
Free chapter lagi!!!…"Gue...kangen sama nyokap, Vin. Gue iri sama lo, sama orang-orang yang masih punya nyokap. Andai Rere gak ada, mungkin sekarang nyokap masih ada bareng gue."
Suara Arda yang lemah namun jelas itu membuat Gavin terusik…
#ehem, bisa dong kasih ❤️ kalo kamu suka cerita ini ><
MHB-03. Renggang
Setahun berlalu. Renata, gadis kecil itu telah tumbuh dengan baik. Kesehariannya sedikit banyak sudah berubah. Seperti, tidak ada lagi Bi Harti yang menemaninya selama di sekolah. Bukan karena dilarang oleh Arlan, tapi gadis itu sendiri yang meminta.
Tidak ada lagi jadwal bermain di sore hari seperti kebiasaannya dahulu, itu karena Rere lebih memilih mengerjakan PR yang ia bawa dari sekolah.
Pun tidak ada lagi senda gurau dengan kakaknya, Arda. Rere sadar kejadian di hari itu berdampak sampai hari ini. Selama setahun ini Arda jadi makin menjauhinya, membuat jarak yang tidak bisa Rere gapai. Arda juga semakin jarang ada di rumah, kakaknya itu lebih sering bermalam di rumah sahabatnya, Gavin.
Awal-awal perubahan sikap Arda terhadapnya membuat Rere tiap malam merengek di kamar sang Papa, namun lambat laun ia tak begitu lagi.
Meskipun dilanda kesedihan, dan sepi gadis itu berusaha tumbuh mandiri supaya kelak tidak merepotkan Arda, dan membuat kakaknya bersikap seperti dulu lagi.
Ya, itu tekad Rere, gadis tujuh tahun yang kini menginjak kelas dua sekolah dasar.
Hari ini adalah hari yang ingin Rere rayakan, karena untuk pertama kalinya dia memenangkan lomba yang diadakan sekolah. Juara satu lomba menggambar.
Gadis itu tersenyum cerah seiring jalannya memasuki rumah. Piagam penghargaan yang ia dapat, Rere bawa dengan bangga. Dia harus memamerkan ini pada seisi rumah.
"Bi Harti..." Suaranya yang selalu terdengar ceria itu membuat si empu yang dipanggil menoleh dengan wajah gembira.
"Wah Non Rere udah pulang," seruan senang Bi Harti langsung menyambut. Rere menghambur ke pelukan Bi Harti tanpa sungkan.
"Rere menang lomba gambar, juara satu."
Mendengar informasinya, Bi Harti langsung memberi hadiah tepuk tangan yang heboh. Sampai-sampai Rere berjingkrak senang.
Perayaan kecil yang menyenangkan.
Rere tersenyum puas melihat Bi Harti menatapnya dengan mata berbinar bangga. Rasanya seperti ia menyenangkan ibunya sendiri.
"Masuk ke kamar!" Suara bentakan yang begitu tiba-tiba membuat Rere, dan Bi Harti terlonjak kaget.
Itu suara Arlan.
Senyum yang tadi ada di wajah Bi Harti, dan wajahnya perlahan pudar.
Dari tempatnya Rere bisa melihat Papanya berjalan tegap dengan wajah serius, di belakangnya ada Arda yang memasang ekspresi kaku.
Rere menelan ludahnya kasar saat tak sengaja bertatapan dengan Arda. Tidak ada hangat, apalagi senyum di mata kakaknya itu. Rere spontan beringsut, merapat pada Bi Harti yang sigap merangkul bahunya.
"Papa sama Mas Arda kenapa ya, Bi?" Tanya Rere cemas, akan tetapi Bi Harti tidak memberi jawaban. Sepertinya Bi Harti juga tidak tahu apa-apa.
Bi Harti malah mengelus bahunya beberapa kali, kemudian berkata, "Non Rere masuk ke kamar dulu ya."
Rere mengangguk. Tanpa bertanya apa-apa lagi gadis kecil itu berjalan pelan, namun sebelum jauh Rere menengok ke belakang, melihat Bi Harti yang kembali sibuk dengan seisi dapur.
"Rere penasaran, Bi. Maaf ya." Ucapnya berbisik sambil memandangi Bi Harti yang tak sadar sedang diperhatikan.
Kaki kecilnya berjinjit, menuju kamar Arda yang letaknya berjauhan dengan dapur. Rere tersenyum kecil, pintu kamar Arda tidak tertutup rapat. Semakin dekat langkahnya semakin jelas juga suara Papanya berasal dari dalam.
Suara geram tertahan dari Arlan yang ia dengar membuat Rere tak berani membuka mulut. Gadis itu berdiri memojok di dekat daun pintu, menguping pembicaraan yang seharusnya tidak pernah ia dengar.
"Mau jadi apa kamu?!" Bentakan Arlan membuat Rere melotot kaget. Buru-buru dia membungkam mulutnya biar tidak bersuara.
Tidak ada sahutan dari Arda. Rere mengerjap bingung, apa sekarang Papanya itu sedang bertanya soal cita-cita Kakaknya?
Rere tersenyum tipis. Kalau cita-cita Arda sih, Rere sudah tahu.
"Papa udah percaya sama kamu, Papa juga udah ijinkan kamu untuk ikut organisasi apapun itu. Asal yang positif. Bukan malah nongkrong gak jelas, bolos sekolah, ditambah sekarang kamu udah berani ngerokok! Astaga, Arda!"
"Papa tanya sekali lagi, mau jadi apa kamu?!" Setiap kata yang keluar dari mulut Arlan penuh penekanan. Sekarang Rere merasa takut, seharusnya dia pergi ke kamarnya saja seperti kata Bi Harti tadi.
Rere menggeser badannya, dia baru saja mau pergi sebelum suara Arlan kembali terdengar dengan nada yang lebih menuntut.
"Sebentar lagi kamu lulus. Papa mau kamu punya masa depan yang cerah, juga jadi contoh yang baik buat adik kamu, Renata."
Deg. Namanya barusan disebut.
"Arda nggak mau punya adik."
Sahutan Kakaknya terdengar jelas di telinga Rere, tak lama kalimat lain yang keluar dari mulut Arda membuat gadis itu mematung kaku.
"Harusnya Rere gak pernah lahir, dengan begitu Mama gak bakal meninggal!"
Suara bernada tinggi Arda juga tamparan keras Papa pada sang kakak menyentak Rere. Tanpa suara gadis kecil itu mengeluarkan airmata, badannya langsung bergetar ketakutan.
Rere salah. Kali ini dia benar-benar salah. Kesalahan fatal yang faktanya akan selalu ia ingat. Gadis itu langsung beranjak pergi sambil memeluk badannya yang bergetar kian hebat.
Isakan Rere mulai terdengar saat dirinya sampai di dalam kamar, lalu mengunci pintu tanpa ragu. Kalimat Arda tadi terus berputar di kepalanya tanpa ijin, membuat tangan kecilnya menggenggam erat ujung baju yang dipakai.
Sepertinya sekarang Rere mulai mengerti kenapa sikap Arda semakin hari semakin berubah-dingin, dan tidak menganggapnya ada. Itu semua karena Arda tidak menginginkan kehadirannya di sini, karena Rere yang sudah membuat Mama mereka meninggal.
Isakan sendunya kian menjadi, ditambah rasa bersalah, juga takut yang menumpuk. Hari itu tidak ada yang tahu fakta kalau Rere mendengar semua pembicaraan antara Papa, dan Kakaknya. Pun tidak ada yang tahu seberapa besar kesedihan yang harus ia alami setelahnya.
***
"Lo kabur dari rumah?"
Gavin langsung menginterogasi Arda ketika sahabatnya itu tiba-tiba datang ke rumahnya di malam hari dengan kondisi yang lumayan kacau.
Arda datang masih dengan seragam lengkap yang kusut, rambut berantakan, juga memar merah di pipi yang kentara.
"Bokap pasti tahu gue pergi kemana, jadi kalo lo bilang gue kabur kayaknya salah." Sahut Arda kelewat santai, tapi mata sahabatnya ini tidak bisa bohong.
Ada getir di sana. Dan Gavin menyadarinya.
"Terserah. Lo udah makan, Ar?" Tanyanya sembari berjalan ke ruang tengah, Arda mengikuti di belakangnya.
"Belum. Lo punya mie goreng gak?"
"Kalo itu sih gue gak punya. Tapi kalo makanan lain ada, mau?"
Arda mengangguk. Sepertinya saat ini Arda benar-benar kelaparan.
"Lo mau mandi dulu gak?"
"Vin, emang gue bau?" Tanya Arda.
Gavin mendekati Arda. Hidungnya langsung mengendus tanpa ragu,
"Bau, Ar. Bau keringat, ditambah sekarang ini lo kucel banget. Sorry, gue gak bisa bohong." Kata Gavin sambil memasang muka masam.
"Anjir, lo. Ya udah gue numpang mandi deh."
"Sana mandi. Gue mau minta Bibi siapin makan buat lo." Lanjut Gavin.
Arda mengangguk dengan senyum kecil. Gavin membalasnya sambil tertawa kecil,
"Thanks, Vin." Ucap Arda tulus. Dia benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti Gavin.
"Elah. Sama-sama. Dah sana lo mandi." Katanya, Gavin baru saja berbalik meninggalkan Arda yang masih berdiri di belakang ketika sahabatnya itu memanggil namanya lagi,
"Vin."
"Sama-sama, Ar. Sama-sama!"
"Gue boleh pinjam celana dalam lo gak?" Pertanyaan di luar nalar itu membuat Gavin melotot kaget.
"Sinting lo. Pake aja, terserah yang mana."
Setelah ia menjawab begitu Arda langsung melesat pergi menuju kamarnya yang sudah biasa dia masuki.
Ya, ini bukan kali pertama Arda menginap di rumahnya. Sudah hampir setahun belakangan ini sahabatnya itu sering menginap, bermain, dan menghabiskan waktu di sini.
Gavin sih senang-senang saja. Toh dia jadi punya teman, dan tidak sepi lagi. Tapi setelah tadi melihat kedatangan Arda yang mendadak dengan kondisi yang belum pernah ia lihat sebelumnya, sepertinya Gavin tidak bisa sesenang itu lagi.
Sudah jelas kalau saat ini Arda sedang ada masalah, dan sepertinya lumayan berat. Maka dari itu Gavin harus tanya. Karena meskipun mereka sudah berteman dekat tapi Arda bukan tipe orang yang suka bercerita, sahabatnya itu tidak akan bicara kalau tidak ditanya.
Bisa dibilang Arda itu tertutup kalau menyangkut masalah pribadi. Dan sebenarnya itu tidak salah, tapi akan salah kalau Gavin mengabaikan kondisi Arda yang sudah begini.
"Untung besok libur." Gumamnya sembari menunggu Arda selesai mandi.
Gavin sudah duduk nyaman di ruang tengah, menonton TV dengan camilan di tangannya ketika Arda datang dengan wajah lebih segar, dan penampilan yang bersih.
"Nah kan cakep lo." Ledek Gavin,
Arda tertawa kecil sambil duduk di sofa lain, "Gue emang udah cakep kali."
Gavin mencibir, kalau masalah percaya diri memang Arda juaranya.
"Lo gak makan, Vin?" Tanya Arda melihat di meja hanya ada satu piring untuknya saja.
Gavin menggeleng, "Gue ngemil aja. Tadi sore udah makan."
"Oh, oke. Gue makan ya,"
Gavin mengangguk, matanya kembali sibuk melihat acara hiburan di TV. Sesekali ia tertawa ketika ada yang lucu, sesekali juga ia melirik Arda yang begitu fokus dengan makanannya.
Arda memang punya selera makan yang bagus. Tidak salah badannya pun atletis begitu. Gavin merengut, dia mendadak teringat gambar yang dibuat Rere.
Jujur saja, garis vertikal panjang di kertas itu membuat Gavin kesal. Tapi sayangnya dia tidak bisa membuang hasil gambar yang dibuat adik sahabatnya begitu saja. Mengingat tawaran, dan usaha gadis kecil itu yang begitu menggemaskan.
Teringat Rere membuat Gavin merindukannya. Sudah lama ia tidak berkunjung ke sana, Arda pun sudah lama tidak mengajaknya ke rumahnya itu.
Akhir-akhir ini Gavin sedang sibuk belajar sesuatu. Sesuatu yang ia minta pada orangtuanya sebagai hadiah untuk kelulusannya yang sudah di depan mata. Ia sedang belajar mengendarai mobil.
Melihat Arda sudah selesai dengan makannya, Gavin langsung bertanya,
"Pipi lo kenapa, Ar?"
Arda meraba pipinya yang sekarang sedikit bengkak. Mungkin nanti dia harus mengompresnya dengan es batu.
"Oh, ini.. kena tampar," jawab Arda singkat.
"Siapa?"
Arda tampak ragu untuk menjawab, namun setelah sekian detik Gavin menunggu akhirnya Arda membuka mulut,
"Bokap." Lanjutnya sambil meringis malu.
Oke. Untuk permulaan ini awal yang baik. Gavin harus mencari tahu lebih jauh masalah apa yang sedang dialami sahabatnya ini.
"Kok bisa?" Tanyanya lagi dengan wajah terkejut.
"Ya, bisa. Gue bikin dia kecewa, dan marah. Gue ketahuan bolos, sama ngerokok."
"What!" Teriak Gavin, "Bolos masih oke. Tapi, lo ngerokok juga, Ar?!" Tanyanya tak menyangka.
Arda mengangguk.
"Nyoba doang, Vin. Penasaran. Eh, infonya langsung bocor ke bokap. Kena deh."
"Kacau sih lo. Tapi lo gapapa kan, Ar?"
"Gapapa gue."
"Maksud gue, apa lo baik-baik aja?"
Arda terdiam sejenak. Sahabatnya itu kelihatan sekali menghindari tatapannya.
"Lo bisa cerita. Pelan-pelan aja. Itu juga kalo lo mau sih." Kata Gavin berusaha tidak terdengar memaksa.
Ada jeda panjang setelah ia bicara begitu. Di tempatnya, Arda tampak menarik napas panjang berulang kali. Gavin jadi tidak yakin sahabatnya ini mau bercerita.
"Sebenarnya bokap nampar gue bukan karena alasan tadi. Ada alasan lain,"
Gavin diam mendengarkan,
Arda menarik napas lagi, lalu melanjutkan, "Gue bilang kalo gue gak mau punya adik."
"Hah? Maksud lo?" Dahi Gavin berkerut tak paham. Namun, di sana Arda malah tersenyum masam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bukannya dulu lo pernah bilang ke gue, kalo lo senang banget punya adik, Ar." Katanya mengingatkan.
Arda mengangguk sebagai jawaban.
"Itu dulu, sebelum gue tahu kalo kelahiran Rere yang bikin nyokap meninggal."
"Siapa yang bilang?"
"Nenek gue."
Gavin terdiam, dia menatap Arda yang saat ini tengah menunduk dalam.
"Gue...kangen sama nyokap, Vin. Gue iri sama lo, sama orang-orang yang masih punya nyokap. Andai Rere gak ada, mungkin sekarang nyokap masih ada bareng gue."
Suara Arda yang lemah namun jelas itu membuat Gavin terusik,
"Sorry, Ar. Tapi menurut gue lo emang pantes kena tampar. Sekarang gue emang gak di posisi lo, tapi ngedenger ucapan lo barusan bikin gue sakit hati," Ucap Gavin serius,
"Andai Rere gak ada, lo bilang? Kok lo tega sih bilang begitu?" Tanya Gavin tak percaya.
"..."
"Bayangin kalo Rere denger ucapan lo barusan, dia pasti-"
"Sedih." Kata Arda melanjutkan.
Gavin mengangguk keras, "Tuh lo tahu." Sungut Gavin terbawa emosi.
Sebelum tahu masalah apa yang menimpa Arda, awalnya dia ingin menghibur sahabatnya itu dengan dukungan penuh. Tapi sekarang setelah tahu, Gavin tidak bisa berada di pihak Arda.
Meskipun Gavin tahu kondisi Arda saat ini sedang tidak baik. Tapi akan lebih tidak baik lagi kalau dia membenarkan pola pikir Arda yang salah.
Bukankah kita tidak bisa menyalahkan siapapun yang terlahir di dunia ini?
"Lo sahabat gue, Vin." Ucap Arda,
"Emang. Dan karena gue sahabat lo, gue harus bilang begitu. Coba lo pikir lagi, yang sekarang gak punya nyokap bukan cuma lo, tapi Rere juga. Kalian itu saudara. Gue tahu lo sayang banget sama Rere."
"..."
"Sekarang ini lo pasti lagi kebingungan aja, Ar." Putus Gavin sambil melayangkan senyum kecil.
Arda tak merespon ucapannya. Sahabatnya itu hanya terus menatap lantai dengan tangan mengepal.
Pasti penuh sekali isi kepala Arda saat ini. Gavin bersandar pada sofa. Melanjutkan tontonan TV nya yang sudah berganti acara, sekaligus membiarkan Arda untuk merenung.
***
5 tahun kemudian.
Jarum infus yang terpasang di tangan gadis kecilnya saat ini membuat Arlan teringat akan kejadian 12 tahun lalu, saat Dania, mendiang istrinya harus koma selama tiga hari setelah melahirkan Renata.
Trauma kembali menghantuinya. Akan tetap dia tidak bisa sembunyi kemana-mana. Sekarang yang dimiliki Renata hanya dirinya. Arlan meremas tangannya sendiri berulang kali. Suara detik jam yang terdengar nyaring membuat debar jantungnya kian kencang.
Tadi saat ia selesai rapat, Arlan tahu-tahu mendapat telepon pribadi dari ART nya yang mengabari kalau Rere jatuh pingsan saat jam istirahat di sekolah.
Mendengar itu tanpa pikir panjang dia langsung pergi ke sekolah anak bungsunya.
Sesampainya di sana ternyata Rere masih belum juga sadar. Maka dari itu Arlan langsung membawa Rere ke rumah sakit demi mendapat pemeriksaan terbaik.
Tangannya mengelus puncak kepala Rere lembut, Arlan harap anaknya bisa mendapat mimpi indah dalam tidurnya.
Tadi Rere sudah bangun, dokter juga sudah memeriksa kondisi putrinya. Mereka bilang kalau Rere akan segera membaik, dan tidak perlu khawatir karena tidak ada masalah serius. Mereka bilang Rere jatuh sakit karena hari ini hari pertamanya menstruasi.
Hormon putrinya tidak stabil hingga menyebabkan Rere jatuh pingsan. Katanya itu normal. Tapi Arlan tetap saja cemas. Apalagi wajah cerah Rere berubah pucat.
Arlan sudah menyuruh Bi Harti untuk ke rumah sakit dengan segala keperluan Rere. Tidak lupa Arlan juga sudah mengabari anak pertamanya terkait kondisi Rere. Namun sampai saat ini Arda belum juga merespon pesan yang ia kirim.
Arlan menghela napas berat. Sebagai orangtua tunggal, kondisi seperti sekarang ini membuatnya merasa rapuh.
***
"Lo mau kemana?"
Suara Gavin yang baru saja keluar dari mobil membuat langkah tergesa Arda berhenti.
Raut wajahnya yang pias tidak bisa ia tutupi, Arda meraup wajahnya kasar, lalu menjawab, "Pulang."
"Mendadak banget, biasanya juga akhir semester."
Yang dikatakan Gavin memang benar. Saat ini ia, dan Gavin adalah anak rantau yang berkuliah di luar kota. Kebetulan yang sangat beruntung, Arda selalu berhasil masuk sekolah yang sama dengan sahabatnya itu.
Arda mendecak keras, alisnya bertaut emosi, "Rere sakit." Kata Arda singkat.
Setelah itu Arda buru-buru melangkah lagi, mengabaikan wajah terkejut Gavin yang tak sempat dia lihat.
"Ar, lo mau kemana?"
"Anjing! Gue bilang gue mau pulang!" Bentak Arda, cepat dia menoleh ke temannya yang kini tengah mengangkat tinggi-tinggi kunci mobil di udara.
"Ayo masuk. Gue antar." Gavin menunjuk ke mobilnya dengan senyum. Melihat itu Arda langsung berlari menuju mobil milik sahabatnya.
"Tadinya gue mau naik bus. Tiket kereta udah pada habis soalnya." Kata Arda sambil memasang seat belt.
Selanjutnya terdengar dengusan geli dari sebelahnya, "Bego. Gue kan ada. Lagian cuma dua jam ini." Sahut Gavin enteng.
"Kalo nggak macet."
"Iya sih. Tapi semoga aja sih nggak. Lo dapet info dari bokap lo?" Tanya Gavin, mobilnya perlahan keluar dari komplek kostan.
Arda menepuk jidatnya spontan,
"Untung lo ngomong, gue lupa bales chat bokap."
"Astaga. Anak durhaka lo." Canda Gavin agar suasana mereka tidak begitu tegang.
"Gue telepon aja deh." Jemari Arda bergerak cepat menekan tombol panggilan, satu kali dua kali nada panggilan terlewat begitu saja membuat Arda makin cemas.
"Halo, Pa." Suaranya langsung saat panggilannya diangkat.
"Arda lagi jalan pulang sama Gavin. Papa masih di rumah sakit? Rere sakit apa?" Cecarnya tak sabaran,
"....."
"Astaga. Iya, Arda tahu. Oke, Pa... Kira-kira Rere butuh apa? Nanti biar Arda beli sekalian jalan."
"....."
"Oke, siap... hmm, Papa udah makan?"
"....."
"Makan dong, Pa. Gantian jaga sama Bi Harti."
"...."
"Oke. Tunggu Arda."
Tut.....
"Hahhh..." Arda mendesah sedikit lebih lega. Kepalanya ia bawa menyandar dengan mata memejam dalam.
"Gimana? Rere sakit apa, Ar?" Tanya Gavin penasaran.
"Adik gue haid pertama. Karena itu katanya hormonnya jadi gak stabil." Tutur Arda, matanya masih menutup.
Gavin mengerjap cepat mendengar penjelasan sahabatnya. Sedikit heran, dan tidak percaya. Karena dia seorang lelaki, Arda pun begitu.
Dia tidak tahu kalau haid pertama bagi perempuan bisa menyeramkan seperti itu. Sampai bisa membuat Rere masuk rumah sakit.
"Waktu bokap kirim chat, pikiran gue langsung kacau, Vin. Gue takut Rere kenapa-napa."
Gavin mendengarkan dalam diam, karena bagaimanapun dia harus fokus dengan jalanan di depannya. Sampai kemudian suara Arda kembali terdengar,
"Hubungan gue masih belum baik kayak dulu, Vin. Salah gue sih, karena gue yang duluan jauhin Rere. Sekarang, tiap gue pulang ke rumah susah banget cari waktu sama dia. Rere kayak lagi main petak umpet tahu nggak? Udah jadwal lesnya padet, kalo gue di rumah nih dia nggak mau keluar kamar. Paling keluar buat makan, atau ngobrol sama Bi Harti." Keluh Arda panjang lebar.
Gavin hanya tersenyum kecil, ia merasa kasihan pada sahabatnya ini. Karena ketidakdewasaannya dulu, sekarang Arda harus menanggung resikonya. Padahal Gavin tahu seberapa sayangnya Arda pada Rere.
"Gue...kangen Rere yang dulu." Ucap Arda pelan.
Andai dia bisa memutar waktu, dia tidak akan termakan ucapan neneknya di hari itu. Dia juga tidak akan menjauhi Rere, dan menyalahkan Rere atas kepergian Mamanya. Semakin diingat sikapnya yang dulu, semakin besar rasa bersalahnya. Karena Arda sadar kalau dulu Rere sangat membutuhkan kehadirannya. Dulu Rere sangat bergantung padanya.
"Ar, gue mau mampir ke minimarket dulu. Lo mau nitip apa nggak?"
"Oh, sekalian. Gue juga ada yang mau dibeli."
"Oke."
***
"Pembalut?"
"Yoi. Bokap bilang Rere butuh stok pembalut."
"Sebanyak ini?" Tanya Gavin sangsi. Pasalnya sekarang isi keranjang Arda penuh dengan berbagai merk pembalut, dan ukurannya pun macam-macam.
Arda mengangguk ragu, sambil cengengesan dia bicara,
"Gue nggak tahu mana yang Rere butuhin, mana juga yang bagus."
"I..iya juga sih. Gue juga gak paham."
"Vin." Panggil Arda, cengiran lebar terpasang di wajahnya.
Gavin memicing curiga, "Apa?" Tanyanya ketus.
"Lo mau tanya Nanda gak? Siapa tahu pacar lo bisa bantu."
"Gila, lo! Masa gue tanya Nanda, bisa-bisa dia mikir yang aneh-aneh."
"Ya lo tinggal bilang aja gue yang minta tolong ke lo. Demi adik gue, please."
"Ngelunjak ya lo. Untung Rere udah gue anggap adik sendiri."
Mendengar jawabannya Arda langsung menepuk pundaknya tanda terima kasih. Gavin mendecih sebal.
Demi Rere. Putusnya.
***
"Merk yang ini," Tunjuk Gavin setelah mendapat info dari Nanda.
"Ukurannya yang 30cm aja katanya." Sambungnya lagi. Dengan sigap Arda langsung menyingkirkan merk, dan ukuran lain dari keranjangnya. Senyum puas tampak di wajahnya ketika melihat Gavin yang bisa ia andalkan.
"Lo beli apa, Vin?"
"Susu, sama anggur buat Rere. Kalo ini buat gue, laper." Sahut Gavin sembari melihat isi keranjangnya lagi.
"Buat guenya mana?" Tanya Arda tak tahu malu.
Gavin menggeram kesal. Lama-lama dia masukkan juga sahabatnya ke keranjang.
Arda terkekeh kecil, "Bercanda."
"Thanks ya. Lo perhatian banget sama adik gue."
Sambil mengantre di kasir Gavin menggumam malas, "Adik lo, adik gue juga."
***
Melihat adiknya yang tidak lagi merengek, bahkan berusaha keras untuk menahan sakitnya membuat dada Arda sesak.
Arda memalingkan pandangannya dari sosok Rere yang kini tengah memunggunginya. Arda merasa sakit luar biasa. Penyesalan, dan rasa bersalah terus menerus mengguyur dirinya yang sudah kelabakan.
Arda tidak mengira kalau sikap kekanakannya dulu membuat hubungan mereka jadi seperti ini. Retak dimana-mana menciptakan renggang yang tak bisa ia satukan lagi.
"Rere tidur, Ar?" Tanya Gavin di sampingnya. Arda mengangguk tipis,
"Gue ke luar dulu bentar, Vin." Pamit Arda tak kuat menahan airmatanya. Gavin yang ngeh pun langsung mengiyakan tanpa suara.
Detik berikutnya tinggal dirinya yang ada di dalam kamar inap Rere. Om Arlan sedang menerima telepon di luar, Bi Harti sedang makan di kantin. Sedangkan Arda, dia pasti sedang menangis di pojokan.
Gavin melangkah menuju sisi ranjang, menarik kursi sepelan mungkin supaya tidur Rere tidak terganggu.
Kedua matanya tidak lepas memperhatikan gadis kecil yang membelakanginya. Meringkuk tenang tanpa suara.
Gavin tersenyum tipis, sudah lama sekali ia tidak melihat gadis kecil ini. Sebenarnya tiap kali dia berkunjung ke rumah Arda, Rere juga selalu menghindar darinya. Tidak ada lagi sosok gadis cerah yang mengajaknya bermain seperti dulu.
Sekarang Gavin bisa bertemu, dan melihat Rere, namun sayangnya dalam kondisi seperti ini. Kepalanya menunduk dalam, menyembunyikan senyum getir yang pasti terlihat jelas. Saat ini, jauh di lubuk hatinya, ada kerinduan yang terobati.
"Mas Gavin sama Mas Arda datang, tapi sayangnya Mas gak bisa lama di sini. Besok ada ujian. Padahal Mas mau lihat senyum Rere." Ucapnya berbisik halus. Gavin seperti orang bodoh, bicara dengan orang yang sedang tidur.
"Renata, adik kesayangan kita, harus sehat lagi ya." Tutup Gavin sambil mengelus pelan rambut Rere yang tergerai.
Setelah itu Gavin berbalik, meninggalkan Rere yang ia kira masih di alam mimpi. Sayangnya sejak Gavin duduk, gadis kecil yang beranjak remaja itu sudah terjaga. Hanya matanya saja yang masih menutup, menahan nyeri di perutnya.
Rasa sakit di tubuhnya bersamaan dengan rasa rindu yang ia pendam terhadap dua lelaki itu membuat Rere diam-diam menangis.
Dulu, ia memang sangat akrab dengan Arda, juga Gavin. Tapi sekarang, perlahan gadis itu hampir lupa bagaimana kedekatan mereka dulu. Ada waktu yang hilang, ada kenangan yang terkikis.
Yang ia ingat jelas dalam kepalanya hanya fakta kalau Arda tidak menginginkan dirinya ada.
…To be continued…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
