Perempuan Pemuja Hujan

2
0
Terkunci
Deskripsi

Pernah dimuat di Kompas.id

Perempuan itu memandang langit yang mendung. Mengukir kecewa yang teramat sangat. Di ceruk gumpalan menghitam ia letakkan gusar yang bergumpal dukanya.  Mendung semakin menghitam menggelayut. Setelah itu hujan turun. 

        Pada deras hujan yang terguyur dari langit sebagian dukanya turut mencair. Mengalir membasahi bumi. Menyelusup diantara akar rumput. Ia melihat  batinnya yang luka,  semburat pedihnya berbaur dengan air...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
30
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Untukmu Anakku
1
0
Perempuan usia empat puluh tiga tahun itu sejak pagi tak henti bergerak. Setelah menyiapkan sarapan pagi Tirto anak tunggalnya, segera ia berkecipung   di dapur. Membuat gorengan untuk dititipkan ke beberapa warung. Hasil dari berjualan gorengan ditabung untuk menambah biaya masa depan anaknya. Setelah mengantarkan gorengannya, perempuan itu bergegas keluar rumah, tentu saja Tirto yang duduk di sekolah menengah atas kejuruan negeri kelas terakhir itu, sudah berangkat ke sekolah.     Berbekal uang seadanya untuk pelepas dahaga, pemuda tampan calon bujangan itu tak pernah mengeluh dengan keadaan mereka. Hidup tanpa ayah sejak usia balita, karena ayahnya telah tiada, ia cukup  mengerti akan siklus keungan ibunya yang bukan orang kantoran.          Tirto mau kerja selulus ini, Bu... pernah pemuda itu berkata pada ibunya.          Perempuan itu menatap anaknya lekat. Ingin membantah ucapan buah hatinya barusan.Ibu ingin Tirto jadi sarjana komputer... tapi mengingat keuangannya yang tak mungkin mencukupi kebutuhan kuliah anaknya, ia hanya menahan ucapan yang telah terekam dalam benaknya.Ibu akan berusaha untuk kamu memiliki bekal ilmu yang cukup, Nak, batinnya berseru dengan bola mata menggambarkan betapa keinginannya itu begitu kuat untuk mengantarkan permata hatinya menjadi orang berguna dan pintar.         Bu lulusan informatika kan sudah bisa kerja, ujar Tirto dengan tatap tanpa  kecewa dan terbebani karena keinginannya untuk kuliah harus ditahan dulu, Tirto mau nabung, Bu, kalau sudah terkumpul cukup tabungan mudah mudahan Tirto bisa kuliah di jurusan komputer...          Perempuan itu tersenyum menatap anaknya. Terharu akan cita cita Tirto. Bangga karena anaknya itu memiliki keinginan kuliah dan prihatin untuk menabung.        Maafkan Ibu anakku membuatmu hidupmu dalam keprihatinan, tapi Ibu akan beruaha sekuat kemampuan, Nak,  untuk mewujudkan keinginanmu. Keinginan kita...         Bibik ngelamun, ya...         Perempuan yang dipanggil bibik itu terkejut menatap perempuan cantik peranakan Cina India dengan pakaian rapih berdiri dindepannya.          Oh maat, Nyonya...maaf.... segera perempuan itu melanjutkan pekerjaannya melap meja marmer bekas sarapan pagi keluarga majikannya. Sikapnya agak tugup. Ada rasa cemas jika sikapnya melamun tadi akan membuat sang majikan tdak suka. Ah gawat bisa berakibat pemecatan. Bagi orang kaya memang tak segan gonta ganti pembantu. Tapi bagi dirinya akan berdampak buruk. Pemecatannya akan tersebar ke semua penghuni apartemen ini, sehingga akan sulit baginya untuk itu mencari lahan rejeki sebagai pembantu di lingkungan apartemen yang hanya berbatas jalan kecil, atau gang dengan tempat tinggalnya yang berada di wilayah Sunter Jakarta Utara ini.         Bik...         Ya, Nyonya.... ternyata nyonya majikannya yang tak berbicara padanya jika tidak perlu itu, masih mengawasinya. Aduh gawat...!           Anak Bibik  sudah kelas tiga sekolah lanjutan, ya...? Si nyonya bertanya dengan tatap sedikit perhatian.          Mbleb! Perempuan itu mengangguk dengan mulut sedikit menganga. Tiga tahun bekerja sebagai pembantu selama empat jam sehari, jangankan menanyakan tentang Tirto anaknya, nanya dirinya ajah tidak pernah. Misalnya, Bibik betah kerja sama saya, atau sudah sarapan?       Bik kenapa bengong...? Nyonya yang pelit bicara, khususnya pada para pembantunya itu bertanya lagi..         Oh ...ini...Nyonya...maaf, anak saya si Tirto kelas terakhir di sekolah kejuruan informatika... perempuan itu dari gugup seketika menjadi bersinar matanya dan bibirnya tersenyum. Tentang Tirto adalah masa depan yang membuatnya penuh semangat.Baginya tidak ada yang lebih membahagiakan selain Tirto anaknya dan masa depan yang selalu diangannya.          Membicarakan Tirto dan masa depannya adalah segalanya. Anaknya yang sudah tujuh belas tahun itu, tapi tak pernah berkelakuan yang membuatnya kesal, Tirto remaja tahu diri dengan keadaannya sangatlah ia membuatnya penuh puji syukur.           Rencananya lulus ini mau langsung kerja? Nyonya perempuan itu bertanya .         Perempuan itu tersenyum, ingin rasanya mengeluarkan luapan isi hatinya, bahwa ia bekerja keras beberapa tahun ini untuk membiayai kuliah Tirto. Ingin mengantarkan anaknya menjadi sarjana. Walau Tirto sendiri tak mau memberatkan dirinya, ingin bekerja dulu untuk biaya kuliah.         Katanya begitu, Nyonya... perempuan itu tahu posisinya yang hanya seorang pembantu. Tak mungkin nyonyanya yang menyekolahkan anak anaknya di sekolah International itu, percaya akan kemampuannya untuk menguliahkan anaknya.         Ya, kalau anak kamu kerja apa kamu mau berhenti bekerja?          Perempuan itu tergugu. Terdiam sesaat. Umurnya sudah lewat kepala empat. Tenaganya untuk melakukan pekerjaan rutin sebagai pembantu rumah tangga di dua tempat, mungkin  sudah tak kuat lagi.          Kalau Tirto sudah lukus sekolah dan bekerja Ibu nggak usah kerja lagi, teringat ucapan anaknya beberapa hari lalu sambil mengambilkan air minum untuknya, jelas sekali raut muka Tirto sangat cemas melihatnya terserang flu ringan waktu itu.          Ya...           Tirto menatapnya tersenyum.          Lalu Ibu ngapain saja di rumah, Nak...          Istirahat saja, kan selama ini Ibu sudah begitu capek kerja jadi pembantu, tatap mata Tirto mengisyaratkan kebenaran dari ucapannya.          Ya sudah Ibu tiap hari mau masak untuk kamu anak Ibu yang ganteng ini... lalu percakapan ditutup dengan tertawa bersama di sore yang basah itu karena gerimis rintik rintik di luar rumah.          Saya, sih, bagaimana anak saja Nyonya... jawaban yang merendah itu sudah menjadi kebiasaan perempuan yang menyimpan keinginan membuka gerbang masa depan anaknya itu.          Kalau memang kamu mau berhenti kerja jauh hari bilang jangan dadakan supaya aku bersiap cari penggantimu, ujar si nyonya menyadarkan perempuan itu, rupanya pertanyaan tentang anaknya bertujuan lanjut tidaknya ia mengabdi  pada nyonya kaya itu.           Ya, Nyonya, perempuan itu tidak marah karena sudah umum majikan cari pembantu baru kalau yang lama berhenti.         Kapan ya anak kamu lulusnya?         Tak perduli pertanyaan majikannya hanya untuk  kepentingan soal pembantu penggantinya, tapi perempuan itu menjawab dengan mata berbinar, karena juga menyangkut kelulusan anaknya sekolah.         Dua bulan lagi, Nyonya, kalau nyonya majikannya mengerti akan bahagianya perempuan pembantunya akan anaknya itu, ia akan paham dari binar pembantunya yang bahagia itu.           Tapi apalah arti sinar mata orang yang dibayar tenaganya, baginya hanya ingin ada pembantu yang mengurus rumahnya. Makanya dengan ringan dan mungkin juga asal nyeplos, dia berujar begini, yang membuat   perempuan pembantunya itu hanya terdiam.          Tapi anak kamu kan mungkin nggak langsung  kerja, kan, cari kerja itu susah, lho... ujar di nyonya.          Perempuan itu tak membantah. Ada benarnya juga nyonyanya. Lulus sekolah mungkin anaknya masih nganggur, Sekarang sarjana saja banyak yang nganggur, kecewa setelah itu si nyonya melenggang pergi.          Kecewa sebenarnya perempuan itu. Kenapa nyonyanya bukan mendoakan Tirto anaknya, malah mengecilkan arti lulusan kejuruan. Ah  tapi perempuan itu sadar. Siapa dirinya yang minta doa dari majikannya. Ia hanya kuli bayaran si nyonya. Jadi jangan berharap lebih daru majikannya, walau hanya sekedar ucapan manis di bibir belaka. Majikan bebas untuk bersikap.          Setelah istirahat seperempat jam di taman apartemen, dimana di sana juga ada beberapa pekerja rumah tangga menunggu jam kerja selanjutnya, perempuan yang akan melanjutkan pekerjaannya cuci gosok di tempat lain tapi masih di apartemen yang sama, segera menuju ke tempat kerjanya.         Meninggalkan apartemen sekitar jam tiga sore, setelah mengerahkan kekuatan tenaganya selama hampir tujuh jam, perempuan itu melangkah pulang. Seperti biasa, ia tak mau mampir ke lain tempat. Ia tak mau anaknya lebih dulu ada di rumahnya. Seperti biasa ia memang sudah menyiapkan makanan di meja makan sebelum Tirto pulang sekolah. Kecuali anaknya libur sekolah.         Perempuan itu meneteskan air mata saat belahan jiwanya datang dengan senyum bahagia.Ibu aku lulus Universitas negeri... ujarnya memberikan bukti kalau dirinya diterima di sebuah Universitas negeri.          Anakku.. dipeluknya   Tirto erat. Air matanya mengalir di kemeja putranya yang tadi pagi ia seterika dengan penuh cinta kasih.          Jangan menangis dong, masa anaknya dapat Universitas Negeri cengeng... ucapan Tirto membawa mereka tertawa bersama.         Kedatangan Ibu Supiah, Rahmini, Sulisna ke rumah mereka dengan tumpukan uang yang tidak sedikit membuat Tirto menangis di kaki ibunya.          Uang ini adalah penjualan gorengan selama tiga tahun yang tidak diambil, lapor Supiah pada Tirto.          Ya, ini uang gorengan tiga tahun, ujar Rahmini meletakkan tumpukan uang yang disimpannya selama tiga tahun.           Ya, sambung Sulisna, Ibumu tidak pernah  mengambil uang hasil penjualannya di warung, katanya mau diminta tiga tahun ...           Kalau kamu lulus sekolah, Tirto, sambung Supiah tersenyum           Untuk tabungan katanya, sambung Rahmini.           Sekarang tabungan uang hasil jual gorengan tiga tahun tiba waktunya diambil karena kamu membutuhkan, Tirto... perempuan itu memandang anaknya memberi isyarat supaya meneriima hasil dimana keringat dan panas selama di depan kompor membuat gorengan selama tiga tahun terkumpul.          Terima kasih Ibu ibu sudah menyimpan yang hasil jualan gorengan ibuku... Tirto menerima uang hasil jerih payah ibunya membuat gorengan selama tiga tahun lebih di tiga warung.           Kalau tiap hari uangnya Ibu ambil kan nanti uangnya takut tidak terkumpul, Nak...ujar perempuan   yang memang selama tiga tahun lebih itu tak pernah diambil uang penjualannya. Artinya setiap hari ia menyetor gorengan buatannya di tiga warung. Begitu terus menerus hingga uang penjualan itu terkumpul untuk membantu biaya kuliah anaknya.         Tirto sangat terharu akan semua yang dilakukan ibunya.   Bukan hanya uang penjualan gorengan, tapi ibunya  masih menyisikan sedikit dari sisa gaji bulanannya sebagai pembantu rumah tangga di dua tempat untuk ditabung.         Kalau  Ibu ambil uang gorengan setiap hari, takutnya entar Ibu pengin beli tas bermerk lagi... perempuan itu bercanda dalam situasi luruh hati Tirto.Ibu bahagia punya anak yang akan meniti masa depan...          Anak dan Ibu itu berpelukan.         Terima kasih Ibu .. bisik batin Tirto tak kuat menahan air matanya.         Terima kasih, Nak... batin petempuan itu menyambut kata hati anaknya yang akan mempersembahkan sebuah perjuangan lagi menuju tangga sarjana tehnik. Dimana kelak sebuah upaya akan terselesaikan dengan suka cita. Semoga Tuhan mengabulkan, bisiknya.         Perempuan itu pun menyambut gagasan anaknya untuk merayakan rencana masa depannya.          Bu kita merayakannya dengan makan sederhana bersama anak anak Yatim piatu... usul Tirto, Aku punya sedikit tabungan.. sambungnya.          Perempuan itu ingin rasanya berteriak pada dunia bahwa perasaannya sangat bahagia. Tapi yang dilakukannya adalah sujud syukur akan rencana masa depan putranya.          
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan