
Demi rumah pohon yang selalu setia menemani Ranting kalau susah dan senang, akhirnya Ranting mengikuti mau mami dan janji akan menurut. Ranting mulai menjadi seorang anak seperti keinginan mami-papi, meski tak berlangsung lama. Sebab kepura-puraan itu justru menyesakkan dada. Makanya Ranting minta pindah ke apartemen papi sebagai siasat untuk lepas dari aturan-aturan mami-papi yang membelenggu.
Ranting berharap apartemen ini bisa jadi rumah pohon baru buat dirinya. Rumah yang bisa jadi tempat untuk...
“Congrats ya, Ra,” suara Bunga melantun gemulai sambil melakukan ritual cipika-cipiki di depan pintu.
“Thanks, mbakyu.”
“Aku kalah cepet sama kamu,” mata Bunga melirik sinis.
“Pujian apa protes, nih..?”
“Whatever,” Bunga balik badan, lalu menghilang.
Pintu menutup, namun parfum mahal Bunga masih tertinggal semerbak di ujung hidung. Suasana seketika sepi, tapi pesta perayaan seakan berlanjut walau tak ada lagi seorang pun selain si rebellious girl ini, putri bungsu mami-papi.
Beberapa jam lalu memang ada pesta kecil di sini, di lantai 15 Apartemen Royal Grande, apartemen milik papi yang akhirnya berpindah lisensi tinggal ke si bungsu. Bagi gadis manis ini, pesta sederhana tadi merupakan perayaan kelulusan sekaligus simbol pelepasan satu rantai kebebasan yang sebelumnya mengikat pergelangan kaki.
“Akhirnyaaa! A new life begin, yeeaaayyy..! New home, new liiife!”
Gadis remaja ini melompat, memutar badan 180 derajat membelakangi pintu, mengepal dan membungkuk sambil lari di tempat. Ia kegirangan.
Tapi tunggu dulu. New life, new home..? Apa betul ini benar-benar kehidupan dan rumah baru yang Ranting inginkan?
Tiba-tiba semua pertanyaan yang timbul di benak itu menghentikan koreo aneh yang dilakukan Ranting. Bagai film yang tombol pausenya ditekan, Ranting mematung sambil membungkuk.
Tungkai kaki kembali menjejak bumi, padahal sebelumnya seolah melayang akibat terlalu gembira. Adrenalin yang tadi meluncur berkecepatan tinggi, berhenti mendadak seperti mobil angkot yang pedal remnya tiba-tiba diinjak hingga bannya bunyi mencuit dan meninggalkan jejak hitam di aspal.
Dalam khayalan Ranting, jejak hitam itu pecah menghambur ke atas berupa partikel-partikel kecil yang bergerak slow motion. Setiap gelembung partikel itu berisi cuplikan-cuplikan memori masa lalu hingga berada di titik sekarang.
Tubuh Ranting yang tadi membungkuk kini tegak, kakinya menghampiri sofa coklat tua yang berpose anggun di bawah jendela. Badan rampingnya lalu dihempas ke atas busa-busa empuk yang dibalut bahan kulit premium ini. Bantal-bantal kecil mengganjal pinggang dan bahu. Ranting tergolek rileks menindih sofa.
Dalam khayal, telunjuk Ranting menyentuh salah satu gelembung partikel yang terbang mendekat. Satu gelembung pecah menggelar cerita hari ini.
Tadi pagi di rumah, tepat jam delapan konferensi meja makan segi empat dimulai. Semua anggota rapat sudah rapi duduk memutari meja makan : papi, mami, Dahan, Bunga, Ranting.
“Seperti janji papi, kalau Ra lulus SMA dengan nilai di atas 80, papi akan kabulkan semua permintaannya,” kalimat pembuka konferensi diluncurkan.
Seperti biasa konferensi tak berasaskan musyawarah mufakat, tapi pengambilan keputusan satu arah. Papi yang seorang Jenderal Bintang Satu, Brigjen Angkatan Darat yang sebentar lagi masuk Masa Persiapan Pensiun, terbiasa mengatur ribuan anak buah melalui tongkat kepemimpinan otoriter. Begitupun akhirnya di rumah, papi mendidik semua anggota keluarga untuk mematuhi perintah.
“Kemarin Ra bilang mau tinggal di apartemen, mau belajar mandiri. Papi kabulkan,” papi melanjutkan sambil menatap satu-satu wajah-wajah attendee konferensi bergantian.
“Papi yakin?” mami mulai interupsi. Papi langsung mengangguk tegas menjawab.
“Tapi tentu, masih dengan under controlled,” suara papi penuh tekanan saat mengucapkan dua kata terakhir. Senyum sinis mami sebagai ungkapan kegembiraan terhadap tropi pengekangan lanjutan yang masih berhasil dimenangkan, tertangkap semua mata hadirin yang hadir.
“Tuh, dengar ya, Ra. Kamu ninggalin rumah dan milih tinggal di apartemen, bukan berarti hidup bebas nggak karuan. Ingat, tuh,” bibir tipis mami langsung menyambar kesempatan bicara.
“Memang selama ini Ra nggak karuan, apa? Udah ada bukti otentik tuh mam, resmi dari Diknas, lulus dengan nilai murni 87,” alis tebal gadis urakan ini naik-turun meledek mami yang makin cemberut.
“Kalo boleh tahu, apa pertimbangan papi mengabulkan permintaan Ranting?” putra sulung mami-papi, Dahan, ikut-ikutan menggunakan hak suara. Padahal tanpa ditanya pun semua pasti tahu jawabannya.
Ranting, si bungsunya mami-papi ini tak pernah diantar-jemput sekolah oleh supir papi sejak SD. Bahkan mengurus pendaftaran masuk SMP Negeri ia lakukan sendiri tanpa mami. Gadis pemberani yang dijuluki ‘bontot brandal’ oleh mami ini memang tak pernah masuk sepuluh besar di sekolah, tapi prestasinya di luar sekolah seabrek. Sosok urakan yang selalu pakai topi baseball yang punya sisi feminin dan maskulin dalam satu paket ini adalah peraih gelar Mayoret Terbaik se-Jabodetabek sekaligus juara Karate se-DKI. Jadi rasanya tak ada alasan buat papi untuk tidak mengabulkan permintaan Ranting.
“Papi lihat Ra bisa bertanggung jawab. Walau kelihatan urakan, tapi kalian lihat sendiri prestasi-prestasinya,” jawab papi. Kata-katanya meninju tepat ulu hati Dahan seperti uppercut yang bikin KO.
“Ada pertanyaan lagi?” sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula, mata papi tertuju ke Bunga, putri mami-papi yang keibuan.
“Dulu waktu Bunga bilang ke papi mau tinggal di apartemen, biar dekat kalau bolak-balik ke kampus, kok nggak dikasih? Eeh, sekarang Ranting malah dibolehin,” ucap Bunga sambil mengunyah roti panggang buatan bi Yayat.
“Ya mana boleh lah, kamu tinggal sendirian di apartemen,” tanpa menunggu papi menjawab, mami sudah duluan. “Ngapa-ngapain klemar-klemer, manja. Kemana-mana minta dianter pak Umang,” lanjut mami sambil meledek.
“Iya benar, mam. Mau ke mini market seberang komplek aja, teriak-teriak nyari pak Umang padahal dekat banget,” Ranting ikutan meledek, semua jadi tertawa.
“Belum lagi magh akutnya tuh, kalau kumat gimana coba?” Dahan menambahkan.
Bunga pasrah, tak lagi mengharap jawaban dari papi.
“Karena punya riwayat pernah dirawat setengah bulan sakit kuning, mana mungkin papi kasih ijin Bunga tinggal sendirian di apartemen,” itu kalimat penutup dari papi.
Semua tahu Bunga sering sakit, tapi selalu juara umum sejak TK sampai SMA, dan lulusan cumlaude kedokteran UI. Jadi habis dirawat karena sakit kuning, alih-alih melindungi putrinya yang punya fisik lemah ini, mami-papi mulai memprogram hidup Bunga. Apa-apa diatur dan Bunga harus nurut.
“Sore ini kita antar Ra ke apartemen sambil makan malam dan bikin sedikit pesta kecil di sana,” papi menutup konferensi.
Selesai konferensi meja makan segi empat Ranting berlari ke halaman belakang rumah, tempat yang selalu ia tuju untuk mengungkap segala rasa di hati. Sebab di sana ada rumah pohon Ranting yang bertengger kokoh di atas pohon Trembesi tua seusia papi, yang selalu ia kunjungi untuk berkeluh kesah. Tapi kali ini Ranting hanya pamitan ke rumah pohon karena tak akan bisa datang sesering sebelumnya.
Ranting tersenyum mengingat peristiwa pagi ini sambil rebahan di sofa coklat, ditemani hening. Dalam khayal, telunjuknya menyentuh lagi satu gelembung partikel yang melayang mendekat. Gelembung pecah menggelar drama enam tahun silam.
“Dapet SMP mana kamu?” pagi itu sebelum berangkat tugas, papi bertanya. Kumis tebalnya bergoyang-goyang seirama dengan gerakan bibir.
“Negeri dong, pap,” Ranting menjawab acuh.
“Lho, nggak jadi daftar ke SMP International Islamic School?”
“Males. Kalo Negeri kan, murni dari nilai ujianku.”
“Kalau IIS..?”
“Kepala sekolahnya pasti langsung terima bukan karena nilai ujianku. Tapi karena lihat papi seorang Jenderal, iya, kan? Nggak seru, ah.”
Saat itu papi menatap Ranting dengan mata berbinar. Si bungsu ini memang rebellious sejak kanak-kanak, tapi kadangkala membuatnya bangga. Keras kepalanya seringkali menunjukkan kemandirian.
Percakapan pagi itu tak pernah dilupa Ranting, sebab untuk pertama kali diplomasinya melobi papi agar tidak masuk sekolah seperti keinginan papi, tak berujung kemarahan. Biasanya apa-apa selalu apa kata papi. Tak ada yang berani melawan Jenderal. Di rumah, semua mandat papi adalah perintah. Tak ada kata tapi. Tak pernah ada pilihan lain, tak ada diskusi. Semua kalimat yang muluncur berujung period bukan koma.
Setelah berhasil melobi papi, Ranting lari kegirangan menuju pohon Trembesi. Tak peduli lengannya tergores kulit pohon waktu memanjat, Ranting ingin buru-buru melompat-lompat di dalam rumah pohon terbuat dari kayu kamper itu.
Tapi keriangan tak berlangsung lama, sebab mami yang selalu ikut campur mengenai apapun di rumah, akhirnya ikut-ikut mengatur ini dan itu.
“Kamu ambil eskul science dan paskib ya, Ra. Jangan ikut eskul yang aneh-aneh,” begitu mami menggelontorkan SP ketika tahu Ranting diterima masuk SMP Negeri.
Eskul saja harus sesuai apa maunya, bukan berdasarkan minat dan bakat anak. Bagi mami semua harus sesuai dengan yang sudah diprogram. Bagi mami keberhasilan adalah melewati jalan yang sudah pernah dilaluinya, bukan jalan memutar atau jalan pintas yang mungkin akan dipilih ketiga anaknya, padahal tujuannya sama : sukses. Bagi mami jalan sukses juga bukan jalan yang nyaman dilewati oleh anak-anak, tapi jalan yang sesuai keinginannya. Mami tak peduli walau jalan yang dipilihkannya itu telah setengah abad lalu tak pernah lagi ada yang melewati.
“Tapi mam, aku maunya ikut karate sama marching band,” Ranting merajuk.
“Kalo nggak nurut, mami nggak kasih kamu uang jajan,” titik. Sama seperti papi, omongan mami selalu berakhiran titik, percuma dilawan.
Mami mana tahu kalau Ranting kesengsem dengan sepatu boots putih yang dipakai mayoret waktu demo marching band di sekolah. Mami juga mana mengerti kalau jantung Ranting sempat copot lihat wajah ganteng guru karate yang dampingi anak-anak demo karate di lapangan tengah sekolah.
Kalau sudah begitu Ranting hanya bisa lari dan bersembunyi di rumah pohon sambil cemberut. Rumah mungil di atas pohon yang selalu bisa membuatnya nyaman itu bahkan jadi tempat bertapa kalau ingin dapat wangsit untuk mewujudkan keinginannya.
Benar saja, setelah duduk bersila dan memejamkan mata beberapa menit di rumah pohon, muncul ide brilian untuk bisa ikut dua eskul yang ia yakini sebagai takdirnya itu. Ranting nekat mengisi sendiri form eskul dan memalsu tanda tangan mami di kolom persetujuan ortu supaya bisa ikut marching band dan karate. Kalau Ranting telat pulang sekolah mami tahunya karena eskul science. Atau kalau kulit Ranting sedikit berubah kecoklatan itu sebab latihan paskibra. Padahal..
Pernah suatu hari, baru sampai rumah dan capek habis latihan ‘kumite’ dan ‘kata’ di Dojo Garuda, mami cuap-cuap bikin kuping memerah.
“Ra, mami kan udah bilang kalo mau langsung eskul telepon dulu, jadi kalau kamu pulang telat mami nggak khawatir. Bandel ya, kalau dibilangin. Contoh tuh kak Dahan dan kak Bunga, nggak pernah melawan orang tua,” begitu mami selalu membanding-bandingkan Ranting dengan kedua kakaknya.
“Kamu lihat sendiri kan, kak Dahan jadi salah satu lulusan terbaik ITB, kenapa coba..?”
“Iyaaa, karena nurut sama mami, kaan,” Ranting menjawab dengan malas. Padahal ia tahu persis abang sulungnya itu inginnya kuliah di IPB. Tapi mana berani Dahan melawan.
“Lihat kak Bunga, belum lulus udah ada rumah sakit terkenal yang mau nampung praktek di klinik giginya. Coba kalau kemarin ambil spesialis internis kaya yang dia mau, belum tentu lho,” lagi-lagi mami berpikir dua anaknya yang terlihat sukses itu akibat menuruti semua omongannya.
Mami pikir Dahan dan Bunga legowo menikmati kesuksesannya saat ini. Padahal Ranting tahu betul betapa mereka dengan berat hati mengubur semua impian demi membuat mami-papi bangga. Melupakan kebahagiaan mereka sendiri demi kebahagiaan mami-papi.
Cuma Ranting yang tak pernah menurut, si bungsu yang sewaktu SD tak pernah senang kalau diantar-jemput pak Umang. Kalau melihat pak Umang sudah memarkir mobil di halaman parkir sekolah, Ranting selalu lari menyelinap agar tak ketangkap kejaran pak Umang demi mau berlama-lama jongkok milih-milih squishy model terbaru di depan gerbang sekolah.
Memang, cinta kasih mami-papi untuk ketiga anaknya berlimpah dan dikemas dalam bentuk kemewahan. Baju-baju, sepatu, tas, ataupun jam tangan bermerk, tidak perlu membujuk kalau minta dibelikan. Belum lagi uang jajan yang banyak, jalan-jalan rutin setiap weekend, atau makan di resto mahal, itu adalah sesuatu yang wajib diterima. Tapi timbal baliknya, tak ada yang boleh melanggar aturan yang diterapkan di rumah!
“Mam, Ra nggak bisa ikut keluar malam ini, ya. Ada temen ngerayain ultah di rumahnya,” suatu hari Ranting berencana ke pesta ultah teman sekolah.
“Besok kasih kado aja lah, Ra. Kita mau nyobain soto betawi Bang Haji Kumis, katanya enak. Yuk berangkat!”
“Mam, Ra diundang. Gak enak kalo nggak dateng.”
“Udah nggak usah bawel. Atau, jatah uang bulananmu mami potong, mau..?”
Skak mat, Ranting langsung membisu. Akhirnya rencana hura-hura bareng teman-teman malam itu, batal.
Bahkan harus berteman dengan siapa, pun mami yang atur.
“Tadi kamu pulang sama siapa, Ra?” sekali waktu mami yang mengintip dari jendela kamar dan memergoki Ranting pulang sekolah bareng dua teman cowok, langsung interogasi.
“Teman sekolah,” Ranting menjawab datar.
“Anak mana?”
“Sumur bor. Yang belakang pasar itu lho, mam. Tau, kan?”
“Yang pemukiman kumuh itu?” mami mencecar.
Ranting mengangguk ragu dengan tatapan memelas, berharap mami tak keberatan.
Ternyata, “Nggak usah temanan sama mereka lagi! Awas ya, Ra. Cari teman yang nggenah. Papimu tuh Jenderal, kamu harus jaga sikap. Paham, Ra..?!”
Bagai robot, kepala Ranting mengangguk dengan mulut terkatup.
Di rumah, memang cuma Ranting yang punya teman dari kelas sosial paling bawah dan paling atas. Variatif. Mami tahu itu. Tapi tetap saja, mami yang menjadi mesin filter untuk memilih siapa-siapa saja yang bisa jadi teman buat anak-anaknya. Hanya yang berstatus sosial setara yang mami terima. Akhirnya Ranting suka bohong kalau mau main dengan teman-teman dari kalangan bawah.
Belum lagi masalah hati. Kapan boleh pacaran, atau dengan siapa, semua mami yang mendikte.
“Mami perhatiin tiap malam kamu terima telepon. Dari siapa, Ra?” suatu pagi mami menodong pertanyaan ketika sarapan bareng anggota keluarga lengkap.
“Mmm, teman,” jawab Ranting spontan, untuk menutupi kepanikan.
“Masih sekolah tuh, belajar. Nggak usah pacar-pacaran dulu. Nanti kalau udah kerja dan punya uang sendiri, baru boleh. Ngerti kamu, Ra?!” lagi-lagi yang bisa dilakukan Ranting hanya mengangguk.
Di sebelah mami, papi hanya mesam-mesem tanpa komentar. Sebab urusan begini memang ia serahkan semua ke mami. Dahan dan Bunga ikutan menunduk bagai daun putri malu yang merunduk kalau kesentuh, sebab statement mami tadi sudah pasti berlaku juga untuk mereka. Alhasil masa pubertas putra-putri mami-papi tak pernah seindah drakor.
Di rumah, banyak hal yang rasanya mengekang langkah. Kadangkala Ranting malas pulang ke rumah, sebab rumahnya tak seperti rumah yang seharusnya menaungi dan bikin tenteram hati. Kadangkala Ranting sengaja berlama-lama di sekolah atau tempat eskul hanya tak ingin cepat sampai rumah. Kadangkala Ranting lebih betah di luar rumah atau berdiam diri di rumah pohon demi ingin bebas menjadi diri sendiri.
Meski tak dipungkiri, mami-papi tetap menjadi idola Ranting. Mami yang selalu dominan dan otoriter di rumah, sebenarnya sosok yang sangat dermawan. Mami adalah guru terbaik untuk belajar berbagi. Kalau memberi sesuatu ke orang, mami tak pernah hitung-hitungan dan jumlahnya selalu fantastis.
Suatu hari mami kasih angpao untuk tukang sampah komplek dan sekantong besar setelan baju untuk anaknya.
“Nggak kebanyakan ngasih segitu, mam?” tanya Ranting setelah mengintip isi amplop.
“Nggak apa-apa. Kita nggak akan jadi miskin dengan berbagi,” kalimat wasiat mami itu selalu melekat di hati.
Ketika ada keluarga yang nikah, mami juga selalu kasih kado perhiasan emas lengkap, satu setel seprei lengkap dengan bed cover, dan tea set mewah.
“Sama orang lain saja kita ngasih, apalagi sama keluarga,” begitu mami selalu mengajarkan.
Kalau papi, meskipun seorang Jenderal kesederhanaannya selalu jadi panutan. Walau banyak uang papi tak pernah beli barang-barang mahal untuk dirinya sendiri kecuali mami yang belikan.
“Papi nggak pede pakai baju batik yang ini, Ra,” suatu hari raut papi gelisah sebelum berangkat kondangan, dipaksa mami pakai batik yang baru beli.
“Keren kok, pap,” putri bungsunya mencoba menenangkan.
“Terlalu mewah coraknya, malu dilihatin orang.”
“Biarin pap, biar mereka tahu kalau baju mahal. Kan papi Jenderal, biar mereka hormat,” Ranting mengutip kata-kata mami.
“Orang hormat itu karena sikap kita, Ra. Bukan karena penampilan. Kalau kita selalu baik sama orang lain, mereka pasti segan.”
Itu yang selalu diajarkan papi. Papi yang berwajah garang tapi berhati lembut, selalu punya tempat istimewa di hati Ranting.
Ranting berhenti melamun, sejenak merapikan bantal-bantal yang menyanggah tubuhnya di sofa coklat. Apartemen semakin lengang, rumah baru Ranting ini jadi terasa asing. Ia memejamkan mata. Dalam khayal satu gelembung partikel mendekat lagi dan pecah disentuh telunjuk Ranting. Kenangan masa lalu bermunculan lagi, saat-saat Ranting mengukir prestasi demi prestasi tanpa dukungan mami.
Kala itu beberapa bulan setelah masuk SMP.
“Udah deh Ra, tobat! Numpuk-numpukin dosa, mau masuk neraka, lo?” Saat istirahat Jihan, teman sekelas yang tinggal satu komplek, berlagak menasehati.
“Han, bohong buat kebaikan masih dapat tiket ke surga, kok,” jawab Ranting santai.
“Hallooow, kebaikan buat siapa?”
“Ya buat gua, lah.”
“Nah itu masalahnya! Tiap lo pulang telat, gua yang ditelpon mami lo. Jadi siapa gerangan yang bohong?”
“Elo.”
“Siapa yang masuk neraka?”
“Elo.”
“Yang masuk surga?”
“Gua,” jawab Ranting acuh, membuat tangan Jihan langsung mengacak-acak pucuk kepala Ranting. Mereka berdua ngakak mentertawakan percakapan konyol tadi.
Ranting yang ngotot banget mau ikut Marching Band gara-gara kasmaran dengan sepatu boots putih setinggi lutut yang ada rumbai-rumbainya di bagian atas, bikin Jihan tak habis pikir.
“Tapi faktanya sekarang elo cuma peniup terompet, Ra. Mimpi lo udah kebawa ombak ke tengah laut. Wake up..!”
“Elo tuh, ya! Agnez Mo sebelum mendunia kaya sekarang juga awalnya cuma pembawa acara tralala trilili, tauu. Jangan ngeremehin gua, masuk neraka dua kali mau, lo?”
Derai tawa mereka meluncur lagi. Jihan yang akrab dengan Ranting, sering dimanfaatkan untuk membantu Ranting kasih seribu satu alasan ke mami kalau Ranting pulang telat. Rumah Jihan juga jadi tempat menyimpan terompet yang disuruh pelatih dibawa pulang untuk latihan di rumah.
Suatu sore, “Mau ada lomba marching band antar sekolah kata pelatih. Formasi perkusi, musik, semua mau dirubah. Termasuk, ma yo ret!” Ranting melambatkan kata terakhir.
“Demi apa??” Jihan terbelalak.
Ranting mengangguk mantap.
“Posisi mayoret masih terbuka untuk siapa saja. Kata pelatih, yang berminat boleh ikut audisi,” alis kanan Ranting turun-naik meledek Jihan.
“Ya terus, emang lo bisa?”
“Hari gini apa sih yang nggak bisa, Han. Percuma youtube diciptakan, kalau nggak bisa bantuin orang-orang penuh semangat kayak gua.”
“Elo tuh gila, bukan semangat!”
Jihan dan Ranting ngakak bareng. Ranting itu si pembangkang baik hati yang pantang menyerah, makanya diam-diam Jihan bangga berteman dengannya. Semua yang Ranting lakukan, walau terlihat ‘nakal’ tapi tak ada yang keluar jalur. Nakalnya selalu untuk hal-hal positif. Andai mami-papinya tahu mereka juga pasti bangga, Jihan selalu berpikir begitu.
Keesokannya, pulang sekolah Ranting nekat menyelinap ke gudang sekolah bersama Jihan buat mencuri tongkat Pramuka untuk latihan mayoret.
“Mau lo taruh di mana? Jangan paksa gua nyimpan barang curian ya, Ra,” belum apa-apa Jihan sudah pasang verboden.
“Tempat parkir sepeda kan, dempetan sama kantin. Gua lihat tembok pemisahnya ada celah dikit buat talang. Di situ tempat terbaik,” Ranting menjentikkan jari.
“Perfekto!” Jihan mengacungkan jempol.
Setelah itu selama dua minggu tiap pulang sekolah, Ranting sembunyi-sembunyi latihan tongkat mayoret ditemani Jihan di pelataran berumput di belakang gedung sekolah.
Audisi pemilihan mayoret pun tiba. Tes pertama pelatih melempar tongkat mayoret dari jauh, harus ditangkap dan tak boleh jatuh. Ranting berhasil. Selanjutnya Ranting dipersilahkan unjuk kebolehan memainkan tongkat mayoret.
Malam harinya di rumah pohon, “Sekarang percaya kan lo, hasil nggak akan mengkhianati usaha,” Ranting bisik-bisik menelpon Jihan.
“Elo kepilih?? Waaaa.. Elo emang sakti, Ra!” Jihan memekik bahagia.
“Bentar lagi si rumbai putih bakal nempel di kaki gua tiap event, Han! Amaaziiiiing..!!” Ranting bergulingan di atas lantai papan kayu rumah pohon.
Setelah itu problem pertama muncul. Marching Band diminta tampil dalam perayaan milad sekolah. Mau tak mau Ranting harus jujur ke mami sebab harus kumpul di sekolah jam setengah 6 pagi dengan mengenakan kostum lengkap dari rumah.
Malamnya sepulang gladi resik, “Mam.. Jangan marah, ya,” takut-takut Ranting mendekati mami yang lagi ngeteh bareng papi di ruang keluarga.
“Bikin salah apa kamu?” tanya mami langsung ke sasaran.
“Ra udah bohong.”
Dahi mami mengkerut, matanya menatap sinis.
“Besok Ra pentas marching band di sekolah,” Ranting menunduk pasrah, siap menerima kemarahan mami.
Mami tak menjawab. Bagai kutub utara yang tak mempan meleleh disorot matahari, sikap dingin mami bikin hati Ranting menggigil dan ciut.
“Ra lulus audisi mayoret loh mam, ngalahin sepuluh kandidat. Padahal mereka bagus-bagus juga, tapi ada satu trik muterin tongkat mayoret yang…”
Mami tiba-tiba berdiri, dengan dagu terangkat jalan meninggalkan Ranting yang belum selesai cerita. Papi berdehem, kemudian melipat koran yang sedang dibaca.
“Waktu pendidikan AKABRI papi juga anggota marching band, tapi main perkusi,” papi mengambil alih situasi. Malam itu papi memberikan dukungan lewat kata-katanya, bikin dada Ranting plong.
Setelah lulus SMP, Ranting tetap melanjutkan ikut Marching Band di Gelanggang Remaja. Ia tetap menjadi mayoret andalan. Bahkan pada kejuaraan Grand Prix Marching Band se-Jabodetabek Ranting berhasil meraih predikat sebagai Mayoret Terbaik.
“Ngapain sih masih ikut-ikut marching band, Ra. Kamu kan udah SMA, harusnya fokus belajar!” seperti biasa, mami yang dimintai doa sebelum bertanding biar Ranting bisa juara, malah ngomel-ngomel.
“Ra belajar kok, mam. Rapot Ra nggak pernah ada merah, kan?”
“Iya, tapi nggak pernah 3 besar kaya kakak-kakakmu,” mami mulai membanding-bandingkan. Bagian yang paling tak disuka Ranting.
“Jadi mami mau datang ke lomba nggak? Ra dapat dua free pass buat mami-papi kalo mau datang,” Ranting memotong cuap-cuap mami biar tak kebablasan. Ia meletakkan dua lembar tiket gratis di meja makan.
Mami cuma melirik.
“Jam berapa lomba mulai, Ra?” papi tiba-tiba menghampiri meja makan, membaca tiket gratis itu.
“Jam 8 pagi, tapi kita dapat nomor urut 7. Doain ya, pap.”
“Pasti kamu juara, Ra!” begitu doa papi, dan terkabul.
Padahal saat lomba mendung melatari cakrawala Stadion Madya. Awan-awan hitam menggelayut di langit, gelegar gluduk pun ikut-ikutan memberi tanda kalau rintik air akan mengguyur bumi. Tak selang lama langit kelelahan menopang awan yang berisi udara hasil kondensasi. Tetes-tetes air mulai lengser membasahi lapangan bola berumput, tepat ketika nomor urut 7 dipanggil untuk tampil.
Ranting bersiap-siap, ia memberikan aba-aba pada pasukan untuk bergerak ke tengah lapangan. Display digelar. Walau diterpa guyuran hujan pasukan tetap tampil apik di bawah komando Ranting. Ditambah atraksi-atraksi spektakuler memainkan tongkat mayoret yang tetap ditampilkan Ranting di tengah derasnya hujan, akhirnya Ranting berhasil meraih predikat Mayoret Terbaik.
Hari itu kejutan lain datang bawa kebahagiaan. Papi hadir bersama mami! Walau tak menunjukkan raut bangga ketika Ranting mengacungkan piala ke arah mami, tak mengapa.
Lain lagi kenangan saat mami lagi-lagi mengamuk waktu Ranting ketahuan ikut karate gara-gara kecantol sama pelatihnya yang ganteng. Kalau habis latihan karate, besoknya pasti terlambat sekolah karena bangun kesiangan akibat tak bisa tidur sampai menjelang pagi karena terbayang-bayang wajah tampan sang pelatih.
Tapi hormon pubertas yang meletup-letup ini justru bikin Ranting giat berlatih. Sampai-sampai ia terpilih sebagai wakil sekolah pada kejuaraan karate antar pelajar se-DKI. Ranting berhasil meraih medali emas Kumite Perorangan Putri, walau pipi dan pelipisnya biru-biru kena pukulan nyasar.
Di arena pertandingan Ranting ditakuti lawan-lawannya. Tapi buat Ranting, omelan mami yang paling ia takuti.
“Kamu maunya apa sih Ra, terus-terusan ngelawan mami? Mau jadi preman ya, ikut-ikut karate segala? Tuh lihat, pada bengkak mukanya!”
Ranting diam, menunggu waktu yang pas untuk menjawab.
“Mami tahu kamu cuma mau genit-genitan ke pelatihnya. Iya, kan? Kaya perempuan nggak bener aja, kamu!”
“Tapi Ra dapat medali emas, mam. Nih, buat mami,” Ranting menyodorkan medalinya, coba merayu mami.
“Mami nggak butuh! Mami cuma pengen kamu nurut!”
Mami melenggang masuk kamar, membanting pintu. Saat itu entah kenapa ada yang terasa menusuk-nusuk batin. Omelan mami kali ini menggoyahkan pertahanan Ranting. Dada dan mata Ranting memanas, ia sedih. Kerja kerasnya berlatih dan pengorbanannya sampai benjut-benjut, ternyata tak ada artinya buat mami. Padahal tadinya Ranting berharap medali emas yang ia peroleh bisa bikin mami bangga.
Ranting langsung lari ke halaman belakang, memanjat pohon Trembesi dan masuk ke rumah pohon. Ia menangis.
Ranting menghela napas di atas sofa coklat, rautnya muram mengingat kenangan itu. Tinggal satu gelembung partikel yang terbang mendekat, namun ia tak tertarik untuk memecahkan sebab berisi kenangan yang buatnya pilu. Yaitu saat Ranting ketahuan mami menerima cinta Arya, cowok sekelasnya di SMA. Mami sampai ingin merobohkan rumah pohon Ranting dan menebang pohon Trembesi kalau Ranting tak mau bilang putus ke Arya.
Demi rumah pohon yang selalu setia menemani Ranting kalau susah dan senang, akhirnya Ranting mengikuti mau mami dan janji akan menurut. Ranting mulai menjadi seorang anak seperti keinginan mami-papi, meski tak berlangsung lama. Sebab kepura-puraan itu justru menyesakkan dada. Makanya Ranting minta pindah ke apartemen papi sebagai siasat untuk lepas dari aturan-aturan mami-papi yang membelenggu.
Ranting berharap apartemen ini bisa jadi rumah pohon baru buat dirinya. Rumah yang bisa jadi tempat untuk tak berpura-pura menurut padahal membangkang. Rumah yang tak hanya ingin didengar, tapi mau mendengar. Rumah yang tak bikin takut kalau kita salah melangkah, tapi juga ikut bangga jika kita menuai prestasi. Rumah tempat menampung gelisah dan menyembunyikan tangis. Rumah untuk jadi diri sendiri.
Tapi apa bisa?
Apartemen ini terlalu mewah untuk jadi rumah pohon yang Ranting mau. Apartemen ini tak bertengger di atas pohon Trembesi, tak ada aroma kayu lapuk yang kerap tercium kalau singgah saat gerimis, juga tak bisa dengar alunan angin yang menyelusup lewat sela dinding papan.
Ranting menggeliat, bantal-bantal kecil penyanggah punggung bergelimpangan ke lantai. Ia mulai mengantuk, matanya memejam.
Mulut Ranting bergumam saat ruhnya hampir terlepas dari jasad, “Home is not just a place, it’s a feeling.”
Ranting tahu, rumah bukan hanya soal dimana tempatnya. Tapi rumah adalah rasa di hati. Dimana pun jika membuatmu nyaman, itulah rumah. Rumah ada dalam dirimu!
Ranting pun terlelap.
- SELESAI -
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
