
Indar dan Prastia bercerai karena Indar tak mau dipoligami. Mereka bertemu sebagai rekanan kerja dan diam diam Indar melahirkan anak Prastia.
Keinginsn rujuk, cinta yang baru serta disebut perebut cinta mantan suami, bahkan perebut cinta mantan suami orang lain telah menyapa Indar yang kuat dan tegar sebagai single mom.
Bab. 1 Talak Sudah Jatuh
Cinta tak terbatas yang dibisikkannya padaku ternyata harus berubah saat rahimku tak bisa memberinya keturunan.
Takdir sudah tertulis. Kekasih tercinta, pujaan hatiku pergi mengasihi wanita yang subur rahimnya.
"Aku tak bisa pisah darimu apa pun yang terjadi, kecuali maut memisahkan ..." itu katanya sepuluh tahun lalu saat memintaku untuk jadi isterinya.
Hatiku terbang ke langit tinggi menggenggam ucapannya.
Sepuluh tahun kemudian, "Maafkan aku harus menikahi gadis pilihan orang tuaku, mereka ingin keturunan ..." matanya menghindar saat kutatap lekat. Ingin kucari kemantapannya untuk poligami.
"Aku mundur karena ketidakmampuanku memberimu anak." Poligami dianjurkan apalagi aku tak mampu memberinya anak, tapi pilih pisah.
Ya drama manis rumah tanggaku bubar. Ia lupa pada kata katanya.
"Walau seumur hidupku tak punya anak tak apa asal tetap denganmu ..." lima tahun lalu saat dokter memfonis rahimku kering dan letaknya bermasalah hingga sulit dibuahi ..."
Tapi sanggupkah aku menghibah saat dinanti datang?
Bab. 1 Perceraian
Prastia memasukkan barang barangnya secara tergesah ke mobilnya. Tadi talak satu sudah jatuh. Artinya kami sudah tak terikat lagi sebagai suami isteri setelah genap sepuluh tahun menikah.
Sudah disebutkan dalam pengesahan perceraian kami bahwa rumah yang dihasilkan secara diberikan padaku. Kenapa aku sebut rumah bersama, karena dipembiayaan rumah berukuran dua ratus meter yang memiliki kamar empat, yang berdiri di atas lahan seluas tiga ratus meter dan terletak di dalam kota Jakarta itu, memang ada uang hasil kerjaku, ya walau jika diperhitungkan berbanding dua pertiga uang Prastia, sepertiganya uangku.
Begitu juga dengan perabot rumah tangga,.sana perbandingannya dengan biaya rumah. Artinya rumah dan seisinya ini dua pertiga milik Prastia. Kecuali mobil. Kami membeli dengan uang masing masing. Prastia yang lebih dulu punya mobil, bahkan sebelum menikah denganku, dan selama aku belum punya mobil, Prastia dengan sabar mengantar jemput aku ke kantor, hingga tiga tahun kemudian aku mampu beli mobil sendiri walau lebih murah dikit dari mobil milik Prastia.
"Masalah harta goni gini sebaiknya Saudara berunding dengan mantan isteri, " ujar hakim yang memimpin sidang perceraian kami.
"Saya ikhlas memberikan rumah dan seisinya kepada mantan isteri saya, " ujar Prastia lantang, "Selain kami pernah bersama selama sepuluh tahun, ada sepertiga hasil kerja Saudari Indar di rumah itu, " lanjutnya.
"Aku akan berlaku adil, kamu tetap isteri pertamaku, In, kenapa kita harus bercerai, ayolah In, kita sudah terbiasa bersama, tak ingatkah akan kenangan manis kita?' Prastia beberapa hari berusaha untuk merayuku, membujukku.
Tapi entah mengapa, sejak dia menyerah pada maunya ibunya untuk menikahi gadis yang masih familinya itu, hatinya langsung berbalik. Rasa sayang dan cinta berbaur dengan sedih dan sakit.
"Indar, Ibu minta maaf karena Pras anak satu satunya pada siapa lagi kami bisa mengharapkan keturunan Deksaningrat ini berlangsung?" Ibu mertuaku pun berusaha membujukku, "Percayalah kami tetap sayang padamu, kami tetap menempatkanmu di posisi pertama di segi menantu ..."
"Maafkan saya Ma, saya nggak bisa begitu, maaf saya menantu tak tahu diri, sudah mandul tapi egois, itu hak saya Ma untuk tidak berbagi, "
Mertuaku gagal untuk membujukku, beliau pulang dan mungkin tak tega juga padaku, karena saat ia pamit pulang sempat mengelus rambutku.
Itu terjadi tiga bulan lalu. Aku bukannya egois, tapi aku tak bisa berbagi suami. Dan aku pun bukannya langsung pasrah begitu saja, sejak saat itu aku mulai mencari dukun kandungan, dan diam diam mulai berkonsultasi dengan sang dukun kandungan. Bahkan aku pun memberikan perutmu untuk disentuh, bahkan aku pasrah saat tangan pengalamannya yang menangani pengurutan pada orang hamil. Biasanya di kampung jika hamil muda sering pula perutnya sekedar dilihat lewat rabaan tangan sang dukun bayi yang sudah mendapat sertifikasi dari bidan puskesnas itu.
"Tiga kali perutku dielus dan sedikit memutar tangannya di atas perutku, seakan ingin memutar perutku. Mulanya aku cemas dan meringis.
"Jangan takut, Emak hanya mencoba untuk sedikit berusaha rahim Eneng akan turun, InsyaAllah akan cepat punya anak, umur Eneng masih tiga puluh empat, sehat dan kuat masih bisa melahirkan, ya, semua memang kuasa Tuhan, Neng, tapi kita kan kudu usaha," ujarnya menenangkanku.
"Mbok Dira sudah dua puluh tahun jadi dukun beranak, Nyonya, bahkan dia pernah membuat Saminah tetangga saya yang dua belas tahun tidak hamil jadi hamil " promosi bik Nah asisten rumah tanggaku yang katanya tiga kali melahirkan anaknya ditolong mbok Dira yang sudah berumur lima puluh lima tahun itu. Maklum bik Nah tinggal di pedalaman.
"Itu kan karena Allah yang ngasih anak, Bik, " sahutku awal mulanya saat bik Nah mempromosikan mbok Dira yang tangannya dingin, dan bisa membuka rahim yang katanya kincup, atau rahim kering dengan memberi jamu penyubur kandungan buatannya, hingga pasiennya banyak yang hamil.
"Ya mbok Dira juga bilangnya gitu, mereka hamil bukan karena pijatannya, bukan juga karena jamunya, tapi kuasa Gusti Allah, Nyonya, tapi, kan, kita kudu usaha ..."
Ya berdoa dan berusaha. Aku selalu berdoa pada Tuhanku. Berusaha, aku memang hanya ke dokter beberapa tahun terakhir ini. Hingga dua tahun terakhir aku berhenti ke dokter kandungan. Aku pasrah.
Tapi saat ibu mertuaku dua kali bolak balik membujukku untuk mau dipoligami, akhirnya terpikir juga untuk dikenalkan pada mbok Dira.
"Siapa tahu jodoh, Nyonya, " bik Nah menguatkan hatiku.
Ya aku tak mau suamiku poligami demi punya anak, walau Prastia belum mengatakannya padaku, setidaknya mamanya sudah mulai membujuknya, buktinya wanita itu sudah dua kalu membujukku.
"Pras tak mau menduakamu, Indar, itu jawabannya, mungkin jika kamu setuju dia akan mau menikah lagi, " memang mertuaku memiliki tujuan dan keinginan cucu dari suamiku, itu artinya dengan wanita lain.
Dan aku memiliki tujuan pula. Yaitu mempertahankan rumah tanggaku, tak relah dimadu.
Tentu hal ini membuat tak nyaman Prastia. Kuperhatikan sejak mamanya membujukku dia banyak melamun. Atau tidur kerap menggenggam tanganku.
Aku tahu dia seperti makan buah si malakama. Tak dimakan mati Bapak. Sebaliknya dimakan mati Ibu.
Menikah lagi itu artinya melepaskanku. Atau tak bisa memberikan cucu keturunannya pada orang tuanya.
Karena kami saling diam tentang keinginan ibu mertuaku yang artinya, suamiku tak memberitahu maunya ibunya, dan aku juga memilih memendam saja bujukan yang sangat menoreh ulu hatiku itu. Hingga tiga bulan lalu aku ikut bik Nah ke kampungnya dan bertemu mbok Dira.
"Waduh orang kota, toh?" Sambut mbok Dira menatapku, kelihatannya dia agak segan, "Mbok iki hanya wong kampung, Neng, bukan dokter, cuma keturunan dukun beranak he ...he ...he ..." serunya tersipu, "Yo dicoba saja, tapi maaf, yo, Mbok bukan medis, Mbok hanya lewat rabahan dan perasaan saja, dan sedikit jamu penyubur kandungan saja. Ia berdoa minta karo Gusti Allah moga diparingi keturunan ..."
Satu bulan dua kali diurut perutku, dua kali minum jamu penyubur rahim ramuannya.
"Eneng iki peranakannya tinggi dadi yo sulit hamil, kita doa, ya, semoga Gusti Allah meridhoi usaha ini, " ujar mbok Dira sambil memoles minyak ke perutku. Terdiam sebentar entah berdoa entah fokus pada rasa telapak tangannya yang menempel di atas pusarku, dengan posisi sedikit ditekan.
Bulan pertama menstruasiku turun lancar, begitu pun pada bulan kedua. Aku tak menyerah kini tanpa didampingi bik Nah pada bulan ketiga sebanyak dua kali aku datang sendiri.
Belum kudapat hasil yang kuimpikan supaya kandunganku subur, penbicaraan Prastia soal anak yang diinginkan orang tuanya, membuatku merasa sia sia berusaha.
Bab2. Sembilan Bulan Bercerai Melahirkan
Dunia rasanya runtuh saat suamiku tercinta mulai bicara tentang anak.
Dua kali ibu mertuaku gagal membujukku untuk memberi ijin Prastia poligami, kini Pras sendiri yang terus terang, walau suaranya kutangkap berat.
"Mama benar juga sayang, kita ini bakalan tua, butuh sandaran, dan yang paling tepat sandaran itu anak, "
Tanpa suara kutatap Prastia yang tampaknya dengan susah payah berusaha membuat tenang.
"Indar.."
Aku masih diam dan menatapnya tajam.
"Waktu itu aku tak terlalu memusingkan soal anak. Aku sangat mencintaimu, yang penting bisa hidup denganmu itu sudah cukup, tapi ternyata dengan bertambahnya waktu, bertambahnya umurku, aku menyadari keturunan itu penting untuk menandakan bahwa kita pernah ada di dunia dan memberikan generasi penerus pada nenek moyang kita, "
"Bagaimana dengan wanita mandul seperti diriku apakah dianggap tak pernah ada di dunia ini?!"
Prastia terkesiap.
"Lalu aku apa kejadian yang sempat menemani hidupmu selama sepuluh tahun?!".Ah aku sudah tak bisa menahan emosi, Astagfirullahal Adzim . Kutarik napas dalam dalam, lalu perlahan kuhembuskan, untuk mengurangi tekanan emosi yang telah mendominasi usahaku untuk tenang menghadapi problemku ini dengan lelaki yang mengawasiku lekat.
Sayangnya aku tak lagi bisa menafsirkan apa arti tatapannya. Sejak ia minta poligami seakan menghillang ikatan naluriku untuk bisa membaca air mukanya, tatap matanya.
"Maaf Indar bukan begitu maksudku ..." Prastia kesulitan memberi pengertian. Aku berlalu meninggalkannya.
Seminggu sejak ucapannya soal anak, sejak itu pula aku bicara seperlunya. Hingga Prastia dan aku berbicara serius, dan itu aku yang mulai.
"Pras mohon maaf tak bisa memberimu ijin poligami, tapi aku mempersilahkan kamu menikah lagi..."
"Maksudmu...?!" Prastia tergagap menatapku.
"Kita akan berpisah .." walau telah kuusahakan tegar, tapi rasanya suaraku tenggelam dalam pedih dan amarahku.
"Kauu ..." Prastia menggantung kalimat yang belum terucap dari mulutnya. Tampak dia terkejut dan gugup.
"Takdirku bersamamu sampai di sini," berusaha aku bicara setenang mungkin. Menekan sakit yang mengoyak dada.
"Aku tak mau bercerai darimu, Indar.."
"Tapi aku tak dipoligami " suaraku hampir tak terdengar.
"Tapi aku sangat mencintaimu, Indar manamungkin kita berpisah.!" Protes Prastia mencoba meraih tanganku.
Aku berdiri, dengan begitu ia tak bisa meraih jemariku.
"Sejak engkau minta ijin poligami, sejak itu pula cintaku mengambang padamu, " kataku dan berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri untuk tidak lagi mencintainya. Tapi hasilnya apa?
Rasa sakit di ulu hati. Yang kita cinta minta ijin untuk menikahi wanita lain. Arti menikah adalah bercengkeramah dan berkasih kasihan dengan wanita lain. Seperti yang dilakukannya padaku. Mereka akan tenggelam dalam rutinitas kemesraan. Awalnya Prastia melakukannya karena tunrutan anak. Tapi lama kelamaan karena sering bersama, perlahan akan muncul rasa kasih dan tak bisa kulanjutkan terawanganku ini. Menyakitkan bukan?
Kecuali aku berhati malaikat, menerima wanita lain di samping suamiku. Aku hanya wanita biasa yang rapuh dan tak memiliki jiwa besar untuk dimadu, walau akar permasalahannya adalah kekuranganku tak bisa punya anak.
"Waktu mama dua kali membujukku untuk dimadu, aku masih mengandalkanmu, Pras. Kamu diam, aku tunggu ketegasanmu. Hari ini sudah engkau tegaskan bahwa engkau ingin anak, bukan hanya karena desakan orang tua, tapi karena dirimu ingin diakui keberadaanmu di dunia ini, dengan memberi penerus pada generasi nenek moyangmu. Good itu bagus dan mulia ..." aku lari ke kamar.
"Indar ..." Pras mengejarku. Tapi aku tak mau membuka pintu sebelum Prastia berangkat kerja. Semalaman aku menangis dan tak memberi kesempatan Prastia untuk masuk ke kamar kami.
"Aku berangkat kerja. Kuambil baju di tempat setrikaan, maafkan aku ..." Prastia mengirim WA padaku.
Sudah bulat tekatku untuk berpisah dari Prastia. Aku tak mau jadi penghalang bakti anak pada orang tuanya, menginginkan Pras untuk diakui keberadaannya kelak di dunia, jika dia telah tiada dengan memberikan keturunan pada nenek moyangnya.
Bagaimana dengan cintaku?
Sudah kutegaskan aku bukan malaikat yang memiliki hati ikhlas. Aku manusia biasa yang merasa tersakiti oleh inginnya Prastia.
Aku egois.
Aku tak punya hati.
Aku tak mau mengalah untuk anak yang mereka butuhkan, sekali pun.
Aku memang egois. Dan aku sudah tak punya hati karena hatiku sudah membatu. Karena itulah aku langsung menghubungi pengacara untuk menggugat cerai suamiku.
Tentu saja Prastia terkejut saat mendapat surat gugatanku.
"Kau ... apa ini.!" Prastia membanting surat gugatanku.
"Dulu kita pernah berikrar, orang ketiga masuk maka kita bubar .."
"Tapi aku tak mencintai Ismi, aku hanya cinta kamu Indar ..." persis drama sinetron ia berusaha meyakinkanku.
"Tapi Ismimu itu orang ketiga dalam rumah tangga kita!" Aku mulai emosi.
"Are you sure, Indar?"
Aku mengangguk.
"Kau yang meminta, " ujarnya.
"Kamu yang menantang, " aku langsung meninggalkannya.
Akhirnya perceraian dan perpisahan terjadi juga. Ini mauku berpisah daripada dipoligami, walau sesungguhnya aku tak bisa begitu saja menghapus kenangan manis dengan Pras . Jelang sepuluh tahun dalam pernikahan. Sepuluh kali sebulan menjalankan puasa ramadhan bersama, dan sepuluh kali mencium tangannnya sepulang dari sholat Idul Fitri di hari raya. Walau selain hari raya aku pun melakukannya saat akan turun dari mobilnya di depan kantorku. Namun cium tangan di hari raya adalah sangat berkesan.
"Indar aku sudah siap ..."
Suara Prastia mengejutkanku dari lamunan. Kutatap lelaki yang sepuluh tahun berbagi kasih, berbagi tempat tidur denganku.
"Aku pergi jaga dirimu, jika perlu sesuatu nggak usah sungkan hubungi aku, dan aku sudah mentransfer uang iddah mu sekaligus ke rekenningmu ..."
"Tapi aku yang gugat cerai kamu, " aku mengingatkan bahwa aku tak perlu diberi uang iddah.
"Kita bersama sepuluh tahun anggap uang perpisahan dariku, jaga dirimu, " setelah itu Prastia berjalan ke mobilnya yang diisi dengan pakaian dan barang pribadi miliknya.
Setelah mobilnya berlalu serasa ada yang hilang dalam hidupku. Ada yang kosong. Sepertinya sebagian dari diriku tak ada. Rasanya tak lengkap hidupku tanpa hadirnya Prastia.
Kebersamaan sepuluh tahun telah berlalu. Kenangan manis mustahil terlupakan walau sayatan pedih telah tergores di lubuk hati. Kini hari hari ke depannya harus kujalani seorang diri.
"Ya Allah ampunkan salah dan dosa hamba jika hamba terlalu egois tak mau dimadu. Halal bagi suami yang menikah lagi karena sang isteri mandul. Tapi hambaMu bukan menentang ya Allah, tapi hamba tak sanggup berbagi suami dengan wanita mana pun..." air mata mengaliri kedua pipiku.
*
Sudah satu tahun perpisahanku dengan Prastia, dan aku tak mencoba untuk tahu apakah ia sudah jadi ayah. Sejak perceraianku dengan Prastia sengaja kuganti nomor handphoneku, dan aku unfollow IG nya, serta meniadakan hal hal yang berhubungan dengan lelaki, yang jujur sampai saat ini sulit kulupakan. Karena itulah aku menjual rumah kami dulu dan membeli rumah mungil di lain wilayah, walau pun masih dalam wilayah Jakarta.
Aku juga sudah bekerja kembali setelah sebulan kami berpisah. Aku tak boleh cengeng, tak boleh hanya mengandalkan uang pemberiannya Prastia.
"Aa..aa...aa..." tangis Putra kesayanganku membuatku langsung berdiri.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
