
Sadam itu tetangga yang baik buat Zoya, bahkan dititik terburuk dalam kehidupan Zoya, Sadam pasti akan datang menemuinya.
Hawa dingin menusuk kulit, angin berhembus menerbangkan kain gorden berwarna putih kusam. Cahaya kamar yang hanya diterangi lampu neon redup, hampir mati. Malam ini, seorang gadis tengah meringkuk menyedihkan. Sosoknya yang kecil membuat tubuhnya tak kentara di atas tumpukan bantal serta selimut yang berserakan.
Wajah putih nan kusam itu tertutup helaian rambut keriting yang tidak beraturan.
"Hah." Beberapa kali menghela napas berat, gadis itu tidak tahu langkah apa yang akan selanjutnya dia pijak. Ini terlalu berat untuk dirinya yang masih belia.
"Zoya! Kamu masih di dalam? Buka pintunya sekarang!"
Gadis bernama Zoya itu bangkit dari lamunannya. Tubuhnya dipaksa tegap dengan tangan sebagai tumpuan.
Di rumah ini, Zoya hanya tinggal seorang diri. Iya! hanya seorang diri. Sudah satu tahun berlalu, semenjak ibunya dikurung paksa oleh warga di sebuah rumah kosong yang terletak di ujung jalan buntu. Tempatnya tak terurus dengan tumpukan sampah dan semak belukar yang mengelilinginya.
Ceklek.
Pintu tua itu terbuka lebar, seorang pria dengan jaket tebal menutupi tubuhnya berdiri menunggu Zoya di depan rumah, tangganya menenteng satu buah rantang makanan. Raut wajahnya seperti biasa yang sering Zoya lihat, tatapan khawatir atau kasihan, Zoya tidak tahu pasti. Namun, yang jelas pria ini yang selalu mendatanginya di malam hari hanya untuk memberikannya makanan.
Tidak hanya makan malam saja, melainkan sarapan dan makan siang juga.
"Masuk Kak, maaf rumahnya belum dibersihkan." Zoya menggeser tubuhnya. Mempersilahkan Sadam, nama lelaki itu untuk masuk ke dalam rumah yang kosong melompong.
"Tidak perlu, sudah malam. Hari ini Ibu masakin telur balado, ini di makan ya." Setelah mengucapkan itu, Sadam mengangkat tanganya, mengelus pelan rambut keriting Zoya yang aut-autan. Tak lupa senyum mengembang di bibirnya ia berikan tanpa paksaan. "Udah, Kakak pulang dulu, habisin ya."
"Tunggu dulu," potong Zoya cepat. Tangannya yang kosong bahkan sudah menggenggam erat lengan Sadam. Bibirnya dia gigit kuat-kuat untuk menahan tubuhnya yang tiba-tiba gemetar.
Sadam berbalik, senyum lebar masih tercetak di wajahnya. "Kenapa?"
"Kak Sadam, bisa bantu aku? Aku kangen Mama. Dia pasti lapar sekarang." Zoya menatap Sadam penuh harap.
"Besok saja, besok kita ke sana bawakan Tante Suya makanan. Sekarang sudah malam, Tante Suya pasti udah tidur," ucap Sadam selembut mungkin
Mendengar penolakan Sadam, Zoya semakin mengeratkan genggamannya pada lengan Sadam. Giginya gemeletuk dengan wajah yang memerah. Cengkraman pada rantang berisi nasi dan telur balado itu tak kalah kuat. Zoya ingin membantingnya sekarang.
Namun, sebelum itu terjadi. Sadam segera memeluk tubuh Zoya. Membawa tubuh gadis itu dalam dekapannya. Berharap emosi yang akan meledak kembali terendap.
"Tenang, Iya nanti kita jenguk Tante Suya. Sekarang Zoya tidur ya. Buat Tante Suya juga seneng kalau Zoya sehat." Suara Sadam kian bergetar. Tangannya tak henti mengusap kepala dan punggung Zoya.
Di sini tidak ada yang tahu perasaan Zoya selain Sadam. Tetangga baik hati yang selalu ada untuknya dari dia masih bayi. Sadam juga saksi dari kekacauan hidupnya dan keluarganya.
Di saat dia di bully pada masa anak-anak sebab memiliki ibu yang spesial, di saat dia kehilangan sang ayah yang menjadi korban tabrak lari, dan di saat dia menghadapi ibunya yang semakin hari semakin menjadi.
Teriakan menggelegar, amukan tiada henti, pecahan kaca, dentuman keras akibat barang-barang yang berjatuhan, meja makan dipatahkan, lemari dirobohkan, televisi yang dihancurkan, semuanya! Semuanya lenyap tak tersisakan. Dan Sadam pasti ada di sampingnya untuk menemaninya.
Sadam adalah tetangganya, tetangga baiknya. Zoya sangat bersyukur akan hal itu, namun saat ini dia merasa dirinya merepotkan. Tidak becus menjaga diri saat ibunya diapit warga untuk diungsikan ke tempat yang aman agar tidak mengganggu kenyamanan sekitar.
"Tenang dulu. Mau nginep di rumah Kak Sadam aja?" Tawarnya setelah Zoya meraup oksigen.
Gadis itu menggeleng keras. Tidak boleh! Dia sudah cukup merepotkan. Lagipula, ibunya Sadam tidak terlalu menyukai kehadirannya di rumah mereka. Sudah dimasakin setiap hari saja Zoya sudah bersyukur.
"Baiklah. Sekarang udah tenang?"
Zoya mengangguk, dia melepaskan dekapan Sadam dari tubuhnya.
"Sudah, makasih Kak. Maaf merepotkan Kak Sadam terus. Zoya masuk dulu. Sekali lagi makasih."
Zoya menutup pintunya pelan. Matanya sama sekali tidak menatap wajah Sadam. Zoya tidak mau dirinya makin bergantung dengan laki-laki itu.
….
Paginya, Zoya sudah siap dengan seragam putih abunya. Tas ransel berwarna kuning lengkap dengan kardigan rajut biru membalut tubuhnya. Rambut keritingnya diikat kebelakang menyisakan beberapa helai yang menjuntai menutupi pipi dan kening.
Kakinya melangkah pelan menuju jalan raya untuk mendapatkan tumpangan diikuti 4 kupu-kupu berwarna biru keunguan. Selalu saja seperti ini, setiap paginya kupu-kupu ini seolah teman yang akan menemani perjalanan Zoya ke sekolah, tidak bukan ke sekolah, melainkan hanya sampai ke jalan raya dan nantinya kumpulan kupu-kupu itu akan berbelok ke arah lain. Tidak apa, Zoya tetap senang dengan mereka.
Angkot biasanya lewat pukul 07.00 dan sekarang masih terlalu pagi. Zoya punya Waktu setengah jam untuk menjenguk ibunya. Meskipun hampir setiap hari dia menemui ibunya, tetap saja Zoya selalu merasa kangen.
Setalah membeli dua bungkus roti dengan satu botol air mineral, Zoya melangkahkan kakinya ke rumah tak layak huni di ujung jalan. Setibanya di sana, Zoya menatap getir bangunan rusak itu.
Rumahnya memang sudah rusak, gentengnya saya sudah pada turun, dinding hancur, dan kayu-kayunya sudah dipenuhi rayap. Tapi, masih ada satu ruangan yang masih kokoh. Pintunya juga terkunci rapat, kunci itu dipegang oleh dia dan keluarga Sadam yang dipercaya.
"Mama, ini Zoya," sapa Zoya setelah membuka pintu ruangan.
Gelap, sumpek, bau, kotor adalah kata-yang mampu menyelesaikan betapa buruknya ruangan ini. Tidak ada kasur, tidak ada bantal. Hanya ada lapisan kardus dan kain sarung tipis kumal yang menemani Mamanya tidur.
"Ma, ini Zoya bawa roti buat Mama di makan ya." Zoya menghampiri Suya dan berjongkok di dekatnya. Perempuan itu begitu buruk, tubuhnya kurus dan sangat tidak terurus, kedua kakinya terpasung. Zoya selalu ingin menangis ketika melihat Suya dalam keadaan seperti ini.
Suya menatap putrinya. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Refleksnya hanya tertuju pada roti dan air, Suya dengan cepat memasukan roti itu ke dalam mulutnya. Kasar dan terburu-buru.
"Enak kan Ma, sengaja Zoya milih yang rasa coklat, Mama dulu kan suka coklat." Zoya mengusap air matanya yang tiba-tiba turun. "Mama sehat-sehat ya, Zoya pamit dulu Akh."
Tubuh Zoya di tarik paksa. Cakaran Suya mendarat di leher Zoya. Jeritan dan teriakan yang mengudara membuat Zoya sadar ibunya dalam keadaan kumat. Biasanya pagi-pagi ibunya tidak se histeris ini. Namun sekarang, kenapa dia menyakiti Zoya.
Zoya meringis berusaha memisahkan tubuhnya dari cengkeraman Suya, bibirnya tak henti memohon pada sang ibu untuk melepaskannya. Zoya sama sekali tidak berani untuk memukul Suya. Bagaimanapun dia, Suya tetap ibunya. Dan Zoya tidak mau menyakiti ibunya.
"Zoya mohon lepaskan Zoya ya Ma, Zoya janji setelah Mama sembuh. Kita akan jalan-jalan bareng. Sekarang lepaskan Zoya. Leher Zoya sakit Ma." Suara Zoya terbata-bata dia kehilangan oksigen karena cekik Suya.
Brak..
"Zoya!"
Sadam. Laki-laki itu datang dengan tergesa, berusaha melepaskan cengkraman Suya pada putrinya. Tak kunjung lepas, Sadam mengambil kayu yang ada di sana, melihat itu, mata Zoya membulat, gelengan kuat dia layangkan pada Sadam namun, terlambat. Sadam sudah memukul tangan Suya dengan keras.
"Tidak!" Teriak Zoya. Tidak ada yang boleh memukul ibunya. Tidak boleh!
"Kak Sadam! Gak boleh pukul tangan Mama!" Jeritan Zoya yang tertahan karena rasa sakit pada lehernya, tak mampu membuat Sadam berhenti. Sadam terus melakukan itu sampai cengkraman di leher Zoya terlepas.
Sadam menahan tubuh Zoya agar tidak ambruk, dia juga menjauhkan Zoya dari jangkauan ibunya.
"Lepas!" Zoya meninggalkan Sadam dalam keadaan marah. Amarahnya naik seketika, Zoya ingin menghabisi seseorang, emosinya membludak.
Sadam tidak boleh kecolongan, tatapan Zoya jelas telah berbeda, dalam keadaan seperti ini Zoya tidak boleh berada di keramaian.
Setelah mengunci kembali ruangan Suya yang kini meraung di dalamnya. Sadam segera menyusul Zoya yang berlari ke luar, rambut keritingnya terayun ke sana kemari membuatnya mudah tertangkap netra Sadam.
"Zoya." Sadam menarik tangan Zoya dan langsung ia bawa dalam pelukannya. Tentu saja langkah lebar yang dia miliki membuatnya mudah untuk menyusul Zoya.
"Lapas! Sepaskan aku! Arghh." Zoya kembali mengamuk. Dia pukul dada Sadam berulang kali.
"Tekang, Zoya. Ini aku Kak Sadam. Telangkan dirimu Zoya." Bisik Sadam lemah. Dia sakit melihat Zoya di kala begini.
Lama Sadam menyimpan perasaannya. Dia tahu, seharusnya dia tidak boleh menyukai Zoya apalagi jatuh cinta padanya. Tapi, cinta itu datang dengan sendirinya, Sadam selalu ada di hidup Zoya dan Zoya selalu ada di hidup Sadam. Dan perasaan itu tidak bisa disalahkan. Meskipun Sadam tahu, apa risiko yang akan ia tanggung dengan mencintai anak keturunan penyakit skizofrenia.
….
Setelah Zoya mulai tenang. Sadam membawanya ke rumah. Bukan ke rumah Zoya, melainkan ke tempat tinggalnya.
Sekarang Zoya tengah berbaring di kamar tamu. Sita, ibu Sadam yang membantu menenangkan Zoya hingga dia tertidur pulas.
Zoya tidak jadi ke sekolah, Sadam yang mengizinkan, laki-laki itu juga bolos jam kuliah hanya demi Zoya bisa tenang.
Kini Sadam duduk di pinggir ranjang yang ditiduri Zoya. Wajah Zoya yang damai selalu membuatnya berdebar. Entah apa yang dimiliki Zoya hingga Sadam melabuhkan perasaan padanya.
"Sadam, ikut ibu," pintanya. Namun, Sadam masih bergeming. Tubuhnya mematung tak ingin meninggalkan Zoya seorang diri.
"Sadam!" Pinta Sita sekali lagi. Kali ini dengan nada agak tinggi.
Sadam masih bergeming. Wajah Zoya yang tertidur tak membuatnya peduli akan ucapan Sita.
"Ranggara Sadam Malik!" Kali ini Sita marah. Sita bukanya tidak tahu, selama ini Sadam menaruh perhatian lebih pada Zoya, namun ibu dari satu anak itu lebih memilih untuk menutup mata. Berharap anak semata wayangnya akan sadar dengan sendirinya nanti.
Tapi pagi ini Sita menyadari perasaan anaknya lebih dari yang dia kira. Sadam nekat menyusul Zoya saat tahu anak itu menjenguk ibunya yang gila. Dan sekarang melihat tatapan penuh sayang putranya, membuat perasaan Sita tidak enak
"Ibu," lirih Sadam.
"Hentikan semua ini. Cukup sampai di sini saja. Ibu tidak ingin kamu membawa anak ini terlalu jauh. Keluarga kita sudah cukup membantunya. Giliran orang lain yang membantu. Hentikan semua ini Sadam," mohon Sita.
Sadam mematung, dia terpaksa mengalihkan pandangannya kepada ibunya. "Sadam gak bisa Bu."
"SADAM!"
"Sadam tetap gak bisa Bu," jawab Sadam kembali.
Sita menghampiri Sadam, menyeret kerah anaknya untuk berdiri. "Sadam, kamu sendiri tahu keluarga anak ini seperti apa. Keluarganya hancur, ibunya gila, dan mentalnya remuk Sadam. Dan kamu tahu dia juga sudah mengalami gejala. Sadar!"
"Ibu! Jaga ucapan ibu." Sadam marah. Bagaimanapun Zoya, Sadam tidak bisa menampik perasaannya. Sadam juga tidak terima kalau Zoya dikatai seperti itu.
"Kamu yang harusnya jaga perasaan ibu." Sita mengusap air mata yang jatuh di pipinya. "Ibu tahu kamu mencintainya, tapi Sadam. Lihat, ibunya mengidap skizofrenia, orang-orang memanggilnya gila. Dan dia, gadis itu keturunannya. Bisa saja sewaktu-waktu dia juga akan gil-"
"Berhenti." Sadam memalingkan wajahnya. "Sadam tidak ingin mendengar apapun. Ibu tidak bisa memaksakan Sadam dalam hal ini." Sadam gelisah. Dia tahu, risiko mencintai anak dari keturunan yang memiliki penyakit ini sangatlah besar.
Terlebih, Zoya sudah tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri. Sadam takut apa yang ibu katakan, akan benar-benar terjadi. Sadam takut jika gadis yang dia cintai akan memiliki nasib yang buruk.
Sita melepaskan cengkramannya pada kerah Sadam. Helaan napas pasrah keluar dari hidungnya, tak lupa tatapan kosong namun penuh harap dia layangkan kepada putranya.
"Sadam. Kamu boleh mencintainya. Tapi ibu tidak akan pernah mengijinkan kamu untuk serius dengannya. Selain karena dia bisa saja ikut gila. Ibu juga tidak ingin nanti mempunyai cucu gila!" Setelah mengatakan itu, Sita keluar dari kamar. Meninggalkan Sadam yang mematung menatap kepergian Sita di hadapannya.
"Tante benar, Kak. Kalau kak Sadam mencintai aku, silakan saja, tapi untuk memiliki kak Sadam, aku tidak bisa. Aku sudah siap, kalau nantinya nasib aku akan sama dengan nasib ibu. Kak Sadam jangan sampai menyia-nyiakan hidup untuk perempuan menyusahkan seperti aku. Hiduplah seperti orang normal Kak. Jangan terikat apapun denganku. Aku sayang kak Sadam." Kalimat-kalimat lirih yang Zoya ungkapkan membuat Sadam berlutut di sisinya, Sadam kira Zoya masih tertidur.
Sekarang Sadam tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Yang jelas Sadam tidak mau Zoya menangis untuk kesekian kalinya. Perlahan, Sadam menghapus air mata yang keluar dari kata Zoya.
"Jangan bilang begitu. Mulai besok Zoya berobat ya. Kak Sadam yang tanggung biayanya, asal Zoya mau diobati yaa."
"Jadi Zoya juga sama gila kaya Mama ya kak Sadam?" Pertanya polos Zoya terlontar begitu saja sampai membuat degup jantung Sadam semakin menggila.
"Bukan, bukan begitu. Besok Zoya bakal diperiksa saja. Zoya tenang ya, belum tentu juga Zoya sama kayak Tante Suya. Kak Sadam tahu, Zoya kuat." Sadam mengelus puncak kepala Zoya.
"Lalu Mama?" Tanya Zoya penuh harap. Zoya tidak bisa menerima ibunya terkurung dalam rumah tak layak itu sampai akhir hayatnya.
"Iya, sama Tante Suya juga. Kita ke rumah sakit sama-sama," jawab Sadam. Sudah lama dia mempertimbangkan ini. Dan sekarang sudah waktunya untuk mengambil keputusan.
Meskipun pahit dengan kenyataan, Zoya memaksa untuk menarik kedua sudut bibirnya. "kalaupun memang iya, Zoya tidak masalah, ini pemberian Tuhan Zoya yakin ini yang terbaik buat Zoya. Dan kak Sadam harus ingat, kalau Zoya memang sakit sama kayak Mama. Kak Sadam harus melanjutkan hidup yang semestinya. Gak boleh stuck di Zoya ya. Janji." Zoya mengacungkan kelingkingnya.
Mendengar itu, dada Sadam terasa sesak. Perih begitu mendominasi renung hatinya. Dengan anggukan paksa dan jari kelingking Zoya dia terima, bibirnya bergetar untuk mengeluarkan suara.
"Kak Sadam janji."
Detik itu juga helaan napas Sadam keluar tanpa rasa lega sama sekali. Sadam tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Yang jelas Sadam ingin mengatakan bahwa…
"Zoya, I love you. Bagaimanapun kamu aku akan tetap mencintaimu."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
