Istri Kontrak Suamiku (Karena Mandul Aku diusir Maduku Bab.1,2,3)

0
0
Deskripsi

Wulan relah suaminya menikah lagi. Namun Damar sangat berat untuk melakukannya dia tak sanggup menduakan Wulan istrinya walau mandul.

Bab. 1 Demi Anak Kupaksa Suamiku Menikah Lagi 

 

Prolog 

Siapa pun perempuan di dunia ini tak ingin bernasib seperti diriku. 

Mandul adalah sebutan perempuan yang tak bisa melahirkan anak seumur hidupnya. Tapi bukan mau aku dan bukan inginnya perempuan mandul di seluruh dunia akan keadaan kami ini.

Namun siapa yang bisa menolak takdirNya?

Karena jodoh maut dan rejeki adalah kuasa Tuhan dan rahasiaNya...

 

Bab. 1 

"Sudah berapa kali aku bilang padamu sayangku jika aku tak mau poligami.  Biar saja tak punya anak, biar saja kamu mandul aku tak perduli!" Rupanya kemarahan Damar sudah pada puncaknya.

Kutatap lelaki yang sejak di bangku sekolah lanjutan atas, hingga kami sama-sama lulus sebagai sarjana hukum. Raut mukanya tampak menunjukkan kegeramannya. Kulit mukanya  yang bersih itu kemerahan pertanda tensi darahnya mulai mengusik.

Aku tahu lelaki yang menikahiku lima belas tahun lalu itu tak mau dibantah. Dan aku pun tak mau menyerah, walau aku sendiri belum ikhlas membayangkan suami tercintaku ini memeluk dan satu tempat tidur dengan perempuan lain. Namun aku harus sadar diri dan tak boleh memutus keturunan yang seharusnya bisa dimiliki suamiku jika istrinya sempurna.

"Tapi kan kasihan ibu, beliau sudah tua pasti sangat ingin menimang cucu. Mulanya aku masih ingin bertahan untuk tidak berbagi suami. Tapi saat ini ibu sakit dan dia selalu mengigau cucu, ibumu ingin cucu walau beliau tak mengucapkan secara terus terang. Aku tak mau menjadi perantara ibu sakit, aku ingin beliau bisa menimang cucu dariku!" Aku juga tak kalah meraung.

Damar tampak menghela napas panjang tanpa memandang padaku yang masih ingin jawabannya. 

"Umurku sudah tiga puluh sembilan tahun, sudah sepuluh tahun kita berusaha untuk mendapatkan anak. Tetapi, dan aku sudah segala macam telah kulakukan dan terakhir dua kali aku gagal hamil dalam usaha bayi tabung seperti diupayakanmu untuk aku hamil. Tapi semua gagal, karena indung telur dan sel telur serta semua peralatan seorang perempuan untuk hamil tak berfungsi semuanya di rahimku ., jadi apalagi yang kita harapkan untuk membuahi rahimku, haruskah keturunan inti orang tuamu berakhir pada dirimu, betapa semua leluhurmu berharap supaya kamu bisa menjadi penerus dari mereka dengan memberikan keturunan?"

Emosiku mulai meninggi. Sedih dan panik menjadi satu. Terus terang aku tak mau menjadi penghambat keturunan suamiku terhenti. Aku ingin suamiku berbakti pada orang tua dan menjunjung tinggi kelestarian keturunan leluhurnya, supaya tidak berhenti hanya sampai di suamiku. 

"Aku mencintaimu sampai ke tulang sumsumku. Kasihku padamu tanpa batas, jadi bagaimana mungkin aku membiarkan ibuku merana di hari tuanya, membiarkan ibumu menanggung beban pikiran karena tak bisa mempersembahkan cucu penerus keturunan leluhurnya. Coba bayangkan itu  Damar, aku dan kita tak bisa membiarkan keturunanmu terhenti di dunia ini. Harus terus ada untuk mengenang bahwa dirimu pernah ada di dunia ini ..." aku histeris dan mulai menangis, entah dengan bahasa bagaimana lagi aku harus menyadarkan Damar betapa pentingnya  darah keturunannya untuk melanjutkan darah leluhurnya yang pernah ada di dunia ini?

Damar masih terdiam. Bagai patung membeku tak perduli pada tangisanku yang menyesakkan dadaku.

Tiba-tiba dia berdiri lalu menghampiriku. Dia berjongkok di depanku yang duduk di sofa masih menangis seperti anak kecil.

Dia menatapku lekat dan aku membalas tatapannya lewat derai air mataku.

Kami bertatapan cukup lama dalam deras air mataku yang terus mengucur. Dadaku terasa sesak karena  tangisku sangat mengguncang dadaku sejak tadi.

"Sayang ..." tiba tiba Damar meraih bahuku dan menarik ke dalam pukulannya. Aku yang terkejut langsung dibawanya  terguling di karpet bulu tebal di bawah sofa.

Untuk sejenak kami saling tatap dengan posisi  aku berada di atas tubuhnya. Air mataku masih berderai. Jatuh di raut muka Damar. Tangan Damar terulur menghapus air mataku. Lalu dia mendekap wajahku ke dadanya. 

"Sekarang katakan untuk membuatmu bahagia.." lirih suaranya serak dan agak bergetar.

"Menikalah dengan gadis yang bisa memberimu keturunan," aku menekan rasa sedih, bagaimana pun sebenarnya tak sanggup membayangkan lelaki tercintaku ini bercinta dengan perempuan lain. Tapi, untuk menciptakan keturunan dari suamiku adalah salah satu bukti bakti dan kasih sayangku padanya.

"Sayang .."

"Lakukan demi  kelanjutan keturunanmu, itu adalah bakti dan cintaku padamu"

Damar membalikkan tubuhku berbaring di karpet dan tanpa memberi kesempatan dia mendaratkan ciuman membabi buta padaku, seperti melampiaskan rasa sesak di dadanya, sehingga aku tersengal kehabisan napas barulah dia melepaskanku.

Ponselku berdering. 

"Dari Ibu," aku memberitahu Damar, lalu aku segera duduk, "Halo assalamu'alaikum, Bu "

"Ini Suster rumah sakit saya bicara dengan ..." suster menyebutku, "dengan Menantuku

"Suster?!" Aku terkejut.

"Ya saya Suster Hani ..."

Ya benar, ini aku ada apa dengan Ibu mertuaku?" Aku mulai  cemas  dan suamiku yang mulanya tiduran langsung beringsut duduk menatapku tegang.  

Bersambung

"


Bab. 2 Ibu Mertua Mimpi Punya Cucu 

 

Damar langsung mengambil alih ponsel di tanganku dengan tak sabar.

"Halo bagaimana dengan ibu saya dan ibu saya dimana sekarang," suara Damar suamiku tampak sangat cemas khawatir terjadi sesuatu pada ibunya. Begitu juga aku sangat mencemaskan keadaannya, karena ponselnya berada di tangan Suster rumah sakit.

"Alhamdulillah saya bisa bicara dengan keluarga ibu Suti," ujar suster, barangkali dia tahu nama ibu mertuaku lewat kartu tanda pengenal yang selalu berada di dompet ibu mertuaku,"Ibu Suti ditemukan orang dalam keadaan pingsan lalu dibawa ke rumah sakit," suster memberi alamat rumah sakit dimana ibu mertuaku kini berada.

"Baiklah Suster kami langsung ke rumah sakit sekarang juga" ujar suamiku.

Tanpa menunggu percakapan antara suamiku dan suster berakhir, aku bergegas bersiap untuk melihat keadaan ibu  mertuaku.

Kami langsung dibawa ke IGD untuk bertemu ibu suamiku, karena beliau memang tengah istirahat di sana.

Ibu terbaring lemah sementara botol infus tergantung di sebelahnya.

"Ibu ..." aku langsung mencium tangan perempuan yang telah berusia enam puluh lima tahun yang tampak seperti kelelahan itu.

"Ulan ..." ibu mertuaku memang memiliki panggilan kesayangan Ulan padaku.

Rupanya ibu mertuaku mengalami dehidrasi makanya jatuh pingsan saat keluar dari supermarket untuk membeli oleh-oleh dibawa ke rumah.

"Ibu Suti tampaknya beberapa hari ini kurang asupan hingga mengalami kurang cairan tubuhnya," ujar suster lalu menyerahkan map hasil diagnosa keadaan ibu mertuaku.

