Dilamar Mantan Suami Bab1- 2

0
0
Deskripsi

 

 

 

 

Indar dan Prastia bercerai karena Indar tak mau dipoligami. Mereka bertemu sebagai rekanan kerja dan diam diam Indar melahirkan anak Prastia. 

Keinginsn rujuk, cinta yang baru serta disebut perebut cinta mantan suami, bahkan perebut cinta mantan suami orang lain telah menyapa Indar yang kuat dan tegar sebagai single mom.

Bab. 1 Talak Sudah Jatuh 

 

Cinta tak terbatas yang dibisikkannya padaku ternyata harus berubah saat rahimku tak bisa memberinya keturunan.

Takdir sudah tertulis. Kekasih tercinta, pujaan hatiku pergi mengasihi wanita yang  subur rahimnya.

       "Aku tak bisa pisah darimu apa pun yang terjadi, kecuali maut memisahkan ..." itu katanya sepuluh tahun lalu saat memintaku untuk jadi isterinya.

        Hatiku terbang ke langit tinggi menggenggam ucapannya.     

          Sepuluh tahun  kemudian, "Maafkan aku harus  menikahi gadis pilihan orang tuaku, mereka ingin keturunan ..." matanya menghindar saat kutatap lekat. Ingin kucari kemantapannya untuk poligami.

        "Aku mundur karena ketidakmampuanku memberimu anak." Poligami dianjurkan apalagi aku tak mampu memberinya anak, tapi pilih pisah.

       Ya drama manis rumah tanggaku bubar. Ia lupa pada kata katanya.

        "Walau seumur hidupku tak punya anak tak apa asal tetap denganmu ..." lima tahun lalu  saat dokter memfonis rahimku kering dan letaknya bermasalah hingga sulit dibuahi ..."

Tapi sanggupkah aku menghibah saat dinanti datang?

Bab. 1 Perceraian

Prastia memasukkan barang barangnya secara tergesah ke mobilnya. Tadi talak satu sudah jatuh. Artinya kami sudah tak terikat lagi sebagai suami isteri setelah genap sepuluh tahun menikah. 

        Sudah disebutkan dalam pengesahan perceraian kami bahwa rumah yang dihasilkan secara diberikan padaku. Kenapa aku sebut rumah bersama, karena dipembiayaan rumah berukuran dua ratus meter yang memiliki kamar empat, yang berdiri di atas lahan seluas tiga ratus meter dan terletak di dalam kota Jakarta itu, memang ada uang hasil kerjaku, ya walau jika diperhitungkan berbanding dua pertiga uang Prastia, sepertiganya uangku.

         Begitu juga dengan perabot rumah tangga,.sana perbandingannya dengan biaya rumah. Artinya rumah dan seisinya ini dua pertiga milik Prastia. Kecuali mobil. Kami membeli dengan uang masing masing. Prastia yang lebih dulu punya mobil, bahkan sebelum menikah denganku, dan selama aku belum punya mobil, Prastia dengan sabar mengantar jemput aku ke kantor, hingga tiga tahun kemudian aku mampu beli mobil sendiri walau lebih murah dikit dari mobil milik Prastia.

         "Masalah harta goni gini sebaiknya Saudara berunding dengan mantan isteri, " ujar hakim yang memimpin sidang perceraian kami.

         "Saya ikhlas memberikan rumah dan seisinya kepada mantan isteri saya, " ujar Prastia lantang, "Selain kami pernah bersama selama sepuluh tahun, ada sepertiga hasil kerja Saudari Indar di rumah itu, " lanjutnya.

         "Aku akan berlaku adil, kamu tetap isteri pertamaku, In, kenapa kita harus bercerai, ayolah In, kita sudah terbiasa bersama, tak ingatkah akan kenangan manis kita?' Prastia beberapa hari berusaha untuk merayuku, membujukku.

        Tapi entah mengapa, sejak dia menyerah pada maunya ibunya untuk menikahi gadis yang masih familinya itu, hatinya langsung berbalik. Rasa sayang dan cinta berbaur dengan sedih dan sakit.

          "Indar, Ibu minta maaf karena Pras anak satu satunya pada siapa lagi kami bisa mengharapkan keturunan Deksaningrat ini berlangsung?" Ibu mertuaku pun berusaha membujukku, "Percayalah kami tetap sayang padamu, kami tetap menempatkanmu di posisi pertama di segi menantu ..."

         "Maafkan saya Ma, saya nggak bisa begitu, maaf saya menantu tak tahu diri, sudah mandul tapi egois, itu hak saya Ma untuk tidak berbagi, "

         Mertuaku gagal untuk membujukku, beliau pulang dan mungkin tak tega juga padaku, karena saat ia pamit pulang sempat mengelus rambutku.

         Itu terjadi tiga bulan lalu. Aku bukannya egois, tapi aku tak bisa berbagi suami. Dan aku pun bukannya langsung pasrah begitu saja, sejak saat itu aku mulai mencari dukun kandungan, dan diam diam mulai berkonsultasi dengan sang dukun kandungan. Bahkan aku pun memberikan perutmu untuk disentuh, bahkan aku pasrah saat tangan pengalamannya yang menangani pengurutan pada orang hamil. Biasanya  di kampung jika hamil muda sering pula perutnya sekedar dilihat lewat rabaan tangan sang dukun bayi yang sudah mendapat sertifikasi dari bidan puskesnas itu.

         "Tiga kali perutku dielus dan sedikit memutar tangannya di atas perutku, seakan ingin memutar perutku. Mulanya aku cemas dan meringis.

         "Jangan takut, Emak hanya mencoba untuk sedikit berusaha rahim Eneng akan turun, InsyaAllah akan cepat punya anak, umur Eneng masih tiga puluh empat, sehat dan kuat masih bisa melahirkan, ya, semua memang kuasa Tuhan, Neng, tapi kita kan kudu usaha," ujarnya menenangkanku.

         "Mbok Dira sudah dua puluh tahun jadi dukun beranak, Nyonya, bahkan dia pernah membuat Saminah tetangga saya yang dua belas tahun tidak hamil jadi hamil "  promosi bik Nah asisten rumah tanggaku yang katanya tiga kali melahirkan anaknya ditolong mbok Dira yang sudah berumur lima puluh lima tahun itu. Maklum bik Nah tinggal di pedalaman.

         "Itu kan karena Allah yang ngasih anak, Bik, " sahutku awal mulanya saat bik Nah mempromosikan mbok Dira yang tangannya dingin, dan bisa membuka rahim yang katanya kincup, atau rahim kering dengan memberi jamu penyubur kandungan buatannya, hingga pasiennya banyak yang hamil.

        "Ya mbok Dira juga bilangnya gitu, mereka hamil bukan karena pijatannya, bukan juga karena jamunya, tapi kuasa Gusti Allah, Nyonya, tapi, kan, kita kudu usaha ..."

          Ya berdoa dan berusaha. Aku selalu berdoa pada Tuhanku. Berusaha, aku memang hanya ke dokter beberapa tahun terakhir ini. Hingga dua tahun terakhir aku berhenti ke dokter kandungan. Aku pasrah.

         Tapi saat ibu mertuaku dua kali bolak balik membujukku untuk mau dipoligami, akhirnya terpikir juga untuk dikenalkan pada mbok Dira.

         "Siapa tahu jodoh, Nyonya, " bik Nah menguatkan hatiku.

         Ya aku tak mau suamiku poligami demi punya anak, walau Prastia belum mengatakannya padaku, setidaknya mamanya sudah mulai membujuknya, buktinya wanita itu sudah dua kalu membujukku.

         "Pras tak mau menduakamu, Indar, itu jawabannya, mungkin jika kamu setuju dia akan mau menikah lagi, " memang mertuaku memiliki tujuan dan keinginan cucu dari suamiku, itu artinya dengan wanita lain.

        Dan aku memiliki tujuan pula. Yaitu mempertahankan rumah tanggaku, tak relah dimadu.

       Tentu hal ini membuat tak nyaman Prastia. Kuperhatikan sejak mamanya membujukku dia banyak melamun. Atau tidur kerap menggenggam tanganku.

         Aku tahu dia seperti makan buah si malakama. Tak dimakan mati Bapak. Sebaliknya dimakan mati Ibu.

        Menikah lagi itu artinya melepaskanku. Atau tak bisa memberikan cucu keturunannya pada orang tuanya.

        Karena kami saling diam tentang keinginan ibu mertuaku yang artinya, suamiku tak memberitahu maunya ibunya, dan aku juga memilih memendam saja bujukan yang sangat menoreh ulu hatiku itu. Hingga tiga bulan lalu aku ikut bik Nah ke kampungnya dan bertemu mbok Dira.

         "Waduh orang kota, toh?" Sambut mbok Dira menatapku, kelihatannya dia agak segan, "Mbok iki hanya wong kampung, Neng, bukan dokter, cuma keturunan dukun beranak he ...he ...he ..." serunya tersipu, "Yo dicoba saja, tapi maaf, yo, Mbok bukan medis, Mbok hanya lewat rabahan dan perasaan saja, dan sedikit jamu penyubur kandungan saja. Ia berdoa minta karo Gusti Allah moga diparingi keturunan ..."

        Satu bulan dua kali diurut perutku, dua kali minum jamu penyubur rahim ramuannya.

         "Eneng iki peranakannya tinggi dadi yo sulit hamil, kita doa, ya, semoga Gusti Allah meridhoi usaha ini, " ujar mbok Dira sambil memoles minyak ke perutku. Terdiam sebentar  entah berdoa entah fokus pada rasa telapak tangannya yang menempel di atas pusarku, dengan posisi sedikit ditekan.

        Bulan pertama menstruasiku turun lancar, begitu pun pada bulan kedua. Aku tak menyerah kini tanpa didampingi bik Nah pada bulan ketiga sebanyak dua kali aku datang sendiri.

         Belum kudapat hasil yang kuimpikan supaya kandunganku subur, penbicaraan Prastia soal anak yang diinginkan orang tuanya, membuatku merasa sia sia berusaha.

 

Bab2. Sembilan Bulan Bercerai Melahirkan 

Dunia rasanya runtuh saat suamiku tercinta mulai bicara tentang anak.

        Dua kali ibu mertuaku gagal membujukku untuk memberi ijin Prastia poligami, kini Pras sendiri yang terus terang, walau suaranya kutangkap berat.

        "Mama benar juga sayang, kita ini bakalan tua, butuh sandaran, dan yang paling tepat sandaran itu anak, "

        Tanpa suara kutatap Prastia yang tampaknya dengan susah payah berusaha membuat tenang.

         "Indar.."

         Aku masih diam dan menatapnya tajam.

          "Waktu itu aku tak terlalu memusingkan soal anak. Aku sangat mencintaimu, yang penting bisa hidup denganmu itu sudah cukup, tapi ternyata dengan bertambahnya waktu, bertambahnya umurku, aku menyadari keturunan itu penting untuk menandakan bahwa kita pernah ada di dunia dan memberikan generasi penerus pada nenek moyang kita, "

         "Bagaimana dengan wanita mandul seperti diriku apakah dianggap tak pernah ada di dunia ini?!"

        Prastia terkesiap.

        "Lalu aku apa kejadian yang sempat menemani hidupmu selama sepuluh tahun?!".Ah aku sudah tak bisa menahan emosi, Astagfirullahal Adzim . Kutarik napas dalam dalam, lalu perlahan kuhembuskan, untuk mengurangi tekanan emosi yang telah mendominasi usahaku untuk tenang menghadapi problemku ini dengan lelaki yang mengawasiku lekat. 

         Sayangnya aku tak lagi bisa menafsirkan apa arti tatapannya. Sejak ia minta poligami seakan menghillang ikatan naluriku untuk bisa membaca air mukanya, tatap matanya.

       "Maaf Indar bukan begitu maksudku ..." Prastia kesulitan memberi pengertian. Aku berlalu meninggalkannya.

        Seminggu sejak ucapannya soal anak, sejak itu pula aku bicara seperlunya. Hingga Prastia dan aku berbicara serius, dan itu aku yang mulai.

        "Pras mohon maaf tak bisa memberimu ijin poligami, tapi aku mempersilahkan kamu menikah lagi..."

        "Maksudmu...?!" Prastia tergagap menatapku.

         "Kita akan berpisah .." walau telah kuusahakan tegar, tapi rasanya suaraku tenggelam dalam pedih dan amarahku.

         "Kauu ..." Prastia menggantung kalimat yang belum terucap dari mulutnya. Tampak dia terkejut dan gugup.

        "Takdirku bersamamu sampai di sini," berusaha aku bicara setenang mungkin. Menekan sakit yang mengoyak dada.

        "Aku tak mau bercerai darimu, Indar.."

       "Tapi aku tak dipoligami " suaraku hampir tak terdengar.

         "Tapi aku sangat mencintaimu, Indar  manamungkin kita berpisah.!" Protes Prastia mencoba meraih tanganku.

        Aku berdiri, dengan begitu ia tak bisa meraih jemariku.

        "Sejak engkau minta ijin poligami, sejak itu pula cintaku mengambang padamu, " kataku dan berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri untuk tidak lagi mencintainya. Tapi hasilnya apa?

        Rasa sakit di ulu hati. Yang kita cinta minta ijin untuk menikahi wanita lain. Arti menikah adalah bercengkeramah dan berkasih kasihan dengan wanita lain. Seperti yang dilakukannya padaku. Mereka akan tenggelam dalam rutinitas kemesraan. Awalnya Prastia melakukannya karena tunrutan anak. Tapi lama  kelamaan karena sering bersama, perlahan akan muncul rasa kasih dan tak bisa kulanjutkan terawanganku ini. Menyakitkan bukan? 

        Kecuali aku berhati malaikat, menerima wanita lain di samping suamiku. Aku hanya wanita biasa yang rapuh dan tak memiliki  jiwa besar untuk dimadu, walau akar permasalahannya adalah kekuranganku tak bisa punya anak.

         "Waktu mama dua kali membujukku untuk dimadu, aku masih mengandalkanmu, Pras. Kamu diam, aku tunggu ketegasanmu. Hari ini sudah engkau tegaskan bahwa engkau ingin anak, bukan hanya karena desakan orang tua, tapi karena dirimu ingin diakui keberadaanmu di dunia ini, dengan memberi penerus pada generasi nenek moyangmu. Good itu bagus dan mulia ..." aku lari ke kamar. 

        "Indar ..." Pras mengejarku. Tapi aku tak mau membuka pintu sebelum Prastia berangkat kerja. Semalaman aku menangis dan tak memberi kesempatan Prastia untuk masuk ke kamar kami.

        "Aku berangkat kerja. Kuambil baju di tempat setrikaan, maafkan aku ..." Prastia mengirim WA padaku.

        Sudah bulat tekatku untuk berpisah dari Prastia. Aku tak mau jadi penghalang bakti anak pada orang tuanya, menginginkan Pras untuk diakui keberadaannya kelak di dunia, jika dia telah tiada dengan memberikan keturunan pada nenek moyangnya.

         Bagaimana dengan cintaku?

        Sudah kutegaskan aku bukan malaikat yang memiliki hati ikhlas. Aku manusia biasa yang merasa tersakiti oleh inginnya Prastia.

        Aku egois.

        Aku tak punya hati.

        Aku tak mau mengalah untuk anak yang mereka butuhkan, sekali pun.

        Aku memang egois. Dan aku sudah tak punya hati karena hatiku sudah membatu. Karena itulah aku langsung menghubungi pengacara untuk menggugat cerai suamiku.

         Tentu saja Prastia terkejut saat mendapat surat gugatanku.

         "Kau ... apa ini.!" Prastia membanting surat gugatanku.

         "Dulu kita pernah berikrar, orang ketiga masuk maka kita bubar .."

         "Tapi aku tak mencintai Ismi, aku hanya cinta kamu Indar ..." persis drama sinetron ia berusaha meyakinkanku.

         "Tapi Ismimu itu orang ketiga dalam rumah tangga kita!" Aku mulai emosi.

        "Are you sure, Indar?"

         Aku mengangguk.

         "Kau yang meminta, " ujarnya.

         "Kamu yang menantang, " aku langsung meninggalkannya.

        Akhirnya perceraian dan perpisahan terjadi juga. Ini mauku berpisah daripada dipoligami, walau sesungguhnya aku tak bisa begitu saja menghapus kenangan manis dengan Pras . Jelang sepuluh tahun dalam pernikahan. Sepuluh kali sebulan menjalankan puasa ramadhan  bersama, dan sepuluh kali mencium tangannnya sepulang dari sholat Idul Fitri di hari raya. Walau selain hari raya aku pun melakukannya saat akan turun dari mobilnya  di depan kantorku. Namun cium tangan di hari raya adalah sangat berkesan.

       "Indar aku sudah siap ..."

       Suara Prastia mengejutkanku dari lamunan. Kutatap lelaki yang sepuluh tahun berbagi kasih, berbagi tempat tidur denganku.

        "Aku pergi jaga dirimu, jika perlu sesuatu nggak usah sungkan hubungi aku, dan aku sudah mentransfer uang iddah mu sekaligus ke rekenningmu ..."

         "Tapi aku yang gugat cerai kamu, " aku mengingatkan bahwa aku tak perlu diberi uang iddah.

        "Kita bersama sepuluh tahun anggap uang perpisahan dariku, jaga dirimu, " setelah itu Prastia berjalan ke mobilnya yang diisi dengan pakaian dan barang pribadi miliknya.

        Setelah mobilnya berlalu serasa ada yang hilang dalam hidupku. Ada yang kosong. Sepertinya sebagian dari diriku tak ada. Rasanya tak lengkap hidupku tanpa hadirnya Prastia.

       Kebersamaan sepuluh tahun telah berlalu. Kenangan manis mustahil terlupakan walau sayatan pedih telah tergores di lubuk hati. Kini hari hari ke depannya harus kujalani seorang diri.

        "Ya Allah ampunkan salah dan dosa hamba jika hamba terlalu egois tak mau dimadu. Halal bagi suami yang menikah lagi karena sang isteri mandul. Tapi hambaMu bukan menentang ya Allah, tapi hamba tak sanggup berbagi suami dengan wanita mana pun..." air mata mengaliri kedua pipiku.

                          *

 Sudah satu tahun perpisahanku dengan Prastia, dan aku tak mencoba untuk tahu apakah ia sudah jadi ayah. Sejak perceraianku dengan Prastia sengaja kuganti nomor handphoneku, dan aku unfollow IG nya, serta meniadakan hal hal yang berhubungan dengan lelaki, yang jujur sampai saat ini sulit kulupakan. Karena itulah aku menjual rumah kami dulu dan membeli rumah mungil di lain wilayah, walau pun masih dalam wilayah Jakarta.

        Aku juga sudah bekerja kembali setelah sebulan kami berpisah. Aku tak boleh cengeng, tak boleh hanya mengandalkan uang pemberiannya Prastia.

         "Aa..aa...aa..." tangis Putra kesayanganku membuatku langsung berdiri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dilamar Mantan Suami. Bab 3 - 7
1
0
Indar dan Prastia dipertemukan dalam satu group perusahaan. Dia merahasiakan anaknya dari Prastia. Berhasilkah?Ba. 3 Anak Yang Dirahasiakan   Segera kuhampiri tempat tidurnya. Ranjang mungil warna biru. Jika sendirian Putraku memang kutidurkan di milik pribadinya, tapi jika aku ingin istirahat pasti kupindah bayi tiga bulan menggemaskan warisan tak ternilai dari pernikahan kami yang kandas.        Benar bayi yang sedang kususui ini adalah milikku, darah dagingku, warisan dari Prastia yang hingga saat ini tak kuberitahu tentang anaknya ini.         Mungkin aku egois tak mengabarkan rejeki dan kemurahan Allah padaku ramadhan setahun lalu, saat bulanku terlambat datang dan tepat pertengahan Ramadhan. Saat itu sudah dua minggu Prastia berlalu dari hidupku.        Mulanya aku tak curiga, dan menganggap biasa saja,.mungkin karena pikiran dan perasaanku sesungguhnya sangat tertekan harus berpisah dari Prastia, sehingga membuat siklus mentruasiku tak lancar. Biasanya begitu yang pada sebagian wanita kenalanku.        Tapi sore itu kepalaku pusing dan mual, mau tak mau dengan taxi aku ke klinik untuk periksa.          Selamat ya, Bu, akan ada anggota baru di rumah Ibu .. ujar dokter wanita yang memeriksaku.         Aku tercengang menatap dokter cantik yang masih tersenyum padaku.           Ibu Indar Prastia selamat, ya ... ujarnya mengulurkan tangannya padaku, Pasti Pak Prastis sangat bahagia mendengar kabar ini, segera Ibu konsultasi dengan dokter kandungan, ya, ujar dokter yang sudah lama menjadi langgananku dalam hal mengecek kesehatanku dan Prastia. Rupanya dia belum tahu kami bercerai. Dan memang perpisahanku dengan Prastia tak tersebar. Tetangga dan kenalan belum tahu. Aku tidak menyebarnya, toh aku merasa tak perlu mengirim kartu kepada kenalanku.         Ya, Dok, terima kasih, mari ...          Seperti yang disarankan dokter klinik tadi, aku langsung mengunjungi dokter kandungan.          Hasilnya?          Selamat Ibu Indar Wahyuni, Ibu positif hamil, dijaga kandungannya, ya, Ibu ... lembut dokter Yana ahli kandungan mengelus permukaan perutku yang masih rata.         Terima kasih, Dok,          Sepanjang perjalanan pulang ke rumah seluruh badanku menggigil di dalam taxi. Bahagia luar biasa dengan keberadaanku hamil. Sungguh ini hadiah tak ternilai. Aku percaya jika Allah berkehendak tak ada yang tak mungkin. Tapi kehamilanku ini datang saat aku dan Prastia sudah berpisah, sudah cerai.          Sampai di rumah aku berselimut diri dan meringkuk di tempat tidur.         Air mataku mengalir deras. Seandainya kabar berita membahagiakan ini datang tiga minggu lalu, saat aku dan Prastia sedang panas panas panasnya dalam urusan perceraian mungkinkah membuat kami tak berpisah?         Semua sudah terjadi. Aku dan Pras sudah bercerai dan anak yang jadi persoalan hingga kami pisah baru memberi berita akan kedatangannya setelah kedua orang tuanya berpisah.         Aku terdiam dalam gigil tubuhku yang masih berlangsung. Kini apa yang harus kulakukan?          Haruskah aku menghubungi Prastia dan mengabarkan kehamilanku?         Lama aku terpekur. Pasti Prastia dan kedua mantan mertuaku senang. Lalu kami akan bersatu lagi.         Oh tidak! Aku mengambil jalan pikiran untuk tidak memberitahukan Prastia masalah kehamilan ini.          Hendaknya di bulan suci ini kita saling memaafkan, membersihkan diri dari prasangka buruk orang lain, dan berusaha menjadi bijak ... lamat lamat kudengar  kajian ramadhan dari televisi yang tak kutonton karena sejak tadi aku memejamkan kedua mataku.          Tapi bagaimana mungkin aku akan memberitahu mantan suamiku tentang kehamilan ini? Sedangkan dia sudah menurut pada ibunya untuk menikahi gadis yang masih familinya. Mungkin saat ini mereka sedang persiapan pernikahan, atau malah sudah menikah. Aku tak tahu.        Tak mungkin aku merusak suasana yang semula sudah dikemas dengan keluarga itu berantakan karena aku hamil. Oh itu tak mungkin kulakukan ...         Tok          Tok          Masuk Bik,           Bik Nah masuk membawa segelas teh hangat sesuai permintaanku lewat WA dari hape lima menit lalu.         Aku langsung duduk menerima teh hangat panas manis itu, lalu segera kuteguk tuntas isinya.         Nyonya pucat sakit? Bik Nah menatapku penuh perhatian.         Bik duduklah aku ingin bicara, ujarku pada bik Nah satu satunya orang terdekatku selain kenalan dan teman kerja. Karena ibuku sudah tiada lima tahun lalu, dan ayahku entah kemana aku tak terlalu ingat raut mukanya, karena sejak bercerai dengan ibuku tak pernah muncul di kehidupanku. Ayah dan Ibuku bercerai semasa aku masih umur empat tahun.         Ya Nyonya ada apa? Bibik duduk di bibir sofa.         Aku hamil ...         'Alhamdulillah ... Bik Nah merosot turun langsung bersujud, Allahu Akbar ... katanya.         Ya Maha Besar Allah yang telah memberikan keturunan padaku. Amiin  ...Aamiin ya Allah . Air mataku menetes lagi.          Maaf Nyonya kalau boleh  Bik Nah bisa kasih saran, boleh, nggak, tapi maaf, ya, jangan marah dan bukan berarti saya ini memihak Tuan, sueer ... bik Nah terduduk di lantai, ia  menunduk ragu dan tampak bimbang di hadapanku.          Kupandangi perempuan yang sudah hampir sepuluh tahun mengurus rumah tanggaku. Bik Nah adalah orang bawaan ibu mertuaku, karena dulu bik Nah pernah bekerja di salah seorang keponakan mantan mertuaku, karena keluarga muda itu pindah ke luar kota, maka bik Nah diover ke rumahku. Dan saat aku berpisah dengan Prastia, dia tetap bersamaku.        Ya katakan Bik, kataku.         Bagaimana seandainya Tuan dikasih tau ... menunduk bik Nah.        Aku menghela napas panjang, lalu menggeleng. Lelaki yang sepuluh tahun hidup bersamaku, setahun proses pendekatan sebelum menikah, toh telah memilih langkah meninggalkanku karena aku tak punya anak. Lalu sekarang mungkin saja dia sudah merencanakan bulan madu dengan isteri barunya.         Bik, ini sudah jalan hidupku hamil tanpa suami, aku mau jual rumah ini dan pindah, kutatap bik Nah.         Saya terserah Nyonya saja, ujar bik Nah tanpa berani mengulang usulannya tadi.       Maka aku menjual rumah dan pindah. Mbok Dira kukabari tentang kehamilanku. Perempuan usia senja itu sangat gembira.        Semua Allah yang berkehendak, saya tidak bisa sering datang sudah tua, tapi sesekali saya akan menengok Ibu, dan kalau nanti lahir saya yang akan memandikannya, saya akan menginap satu bulan di rumah Ibu, dan dia menganjurkan supaya aku jangan lupa selalu memeriksakan kandungan ke dokter kandungan.         Sekarang anakku yang kuberi nama Putra Darmawan  sudah tiga bulan usianya pada bulan ini.          Sayang jantung hati Bunda ..  kutatap bayiku dan kedua matanya menatapku berbinar, Maafkan Bunda sayang tak bisa dan belum bisa mempertemukanmu dengan Ayah, ya ...        Putraku tersenyum. Binar matanya semakin membuatku terharu dan tangannya menggenggam telunjukku.         Ah anak lelakiku yang seharusnya jadi kesayangan ayahnya, karena sepuluh tahun menanti kehadirannya tersenyum lagi.          Sayang .. aku menggelitiknya. Senyumnya makin lebar.         Dering dihapeku menandakan ada berita masuk.         Assalamu'alaikum Bu Indar tiga perempat jam lagi meeting secara langsung akan dimulai, itu WA Neni sekretaris di kantor . Ini adalah pertemuan atau meeting yang hanya dihadiri oleh empat orang dengan dihadiri oleh pemilik saham terbesar di tempat kerjaku.  Bab. 4 Ternyata Mantan Suami Wakil Atasanku      Walau tak menggaji baby sister tapi Putraku dijaga oleh orang orang yang sangat mengasihinya selama aku berkegiatan di luar rumah. Ada bik Nah, dan mbok Dira yang katanya mulanya hanya mau satu bulan mengurus bayiku, tapi nyatanya sampai tiga bulan. Rupanya ia jatuh cinta pada Putraku. Ini membuatku sangat terharu.         Sama Nenek Dira dulu, ya ... aku melihat Mbok Dira mencuci kedua tangannya dengam sabun. Lalu mengakhiri dengan melap tangan dengan tissue basah khusus bayi. Soal kebersihan aku tak perlu sangsi pada beliau ini.Dengan berat hati aku meninggalkan bayi mungilku pada dua perempuan tua yang sangat menyayanginya.Setelah semuanya siap aku segera melangkah ke ruang rapat yang telah dipersiapkan.         Langkahku terhenti saat kulihat Prastia sudah duduk di dalam ruang rapat. Oh ada apa ini, kenapa dia ada di sini?Apa penglihatanku yang salah? Betulkah lelaki yang duduk menunduk memperhatikan isi mapnya itu betul Prastia mantan suamiku?Bagaimana bisa?         Bu Indar, Bapak David berhalangan karena isteri beliau tiba tiba harus dibawa ke rumah sakit, jadi mengirim orang kepercayaannya Pak Prastia Darmawan, Neni memberitahuku saat aku tertegun di ambang pintu.Beliau wakil dari Pak David, Pak David adalah Bigbos pemilik Kencana group dimana perusahaan yang kupimpin ini bernaung. Sedangkan Prastia waktu ksmi bersama tidak bekerja di Kencana, lalu kenapa tiba tiba dia ada di sini?Mewakili Pak David pula. Ada apa ini? Atau lelaki itu memang sudah pindah kerja?Prastia adalah master Management lulusan Canada. Dan kini kehadirannya mewakili langsung pemilik perusahaan yang memiliki jabatan rangkap sebagai Direktur Utama.Oh rupanya selama tiga belas bulan ini aku bekerja dibawah naungan satu group perusahaan dengan mantan suamiku. Hanya bedanya Pt.  Kencana adalah pusat dari Pt. Anugerah Kencana, dimana kini berada dibawah kepemimpinanku, menggantikan pimpinan yang lama. Beliau adalah Ibu Prameswari karena ikut suaminya yang mengemban tugas sebagai Diplomat di negara lain. Aku dipromosikan langsung oleh Ibu Prameswari. Beliau melihat jejak kerjaku selama setahun menjadi bawahannya.Dik Indar harus berani memimpin, dari pengalaman kerja sudah oke sejak masih kuluah, ya, ujar ibu Prameswari tentang aku seorang Indar yang lulusan Ekonomi, tapi sempat fakum sekian tahun karena fokus untuk hamil.       Ya lelaki yang menunduk menghadap kearah pintu itu memang Prastia mantan suamiku. Lelaki yang pernah hidup denganku. Sosok yang setahun lebih menghilang dari hadapanku, ini duduk dengan tenang. Aku menghala napas , dengan demikian secara otomatis aku berada dalam lingkup anak cabang perusahaan dimana saat ini mantan suamiku berkegiatan.Aku berusaha untuk membenahi perasaanku supaya jangan lagi kacau balau mundur pada baperku, alias bawa perasaan. Bukankah selama setahun lebih aku sudah bisa menata hatiku?         Tanganku agak gemetar saat memperbaiki hijab kuning langsatku. Berusaha tenang. Ini adalah rapat pelaksanaan perpanjangan order kerjasama. Dan Prastia mantan suamiku adalah wakil dari pemilik saham terbesar, yang akan bertindak untuk menentukan langkah selanjutnya.         Aku melangkah masuk didampingi Neni. Saat itu kulihat Prastia sedang membaca sesuatu di lembar kertas.Selamat pagi, Ini Ibu Indar Wahyuni yang menggantikan Ibu Prameswari, yang dimaksud ibu Prameswari.        Saat semua mata mengarah padaku, sungguh aku berusaha tenang saat beradu pandang dengan sepasang mata yang tak asing lagi bagiku itu .         Karena aku sudah lebih dulu melihat dirinya, jadi aku sudah memiliki ketahanan mental, setidaknya di depannya agak tak terlalu menampakkan ke kegrogiannya. Walau tak urung dentuman dalam dadaku begitu berdebar.Jelas kulihat Prastia terkejut. Tapi sedetik kemudian dia dapat menguasai ketercekatannya. Mungkin tak menyangkah aku akan ditemuinya dalam jajaran group perusahaan, dalam mengikat kerja sama dengan pihak asing.        Mereka dua lelaki lainnya  memiliki adalah para pimpinan dua cabang perusahaan Kencana yang lain.        Aku berusaha untuk bersikap biasa. Mengangguk dengan tersenyum pada  semua lelaki di hadapanku ini.          Aku membungkukkan sedikit badan dengan kedua tangan di dada sebagai jabat tangan perkenalan.         Assalamu'akaikum Bapak Bapak,  saya Indar Wahyuni menggantikan Ibu Prameswari yang akan bertanggung jawab untuk penanganan proyek kerja sama ini dari Pt. Anugerah Kencana, aku mengucap puji syukur Alhamdulillah saat kusadari perkenalanku lancar tanpa kendali gugup di hadapan mereka. Setidaknya aku tidak boleh membawa perasaan pribadi terhadap Prastia dalam pertemuan kerjasama ini.          Selamat datang Ibu Indar saya perwakilan dari Pt. Kencana Pusat, yang mana dalam rencananya Pak  David sendiri seharusnya yang akan berada di sini, namun karena berhalangan maka saya Prastia Darmawan yang mewakilinya, ujar Prastia lancar memperkenalkan dirinya. Sikapnya profesional. Seperti diantara kami tak ada hubungan suami isteri di masa lalu.         Saya Indra dari Pt. Satya Kencana, ujar seorang lelaki belum empat puluh tahun. Satya Kencana  adalah sebuah pabrik pengolahan kayu dan angkutan darat.         Saya Rukmana dari Pt. Karya Kencana  diantara kami  Pak Indra dan Pak Prastia sudah saling kenal, selamat datang untuk Ibu Indar Wahyuni dalam tim kerjasama yang solit untuk tiga tahun ini, ujar lelaki bertubuh sedang, tidak gemuk juga tidak kurus. yang kutaksir mungkin paling sekitar empat puluhan. Paling tua umurnya diantara tiga laki laki di depanku. Sebulan lalu saya Indar Wahyuni menggantikan Ibu Prameswari atas persetujuan Bapak David, aku memperkenalkan diriku.        Pt. Karya Kencana bergerak dalam pengalengan ikan. Sedangkan Pt. Anugerah kencana yang kuwakili adalah perusahaan yang berkecipung dalam ekspor impor serta angkutan laut.        Maka perkenalan dari tiga  cabang perusahaan  dari Kencana Group yang dipimpinan Prastia ini berjalan santun tanpa kendala. Selanjutnya adalah pembahasan tentang kerja sama untuk memulai proyek pengambil alihan ekspor hasil laut yang sudah berijin ke berbagai negara di asia.        Maka dibentuklah jadwal kerja untuk kelancaran ekspor hasil laut berupa olahan beberapa jenis ikan tangkapan di laut, termasuk cumi dan sotong, beserta jenis lainnya.        Dari pihak Prastia atau   Kencana Pusat  bergerak sebagai  pemantau dan pendanaan untuk ketiga cabang perusahaan.        Tentu saja Pt. Anugerah Kencana dimana aku yang mewakili pertemuan kali ini, yang bertugas sebagai pengespornya. Maka segala sesuatunya harus kubicarakan pada patner kerjasamaku ini.         Selesai pembahasan kerjasama ekspor olahan hasil laut, Neni membagikan draft untuk kami.Secara profesional kami membicarakan rencana kerjasama dengan cermat. Dan sepanjang percakapan antara kami, sama sekali aku tak memperhatikan sikap Prastia secara detil. Aku fokus pada pembicaraan tentang kerja sama.Alhamdulillah semua berjalan lancar. Rapat mulus tanpa kendala. Sehingga dicapai kata sepakat.Selesai tanda tangan kami sepakat kembali ke pekerjaan di kantor masing masing.         Itu lebih baik dan terasa lebih nyaman untukku, tak perlu terlalu lama untuk berada satu ruangan dengan Prastia, yang sebisa mungkin selalu kuhindari berinteraksi dengannya tadi. Bahkan saat tanpa sengaja kami bertatapan, segera aku menghindar  entah dengan dia, apakah  langsung melakukan hal yang sama aku lakukan atau justru menatapku. Ah, aku tak mau memikirkan hal yang bisa membuatku sedih.     Bab.5 Mantan Suami Minta Bertemu Secara Resmi    Manamungkin  Prastia menatapku berlama lama. Mungkin baginya aku sudah terlupakan.        Seseorang yang sudah memiliki tambatan yang baru pasti yang lama terlupakan. Begitu pun dengan Prastia. Dia pasti sudah menikah dengan pilihan orang tuanya, atau isterinya yang subur langsung hamil. Berarti dia sudah punya anak sekarang.         Tiba tiba saja aku teringat putraku. Bukankah keberadaannya tak diketahui Prastia?         Egoiskah aku menyembunyikan seorang anak dari ayah kandung yang seharusnya berhak ia mendapatkan kasih sayangnya.         Maafkan Bunda sayangku  ampuni Mama yang telah membuatmu kehilangan kasih sayang ayahmu dari pertama menghirup udara di dunia ini  hingga tiga bulan sudah usiamu  kutekan sebisa mungkin rasa bersalah ini.        Ah, aku tak mau terus menerus menyalahkan diriku sendiri, sementara Prastia gampang goyah untuk meninggalkan aku.         Aku tak boleh dihantui rasa bersalah, semua sudah terjadi. Aku tak boleh terpaku oleh rasa bersalahku pada Putraku. Yang penting aku harus kerja keras untuk membahagiakan Putraku. Menjadikannya orang yang berguna kelak dikemudian hari.         Ya Allah maafkan hamba belum dapat mengalahkan ego hamba .. rasa takut dosa sebenarnya memenuhi rongga dadaku perihal tak kupertemukan anakku dengan papanya.Ya Allah Yang Maha Kuasa Yang Maha segalanya, hamba hanya manusia penuh dosa. Ampunkan hamba ya Allah ...         Bu Indar Pak Prastia ada keperluan dengan Ibu sekitar pukul lima ... suara Neni mengejutkanku. Terlebih lagi dengan berita yang disampaikannya padaku.        Oh ada apa ini?         Pras ingin berbicara denganku. Tentang apa? Tanpa sadar aku jadi gugup.        Ibu sakit? Neni menatapku cemas        Karena ruangan untuk rapat bertempat  di kantorku, maka aku lebih merasa beruntung bisa langsung kembali ke ruang kerjaku yang berada di lantai 2.       Tapi tunggu dulu, jika aku bertemu Prastia pukul lima, bukankah itu waktunya aku pulang. Menyetir sekitar satu jam. Pukul enam sore waktunya aku menyusui Putra, karena takaran Asi yang kutinggalkan untuk kebutuhan asi anakku sampai pukul lima tiga puluh menit saja, karena tadi aku terburu buru untuk persiapan rapat, dan kuprediksi sampai di rumah kurang dari pukul enam, sehingga aku bisa menyusui Putra yang memang program asi eklusif.         Selama masa menyusui asiku tak ada masalah. Walau aku sudah memasuki tiga puluh lima, tapi alhamdulillah Putra tak kekurangan asupan asi dari bundanya.        Ibu Indar nggak apa apa, kan? Rupanya Neni masih memperhatikanku.         Oh nggak apa apa, baiklah jam lima saya menemui Pak Prastia, segera aku membuat keputusan untuk menghindari kekhawatiran Neni dan supaya dia tak merasa heran atas sikapku yang jelas terlihat ragu ragu itu.         Pak Prastia yang akan kembali ke Anugerah untuk menemu Ibu Indar jam lima, gadis itu mengakhiri laporannya.        Aku hanya mengangguk tanpa suara.        Sepeninggal Neni kutarik napas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan.         Alhamdulillah ya Allah aku masih bisa tenang menghadapi peristiwa yang sama sekali tak kuduga.         Setelah menelepon bik Nah, aku lalu video cal dengan anakku tersayang.        Ah gemasnya melihat posisi Putra yang lelap. Tiga bulan ini asiku cukup untuk  membantu gizinya. pertumbuhannya  walau sempat kusangsikan, sanggupkah aku memberinya air susu dari dalam tubuhku sendiri, sehingga apa yang kumakan turut pula disalurkan ke aliran darah permataku ini.         Melihatnya ingin aku ngebut pulang untuk memeluknya dan menggendongnya. Sebenarnya ada rasa bersalah pada anakku ini, diusianya yang sangat memerlukan hadirku sebagai bagian dari hidupnya.        Tapi aku harus realita. Hidup perlu modal. Setelah pemberian uang iddah, aku tak lagi menerima uang dari Prastia, dan itu memang seharusnya.        Ada tabungan, tapi jika seumur hidup hanya bergantung pada tabungan, itu sangat tidaklah cukup  mengingat aku juga harus membiayai Putraku sayang.        Realita hidup, tanggung jawab sebagai orang tua, setelah hanya di rumah semasa dua kehamilan, dan memasuki bulan ketiga kehamilan bayiku sayang aku ajak bekerja. Aku tak mau kelak rumah dan mobil habis hanya untuk makan dan biaya lainnya. Harus ada pemasukan setiap bulannya. Kalau tidak bisa dipastikan Putraku tak akan tinggal di dalam rumahnya sendiri. Mengontrak rumah orang, dan pindah dari kontrakan satu ke lainnya.        Biarlah setiap hari delapan jam meninggalkannya, menahan rindu dan gemas di dada, tapi untuk kesejahteraannya kelak. Karena hidup memang harus realiti. Dan kapan aku rindu bisa video cal melihat tingkahnya. Bahkan aku meninggalkan camera khusus supaya bik Nah setiap saat bisa merekam aktivitasnya, sehingga aku tak kehilangan momen pertumbuhannya selama kutinggalkan.       Oh anakku menggeliat, dengan mulut yang ikut dimonyongkan, sehingga sepasang bibir mungilnya yang terkatup itu sangat lucu sehingga akan ingin menciumnya, gemas  tapi apa daya aku tak di sampingnya.        Sayang tetap sehat, ya, Nak, maafkan Bunda tak selalu di sampingmu ...muah cup cup ... tak sanggup untuk tak mencium wajah tampannya yang menggemaskan.         Bik nanti aku pulang mungkin terlambat tiga puluh menit, tolong jaga Putra, ya ...        Ya, Nyonya, tapi apa susu yang ditinggalkan cukup, ya. Tampaknya bik Nah sangat memikirkan asiku yang tadi pagi kuperas tak  banyak seperti biasa, kadang berlebih hingga aku pulang masih tersedia untuk dua atau tiga kali anakku menyusu lewat botol susunya.        Aku tertegun.        Cemas memikirkan asi untuk anakku. Apa kutolak saja permintaan Prastia untuk menemuiku?        Tapi bagaimana kalau dia ingin membahas tentang proyek pengiriman olahan hasil laut, gimana?      Bik nanti kuusahakan lebih cepat pulangnya, ya ...  itu solusinya mempercepat pertemuan, bukankah ini bulan puasa?         Ya Nyonya,           Ya sudah, Bik, hati hati ...         Ya, Nyonya,           Sayang bobok ya, jangan nangis mulu, ya ...       Ingat akan anakku rasa bahagia menyusup ke seluruh aliran darahku. Sayangnya rasa bahagia ini terganggu oleh sosok Prastia yang ingin bertemu denganku.         Dadaku berkecamuk semua tentang kami dulu, bahagia dijalani bersama, sedih yang tersisa karena perceraian, sampai  pada hari yang tak kuduga hadirnya buah hatiku Putra, yang telah menjadi nadi dikehidupanku selanjutnya.         Dengan beragam perasaan kususun draf kerja sama serta biaya yang diperlukan. Setelah itu aku mengirimkan kr bagian acounting untuk dibuatkan proposalnya.         Melanjutkan dengan memeriksa dokumen dokumen pengiriman ekspor sebelumnya, waktu pun terus merangkak hingga pada batas kedatangan Prastia yang seharusnya kupergunakan untuk pulang.        Bu Indar Pak Prastia sudah datang, suara Neni dari airphone kantor.         Ya silahkan ... dan kutahan debar dalam dada. Uh benci jadinya, kenapa aku masih saja menyisahkan debar dalam dadaku untuk lelak itu?         Tapi tunggu dulu, debar di dadaku ini ada dua gejolak menyatu. Satu gejolak rasa terhadap lelaki itu yang belum sepenuhnya terkikis habis oleh perpisahan kami. Yang satunya lagi gejolak pedih dan sakit hati karena sebagai wanita yang tak dipertahankan karena kemandulanku waktu itu, tak sejalan dengan ungkapan cinta serta janjinya pada hari bahagia kami dulu.         Tok          Tok. Bab 6 Menyembunyikan Jika Menyusui Bayi             Aku terkesiap, pasti itu Prastia. Segera kuraih foto Putra di atas meja, dan kumasukkan ke laci mejaku.         Bergegas aku menuju ke pintu dan membukanya.Prastia berdiri di hadapanku. Aku berusaha tidak gugup.          Assalamu'alaikum ... Aku tersadar oleh salam lelaki yang telah memberiku satu anak tampan itu.         Wa'alaikum salam ... kubalas salamnya dan berusaha untuk tak memperhatikan senyumnya, Silahkan ... aku segera menduluinya menuju ke sofa tamu.        Prastia mengikutiku. Dan kami duduk berhadapan. Oh, kok dia tak membawa satu lembar kertas pun jika ingin  membahas kerjasama kami? Oh mungkin ada di hapenya filenya.         Apa kabar, Indar? Sungguh aku harus berusaha menghindari tatapan Prastia yang langsung ke mataku.         Baik ... dan aku berdiri lalu melangkah ke meja kerjaku untuk mengambil laptop, lalu kembali ke hadapan Prastia dan melatakkan laptop di atas meja di hadapan kami.         Persis satu tahun ya kita berpisah,  kulihat kamu tak berubah, bahkan kulihat ada gairah dalam matamu ...Duh kenapa lagi dia berbicara tentang urusan pribadi  kami.        Reflek aku mengangkat wajah dari layar laptop dan membalas tatapannya.        Sejenak kami saling bertatapan. Dan aku melihat jika Prastia agak mengurus, kedua pipinya agak mengecil. Oh, kenapa aku harus perduli dia kurus atau gemuk. Segera kutarik tatapanku darinya.         Ternyata kita satu group di perusahaan Kencana. Tapi aku  terlambat tahu, Sepertinya ia betul betul tak tahu aku bekerja datu naungan dengan dirinya. Aku juga tak menyangkah jika Prastia pindah kerja dari Kantor lamanya ke Group Kencana.         Sebelas bulan aku  kerja di sini,        Ya setelah dua bulan hamil aku memang  kerja di kantor ini. Selain tak ingin larut setiap saat memikirkan rumah tanggaku yang kandas, aku juga ingin memulai berjuang demi anakku kelak.Aku pindah kerja ke Group Kencana tujuh bulan lalu setelah tempat kerjaku yang lama bergabung dengan Kencana Group."Oh pantas, tapi aku hanya mengatakan dalam hati saja.         Aku datang ke rumah kita dua bulan setelah perceraiaan. Terlambat kamu sudah pindah,            Ya aku memilih melepas rumah itu karena terlalu besar, kupilih rumah minimalis untuk keluarga kecilku,          Bersama bik Nah kamu pindah?        Ya, aku mengangguk.         Apa semua itu untuk menghindariku, Indar.         Bersamaan dengan ucapan terakhir Prastia yang bernada pertanyaan, terjadi sesuatu pada diriku. Rupanya air susuku sudah waktunya dikeluarkan. Aku merasa kedua dadaku ini membesar karena desakan air susu yang sudah minta dikeluarkan.       Mungkin karena tadi pagi aku kurang ful memompa asiku, atau mungkin juga sudah waktunya  Putra menyusu. Rasa nyilu mulai terasa. Aku harus segera bertindak,  wah bisa bisa nanti kemejaku basah oleh air susuku.         Oh bagaimana ini?         Aku mulai gelisah. Apalagi tampaknya diam diam Prastia memperhatikanku. Jangan sampai ada asiku merembes di bajuku. Gawat kalau aku menunggu Prastia selesai dengan keperluannya.Huh kenapa juga dari tadi omongannya hanya mutar disekitar hubungan kami dulu. Duh, kalau mau membicarakan tentang isi rapat tadi kenapa tak langsung saja.        Ada apa, Indar?         O .. oh rupanya Prastia merasakan kegelisahanku.         Aku tersenyum diantara rasa begah di kedua dadaku, dan rasa ngilu karena Asi yang mengendap minta dikeluarkan.         Segera aku berdiri, Maaf, Pras aku mau ke toilet dulu, tanpa menunggu aku langsung keluar ruangan untuk ke taoilet mengeluarkan air susuku.         Putra maafkan Bunda, harusnya saat ini Bunda menyusuimu ...        Inilah pertama kalinya aku membuang Asi untuk anakku sia sia.         Tetes demi tetes terpaksa kurelakan asiku terbuang, padahal di rumah mungkin saja Putraku kehausan menungguku.        Ah maafkan sayang ... tanpa terasa air mataku menetes. Di sini kubuang Asi dan di rumah mungkin kamu kehausan, Nak, sudah waktunya Bunda memberimu Asi ... semakin kutekan dan kuputar tempat penyimpanan asupan anakku, semakin memancar  air susuku ke wastafel. Kulakukan berulang ulang pada keduanya, hingga rasa membengkak berkurang dan rasa nyilu pun perlahan berkurang.        Setelah merapikan pakaianku segera aku kembali ke ruanganku.         Prastia langsung menyambutku dengan tatapan. Dan aku risih saat mengkap tatapannya pada kemeja bagian dadaku. Oh ada sedikit bercak bekas air di  dada bagian kiriku, dan aku merasa perlu mengenakan cardigan untuk menutup sedikit basah.         Segera aku kembali dan duduk di hadapan Prastia yang terus rnenerus menatapku.         Apa yang harus kita bahas Pak Prastia? Sengaja aku bersikap formil supaya urusan pribadi tak lagi mewarnai pertemuan ini. Lagipula supaya secepatnya pembahasan selesai. Supaya aku bisa lebih cepat pulang dan bertemu  serta menyusui Putra. Aku tak ingin anaku yang Asi eksklusif kelaparan sementara di sini nanti aku harus membuang air susuku lagi demi tak membengkaknya tempat Asi anakku ini, serta menghindari nyilu yang akan menyerang kedua kalinya.       Jangan sampai aku melakukannya untuk yang kedua kali. Membuang Asi anakku?Telepon di handphone Prastia menyita perhatiannya. Ia mengeluarkan hapenya. Melihat siapa yang memanggil. Lalu mematikannya.        Nanti saja kita bertemu lagi, aku harus masih ada yang harus diselesaikan dulu, ujar Prastia menatapku.         Alhamdulillah, seketika cemasku langsung hilang. Huh ayo cepetin pergi, Pras, hatiku tak sabar untuk segera berlari ke parkiran.         Assalamu'alaikum ..        Wa'alaikum salam ...       Sebelum meninggalkan ruanganku Prastia menatapku sesaat, lalu berjalan ke pintu.        Legah.        Saat mengambil tas dan hape di atas meja ada yang membuatku curiga. Posisi hapeku berubah. Tadi saat aku ke toilet aku meletakkan hape di atas meja kerjaku sebelah kiri. Tapi sekarang ada di atas meja sebelah kanan.        Sambil terus melangkah ke lift aku terus memikirkannya. Benarkah Prastia yang merubahnya?         Kalau begitu dia lancang memegang hapeku. Oh, bagaimana jika dia lancang telah membuka hapeku?         Aku legah teringat sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukan Prastia atau siapa pun ke hapeku, tak mungkin, bukankah  hapeku dipasword?         Menyetir mobil dengan gelisah karena pertemuanku dengan Prastia pasti aian terjadi dan terjadi lagi. Entah beberapa kali lagi, mengingat kami dalam satu group perusahaan, walau berlainan kantor.         Tapi yang membuatku lebih gelisah adalah karena terlambat pulang. Putraku pasti bibirnya sudah kemat kemot mencari puting susu bundanya, karena biasanya jam segini aku sudah merangkulnya di dadaku, memberikan Asi sampai ia tampak puas dan kantuknya datang.          Inilah pertama kalinya aku pulang terlambat pulang ke rumah selama menyusui anakku.        Saat mobilku terhalang lampu merah  segera kubuka botol air mineral, Bismillahirrohman Nirrohim ... beberapa teguk air mineral memasuki tenggorokanku. Tak berhenti hanya air putih, aku membuka box tempat menyimpan kue yang berbahan susu, sayuran, wortel dan kacang kacangan sebagai pelengkap asupan ibu menyusui yang sengaja kusimpan . Ini kulakukan.  untuk memperbanyak produksi Asi setelah seharian berkegiatan dan makan siang dengan menu yang telah disediakan kantor.    Bab .7 Perhatian Dari Rekanan kerjaWalau wanita menyusui tak akan kekeringan Asi selagi aktif menyusui bayinya, karena tubuh akan merangsang payudara yang kosong untuk memproduksi Asi kembali, tapi tak ada salahnya aku menambah dengan makan yang cukup sebelum sampai ke rumah.        Sebelum menghabiskan potongan kue buka  lampu hijau sudah menyala. Segera kujalankan mobil.         Sambil menyetir   aku pun harus sesekali memasukkan kue  ke mulutku. Beda dengan hari kemarin, aku pulang tepat waktu, jadi anakku tak terlalu haus. Pulang ke rumah  anakku itu sudah menyusu dari Asi yang kutinggalkan.  Jadi aku hanya memeluknya dan bermain.         Tapi hari ini aku terlambat pulang, pastinya Asi yang kutinggalkan sudah habis. Makanya aku harus  banyak ngemil, supaya  semakin memperbanyak produksi Asi ku.                         *        Benar saja sampai di rumah bayiku itu kemat kemot   sebagai tanda ia minta disusui. Setelah membersihkan badan , segera bayiku itu   kususui.      Wow ...!        Luat biasa anakku ini. Terlambat tiga puluh menit aku pulang, lihat begitu aktif ya menyesap air susuku, hingga kadang kusegrak, batuk batuk sebentar, lanjut lagi.        Pelan, Nak, maafkan Bunda, ya ... aku tersenyum melihat betapa anakku ini sangat kehausan.         Tahukah kamu sayangku, yang membuat Bunda terlambat pulang karena ayahmu berkunjung ... kubisikkan suaraku di kupingnya.         Putraku menggelihat membuat mulutnya yang sedang  menyesap Asi terlepas, tapi segera sepasang bibir mungil itu meneruskan kegiatannya untuk menuntaskan hausnya.        Anakku langsung tertidur setelah cukup kenyang. Rasanya enggan menidurkannya di kasur, kangen ingin menatapnya berlama lama, tapi tentu saja tak mungkin kulakukan. Selain nanti tidurnya kurang nyenyak dan kurang nyaman, aku pun harus membersihkan diri dulu di kamar mandi.         Ya Allah hari ini hamba bertemu dengan mantan suami hamba, bagaimana ini jika sampai ia tahu hamba punya anak ya Allah, mengingat kami tim kerja sama ... doaku setelah melakukan salam di akhir sholat magribku.         Jadi Nyonya bertemu Tuan tadi?! Terkejut bik  Nah saat kuceritakan kejadian tadi di kantor.         Ya, kami satu tim, jadi kemungkinan bisa bertemu lagi, ya, padahal aku sudah menghindari masa laluku, pindah kerja, jual rumah ...         Mungkin sudah kehendak Allah pertemuan itu terjadi, Nyonya, ujar bik Nah agak takut saat mengutarakan ucapannya.         'Ya aku percaya semua yang terjadi pada diri manusia adalah kehendakNya, jika tidak manamungkin aku yang sudah cerai karena mandul tiba tiba hamil,          Terus bagaimana, Nyonya?         Ya aku berharap pertemuan hanya seputar pekerjaan, Bik, karena bagiku Pras adalah masa lalu,          Ya walau kuakui masih belum sepenuhnya aku melupakan Prastia, namun setuju berpisah denganku demi menikahi wanita yang subur  adalah bentuk ketidak adilannya yang telah dilakukan padaku, walau wanita mandul memang bisa dijadikan penyebab yang dibenarkan untuk diceraikan, atau minimal dimadu dengan wanita yang subur, wanita yang rahimnya mampu menampung benihnya, dan melahirkan anak anak yang diharapkan.         Aku tahu mulai saat ini harus waspada, Bik, ujarku pada bik Nah yang sudah kuanggap keluarga sendiri.      Sedangkan Mbok Dira hanya jadi pendengar tak ikut berbicara.        Ya Allah ya Tuhanku, mohon maaf jika aku belum berpikir untuk berterus terang tentang Putra pada Prastia. Bisikku pada Sang Pencipta, Maafkan jika   hamba belum bisa berkelakuan yang baik ... aku takut sebenar pada dosa yang menggayut di bahuku sehubungan aku menyembunyikan kehamilan dan kelahiran Putra pada Prastia.        Tapi aku juga belum bisa berterus terang pada Prastia. Pasti ia sudah bahagia dengan anak dari rahim subur wanita pilihan orang tuanya.        Haruskah aku mengganggu perasaan lelaki itu yang sedang berbunga bunga. Sedang manis manisnya menikmati keharmonisan menimang bayi yang sebelumnya tak didapat dariku?        Tapi sesungguhnya yang membuat aku enggan berterus terang pada Prastia adalah rasa perih. Sakit dan sedih  menjadi yang ditinggalkan saat ia dihadapkan pada pilihan, tetap denganku, atau mengikuti maunya orang tuanya untuk memberi penerus pada nenek moyangnya.         Disetiap sujudku aku menangis karena  belum bisa berhati lapang memberitahukan keberadaan anakku pada ayahnya.           Sebenarnyalah untuk manusia yang takut dosa, aku ini tak tenang menyembunyikan Putra.        Seharusnya Ibu mengabari berita bahagia atas lahirnya putra Anda berdua. Anak adalah anugrah, apa pun alasannya keberadaannya sangat tidak pantas disembunyikan di hadapan bapak kandungnya. Apa pun alasannya, seorang Ustadz di media sosial menjawab curhatanku masalah Putra.        Aku memang bebal. Walau telah diberi pencerahan, sulit menghilangkan rasa sakit menjadi yang tak terpilih tahun lalu oleh Prastia.         Tok          Tok          Ya masuk,            Indri masuk membawa berkas yang harus kutanda tangani.          Ada agenda pertemuan dengan Karya Kencana, Bu  ujar Indri sesaat setelah meletakkan map berisi berkas di mejaku.         .Jam berapa, tolong atur sebelum jam empat, ya, seruku tak ingin lagi pulang terlambat, kasihan Putraku.         Walau hari ini tak akan kekurangan Asi  seandainya aku terlambat pulang, karena tadi pagi kupompa asi anakku lebih dari cukup. Tapi penting dalam hidupku bermain dan melihat dan menimang Putraku.        Baik, Bu, permisi  pamit Indri, lalu meninghalkan ruanganku.         Pertemuan dengan pak Rukmana dari Pt. Karya Kencana sesuai dengan waktu yang kuinginkan.        Setelah sholat Asyar lelaki usia empat puluhan itu muncul di ruang rapat kantorku.          Assalamu'alaikum, Bu Indar,   Rukmana memberi salam.         Wa'alaikum salam Pak, balasku sambil mempersilahkan duduk, Mohon maaf saya mengatur waktu tanpa minta persetujuan Pak Indra, aku berbasa basi.         Oh tak mengapa, ini  memang seharusnya waktu dipangkas untuk seorang ibu, ujar  Indra tersenyum menatapku, Apalagi Anda punya bayi, sambungnya dengan nada simpati.         Terima kasih, Pak, lelaki ini  tahu aku  punya bayi tiga . Semua memang aku tulis di biodata lamaranku di perusahaan tempat  Kebetulan pak Rukmana masih bersaudara dengan ibu Prameswari yang posisinya kini kutempati. Mungkin ibu Prameswari yang memberitahu. Apakah lelaki ini juga tahu aku singgle parent?         Bagaimana Bu Indrar putranya sehat?         Alhamdulillah  Pak, rasanya senang sekali ada yang menanyakan anakku.         Syukurlah, Bu ujar Rukmana tersenyum,          Alhamdulillah,           Bisa kita mulai, Pak?         Oh ya mari, Bu Indar,           Pembahasan masalah kemasan serta kemungkinan kemungkinan yang menyangkut keamanan produk dalam kaleng selama dalam perjalanan dengan angkutan laut. Serta hal hal menyangkut keutuhan kemasan sangatlah penting bagi Indra untuk membicarakan denganku selaku pelaku ekspor, karena jika terjadi sesuatu dengan ikan kalengannya, maka pihaknya tak luput diberi cap lalai.          Sebenarnya sebagai pengeskpor, bukan hanya dengan Rukmana aku berkoordinasi, semua yang terkait harus dihubungi.  Armada darat pun harus kupastikan aman, walau dirapat bersama sudah berkomitmen untuk menjaga khwalitas tugas masing masing..Tapi setelah urusan dengan pabrik pengalengan ikan selesai, armada angkutan dsrat kelar, aku masih harus berkoordinasi atau membuat laporan pemuatan ke armada laut. Karena bagian armada laut yamg aku pegang ini masih di bawah pengawasan pusat. Berari harus bertemu Prastia lagi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan