedikit?”


Ayu tertawa lagi. “Itu yang dikasih Monokrom. Ntar ada lagi yang lain tapi ya begitu itu modelnya. Kenapa? Kok nggak kayak biasanya.”


“Memangnya pernah lebih pendek dari ini?” tanyanya lugu.


“Serius? Kamu lupa?”


Kamala mendelik. “Nggak nude, kan?”


Tergelak Ayu dibuatnya.


“Enggak, lah. Two piece untuk katalog The Blue? Ingat?”


Kamala pura-pura mengingatnya meski dalam hati merutuk keras. Mengapa Agni tak memperingatkannya soal ini sebelumnya.


Selang beberapa saat kemudian, Andrew memanggilnya. Yudha, serta beberapa asisten lain, telah siap telah siap di hadapan sebuah background putih dengan lampu-lampu dan beberapa reflektor. Canggung Kamala melangkahkan kaki memasuki area. Degup di dadanya semakin menguat. Setelah berada di tengah ruang yang disediakan, Kamala sadar bahwa tangannya mulai gemetar.


“Siap? Yuk, Monokrom minta yang simple tapi tetap elegan ya, Agni Sayang. Ah, ngerti lah, ya, kamu. Agni gitu, loh. Nggak perlu aku arahin.” Andrew kemudian memberi isyarat pada Yudha, “Yuk, mulai.”


***


Lelah karena lima jam bergaya di depan sorot lampu ditambah beban mental karena protes dari kru serta amukan Andrew yang Kamala gendong di pundak, ia langsung menghambur masuk rumah. Melempar sepatu yang dikenakannya dan segera menuju dapur. Berondongan pertanyaan Agni serta omelannya, sama sekali tak ia gubris.

“Biarkan aku buat latte dulu. Kamu nggak perlu seperti itu. Melihat mataku sendiri melotot seperti itu rasanya mengerikan.”


Agni malah semakin melebarkan mata. “Apa? Latte?”


“Iya. Dua gelas besar,” tandas Kamala tak peduli.


“Apa maksudmu latte dua gelas besar? Setelah semua kekacauan yang kamu lakukan, kamu juga mau menghancurkan tubuhku? Kamu sengaja berniat menghancurkan karirku?” bentaknya.


Kamala menggeleng dan kembali menyibukkan diri. Sembari membuka pintu lemari dapur, berniat mengambil latte sachet di tempat biasanya, mata Kamala jelalatan mencari tahu perbedaan yang sepertinya terjadi. Dapurnya bersih dan wangi. Tapi tentu saja ia tak mau mengakui itu terang-terangan di depan muka Agni sebab akan menjadi semacam pengakuan bahwa ia bisa mengurus rumah Bara dengan lebih baik darinya. Kamala tetap tak bersuara, membiarkan perempuan itu merepet sepanjang dirinya meracik latte.


Hingga akhirnya dua mug latte penuh es batu dengan topping krim kocok telah siap ia tenggak, Agni menahan tangannya. “Jangan coba-coba!” ancamnya.


Kamala balas melotot dan berkukuh mengangkat gelas.


“Aku bilang jangan coba-coba!” Ia menahan tangan Kamala lagi.


Kamala angkat paksa mug itu hingga menumpahkan sedikit latte ke lantai. Tapi ia tak peduli dan tetap mengangkatnya ke tepi bibir, menelan beberapa teguk yang mejalarkan rasa manis dan dingin di kerongkongan keringnya. Tapi sebelum puas menikmati hingga ke dasar mug, Agni merebut paksa mug itu sampai menumpahi baju yang ia kenakan, lalu membuang sisanya ke bak cuci piring.


“Apa-apaan?” hardik Kamala sembari menggertakkan rahang, berusaha menahan intonasi agar tak terlalu meninggi. “Aku nggak sedang berniat menghancurkan karir atau hidup siapa pun. Aku hanya ingin menikmati latte-ku.”


“Aku sudah mewanti-wanti dari awal untuk nggak memasukkan racun ke tubuhku!” bentaknya, lalu menghilang ke ruang laundry.


C’mon! It’s just latte! Aku juga nggak meminumnya setiap hari.” gerundel Kamala sembari menarik satu bangku meja makan dan duduk menenangkan diri.

Tak lama, Agni kembali ke dapur dan telah mengganti bajunya. Ia duduk di hadapan Kamala dengan tampang serius.
“Apa kekacauan yang kamu maksud tadi?” tembaknya. Matanya berusaha mengunci mata Kamala.


Setelah berhasil keluar dari neraka di dalam studi Yudha yang sebenarnya dingin, buru- buru Kamala menelepon Agni, memberitahukan semua yang telah terjadi. Niatnya adalah untuk memprotes Agni karena tidak memberitahunya sedikit pun bekal untuk melakukan pekerjaannya, juga tidak memperingatkannya bahwa Andrew terkadang memberi pekerjaan dadakan. Namun, Agni justru muntab dan memintanya langsung datang ke rumah.


Kamala pun mulai bercerita bahwa awalnya Andrew atau Yudha tak memberikan banyak arahan, hanya memberi tahu mood apa yang diminta klien, membiarkannya begitu saja sehingga Kamala pun bergerak menurut apa yang ia pikir adalah gerakan model pada umumnya.


“Tentu saja itu yang mereka lakukan. Mereka terbiasa dengan diriku yang selalu tahu apa yang harus dilakukan. Astaga.” Agni diam sebentar, lalu menanyakan, “Apa yang kamu lakukan?”


Kamala mengedikkan bahu. “Berkacak pinggang, tersenyum? Apa lagi?”


Agni memejamkan mata seperti tak mau lagi melihat dunia. “Aku mati.” Ia memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut. “Lalu apa komentar yang lain? Andrew?”


Kamala katakan pada Agni bahwa Andrew dan yang lain semula mengira ia sedang bercanda saja. Tapi pada pose berikutnya, Andrew mulai terlihat gusar. Dan setengah jam berikutnya, ia mulai mengomel.


“Mengomel?” Agni tak yakin kata mengomel cukup untuk menggambarkan kegusaran Andrew.


“Bisa kubilang ngamuk, sih, sebenarnya,” ungkap Kamala.


“Aku benar-benar mati!” Suara Agni terdengar antara marah dan ingin menangis. “Dia ngomong gimana?”


“Ia memintaku melakukan gerakan yang aku nggak paham. Seperti misalnya, memanjangkan leher. Setelah aku melakukannya, ia malah jengkel dan bilang aku seperti orang patah leher.”


Agni mendengus dan meratap mendengarnya. “Selebihnya, aku yakin kamu nggak mau dengar.”

Sepanjang perjalanan, hingga detik ini, kata-kata Andrew bahkan masih berdengung, serupa ribuan lebah yang berniat membangun sarang dalam kepala Kamala.


“Kamu kenapa, sih, Ni? First timer bahkan masih lebih baik dari kamu!” Itulah bentakan Andrew berikutnya.


“Mata, Ni! Matamu kenapa? Kayak mati begitu! Astaga! Ini sudah satu jam lewat dan kita belum dapat satu pun! Kalau kayak gini terus, karirmu bakal mati beneran, Ni!” repet Andrew sebelum ia meninggalkan studio dan berkata pada Yudha, “Potret terus, Yud. Mau seharian atau sampai besok, aku nggak peduli.”


Semua kata-kata itu tak Kamala sampaikan pada Agni, sebab selain ia pasti sudah bisa menduganya, itu juga akan memperparah kemarahannya dan bisa dipastikan mereka akan bertengkar hebat yang berujung pada tak adanya solusi untuk masalah ini.


Setelah berusaha menenangkan diri sejenak, Agni akhirnya membuka mulut, “Kamu minta day off seminggu. Besok kamu ngomong sama Andrew.”


“Alasannya?”


“Astaga! Kapan terakhir kali kamu menggunakan otak? Kamu nggak bisa gitu berimprovisasi sedikit?” Ia melipat tangan di depan dada. “Bilang sama Andrew kamu butuh waktu memulihkan mental akibat trauma yang masih sering terjadi tiap mau tidur. Atau apapun alasan yang masuk akal. Lalu selama itu kamu harus belajar menjadi diriku.”
Kendati kesal, Kamala berusaha untuk tak menanggapi makian Agni barusan. Mug di tangannya ia angkat dan teguk lagi. Agni yang semula membuang muka, meliriknya sembari mendengus.


“Berhenti meracuni tubuhku! Ayolah! It’s not just about latte, Nyonya Bara!” bentaknya. “Kamu sebenarnya nggak paham atau memang bodoh saja?!”


Tangan Kamala masih memegang mug yang masih terisi sepertiganya itu, tapi ia berhenti meminumnya.


“Cuma info saja. Barangkali kamu lupa. Besok anakmu dikembalikan. Dan kalau kamu masih ingat soal apa hal terpenting dalam hidup masing-masing, lakukan peranmu sebaik mungkin and I’ll do mine,” tukas Agni, sarat dengan nada ancaman yang tak bisa Kamala abaikan.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Soul2Soul
Selanjutnya #SOUL2SOUL _ 12. Unbelievable
0
0
Daftar kegiatan yang harus dilakukan, telah Agni buatkan untuknya kemarin. Ia serahkan lembar kertas dengan tabel yang digambar asal, bertuliskan jadwal latihan serta olahraga apa saja yang wajib dilakukan Kamala. Ditambah selembar lagi berisikan menu-menu dan cara diet yang pantang ia langgar. “Selada, tomat, dan sebutir telur? Ini makanan?“ Kamala lanjut membaca, alisnya menyatu, “Smoothies selederi? Apalagi ini?” tanyanya terdengar tak percaya dan seperti akan melempar protes. Rasa kesal Agni pada Kamala sedikit terkikis rasa senang tatkala memperhatikan wajahnya sendiri yang sedang kebingungan. Baginya ia tetap tampak menarik walau kulit wajahnya berkilau karena minyak dan debu. Sedari awal datang, Kamala belum juga membersihkan make up di wajah. “Iya. Kamu kira tubuh langsing dan sehat milikku yang sedang kamu pakai itu didapat dari sepiring bakwan dan mendoan?” tandas Agni kemudian. Karena menolak mendengar bantahan dari Kamala. Lekas, ia menambahkan, “Dan sekarang, tolong bersihkan wajahmu. Make up yang terlalu lama dibiarkan bercampur dengan keringat dan debu akan menyebabkan jerawat. Kamu tahu? Perawatan itu nggak murah. Aku bahkan pernah menghabiskan upah tiga kali kerja hanya untuk perawatan.” “Unbelievable.” Kamala bangkit dan masuk ke kamar.“Ya. Semua ini sungguh nggak bisa dipercaya, kan? Tapi percayalah, kamu akan merasakan manfaat kegilaanku.” Agni melipat kedua tangan dan tersenyum puas.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan