
Bab 1 bisa dibaca gratis ya gaiss, setelahnya berbayar. Selamat membaca, dan semoga sukaa
After HTS
Bab 1
“Jadi, biar aku luruskan, Mas. Selama empat bulan kita sama-sama ini, kamu nggak punya niat apapun sama aku? Kita sekadar berteman untuk kamu?” Valencia atau yang akrab disapa Enci itu menatap Pange dengan tatapan serius.
Lelaki itu dengan selisih usia lima tahun di atas Enci itu mengangguk. “Kamu orang yang menyenangkan, Nci. Dan, obrolan kita nyambung, karena itu aku senang dengan komunikasi kita selama empat bulan ini.”
Valencia diam beberapa saat, berusaha menyamarkan rasa kecewa dan sakit hatinya kepada lelaki yang berstatus manager di kantornya itu. Gadis itu diam, ia masih bisa memberikan senyuman kepada Pange meski perasaannya sudah tidak karuan.
“Kamu salah paham dan menganggap hubungan kita lebih dari itu, ya?”
Pertanyaan bodoh apa yang baru saja Pange berikan untuk Valencia itu? Jelas gadis itu menganggap hubungan mereka special. Chattingan hampir setiap jam dan setiap hari. Telepon dan video call setiap malam. Pap random, saling memberi kabar di setiap kegiatan masing-masing. Jalan berdua setiap seminggu sekali.
Valencia mengembuskan napas pelan. Tidak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki yang menganggap enteng sebuah perhatian, dan menyamakan segala bentuk pertemanan?
“Iya, aku yang salah, Mas. Maaf sudah salah memahami sikap kamu selama ini.” Ini bukan kali pertama, menghadapi lelaki seperti Pange sudah berulang kali Valencia rasakan. Namun, bersama Pange sedikit berbeda. Karena Valencia bertemu dengan lelaki itu ketika usianya telah siap untuk menikah. Ada banyak harapan yang ia bangun sendirian ketika lelaki itu mendekatinya. Namun, segalanya hancur karena ekspetasinya sendiri.
“Aku yang minta maaf, aku yang salah. Harusnya dari awal, aku sudah mempertegas segalanya sama kamu. Maafin aku, Nci.”
Tatapan mata itu adalah tatapan mata yang paling Valencia benci. Bagaimana cara Pange menatapnya dengan binar kasihan. Lelaki itu tidak perlu mengasihani Valencia, karena sudah sejak lama, gadis itu mengasihani dirinya sendiri, karena berulang kali bertemu dengan lelaki tidak jelas seperti Pange.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku anggap masalah kita udah clear, jadi nggak perlu ada yang aku bingungkan lagi. Tapi, setelah ini, aku rasa kita nggak perlu komunikasi seintens dulu.” Gadis itu mencoba terlihat baik-baik saja, dan ia sudah sangat terlatih melakukannya. Semuanya tentu saja karena Pange bukan lelaki pertama yang memperlakukannya seperti ini.
“Kamu … nggak akan tiba-tiba menjauh kan, Nci?”
Gadis itu tertawa dan menggeleng, “Masih satu lingkup kerja, Mas. Santai aja, kita berdua udah terlalu dewasa untuk tiba-tiba asing karena salah pahamku, kan?”
Selalu begini. Entah Pange adalah lelaki ke berapa, dan akhirnya tetap sama. Komunikasi mereka berakhir, dan Valencia tidak pernah bisa marah kepada mereka. Tidak ada kata umpatan yang menyakitkan. Karena gadis itu selalu menerimanya dengan legowo. Dan, mungkin karena itu juga para lelaki itu sering kali kembali untuk menanyakan kabar, beranggapan mereka bisa memulai kembali dengan Valencia, setelah gadis utama yang mereka incar tidak berhasil mereka dapatkan.
Menyedihkan, bukan?
***
“Nci, weekend ke mana? Ikut kita, yuk. Rencananya mau main ke tempat rafting gitu, di Bandung. Jadi, nanti jumat sore kita berangkat pulang kerja pakai mobilnya Pange, balik minggu malam gimana?”
“Aku udah punya jadwal nih, Mbak.”
“Sama siapa? Pange kan ikut kita.”
“Mau pulang ke rumah, mau istirahat aja, lagi nggak enak banget badannya.”
Rachel –asisten manager sekaligus teman baik Pange—tampak diam sejenak, menyadari jika ada yang tidak beres, sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum. Berkata kepada Valencia, jika gadis itu berubah pikiran, ia hanya harus menelepon Pange atau Rachel.
“Lo berantem sama Valencia?” Rachel tidak lagi bisa menahan diri. Ketika makan siang tiba, di ruangan milik Pange, gadis itu langsung bertanya. Bukan hanya ada mereka berdua di sana, Aleta dan Nino –sepasang kekasih— yang menyandang status sebagai manager dan asistennya itu juga berada di sana.
“Dia ngomong apa sama lo?” balas Pange santai sembari memakan sushi miliknya.
“Nggak ngomong apapun, dia cuman nggak mau ikut rafting bareng kita weekend nanti.”
“Ih, kenapa?” sahut Aleta yang tengah menyuapi Nino dengan sushi itu. “Nggak seru tahu kalau membernya nggak lengkap.” Ia menatap Pange dengan tatapan tidak terima.
Pange diam, hanya focus memakan sushinya yang membuat dua gadis yang merupakan teman baiknya itu berdecak kesal. Namun, sesaat kemudian, ketika Wira –asisten manager pertama dari Pange— masuk sembari membawa kopi pesanan mereka, ia tertawa pelan sembari meletakkan kopi itu di meja. Sedikit mendengar pembicaraan teman-teman mereka ketika hendak masuk ke ruangan Pange tadi.
“Kebiasannya si Pange,” katanya.
Rachel dan Aleta menoleh ke arah Pange dengan tatapan mata melotot. “Lagi, Nge? Sampai kapan sih mau main-main terus?” tanya Rachel kesal.
Dua gadis itu sudah hapal betul bagaimana tabiat Pange ketika dekat dengan seorang gadis. Dekat tanpa niat apapun. Dengan dalih masih memilih, lelaki itu tidak mau memberikan ikatan serius kepada gadis yang sedang ia dekati. Entah sampai kapan Pange akan terus begitu. Belum benar-benar ada gadis yang berhasil membuatnya luluh.
“Gue pikir tuh kali ini beda. Soalnya dari perlakuan lo ke Valencia itu kelihatan lain dari yang dulu. Gue pikir lo udah sayang sama ini anak, tahunya malah sama aja,” dumel Aleta. “Biar gue tebak, kali ini dia nampar atau siram lo pakai air?”
Melihat Pange yang diam, Rachel melotot tidak percaya. “Lo nggak di apa-apain? Kok bisa?”
Tidak mendapat jawaban dari Pange membuat Aleta menghela napas pelan. “Tuh, gue bisa menjamin sih kali ini lo pasti ada nyeselnya dikit. Valencia itu beda dari cewek-cewek yang pernah lo dekatin dulu, Nge. Dia ini anak baik.”
Pange menyeruput colanya setelah menghabiskan sushi miliknya, ia bangkit berdiri dan menatap Wira, “Wir, sushinya enak. Tolong pesenin lagi buat Enci, tapi nggak usah bilang dari gue,” katanya sebelum berjalan keluar ruangan menuju smooking room. Ia butuh udara bebas setelah mendengar celotehan dua teman perempuan terbaiknya itu.
“Cewek mana coba yang nggak melibatkan perasaan kalau si Pange kasih perhatian terus menerus kayak gini.” Aleta menatap kepergian Pange dengan tatapan sedih. Berharap semoga temannya itu segera menemukan gadis baik yang membuatnya berhenti memiliih.
***
Terhitung seminggu Pange dan Valencia tidak lagi berkomunikasi. Di kantor, Pange dengan kesibukannya jarang sekali bertemu dengan Valencia, karena bahkan ketika makan siang, lelaki itu menghabiskannya di ruangannya, tidak lagi memiliki kesempatan untuk bertemu Valencia di kantin kantor.
Hari ini, setelah beberapa hari belakangan sibuk dengan pekerjaannya. Pange akhirnya bisa makan seperti biasa di kantin kantor bersama dengan Wira dan Nino. Namun, seolah memang tidak direstui semesta, lelaki itu tidak menemukan keberadaan Valencia di sana.
“Gue sebenarnya penasaran deh, Wir,” ucapnya ketika ia dan dua temannya itu hendak menuju smooking area.
“Apaan?”
“Makanan dan jajanan atau minuman yang gue minta lo kirim buat Enci, beneran sampai ke dia, kan?”
“Iya, kenapa?” tanya Wira yang tidak mendapat sahutan dari Pange. Dan, seolah menyadari alasan dari pertanyaan Pange, Nino terkekeh pelan. “Kenapa, sih?” tanya Wira bingung.
“Temen lo yang super gengsian itu bingung, kok bisa Valencia nggak ngechat apapun setelah menerima pemberian dari dia.”
“Lah, bukannya lo melarang bilang ke Valencia kalau semua makanan itu dari elo, ya?”
“Ya, dia maunya Valencia sadar dengan sendirinya kalau makanan itu dari dia.”
Wira menggeleng bingung, “Drama banget hidup lo, Nge.” Ia mendorong pintu kaca yang menjadi pembatas ke smooking area itu, masuk diikuti Pange dan Nino, namun langkah mereka terhenti begitu berpapasan dengan Valencia dan dua temannya –satu cowok dan satu cewek—yang hendak keluar ruangan.
Situasi mendadak canggung, apalagi ketika Pange melihat dengan jelas bungkus rokok yang dipegang oleh Valencia di tangan kiri gadis itu. Dan, seolah menyadari ke mana arah tatapan Pange, perlahan Valencia menyembunyikan rokok itu di belakang tubuhnya.
“Mari, Pak,” sapanya sembari mengangguk dan tersenyum sopan, bersama dengan dua temannya.
Ketiganya hendak kembali melanjutkan langkah, keluar dari smooking area, namun langkah Valencia terhenti ketika Pange tiba-tiba saja mengambil rokok yang masih ia sembunyikan di belakang tubuhnya, yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya.
“Mas!”
Gadis itu menjerit kesal tanpa sadar begitu Pange dengan seenaknya membuang rokok itu ke tempat sampah.
“Kenapa?” tanya Pange dengan tenang. “Kalau mau rokok itu balik, ambil aja di apartemenku. Masih hafal nomor unitnya, kan?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
