
Diambil dari Kisah Nyata! 18+
Berawal dari sesi kedekatan curhat-curhatan, Nana dan Herman terlibat dalam sebuah hubungan terlarang disaat mereka sudah memiliki pasangan sah masing-masing. Padahal Herman sudah tahu jika Nana adalah sepupu dari istrinya sendiri, Yani. Keduanya sepakat untuk menikah dengan tujuan memberikan nafkah batin untuk Nana karena suaminya sedang merantau di pulau seberang.
Jika hukum poligami diperbolehkan, lalu bagaimana dengan poliandri?
Tentu saja ini menjadi pertikaian tak...
BAB 1
Sebelum masuk ke cerita, aku mau menjelaskan dulu soal cerita ini yang akan menuai pro dan kontra. Mohon maaf jika pemahaman ceritanya bakal buat orang salah paham. Dan disini akulah yg salah sebagai penulis karena mengambil sudut pandang pemain. Namun sekali lagi, ini diambil dari sudut pandang orang pertama yang belum mendalami pehaman agama. Aku tau jika Poliandri itu hukumnya haram. Tapi ini benar-benar kisah nyata yang berjalan 2 tahun lalu terbongkar di tahun yang lalu.
Sengaja saya angkat kisahnya supaya para pembaca mengambil pembelajaran aja dalam cerita ini ditambah dengan unsur adegan dewasa di wattpad. Lalu membahas soal Poliandri yg juga jarang terjadi di Indonesia tapi tak sedikit pula ada yang melakukan tindakan seperti itu di beberapa daerah. Lagipula Poliandri memang belum banyak orang awam yg paham tentang hukumnya karena kebanyakan soal poligami.
Maka dari itu aku angkat cerita nyata ini supaya para pembaca tau ada resiko yang akan dipertanggungjawabkan jika mereka melakukan tindakan seperti di cerita ini. Bagi yang sudah tau, silahkan dinikmati saja bagaimana alurnya dan gimana kelanjutan dari ceritanya.
Cerita sudah dipublikasikan di platform lain. Jika kalian menemukan kesamaan dengan dari cerita ini, mungkin kalian pernah membacanya di platform lain. Namun, dibuat berbeda disini ialah aku menambah unsur vulgar di platform ini, berbeda dari yang lain.
Note : Pemeran Muhlis bukan saya ya guys!
Awal cerita masih memakai pov Herman atau Nana (sudut pandang orang pertama) dalam cerita ini.
Jika suka cerita ini, tambahkan ke perpustakaan kalian!!
Typo bertebaran!
♪
♪
♪
Herman POV
"Apa kita harus melakukan ini?" tanya Nana, saat ia sudah memakai pakaian pengantin.
"Menurutmu bagaimana? Apa kita harus melakukan zina agar kita leluasa berhubungan?" tukasku sambil merapikan jas hitamku.
Hari ini, aku akan mempersunting Nana menjadi istriku. Lebih tepatnya istri keduaku tanpa memberitahu Yani, istri pertamaku.
Alasan aku ingin menikahinya adalah ingin memberikan nafkah batin untuk Nana yang jarang didapati oleh suaminya sendiri, karena suaminya merantau bekerja di Kalimantan dan setahun sekali dia pulang.
Bisa dibilang ini adalah pernikahan kedua kami tanpa memberitahu keluarga kita masing-masing. Seandainya jika aku mengutarakan niatku untuk menikahi Nana, pihak keluarga dan Yani pasti tidak akan menyetujuinya karena Nana sudah bersuami. Terlebih Nana adalah sepupu istri pertamaku. Padahal niat baikku itu adalah hanya memberikan nafkah batin untuk Nana saja yang jarang didapatkan dari suaminya.
Aku kasihan melihat Nana yang selalu seperti orang tertekan dan pusing menghadapi segala sesuatu. Entahlah aku juga tidak tahu kenapa ia seperti itu, dan mungkin itu semua karena pekerjaannya yang sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja di kantor balai desa.
Aku dan Nana akhir-akhir ini dekat seperti orang pacaran karena melihat sifat Nana yang begitu manja terhadapku. Berawal dari ia yang sering curhat perihal masalahnya hingga obrolan kami menuju ke pembahasan sex. Dari situlah aku mengerti jika Nana seperti membutuhkan nafkah batin yang jarang diperoleh dari Dana, suaminya. Entah darimana aku kepikiran untuk menikahi Nana supaya ia mendapatkan apa yang ia peroleh nanti. Maka dari itu aku mengajaknya untuk menikah secara siri supaya aku bisa memberikan ia nafkah batin tanpa harus melakukan hal zina.
"Ayo, kita sudah ditunggu oleh Pak penghulu di depan," sentak Muhlis yang baru saja masuk ke kamar.
Kami bertiga berjalan keluar menghampiri penghulu dan juga beberapa orang yang akan menjadi saksi pernikahanku.
"Sudah siap?" tanya beliau saat aku dan Nana duduk dihadapannya.
"Sudah, Pak." Walaupun ini bukan pernikahan pertamaku, tetap saja aku masih gugup untuk melakukannya. Terlebih lagi pernikahan kedua kami tanpa dihadiri oleh sanak saudara, kecuali Muhlis yang menjadi wali untuk Nana.
Sebenarnya orangtua Nana masih ada. Namun, kami tak berani mengajak mereka dan menjadikannya wali untuk Nana karena pernikahan ini pasti akan ditentang oleh mereka.
"Baiklah, saya nikahkan engkau saudara Herman Abdullah bin Harin dengan saudari Nana Anindya Putri binti Hidrullah dengan mas kawin ... dibayar tunai."
Aku menarik napas. "Saya terima nikahnya Nana Anindya Putri binti Hidrullah dengan mas kawin ... dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
"Alhamdulillah ...."
Kami berdoa setelah pengucapan ijab kabul berjalan dengan lancar. Aku menoleh menghadap Nana dan ia langsung meraih tanganku untuk diciuminya. Kini Nana sudah menjadi istriku. Aku tak perlu takut lagi untuk menjalin hubungan dengannya karena kami sudah sah secara agama.
♦♦♦
"Ingat janji kalian kalau jika semuanya ini terbongkar, jangan pernah melibatkan aku!" ucap Muhlis saat kami berdua di berada di depan kamar pengantin.
"Tenang saja, aku tidak akan melibatkanmu ataupun menyebut namamu jika semua ini terbongkar," ucapku meyakinkan dia.
"Ingat janjimu, Her!" Muhlis berlalu meninggalkan aku di depan pintu kamar.
Sejujurnya aku juga merasa cemas jika suatu saat nanti pernikahan keduaku dengan Nana akan diketahui oleh pihak keluarga. Apalagi aku dan Nana tinggal di pelosok kampung. Jika semuanya terbongkar, siap-siap saja aku dan Nana akan menjadi buah bibir di sana hingga sampai ke kampung-kampung sebelah.
Namun, aku menepis semua pikiran itu terlebih dahulu karena ini malam pertamaku dengan Nana. Hal yang mungkin ditunggu-tunggu oleh Nana.
Aku membuka pintu kamar dan memasukinya, memperlihatkan istriku keduaku yang kini sedang bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponselnya. Kini Nana sudah berganti pakaian dan hanya memakai lingerie berwarna merah muda hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Tanpa sadar aku menelan air ludahku sendiri.
Diumurnya yang sudah berkepala tiga, body Nana benar-benar masih terlihat ramping. Kulitnya yang putih dan tubuhnya yang langsing membuatku tak sabar untuk segera menyatukan tubuh kami. Berbeda sekali dengan Yani, istri pertamaku. Walaupun wajah Yani lebih unggul daripada Nana, tapi body Yani terlihat gemuk tanpa perubahan dari tahun ke tahun.
Dari dulu setelah melahirkan anak bungsu kami, bobot Yani perlahan mulai meningkat. Yani tak pernah berkeinginan mengkuruskan badannya karena dia bilang jika orang gemuk itu pertanda orang sehat.
Aku memang tak mempermasalahkannya. Tapi makin lama aku juga membandingkan tubuh Yani dengan tubuh-tubuh wanita lainnya yang terlihat ramping. Bagaimana aku membayangkan ketika di ranjang dengan tubuh Yani yang terlihat ramping.
"Bang, kamu kenapa berdiri di depan pintu?"
Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar teguran Nana. Aku melihat Nana yang masih bersandar di kepala ranjang tak bergerak sedikitpun. Aku hanya tersenyum lalu mulai melepas jas hitam yang aku kenakan dan menggantungnya di belakang pintu.
"Kamu sudah mandi?" tanyaku.
"Sudah, barusan tadi."
Aku melihat rambut Nana yang masih terlihat basah. Aku mulai mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Setelah beberapa menit, aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian santai sambil membawa pakaian pengantinku. Aku melirik ke arah Nana yang kini sedang menelpon seseorang. Dari arah pembicaraannya aku bisa tahu kalau ia tengah berbicara pada anaknya.
"Ya, nanti Mama akan pulang besok lusa. Jaga adik-adikmu, minta tolong ke nenek kalau butuh apa-apa. Yasudah, assalamualaikum."
"Dinda?" tanyaku setelah Nana mengakhiri panggilannya sambil menghampirinya. Dinda itu adalah anak pertama Nana yang berusia 14 tahun sama seperti putriku, Nadia.
"Iya."
Aku perlahan duduk di tepi ranjang dengan keadaan bisa terbilang gugup. Aku melirik Nana yang mulai memainkan ponselnya. Namun, raut wajahnya kelihatan terlihat tegang dan gugup. Apakah Nana juga sama sepertiku?
Aku berinisiatif mendekat kearahnya dan bersandar juga di kepala ranjang di samping Nana. Aku mulai merangkulnya hingga Nana kini mulai menyimpan ponselnya. Ia mulai menatapku dengan malu-malu.
Oh Tuhan! Sepertinya aku sudah mulai tak sabar!
Aku mendekati wajahnya hingga napas kami saling menerpa di wajah kami.
"Bolehkah?" bisikku meminta izin. Aku perlu meminta izin padanya terlebih dahulu takut ia menolak tak ingin disentuh dulu.
Nana mengangguk malu-malu pertanda mengizinkanku menikmati tubuhnya. Aku tersenyum tipis dan mulai menyatukan bibirku pada bibirnya. Tanganku juga tak tinggal diam, meremas pinggang Nana dengan sensual sambil menikmati hanyutan ciuman kami.
"Mhh ...." Nana melenguh saat tanganku berada di puncak payudaranya dan meremasnya lembut.
Setelah cukup, ciumanku turun ke bagian leher dan membuat tanda di area tersebut. Aku tak perlu khawatir jika tubuh Nana diberi tanda kissmark olehku, karena suaminya tidak ada disini. Jikapun Nana keluar, ia pasti memakai kerudung menutupi rambut dan leher.
"Ahh, Mas!"
Aku menaikkan lingerienya hingga menampilkan paha mulusnya. Tanganku bergerilya disana lalu mulai perlahan masuk ke area sensitifnya. Wanita itu mendesis kenikmatan saat area sensitifnya itu aku sentuh dengan tangan dan bibirku.
Segera aku membuka pakaian kami hingga kini kita sudah tidak memakai pakaian apapun melekat di tubuh kami. Kulit bersih nan putih Nana langsung membuat libidoku bergejolak meningkat. Tubuhnya yang ramping dan menggiurkan. Beda sekali dengan bentuk tubuh Yani yang terlihat agak gempal.
Mata Nana pun tak pernah lepas dengan bentuk kebanggaanku. Ia seperti terpukau dengan penisku yang memang terbilang besar dan cukup panjang.
"Mau pegang?" tawarku sambil memainkan penisku dihadapannya.
"Besar banget, Bang." Nana seperti takjub dengan bentuk penisku.
"Memang penis Dana nggak besar?" tanyaku sambil meraih tangannya, mengarahkannya ke penisku.
"Lumayan sih, tapi gak sebesar dan panjang seperti punya abang," jawab Nana dengan tangannya mulai mengurut batang penisku. Tentunya sebagai lelaki aku merasa bangga jika ada wanita yang memuji bentuk penisku.
"Cobalah, mulai sekarang benda ini juga sudah menjadi milikmu."
"Milik Yani juga 'kan, Bang?" tanyanya geli.
Aku terkekeh kecil. "Ya, benda ini milik kalian berdua. Istri-istri abang."
Nana mulai mengasah benda pusakaku yang mengeras dengan kedua tangannya. Menggenggam dengan kedua tangannya, lalu menaik-turunkan dengan lembut.
"Hisap, Na!" titahku merasa kurang puas.
Nana mendekatkan kepalanya lalu mulai membuka mulut dan memasukkan kepala penisku.
"Shh!" Aku mendesis merasa geli dan nikmat.
Perlahan Nana mulai menyedot bagian tersebut hingga aku menggelinjang merasakannya.
"Shh, terus, Sayang. Hisap yang kuat!"
Nana mulai memasukkan penisku hingga hanya sebatas pangkalnya saja. Sepertinya ia tak bisa memasukkan semuanya hingga mentok karena penisku tak cukup sampai mengenai tenggorokannya.
"Yeahh terus ... Shh."
Aku memegang bagian kepalanya lalu memerintahkannya untuk memaju-mundurkan. Bahkan aku sampai menekan kepalanya, melahap seluruh penisku hingga membuatnya mual dan tersedak.
Uhuk! Uhuk!
"Pelan-pelan, Bang!" sentaknya setelah melepas penisku.
"Hehe, maaf. Abisnya nikmat banget tadi."
Nana memegang penisku lalu mengocoknya yang sudah basah dengan air liurnya. Aku memerintahkan dia untuk menghisap lagi dan langsung dituruti. Kali ini aku biarkan dia menikmati penisku tanpa menekan lagi bagian belakang kepalanya. Kepala Nana bergerak maju-mundur dengan cepat melahap penisku. Mulutnya bukan hanya menghisap, melainkan menjilat dan menyedot penisku dengan liarnya hingga membuatku mendongakkan kepala merasakan kenikmatan.
"Ouhh yaa terus, Sayang!" ujarku dengan mata merem-melek.
Aku tak menyangka jika Nana pandai dalam mengoral penis pria. Caranya melakukan hal tersebut benar-benar piawai seperti pemain bokep yang selalu aku tonton di ponselku.
Aku yang tidak ingin keluar didalam mulutnya dengan cepat langsung melepaskan penisku dari bibirnya dan merebahkan tubuhnya hingga telentang di ranjang. Aku menaikinya dan mencium bibirnya dengan nafsu yang menggebu-gebu. Tanganku juga tak tinggal diam dengan meremas lembut puting payudaranya hingga membuat Nana mengerang dalam ciuman kami.
Ciumanku turun hingga kini aku berhadapan dengan bukit kembar istri keduaku. Payudaranya tak terlalu besar dan juga tak terlalu kecil. Ukurannya sedang tapi pas dengan telapak tanganku. Aku meremasnya dan memelintir puting susu berwarna kecoklatan tersebut.
"Ahh, mhh ...."
Mulutku melahap putingnya yang tampak menggoda untuk dilahap. Nana langsung mendesah saat putingnya dihisap kuat olehku. Tangannya pun juga sibuk meremas-remas rambutku, melampiaskan rasa nikmat yang aku ciptakan di puncak payudaranya.
Aku melahap payudara sebelah kanan, sedangkan sebelah kiri aku remas-remas dengan tanganku. Aku terus melahap kedua payudaranya secara bergantian hingga kini keduanya sudah dalam keadaan basah dan memerah akibat perbuatanku.
Tanganku aku sibakkan kedua pahanya hingga mengangkang. Aku melihat selangkangan Nana yang tampak begitu menggoda sekarang. Jembutnya tak terlalu lebat dan dipangkas dengan rapi menambah kesan seksi pada bagian tersebut.
Aku membelai area tersebut yang sudah mengeluarkan lendir lengket pertanda Nana telah terangsang.
"Banghh ...." Nana memejamkan mata saat tanganku memainkan lembut bagian vaginanya.
Aku membelai biji kacang yang tampak menonjol tersebut dengan jariku dengan lembut. Sesekali aku menyentil bagian itu hingga membuat Nana melenguh merasa nikmat. Aku mendekat kearah vaginanya lalu menjilati klitorisnya.
"Ouhh, ahh!!"
Aku terus menjilatinya dengan pelan lalu berubah menjadi rakus melahapnya. Kepalaku dijepit oleh kedua paha Nana hingga aku berusaha menyibaknya dengan tangan kiriku, sedangkan tangan yang satunya mulai bekerja memasukkan jari-jariku kedalam vagina Nana.
"Ahh, Bang! Ahh ouhh ... Shh, enak!" Nana terus meracau dan menggelinjang saat vaginanya aku permainankan dengan lidah dan jariku. Rambutku ditarik-tarik olehnya mengungkapkan perasaan nikmatnya yang begitu memuncak.
Cukup lama aku memainkan area tersebut, aku menyudahinya setelah dirasa vaginanya sudah cukup basah. Aku kembali mencium Nana dengan tangan meremas-remas payudaranya.
Tanganku aku arahkan penisku kearah lubang surgawinya lalu mulai memasukkannya perlahan.
Jleb!
"Mhh!!" Kami sama-sama melenguh dalam ciuman setelah tubuh kami akhirnya telah menyatu.
Aku belum bergerak karena membiarkan penisku diremas-remas dengan kuat oleh dinding otot vagina Nana. Rasanya benar-benar nikmat dan sempit seperti perawan. Mungkin karena Nana jarang mendapatkan nafkah batin dari Dana, membuat otot vaginanya kembali menyempit seperti ini.
Setelah dirasa cukup lama aku membiasakan penisku didalam, perlahan aku mulai menggerakkannya hingga kami merasakan kenikmatan.
"Ahh mhh, shh ... Ahh!" Nana mendesah setiap penisku keluar-masuk didalam tubuhnya.
"Shh ... sempit banget punyamu, Na. Ahh!" ujarku merasa nikmat dengan remasan vaginanya.
"Ouhh! terus, Bang. Sedikit lebih cepathh!"
Aku menurutinya dengan menambah tempo ayunan pinggulku. Suara desahan dan erangan kami memenuhi penjuru kamar pengantin kami. Peluh telah membasahi tubuh kami yang sudah tampak mengkilap.
"Ahh! ahh! ouhh! enak, bangh! Terus ... Yeah!"
"Enakan, Sayang? Enak? Inikan yang kamu mau?" tanyaku tetap terus menggempurnya.
"I-iya, Bang! Ahh! ahh! enak banget, Banghh. Shh ... Ouhh!"
Plok! Plok! Plok!
Suara benturan dari selangkangan kami bercampur dengan desahan Nana menambah nafsuku. Istriku terus meracau mengungkapkan betapa nikmatnya penisku. Aku mencium bibirnya, membuatnya suara desahannya meredam dalam ciuman kami. Tanganku pun juga ikut aktif merangsangnya dengan memainkan payudaranya, sesekali mencubit pentilnya itu.
Setelah dirasa cukup lama dengan posisi misionaris, aku memerintahkan Nana untuk menungging ingin menusuknya dari belakang.
Jleb!
"Ahh!"
Aku mengayunkan pinggulku dengan cepat dengan kaki bertumpu di kasur. Gaya kali ini benar-benar terasa nikmat. Aku dan Nana terus mendesah dan mengerang. Aku menarik rambutnya hingga kepalanya mendongak dengan mata merem-melek.
"Ahh! Ahh! Ouhh ... Bang, mhh!"
"Arrgghhtt! Nikmat banget memekmu, Sayang!!"
Plok! Plok! Plok!
Kami berdua terus berganti gaya bercinta. Dari gaya biasa hingga gaya dimana Nana berada diatas tubuhku. Tangannya menopang di dadaku sambil pinggulnya bergerak maju mundur mengebor penisku.
Setelah dirasa cukup lama kami bermain, aku merasakan vagina Nana berkedut-kedut menandakan ia akan segera mencapai puncaknya.
"Ahh! Ahh! Bang, a-akuh mau sam-paihh, mhh!"
"Tahan, Sayang. Abang juga akan segera keluar. Kita sama-sama keluarnya."
Aku ikut goyang dengan tempo yang cepat hingga Nana menjerit-jerit. Tanganku memegang bokongnya, sesekali juga meremasnya. Kami tak mempedulikan suara-suara kami yang akan terdengar sampai diluar dan didengar oleh Muhlis. Bagi kami, kenikmatan malam pertama ini begitu sangat-sangat nikmat dirasakan.
"Ahh! Ahh! Bang! Aku gak ku-kuat, ahh!" Sepertinya Nana sudah mulai mencapai batasnya.
"Kita sama-sama, Sayang. Abang juga mau keluar."
Plok! Plok! Plok!
Aku terus menghujamkan batang penisku dengan cepat setelah dirasakan desakan untuk keluar. Suara dengusan kami saling memburu mengejar kenikmatan. Keringat membanjiri tubuh kami walaupun kipas angin menyala dan mengarah ke kami. Namun, tetap tak membuat kami merasa adem.
"Ouhh! Ahh! Bang, aku keluar! Arrkhh!!!"
Serr!!
Aku merasakan pijatan kuat dan rasa hangat di penisku setelah Nana mendapatkan klimaksnya, membuatku ingin juga menyusulnya. Nana jatuh diatas tubuhku hingga menindih tubuhku, tapi pinggulku masih terus menghujamnya.
"Shh ... Ahh! Abang juga mau keluar, Sayang! Abang keluarnya dimana?" tanyaku dengan terus menghujamnya dengan cepat.
"Ke-keluarkan didalam saja, Bang. Ahh ... Hah!"
"Serius?"
"Iya!!"
Mendapatkan persetujuannya, aku terus memompa penisku dengan cepat hingga aku akan merasakan puncak kenikmatan.
"Ahh! Abang keluar! Arrgghhtt!!"
Crot! Crot! Crot!
Aku menekan pinggulku kedalam vagina Nana, menyemprotkan benih-benihku didalam sana. Kepala Nana terkulai di samping kepalaku. Napas kami masih memburu setelah mencapai kenikmatan duniawi.
Rasanya benar-benar luar biasa. Aku tidak menyangka jika seks tadi begitu menakjubkan. Tak pernah aku dapatkan seperti ini dari Yani.
"Bang." Nana menegurku dengan tubuhnya masih di atasku yang masih terkulai lemas. Penisku masih didalamnya belum aku keluarkan.
"Kenapa?" tanyaku memeluk tubuhku.
"Makasih."
Aku menyeringit bingung. Aku tidak tahu maksud dia bilang makasih terhadapku.
"Makasih untuk apa?"
"Makasih karena yang tadi. Aku gak nyangka abang benar-benar pekasa."
Ohh, aku mengerti sekarang.
"Iya, abang juga senang kok telah memberimu nafkah batin. Tapi kamu puas, 'kan?" tanyaku sedikit khawatir. Aku takut cara permainanku tak membuatnya puas hingga ia menyesal telah menikah denganku.
"Puas, puas banget malah. Aku benar-benar takjub tadi dengan permainan abang," jawabnya yang membuatku bernapas lega.
"Tapi abang belum puas lho," ujarku menggoda.
"Hah? Abang belum puas?" tanyanya mengangkat kepalanya dan menatapku.
"Iya, abang kurang puas. Abang masih mau lagi soalnya. Nggak cukup cuma sekali."
"Ish! Abang mah!" ucapnya manja dan mencubit perutku.
"Lagi ya?"
"Ish! Abang!!"
Aku tertawa saat melihat rona malu-malu di wajahnya.
Malam pertama kami, kita berdua terhanyut dalam gairah yang meletup-letup seperti pengantin baru. Kali ini di ronde kedua, Nana yang mulai aktif bergerak. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Nana seagresif ini ketika di ranjang. Mungkin karena hasrat yang ia pendam selama ini akhirnya terbayar melalui diriku. Mungkin karena Dana yang pulang setahun sekali mengakibatkan Nana haus akan sentuhan dan belaian dari pria.
Ahh!!
Oh Tuhan, sepertinya aku tak akan menyesal menikahi Nana yang sudah membuatku bergelora.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 2
Sudah tiga hari aku berada di kota bersama Nana ditemani Muhlis. Aku sengaja menyuruh Muhlis menemani kami di kota untuk berjaga-jaga saja supaya orang di kampung tidak dibuat curiga saat aku pulang bersama Nana selama tiga hari. Pasti aku dan Nana akan menjadi bahan gosipan ibu-ibu hingga sampai ke telinga Yani, walaupun Yani sendiri orangnya tak begitu percaya selagi ada bukti akurat.
Selama tiga hari kami disini, aku dan Nana menikmati waktu berdua kami di kota tanpa perlu khawatir ketahuan oleh keluarga maupun tetangga. Sebenarnya ada beberapa sanak saudara yang tinggal di kota, tapi aku sengaja memilih daerah yang sedikit lebih jauh dari mereka supaya lebih aman saat aku bersama Nana keluar bersama.
Setelah keluar dari penginapan pada pukul tiga sore hari, kami bertiga langsung pergi meninggalkan kota bersiap kembali ke halaman kampung kami yang berjarak cukup jauh.
Dengan menggunakan mobil pribadiku, aku menyusuri jalanan yang masuk ke arah perkampungan yang rumahnya rata-rata disini itu rumah panggung.
"Bang, kita mampir dulu ya ke penjual bakso. Buat anak-anak," ucap Nana di sampingku.
Aku hanya mengangguk dan mengendarai mobil dengan kecepatan pelan akibat jalan yang kulalui ada yang jelek, sekalian melihat-lihat di pinggir jalan siapa tau ada penjual gerai bakso di sekitar sini.
"Kau mau apa, Lis?" tanyaku pada Muhlis di belakang. Kulihat dari spion, Muhlis sedang sibuk bermain ponsel daripada menemani kami berbicara. Tumben, biasanya dia yang paling banyak bicara dan selalu membuat topik. Namun, kenapa dia mendadak diam seperti ini?
"Tidak usah. Aku cuma mau sampai di rumah sebelum Maghrib," balasnya tapi tetap pandangannya tak beralih dari ponselnya.
"Diam aja dari tadi, Lis. Gak kayak biasanya," pancingku.
"Gak lagi mood untuk bicara dulu."
Aku tak bertanya lagi dan kembali fokus mencari gerai bakso di pinggir jalan. Apa karena Muhlis terlibat dalam pernikahan keduaku, dia mendadak jadi diam seperti ini?
Ah, aku tidak peduli. Lagipula aku telah memberinya beberapa uang untuk menjadi wali Nana di pernikahan kedua kami. Saat mengetahui Muhlis membutuhkan uang untuk membayar hutangnya, aku mengajukan persyaratan padanya untuk menjadi wali pernikahan kedua Nana sekaligus tutup mulut.
Muhlis sempat menolak waktu itu dan mengatakan padaku bahwa aku dan Nana ini sudah gila. Namun, aku terus membujuknya untuk ikut dan memberikan sejumlah uang tambahan supaya dia mau menjadi wali Nana.
Sebenarnya Nana ini masih punya saudara laki-laki dan beberapa keluarga lainnya. Namun, aku lebih percaya kepada Muhlis, karena aku tau wataknya dia yang tak terlalu ikut campur dalam urusan orang dan bisa dipercaya dalam menjaga rahasia.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sudah tiba di area perkampungan kami yang penduduknya sekarang lebih maju. Jika kalian menganggap perkampungan ini itu masih seperti suasana kampung pada zaman dulu, kalian salah. Kampung ini sekarang sudah lebih maju akibat teknologi yang sudah merambat ke kampung ini.
Berawal dari anak-anak KKN terdahulu yang membangun kampung ini lebih maju, akhirnya pak kepala desa membuat inisiatif untuk membangun kampung ini seperti layaknya di kota. Kami pun para warga tentu menyetujuinya dan bergotong royong untuk membangun kampung ini supaya lebih maju dengan teknologi. Namun, tetap suasana perkampungan di desa ini harus tetap di jaga.
"Aku turun di depan saja," cetus Muhlis setelah kami hampir tiba disebuah perempatan jalan. Aku tak berkomentar apapun dan menuruti permintaannya.
"Ingat ya sama janji kalian!" ucapnya setelah ia turun dari mobil lalu berjalan menjauh.
Aku tak menanggapinya dan melajukan mobilku kembali dengan pelan karena sedikit lagi kami telah sampai di rumah.
"Muhlis kayak takut banget kalau kita bocor melibatkan dia," ucap Nana.
"Ya begitulah. Mungkin dia nggak mau namanya dijadikan bahan omongan orang-orang."
Aku menurunkan Nana di depan gang rumahnya. Rumah Nana hanya berjarak beberapa cm dari jalanan poros. Aku tak perlu lagi repot-repot memasukkan mobil ke dalam dan mengantarkannya.
"Ingat ya, jaga rahasia kita," ucapku sebelum Nana turun.
"Pasti."
"Kalau mau minta 'itu' lagi, kabarin saja ya, Na," ucapku menggodanya.
Nana tersenyum malu lalu keluar dari mobil. Dilihat suasana sore seperti ini, sudah banyak orang yang bersantai di luar rumah. Dari orang-orang yang mengobrol dengan tetangga mereka, sampai anak-anak yang bermain di sore hari.
Aku tak perlu takut mengantar Nana barusan, karena tanggapan mereka aku dan Nana satu keluarga dari pihak istri pertamaku. Lagipula orang-orang disini tidak akan berpikiran negatif tentangku apalagi Nana karena kami dikenal baik di masyarakat sini.
Aku menjalankan kembali mobilku dan memarkirkannya di depan rumah sederhana keluargaku. Jarak rumahku dan rumah Nana begitu berdekatan. Hanya dibatasi dua rumah saja. Ini menguntungkan buatku karena aku begitu mudahnya datang ke rumah istri keduaku tanpa perlu memakai kendaraan.
Begitu indahnya mempunyai tetangga yang merupakan istri keduaku.
"Assalamualaikum!" salamku setelah didepan pintu yang terbuka melihat ketiga anakku yang sedang menonton televisi.
"Waalaikumsalam!"
Anak-anak langsung menghampiriku dan takzim pada ayahnya.
"Ayah beli apaan?" tanya Arham, anak bungsuku.
"Lihat saja sendiri." Aku memberikan oleh-olehku yang sempat aku beli di kota kepada mereka.
Arham dan putri keduaku, Citra langsung mengambil cepat bungkusan plastik dan membukanya. Sedangkan Nadia, anak sulungku hanya duduk saja sambil memperhatikan kedua adiknya membuka makanan dan kue yang kubeli.
"Mama mana?" tanyaku pada Nadia.
"Ada tuh di dapur."
Aku langsung ke arah dapur dan melihat Yani sedang memasak untuk makan malam.
"Sudah selesai?" tanya Yani sambil memasak. Maksud dia bertanya seperti itu adalah apakah pekerjaanku sudah selesai.
"Ya, pekerjaan sudah beres."
"Bapak beli apaan buat anak-anak?"
"Cuma bakso sama beberapa kue."
Aku berbalik sambil membuka kemejaku lalu berjalan ke kamar. Namun, aku menghentikan langkahku karena ponselku tiba-tiba bergetar pertanda ada pesan masuk di saku celana.
Nana
[Nanti malam ke rumahku ya?]
Aku menyeringit bingung. Kenapa Nana memintaku datang ke rumahnya malam ini?
[Kenapa?]
Nana
[Kangen.]
[Lah? Baru beberapa menit pisah masa udah kangen?]
Nana
[Ish! Pokoknya malam ini datang! Aku mau lagi.]
[Hahaha ... mau apa?]
Nana
[Sudahlah kalau tidak mau datang kesini!]
Yah, di cemberut ternyata, hahaha. Pasti dia ingin minta 'itu' lagi padaku. Aku berjalan ke kamar supaya enak untuk berbalasan pesan dengannya.
[Jam berapa? Anak-anakmu bagaimana?]
Nana
[Dinda tidur di rumah neneknya. Kalau urusan Dio sama Ari itu urusan gampang.]
[Oke, tapi jam berapa?]
Nana
[Jam 11 malam]
[Oke.]
Aku tersenyum sambil perasaanku mulai tak sabar untuk menantikan malam nanti. Pasti Nana ingin minta nafkah batin lagi dariku. Namun, bukannya sebelum pergi kami sempat melakukannya terlebih dahulu. Tapi sekarang kenapa dia minta lagi?
Ah, mungkin karena keperkasaanku di ranjang, hingga membuat Nana ingin minta lagi dariku. Duh, aku jadi gak sabar!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 3
Nana POV
Aku tak menyangka jika sekarang aku telah menjadi istri kedua dari suami sepupuku sendiri. Entahlah kemana akal sehatku berada hingga dengan bodohnya menerima pinangan Bang Herman, terlebih aku ini sudah bersuami.
Kami sengaja tidak memberitahu pihak keluarga kami tentang pernikahan kedua ini karena tentunya niat kami pasti di tolak dengan keras oleh mereka. Hanya Bang Muhlis saja yang dijadikan wali supaya pernikahan ini berjalan lancar di depan Pak penghulu. Itupun kami paksa supaya dia mau ikut dengan kami setelah diiming-imingi uang bayaran.
Sebelumnya aku sempat ragu untuk menikah dengan Bang Herman. Akan tetapi Bang Herman meyakinkanku jika ia hanya ingin membantu meringankan bebanku saja. Bahkan Bang Herman sudah mempersiapkan semua di kota dengan penghulu dan beberapa saksi di sana. Bang Herman bilang aku tak boleh memberitahu statusku yang masih bersuami terhadap pak penghulu dan para saksi. Aku menanyakannya tentang hal itu tapi Bang Herman hanya menjawab supaya pernikahan kami berjalan dengan lancar. Ia takut jika timbul perdebatan saat aku membongkar status pernikahanku.
Awal dari semua ini ialah saat aku yang intens berkirim pesan pada Bang Herman hingga kami saling curhat-curhatan tentang masalah kami. Intensitas pertemuan kami pun juga saling cerita dan berkeluh-kesah tentang hari-hari kami. Namun, aku tidak tahu jika pesan yang dikirim Bang Herman akan merambat ke hal-hal mesum. Bukannya menghindar tapi aku malah menanggapinya hingga membuat tubuhku merasa panas dingin akibat pembahasan kami itu.
Aku yang sudah ditinggal Bang Dana yang bekerja di Kalimantan hanya bisa menahan dan meratapi nasibku yang jauh dari suamiku. Ada yang bilang jika istri ataupun suami yang jarang mendapatkan nafkah batin dari pasangannya, akan mengalami pusing-pusing hingga stress. Entah itu benar adanya tapi aku mengalaminya selama jauh dari Bang Dana. Apalagi ditambah pekerjaan dan urusan ibu rumah tangga membuat kepalaku terasa ingin pecah dibuatnya.
Aku pun sempat menceritakan hal ini kepada Bang Herman ingin mencari tahu apakah dia ada solusi untuk menghadapi masalah yang kualami ini. Tentunya ia hanya memberi saran supaya aku rehat sejenak dan tak boleh memikirkan apapun. Akan tetapi itu tetap saja aku sering mengalami pusing dan stress yang berkepanjangan. Dan aku menceritakan itu semua pada Bang Herman. Namun, yang membuatku terkejut adalah ia mengajakku untuk menikah dengan tujuan hanya ingin memberikan nafkah batinnya padaku. Bang Herman tahu jika aku sudah lama tak mendapat nafkah batin dari Bang Dana. Maka hal itulah dia mengajakku untuk menikah.
Aku sempat menolak keras dan menganggap Bang Herman ini sudah gila. Bisa-bisanya dia mengajakku menikah disaat aku ini masih berstatus suami orang. Tunggu aku cerai dulu dengan Bang Dana baru aku bisa menikah dengan Bang Herman. Itu yang aku tahu jika istri ingin menikah lagi. Lagipula Bang Herman ini adalah suaminya Yani. Bisa perang dingin dengan Yani dan keluarganya jika aku menjadi istri keduanya Bang Herman. Apalagi apa kata tetangga jika aku menjadi istri kedua. Ibu-ibu disini 'kan mulutnya pada tajam-tajam.
Namun, entah kenapa gairahku ini semakin lama semakin mengalahkan akal sehatku hingga membuatku menerima ajakan Bang Herman untuk menikah. Ya benar, setelah aku memikirkan jangka panjang dan bujuk rayu terus-menerus dari Bang Herman, akhirnya aku terima pinangannya itu dan melakukan pernikahan kami secara sembunyi-sembunyi di kota. Seandainya jika Bang Dana tidak pergi jauh, aku tidak akan mengambil tindakan bodoh seperti ini hanya untuk memperoleh nafkah batin dari Bang Herman.
Sempat kepikiran untuk menyusul ke Kalimantan dan tinggal dengan suamiku di sana. Akan tetapi aku memikirkan ketiga anakku dan juga orangtuaku disini. Jika aku membawa anak-anak, aku perlu memerlukan tempat tinggal yang layak untuk mereka disana.
Tempat tinggal Bang Dana di sana hanya sebuah petak kos-kosan saja. Bang Dana hanya menyewa satu kamar untuk tempat dirinya tinggal. Jika aku pergi ke sana, bagaimana nasib ketiga anakku yang harus berhimpitan saat tidur. Belum lagi-lagi barang-barang keperluan mereka yang membuat kamar kos Bang Dana begitu sempit. Kasihan anak-anak dan suamiku jika harus berhimpitan saat tidur.
Lalu bagaimana dengan orangtuaku. Aku tak apa-apa meninggalkan mereka disini, tapi tetap saja membuatku tak tega meninggalkannya. Walaupun ada adikku laki-laki Risky yang berusia 16 tahun, tetap saja aku masih tak tenang meninggalkan kedua orangtuaku. Cukup kakakku saja yang perempuan meninggalkan mereka karena dia harus ikut dengan suaminya merantau bekerja, sedangkan anak-anaknya dititipkan disini pada ibu dan bapak.
Bisa saja aku ikut menitipkan anak-anakku pada ibu dan bapak sama seperti kakakku. Namun, bukankah itu sama saja menambah beban mereka? Aku tidak ingin membuat ibu dan bapak kerepotan mengurusi cucu-cucunya, sedangkan orangtuanya sibuk mencari nafkah di pulau seberang. Umur mereka sudah terlihat tua harus mengurus banyak cucu-cucunya, walaupun aku yakin mereka sanggup. Akan tetapi apa kata orang-orang jika aku juga ikut menitipkan anak-anak pada orangtuaku.
Maka dari itulah aku memutuskan untuk memilih akal nafsuku daripada akal sehatku. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus melampiaskan hasratku ini setelah ditinggal suami dan hanya Bang Hermanlah yang menawarkan bantuan untuk memberikan nafkah batinnya padaku. Urusan ketahuan atau hati, itu urusan belakangan. Yang terpenting aku dan Bang Herman bisa menikah secepatnya.
Saat sebelum waktu kami menikah pun, aku sempat mengutarakan keraguanku kepada Bang Herman, apakah pernikahan ini sah-sah saja? Apakah hukumnya boleh menikahkan wanita yang sudah bersuami? Namun, Bang Herman meyakinkan jika pernikahan ini bakalan sah-sah saja jika semua persiapan pernikahan sudah tersedia semuanya.
Aku yang tak tahu apa-apa hanya bisa mengikutinya saja tak bertanya lagi padanya. Aku hanya berdoa semoga jalan yang aku pilih ini tidak akan berimbas pada nasib burukku kedepannya.
♦♦♦
Pikiranku begitu tenang sekarang. Jiwaku begitu segar setelah aku menikah dengan Bang Herman. Kata Bang Herman, jika aku menginginkan nafkah batin lagi darinya, aku harus mengabarinya dan menentukan waktu yang pas agar kami bisa bebas melakukannya. Tentu saja ditempat yang aman saat melakukannya yaitu di rumahku pada malam hari saat anak-anak sudah terlelap.
Seperti sekarang ini, aku memerintahkannya untuk datang dan mengulangi permainan kami pada malam hari disaat anak-anak sudah pada tidur. Aku berada dibawah kungkungan Bang Herman dengan pinggulnya bergerak menghujam tubuhku.
"Ahh! Ahh! Ouhh! Sedapnya!!" Aku terus meracau menikmati permainan panas kami.
"Jangan keras-keras teriaknya, Sayang. Nanti anak-anakmu pada bangun!" peringat Bang Herman dengan tetap terus menggempur ku.
"Ahh! Ahh! Nikmat banget soalnya, Bang!" balasku berbisik.
"Iya, Sayang. Tapi pelan-pelan saja mendesah ya!"
Plok! Plok! Plok!
Bang Herman menambah tempo permainan hingga aku harus menutup mulutku agar tidak mendesah keras akibat kenikmatan ini.
Aku menjalani statusku yang telah mempunyai dua suami. Bang Dana yang menafkahiku secara lahir, sedangkan Bang Herman yang menafkahiku secara batin. Entah sampai kapan aku menjalani semuanya ini. Asal semuanya tidak terbongkar, semuanya akan baik-baik saja.
Namun, ada yang mengganjal di pikiranku tentang hal ini, yaitu bagaimana reaksi Bang Dana nanti jika aku sudah menikah lagi? Apakah Bang Dana juga sama sepertiku yang tak bisa menahan hasratnya? Apakah dia selingkuh disana?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 4
Author POV.
Tak terasa hubungan terlarang Herman dan Nana sudah berjalan lima bulan tanpa diketahui orang-orang. Hendra dan Nana begitu cerdik mencari waktu kesempatan untuk mereka bisa berduaan tanpa membuat tetangga dan keluarga mereka mencurigai. Apalagi intensitas mereka bertemu paling sering di rumah Nana.
Di desa, kebanyakan orang-orang tidak akan keluar pada malam hari dan memilih berdiam diri di rumah menonton televisi. Masyarakat sini akan terlelap paling lama jam 11 malam dan jalanan akan terlihat sepi. Bahkan para orang yang membangun usaha wiraswasta akan tutup pada jam 11 ataupun 12 malam.
Jika Nana dan Herman ada kesempatan, mereka akan melakukan perbuatan 'itu' setelah menunggu anak-anak Nana tertidur. Yani tak pernah menaruh rasa curiga di mana biasa suaminya tidur. Yang Yani tahu, jika Herman tak tidur di rumah, dia akan meminta izin untuk bermalam di rumah saudaranya, temannya, atau rumah orangtuanya yang berada di sebelah rumah.
Selama belasan tahun ia berumah tangga dengan Herman, ia sudah tahu bagaimana sifat suaminya. Herman tak pernah neko-neko selama Yani mengenalnya apalagi sampai selingkuh. Yani begitu percaya terhadap suaminya. Dalam pikiran Yani, disini jarang adanya pelakor. Mau merebut suami orang tapi pekerjaan suami disini hanya modal pas-pasan tak seperti di kota. Kebanyakan pekerjaan laki-laki disini adalah bertani atau membuka usaha wiraswasta. Pelakor disini pun harus berpikir ulang untuk merebut suami orang jika ingin hidupnya lebih baik seperti di kota.
Kembali ke Nana dan Herman, pernikahan yang katanya bertujuan memberikan nafkah batin kepada Nana, kini keduanya sudah mulai makin intens kedekatannya. Jika tidak ada kesempatan pada malam hari, Herman akan datang ke rumah Nana pada jam siang atau sore hari hanya untuk sekedar mampir dan mengobrol dengan wanita yang sudah ia anggap sebagai istri keduanya, walaupun di rumah masih ada anak-anak Nana.
Sebelum menikahi Nana, Herman sempat merasa ragu waktu itu. Yang dipikirkannya adalah apakah Nana mau menerimanya? Tidak akan ketahuan kah hubungan mereka? Dan apakah Yani menuntut cerai darinya setelah semuanya terbongkar?
Sebagai orang yang tak paham mendalami ilmu agama, Herman tidak tahu kalau hukum menikahi istri yang masih bersuami adalah haram hukumnya. Pernikahan kedua mereka masih tidak sah karena keduanya tak tahu soal hukum Poliandri. Bahkan Herman dan Nana sepakat untuk tak memberitahu status Nana kepada Pak penghulu dan para saksi. Dengan memberikan bukti palsu status Nana kepada mereka, akhirnya pernikahan mereka disetujui oleh Pak penghulu tanpa mengetahui identitas Nana sebenarnya. Kecuali status Herman yang sudah jujur akan tentang statusnya yang sudah menikah.
Alasan Herman melakukan tindakan pemalsuan status Nana karena ia meyakini jika Pak penghulu pasti tak akan setuju menikahkan Nana karena dia masih berstatus suami orang. Pasti akan mendapat menuai pro dan kontra jika Pak penghulu dan saksi mengetahui hal itu. Maka dari itu Herman sudah menyiapkan semuanya supaya pernikahan keduanya dengan Nana berjalan dengan lancar hingga memalsukan status Nana yang sebenarnya.
Entah apa yang merasuki Herman hingga laki-laki itu berbuat nekad seperti itu. Padahal ia tidak cinta kepada Nana, tapi bisa melakukan tindakan seperti supaya bisa menikahi Nana. Namun dalam benak Herman, ini seperti sebuah tantangan untuknya karena ia akan menikahi seorang wanita yang masih berstatus suami orang. Di kampung sini, tidak ada orang yang melakukan tindakan ekstrim seperti itu. Hanya poligami saja yang ada disini dan diperbolehkan.
♦♦♦
Herman datang ke rumah Nana selepas Maghrib. Laki-laki itu langsung masuk ke rumah wanita yang sudah dianggap istri keduanya lalu berjalan ke ruang keluarga dengan santai seperti rumah Nana ini sudah biasa ia masuki.
"Wah wah! Ada acara apa ini?" tegur Herman melihat Nana dan anak-anaknya makan bakso di lantai.
"Nggak ada acara apa-apa. Anak-anak katanya mau makan bakso malam ini," jawab Nana.
"Sini makan bersama, Om." Dinda mengajak sopan kepada ayah sepupunya.
Herman duduk di sebelah Nana dan memperhatikan anak-anak Nana yang sedang makan, lalu beralih kepada Nana.
"Kamu nggak ikut makan juga?"
Nana menggeleng. "Nggak, perutku terasa melilit dari tadi sore."
Herman menyeringit tapi wajahnya menunjukkan rasa khawatir. "Tadi siang makan gak?" tanya Herman. Ia tahu Nana suka tak berselera saat makan. Kadang Nana melewatkan jam makan siang atau malamnya.
"Makan, tapi sedikit," jawan Nana lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding.
Kemudian anak-anak Nana kecuali Dinda sudah menghabiskan makanannya, lalu membawa piring kotor mereka ke dapur.
"Kenapa makan sedikit?" tanya Herman.
"Perutku nggak mau menerima beberapa suapan nasi lagi pas makan. Lagipula aku nggak nafsu makan tadi siang karena perutku terasa tidak enak dari pagi."
"Tadi pagi sarapan tidak?"
"Cuma sarapan 3 kue lapis."
Herman menghembuskan napasnya. "Itu perut kamu kurang asupan makanan, Nan. Coba kamu atur pola makanmu dan usahakan jangan pernah terlewati jam makan supaya perutmu itu nggak melilit seperti ini," ucap Herman perhatian. Tanpa sadar, Dinda melirik ke arah mereka setelah mendengar penuturan Omnya yang begitu perhatian terhadap ibunya.
"Iya, tapi tetap saja nafsu makanku berkurang kalau mau makan. Seperti malam ini," keluh Nana.
"Paksa aja, Nin. Yang penting perut kamu sudah cukup terisi nutrisi."
Aras dan Nizam--kedua anak laki-laki Nana keluar dari dapur. "Mah, aku ke rumah nenek dulu ya," ucap Aras, anak kedua Nana.
"Aku juga, Mah," sahut Nizam.
Rumah orang tua Nana hanya terletak di sebelah rumah Nana. Anak-anak kadang suka main disana karena di rumah neneknya ada kedua sepupu Aras dan Nizam.
Nana hanya mengangguk mengizinkan hingga Aras dan Nizam keluar bermain ke rumah neneknya. Dinda yang baru menghabiskan makanannya, pergi ke dapur meletakkan piring kotor di westafel lalu minum. Kemudian, ia berjalan ke arah kamarnya untuk mengerjakan tugas sekolahnya.
"Katanya kamu mau bangun lantai dua di atas?" tanya Herman.
"Iya, tapi itu baru rencananya. Uang dari Bang Dana belum cukup untuk membeli kebutuhan material."
"Kenapa mau bangun lantai dua?"
"Buat kamar anak-anak di atas."
"Ohh." Herman mengangguk lalu melirik kamar Dinda yang tertutup tapi masih menyisakan sedikit cela.
Nana menyenderkan kepalanya di bahu Herman karena situasi mereka hanya berdua saja sambil menyaksikan tayangan televisi. Herman mengelus lembut tangan Nana.
"Masih melilit perutnya?" bisik Herman. Nana hanya mengangguk.
"Udah di kasih minyak kayu putih?" Nana menggeleng.
"Mau dioleskan perutnya?" tanya Herman perhatian.
"Jangan aneh-aneh! Ada anak-anak disini!" protes Nana sambil mencubit perut Herman.
"Dinda 'kan lagi di kamar. Dia nggak lihat kok."
"Tetap saja nggak boleh. Nanti kalo Dinda tiba-tiba keluar gimana?"
"Ya kita alasan aja kalau perutmu lagi sakit."
"Iya, tapi yang membuat dia berpikiran aneh kenapa harus kamu yang mengolesi minyak kayu putih di perutku!"
Herman hanya tertawa kecil sambil matanya menyaksikan tayangan televisi. Tanpa mereka sadari, ada seorang remaja yang memperhatikan intensitas keduanya dibalik pintu kamar.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 5
Yani POV
"Tidur di mana Pak semalam?" tanyaku pada suami yang baru saja pulang pagi ini.
"Di rumah Muhlis."
Aku hanya mengangguk dan lanjut menyapu lantai. Anak-anak pun sudah pada berangkat ke sekolah dari tadi. Sudah menjadi kebiasaan jika Bang Herman baru saja pulang setelah ia bermalam di rumah temannya. Entah apa yang Bang Herman lakukan disana, tapi menurutku pasti hanya kebiasaan laki-laki saja yang menurutku tak ada gunanya. Entah main kartu, ngobrol sembari minum kopi, atau lebih-lebih sampai mabuk.
Bang Hendra melepas baju yang ia kenakan dan celana panjangnya, lalu mengambil handuk yang tergeletak setelah Arham memakainya. Ia berlalu keluar hendak pergi mandi di bawah rumah.
Aku mengambil pakaiannya lalu menyeringit bingung saat melihatnya. Setahuku Bang Herman semalam tidak memakai baju ini? Lalu kenapa pagi ini bajunya bisa berubah?
Baju yang aku pegang ini berupa kaos berwarna orange bertuliskan 'My Life Style' di depan kaosnya. Tapi seingatku Bang Herman semalam memakai baju kaos berwarna hitam polos? Lalu kemana baju hitamnya itu? Lagipula aku seperti tidak asing dengan baju orange ini. Namun, aku lupa dimana aku pernah melihatnya.
Ah, sebaiknya nanti aku tanyakan padanya kemana baju hitamnya itu. Mungkin baju Bang Herman basah terkena air atau apa hingga membuat Bang Herman meminjam baju pada temannya.
Setelah urusan menyapu selesai, aku kembali ke dapur untuk memasak nasi. Jam 10 atau 9 pagi, barulah aku akan memasak lauk pauk untuk makan siang anak-anak.
Setelah meletakkan panci nasi diatas kompor, aku baru teringat bahwa garam halus di dapur sudah habis semalam. Aku berniat akan membelinya di warung depan rumah.
Setelah mengambil uang di kamar, Bang Herman muncul dengan memakai handuk saja di pinggangnya memperlihatkan perutnya yang buncit dan badannya yang kekar.
"Bang, tolong jagain nasi sebentar ya. Aku mau ke warung dulu beli garam," ujarku berpapasan dengannya.
"Oh iya, semalam baju bapak yang hitam kemana? Perasaan tadi malam bapak pakai baju itu? Lalu kenapa sekarang pakai baju ini?" sambungku bertanya sambil mengangkat baju dia yang tergeletak di ranjang.
Kulihat Bang Herman menelan salivanya lalu beralih menatapku. "Oh, tadi malam baju hitamnya ketumpahan kopi sama temanku. Jadi aku ditawari pinjam bajunya Herman," jawab suamiku.
"Oh, terus bajunya mana? kenapa nggak dibawa pulang?"
"Ketinggalan disana, Bu. Lupa dibawa tadi."
Aku hanya berohria saja dan berlalu dari hadapannya. Setelah sampai di warung, aku langsung membeli garam halus yang sempat habis di dapur tanpa perlu ngobrol-ngobrol dengan Rani, karena teringat nasi di rumah.
"Yan, sini sebentar deh." Rani, pemilik warung yang juga tetanggaku ini memanggilku sebelum aku sempat berbalik pergi.
"Ada apa, Ran?"
"Cuma mau ngasih tau kalau ada acara pernikahan di kota xxx. Anaknya Pak Rahman yang kedua mau menikah Minggu depan."
"Oh, yang anaknya jadi polisi itu?" tanyaku.
"Iya, calonnya berasal dari xxx."
"Oh ok, terus mobil siapa yang akan mengantar?"
"Aku udah tanya sama suamiku dan dia bilang pakai mobilnya. Kamu ajak Nini juga supaya tambah rame disana." Nini merupakan bagian keluargaku juga dan rumahnya beberapa meter dari sini.
"Baiklah, nanti aku kabari dia," balasku lalu hendak berbalik pergi.
"Eh, tunggu dulu, Yan!" Rani mencegahku pergi lagi.
"Aku mau nanya, akhir-akhir ini aku seperti melihat suamimu kadang selalu datang atau keluar dari rumahnya si Nana. Kamu tahu tidak?" tanya Rani.
Aku menyeringit bingung dengan maksud perkataan Rani. Bang Herman selalu datang ke rumah Nana? Tapi buat apa? Apakah Bang Herman ada urusan dengan Nana?
"Tidak, emang kenapa, Ran?"
"Maaf ya, Yan, bukannya aku bermaksud membuatmu berpikiran yang tidak-tidak tentang suamimu dan Nana, tapi Bang Yadi--suamiku pernah melihat Herman keluar dari rumah Nana jam 2 pagi saat dia lupa menutup warung akibat keasikan nonton televisi. Lalu barusan aku juga sempat melihat dia keluar dari rumah Nana."
Aku cukup terkejut hingga membuat tubuhku sedikit bergetar. Bukannya tadi dia bilang bermalam di rumah Muhlis? Lalu kenapa Rani bilang kalau Bang Herman baru saja keluar dari rumah Nana?
Tapi yang membuatku sedikit shock saat mendengar jika Bang Herman keluar dari rumah Nana di jam 2 pagi. Jika memang apa yang dikatakan Rani benar, ada urusan apa Bang Herman di rumah Nana sampai selesai di jam 2 pagi?
"Bang Yadi pernah memanggil suamimu saat melihat dia mau masuk ke rumah Nana. Tapi karena orang yang dipanggil tak berbalik ataupun merespon, Bang Yadi berpikir itu bukan Herman. Jadi Bang Yadi mengabaikannya dan berpikir itu adiknya Nana."
"Aku mengatakan ini bukan bermaksud untuk membuatmu kepikiran atau berprasangka buruk pada suamimu dan Nana. Tapi coba kau tanyakan cerita sebenarnya pada suamimu. Siapa tau, aku dan Bang Yadi salah paham dengan apa yang kami lihat selama ini."
Benar apa yang dikatakan Rani. Aku harus menanyakan kebenarannya terlebih dahulu pada Bang Herman. Aku harus berpikiran positif tentang Nana dan suamiku jika mereka tak berbuat macam-macam dibelakangku. Apalagi aku mengenal baik perangai keduanya selama ini.
"Terimakasih, Ran. Nanti aku akan coba tanya ke Bang Herman," jawabku.
"Jangan mengedepankan emosi ya, Yan." Rani memperingatkanku.
"Iya."
Setelah itu aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Entah kenapa pikiranku berkata jika keduanya memiliki hubungan. Tapi jika memang benar Bang Herman ada hubungan apa-apa dengan Nana, aku harus berbuat apa?
"Nasi sudah matang, Pak?" tanyaku setelah sampai di rumah dan melihat Bang Herman sarapan nasi goreng yang sempat aku buat sambil menonton televisi.
"Sedikit lagi, barusan aku aduk nasinya," jawabnya.
Aku menyimpan terlebih dahulu garam di dapur dan mengecek nasi. Setelah aku mengecilkan kompor, aku kembali ke depan berniat untuk membicarakan hal yang mengganjal di hatiku setelah pembicaraan dengan Rani.
"Pak, aku bertmau tanya." Bang Herman menatapku menunggu aku berbicara.
"Bapak selalu datang ke rumah Nana?" tanyaku hati-hati. Kulihat Bang Herman menghentikan kunyahan di mulutnya dengan mata yang menatapku sedikit terkejut.
"Rani dan Bang Yadi pernah melihat kalau bapak sering keluar masuk dari rumah Nana. Tapi yang membuat mereka curiga, kalau kamu pernah keluar dari rumah Nana pada jam 2 pagi. Apakah itu benar?" Melihat reaksi Bang Herman yang diam, aku mengatakan kembali apa yang barusan Rani katakan.
Bang Herman menghela napas lalu meletakkan piring yang sempat dipegangnya dan meminum air terlebih dahulu.
"Kamu jangan salah paham dulu soal aku sama Nana ya?" ucapnya setelah kebisuan melanda.
"Kamu udah dengar kalau Nana ingin membangun lantai dua di rumahnya?" tanyanya.
"Iya, bapak pernah bilang kalau Nana akan membangun lantai dua buat kamar anak-anaknya."
"Iya, bapaklah yang merekomendasikan aku pada Nana untuk membantunya. Nana meminta tolong padaku untuk mencari bahan-bahan material yang murah di kota karena dia takut uang dari suaminya tak cukup membeli semuanya."
"Dan soal aku yang sering datang ke rumahnya, aku cuma mau memberikan laporan padanya soal pencarian material yang aku dapat di kota."
"Tapi 'kan bisa lewat ponsel pak jika ingin melapor seperti itu."
"Kamu cemburu ya?" godanya.
"Apaan sih! Aku cuma nggak mau kamu jadi bahan gosipan tetangga disini," ucapku menggelak, walaupun sejujurnya aku juga merasa cemburu.
"Hahaha, kamu tenang sajalah, Bu, aku sama Nana nggak berbuat macam-macam. Lagipula kamu mengena baik suamimu ini. Tidak mungkin aku memiliki hubungan apa-apa dengan Nana yang jelas-jelas sepupumu sendiri. Nana sudah punya suami, aku pun juga sudah punya kamu, nggak mungkinlah kami mendua dibelakang keluarga kita. Bisa kena amukan warga jika aku dan Nana terlibat hubungan terlarang," candanya dengan senyum jahil terukir di bibirnya.
Penjelasannya membuatku perasaan yang mengganjal di hati perlahan menghilang. Apa yang dikatakan Bang Herman ada benarnya. Namun, masih saja da sedikit perasaan ada pertanyaan lain yang membuatku tak tenang.
"Lalu soal bapak keluar dari rumah Nana di jam 2 malam?" tanyaku kembali.
"Itu aku tak sengaja ketiduran di depan televisi rumah Nana. Aku dan Nana sempat berdiskusi soal bahan-bahan yang akan dibeli waktu itu, tapi karena Nana mau ke rumah orangtuanya dulu, aku berpikir untuk berbaring sejenak karena tubuhku merasa capek setelah perjalay. Eh, malah tak sengaja ketiduran hingga pukul 2 pagi," jelasnya. "Kalo kamu tidak percaya, kamu bisa tanya pada anak-anak Nana soal kejadian aku tertidur di rumahnya."
Penjelasan dari Bang Herman membuatku merasa tenang sekarang. Aku bersyukur jika suamiku dan Nana tak memiliki urusan apa-apa selain pekerjaan membantu Nana. Aku merutuki kebodohanku yang merasa terpercaya dengan pikiran negatif. Seharusnya aku percaya dengan suamiku. Tak boleh berpikiran macam-macam pada Bang Herman karena aku percaya jika dia tak pernah neko-neko selama ini.
"Bapak hampir setiap hari ke kota hanya untuk mencari bahan material?"
"Tidak, cuma 2 kali saja ke kota. Bapak juga tak bisa bebas kemana-mana karena bapak harus mengawasi proyek jalan di kampung xxx."
Aku mengangguk sekaligus merasa lega sekarang. "Maafkan aku, Bang. Aku kira kamu sama Nana memiliki hubungan lain," sesalku.
"Ah, kamu ini bagaimana. Masa iya aku dan Nana punya hubungan seperti itu. Ada-ada aja kamu," balasnya dengan geleng-geleng kepala tapi senyum tak lepas dari bibirnya. "Tidak apa-apa, aku mengerti kok jika istriku ini sedang dilanda cemburu."
"Udahlah, lebih baik aku mau cek keadaan nasi dulu." Aku lebih memilih pergi daripada mendengar candaan dia hingga membuatku malu. Tapi, perasaanku sudah mulai tenang sekarang setelah mendengar penjelasannya.
♦♦♦
Herman POV.
Setelah Yani kembali ke dapur, aku mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu.
[Na, sepertinya kita harus mengurangi intensitas ketemuan kita pada malam hari.]
Nana
[Loh, Kenapa?]
[Yani sempat mencurigaiku tadi setelah mendengar ucapan Rani dan Yadi yang pernah melihatku datang ke rumahmu. Tapi untung aku bisa memberi alasan yang logis padanya hingga membuat Yani percaya lagi padaku.]
Nana
[Oh gitu.]
[Kamu tenang saja, aku masih tetap memberikan nafkah batinku padamu walaupun tidak bisa selalu. Tapi kita harus mencari waktu yang tepat agar orang-orang dan anakmu tak mencurigai kita.]
Nana
[Iya, Bang, aku hanya ikut kamu saja.]
[Baju hitam sama celana dalamku sudah kamu temukan?]
Nana
[Sudah, ini aku mau bawa ke mesin cuci.]
[Jangan! Sebaiknya kamu langsung memberikannya padaku. Aku akan ke rumahmu nanti mengambil bajuku abis ini.]
Nana
[Emang bakalan aman, Bang?]
[Tenang saja, aku datang ke sana cuma sebentar, tak membuat orang curiga kok.]
Nana
[Ok, Bang.]
Aku menghela napas lega. Syukurlah aku pandai berbohong dan menipu Yani dengan alasanku. Untungnya Nana sempat meminta tolong padaku soal mencarikan bahan material. Dan alasan itulah aku mengatakannya pada Yani hingga membuatnya percaya padaku. Walaupun sebenarnya bukan hanya itu saja yang aku lakukan pada Nana dibelakangnya.
Akibat nafsu kami yang begitu tinggi dan terburu-buru membuat kami melemparkan pakaian ke sembarang arah. Saat malam panas itulah kami dibuat lupa waktu sampai pagi buta tiba.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 6
Nana POV
Suamiku
[Nan, minggu depan aku pulang. Mau dibawain oleh-oleh apa?]
Pesan dari Bang Dana membuatku girang seketika. Suamiku yang pulang setahun sekali selalu mengabariku jika dia akan pulang. Biasanya dia akan pulang sebelum setelah memasuki bulan puasa dan mengambil cuti tiga minggu. Atau hari lainnya jika disini punya keperluan mendadak.
Aku begitu senang mendengar kabar berita ini. Kalian tahu, istri yang ditinggal kerja oleh sang suami pasti harus menahan rasa rindunya. Terlebih lagi jika sang suami perginya begitu lama. Aku pun merasakan rindu pada Bang Dana setelah sekian lama. Ya walaupun ada Bang Herman yang kadang suka menemaniku kala sedang merasa sepi, tetap saja rasanya berbeda.
Jika dengan Bang Dana, aku bisa puas-puasnya bersama dengan dirinya tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti hal yang dilakukan olehku dan Bang Herman. Kehidupanku memang bisa terbilang sempurna memiliki dua suami yang begitu perhatian. Namun, tetap saja ada perasaan salah menjalani kehidupan seperti ini.
Apakah perasaan bersalah kepada Bang Dana dan Yani?
Mungkin saja. Tapi jika aku berhenti, apakah aku bisa bertahan dengan hasratku? Apakah aku bisa berhenti menyuruh Bang Herman datang padaku? Apakah Bang Herman akan menerimanya?
Minggu lalu saja saat aku meminta Bang Herman datang ke rumahku, dia tidak bisa datang karena harus menemani Arham sakit hingga membuatku begitu kesal. Segitu saja sudah membuatku kesal, apalagi jika harus menghentikan hubunganku dengan Bang Herman? Sanggupkah aku bisa lepas darinya jika aku merasa kesepian?
"Mah!"
Aku tersentak dan menoleh saat mendengar suara. Rupanya Dinda duduk di sampingku dan menatapku bertanya-tanya.
"Ada apa, Dek?"
"Mama ngelamun?"
"Ah, nggak kok. Mama lagi nonton," jawabku dusta sembari menunjuk layar televisi lalu kembali ke arah Dinda.
"Kenapa, Dek?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Dinda mau minta uang buat beli LKS ujian nanti, Mah."
"Oh, coba kamu ambil dompet Mama di lemari. Masih ada gak ya uang Mama di dompet?" Keuangan yang kupegang memang makin menipis untuk keperluan sehari-hari dan anak-anak. Aku lupa pergi ke ATM mengambil uang.
"Ini, Mah." Dinda menyerahkan dompetku.
Aku mengecek isinya dan rupanya masih ada sedikit uang. "Berapa?" tanyaku pada Dinda.
"20 ribu."
"Cuma itu?" tanyaku dan Dinda mengangguk.
Aku menyerahkan uang pas padanya lalu Dinda menerimanya. Namun, Dinda tak beranjak. Dia masih duduk di sampingku dengan kaki di selonjorkan.
"Mah, boleh nanya?"
"Tanya apa?"
Kulihat Dinda sedikit ragu dan gelisah dari pandangan matanya. Aku menyeringit bingung melihatnya. Sepertinya ada yang ingin Dinda sampaikan padaku hingga membuatnya ragu seperti ini.
"Ada apa, Dek? Tanyakan saja, Mama nggak akan marah kok?" tanyaku meyakinkan dia.
Dinda memperbaiki posisi duduknya lalu menatap serius ke arahku. "Mah, mama sama Om Herman kelihatan dekat banget ya akhir-akhir ini."
Deg~
Aku terkejut mendengar penuturan putriku. Apa maksud Dinda mengatakan hal itu barusan? Sebisa mungkin aku tak menunjukkan reaksi tubuhku pada Dinda. Aku harus bersikap santai dihadapannya.
"Maksudnya?"
"Iya, aku lihat Mama begitu dekat dengan papanya Nadia. Seperti orang-orang pacaran gitu."
Duh, kok Dinda makin ngelantur sih?! Bisa bahaya ini kalau dia terus-terusan bertanya seperti ini.
"Kamu ini gimana sih. Ya mama memang dekat sama Om Herman karena dia suami sepupu Mama. Lagipula Mama juga sedang minta tolong padanya untuk beli bahan-bahan bangunan buat lantai dua rumah ini." Sebisa mungkin aku menjelaskan baik-baik terhadap anak yang sedang memasuki fase remaja ini. Aku tidak mau membuat Dinda kepikiran tentangku dan Bang Herman yang memang memiliki hubungan.
"Tapi apa harus sampai pegangan tangan dan mengelus paha Mama?"
Deg~
Aku membelalakkan mataku terkejut. Darimana Dinda tahu soal ini? Apakah dia pernah melihat langsung?
"Ka-kamu tau darimana?" tanyaku berusaha tenang.
"Aku pernah melihatnya langsung, Mah!"
Ya Allah! Rupanya Dinda sudah pernah melihatnya langsung. Namun, bukankah aku dan Bang Herman selalu main aman? Lalu kenapa Dinda bisa tahu soal ini?
Apakah Dinda juga tahu soal tindakanku dan Bang Herman saat malam hari? Kalau iya, bisa gawat ini!! Dinda bukan anak kecil lagi yang tak tahu soal begituan. Dia sudah tahu tentang hal-hal berbau dewasa karena aku pernah mengajarkannya soal sex education. Di sekolah pasti sudah diajarkan tentang hal ini oleh gurunya.
Duh, bagaimana ini?! Jawaban apa yang harus aku berikan padanya?! Tidak mungkin aku harus menjawab jujur tentang hubunganku dengan Bang Herman padanya.
"Tolong jawab jujur, Mah! Apa Mama sama papanya Nadia punya hubungan?" desak Dinda dengan tatapan intimidasi.
Tenang Nana, kamu harus tenang. Nggak boleh panik dihadapan Dinda. Bisa-bisa dia malah makin curiga dengan melihat reaksiku yang berlebihan. Sebisa mungkin aku harus tenang menyikapi ini.
"Mama sama Om Herman nggak punya hubungan apa-apa, Dek. Tolong kamu percaya sama Mama. Soal yang kamu lihat Mama pegangan tangan sama Om Herman itu karena telapak tangan Mama lagi pegal-pegal. Om Herman menawarkan bantuan karena dia itu jago mijit. Serius Mama nggak punya hubungan apa-apa sama Om kamu!" jelasku berharap dia percaya dengan kebohongan yang kucipta. Maafkan Mamamu ini yang telah membohongimu ya, Nak.
"Lalu yang tangan Om Herman di paha Mama gimana?"
"Kalo itu Mama nggak sadar, Dek. Mungkin itu cuma kebetulan dan tak sengaja yang Om Herman lakukan."
Kulihat dari raut wajah Dinda seperti ragu mempercayai perkataanku. Aku berkali-kali menelan air liurku susah payah akibat dugaan Dinda. Namun, aku harus tetap meyakini dia dan berusaha bersikap tenang.
"Kamu nggak percaya sama Mama?" tanyaku sendu.
"Bukan gitu, Mah. Tapi Dinda nggak suka melihat kedekatan Mama sama Om Herman yang terlampau dekat. Dinda nggak mau Mama menjadi bayangan pikiran Dinda yang terlihat buruk di mata Dinda."
Ya ampun, Nak, maafkan Mama yang sudah membuatmu berpikiran macam-macam tentang Mama. Namun, apa yang ada bayangan pikiran kamu itu memang mungkin benar, Nak. Mama ini wanita jahat. Wanita penghancur rumah tangga seperti di film-film ikan terbang yang sering kita nonton. Tolong maafkan Mama ya, Nak.
(Kok aku ngakak ya disini 😂)
"Tidak, Nak, Mama bukan orang seperti itu. Mama tidak mungkin menjadi penghancur kebahagiaan seseorang apalagi dari keluarga kita sendiri." Ya walaupun Mama akan menjadi penghancur kebahagiaan sepupu Mama jika semuanya terbongkar, lanjutku yang tak mungkin aku utarakan pada Dinda.
"Mama serius 'kan nggak punya hubungan apa-apa sama Om Herman?" tanyanya lagi supaya aku meyakinkan dirinya.
"Tidak, Nak. Mama sam Om Herman tak mempunyai hubungan apa-apa selain urusan bangun lantai dua untuk rumah kita!" dustaku berbohong.
Dinda terdiam seperti seolah ragu dengan ucapanku. Duh, bagaimana harus meyakinkan Dinda?
"Dek, Minggu depan papa balik. Barusan dia kirim pesan," ucapku mengalihkan topik. Hanya ini yang bisa kulakukan agar Dinda tak kepikiran soal pembahasan tadi.
"Yang bener, Mah?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Iya, kamu nggak mau minta oleh-oleh apa gitu sama Papa sebelum dia balik kesini? Tadi Papa nanyain ke Mama."
Dia berpikir sejenak. "Ada sih, tapi biar Dinda yang bicara sama Papa langsung," ucapnya lalu bangkit berdiri dan pergi ke kamarnya. Mungkin dia akan mengabari papanya lewat ponselnya.
Aku bernapas dengan lega setelah Dinda balik ke kamar. Entahlah apakah Dinda percaya atau tidak. Aku akan meminta Bang Herman untuk jangan selalu datang kesini jika sedang ada Dinda di rumah.
♦♦♦
Herman POV.
Saat ini aku sedang berada di sebuah kampung yang bagian jalannya sedang diperbaiki dan diperbaharui setelah diberitahu oleh atasanku. Jalan disini begitu rusak setelah curahan hujan terus-menerus beberapa tahun silam hingga membuat pinggir jalanan rusak hingga membuat tanahnya longsor.
Aku dan timku berusaha akan memperbaikinya agar jalanan ini bisa layak dipakai oleh pengendara dan orang-orang. Pekerjaanku bisa dibilang cukup bagus karena bekerja sebagai proyektor jalanan. Aku tak perlu repot-repot bekerja seperti suaminya Nana yang harus merantau ke Kalimantan untuk menghidupi keluarganya.
"Bisa kita bicara sebentar saat pulang nanti?" ucap Muhlis datang setelah menepuk pundakku. Kami semua sedang beristirahat di bawah rumah kepala desa di kampung ini.
Muhlis juga bagian dari timku. Bedanya aku bekerja sebagai pengawas, dia bekerja sebagai tukang. Namun, aku tidak membeda-bedakan pekerjaan kami.
"Boleh, jam berapa?"
"Jam 9, di bawah rumahku."
"Kenapa nggak bicarakan langsung di sini?" Bukankah lebih bagus dibicarakan disini daripada harus datang ke rumahnya? Apakah pembicaraannya sangat penting hingga mengajakku mengobrol?
Muhlis memperhatikan orang-orang yang sedang makan lalu beralih ke arahku dan medekat.
"Ini penting. Soal hubunganmu dan Nana," bisiknya di telingaku.
Hubunganku dan Nana? Maksudnya apa coba?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 7
Aku mengambil ponsel yang tersimpan di depan televisi lalu menyimpannya di saku celana. Sesuai janjiku dengan Muhlis, malam ini aku akan datang ke rumahnya untuk membicarakan hal penting terkait hubunganku dan Nana. Entah maksud apa tiba-tiba dia membahas hal ini, tapi aku juga penasaran dengan apa yang akan ia katakan.
"Mau ke mana, Pak?" tanya Yani yang sedang melipat pakaian di depan televisi.
"Mau ke rumah Muhlis."
"Akhir-akhir ini bapak selalu pergi ke rumah Muhlis."
"Ya karena dia teman bapak, satu tempat kerjaan. Aku dan Muhlis 'kan akrab karena kita hampir tiap hari selalu ketemu," jawabku dusta. Padahal aku sama Muhlis jarang terlibat obrolan semenjak ia terlibat pernikahanku dan Nana. Bukan aku yang menghindar, tapi Muhlis yang menghindar dariku. Setiap aku mencoba mendekatinya, ia selalu punya alasan untuk menjauh dariku.
Walaupun Muhlis seolah menjauhiku, tapi aku tetap berusaha mendekatinya supaya pertemanan kami tak putus hanya gara-gara pernikahan keduaku. Tapi aku juga terus selalu mengawasi Muhlis. Hanya dia yang tahu soal rahasia hubunganku dan Nana. Jika seandainya rahasiaku terbongkar, pasti aku langsung menuduh Muhlis karena dialah satu-satunya orang yang mempunyai kunci rahasiaku. Jika Nana yang membongkar, jelas terlihat tak mungkin, karena dia pasti akan terkena dampaknya.
"Menginap lagi tidak disana? Kalo tidak, aku kunci pintunya," ucap Yani.
"Tidak, cuma mau ngobrol sebentar kok sama dia," balasku lalu pergi keluar rumah.
Karena aku tak memiliki motor, aku memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahnya yang cukup berjarak dari rumahku.
♦♦♦
"Kali ini apa yang kau mau katakan soal hubunganku dan Nana, Lis?" tanyaku setelah kami berdua duduk dibawah rumahnya. Istri dan anak-anaknya berada di atas sedang menyaksikan acara televisi.
"Aku mau tanya dulu soal pengetahuanmu tentang ilmu agama. Apakah kamu tahu hukumnya menikahi perempuan yang masih berstatus suami orang?" tanyanya dengan intonasi tenang dan datar.
Aku menyeringit bingung, tak tahu soal pembahasan ini. Hukum soal menikahi perempuan yang sudah bersuami memang aku tidak tahu. Tapi jika kedua mempelai ingin melaksanakan pernikahan dan tahu soal syarat-syarat pernikahan agama, bukankah itu sah-sah saja?
"Tidak, emang ada apa soal hal itu?" tanyaku tak mengerti.
Muhlis menghela napas kasar lalu menatapku dengan pandangan yang sangat serius. "Kau tahu, jika ada laki-laki menikahi perempuan yang statusnya masih jelas istri orang lain, maka pernikahannya tak sah dan haram hukumnya."
Deg~
Penjelasan dari Muhlis membuatku membeku seketika. Ja-jadi ... pernikahan dan Nana tak sah dan haram hukumnya? Ini seriusan?!
"Kau serius, Lis?! Kau tahu darimana hukum tersebut?"
"Dari ustad Nico, aku juga kebetulan cari-cari di internet soal hukum menikahi perempuan yang masih bersuami. Dan apa yang diucapkan ustad Nico sama dengan apa yang ada internet. Hampir semua mengatakan jika hukumnya tak sah dan haram jika dilakukan."
"Ah, ustad Nico 'kan umurnya masih muda. Mungkin dia hanya menjawab asal-asalan soal hukumnya tersebut," balasku mengelak soal hukum yang dijelaskan oleh Muhlis. Tak mungkin jika pernikahanku dan Nana tak sah. Untuk apa aku menikahinya dan mengeluarkan biaya yang tak sedikit hanya untuk menikahinya jika status kami masih tak sah?!
"Ck! Justru karena umur ustad Nico masih muda, tapi dia tahu dan paham soal mendalami agama! Tak seperti kita yang dangkal soal ilmu agama kita sendiri!" ujar Muhlis kesal terhadapku.
Aku masih tak percaya akan hal ini. Itu berarti pernikahanku dan Nana tak sah. Dan kami berdua telah melakukan dosa besar akibat pernikahan keduaku ini. Lalu hubunganku selama ini dengan Nana berarti termasuk zina? Lalu untuk apa tujuanku menikahi dirinya jika kita hanya ingin menghindari perbuatan zina?! Arrrggghhh!!! Sialan!!!
"Kalo kamu tidak percaya, kamu bisa tanya sama ustad yang lain atau cari di google sampai ke youtube-youtube bila perlu jika kamu masih tidak percaya," sambung Muhlis.
"Jadi nafkah batin yang selalu aku berikan pada Nana--"
"Itu zina, Her. Kalian sudah berbuat zina selama ini," potong Muhlis hingga membuatku terdiam.
"Apalagi soal aku yang menjadi wali untuk pernikahan kalian. Aku baru tahu jika pernikahan kalian jalani tetap tidak sah jika bukan wali dari ayah kandung mempelai wanita itu sendiri. Kau tahu 'kan jika ayahnya Nana masih hidup, dan kita tetap melaksanakan pernikahan itu dan membohongi Pak penghulu," jelas Muhlis hingga membuatku bertambah pusing. Apalagi ini? Sebegitu bodoh kah aku tak memahami syarat-syarat pernikahan?
"Aku mau tanya sama kamu, Her. Kok bisa pak penghulu menikahkan kalian dengan status Nana yang masih bersuami?"
Aku menelan ludah mendengar pertanyaan Muhlis. Sebenarnya aku memang sengaja tak memberitahu rencanaku padanya soal bagaimana aku memalsukan identitas Nana hingga membuat kami bisa menikah. Menurutku tak perlu Muhlis tahu mendetail soal ini. Bisa-bisa ia mengatakan kami gila karena sudah melakukan berbagai cara hanya untuk kami menikah.
Namun, jika sudah di desak seperti ini, mau tak mau aku harus jawab jujur padanya. Dan benar, setelah aku menjelaskan semuanya, Muhlis menatapku tak percaya sembari geleng-geleng kepala.
"Ya Allah, Her ... dimana otakmu ini, hah?! Bisa-bisanya kau melakukan hal itu hanya untuk menikah dengan Nana?! Dimana otakmu?! Gila betul kau ini!!!" Benar 'kan, dia sudah mengataiku gila.
"Seandainya tidak ada istri dan anakku di rumah, sudah dari tadi aku berteriak-teriak emosi padamu, Her!" desis Muhlis menahan suara ucapannya agar tak terdengar orang diatas rumahnya.
"Kau tahu, hidupku seraya tak tenang setelah ikut campur bagian dari rencanamu. Hatiku merasa tak tenang setelah aku kembali dari kota bersama kalian, tapi aku tak tahu jelas karena apa itu. Dan setelah mencari tahu, aku mengerti kalo pokok permasalahan ini ada pada kejadian waktu itu."
"Aku minta tolong sebagai keluarga, Her. Tolong kamu hentikan hubungan kalian sebelum rahasia kalian terbongkar. Kau tahu 'kan dampak apa jika hubungan kalian terbongkar?"
Ya, aku tahu dampak jika semuanya akan terbongkar. Pihak keluarga pasti akan kecewa dan Yani akan merasa sedih jika tahu akan hal ini. Belum lagi aku dan Nana akan menjadi bahan buah bibir di kampung ini jika beritanya sudah melebar luas.
Muhlis mendekat ke arahku dan menepuk pundakku. "Sebagai pihak keluarga, aku tak mau jika orang yang sudah kuanggap sebagai sodara akan jatuh ke lembah dosa kenistaan. Maka dari itu sebelum asap tercium oleh orang-orang, sebisa mungkin kamu mematikan asal sumber apinya. Karena tak ada asap, pasti tak ada api. Jika api menyebar kemana-mana, kalian tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha memadamkannya. Itupun kalo kamu berhasil. Kamu tahu maksudku, bukan?"
Ya, aku tahu maksudnya. Jika api sudah menyebar kemana-mana, sama halnya dengan rahasiaku yang sudah terbongkar pada orang-orang, sebisa mungkin kami berusaha menjelaskannya maksud perbuatan kami pada mereka. Namun, jika tak berhasil maka kita hanya pasrah dengan keadaan dan menerima omongan-omongan pedas dari mereka yang menyudutkanku dan Nana.
Lalu apakah aku harus berhenti melanjutkan hubunganku dengan Nana? Lalu bagaimana tanggapan Nana sendiri?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 8
Nana
[Tolong jangan hubungi aku dulu, Bang. Hari ini Bang Dana akan pulang.]
Pesan yang dikirim Nana seminggu yang lalu bertengger di percakapan terakhir WhatsApp. Ya, Minggu lalu Dana telah pulang ke kampung sambil membawa oleh-oleh untuk keluarganya setelah bekerja di Kalimantan, seperti biasa.
Sejujurnya aku ingin sekali menghubungi Nana dan menjelaskan soal status kami selama ini. Namun apa daya, jika Nana memintaku untuk tak menghubunginya dulu. Aku pun menurutinya dan hanya bisa menunggu sampai Nana yang mulai menghubungiku.
Pernah aku mendesaknya untuk ketemuan denganku di samping lapangan dekat sekolah. Di sanalah tempat yang aman untuk diajak bertemu karena disana tempat yang gelap dan juga sepi yang jarang dilalui orang-orang saat malam hari. Namun, Nana selalu menolak tegas ajakanku dan mengatakan dia tak akan menemuiku dulu setelah suaminya pergi kerja lagi ke Kalimantan.
Sejujurnya ada perasaan tak terima setelah Nana mengatakan hal tersebut. Jadi selama ini Nana menganggapku hanya sebagai suami pelipur laranya saat sepi? Nana hanya membutuhkanku di saat ia hanya memerlukan perhatian dan sentuhanku saja? Apakah ia tidak memikirkan perasaanku? Jujur aku merasa hina dengan anggapan dia seperti itu.
Namun, bukankah ini yang Nana inginkan dariku dan keputusanku? Tujuan kami menikah memang hanya ingin menghindari hal zina dengan aku memberikan nafkah batin padanya? Ya walaupun sebenarnya pernikahan kami tetap tidak sah hukumnya.
Namun, kenapa aku menjadi terbawa perasaan seperti ini? Kenapa aku seperti tak suka jika Nana menganggapku hanya selirnya saja disaat dia butuh? Apakah aku mempunyai perasaan dengan Nana? Apakah aku mengalami puber kedua? Ah, memikirkannya bikin kepala pusing saja. Belum lagi setelah aku mengetahui status pernikahanku dan Nana dari Muhlis.
Ya, setelah mendengar penjelasan dari Muhlis itu hari, aku sekarang jadi banyak pikiran. Terkadang saat di tempat kerja, aku selalu melamun hingga ditegur oleh teman-temannku. Begitu sulitnya aku mengambil langkah sampai setiap hari selalu memikirkan jalan apa yang harus aku ambil setelah mengetahui hal tersebut. Apakah harus berhenti? Atau terus melanjutkan?
"Pak, Ibu bilang Bapak disuruh pergi cari menu buka puasa," ucap anakku, Citra sambil menghampiriku di teras depan.
"Ibumu mana?"
"Di rumah Bunda Leha, lagi bikin kue."
Aku hanya mengangguk dan kembali masuk ke dalam mengambil kaos yang sempat aku lepas dan memakainya. Aku mengambil uang di dompet lalu kembali menemui Citra.
"Mau ikut nggak nyari menu buka?" ajakku padanya.
"Nggak, Pak. Citra mau pergi mandi di rumahnya Sasa. Di kamar mandi nggak ada air," jawabnya lalu masuk ke dalam mengambil handuk dan pakaian ganti.
Sudah menjadi kebiasaan kalo disini sulit mendapatkan air bersih. Bahkan, kita harus membuat cadangan air di beberapa jerigen untuk persiapan saat tak ada air nanti. Karena disini hanya mengangguk air dari pegunungan atau hujan. Sepertinya aku harus mengambil air lagi di rumah tetangga yang airnya sedang jalan dan mengisi kembali bak mandi hingga penuh.
Dengan berjalan kaki, aku pergi mencari menu buka puasa di daerah dekat rumah saja. Mungkin di dekat masjid yang cukup ramai orang-orang jualan menu buka puasa disana.
Saat aku memesan menu buka dan menunggu di kursi rotan, tiba-tiba Dana dan Nana datang kesini menggunakan sepeda motor. Melihat keduanya memakai pakaian yang rapi dan juga memakai helm, sepertinya mereka abis dari pergi jauh dan entah darimana.
"Eh, Bang Herman. Gimana kabarnya, Bang?" ucap Dana lalu turun dari motornya dan datang menghampiriku. Umur Dana hanya selisih lima tahun denganku. Sebab itulah ia menghormatiku sebagai kakak dan memanggilku Abang.
"Alhamdulillah, aku sehat kok, Dan. Kau gimana? Puasa lancar 'kan?" tanyaku balik.
"Alhamdulillah sehat, Bang. Puasa juga lancar kok," jawabnya.
Ku lirik Nana masih duduk di atas motor dan tidak bergabung dengan kami. Ia hanya menatap ke arah jalan memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang dan sesekali melirik ke arah kami. Ah, sepertinya ia merasa canggung menghampiriku karena disini ada dua suaminya yang sedang mengobrol akrab.
"Abis darimana, Dan?" tanyaku.
"Abis dari kota, cari-cari lemari sama kasur buat anak-anak nanti di lantai dua," jawabnya.
"Udah di dapat semua?" tanyaku
"Sudah, tapi tinggal cari lemari besar buat di kamar utama. Tadi di pasar nggak ada yang cocok. Harganya pada tinggi-tinggi kalo sudah memasuki bulan ramadhan. Apalagi lebaran," jelasnya.
"Ya emang gitu sih. Biasa biaya pada meningkat kalo sudah mau memasuki lebaran."
Dana mengangguk. "Tunggu sebentar ya, Bang. Mau pesan menu buka dulu di dalam," sambung Dana lalu masuk menghampiri penjual di dalam rumahnya.
Aku berkesempatan melirik Nana yang kebetulan juga sedang melirikku. Aku mengedipkan mataku padanya hingga membuatnya mengkerut geli dan membuang wajahnya. Dih, begitu cueknya kah dia hingga tak mau menyapa suami keduanya?
Dana datang dan kembali duduk di sampingku. "Dari kapan kamu tiba disini, Dan?" tanyaku basa-basi padahal aku sudah tahu kapan dia datang.
"Dari Minggu lalu," jawab Dana.
"Oh, terus selesai lebaran baru kerja lagi?"
Dana mengangguk. "Seperti biasa."
Sudah menjadi kebiasaan jika Dana pulang disaat bulan ramadhan dan pergi setelah lebaran. Dana hanya pulang setahun sekali kesini. Namun, jika ada keadaan mendesak disini, dia akan meminta izin cuti lagi pada bosnya untuk pulang.
"Ini, Pak. Pesanan kalian," ucap pedagang sembari menyerahkan dua kantong plastik terhadapku dan Dana.
Aku menyerahkan uang pesananku diikuti oleh Dana. "Terimakasih," ucap kami kepada penjualnya.
Setelah itu kami keluar dari gerai tersebut lalu menghampiri Nana. "Jadi bahan material bangunan sudah dibeli semua?" tanyaku kepada mereka tapi pandanganku kerap mencuri kearah Nana.
"Iya, semuanya sudah dipesan. Kemungkinan besok barangnya akan tiba di rumah," jawab Dana sambil memberikan pesanannya menu buka puasa pada Nana. Kulihat di depan jok motornya ada beberapa kantong plastik penuh didalamnya. Namun, aku tak menanyakan hal itu karena menurutku itu tak penting.
"Kami duluan ya, Bang," ucap Dana sembari menyalakan mesin motornya.
"Iya," jawabku kemudian beralih ke arah Nana. Ia hanya memandangku sembari tersenyum tipis. Sombong sekali tak disapa suaminya!
Nana melingkarkan tangannya pada pinggang Dana sebelum motor mereka melaju meninggalkanku sendirian. Aku mengeratkan genggamanku pada kantong plastik yang kupegang sambil menatap motor mereka.
Sial! Sepertinya Nana sengaja membuatku cemburu dengan memperlihatkan kemesraan dirinya dengan suami sahnya. Awas saja nanti jika suaminya sudah pergi ke Kalimantan. Akan kubuat ia menyesal telah mengabaikanku dengan permainan ranjangku. Akan ku buat Nana tepar dengan keperkasaanku nanti. Lihat saja!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAB 9
Author POV
Hari lebaran telah usai beberapa hari yang lalu. Dan sudah saatnya Dana untuk pergi lagi merantau meninggalkan istri dan anaknya yang kini seperti tak rela melepas dirinya.
"Jaga anak-anak baik-baik ya, Na." Nasihat Dana selalu kepada istrinya.
"Pasti, Pah."
"Yuk anak-anak, antar papa sampai depan. Sekalian bawa barang-barang papa," ucap Dana pada ketiga anaknya.
Dana, Yana dan ketiga anak mereka berjalan ke teras rumah mereka dan sudah ditunggu oleh mobil sedan berwarna hitam yang Nana pesan untuk mengantar suaminya pergi ke pelabuhan. Di depan rumah mereka juga sudah ada orang tua Nana yang akan juga berpamitan pada menantunya.
"Hati-hati ya, Nak. Jaga kesehatan di sana. Kalo ada apa-apa hubungi kami segera," ucap ibunya Nana.
"Iya, Bu." Dana mencium tangan kedua mertuanya lalu beralih pada anak-anaknya. Diantara mereka, hanya Nizam yang menangis tak sanggup berpisah lagi dengan papanya. Anak berusia 6 tahun itu masih tak rela melepas pergi ayahnya.
Setelah acara perpisahan sedih itu berlangsung, akhirnya Dana naik ke mobil dan pergi meninggalkan rumah dan keluarga kecilnya. Sejujurnya Nana juga tak rela melepas suaminya pergi. Namun apa daya, Dana pergi merantau hanya untuk mencari nafkah buat dirinya dan anak-anak mereka. Tak mungkin ia mencegah Dana hanya untuk keegoisan dia.
Drrtt! Drrtt!
Sebuah notifikasi muncul di ponsel Nana.
Bang Herman
[Dana sudah pergi? Tadi aku lihat mobil jemputannya sudah berangkat.]
Nana
[Iya, dia barusan pergi.]
Bang Herman
[Aku kesana ya sekarang, ada hal penting yang perlu dijelaskan]
Nana
[Jangan dulu! Jangan mampir ke rumah beberapa hari dulu setelah Bang Dana pergi.]
Bang Herman
[Terus kapan?]
Nana
[Tunggu 3-4 hari baru boleh kesini.]
Bang Herman
[Baiklah.]
♦♦♦
Seminggu telah berlalu setelah Dana pergi ke Kalimantan. Namun, Herman tak memunculkan batang hidungnya sesuai apa yang Nana inginkan itu hari. Nana sempat merasa cemas jika Herman tak mau datang lagi ke rumahnya dan sempat menelpon lelaki tersebut. Namun, Herman mengatakan jika ia tak bisa datang dulu ke rumahnya karena ia lagi sibuk dengan urusannya. Entah urusan apa, Nana jelas-jelas tak tahu.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!" Nana mengintip dari ruang keluarga dan melihat siapa yang datang ke rumahnya.
"Eh, jis. Baru datang kamu?" sapa Nana pada sepupunya yang baru datang.
"Iya, Kak. Baru antar Mama ke sini," jawab Ajis lalu duduk di lantai sama seperti Nana, tapi berjarak.
"Terus Mamamu mana?"
"Ada tuh di rumah depan, lagi ngobrol sama Tante Sari."
"Sudah makan?"
"Belum."
"Makan sana di dapur. Ada itu ikan bakar sama sayur sop di meja," titah Nana.
"Nanti aja, Kak. Barusan tadi makan kue di depan. Kalo lapar, nanti aku ambil sendiri kok."
Nana hanya berohria lalu kembali menonton televisi. Tak berselang lama muncullah Herman di rumah Nana tanpa mengucap salam terlebih dahulu.
"Dinda mana?" tanya Herman yang baru muncul di ruang keluarga.
Nana dan Ajis sontak menoleh. "Ada di rumah temennya. Ada apa?" jawab Nana.
"Tidak apa-apa." Herman mengangguk lalu beralih ke arah Ajis, sepupu Yani juga. "Baru kau datang?"
"Baru, Om."
"Sama siapa kau datang?"
"Sama Mama. Dia lagi ngobrol tuh di rumah depan."
Herman berohria lalu duduk di lantai dekat Nana. Suasana hening tak ada percakapan. Hanya suara televisi yang menyapa indra pendengaran mereka saat ini. Ajis mengeluarkan ponselnya setelah merasa ponsel tersebut bergetar. Ajis memang dikenal orang yang pendiam jika dia tak diajak ngobrol terlebih dahulu.
"Mana Aras sama Nizam?" tanya Herman.
"Nggak tahu, mungkin main di rumah temannya."
Herman diam lalu melirik sekilas pada Ajis yang sibuk dengan ponselnya.
"Na, ada yang mau aku bicarakan. Tapi nggak sekarang," ucap Herman.
Nana menyeringit. "Mau bicara apa sebenarnya?"
"Ada lah pokoknya, tapi bukan sekarang. Nanti malam aku bisa datang ke sini?"
Nana berpikir sejenak. "Nggak tahu, Bang, soalnya liat keadaan anak-anak dulu. Kalo aman nanti aku kirim pesan ke abang."
Herman berbaring di lantai dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantalan kepalanya. "Ok, nanti malam kabarin saja kalo sudah aman."
"Bisa pijitin sebentar tanganku? Pegel banget dirasa kemarin abis angkat karung semen," keluh Herman menyerahkan tangan kanannya pada Nana.
"Lagian kenapa abang pakai angkat karung semen segala? 'Kan ada tukang yang biasa angkatin?" ujar Nana tapi mendekat ke arah Herman lalu memijat tangan yang dianggap suami keduanya.
"Iya, tapi aku cuma mau membantu mereka. Nggak mungkin 'kan aku cuma lihat mereka dengan susah payahnya angkat semen," ucap Herman menikmati pijatan Nana.
"Oh, emang proyek jalan yang di kampung xxx sudah selesai?"
"Sudah, bahkan jalannya sudah bisa dipakai sama penduduk di sana."
Nana diam dan terus melakukan pijatan terhadap tangan Herman. "Hitamnya tanganmu, Bang. Pakai handbody sana biar agak putih-putih sedikit."
"Ini hitam karena terlalu sering bekerja di bawah sinar matahari. Kalo laki-laki hitam itu tandanya dia lelaki bekerja keras," balas Herman.
"Ya deh, terserah abang saja."
"Sekalian ya kerok punggung abang." Herman berbalik badan hingga kini ia telungkup di lantai.
"Ish, apaan sih! Tangan Nana capek kalo mau kerok abang!" tolak Nana.
"Kok kamu gitu sih. Sekali aja gak apa-apa. Ini badanku kurang enak badan tau gara-gara masuk angin semalam," beritahu Herman.
"Emang darimana semalam?"
"Nggak kemana-mana sih, cuma begadang aja di warung kopi sama teman-teman kerja sampai jam 12."
"Itu dibilang jangan keluar malam-malam kalo nggak mau masuk angin. Udah tahu kalo di kampung hawanya dingin banget kalo malam," omel Nana tapi tetap mengambil koin dan minyak urut di dekat televisi.
Setelah itu hanya ada obrolan-obrolan kecil dari mereka saat Nana mengkerok punggung belakang Herman. Mereka tengah asik berduaan tanpa menyadari jika ada seseorang yang dari tadi melirik keakraban mereka.
Walaupun Nana dan Herman menggunakan bahasa daerah yang tak dimengerti Ajis, tapi dia mengetahui sedikit-sedikit kata yang ia tahu dari bahasa daerah tersebut. Namun yang membuat dirinya curiga, begitu intensnya keakraban mereka seperti mereka ini mempunyai hubungan khusus. Namun, Ajis menepis semua pikiran buruk tersebut karena menganggap kalau mereka ini sebuah keluarga. Kemungkinan mereka sudah terbiasa melakukan hal seperti itu selama ini.
♦♦♦
Jam 10 malam, Herman mengawasi sekitar takut seseorang memergokinya datang ke rumah Nana malam ini. Dia tidak mau kejadian seperti Rani ataupun Yadi mendapatinya datang ke rumah Nana hingga menimbulkan perasaan curiga terhadap warga. Herman harus berhati-hati datang ke rumah Nana dimana desa telah sepi dan anak-anak Nana telah tertidur.
Sebelum Herman datang kemari, ia telah mengabarkan Nana terlebih dahulu tadi pagi untuk datang ke rumah wanita itu malam ini. Nana pun menyetujuinya dengan syarat harus datang ke rumahnya di jam 10.30 malam.
Setelah dirasa cukup aman, Herman langsung masuk kedalam rumah yang kebetulan pintunya belum tertutup. Herman masuk kedalam hingga sampai ke ruang keluarga. Namun, tidak ditemukan siapapun disana selain televisi yang menyala.
Atensi Herman teralihkan pada pintu kamar utama yang baru saja dibuka lalu memunculkan Nana. Wanita keduanya itu baru saja keluar hanya menggunakan lingerie seksi berkain satin berwarna cream hingga membuat Herman terpana melihat bentuk tubuh Nana.
"Eh, abang udah disini?" ucap Nana sedikit tersentak mendapati Herman berada di rumahnya.
"Iya, anak-anakmu mana? Kok rumahmu pada sepi."
"Mereka lagi pada ikut neneknya ke kampung sebelah."
"Menginap?"
Nana mengangguk. "Besok mereka baru pulang. Ada acara keluarga disana."
"Kamu nggak ikut?"
"Nggak, rumah nggak ada yang jaga." Nana berlalu dari hadapan Herman dan pergi ke ruang tamu untuk menutup pintu, tak lupa juga menguncinya.
"Bapakmu?" tanya Herman setelah Nana menghampirinya lalu duduk disebelahnya di karpet berbulu.
"Ada di rumah, dia gak ikut."
Herman hanya mengangguk. Jarak diantara mereka begitu dekat hingga kaki dan tangan mereka saling bersentuhan. Seharusnya Herman datang ke rumah Nana ingin menyampaikan sesuatu kepada Nana tentang obrolannya dengan Muhlis tempo hari. Namun, melihat Nana yang seperti menggodanya, ia mengesampingkan dulu niatnya tersebut dan memilih merespon godaan sepupunya Yani, istrinya.
"Kamu kalo sudah ada Dana, sudah lupa sama suami keduamu ini," ucap Herman pura-pura merajuk.
"Kan kita gak boleh berhubungan dulu kalo ada Bang Dana, Bang. Aku takut dia curiga."
"Tapi jangan sampai mengabaikan abang di WA lah!"
"Maaf, Nana gak mau sampai Bang Dana tahu saja. Atau sampai anak-anak mengecek ponsel Nana."
"Iya deh, terserah kamu saja."
Nana menggelayut manja pada lengan Herman dan menyandarkan kepalanya disana. Herman pun membalasnya dengan mengelus paha Nana yang terekspos didepan matanya.
"Abang mau bermalam gak disini?"
"Hmm ... Abang belum izin sama Yani."
"Izin dulu gih! Nana ingin abang menginap disini."
Herman pun menurut lalu mengeluarkan ponselnya. Ia mengetikkan pesan kepada Yani melalui WA dan bilang akan bermalam di rumah temannya.
"Sudah?"
"Ya, sudah," jawab Herman setelah meletakkan ponselnya.
Nana tersenyum gembira lalu naik ke pangkuan Herman membuat pria itu terheran dengan wanita selingkuhannya.
"Kamu kenapa?"
"Kangen tahu!!" balas Nana sambil memeluk tubuh Herman.
"Kangen? Kangen sama siapa?"
"Ish!! Kangen sama abang lah!" Tangan Nana merambat turun hingga ke bagian sensitif Herman.
"Apalagi sama yang ini," ucapnya sambil meremasnya.
"Nakal!" balas Herman sembari tersenyum mesum.
Pria itu mengangkat wajah Nana lalu mulai mencium bibir wanita itu. Keduanya menyalurkan ciuman mereka yang terbalut rasa rindu dan juga nafsu.
Tangan Herman tak tinggal diam. Pria itu menyentuh tubuh Nana hingga bagian bokong lalu meremasnya, membuat Nana mengerang dalam ciuman. Wanita itu mulai menggerakkan bokongnya, menggesek bagian sensitifnya dengan punya Herman.
"Di kamar yuk, Bang!" ajak Nana setelah melepaskan ciumannya.
Herman menggelengkan kepala. "Kita main disini yuk!"
"Nggak ah! Di kamar saja ya?"
"Kita coba disini dulu, lagipula tidak orang-orang di rumahmu, 'kan?"
"Tapi--"
"Sudah, nurut saja sama suamimu! Matikan lampunya gih!" titah Herman.
Nana menurut lalu berdiri mematikan saklar lampu yang ada diatas kepala Herman. Wanita itu kembali duduk ke pangkuan lalu Herman menarik tubuh Nana mendekat hingga keduanya kembali ke dalam ciuman nafsu menggelora.
Keduanya sibuk mencari kepuasan dengan hubungan terlarang mereka tanpa memikirkan apa yang mereka lakukan itu adalah sebuah dosa besar yang merupakan zina.
To Be Continued…..
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
