
"Dengan hadirmu aku bisa mengenal canda, tawa dan kenyamanan. Karena dengan hadirmu adalah salah satu jalanku untuk bisa merasakan kebahagiaan."
Makna dari sebuah puisi yang aku bacakan ternyata sama persis seperti yang aku rasakan.
Secara tersirat pesan ini aku ungkapkan untukmu Si Penikmat Keterlambatan.
"Ros bawa minum gak?
"Ros bawa masker dua gak?"
"Ros."
"Ros."
"Ros."
Sosok humoris yang susah sekali aku ingat wajahnya. Kini bersemayam di dalam sana tanpa seijin dari sang pemilik.
Aku tidak tahu. Sejak kapan remaja jangkung dengan seringai khasnya ini bisa hinggap dalam pikiranku?
Dan lagi, kapan dia akan pergi dari pikiranku setalah memasukinya tanpa ijin?
Jadi pertanyaannya.
Apa yang terjadi sehingga pikiranku kini penuh akan sosok dirinya?
…
Dia tidak tampan. Gaya rambutnya saja tidak tertata rapi, bahkan cenderung cupu. Hidupnya tidak pernah serius, penuh candaan dan cuek-cuek bebek. Sejauh itu aku mengenalnya.
Hari ini, untuk kesekian kalinya dia terlambat datang ke sekolah. Aku lupa siapa namanya. Memang sesulit itu aku mengingat nama seseorang bahkan wajahnya saja masih terlihat samar alias belum menemukan tempat yang cocok di otakku.
Tepat satu bulan, sekolah sudah menseratus persenkan untuk siswa-siswanya belajar yang sebelumnya hanya dimuat 50% dari jumlah murid.
Kelas begitu berisik. Jam kosong memang sangat ditunggu-tunggu. Selain bisa bergosip. Kita juga bisa main game online bareng-bareng.
"Woi, bawa masker dua gak?"
Dia duduk di belakang tempat aku duduk. Berbisik-bisik dengan teman sebangkunya.
"Nggak. Gue juga cuma ada satu ini," jawab temannya. Nah, kalau temannya ini aku kenal. Dia satu shift denganku shift B waktu sekolah masih 50% dari jumlah murid. Namanya Rial.
"Aduh. Tadi gue dikasih peringatan sama pak Sugen."
"Lo ngapa gak bawa masker coba?"
"Lupa," jawabnya tanpa beban.
"Tah, ke si Rosa. Rosa bawa masker dua gak?"
Masker yang aku bawa lumayan banyak. Lagian kok berani-beraninya dia keluar tanpa masker. Padahal ini kan masih pandemi. Bumi masih belum 100% normal kembali.
"Adanya ini." Masker kesehatan biasa yang sama sekali tidak mengikuti trend.
"Gak papa, makasih ya."
Dia menatapku dengan seringainya. Tapi setelahnya aku lupa, wajahnya sulit sekali diingat meskipun kita satu kelas. Dan mungkin juga itu pertama kalinya kami berinteraksi, tahulah aku tidak peduli.
Kini sekolah sudah memasuki semester dua. Kami siswa-siswi sudah bisa beradaptasi kembali dengan keadaan yang mulai normal lagi. Aku juga sudah bisa mengenal wajah-wajah shift A meskipun tidak semuanya.
Hari ini jam ke 2 pelajaran sosiologi akan segera di mulai. Ibu Ani masuk dengan tas serta berkas-berkas di tengannya. Entah hanya aku yang merasakan atau memang benar. Kalau pelajaran sosiologi lintas minat ini sangat susah sekali untuk dipahami. Aku butuh mengulang beberapa kali hanya untuk bisa memahaminya beda sekali dengan kimia. Sungguh lelah.
".... Anis."
"Hadir."
"Agus..."
"Hadir."
"Algifa Ragas....."
Semuanya hening.
"Di mana Ragas?" Bu Ani bertanya. Aku melirik bangkunya yang tepat berada di belakangku. Baru sadar ternyata anak itu tidak ada di tempatnya.
"Hadir Bu." Di sana di depan pintu, dia sedang mengatur napasnya.
"Huhh...... Pagawean telat si Ragas mah." Teman-teman sekelas menyoraki. Bukanya merasa bersalah ataupun malu. Dia malah senyum-senyum gak jelas. Sudah aku duga juga. Dia terlambat, lagi dan lagi. Peluh Menetes dari dahinya. Pasti cape sekali lari dari gerbang ke kelas ini.
Gak jauh sih, tapi kelas kami ada pada puncak paling atas di sekolah ini, perlu delapan kali menaiki tangga. Lantai dua tapi, tempatnya paling tinggi di antara bangunan yang lain. Bahkan kalau ke luar kelas, pemandangan yang pertama di lihat sungguh menyegarkan mata. Luas sekali.
"Masuk." Bu Ani memang baik. Tapi meskipun baik begitu dia sangat pelit soal nilai. Aku saja dia kasih c saat semester pertama.
Aku melirik ke arahnya. Wajahnya yang putih itu berubah merah. Dia sangat santai sekali. Kalau aku ada di posisinya sudah dag, dig, dug, ini hati. Ya mungkin juga dia sudah terbiasa terlambat seperti ini.
"Bawa minum gak Ros?" Dia berbisik.
Tanpa menjawab, aku langsung memberikan air minumku padanya. Bukan maksud apa-apa tapi, perjalanan ke kelas X IPA 7 ini memang butuh perjuangan.
"Makasih." Aku berbalik untuk mengambil air. Namun, lagi-lagi wajahnya menyeringai. Bukan menyeringai mengejek. Tapi lebih ke senyum mesem. Khas dia sekali senyumannya.
"Ada yang ingin di tanyakan?" Seperti biasa bu Ani akan memberikan kesempatan muridnya untuk bertanya.
"Bu." Murid di belakangku bersuara.
Namun, Bu Ani tidak mendengarnya.
"Bu!" Kali ini suaranya lebih keras.
Perhatian teman-teman juga kini berpusat padanya termasuk aku.
Bu Ani tersenyum, mungkin dalam hati, ‘tumben sekali anak satu ini bertanya.’
"Boleh Ragas, mau tanya apa?"
"Ijin ke toilet Bu."
Satu kelas tertawa. Memang tidak ada yang lucu tapi, cara bicaranya itu loh.
Kadang hanya berbicara dirinya bisa langsung membuat orang lain tertawa. Aneh.
Hah, dasar beser. Baru juga minum, masa mau pipis sih.
Ibu Ani mengangguk.
Kami meneruskan kembali pembelajaran dengan tenang sampai akhirnya berubah gaduh karena gempa kecil begitu terasa di kelas kami yang berada paling tinggi ini.
Aku yang memang panikan kalau masalah gempa karena punya trauma, langsung keluar pertama dari kelas, tidak memikirkan apapun. Teriakan mereka semua, termasuk teriakan ibu Ani saja keluar masuk di telingaku. Di saat yang lain turun entah siapa dia malah naik ke atas dan tidak sengaja berbenturan denganku.
Tidak memikirkan hal lain selain harus menuruni tangga ini. Aku tidak peduli dengan kaki kanan yang terkilir. Terus di seret sampai tiba di bawah, di depan kelas X IPA yang lain. Mereka semuanya juga berhamburan ke luar.
Gempa keduanya lumayan besar. Tapi untung saja bangunan ini cukup kuat.
Sampai di bawah baru aku rasa kalau kaki yang terkilir ini lumayan nyut-nyutan. Aku duduk di lantai keramik putih. Meluruskan kaki dan memijat pergelangan yang terkilir.
"Kamu gak papa Rosa?" Indria bertanya. Mungkin dia melihatku terkilir tadi.
"Gak papa, tadi cuma terkilir sedikit. Sebentar lagi juga sembuh."
'iya lumayan juga gempanya.'
'tuh, kan kata aku ge tadi teh gempa bukan suara mobil.'
'sumpah guys aku sama sekali gak inget apa-apa kecuali hp sama pulpen.'
"Udah anak-anak. Kita kembali ke kelas ya." Ibu juga terlihat masih syok. Tapi mau gimana lagi kelas kita yang memang di atas jadi kalau ada gempa memang paling terasa.
"Kuat berdiri?" Indria membantuku berdiri. Pril, teman yang satuku lagi juga membantu.
"Kuat kok. Makasih ya." Aku harus sadar diri. Badan gemuk kaya gini siapa yang mau ngangkat kalau gak naik sendiri. Lagian cuma terkilir doang kok. Gak sampai patah.
'Tringggggg.'
Kelas hening. Mereka semua keluar kelas untuk mencari makanan. Jam segini emang lagi lapar-laparnya.
Aku bawa bekal hari ini jadi aku lagi nunggu Indria dan Pril yang lagi jajan buat makan bareng.
"Ros."
"Hemm.." Dia memanggilku. Siapa lagi kalau bukan si Ragas. Gak tahu dia mau minta masker lagi atau air lagi.
"Lo tadi yang pertama turun?"
"Apa?" Tanyaku tidak paham.
"Tadi kamu yang paling dulu turun pas gempa bukan? Kakinya gak papa?" Dia melirik kaki kananku yang sudah aku lepas sepatunya.
Aku menyernyit.
"Maaf ya, tadi gue yang naik."
Pantas saja. Jadi dia yang malah naik di saat orang lain turun? Jadi harusku apakan bocah satu ini yang sudah membuat aku pincang sebelah?
"Iya gapapa." Ya sudahlah. Gak perlu diapa-apain. Toh udah terjadi ini.
Semester akhir sudah tiba. Kami para siswa-siswi baru saja menyelesaikan Penilaian akhir semester berbasis online.
Tapi tetap saja mengerjakannya di sekolah dengan guru pengawas yang super kiler tapi masih ada yang bisa ngintip google karena nakal gak pake aplikasi malah scan di chrome dan anehnya bisa gak ketahuan. Kan gak adil ya.
Sebenarnya bisa saja aku melakukan hal yang sama. Namun, rasnya kurang puas saja saat nilainya bagus tapi hasil mikir Mbah Google.
Kini saatnya class meeting di mulai. Para OSIS sibuk menyipkan acara. Berbagai lomba sudah tertera di Instagram sekolah. Tidak ada lomba balap karung,makan kerupuk, tarik tambang dan sebagainya. Ternyata sekolah di sini lebih condong untuk mengembangkan bakat siswanya.
"Rosa," panggil Indria dengan roti rasa cokelat di tanganya.
"Hah?" Aku cukup terkejut. Rupanya sedari tadi aku sibuk memandangi formulir pendaftaran lomba untuk class meeting tahun ini. Semuanya masih kosong belum terisi satupun.
"Mau gak?" Dia bertanya. Diikuti Pril yang baru saja datang habis dari kamar kecil.
"Enggak dulu deh."
"Guys!!!" Rindu berteriak dari luar. Dia berlari mengumpulkan penghuni kelas yang sepertinya untuk membahas tentang lomba ini. Bisa di bilang Rindu ini salah satu anak yang aktif di kelas.
"Ayo, yang ikut futsal mau siapa aja nih?"
Satu persatu kolom formulir sudah terisi. Kecuali futsal dan menulis Cerpen. Sialnya di kelas kita tidak ada yang ikut eskul futsal selain Adri.
Satu hal yang aku heran. Rupanya anak yang duduk di bekangku itu ikut mengangkat tanganya untuk bermain futsal.
Setahuku selama ini dia hanya suka musik terutama gitar. Obrolan di kelas juga tidak jauh dari gitar, gitar dan gitar. Dari mana aku tahu? Lah, dia kan duduk persis di belakangku, telinga ini masih cukup normal untuk mendengarkan obrolannya.
"Cerpen belum ada nih. Siapa yang mau ngisi?"
Jujur, aku suka menulis. Namun, aku belum bisa menulis. Mungkin ini jalan dari Tuhan agar aku bisa mencobanya. Kenapa tidak?
"Aku ajalah Rindu?" Saranku agak ragu.
"Ouh, boleh." Dan akhirnya namaku tertera di salah satu kolom formulir.
Hari yang di tunggu telah tiba. Hasil rapat bagan futsal kemarin menyatakan bahwa kelas kita yang pertama kali main melawan XI IPA 2. Double sial karena kelas tersebut hampir semuanya anak futsal.
"Ayo!!!! Semangat!"
Usai pembukaan yang meriah dari penampilan Drumband SMA ini plus colab sama anak ikatan pencak silat (IKPS) kini di mataku hanya terpaku pada satu sosok. Rupanya anak itu juga lumayan jago futsal. Yah, meskipun kelas kita juga ujung-ujungnya kalah.
Mereka semua menghampiri kami. Lihatlah wajah-wajah penuh kekesalan itu, jangan lupakan juga Zat sisa berbentuk keringat itu menetes di setiap kulit. Siapa suruh gak pernah latihan dan langsung main gitu aja tanpa persiapan. Mereka mengambil minuman dari dalam boks dekat aku duduk. Satu persatu teh botol itu kini pindah ke tangan mereka.
"Ada yang lihat PMR gak?" Adri bertanya. Keringat bercucuran di wajahnya. Menengok ke sana kemari mencari anak PMR.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Ini si Ragas lututnya berdarah."
And yeah! Itu satu-satunya tragedi yang aku ingat saat lomba cerpen telah di mulai dengan tema class meeting tahun ini. Cerpen yang berjudul 'Tanpa Ancang-Ancang" yang beraninya aku tulis dengan tokoh utama dirinya. Aku tidak tahu. Kenapa yang aku tulis adalah sosok dirinya. Sosok humoris yang hampir setiap hari membuat kelas kami tertawa.
Jujur, aku ingin berterima kasih padanya. Karena dirinya, aku bisa menyelesaikan cerpen itu dengan baik dan mendapatkan juara satu meskipun itu bukan tingkat apa-apa.
Dan mungkin itu juga yang membuaku menempatkan ketertarikan padanya. Tapi tunggu. Bukankah aku sudah merasa terhibur akan kehadirannya di dalam kelas selama ini? Jadi ini mungkin hanya perasaanku saja. Aku tidak tertarik padanya tidak sama sekali!
Tahun ajaran baru sudah di mulai. Kini kami menginjak kelas XII. Namun, masih dengan penghuni yang sama. Sekolah kami memang begitu, 3 tahun full bersama orang yang sama.
Dengan keadaan sekolah sudah kembali normal. Kegiatan sekolah juga kembali padat. Kami siswa-siswi diwajibkan datang paling lambat pukul 06.30 dan pulang pukul 15.30
Sekolah ini juga menerapkan sistem poin setelah sekian lama berhenti akibat pandemi. Jadi setiap siswa yang melanggar aturan, salah satunya adalah terlambat. Maka poinnya akan dikurangi.
Sekadar info saja. Setiap murid hanya memiliki 100 poin saja. Dan jika itu berkurang. Apalagi sampai habis. Siap-siap saja ditendang keluar.
Tentu saja hal tersebut sangat sulit kami lakukan dan harus beradaptasi dulu usai pandemi ini.
Dengan kedatangan kepala sekolah baru. Sebagian kelas tengah direnovasi. Dan kelas kami salah satunya. Akhirnya kami diungsikan dan terdampar di masjid sekolah. Sungguh kasihan sekali. Mana sinyalnya lemot lagi, Tapin untunglah dekat dengan kamar mandi.
Oh iya. Ngomong-ngomong masuk pukul setengah tujuh itu. Bagi aku yang rajin ini saja terasa lumayan sulit, gimana sama dia yang notabennya suka terlambat?
Yeah! Setiap hari dia terlambat! Tapi anehnya dia selalu lolos dari gerbang. Entah dia punya jalan rahasia tau gimana. Tapi yang jelas. Dia selalu datang paling akhir.
Contohnya sekarang. Mata pelajaran bahasa Indonesia tengah berlangsung. Ibu Evi tengah menjelaskan bagaimana caranya menulis teks prosedur dengan baik dan benar.
"Jadi, Teks Prosedur ini sering menggunakan kata-kata imperatif atau kata-kata yang memerintah. Seperti gunakan, tuangkan, dinginkan dan lain sebagainya, nah,-"
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam." Kami serentak mengalihkan perhatian pada pintu mesjid. Di sana, dia dengan santainya menunggu untuk dipesilahkan masuk oleh ibu Evi.
"Masuk." Ibu Evi menutup buku paket berwarna kuning bertuliskan Bahasa Indonesia itu, "A sini sebentar!"
Dia mengangguk.
Aku tidak tahu apa yang ibu Evi bicarakan. Ibu Evi membisikan sesuatu yang sepertinya panjang kali lebar. Karena jam pelajaran Bu Evi memang selalu jam pertama. Otomatis dia tahu kalau si Ragas ini sering terlambat.
Di lihat dari wajahnya sih, dia agak berubah. Yang tadinya santai kini agak sedikit menegang. Kira-kira apa yang ibu Evi katakan dengan waktu hampir 7 menit secara berbisik? Tapi bagus juga.
Mungkin dengan ini dia bisa lebih disiplin dan tidak terlambat lagi.
Setelah selesai mendapatkan ceramah dari Bu Evi. Sekarang dia duduk di paling belakang tapi, bukan di belakangku lagi karena sekarang perempuan dan laki-laki di pisah sebab lesehan. Bahaya'kan kalau kita nulis dan di belakang ada laki-laki.
Dia sempat melirik ke arahku sekilas. Namun, aku malah membuang muka.
"Baik jadi ibu akan akhiri saja materi kali ini karena ibu rasa sudah cukup. Untuk tugas kali semua membuat karya, ya. Karena belajar dengan ibu harus membuat satu karya dari setiap materi. Kalian semua harus membuat teks prosedur, boleh dalam bentuk tulisan di ketik dengan ukuran kertas A4, boleh dengan bentuk audio atau video yang dikumpulkannya melalui Drive satu kelas. Dikumpulkan Minggu depan. Ada yang mau di tanyakan sebelum ibu tutup?"
"Cukup Bu."
"Baiklah. Terima kasih wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Dan entah kenapa lagi. Untuk tugas kali ini bahkan aku juga dengan berani-beraninya menulis tata cara agar tidak terlambat ke sekolah, dengan judul CARA JITU AGAR TIDAK TERLAMBAT KE SEKOLAH. Apa ini hanya sebuah kebetulan belaka? Atau aku memang sengaja menulis ini hanya untuk dirinya yang sang penikmat keterlambatan?
Aku tidak mengerti. Sekarang apa-apa yang aku lakukan sepertinya tidak lepas dari dirinya. Bahkan sampai topik tugas sekalipun.
"Yeuh, itu punya si Rosa. Malah diminum gitu aja." Nara si kompor kelas menyeletuk. Aku melirik botol minumku yang yang isinya tinggal setengan ada di tangan laki-laki jangkung ini.
"Yaelah. Gak papa kan ya Ros?" Bibirnya menyeringai mesem. Dia bertanya dengan alis terangkat. Biasanya kedua matanya menyipit saat tersenyum. Namun, sekarang malah sebaliknya.
Sudah tebak'kan siapa yang minum?
"Hhmm."
"Tuh kan gak apa-apa. Sewot aja Lo."
Mata pelajaran bahasa Indonesia kini sudah di mulai kembali setelah beberapa Minggu kemudian. Kali ini kita hanya mendiskusikan sesuatu. Bu Evi merencanakan untuk kelas kita suapaya ada yang bisa tampil untuk mengisi acara literasi bersama di setiap hari kamis. Ini salah satu kegiatan yang sekolah kami adakan.
"Siapa yang mau dan berani tampil berpuisi?"
"Saya Bu!" Aku menjawab lantang. Sungguh. Aku sangat ingin tahu rasanya berpuisi di depan umum. Meskipun mic adalah musuhku tapi aku ingin sekali berpuisi.
"Boleh sayang. Sini sebentar." Bu Evi membuka buku kumpulan puisi miliknya yang berwarna pink, " Nah ini ada puisi berjudul DIPONEGORO karya Chairil Anwar. Karena masih suasana 17 Agustus, masih cocoklah ya, kalau membawakan puisi ini. Gimana bisa gak sayang?"
Bu Evi memang lembut sekali kalau menjelaskan sesuatu.
Aku mengangguk. Meskipun ini sulit tapi aku ingin mencoba.
"Siapa lagi?" Tanya bi Evi lagi.
"Saya buk." Rindu mengangkat tanganya, Fidah juga. Katanya mereka mau berpuisi berdua.
"Boleh. Atau gini aja di sini siapa yang bisa main gitar?"
Aku yang tadinya fokus memahami isi puisi kini menatap ke depan. Dia dengan seringai khasnya sudah berdiri di depan sana. Berdiri dengan kedua tangan di belakang badan.
Teman-teman yang lain juga sempet heboh. Ya, karena mereka tahu kalau si Ragas ini emang jagonya main gitar.
"Nah bagus. Kalian bisa bermusikalisasi. Gimana?"
"Bisa Bu!" Rindu menjawab mantap.
Tak teras tanganku mengepal. Jujur setiap hari jika di rumah aku selalu ingin duet sama si Ragas ini. Tidak tahu kenapa tapi, sekarang yang duet dengan dia malah mereka berdua alias Rindu dan Fidah. Ya, meskipun itu bukan nyanyi tapi, setidaknya mereka bakal ngerasain duet sama dia.
Gak apa-apalah.
“Nah sekarang kalian tinggal cari aja puisinya. Terus nanti kirim lewat pesan ke ibu ya, ini jam pelajaran ibu sudah berakhir. Ibu pamit.”
"Ada yang mau ditanyakan?"
"Ibu! Tunggu sebentar." Aku menahan ibu. Jujur puisi ini terlalu berat untuk bawakan, "ibu maaf, boleh tidak saya mengganti puisinya. Jujur ibu ini terlalu sulit untuk saya yang masih amatir."
"Oh! Boleh sayang. Apa aja yang penting kalian nanti hari Kamis tampil. Maaf ya ibu tadi maksa kamu." Wajah Bu Evi berubah. Dia merasa bersalah.
"Iya gak Apa-apa ibu. Makasih ibu. Oh iya, kita tampil Kamis sekarang?" Tanyaku agak ragu.
"Iya! Masih ada waktu satu hari untuk latihan. Sudah ya nak. Ibu harus ke ruang guru sekarang."
Kamis? Kamis sekarang? Gila!!! Ini benar-benar gila! Sekarang sekarang Selasa. Dan kami harus tampil hari Kamis? Ini mimpi buruk. Aku pikir akan tampil kamis depan.
Kini aku sibuk mencari-cari puisi yang aku akan bawakan saat hari Kamis nanti. Sempat stres saat jam istirahat, mana sinyal di sini lemot banget lagi tapi, akhirnya bisa aku temukan juga.
Namun ini musikalisasi puisi jadi aku berikan saja pada Rindu dan Fidah yang ingin tampil musikalisasi puisi. aku bingung. Aku belum menemukan puisi yang cocok.
"Ragas." Aku memanggilnya. Mungkin ini panggilan pertama kalinya yang aku ucapkan.
"Puisinya ini, aransemennya seperti ini. Bisa gak?" Aku memberikan ponsel kepadanya.
Dia mengambil ponselku. Mengeraskan sedikit volume dan mendekatkannya ke telinga. Dia juga duduk di tempat yang agak sepi terlebih dahulu. Entah untuk apa itu. Padahal kan tinggal dengar saja.
"Oke bagus!" Mengembalikan ponselku. Dia tersenyum. Lebar sekali. Salah satu jempolnya terbangun. Entah kenapa aku juga ikut tersenyum.
Waktu pulang sekolah tiba. Aku tengah memakai sepatu dekat pintu masjid. Merasakan angin-angin menerpa wajah. Hampir semua murid sudah pulang. Sengaja aku pulang terakhir. Sekalian nunggu parkiran kosong. Motorku parkir di paling depan.
"Ros."
"Ya."Aku menoleh.
Ragas. Rupanya anak itu juga baru memakai sepatunya.
"Besok gue bawa gitar. Nanti malam kirim teks sama voice notenya ya." Setelah mengatakannya dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku. Dia menyuruhku merekam suara? Saat aku berpuisi? Oh ayolah itu bukan hal yang sulit.
"Hah? Oh, oke."
Pulang sekolah aku tidak makan. Melainkan malah berlatih berpuisi. Dua puisi aku latih sekaligus. DIPONEGORO karya Chairil Anwar puisi perjuangan yang aku pikir untuk mencobanya dulu. Ternyata puisi itu cukup berat. Aku harus mengeluarkan suara lebih ekstra untuk mencapai intonasi yang bagus, kata Bu Evi puisi ini harus di baca dengan suara perut dan bayangkan seolah-olah Diponegoro ini hadir dalam diriku. Dan yang kedua adalah puisi berjudul HADIRMU karya AA HAMDANI untuk musikalisasi puisi, menurutku ini lebih gampang. Aku hanya perlu melembutkan suara dan membayangkan seolah-olah aku sedang jatuh cinta.
Entah kenapa aku mau saja mencoba membacanya. Padahal aku tidak akan menampilkan musikalisasi puisi.
Malamnya aku kirimkan puisi berjudul HADIRMU ini yang sudah aku tulis dalam selembar kertas. Tulisan layaknya ceker ayam itu ternyata tidak buruk juga.
Suaraku juga sudah aku rekam dalam sekali rekaman tanpa mengulang-ulang tapi, saat ingin mengirim voice notenya aku tanya dulu. Harus kirim sama voice notenya atau gak usah. Dia hanya jawab.
"Kirim."
Ternyata dia dingin kalau di chatan hmm. Okelah aku langsung kirimi saja.Tidak berpikir panjang dan tidak memikirkan responnya.
"Oke. Nanti pasin lirik sama temponya. Kasih tahu sama yang mau baca."
Aku jawab, "sip, tapi kayanya gue gak ikutan soalnya banyak yang mau tadi."
Aku tidak bohong. Saat Bu Evi bilang kelas kita harus tampil bermusikalisasi puisi banyak yang mau tampil. Tapi aku tidak tahu. Itu beneran atau tidak.
Aku bilang seperti itu karena takutnya dia salah paham kalau aku juga ikut tampil musikalisasi karena aku yang cari puisinya juga.
Paginya aku memulai hari seperti biasa. Jujur agak deg degan karena besoknya aku mau tampil berpuisi.
"Rindu, Fidah udah siap-siap belum. Besok kalian kan tampil. Puisinya sudah aku kirim sama kalian."
"Besok?" Mereka menjawab serentak. Saling pandang dengan wajah panik.
"Jangan besok. Kalau bisa Minggu depan ya lagi aja. Kalau besok kita mh gak ada persiapan." Rindu berpikir.
"Lah , aku kira kalian udah tahu. Tapi kata ibu harus besok. Kita diminta tampilnya juga Kamis besok bukan Kamis depan. Terus gimana?"
Mereka gak jawab dan kembali sibuk ke dunianya masing-masing. Aku kesal! Pas ada ibu saja mereka semangat cari muka. Giliran sekarang pada gak siap.
Kalau kelas kita gak tampil kan malu juga sama ibu Evi. Kita sudah sepakat setuju untuk tampil tapi habis itu gak jadi gitu aja? Mau di taruh dimana wajah XI IPA 7 ini?
"Rindu gimana?" Sudah berapa kali aku tanya. Ini entah pertanyaan yang berapa kali aku lontarkan.
"Aku gak siap kalau besok tapi, kalau minggu depan insyaallah aku siap."
"Fidah?" Tanyaku pelan. Menatap wajahnya yang sama persis dengan ekspresi Rindu.
Oke fiks mereka mundur. Terus sekarang gimana? Aku harus apa sekarang. Ikut ngundurin diri juga? Hah, bukan tipeku sekali.
Aku menghampiri Regi calon ketua OSIS yang tengah membersihkan tempat wudhu dengan langkah gontai. Kebetulan sekali Ragas juga ada di sana lagi piket. Tumben sekali dia rajin.
"Gimana Rosa, jadi gak katanya?" Regi sudah tahu apa yang terjadi.
Aku menggeleng.
"Gimana Ros? Siapa yang jadinya." Dia ikutan bertanya. Tangannya memegang serokan. Berdiri di lantai licin penuh air.
"Mereka pada gak siap besok. Kalau kita berdua aja gimana?" Sungguh, usulan bodoh yang aku tawarkan. Apa gak kelihatan kalau ini salah satu cara buat bisa ngerasain duet sama dia?
"Nah iya. Soalnya kelas kita terlanjur bilang siap. Jadi sekarang yang udah benar-benar siap aja yang tampil."
Dia berpikir. Lucu sekali alisnya saat mengkerut. Hentikan Rosa! Sudah gila kamu?
"Tapi gue gak bawa gitar, buat latihan."
Double kill. Gak tahu gimana lagi. Padahal kemarin janji mau bawa gitar buat latihan. Dasar tukang cari alasan!
"Gimana atuh?" Aku panik. Bener-bener gak bisa mikir apapun. Otakku buntu. Skak di sana tanpa bisa mikir lagi.
"Okelah, tenang nanti kita latihan pulang sekolah. Kalau gak jadi juga asal di wa aktif aja." Setelahnya dia nyelonong pergi gitu aja. Bahkan piketnya saja belum selesai.
"Ragas! Coba itu?"
"Udahlah turutin aja." Jawab Regi santai. Dia kembali pada pekerjaannya membersihkan keramik tempat wudhu.
"Udahlah turutin aja," jawab Regi santai.
Jam ke 5-6 ternyata gurunya tidak masuk. Namun, ada beberapa tugas yang harus di kerjakan. Jujur, aku sama sekali tidak bisa fokus hari ini. Pikiranku hanya terisi puisi, puisi, dan puisi.
Tidak menentu, tidak pasti. Sekarang harus gimana? Besok kita harus tampil. Tapi mereka semua mundur begitu saja?
"Bagusnya nanti setelah puisi pakai lagu. Mantep gak tuh."
Tiba-tiba dia menyeletuk.
Idenya bagus sih. Tapi ini cara literasi. Masa ada nyanyiannya sih? Tapi masuk akal juga. Literasi'kan bukan hanya sekadar membaca dan menulis. Literasi itu luas.
"Ros, nanti kita latihan di studio gue!"
Cukup kaget dengan tawarannya tapi gimana lagi ini bener-bener mendesak. Aku juga tidak tahu di mana studionya. Tidak memikirkan apapun sekarang yang jelas bagaimanapun caranya kita harus latihan!
Ini mepet sekali.
"Oke!"
"Ciee dua-duaan." Nadia nyengir kuda dengan lollipop di mulutnya, "Heh Ragas. Gue ragu Lo bisa Dateng ke sekolah jam setengah tujuh," tambahnya.
Aku baru ingat. Lawan duetku ini tukang terlambat. Gimana mau tampil kalau ke sekolah saja setelah kegiatannya berakhir?
Selama ini dia sering terlambat sedangkan acara literasi ini di mulai pukul setengah tujuh dan berakhir saat jam tujuh.
"Bener tuh. Jangan sampe Lo terlambat Gas! Jangan kecewakan kita." Regi ikut menimpali.
"Tenang aja," jawabnya meyakinkan.
"Awas aja kalo Lo telat." Nadia mengarahkan jari telunjuknya pada leher, memberikan gerakan menyayat.
Namun tidak diacuhkan oleh sang sasaran. Dia mengalihkan pandangan dan fokus lagi ke bukunya.
"Tapi malu gak ya. Nanti gue atur lah jadi cuma kita berdua aja yang di studio," ucapnya lagi dengan enteng. Namun, posisi tubuhnya tidak berganti. Masih duduk membungkuk nulis di lantai mesjid.
Namun, tidak bagiku. Ucapan itu malah membuatku deg-degan. Tonglah di saat seperti ini jangan sampai ada kata baper. Aku sangat mohon.
Setelah konfirmasi ke bu Evi ternyata boleh sekalian nyanyi juga. Dia jadi tambah bersemangat.
Tapi sayang. Rencana kita mau latihan di studio ternyata tidak jadi alias gagal. Di sekolah sudah ada gitar ya, meskipun itu dari eskul seni musik dan perlu usaha lebih untuk mendapatkannya, kata Regi pembinanya agak galak. Syut jangan bilang-bilang. Untung saja di kelas ini ada Regi yang lumayan berperan penting di organisasi.
Harusnya aku bahagia karena tidak jadi latihan di studio nya yang mungkin banyak teman-temannya tapi, aku agak sedikit kecewa karena gagal latihan hanya berdua dengannya.
Kami satu kelas berkerumun di depan masjid. Yakali main gitar di dalam mesjid.
Kami menyaksikannya yang sibuk memetik gitar. Aku sempat terpana. Tapi hanya sempat loh, ya bukan terpana beneran.
"Wiss!!! Keren Lo Gas." Diko menepuk bahunya.
"Yoi. Kalau ini diliat sama pak Iyas Lo bakal direkrut sama dia."
Seperti biasa. Respon yang dia berikan hanya senyum mesem dengan mata menyipit.
Aku kesal. Bukanya dipakai untuk latihan. Gitar ini malah dipakai nyanyian satu kelas. Tapi tak apa, itung-itung menabung kenangan kebersamaan yang selama ini pada fokus main hp. Sekarang kita semua menyanyi menikmati kebersamaan. Lebih tepatnya mereka.
Aku hanya diam memandang kertas lecek dengan pikiran berkelana. Apakah aku memang sudah siap tampil besok? Entahlah.
Untung saja Regi peka. Mungkin dia melihat wajahku yang tidak bersemangat.
"Ayo latihan dulu. Nyanyi-nyanyinya bisa nanti."
"Iya, sok atuh."
LKami latihan dua kali. Dia sempat grogi, main gitarnya kacau. Apalagi aku tapi, aku masih bisa mengontrol diriku ini. Duduk di deketnya meskipun tidak terlalu bersebelahan ternyata seperti ini rasanya.
Setelah selesai mereka semua bertepuk tangan. Mereka semua memberikan kita semangat. Semangat yang sangat mendukung mental kami untuk tampil di depan umum.
Untuk Rindu dan Fidah aku sudah meminta ijin dulu kalau yang siap tampil hanya aku dan Ragas apa boleh kami berdua saja yang tampil musikalisasi puisi?
Dan yeah, mereka membolehkan. Mau gimana lagi, mereka gak siap'kan?
Di perjalanan menuju parkiran aku melihat dia dengan tas hitam bertali merah. Hidupnya santai sekali. Langkahnya ringan seolah tanpa beban. Dia tidak pernah membawa motor ke sekolah. Mungkin dia sedang menunggu temannya.
"Ragas," panggilku.
Dia menoleh. Jangan lupakan senyum mesennya itu.
"Eh Ros. Apa?"
"Nanti tolong kirim aransemen gitarnya aja ya!"
“Siap.”
Malamnya. Jujur aku sama sekali tidak istirahat, mulut ini tidak berhenti berlatih. Entahlah. Refleks saja mengulang bait demi bait puisi. Aku berdiri di depan cermin dengan toner berwarna pink di tanganku yang sekarang beralih fungsi menjadi mic.
Ternyata membuat ekspresi penghayatan susah sekali. Apalagi ini tentang cinta. Jujur saja aku sama sekali belum pernah merasa jatuh cinta.
Sial sekali. Dia baru mengirim aransemennya pukul 10 malam yang mana aku sudah mengantuk berat menunggunya tapi, aneh sekali.
Sekarang kantuku hilang dan malah memutar aransemen yang dia kirim berulang kali.
Tidak hanya atan aransemen, dia juga membacakan puisinya di beberapa tempat masuk. Sungguh, suaranya begitu lembut. Tidak tahu harus gimana yang jelas aku meleleh dan lupa kalau besok waktunya tegang menegang.
'Besok jam 6 harus ada di sekolah! Kalau bisa kurang dari jam enam ya, kita pematangan dulu sebelum tampil!'
Sebuah pesan darinya. mungkin ini sebuah anugerah yang dia alami. Kurang dari jam enam harus ada di sekolah? Harusnya aku yang bilang begitu. Dia datang ke sekolah aja datang jam 7. Gimana ini yang kurang dari jam 6 pagi!
Semangat sekali dia. Aku ragu. Jadi aku jawab, "janji ya?"
'janji!'
Oke dia sudah janji, berarti besok sudah aman. Meskipun masih ragu. Tidak apa-apa percayakan saja padanya.
Sekarang aku malah tertidur dengan petikan gitar serta puisi darinya. Seolah-dia memainkan gitar itu hanya untuk diriku sendiri. Tidak ada yang lain.
Paginya aku bangun pukul 04.00 karena rumahku yang lumayan jauh dari sekolah, aku akan berangkat pada pukul 05.20 perjalanan menuju sekolah kurang lebih 45 menit. Dengan tubuh terlapisi jaket tipis, dingin sekali.
Awan masih gelap. Jalanan begitu lenggang. Ruko-ruko di pinggir jalan dengan lampu masih menyala, aku baru saja menemukan suasana baru. Meskipun tidak terlalu sunyi dan tidak sepenuhnya jalanan ini aku kuasai sendiri. Namun aku rasa perjalanan menuju sekolah kali ini cukup menenangkan.
Perasaanku tak menentu, apalagi saat sudah dekat sekolah.
Membayangkan akan tampil di depan seribu siswa lebih tentu saja membuat jantungku berdetak kencang.
Parkiran masih kosong. Belum ada yang datang di sekolah kecuali pak satpam. Perasaanku sudah tidak enak. Dia ternyata belum datang. WhatsAppnya juga tidak aktif. Sekarang sudah pukul 06.00
Katanya mau latihan sebentar tapi ini, sampai sekarang dia belum datang?
Terpaksa aku telpon dia.
Tersambung tapi tidak dia angkat.
Nah akhirnya di angkat juga.
"Halo!"
"Halo!"
Lah, kok suara perempuan. Aku melirik lagi kontak yang aku hubungi. Benar kok ini no nya dia. Tapi yang angkat kok perempuan. Dengan hati ragu aku kembali berbicara. Pikiranku melayang begitu saja memikirkan dia tidur dengan seorang wanita muda. Kalau suara ibunya mana mungkin seperti ini.
Aku mengambil napas lalu menghembuskannya. pandangan mataku kini mengitari lapangan luas dan panggung teater sekolah. Memegang dada dengan perasaan campur aduk.
Ragu-ragu aku kembali bicara.
"Ragasnya ada?"
"Ragasnya ada?"
Lah, ini suaraku ternyata. Servernya eror. Dasar bikin orang overtingking aja.
Kedua sudut bibirku tertarik. Namun, sedetik kemudian berubah menjadi kesal. Aku kembali menghubungi nomor Ragas.
Kali ini tidak eror. Dia menerimanya di sana.
"Halo Ros. Sori gue gak ada motor. Teman gue gak tahu di mana."
Sial! Terus sekarang gimana. Aku ingin mengangis.waktu juga udah mepet.
"Yaudah rumah Lo di mana? Biar gue jemput sekarang!"
Aku tidak tahu. Yang aku lakukan benar atau tidak. Ternyata dia tidak bisa menepati janjinya.
Bukannya menjawab. Di sana malah hening. Aku juga ikut diam menunggu jawabannya.
"Gak usah. Ini temen gue udah di jalan katanya. Tungguin Ros!"
‘pip’
Hah, aku meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Saking paniknya aku tidak geli sama sekali saat ada ulat di kerudungku. Aku singkirkan dengan tangan kosong. Jangan sampai aku bunuh kamu ulat karena sudah membuatku tambah kesal.
"Rosa. Ayok ke teater. Mana Si Ragas?" Regi, sudah siap dengan jas osisnya. Dia yang menyiapkan semuanya untuk penampilan kami seperti meminta ijin suapaya kami tampil terakhir untuk memeriahkan acara dia juga yang memasang kabel-kabel yang diperlukan.
"Masih di jalan."
"Yaudah, yok, kita duluan aja."
Aku mengangguk. Mengikuti langkahnya ke arah teater sekolah. Regi ini jauh berbeda dengan Ragas. Dia disiplin dan sudah pasti pintar serta aktif di sekolah. Sedangkan Ragas? Dia bisa apa. Di kelas juga kerjaannya tidur. Kalau gak tidur ya main musik lewat hp.
Tapi aneh saja. Kini dia tak luput dari perhatianku. Rasnya ada magnet dalam dirinya sampai-sampai mataku selalu melirik ke arahnya jika ada kesempatan.
"Tunggu aja di sini. Gue mau ngibarin bendera dulu. Jangan panik."
Regi menepuk pundakku. Seolah meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Iya."
Aku duduk di panggung teater. Melihat sekeliling sudah ada beberapa siswa yang datang dan dia belum datang juga.
Perasaanku makin panik. Tanganku yang dingin tiba-tiba berkeringat.
Aku terus melirik ke arah gerbang menuju parkiran motor. Beberapa motor melaju menuju parkiran. Tapi bukan dia. Orang yang aku tunggu belum datang juga.
Aku mengalihkan pandangan. Sibuk mengontrol diri agar tidak panik karena dia belum datang juga.
Ternyata dia datang. Dia turun tergesa dari motor dengan gitar di gendongannya. Berlari secepat kilat menuju arah teater tempat aku duduk dengan sebuah buku puisi yang sudah aku hias.
Aku baru sadar. Ini pertama kalinya dia datang tepat waktu setelah sekian lama selalu terlambat. Dia serius. Dia tidak pernah datang sepagi ini. Aku tahu itu karena aku selalu memperhatikannya.
Rambutnya ikut terbang ketika dia berlari. Situasi yang tidak bisa aku kabarkan. Namun pasti sulit aku lupakan.
Seolah waktu begitu lambat saat dia berlari. Angin meniup geli demi helai ujung rambutnya.
"Ros maaf!"
Aku menggeleng, "tarik napas dulu."
Dia mengatur napasnya.
"Ayo latihan sebentar." Dia mengeluarkan gitarnya. Mengencangkan beberapa senar yang aku sendiri tidak paham.
"Gimana?" Tanya temannya. Dia baru saja datang usai memarkirkan motornya. Sama juga keadaan Ragas yang duduk dengan napas memburu sambil fokus dengan gitarnya. Namun bedanya sahabatnya ini jongkok.
"Alah, Firgo ini gak bisa di kencengin." Dia memutarkannya lebih kencang.
'Brett,'
Satu senarnya putus. Kami bertiga terdiam. Hening beberapa saat. Bingung mau ngapain. 15 menit lagi kita mau tampil dan senar gitarnya malah putus. Bolehkan aku menangis?
Tidak! Ini bukan waktu yang tepat.
"Aduh.. di mana yang jual senar jam segini," lirihnya. Sangat putus asa.
Temanya si Firgo-Firgo itu malah yang lebih panik daripada kami, "sumpah Gas gue gak ngoprek sama sekali gitar Lo." Dia mengangkat kedua tangannya.
"Udah tenang." Aku berusaha mengontrol diri. Jangan sampai terbawa panik.
“KEPADA BENDERA MERAH PUTIH, HORMAT GERAK!”
Aku dan Ragas langsung berdiri. Menghormati sang merah merah putih yang tengah digerek naik.
Biar bagaimanpun perasaan kita. Kalau bendera sedang naik ataupun turun. Jangan sampai kita tidak memperdulikannya. Begitu kita guruku.
"Heh, ini gimana, kalian Kok malah hormat. Ini gitar gimana?" Dasar Firgo. Bukanya hormat malah masih jongkok. Dan mikirin gitar.
"Ragas, woy."
"Diam dulu." Ragas berbisik dengan menekan kalimatnya.
"Lah terus gue juga hormat gak?"
"Hormat Firgo!" Bisik Ragas lagi. Aku tersenyum ternyata dia masih menghormati bendera kita. Di saat panik seperti ini.
"TEGAK GERAK."
Kami duduk kembali.
"BUKANYA HORMAT MALAH ENAK-ENAKAN JONGKOK. TIDAK TERPELAJAR!" Ternyata dekat kami ada guru BK. Mampus tuh si Firgo kena sindir.
"Rosa." Indria datang dan duduk di sampingku. Dia menatapku dan Ragas secara bergantian dengan kening mengkerut seolah bertanya. Ini kenapa?
"Senarnya putus," ucapku lesu.
"Terus gimana?"
Aku menggeleng dan mengangkat bahu.
"Regi!" Aku memanggil Rega yang telah selesai mengibarkan bendera, "senarnya putus."
"Lah, terus gimana?"
"Pinjam punya sekolah bisa gak?" Aku memohon.
"Sebentar. Yuk Gas kita pinjam ke ruang seni."
Dia mengangguk, "Ros, gue titip, gitar sama hp."
"Iya."
Sungguh entah ini sial yang keberapa kali. Ruang seni musik ternyata di kunci. Dan kuncinya ada di pak Iyas dan pak Iyasnya belum datang. Oh tuhan, tolong bantu aku. Aku sangat butuh bantuanmu. Segala rasa kini bercampur aduk. Panik, gusar, degdegan menjadi satu.
Ragas kembali dengan wajah paniknya. Dia menunduk mensejajarkan tubuhnya denganku yang tengah duduk.
"Sekarang gini Ros! Ikuti gue." Dia menepuk-nepuk meja berbentuk jamur yang ada di hadapanku.
"Bayangkan seolah ini adalah aransemen yang gue kirim semalam."
Dan yeah, tepukan tersebut sangat seirama. Aku mencoba membaca puisi tersebut. Mencocokan dimana saja aku harus masuk.
Dan aku rasa latihan seperti ini jauh lebih romantis dibandingkan dengan hitarnya langsung.
Aku mendongak setelah latihan tanpa gitar kami selesai. Dan itu hal yang mungkin aku sesali bagaimana bisa aku mengalihkan pandangan saat netranya dan netraku berada pada jalur yang sama.
"Kita jadi tampil kan Ros?" Dia bertanya lirih. Sorot matanya memancarkan keputusasaan.
Aku mengangguk. Meyakinkannya. Kita pasti bisa tampil.
"Jadi! Kita pasti bisa tampil!"
"Pasti ada kunci cadangan kan? Ketua seni musik?" Aku mencoba mengusulkan ide.
"Nah, itu. Joy!" Regi memanggil Joy. Yang aku ku tahu dia juga anak musik.
Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas sekarang akhirnya kita bisa meminjam gitar sekolah.
Setelah drama yang begitu melelahkan akhirnya di detik-detik terakhir kita bisa melakukan latihan meskipun itu hanya satu kali.
"Kita latihan satu kali lagi Ros." Dia sempat menetralkan napasnya.
Aku mengangguk.
Latihan satu kali ini lumayan cukup memuaskan. Akhirnya kita bisa bernapas lega dan menunggu sekitar 15 Menit lagi untuk tampil. Di sini, di depan ruang BK. Aku, Ragas dan juga Regi tengah duduk istirahat dan menormalkan napas usai berlari kesana-kemari mencari gitar.
"Gue ke toilet dulu."
Sekarang tinggal aku dan Regi. Aku tahu. Dia pasti sangat nervous. Akupun sama. Tangan juga sudah gemetar gak karuan.
Acara sudah di mulai dengan hikmat, semua siswa-siswi maupun guru tengah membaca senyap selama 10 menit. Dan dilanjutkan dengan siswa -siswi yang maju ke teater untuk menceritakan kembali apa yang mereka baca.
Dan kini saatnya tiba. Aku tidak percaya bahwa aku benar-benar bisa duet dengannya. Luar biasa.
"Selanjutanya. Ada penampilan spesial musikalisasi puisi dari kelas XI IPA 7 beri tepuk tangan yang meriah untuk ROSANIA SILVI dan ALGIFA RAGAS."
"Jangan tremor," bisikku pelan sebelum memulai penampilan.
Iringan musik dari petikan tanganya mulai mengalun indah. Semua orang memasang telinga dengan adanya penampilan kami. Kepala sekolah dan para guru berjajaran menunggu aku membacakan puisi. Sungguh perasaan yang baru saja aku rasa.
Dalam canda yang membawa warna
Mengetuk hati yang masih sunyi
Kamu hadir membawa cerita baru dalam hidupku
Mengajarkan tawa mendefinisikan bahagia
Aku tahu kamu masih baru
Namun setiap warna yang kamu bawa
Menjadikan lukisan dari makna nyaman
Sempurna memang bukan alasan untuk merajut kebahagiaan
Karena kebahagiaan lah
Yang seharusnya membawa kesempurnaan
Terus bagaimana caranya bahagia?
Aku cukup menjawab
Hadirmu...
Sudah menjabarkan segalanya
Sekarang yang aku cari adalah kepastian
Kepastian yang mewadahi keseriusan dan juga kesetiaan
Itu memang sulit
Tapi aku tak bisa menunggu dan bersandiwara
Karena aku yakin
Dirimulah yang selama ini terucap dalam do'a
Dan harusnya benar
Karena cinta berpondasi dari saling percaya
Dan aku sudah sangat percaya
Apalagi kamu yang mengenalkannya segalanya.
Aransemen kini berganti musik. Petikan gitarnya yang sudah sangat terjamin sehingga tidak ada cacat sama sekali yang terdengar. Sekarang giliran dirinya. Aku menegangkan mic untuknya menyanyi. Melihat bibir kemerahan itu dari dekat.
Menunggu suara yang akan dia keluarkan. Rasanya begitu berdebar.
Kini kau pergi
Meninggalkanku
Begitu sulit lupakan kamu
Apalagi kamu baik
Begitu susah cari gantinya cukup dikenang saja
Cukup dikenang saja.
Cukup dikenang saja.........
Deg
Tidak, tidak mungkin. Jangan sampai aku baper beneran. Sumpah aku gak tahu sama sekali kalau suara dia memang sebagus ini. Dia mampu membawa penonton ikut dalam makna lagu. Terhanyut sampai ikut bernyanyi bersama. Mengayunkan kedua tangan ke atas kepala.
Ikut bernyanyi dan bergalau masal. Intinya kami berhasil membuat suasana sesuai target. Mereka semua terhanyut.
Hari ini Kamis, 01 September 2022. Aku mengaku kalah dan jatuh cinta untuk pertama kalinya pada seseorang.
"Dengan hadirmu aku bisa mengenal canda, tawa, dan kenyamanan. Karena dengan hadirmu adalah salah satu jalanku untuk bisa merasakan kebahagiaan."
Apa ini hanya sebuah kebetulan? Makna puisi yang aku bacakan sama persis dengan apa yang aku rasakan?
End
Setelah zhuhur kami memulai ulangan bahasa sunda. Semua sibuk pada masing-masing kertasnya. Aku fokus, sangat fokus malah karena soalnya lumayan gampang juga. Masih di tempat yang sama. Yaitu di mesjid karena kelas masih dalam keadaan di rehab.
Suasana tenang dengan kondisi yang hening. Kami semua duduk berlesehan di lantai mesjid yang dingin.
Sama halnya dengan kondisi hatiku. Syukurlah semua aman terkendali. Tidak ada lagi debaran yang mengganggu.
Namun satu celetukan yang berhasil membuat konsentrasiku buyar begitu saja.
"Hadirmu."
Aku menoleh. Dia menyeringai polos, sudut bibirnya terangkat. Aku tidak tahu wajahku sekarang bagaimana. Tapi yang jelas setelahnya aku reflek membuang muka.
Performing itu sudah lama. Namun rasnya kenangan itu masih tersimpan apik dalam memori.
Satu hal yang aneh dalam diriku saat ini. Aku tidak bisa lagi menatap dirinya, tidak bisa duduk di dekatnya, dan tidak bisa menyebut mananya seperti dulu.
Entah kenapa. Rasanya aneh saja.
Dan tentunya itu semua tidak baik untuk kesehatan jantungku.
💫Si Penikmat Keterlambatan💫
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