"Terima kasih, Suster," lalu aku segera menyuapi bubur pada ibu mertuaku sebelum beliau menelan tablet yang mengandung vitamin dan menambah vitalitas tubuh.

"Maafkan Ibu membuat kalian cemas," 

"Ibu kalau mau keluar rumah minta ditemani sama mbak Atun," yang disebut mbak Atun oleh suamiku adalah asisten rumah tangga yang kami percayakan menemani ibu mertuaku. Mertuaku ini sejak sepuluh tahun lalu sudah ditinggal ke alam baqa oleh ayah mertuaku.

Sebenarnya ada pak Asmat sopir keluarga mertuaku yang masih pamannya mbak Atun, tapi pak Asmat yang biasanya mengantarkan ibu mertuaku bepergian, tiga hari lalu ijin pulang karena cucunya dikhitan.

"Lagipula kenapa Ibu sampai dehidrasi?" Damar menatap  ibunya penuh tanda tanya.

"Beberapa hari ini memang kurang selera makan apa pun, dan sulit tidur, Damar, "

"Kenapa bisa begitu, Bu, kalau ada yang Ibu rasa pada diri Ibu tinggal bilang padaku, kita check up  sekalian,"

Aku menyenggol punggung lengan suamiku supaya jangan melontarkan pertanyaan  yang   membuat ibu mertuaku ini serba  salah..     

"Ibu ini vitaminnya," aku mengangsurkan tablet vitamin pada ibu mertuaku.

Ibu mertuaku langsung     memasukkan tablet vitamin ke mulutnya, lalu meneguk air dari gelas yang aku sodorkan.

"Aku mau bertemu dokter dulu " pamit Damar.

"Ibu nggak sempat beli buah apa pun untuk kubawa ke rumahmu, Lan," masih saja mertuaku ini memikirkan oleh-oleh untuk aku dan Damar.

" Ya sudah tak apa, Bu," aku tersenyum pada perempuan yang belum mendapat cucu dari pernikahan anaknya denganku.

Damar kembali setelah berbincang dengan dokter, "Dokter bilang untuk tiga hari ini Ibu harus istirahat total tak boleh melakukan kegiatan apa pun, tak boleh berpikir yang melampaui batas kekuatan jaringan otak ,karena bisa membuat sel jaringan otak menjadi sangat lelah dan memicu kondisi tubuh Ibu menjadi cepat lelah seperti saat ini sampai tak sadar," dia mengingatkan ibunya.

"Lalu apa Ibu sudah boleh pulang sekarang?" Aku menatap Damar.

"Sekitar satu jam lagi diminta istirahat dulu di sini,"

"Oh yaudah biar kita temani," aku menatap ibu mertuaku, "Nggak apa kan , Bu satu jam tiduran di sini," 

"Ya nggak apa-apa," 

"Ya bagaimana kalau Ibu istirahat saja di rumah?" Aku menawari.

Ibu mertuaku tersenyum padaku lalu mengangguk."Aku ngantuk,"

"Ya sudah Ibu tidur saja dulu biar lebih segar nanti," 

Kulihat ibu mertuaku mengangguk, dan segera dia tertidur, mungkin tablet yang diberikan dokter mengandung obat tidur.

POV SUTI 

Perempuan yang sudah tak muda itu berada dalam mimpi indahnya. Di taman bermain yang bersih bersama dua bocah kembar lelaki dan perempuan usia tiga tahunan. Lucu dan cantik serta tampan.

"Ah kedua cucuku ini adalah permata berharga untukku. Terima kasih cucuku sudah hadir sebagai penerus keturunan keluarga yang kukira terhenti hanya di papamu ..." lalu Suti menarik kedua cucu kembarnya itu ke dalam pelukannya.

Sangat bahagia dan nyaman tampaknya kedua bocah itu dalam dekapan mbah putrinya yang begitu menyayanginya. Begitu pun dengan Suti raut mukanya sangat sumringah.

Dua cucu yang lucu menggemaskan telah mengantar Suti pada rasa yang tak terhingga bahagianya, sehingga senyum itu terbawa pada keadaannya yang masih terbaring di tempat tidur ruang IGD, dimana anak dan menantunya tengah duduk menungguinya.

Saat Suti terbangun 

"Ibu mau minum?" Aku langsung mengambil botol air yang disediakan suster lalu menuangnya di gelas.

Ibu menghabiskan satu gelas air. Lalu menatap padaku.

"Padahal cuma mimpi tapi kok hausnya beneran, ya ..." 

"Ibu mimpi apa?" Aku jadi penasaran melihat raut muka yang berseri-seri itu.

" Aku bermimpi  bermain dengan cucu kembar lelaki dan perempuan di taman ..." ujar ibu mertuaku dengan mata berkaca-kaca serta bibir tersenyum.

Spontan aku dan Damar saling tatap. Aku menunduk merasa bersalah tak bisa memberikan cucu dalam waktu lima belas tahun pernikahanku dengan suamiku.

Mungkinkah ibu sulit tidur dan kurang nafsu makan karena selalu memikirkan ingin menimang cucu?

 

Bersambung

                                                                             


Bab. 3 Masih Tentang Cucu 

 

Ibu mertuaku mengelus perutku, "Siapa tahu Ibu akan punya cucu beneran ..."

Aku jadi sangat berdosa pada ibu mertuaku, karena aku tak berterus terang, bahwa sesungguhnya dokter sudah memvonis kalau rahimku kering dan indung telurku juga sulit untik dibuahi, yang menyebabkan aku jadi perempuan mandul.

"Maafkan aku, Bu," rasanya aku ingin langsung memberitahukan keadaanku, supaya beliau tidak berharap muluk-muluk demikian.

Aku merasakan sentuhan tangan Damar pada tanganku, lalu dia menggenggam erat jemariku. Aku tahu suamiku ini ingin memberi perlindungan secara mengirim kenyamanan pada hatiku. Memang genggaman  tangannya membuatku merasa nyaman dan aman, sehingga aku tak terlalu merasa terjun bebas pada kedalaman curam jika sudah membahas soal anak.

"Bagaimana sekarang Ibu sudah agak nyaman dan segar?" Damar ingin mengalihkan topik pembicaraan sebenarnya. Tapi jawaban ibunya justru merasa lebih memberatkan bagiku dan membuat Damar serba salah kurasa.

"Ya mimpi bermain dengan anak-anak cantik dan tampan serta lucu itu membuat Ibu jadi bersemangat " sinar mata ibu mertuaku berbinar indah.

Tahu dan mengertilah aku jika kondisi ibu mertuaku yang turun drastis itu kemungkinan besar dipengaruhi oleh angan ingin punya cucu. Namun terpendam tak berani berterus terang pada kami.

Ini membuatku merasa menjadi penyebab menurunnya kesehatan ibu mertuaku. Lalu apa yang harus aku lakukan?

"Ibu semoga keinginan Ibu terwujud," untuk menyenangkan hatinya aku langsung berbicara begitu, padahal kalau akunya mandul mau terwujud darimana? 

Tentu saja Damar terkejut dengan ucapanku yang ingin membangkitkan semangat ibunya. Karena suamiku ini tahu persis riwayat keadaan rahimku.

Tapi tidak dengan ibunya. Perempuan senja itu tersenyum lebar mengira aku memang akan memberinya cucu.

"Alhamdulillah ..." lagi tangan ibu mertuaku ini mengelus permukaan perutku yang masih rata.

Kami meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah membawa ibu mertuaku  untuk istirahat di rumah kami saja.

Saat aku dan Damar di kamar, aku membahas tentang keinginan ibu mertuaku yang terpendam tentang cucu.

"Damar Ibu itu karena ingin cucu makanya sampai mempengaruhi kesehatannya."

"Jangan dibesar-besarkan, sayang, sudah kamu juga jangan ketularan, hal-hal yang sekiranya bisa membuat merugi pada diri kita tak perlu dibahas lagi. Ibu hanya butuh istirahat, makan yang cukup memenuhi kebutuhannya, vitamin dan perhatian kita," ujar Damar dengan simple. 

"Tapi Ibu memang sangat ingin cucu, aku khawatir hal itu mempengaruhi kondisinya secara psikis, Damar,"

Danar menatapku lekat. Dari gestur tubuhnya jelas kulihat dia tak sepakat dengan ucapanku.

"Aku tak ingin menjadi perantara ketidakbahagiaan ibu," ucapku lirih dengan hati sedih.

"Lalu?" Damar lurus menatap ke manik mataku. 

"Ibu itu memendam keinginannya untuk menimang cucu, Damar " aku berusaha untuk menyadarkan  Damar.

"Aku ngantuk sudah malam besok hari senen kita harus ke kantor,"

Aku diam tak lagi berani membahas tentang cucu yang diinginksn ibunya. Lalu ikut berebahkan tubuhku di sampingnya.

Damar langsung berbalik memelukku. "Tidurlah sudah malam, kamu juga harus menjaga dirimu, perasaanmu," ujarnya lalu mengecup dahiku, "Selamat tidur sayang ..." dan beberapa menit kemudian dengkur halusnya sudah terdengar ditelingaku.

Aku sendiri belum bisa tidur. Cerita ibu tentang mimpinya bermain dengan cucu itu sinyal kuat dari keinginannya ingin memiliki cucu.

"Kamu nggak menyesal Wulan kalau nanti suamimu menikah lagi sesuai dengan inginmu untuk punya anak, lalu dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan istri mudanya karena ada ikatan anak. Darah mereka bersatu di anak itu nanti." Teringat kecemasan mbak Riri saat diutarakan keputusanku untuk memberi peluang Damar berpoligami.

Mbak Riri seniorku di kantor, kami sudah saling mengenal enam  belas tahun. Bahkan dia yang banyak membimbingku saat awal aku bergabung di kantor yang bergerak dalam penanganan badan hukum sekian banyak perusahaan.

Aku mulanya terpengaruh kecemasannya itu, tapi aku percaya Damar lelaki yang kukenal bukan saja perangai dan hatinya, tapi, juga jiwanya. Tak mungkin suamiku akan bertindak tak adil.

"Ya mulanya begitu memang, tapi seiring waktu bagaimana jika dia lebih condong pada istri mudanya yang pastinya lebih muda darimu, kita tak tahu ke depannya, maka pikirkan baik-baik soal ijinmu untuk poligami itu," mbak Riri lebih mengingatkanku lagi.

"Tapi, Mbak aku dirongrong rasa bersalah dengan kemandulanku ini," aku berterus terang  tak bisa menanggung rasa bersalah, bahkan rasa berdosa jika menghambat suami memiliki keturunan.

"Aduh kamu ini, Wulan, itu sudah takdir. Memang mau kamu jadi perempuan mandul?" Mbak Riri geleng-geleng kepala.

"Mbak dari sudut pandang agama juga sudah pantas suamiku mengambil istri yang bisa memberinya anak, jika istrinya tak mampu melahirkan anak untuk penerus keturunannya, Mbak," 

Mbak Riri menatapku tergugu.

"Nah itu yang membuatku tak tenang, Mbak, aku selalu dihantui rasa bersalah jika aku harus memutus tali keturunan suamiku,"

Mbak Riri terdiam. Dia tampak setuju dengan ungkapanku tentang suami berpoligami sesuai dengan sudut pandang agama yang kami yakini.

"Kamu sudah siap?" Matanya lurus menatap mataku, dan raut wajahnya tak sejutek pertama tadi yang mengingatkanku tentang kemungkinan berpalingnya suamiku, dan lebih menomersatukan istri muda, atau maduku.

Kami saling bertatap beberapa detik.

Jujur sebenarnya aku tak bisa membayangkan suamiku berpelukan dengan perempuan lain di kamar lain. Aku bukan berhati malaikat. Tapi aku lebih pada segi sudut pandang agama, dan juga karena aku mencintai Damar dengan tulus, hingga aku tak mau lelaki yang kucinta itu menjadi pemutus mata rantai garis keturunan yang harusnya dijaga.

Mbak Riri berdiri lalu meraih bahuku dan kami berpelukan.

"Aku mengerti betapa hatimu dalam dilema, apa pun keputusanmu semoga kamu tetap bahagia " bisiknya.

Bersambung 


Bagaimana maukah Damar menikah lagi?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Istri Kontrak Suamiku (AKU Diusir Maduku Karena Mandul Bab. 4,5,6,7))
0
0
Suamiku terlalu mencintaiku makanya tak mau berbagi peluh dengan perempuan lain. Aku tetap dengan inginku supaya baktiku suami punya anak. Aku lebay?Aku mulai mencari istri kontrak untuk suamiku
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan