SUAMI INGKAR JANJI BAB 1-9: DOA ISTRI YANG TERSAKITI (GRATIS)

0
0
Deskripsi

Selama sepuluh tahun menikah, Putri Nastiti dan Airlangga Joyokusumo menunggu kehadiran buah hati. Siapa sangka bila anak yang diharapkan tersebut justru berasal dari rahim wanita lain?

 

Airlangga pun meminta izin untuk menikahi Andara, wanita yang sedang mengandung benihnya. Meskipun Putri merasa sakit, akhirnya Putri mengizinkan Airlangga menikah. Namun, ada satu syarat yang diminta Putri. Apakah syaratnya? 

Part 1
DUA GARIS MERAH

Part 1
Aku ini sebetulnya lelaki setia. Tak pernah ada niatku untuk beristri dua. Namun, sebuah peristiwa membuatku terpaksa mendua. Sebagai lelaki jantan, aku harus bertanggung jawab. Pada akhirnya, semua yang kita tabur akan kita tuai.

"Aku hamil, Mas," lirih sekretarisku Andara dengan raut wajah yang pucat.

Pagi itu di kantor, Andara masuk ke ruanganku lalu mengunci pintunya dari dalam. Ia menunjukkan hasil tes kehamilan yang baru dilakukannya secara mandiri di kamar mandi. Alat tes itu disimpannya di dalam sebuah kantong plastik bening. Aku menatap terbelalak pada garis dua di alat tersebut, garis dua yang sebetulnya lama kunanti, tapi bukan dari Andara.

Aku meraih kantong plastik yang disodorkan Andara, lalu menatapnya lama dalam diam. Sepuluh tahun aku menanti garis dua itu dari istriku, Putri Nastiti. Ternyata, aku harus memiliki anak dari wanita lain.

"Bagaimana ini, Mas? Aku malu kalau sampai ada yang tahu," tangis Andara. Pipinya sudah dialiri dua jalur air yang turun.

"Aku akan bertanggung jawab. Kita akan menikah," janjiku sambil menatap gadis yang telah tiga tahun menjadi sekretarisku.

Andara langsung memelukku. Tangisnya semakin deras, tapi aku yakin itu bukan tangis kesedihan.

"Terima kasih, Mas."

Aku mengenal Andara sebagai gadis yang baik. Sifatnya pemalu dan tidak pernah genit kepada siapapun. Aku menerima dia menjadi sekretaris karena sifatnya yang sopan dan santun tersebut, meskipun dia baru lulus dari sekolah sekretaris. Padahal banyak pelamar lain yang lebih berpengalaman dan lebih dewasa. Jauh di lubuk hati, aku yakin ia juga tak berniat menjadi perebut suami orang. Hal yang terjadi antara kami berdua sepenuhnya kecelakaan karena kekhilafan, kalau tidak mau menyalahkan setan yang telah berhasil menggoda kami malam itu.

Semua ini berawal pada suatu malam saat aku lembur di kantor. Aku memiliki usaha di bidang percetakan. Semua yang menghasilkan uang aku cetak; buku, brosur, buletin terbatas, sampai pamflet. Pokoknya aku tidak pernah menolak order cetak dari siapapun.

Usahaku akan mendapatkan keuntungan berlipat-lipat pada musim PEMILU dan PILKADA. Hajatan negara yang berlangsung lima tahunan tersebut selalu membuat usahaku kebanjiran order pamflet dan brosur kampanye. Tentu saja tidak pernah ada order yang aku tolak, meskipun aku dan karyawan harus lembur sampai pagi.

Pada suatu malam, hujan turun sangat deras. Aku dan beberapa karyawan masih di kantor untuk menyelesaikan pencetakan brosur kmapanye yang dijanjikan selesai esok pagi. Sebagai bos, tentu saja aku mengawasi mereka. Aku harus mengecek sendiri hasil pencetakan, agar tidak ada keluhan yang disampaikan pemesan saat brosur diserahterimakan esok hari.

Biasanya, Andara tidak akan ikut lembur sampai malam. Selarut-larutnya Andara lembur, ia akan pulang selepas salat Magrib. Namun, hujan yang turun sejak pukul lima sore telah menahannya untuk pulang. Ia bertahan di kantor menunggu hujan reda, namun harapannya sia-sia. Hingga lepas Isya, hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Andara terkurung di kantor.

"Nanti pulang bersama mobil saya saja, Dara. Tapi tunggu pencetakan selesai dulu, ya." Aku memberinya solusi. Andara mengangguk karena tidak ada pilihan lain. Pada saat itu, belum menjamur taksi daring seperti saat ini. Bahkan Gojek juga belum dibuat oleh NM.

Perkiraanku, cetak brosur akan selesai pada pukul delapan malam. Namun naas, terjadi kesalahan cetak yang cukup fatal. Akibatnya, lima ratus lembar brosur harus dicetak ulang. Aku sempat kesal dan frustrasi saat mengetahuinya, tapi tak ada pilihan selain mengulang cetak malam ini juga. Andara, terpaksa menungguku selesai meskipun ia sudah terlihat lelah.

Tatkala semua pekerjaan beres, kami semua sangat lega. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Hujan tinggal rintik-rintiknya saja. Semua karyawan langsung pulang meskipun hujan masih tersisa. Aku maklum mereka ingin segera beristirahat dalam kehangatan keluarga masing-masing.

Aku sudah bersiap-siap hendak pulang juga. Andara juga terlihat sudah mengantuk. Matanya bahkan hampir tidak dapat terbuka dengan baik. Namun, tiba-tiba perutku terasa sakit. Panggilan alam telah memaksaku untuk pergi ke kamar mandi. Sambil memohon maaf kepada Andara karena ia harus menunggu lagi, aku setengah berlari menuju kamar mandi pribadi di ruanganku.

Tatkala hajatku usai dan aku siap untuk pulang, aku dapati Andara telah duduk tertidur di sofa panjang yang ada di ruanganku. Rok pendeknya sedikit tersingkap, pasti ia tak sadar lantaran sedang terlelap. Darahku bergolak melihat kulit gadis semuda Andara. Ada yang menggelora di dalam dada.

Semua terjadi begitu saja. Aku juga tak tahu alasan Andara mau melakukannya. Mungkin kami terbawa suasana. Mungkin juga Andara mau karena dia pun telah memiliki rasa yang selama ini ditutupinya rapat-rapat.

Aku pernah mendengar, tak mudah bagi perempuan menyerahkan diri kecuali kepada orang yang telah ia beri hatinya. Terbukti kemudian, setelah peristiwa pertama itu ia terlihat semakin dekat dan manja saja kepadaku. Aku ini lelaki normal. Menghadapi gadis secantik dan semuda Andara setiap hari, siapa yang akan kuat? Pada akhirnya, kami melakukan perbuatan keji itu lagi dan lagi. Hingga akhirnya aku menerima hasil alat tes itu pagi ini.

Sepanjang hari aku tak tenang dibuatnya. Alat tes bergaris dua itu selalu membayang di pelupuk mata. Bukan aku tak senang Andara mengandung anakku, tapi aku bingung bagaimana cara untuk mengatakan berita ini kepada istriku. Akankah ia memaafkanku? Lebih dari itu, apakah ia akan mengizinkanku menikah lagi?

Satu minggu lamanya aku memikirkan cara bicara kepada Putri. Tidurku tidak nyenyak dan makan pun tak enak. Hatiku resah memikirkan tanggapan Putri akanpengakuanku. Akhirnya, aku bulatkan tekad untuk bicara empat mata dengannya. Lagi pula, cepat atau lambat dia akan mengetahui rahasiaku.

"Ma, Papa mau bicara."

Putri yang tengah menonton televisi, mematikan volume bunyi dengan remote. Seketika suasana menjadi sepi. Rumah kami memang selalu begini tanpa adanya televisi. Tidak hadirnya anak dalam pernikahan membuat hidup rumah tangga ini begitu sunyi.

"Bicara apa, Pa?" tanya Putri seraya menatapku keheranan. Aku duduk di sebelahnya, namun tubuhku menghadap ke arahnya.

"Hal yang akan Papa katakan mungkin menyakiti Mama. Papa minta maaf sebelumnya, sebab semua ini memang salahnya Papa." Aku meraih tangan Putri, lalu menggenggamnya erat-erat. Tatapan Putri semakin tak mengerti.

"Katakan saja, Pa."

"Papa sudah membuat sekretaris Papa hamil--"

"Ah!" Putri terpekik pelan. Ia menarik tangannya yang masih aku genggam, lalu menutup mulut dengan sebelah tangan. Sorot tak percaya ia lemparkan ke arahku. Seketika air matanya berlinangan.

"Papa minta maaf. Papa mohon izin Mama untuk menikah lagi." Aku berkata mantap.

Putri menyusut air mata yang mengalir deras. Ia tergugu cukup lama. Dengan sabar, aku membiarkannya menangis hingga puas. Setelah lebih tenang, barulah ia mengeluarkan suaranya yang halus.

"Baiklah, Pa. Mama mengizinkan Papa menikah lagi, tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya, Ma?" Aku menatap Putri.
 

Part 2

LANGIT RUNTUH 

"Ah!" Aku terpekik pelan. Permintaan Airlangga membuatku syok. Meskipun sudah lama mengkhawatirkan hal ini mungkin terjadi, namun ketika waktu ini tiba aku tetap saja merasa terpukul.

Sepuluh tahun yang lalu, aku yang baru menikah sangat ingin segera hamil. Aku bahagia ketika pada bulan kedua pernikahan, aku tidak didatangi tamu bulanan. Kebahagiaan itu sirna seketika pada bulan ketiga, sewaktu aku mengalami keguguran. Setelah kehamilan pertama itu, aku tidak pernah hamil lagi.

Aku dan Airlangga bersabar. Namun omongan orang di kanan dan kiri membuatku gerah juga. Akhirnya, setelah tiga tahun menanti buah hati, kami memutuskan memeriksakan diri ke dokter kandungan. Pada saat itulah aku mengetahui kenyataan yang meluluhlantakkan harkatku sebagai seorang istri.

Kondisi rahimku ternyata bermasalah, sehingga membuatku tak mungkin memberi Airlangga keturunan. Sel telurku tidak matang secara teratur. Aku tidak subur. Di samping itu, sel telur yang matang juga bermasalah. Apabila sel telur wanita lain dapat dibuahi dalam jangka waktu 24-48 jam, maka sel telurku hanya mampu bertahan beberapa jam saja. Hal ini menyebabkan aku sangat sulit hamil karena masa subur yang terlalu singkat.

Sempat terpikirkan olehku dan Airlangga untuk menjalani program bayi tabung, tapi keterangan dokter kandungan memupuskan harapan itu. Rahimku dinyatakan lemah dan tak sanggup menopang kehidupan janin di dalamnya. Sebetulnya ada satu jalan, yaitu menyewa rahim wanita lain untuk mengandung bayiku. Namun sayangnya, menyewa rahim atau menyewa ibu pengganti merupakan hal terlarang di Indonesia. Lagi pula, hukumnya juga haram dalam agama Islam. Maka dengan kenyataan ini, mustahil bagiku untuk memiliki anak bersama Airlangga.

Semenjak saat itu, aku selalu dihantui ketakutan akan ditinggalkan oleh Airlangga. Aku memang bersikap hormat dan taat kepadanya, berusaha menjadi istri yang baik dan sempurna baginya. Aku junjung kemuliaan dan kehormatannya sebagai hal yang utama. Kebutuhannya lahir batin selalu aku perhatikan. Namun jauh di lubuk hati, aku tahu bahwa itu semua tidak cukup untuk mengikat Airlangga dalam pernikahan ini selamanya. Mampukah Airlangga bersabar dengan istri yang hangat namun rahimnya telah dingin?

Sebagian orang mungkin berdalih, Airlangga bisa bertahan lantaran cinta. Namun aku tahu sejak dulu, bahwa Airlangga tak pernah mencintaiku. Kami menikah karena dijodohkan. Ayahku dan ayahnya bersahabat, lalu mereka sepakat untuk menjodohkan kami anak-anaknya. Dia menikahiku lantaran kepatuhannya kepada kedua orang tua, sama halnya dengan aku. Aku mematuhi ayahku karena yakin bahwa restu orang tua merupakan kunci kebahagiaan sebuah pernikahan.

Jadi, tibalah hari yang paling aku takutkan itu. Airlangga menemukan wanita lain yang bisa mengandung anaknya. Langitku runtuh hari ini. Namun tak akan kubiarkan hidupku ikut runtuh. Hal ini memang telah kucemaskan sejak lama, hingga aku memiliki waktu yang panjang untuk memikirkan posisiku di dalam bahtera yang telah oleng ini.

"Baiklah, Pa. Mama mengizinkan Papa menikah lagi, tapi dengan satu syarat." Suaraku keluar juga setelah menangis cukup lama.

"Apa syaratnya, Ma?" Airlangga menatap ingin tahu.

"Mama tetap menjadi istri utama Papa. Papa tidak boleh menceraikan Mama. "

"Baiklah, Ma. Papa janji tidak akan menceraikan Mama. Mama tetap jadi yang utama." Cepat sekali Airlangga menjawab.

"Apabila menghadiri acara resmi keluarga maupun undangan dari rekan-rekan Papa, Mama yang Papa ajak dan bukan wanita itu," lanjutku lagi.

"Kata Mama syaratnya hanya satu?" protes Airlangga.

"Ya, semua itu bagian dari kedudukan Mama sebagai istri yang utama, Pa," tangkisku.

Airlangga termangu, kemudian mengangguk-angguk setuju.

"Dan sebagai istri utama Papa, Mama tidak mau jatah nafkah lahir Mama dikurangi," kataku menutup tawar menawar.

Airlangga terbelalak. Selama ini, aku tahu dia tidak memberikan semua penghasilannya kepadaku. Ia hanya memberiku 50% penghasilannya, sedangkan 50% lagi ia kelola sendiri. Aku tidak mau jatahku berkurang karena harus berbagi dengan wanita lain itu.

"Baiklah, Ma." Airlangga menjawab berat.

"Nanti Papa beritahu kapan Papa menikah," sambungnya.

"Tidak perlu, Pa. Mama tidak akan menghadiri pernikahan itu, jadi tidak ada gunanya Papa memberitahu Mama," kataku sedikit ketus.

Tiba-tiba aku merasa sangat muak, hingga tanpa sadar aku bangkit dari duduk dan pergi sambil menyusut air mata yang kembali mengalir di pipi. Airlangga membiarkanku masuk ke dalam kamar dan menumpahkan tangis pada bantal.

Mengapa aku menerima untuk dimadu dan tidak minta diceraikan saja? Bukan karena bodoh aku begini. Justru pilihan ini telah aku pikirkan masak-masak. Bukan juga karena aku takut tidak ada yang menafkahi sebab aku memiliki penghasilan sendiri, bekerja menjadi guru di salah satu SD Negeri.

Alasan aku tidak mau menjadi janda karena aku ini wanita perasa. Aku tidak akan kuat mental menghadapi tekanan masyarakat. Aku tidak sanggup menerima nyinyiran keluarga dan orang dekat apabila statusku berubah menjadi janda cerai. Pasti aku akan dicemooh dan dijauhi teman-teman sesama wanita yang takut aku akan menggoda suami mereka. Belum lagi gangguan dari para lelaki, baik duda maupun lelaki yang bergelar suami tidak setia. Mereka akan menggodaku dan mungkin berani melecehkanku lantaran aku tak lagi memiliki seorang pelindung. Lebih baik menjadi istri yang diduakan, daripada menjadi janda yang direndahkan.

Setelah obrolan kami malam itu, aku semakin jarang melihat keberadaan Airlangga di rumah. Tentang pernikahan Airlangga, aku akhirnya mengetahui hari pernikahannya dari istri adik iparku, Wulandari.

"Mbak, Mas Angga sudah menikah tiga hari yang lalu," lapor Wulan kepadaku. Ternyata itu alasannya untuk mengunjungiku sendirian saja tanpa suami dan anaknya.

"Oh, ya." Aku menanggapi dingin. Namun hal itu tak menyurutkan semangat Wulandari untuk memberi informasi secara cuma-cuma.

"Mas Angga menikah siri dengan sekretarisnya. Dia hanya mengundang anggota keluarga inti saja," ujar Wulan lagi. Sebetulnya aku tidak peduli, tapi demi menghormati Wulan yang sudah repot-repot datang dan mengabarkan, aku mendengarkan juga meskipun dengan wajah yang datar.

"Maaf ya Mbak, aku dan Mas Titan menghadiri pernikahan kedua Mas Angga. Posisi kami serba salah," kilah Wulan setelah melihat raut wajahku yang tanpa ekspresi.

"Tidak apa, Wulan. Aku tahu kamu hanya menjalankan kewajiban," tandasku sambil memaksakan senyum.

"Tapi Mbak Putri tenang saja. Bagiku dan keluarga Mas Titan, Mbak Putri tetaplah bagian dari keluarga Joyokusumo. Istri kedua Mas Angga tidak lebih dari pemain yang datang tanpa diundang," tegas Wulan seraya meraih tanganku ke dalam genggaman tangannya. Ada rasa hangat yang mengalir di hati mendengar ucapan manis Wulan. Dari sorot matanya, aku tahu ia berkata jujur. Ia memihakku. Aku terharu.

Kemudian, penanda waktu tak henti berkisaran selepas itu. Kehidupan pernikahanku berjalan semakin hambar saja, namun aku tetap bertahan. Hanya saja, aku tidak tahu bahwa pada akhirnya aku tetap terlempar dari keluarga besar Joyokusumo. Penyebabnya karena satu orang yang tidak pernah aku duga sama sekali. Dia adalah ... 

 

Part 3

MENGIDAM

Pernikahanku dilangsungkan sederhana di kota kelahiran Andara dua minggu kemudian. Hanya mengundang kerabat dan tetangga dekat, pernikahan itu dilakukan secara siri. Ayah Andara langsung yang menikahkan kami. 

Usai syukuran yang tidak terlalu besar, aku langsung memboyong Andara ke kota tempatku tinggal. Kami langsung menuju sebuah rumah yang baru aku cicil. Di sinilah kami akan menghabiskan hidup bersama. Rumah yang dulu kutempati bersama Putri, tetap menjadi hunian Putri. 

Seminggu kemudian, aku  mengadakan pesta kecil sebagai perayaan dan pemberitahuan kepada saudara-saudara dekat bahwa aku sudah menikah lagi. Istilah yang digunakan orang Jawa, ngunduh mantu.

Sengaja aku meminta pesta itu diadakan di rumah Nenek, ibu dari Ayah. Tak lain karena Ayah tak mau aku mengadakan pesta besar di gedung istimewa. Sepertinya buat Ayah, lebih baik pernikahan keduaku disembunyikan. Ayah yang tidak pernah ikut campur urusan rumah tanggaku terlihat tidak senang saat menghadiri pesta di rumah Nenek. 

Aku tahu Ayah merasa malu karena aku menikah lagi dengan wanita yang tidak sederajat kelas sosialnya dengan keluarga kami. Pernikahan ini terpaksa disetujui Ayah setelah mengetahui bahwa Andara telah hamil lebih dulu. 

Reaksi keluarga besar atas pernikahanku juga tidak antusias. Adik-adikku, Titan dan Maheswari, terlihat menjaga sikap. Meskipun tata krama mereka tak bercela, aku tahu di lubuk hati mereka yang terdalam mereka tidak setuju dengan langkah yang kupilih. 

Tatkala para tamu sedang mengambil hidangan pesta kecil-kecilan ini, Andara menarik lenganku dan berbisik, "Mas. Keluargamu kayaknya enggak suka sama aku. Mereka semua dingin," keluh Andara. 

"Enggak, kok. Mereka suka kamu, hanya saja mereka belum kenal dekat jadinya bersikap kaku," dalihku, mencoba menghibur hati istri baruku. 

Meskipun sudah kuhibur, Andara tetap murung. Bibirnya yang mungil dan menarik itu terlihat cemberut.

"Jangan manyun, dong. Nanti keluargaku berpikir bahwa kamu yang judes dan tidak ramah," bujukku sambil mencolek dagunya yang lancip cantik. 

Andara mengangguk terpaksa, namun tetap mengikuti saranku. Kulihat ia berusaha tersenyum sepanjang sisa acara yang hanya berlangsung selama dua jam. 

Selepas acara makan bersama, satu demi satu keluargaku pamit pulang, didahului oleh Ayah.

"Ayah pulang dulu. Ada pekerjaan mendadak dari Pak Gatta." Ayah menepuk pundakku sekilas, lalu tersenyum ke arah Andara di sebelahku. Pak Gatta merupakan pejabat kementrian yang menjadi bos Ayah. Aku tak dapat menahan Ayah lebih lama.

"Baik, Yah. Terima kasih sudah datang ke pesta ini," jawabku takzim. Ayah berlalu setelah berpamitan kepada nenekku. 

Setelah Ayah pergi, mendadak semua keluargaku ikut pamit. Awalnya Titan dan Wulandari yang mengikuti jejak Ayah, disusul Maheswari dan suaminya Pratama. Mereka semua beralasan besok pagi harus berangkat kerja, sehingga tidak bisa pulang terlalu larut. Padahal sekarang baru pukul enam sore. Pesta yang dimulai pukul empat sore rasanya baru saja dimulai, tapi keluargaku sudah pamit pulang.

"Betul kan, Mas. Keluargamu enggak ada yang mau mengajak aku bicara," kata Andara sambil menahan tangis. 

Ya, aku lihat sikap Wulandari dan Maheswari memang sangat dingin kepada Andara. Seharusnya mereka bisa mengajak mengobrol Andara pada saat acara makan bersama, meskipun hanya basa-basi belaka. Tapi, apa yang kulihat? Wulandari dan Maheswari memilih mengobrol sendiri daripada mengajak Andara berbincang bersama. 

"Mungkin mereka sibuk. Sudah, tidak usah dipikirkan. Ingat, kamu sedang hamil," hiburku sambil berusaha mengalihkan perhatiannya. Andara tetap merengut.

"Andara," panggil Nenek mendadak. Andara menoleh.

"Kemari, Nak," panggil Nenek dengan senyuman. Andara bergegas mendekat. Aku bernapas lega. Setidaknya, nenekku masih bersikap wajar terhadap cucu menantunya. 

Aku berlalu pergi untuk berganti kostum. Namun, belum jauh kaki ini melangkah terdengar suara orang seperti akan muntah. Aku menoleh secara refleks. Kulihat wajah Andara merah padam, sementara ekspresi Nenek terkejut. Pandangan Nenek ke arah Andara seperti menyelidik. Aku berhenti dan mengamati situasi.

“Kamu hamil?” tanya Nenek. Andara mengangguk lemah. Nenek menghela napas. Kemudian, Nenek melihat ke arahku.

“Angga. Kemari,” panggil Nenek. Otomatis kakiku berbalik arah untuk memenuhi panggilan Nenek. Saat itu, suasana sudah sepi. Hanya tinggal kami bertiga di ruangan ini. 

“Kamu menikahi Andara yang sedang hamil?” Nenek menatapku tajam. Aku mengangguk, bingung dengan arah pembicaraan Nenek. Apa salahku?

“Kamu menikah siri, ya?” tanya Nenek lagi. Kembali aku mengangguk. 

“Kalau kamu mendaftarkan pernikahanmu ke KUA, pasti tidak akan diterima,” ujar Nenek. Aku mengernyitkan dahi.

“Mengapa begitu, Nek?” tanyaku bingung.

“Sebab orang hamil tidak boleh menikah. Haram hukumnya. Setelah melahirkan, baru boleh dinikahi.” Nenek menceramahi. Aku terpelongo. Aku baru tahu hal ini. 

“Tapi kami sudah resmi menikah, Nek. Ayah Andara sendiri yang menikahkan. Apa pernikahan kami tidak sah?” tanyaku lagi. Nenek menggeleng. Aku dan Andara saling melirik. Kulihat Andara juga kebingungan. 

“Ya. Tidak sah. Kalian tetap belum halal. Setelah Andara melahirkan, kamu harus mengulang ijab qabul lagi,” terang Nenek. Aku tercengang. 

“Sebelum menikah dengan sah, kalian tidak bisa berhubungan suami istri,” tambah Nenek. Membuatku semakin pusing. 

“Baik, Nek. Setelah Andara melahirkan, aku akan mengulangi akad nikah,” janjiku. 

Kemudian, aku permisi untuk berganti pakaian. Mendadak saja pakaian raja sehari ini terasa gerah di badanku. Lebih baik aku segera menggantinya dengan kaos yang nyaman dipakai untuk bersantai. 

Hari demi hari berganti. Daur hidup terasa sangat cepat berlari. Semenjak menikahi Andara, aku semakin jarang pulang ke rumah Putri. Bahkan nafkah bulanan untuk Putri lebih sering aku berikan lewat transfer ATM. 

Selepas acara di rumah Nenek. Aku dan Andara pulang ke rumah yang sudah aku cicil. Tidak sebesar rumah yang kutempati bersama Putri, namun cukuplah rumah itu untuk aku tempati bersama istri dan calon bayi kami kelak. 

Aku tak tahu sebabnya, tapi aku merasa lebih bahagia di rumah mungil ini daripada di rumah Putri. Yang jelas, tak kudapati lagi sambutan hangat bila aku datang ke rumah Putri. Sikapnya lebih dingin, meskipun masih hormat dan melayani.

Aku akui, sekarang ini aku lebih peduli kepada Andara daripada kepada Putri. Aku pikir itu hal yang wajar sebab Andara sedang hamil. Bukankah wanita hamil katanya selalu lebih manja dan butuh perhatian? Ditambah lagi, Andara mulai sering meminta macam-macam yang tak biasa. Kata orang-orang, Andara sedang mengidam. 

Aku baru tahu ngidamnya wanita hamil. Ternyata permintaannya aneh-aneh dan tidak masuk akal. Aku berusaha menurutinya sebatas kemampuanku sebagai suami dan manusia. Lagi pula, aku senang bisa memenuhi permintaannya yang serba tak biasa itu. Tentu saja semua itu demi buah hati yang bersemayam di rahim Andara saat ini. Aku merasa menjadi calon ayah yang sejati. 

Akan tetapi, ada satu permintaan Andara yang kurasakan keterlaluan. Aku rasa itu bukan ngidamnya bayi di dalam kandungan, tapi aku tak mampu mendebat. Permintaan itu diajukan Andara setelah satu minggu pesta pernikahan kami usai.

 

Part 4

PERMINTAAN ANDARA

"Mas, aku ingin tetap bekerja sebagai sekretaris di kantor," ucapnya sambil mengelus perut yang masih rata. 

"Kerja? Buat apa?" Aku mengerutkan dahi lantaran tak memahami isi pikirannya. Ya, buat apa lagi Andara bekerja? Bukankah segala keperluannya kelak aku penuhi?

"Itu keinginan janin di dalam sini," jawab Andara sambil menunjuk perutnya. 

Aku menggaruk kepala yang mendadak gatal. Memang baru kali ini aku menghadapi istri yang hamil, tapi apakah ngidam itu termasuk hal seperti ini? Setahuku ngidam hanya seputar makanan dan perhatian, tidak sampai pada keinginan bekerja. Apakah ini hanya akal-akalan Andara saja? Tapi buat apa dia melakukannya? Aku tak habis mengerti dengan jalan pikiran otak di dalam kepalanya yang cantik itu.

"Masa janin belum bisa apa-apa maunya begitu? Jujur saja, Sayang," sanggahku sambil menaikkan sebelah alis ke arahnya. Kutatap ia lekat agar ia tahu bahwa aku sungguh-sungguh. Aku paling tidak suka menjadi bahan permainan apalagi bila orang yang mempermainkan itu istri sendiri.

"Ya, aku juga enggak tahu, Mas. Begitulah yang aku rasakan sekarang. Aku ingin selalu berada di dekatmu, Mas," tegas Andara sambil membalas tatapan mataku dengan pandangan yang teguh. Tak kulihat sesuatu yang tersembunyi dari sorot matanya, hingga akhirnya aku pun menjadi luluh. Bukankah kata orang mata adalah jendela jiwa? Tak kulihat kelicikan di balik sorot mata Andara.

"Baiklah kalau begitu.  Mungkin kamu cemas harus berjauhan denganku. Jangan takut, kamu selalu di hatiku walaupun ada di rumah," rayuku seraya mengacak rambutnya. Andara tersenyum hingga bibirnya melengkung ke atas dengan cara yang amat cantik, aku terpana. Rasanya setiap hari aku bertambah cinta kepadanya. Pesonanya yang tak habis-habis selalu membuatku kecanduan.

Namun aura cantik itu seketika lenyap ketika mulutnya terbuka dan meluncurkan kalimat yang membuatku mati kutu. 

"Mana bisa aku percaya, Mas? Dulu saja kamu tergoda kepadaku padahal Mas sudah beristri," sahut Andara lugas. 

Aku merasa tertohok. Sakit sekali rasanya di jantung ini, tapi hal yang dikatakannya benar adanya. Aku tak berkutik. 

"Pokoknya aku mau tetap menjadi sekretaris, agar tidak ada gadis lain yang bisa mendekati, Mas," ungkap Andara terang-terangan. Ternyata itu maksudnya ingin tetap menjadi sekretarisku, agar aku tidak mengambil sekretaris baru yang mungkin juga cantik. 

Ah, mengapa baru kusadari ternyata Andara pandai bersilat lidah.

"Tapi kan kamu sedang hamil muda? Apa enggak akan mabuk dan pusing nantinya saat bekerja?" sanggahku.

"Enggak kok, Mas. Selama ini aku hanya mual saat baru bangun tidur. Setelah itu enggak mual lagi," tangkas Andara menjawab. Akhirnya aku tak menemukan dalih lagi. Aku tak bisa mencegahnya untuk tetap bekerja menjadi sekretarisku. 

"Tapi kalau sudah hamil besar, kamu harus berhenti, ya!" pintaku sambil memandangnya dengan rasa was-was yang besar. Aku tak mau nanti kehamilan Andara mendapat masalah lantaran Andara yang terlalu lelah bekerja. Tahunan aku menanti buah hati, tentu aku tak mau calon bayi itu mendapat masalah karena kecerobohan Andara.

"Iya, Mas. Nanti aku berhenti kerja kalau sudah akan melahirkan," Andara tersenyum menenangkan. 

Dengan hadirnya Andara sebagai sekretarisku kembali, otomatis waktuku habis dengannya. Sebetulnya enak juga. Setiap saat aku bisa bertemu dengannya, tanpa perlu menunggu sampai malam tiba. Siang dan malam yang aku lihat hanya Andara, sehingga Putri semakin lenyap dari ingatan. Terkadang, aku hanya mengunjungi Putri seminggu sekali saja. Lantaran tidak ada protes dari Putri, aku menganggap pola kunjungan seperti itu tidak masalah buatnya. 

Hari demi hari berlalu. Kandungan Andara semakin besar. Aku yang melihatnya sudah kesusahan berjalan, akhirnya tidak tahan untuk mengatakan keberatan kepadanya.

"Sayang, perutmu sudah semakin besar. Sudah waktunya kamu ambil cuti, lalu fokus memikirkan persalinan," kataku saat Andara masuk ke ruangan mengantarkan berkas yang harus aku tanda tangani. Andara menatapku sebelum duduk di kursi di depan meja kerjaku.

Sebetulnya aku tidak tega melihat Andara kepayahan begini. Apa daya itu kemauannya sendiri. Terkadang aku kesal sebab ia sangat keras kepala. 

"Begitu ya, Mas? Baiklah. Tapi untuk penggantiku, biar aku yang mencarikan," ujar Andara mengejutkan. Di satu sisi aku senang ia akhirnya menuruti keinginanku. Di sisi lain aku penasaran mengapa ia mau repot mencarikan sekretaris baru. Apakah ia akan mencarikan sekretaris baru yang jelek untukku?

"Boleh, Sayang. Secepatnya, ya!" pintaku serius. 

"Beres, Mas. Aku sudah punya calon, kok," sahut Andara dengan tawa yang semringah. Aku jadi berpikir bahwa hal ini telah dipikirkan oleh Andara sejak jauh-jauh hari. Terbukti dari betapa sigapnya ia menjawab pertanyaanku tadi. 

Seminggu kemudian, ketika aku keluar ruangan sebelum jam makan siang, aku mendapati Andara tengah berbincang dengan seorang pemuda yang berkemeja rapi warna putih. Mereka duduk berhadapan, Andara di belakang meja sekretaris sedangkan pemuda itu berseberangan dengannya. 

"Siapa ini, An?" tanyaku kepada Andara. Pandangan mataku memindai penampilan pemuda tersebut dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pakaian berwarna putih dan hitam yang dikenakannya mengingatkanku pada tenaga pemasaran lepas yang selalu banyak di kantor kami. .

"Ini calon sekretaris pengganti saya, Mas." Andara menjawab tenang. 

Ternyata Andara mencarikanku sekretaris berjenis kelamin pria. Sekarang aku tahu maksudnya repot-repot mencarikan sekretaris. Ternyata ia tak mau aku memiliki sekretaris seorang wanita. Baiklah, tidak apa-apa. Bukankah yang penting dari seorang sekretaris adalah tugasnya dapat dikerjakan dengan baik, tidak masalah lelaki atau perempuan.

Tiga hari setelah kemunculan pemuda itu, Andara resmi tidak bekerja lagi. Ia lebih banyak di rumah menanti kelahiran buah hati kami yang hanya tinggal menghitung hari. Aku merasa semangat hidupku semakin bangkit. Aku semakin giat bekerja demi menyambut bayi kecil itu. Aku tahu kebutuhan bayi setelah lahir amat banyak. Mulai dari pakaian hingga makanan pasti tak ada habisnya. Aku harus bisa memenuhi kebutuhan itu semua.
*** 
Semenjak Aryatama lahir, waktuku semakin terasa sedikit. Hari demi hari berlalu terlalu cepat. Setiap hari yang kulewati, tak habis-habisnya aku mengagumi perkembangan bayi Arya yang sangat pesat. Selalu ada hal baru setiap hari. Aku sibuk sebagai ayah baru. Hidupku terasa amat sempurna. Tempat untuk Putri semakin sempit mengisi ruang memoriku. 

Sampai datanglah hari itu. Hari aku harus membuat keputusan terberat dalam hidupku. Aku sedang mempelajari order pencetakan buku yang baru masuk, ketika pintu ruang kerjaku terpentang lebar dan seseorang masuk begitu saja ke dalam ruanganku.

"Kamu ini membuat malu saja, Angga!"

 

Part 5

ULTIMATUM

Aku terbelalak. Tak menyangka sama sekali akan kehadiran sosok di hadapan saat ini. Bagaimana mungkin? Ini tidak masuk akal.

"Ayah? Mengapa tiba-tiba datang kemari?" Aku berdiri untuk menyambut Ayah yang berkacak pinggang di ambang pintu. 

Aku lihat beberapa pasang mata karyawan mengintai kami dari luar. Sorot mata mereka semua menyiratkan rasa ingin tahu akan drama yang sedang berlangsung saat ini. Kedatangan Ayah yang langsung marah-marah memang sangat menghebohkan. 

Tak bisa kubiarkan! Apapun masalah yang Ayah bawa ke sini, itu tidak akan pernah menjadi bahan santapan bawahanku. Mau ditaruh di mana wibawaku sebagai seorang bos? Ah, jauh di lubuk hati aku menyayangkan sikap Ayah yang terlampau gegabah. 

"Duduk dulu, Ayah." Aku menghampiri Ayah, lalu tanganku sigap menutup rapat daun pintu. Setelah mengunci pintu dengan gerendel, aku bergegas membimbing Ayah untuk duduk di salah satu sofa di dalam ruangan. Namun, Ayah menepis tanganku di lenganyya seolah tanganku lalat yang perlu diusir.

Ayah duduk si sofa dengan wajah merah padam. Tangannya terkepal erat dan diletakkan di atas lutut yang tertekuk. Aku tahu ada masalah yang tidak beres. Tapi apa? Sayangnya, ayahku tak segera kunjung bicara.

"Ada apa, Ayah? Apa aku berbuat salah?" tanyaku dengan suara yang kubuat serendah mungkin. Semata-mata agar tak dianggap kurang ajar lantaran telah meninggikan suara di hadapan orang tua. 

"Salah sekali! Ayah kira dulu kamu menikah siri hanya untuk menutupi malu. Rupanya kamu serius dengan Andara?" Ayah menatapku tajam. 

Aku heran. Di mana letak kesalahanku? Bukankah biasa saja seorang lelaki beristri dua? Sungguh aku bingung dengan sikap ayahku.

"Maksud Ayah bagaimana? Ketika aku menikahinya, tentu saja aku serius. Seharusnya bagaimana?" Aku menggaruk ubun-ubun yang kini terasa gatal.

"Sewaktu kamu akan menikah, bukannya kamu bilang istri mudamu akan kamu sembunyikan, jadi hanya Putri yang orang ketahui sebagai istrimu?" 

"Itu betul, Yah. Memang aku kemana-mana selalu dengan Putri, kok. Andara tidak pernah aku ajak apabila ada acara resmi keluarga," kilahku. 

Tentu saja aku tidak akan bisa lupa. Putri memang menantu pilihan Ayah, jadi Putri yang akan selalu Ayah bela. Ditambah lagi, ayahnya Putri merupakan sahabat baik Ayah.  

"Lalu mengapa dia belum juga kamu ceraikan setelah melahirkan?" Ayah menatapku tajam.

Pertanyaan Ayah membuatku terdiam. Aku terlalu terkejut dengan pertanyaan itu, hingga tak sanggup memberikan jawaban selama beberapa saat. Aku tidak pernah terpikir untuk menceraikan Andara. Aku memang berjanji tidak akan menampilkannya ke hadapan orang banyak, tapi bukan berarti aku akan menceraikannya. 

"Andara ibu dari anakku, Yah. Aku tidak pernah berniat menceraikannya." Akhirnya kutemukan kembali keberanian untuk menyuarakan isi hatiku. 

Ayah mendengkus. "Bukan ini yang Ayah harapkan dari pernikahan keduamu. Ayah tidak suka kamu memiliki istri dua. Ayah malu!" Suara Ayah kembali meninggi. Pasti ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku harus mengorek hal itu kepada Ayah sekarang juga, saat ini. 

"Ada apa sebetulnya, Yah? Mengapa tiba-tiba Ayah datang ke kantorku pada jam kerja begini? Ayah bolos dari kantor?" Aku mengalihkan perhatian Ayah agar marahnya sedikit mereda. 

"Barusan istri mudamu datang ke kantor Ayah minta uang," jawab Ayah dengan raut wajah yang masam.

Aku terkejut dan terpana. Sepasang mataku terbelalak. Rasanya tidak percaya Andara melakukan hal itu. Bukankah ia bisa menghubungiku melalui saluran telepon. Aku mengernyitkan dahi pertanda tak memahami jalan pikiran Andara.

"Katanya teleponmu tidak bisa ia hubungi padahal sudah menghubungi berkali-kali. Dia butuh uang untuk biaya awal rumah sakit. Anakmu ditabrak orang di depan rumah." Seolah memahami pikiranku, Ayah memberi penjelasan saat itu juga.

Aku terpana. Aryatama, anakku yang baru merayakan ulang tahunnya yang kedua itu ditabrak orang? Seketika pikiranku kalut. Aku harus mengetahui runtutan peristiwanya sampai kecelakaan itu bisa terjadi.

Aku bergegas mencari telepon genggam yang tersimpan rapi di dalam laci. Benda hitam itu masih tergeletak anggun di dalam sana. Kuraih teleponku untuk mengecek panggilan yang mungkin masuk. Hitam. Layar ponselku tetap berwarna gelap meskipun berusaha kunyalakan. 

Barulah aku teringat, tadi malam aku lupa mengisi dayanya. Ponselku mati kehabisan energi. Sekarang jelas bagiku alasan Andara tak meneleponku tapi malah menemui ayahku di ... kantornya. 

"Ayah tahu bagaimana keadaan Arya saat ini?" tanyaku penuh kecemasan.

"Anakmu sudah aman. Ayah sudah mengurusnya bersama istrimu. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan anakmu Arya. Sekarang hal yang lebih penting." Ayah menarik napas untuk mengambil napas setelah berbicara panjang.

"Orang sekantor Ayah sudah tahu bahwa Andara juga istrimu. Bahkan Pak Gatta yang kebetulan ada juga jadi tahu. Ayah malu!" Rahang Ayah terlihat mengeras. Kepalan tangannya kembali menggumpal. Aku kembali terkejut.

"Apa yang harus dipermalukan, Yah?" Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran ayahku. 

Apakah karena selama ini semua orang hanya tahu bahwa istriku bernama Putri? Apakah Ayah malu memiliki dua orang menantu? Apa yang salah dengan hal itu?

"Tentu saja Ayah malu! Ayah ini seorang pegawai pemerintahan! Ayah malu kamu berpoligami. Rasanya wibawa Ayah jadi turun karena kamu."

Aku lihat wajah Ayah sudah kembali memerah. Napasnya tersengal, terlihat dari gerakan bahu Ayah yang naik dan turun tak beraturan. Ayahku murka. Sekarang aku memahami kemarahan Ayah. 

Bagi Ayah, nama baiknya sebagai pegawai pemerintahan merupakan hal nomor satu. Seorang lelaki yang memiliki dua istri diangap Ayah sebagai cacat cela yang mencoreng aib di wajahnya. Oleh karena prinsip itu pulalah dulu beliau menceraikan ibu kandungku demi menikah dengan ibu tiriku yang seorang janda. Poligami tidak ada dalam kamus hidup ayahku. Selamanya seorang lelaki harus memiliki istri satu.

Aku tidak bisa menyalahkan Andara yang menemui Ayah di kantornya. Mungkin dia bingung kemana lagi harus mencari bantuan. Keluarganya jauh berada di kabupaten. Satu-satunya kerabat dekatnya di kota ini hanyalah keluargaku. Tindakannya mungkin dilakukan secara spontan, saking paniknya dia dengan kondisi putra kami.

"Aku minta maaf, Ayah. Aku harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahanku?" Aku bertanya setelah menghela napas berkali-kali.

"Kamu harus ceraikan salah satu istrimu. Pilih wanita mana yang kamu inginkan menjadi pendamping hidupmu!" 

Kalimat Ayah membuatku ternganga. Rasanya baru saja ada petir yang menyambar kepalaku. Tak aku sangka Ayah memberi ultimatum seberat itu untukku. Siapa wanita yang harus kupilih untuk menjadi istri? Aku tak bisa melepaskan salah satu dari dua istriku. Putri dan Andara sama-sama memiliki posisi tersendiri di dalam hidupku.

Putri merupakan istri pertamaku. Wanita baik-baik yang Ayah pilih menjadi pendamping hidupku. Dia juga sudah mendapatkan tempat di hati keluargaku. Adik-adik dan ipar-iparku sangat dekat dengannya. Putri sudah menjadi bagian keluarga kami yang sangat disayangi.

Andara merupakan istri yang melahirkan anak buatku. Wanita yang aku sayangi karena telah bertaruh nyawa demi melahirkan keturunanku. Bersamanya, hidupku menjadi terasa lengkap dan penuh warna. Melepaskan Andara sesuatu yang sulit karena sekarang telah ada Aryatama. Bagaimana bisa aku berpisah dengan darah dagingku dan ibu kandung dari anakku?

Pikiranku kusut. 

 

Part 6

MENCARI SARAN

Selepas kepulangan Ayah, lama aku termenung di meja kerja tanpa berbuat apapun selain menatap catatan order cetak dengan pandangan nanar. Tak ada perhatianku terhadap catatan itu, malah justru aku tak peduli lagi. Wajah Putri dan Andara bergantian berkelebat di pelupuk mata. Kemudian, wajah mungil bocah Aryatama yang tertawa lucu menggantikan wajah kedua wanita tersebut. Persis seperti sebuah slideshow.

Ah! Gemuruh di dadaku amat riuh. Kepalaku serasa mau pecah saja memikirkan ultimatum Ayah. Mengapa Ayah memberiku perintah yang sangat sulit kupenuhi? Memilih di antara Putri dan Andara bukan hal yang mudah. Bahkan apabila menuruti keinginan semata, aku ingin tetap memiliki mereka berdua. 

Aku sudah berjanji kepada Putri untuk tetap mempertahankannya sebagai istri. Namun tak mungkin juga melepaskan Andara dan Aryatama begitu saja. Adakah jalan  keluar dari masalah sepelik ini? Akhirnya aku menyerah. Otakku terasa panas karena kelebihan beban pikiran. Aku harus beristirahat bila tak ingin sarafku cedera.

"Ferdi!" Aku berseru memanggil sekretarisku yang baru. Tidak terlalu baru sebetulnya. Bahkan bisa dikatakan cukup lama. Ferdi sudah bekerja kepadaku satu tahun lebih. 

Ferdi mulai bekerja tepat satu bulan sebelum Aryatama lahir ke dunia. Sekretaris yang dipilih Andara sebab ia tak mau aku menerima sekretaris wanita lagi.

"Bapak memanggil saya?" Ferdi muncul di ambang pintu. Gerak tubuhnya mantap saat melangkah dan mengambil tempat duduk di hadapanku. 

Pemuda berumur 25 tahun berambut agak ikal tersebut terlihat tenang dan lembut. Tak ada segaris pun gurat kasar pada wajahnya yang halus. Menandakan dia bukan orang yang beringas, bahkan amat paham sopan santun.

Ferdi sekretaris yang baik. Ia teliti dan cekatan, kemampuan mendasar yang wajib dimiliki seorang sekretaris. Selama bekerja dengannya, aku tak pernah kesal dan kecewa dengan kinerjanya. Dia juga seorang yang patuh dan tak pernah bertindak semau sendiri. Semuanya ia tanyakan lebih dulu agar tak salah dalam mengerjakan perintah. 

Dibalik sikap menahan dirinya, aku tahu ia memiliki kelebihan istimewa. Ferdi mampu mempelajari dengan cepat hal-hal yang baru dipelajarinya. Ia suka mengamati dan menyimak, lalu membuat keputusan yang tepat. 

Sudah lama aku mempertimbangkan Ferdi sebagai tangan kananku, bukan sekadar sekretaris yang mengerjakan tugas-tugas teknis. Sekarang saatnya aku menguji kemampuan Ferdi setelah sekian lama ia bekerja. Apabila sukses, ia akan langsung menerima tugas-tugas baru yang lebih menantang. Kenaikan gaji sudah pasti akan menyertai wewenangnya yang baru.

"Saya ada urusan mendadak. Saya akan pergi dan tidak akan kembali lagi hari ini. Coba kamu pelajari order ini, lalu kamu perkirakan berapa biaya cetaknya. Saya tunggu hasil analisismu besok pagi." Aku menyodorkan catatan order hari ini.

Ferdi membeliakkan mata sedikit. Terlihat jelas dari ketegangan wajahnya bahwa ia terkejut. Bahkan tangannya yang menerima buku yang kuulurkan hanya menerima dengan gerakan otomatis. Sedikit tergagap ia menjawab, "Baik, Pak. Saya akan kerjakan sebaik-baiknya." 

"Saya percaya kamu bisa." Aku tersenyum lalu berdiri dan menepuk pundaknya sekilas. Ferdi ikut berdiri.

"Semoga urusan Bapak lancar dan sukses," ujarnya sebagai kalimat perpisahan hari ini. 

"Terima kasih," jawabku sebelum melangkah pergi. Ferdi membiarkan aku melewati dirinya yang menunduk saat keluar dari ruangan.

Gontai langkahku terayun menuju lokasi mobilku di halaman depan. Aku merasa tanganku kehilangan tenaga. Lemas sekali rasanya. Bahkan aku hampir tak sanggup memutar gagang pintu depan mobilku sendiri. 

Kuempaskan tubuh di jok kursi depan. Mematung sejenak demi mengatur napas yang tak beraturan, aku tahu sedang tidak baik-baik saja. Aku perlu relaksasi. Aku juga perlu waktu dan tempat yang tenang untuk menjernihkan pikiran. Tempat yang akan membuatku nyaman sekaligus damai. 

Kuputar kunci mobil hingga mesinnya menyala. Pelan aku tekan pedal gas, lalu mobil city car yang telah tiga tahun kumiliki ini pun melaju. Sampai mobilku keluar dari halaman parkir dan meluncur di jalan raya, aku belum tahu pasti tempat untuk kutuju. Aku hanya menyetir saja tanpa memikirkan alamat tertentu. Absurd. Ya, itu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini. 

Sebuah papan iklan besar di perempatan jalan tertangkap oleh sudut mata. Iklan tempat pemandian air panas dengan belerang yang baru saja dibuka. Seketika aku tertarik untuk mencoba. Selama ini aku belum pernah mandi uap dengan belerang. Mungkin saja, suasana baru itu bisa membuatku relaks dan kembali mendapatkan akal sehat yang kini terasa sudah hilang.

Mobil kuarahkan ke alamat yang tertulis di papan reklame. Tidak sulit mengetahui nama jalan pemandian di papan tersebut. Saking besar tulisan alamatnya, aku langsung bisa membacanya meskipun hanya memandang sekilas. Tempat pemandian itu tak terlalu jauh dari lokasi kantorku. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku sudah sampai.

Mobilku meluncur mulus memasuki gerbang parkir yang catnya masih terang lantaran baru. Tak kusangaka akan begitu mudah mendapatkan tempat parkir. Selain masih banyak tempat yang kosong juga karena lahan parkirnya cukup luas. Hanya dengan memandang halamannya saja, aku bisa menebak tempat ini menyasar orang-orang yang memiliki cukup uang untuk membayar.

Kakiku melangkah memasuki ruang penerimaan tamu. Nuansa warna cokelat kayu memenuhi ruang pandangku. Dua orang resepsionis wanita menyambut kedatanganku dengan senyuman ramah yang sempurna. Senyum yang terlatih sudah pasti.

"Selamat siang, Pak. Silakan." Salah seorang dari mereka menyodorkan daftar fasilitas yang ditawarkan. 

Aroma cendana menguar menyerbu indra penciuman. Pandanganku pun dimanjakan dengan bunga Anggrek yang tertata apik dalam pot di meja. Atmosfer tempat ini langsung membuatku merasa nyaman. Rasanya seperti pulang ke rumah sendiri. Selama beberapa jenak, aku melupakan masalahku.

Satu jam lamanya berendam di dalam air hangat beraroma mineral, cukup membuat otot-ototku santai dan tak lagi kaku. Pikiranku pun lebih terbuka daripada sebelumnya. Hanya perutku yang berbunyi minta diisi dan ditenangkan. Satu jam berikutnya aku habiskan untuk menyantap hidangan dan minuman yang tersedia di kantin. 

Sambil menyeruput minuman hangat di dalam gelas kaca yang besar, aku kembali menelaah persoalanku dengan lebih tenang. Sekarang baru aku sadari bahwa masalah ini terlalu rumit untuk kuurai sendiri. Aku tak akan mampu memutuskan persoalan pelik ini tanpa bantuan. Aku harus meminta pendapat dari pihak ketiga. 

Sekarang masalahnya, siapa pihak ketiga itu? Ayahku sendiri jelas tak mungkin. Beliau terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Lagi pula, sejak dulu kami tidak pernah berbicara dekat dari hati ke hati. Ayah hanya tahu memberi perintah, sedangkan aku harus melaksanakan perintah itu dengan caraku sendiri. Tanpa campur tangan ataupun saran dari Ayah. Beliau hanya tahu beres saja. 

Seraut wajah berkelebat di dalam benak. Dia pilihan terbaik. Tak akan ada lagi orang yang lebih mengerti diriku lebih baik dibandingkan dirinya. Dialah yang tahu baik dan burukku luar dan dalam. Kami lahir dari rahim yang sama. Menghirup aroma masa kecil bersama. 

 

Part 7

JALAN KELUAR

Adikku. Ya, kupikir Titan merupakan teman bicara yang tepat. Titan telah berkeluarga dan juga memiliki anak. Sebagai sesama lelaki, Titan tentu dapat bersimpati terhadap masalah yang tengah kuhadapi. Sebagai saudara kandung, ia dapat berempati kepadaku lebih baik daripada orang lain. 

Titan yang tahu betul sepak terjangku sebagai pemuda play boy sebelum menikah. Bahkan, dia juga tahu jumlah wanita yang pernah bertekuk lutut di bawah pesonaku dan terkulai di kakiku. Sekali lagi, semua itu terjadi sebelum aku MENIKAH. 

Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, aku ini lelaki setia. Setelah menikah, tak pernah lagi aku berbuat hal yang tak patut sebagai seorang suami yang baik. Satu-satunya kesalahan yang pernah aku perbuat hanya dengan Andara saja. Dialah satu-satunya yang membuatku terjebak dalam masalah sebesar ini.

Titan tentu bisa memahamiku. Hal yang paling penting, ia akan dengan tulus mencarikn jalan keluar buatku. Ya, aku akan meminta saran dari Titan saja. Aku berniat untuk langsung menuju ke rumah Titan sepulangnya dari tempat pemandian. 

Akan tetapi, tiba-tiba aku teringat akan Aryatama yang sedang berada di rumah sakit. Ah, sepertinya aku harus menunda niatku ke rumah Titan. Aku harus menemani Arya yang sedang sakit. Memberinya perhatian dan kasih sayang agar dia lebih cepat sembuh. 


Akhirnya, niat semula yang ingin langsung ke rumah Titan kuubah untuk langsung ke rumah sakit mengecek keadaan Arya. Perkara ke rumah Titan akan aku lakukan setelah Arya betul-betul sembuh, agar hatiku tak risau memikirkan keadaan Arya. Semua persoalan ini harus aku urai satu demi satu. 

Seminggu kemudian, Aryatama sudah keluar dari rumah sakit. Syukurlah kecelakaan itu tidak terlalu parah. Tidak ada tulangnya yang patah. Hanya luka-luka saja. Setelah keadaan Aryatama pulih kembali, aku teringat akan niatku mengunjungi Titan. 

Aku memilih waktu pulang kantor untuk mengunjungi Titan. Pada suatu hari Rabu, aku sengaja tidak lembur. Jam dinding di dinding menunjuk ke angka empat ketika aku keluar dari ruangan khususku. 

“Aku pulang sekarang, Fer. Kamu awasi dulu anak-anak yang lembur,” pesanku kepada Ferdi yang masih duduk tenang di balik mejanya.

“Siap, Pak!” Ferdi menyahut spontan. Aku bisa tenang setelah memercayakan pekerjaan kepada Ferdi. 

Tanpa terburu-buru, aku melangkah keluar dan memasuki mobil. Kendaraan tersebut aku lajukan dengan kecepatan sedang. Pada waktu ini, Titan pasti masih berada di kantor. Tak apalah. Biar kutunggu ia pulang dari kantor di rumahnya. Toh tinggal satu jam lagi waktu kerjanya usai. Tak akan terlalu lama aku menunggunya pulang.

Kedatanganku disambut Tini, asisten rumah tangga Titan. Aku sudah memperkirakan hal ini terjadi. Titan dan Wulan sama-sama bekerja, jadi siang hari di rumahnya selalu sepi. Hanya anak-anak yang ada bersama Mbak Tini. 

"Ke mana keponakanku?" Telinga aku tajamkan untuk mendengar ocehan anak-anak. Namun, tak ada suara-suara riang yang kudengar.

"Semua sedang bermain ke rumah teman, Pak." Tini menjawab sambil menunduk.

"Silakan masuk, Pak." Tini mempersilakan. Aku menggeleng.

"Biar di teras saja, Mbak. Sejuk banyak anginnya," tampikku seraya menunjuk kursi rotan bercat putih yang menghiasi beranda rumah Titan.

"Mau minum apa, Pak?" Tini menawariku seperti pelayan di rumah makan. Tak heran, dulu Titan pernah bercerita bahwa asisten rumah tangganya itu memang sempat bekerja di sebuah rumah makan. 

"Apa saja, Mbak." Aku tak berminat untuk minum-minum. Hanya Titan yang kuperlukan. 

Kurang lebih setengah jam kemudian, mobil sedan putih memasuki halaman rumah. Aku mengangkat wajah dari ketertundukan. Sinar matahari sore yang keemasan membuatku silau. Aku menyipitkan mata sambil menudungi dengan sebelah tangan, hingga tertangkap sedikit dua bayangan orang di dalam mobil. 

Ya, Itu Titan yang datang bersama Wulan. Mereka memang pasangan serasi yang romantis. Aku berseri melihat mobil itu. Penantianku berakhir juga.

"Mas Angga? Sudah lama?" sapa Titan begitu menjejakkan kaki di tanah. Sepasang matanya menyorot heran. Rona keterkejutan amat nyata di wajahnya. Namun senyum tetap tersungging di bibir tipisnya. Adikku yang satu ini memang terkenal ramah dan hampir selalu tersenyum, apapun keadaan yang dialami.

"Barusan," bohongku. Aku tak mau Titan dan Wulan merasa tak enak. 

"Sebentar ya,  Mas." Titan pamit ke dalam.

"Santai saja." 

Sepuluh menit setelahnya, Titan kembali dan mengajakku untuk masuk. Pakaiannya telah berganti menjadi kaos dan celana selutut yang terlihat nyaman. 

Setelah sedikit berbasa-basi, aku mengutarakan masalahku. Dari janjiku kepada Putri sampai ultimatum Bapak siang tadi, semua aku ceritakan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Titan terpekur dengan dahi berlipat. Pandangannya lurus menatap lantai. Kami sama-sama bungkam untuk beberapa lama. 

"Kepada siapa Mas Angga lebih merasa berat?" Pertanyaan yang dilontarkan Titan setelah lama terdiam.

Aku merenungkan betul-betul jawaban yang akan aku berikan. Setelah menimbang ini dan itu, meluncurlah sebuah jawaban.

"Andara. Sebab ia adalah ibu kandung Aryatama. Aku tidak kuat bila harus berpisah dari buah hatiku," lirihku.

Titan terdiam lagi, cukup lama sebelum menghela napas panjang.

"Begitu. Hm, sebetulnya aku punya usulan, Mas. Hanya usulan saja, boleh diterima atau ditolak. Tentunya pertimbangan akhir tetap ada pada Mas Angga." Titan terlihat gelisah. Nyata betul ia merasa tak nyaman dengan hal yang dikatakannya sebagai usulan tersebut.

"Apa itu?" tanyaku ingin tahu. 

"Usulan ini mungkin terdengar kurang berperasaan, tapi merupakan pilihan terbaik dari yang terburuk." Titan terlihat agak sungkan mengutarakan maksudnya. 

Aku menjadi tidak sabaran. Jantungku berdebar cepat karenanya. Sabar menunggu Titan rasanya tak mungkin aku lakukan. "Ya. Apa?" Aku mendesaknya agar segera berterus terang.

"Kalau bisa meneguhkan hati, Mas bisa menceraikan Andara dan meminta hak asuh Aryatama. Aryatama dapat diasuh bersama-sama dengan Mbak Putri.” Titan berkata amat pelan, hingga kukira ia sedang berbisik.

Aku terkesima. Mengambil Aryatama dari pengasuhan ibunya? Tegakah aku melakukannya terhadap Andara? Lebih penting lagi, sanggupkah aku melihat lelehan air mata Aryatama saat dipisahkan dari ibu kandungnya? 

Selama beberapa detik aku mematung. Sungguh tak kusangka usulan jalan keluar yang diutarakan Titan amat ekstrim. Namun apabila aku telaah lagi, usulan Titan cukup beralasan. Bahkan mungkin cukup masuk akal. 

Semua itu berawal dari janjiku kepada Putri. Aku tidak bisa menceraikan Putri. Aku sudah berjanji. Maka, hal itu seperti sebuah harga mati. Oleh karena itu, pilihan yang tersisa hanyalah menceraikan Andara. Suka tidak suka, itulah yang harus terjadi. Mau tidak mau, aku tidak punya pilihan lain.
Masalahnya tinggal pada Aryatama. Buah hatiku itu tak mungkin aku lepaskan. Maka dari itu, walaupun terdengar kejam dan tidak berperasaan, mengambil hak asuh anak dari Andara merupakan hal yang harus dilakukan. 

“Usulanmu itu tidak mudah untuk dilakukan,” ujarku pada akhirnya, setelah sekian lama terdiam dengan batin yang berkecamuk. 

“Pasti. Pasti sulit dan tidak mudah. Apalagi kalau pertimbangannya adalah perasaan dan hati yang terluka.” Titan mengangguk setuju. Ia masih menatap ubin keramik di bawah kakinya. 

Tampaknya, Titan pun tidak nyaman dengan bahasan ini. Terus terang saja, aku merasa tengah merancang sebuah makar terhadap Andara. Wanita yang malang. 

“Meskipun begitu, efek buruknya mungkin bisa dikurangi sesedikit mungkin,” lanjut Titan lirih.

“Bagaimana caranya?” dahiku mengernyit. Pada saat ini, otakku betul-betul mogok berpikir. Pikiranku serasa buntu, hingga aku tak punya pilihan selain menanti buah pikiran Titan semata.

“Yah, mungkin Mas bisa memberikan kompensasi yang layak buat Andara. Sejumlah uang yang besar atau pemberian aset atas namanya sendiri.” 

Aku menatap takjub ke arah Titan. Tak kusangka Titan memiliki pikiran semacam itu. Titan, adikku yang selalu kalah bersaing soal wanita denganku, kini terlihat seperti seorang perancang taktik yang ulung. Apakah sedari dulu memang ia cerdik atau pernikahan telah mengubahnya menjadi seorang yang pandai merumuskan siasat?

“Dia pasti menuntut harta gono-gini yang besar, walaupun pada kenyataannya semenjak menikah ia sama sekali tak memiliki penghasilan,” lirihku seraya memijat pelipis. 
“Agar tidak ada drama, mungkin Mas bisa memberikan harta gono-gini yang lebih memuaskan,” usul Titan lagi. 

Aku mendesah. Kehilangan sebagian besar hartaku tentu bukan hal yang aku inginkan. Namun, kalau tidak melakukannya aku pasti mendapatkan masalah. Belum lagi penolakan Andara atas keputusanku yang sepihak. Siapkah aku berperang dengan Andara? Semakin lama dipikir, siasat untuk memberikan harta yang banyak buat Andara semakin terasa menjadi jalan keluar yang mau tak mau harus dijalani.

 

Part 8

KEJUTAN

“Aku pulang, Tan. Terima kasih banyak atas saranmu.” Aku berdiri dari kursi yang terasa amat panas. Sudah berapa lama aku duduk dan terdiam?

Titan ikut bangkit dan mendekatiku. Ia menepuk-nepuk pundakku sebagai bentuk dukungan. Aku membalas tepukannya dengan menepuk punggung tangannya di pundakku.

“Mana Wulan? Pamitkan aku kepadanya, ya.” Aku melangkah menuju pintu depan. 

Belum sempat Titan menjawab, tirai antara penghubung ruang tamu dan ruang dalam tersibak. Wulan muncul dari balik kain gorden bercorak kembang-kembang.

“Pulang, Mas?” Wulan tiba di dekatku, tapi matanya melirik minuman yang masih utuh di dalam gelas dari sudut mata. 

“Iya, Wulan. Takut kesorean,” kilahku berbasa-basi.

Pasangan tersebut mengantarku sampai ke mobil. Aku mengucapkan salam perpisahan, sebelum masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Lemas sekali rasanya seluruh tubuhku, sampai-sampai rasanya tanganku saja kehilangan tenaga untuk memutar kunci kontak. Namun pada akhirnya, aku berhasil menyalakan mesin dan melaju pergi dengan pelan.

Akibat laju mobil yang pelan, telingaku masih sempat mendengar pertanyaan Wulan kepada Titan sebelum aku pergi.

“Ada apa?”

Suara Wulan yang lirih terbang bersama angin sore yang sepoi-sepoi. Aku yakin Titan akan menceritakan kepada Wulan semua isi percakapan kami di ruang tamu tadi tak lama lagi. Sementara itu rasa gundah terus menghinggapi benakku.

Aku perlu waktu untuk memikirkan saran Titan. Mungkin aku akan merenungkannya selama seminggu atau mungkin lebih. Aku tak mau terburu-buru. 

Keputusan berpisah tentulah bukan perkara sepele dan mudah. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan matang-matang. Aku tak mau gegabah, juga tak bisa gegabah. Emosi semata saat membuat keputusan telah sering terbukti hanya menyisakan penyesalan sebagai hasilnya. Cukup sekali aku terbawa emosi, yaitu saat aku khilaf menyentuh Andara pada malam turun hujan di kantor dulu.

Hujan rintik-rintik menyambut kepulanganku ke rumah. Tidak besar, tapi cukup membuat rambutku basah saat berjalan dari mobil ke teras rumah. Aku melindungi mahkota kepalaku dengan tangan seadanya. Pintu mobil kututup dengan keras. 

Dengan berlari kecil, aku menuju teras. Saat itulah gorden di balik jendela tersibak sedikit. Seraut wajah mungil yang kurindu muncul. Aryatama tersenyum riang melihat aku sudah pulang.

“Mamaaa! Papa pulang!” teriaknya kencang. Bahkan suara Aryatama yang melengking terdengar jelas dari tempatku berdiri di luar rumah. 

Tak lama, pintu rumah dibuka dengan Andara dan Aryatama menyambutku dengan ceria. Sungguh, keluargaku sangat bahagia. Andai saja Andara tak pernah menjadi yang kedua. 

Tiba-tiba tempias datang dan menerbangkan sejumlah titik-titik air masuk dan mengenai wajah Aryatama. Bocah itu gelagapan dan menggigil. Seketika aku cemas dengan kesehatannya.

“Cepat masuk, Mas. Sepertinya akan turun hujan deras.” Andara menarik lenganku agar segera masuk. 

“Pa, Mama memasak banyak makanan enak, lho.” Celotehan Aryatama membuatku menoleh dan tersenyum ke arah buah hatiku. Aku melanjutkan gerakan membuka jaket yang lembab sambil menanggapi putraku.

“Oya? Masak enak buat Papa?”

“Papa lupa? Sekarang kan ulang tahun Papa.” Aryatama menatap diriku terheran-heran dengan sorot mata lugunya.

Betulkah? Ah, sudah lama aku lupa tanggal dan hari. Lagi pula, pada umur di atas tiga puluh tahun tanggal kelahiran tak lagi penting buatku. Merayakan ulang tahun hanya cocok buat anak kecil seperti Aryatama.

“Selamat ulang tahun, Mas.” Andara datang dan mengecup pipiku. Hangat terasa. Aroma tubuhnya yang wangi sabun ditimpa parfum membuatku terlena. Tampaknya, Andara telah menyiapkan momen ini dengan sangat baik.

Saat Andara melepaskan rangkulannya, aku melihat Aryatama tengah cemberut. Aku kebingungan.

“Ada apa, Arya?” tanyaku seraya meraih anak itu ke dalam gendongan.

“Papa dan Mama, dilarang jatuh cinta!” berangnya seraya mengacungkan telunjuk ke arah langit. Aku dan Andara sama-sama tertawa. 

Kemudian aku melihat Andara mengelus perutnya sekilas. Apakah ia lapar? Namun, mataku teralih ke arah gaun pas badan yang dikenakannya, bukan blus longgar yang biasa dikenakannya di rumah. Pinggangnya tampak masih seramping dulu, meskipun tidak terlalu ramping. Andara memang cantik. Pesonanya membuat aku sulit berpaling.

“Ayo kita makan sekarang. Mama sudah lapar, nih!” ajak Andara seraya kembali mengelus perutnya. Jadi betul dugaanku sebelumnya.

Kami bertiga berjalan menuju ruang makan. Betul saja ucapan Aryatama. Meja penuh dengan hidangan istimewa. Menu utamanya berupa gulai kambing kesukaanku yang tersaji dalam sebuah wadah besar. Kuah kuningnya yang berlemak dan mengepulkan aroma khas seketika membuatku menjadi bertambah lapar. Andara memang pandai memasak dan aku suka masakannya.

Aku makan dengan gembira. Aku melihat Aryatama dan Andara juga sama. Kerewelan Arya tak merusak suasana ini. Beberapa kali Aryatama merengek meminta sesuatu kepada ibunya. Minta tambah nasi, minta ambilkan minuman, minta ini dan itu. Sungguh pemandangan yang menenteramkan jiwa.

Sanggupkah aku kehilangan momentum-momentum ini di masa depan? Apakah Aryatama akan tetap bahagia setelah kuputuskan untuk memisahkan dirinya dari ibunya? Jiwaku gentar. Seketika perutku terasa kenyang. Aku letakkan sendok ke piring dan beralih meraih gelas berisi air minum.

“Sudah makannya, Mas?” tanya Andara seraya melirik isi piringku. Untungnya, hanya tersisa sedikit lagi nasi yang belum termakan. Aku bisa membuat dalih yang tak akan membuat Andara curiga. “Papa kenyang.” 

Andara tidak membantah. Ia mengambil piringku dan menyingkirkannya bersama piring kotor bekas makan Aryatama.
*** 

Pada malam harinya, aku sulit memicingkan mata. Percakapan dengan Titan siang tadi terus terngiang di telinga. Aku perlu berpikir sendirian. Aku melirik sekilas ke arah lampu kamar mandi yang menyala. Andara sedang berada di dalamnya. Aku beranjak dari kasur yang tak bisa membuatku terlelap.

“An, Mas mau duduk di teras sebentar,” kataku di depan pintu kamar mandi.

“Iya, Mas.” Aku dengar jawaban Andara di antara riuh air yang diguyurkan. Aku keluar kamar dan langsung menuju dapur.

Aku menyeduh kopiku sendiri, lalu berlalu ke teras belakang rumah. Tempat itu cukup terlindung dari mata para tetangga, hingga membuatku nyaman untuk melamun. 

Aku duduk dan menyalakan sebatang rokok. Hisapan demi hisapan rasanya membuat pikiranku sedikit terang. Namun, pada hisapan kelima aku terbatuk-batuk. 

Aku tak dapat memastikan penyebabnya, apakah udara malam yang semakin dingin atau asap jahat dari rokok yang kupegang? Mungkin suatu hari aku harus berhenti merokok sebelum terkena serangan jantung.

Setelah batuk reda, aku kembali berpikir keras. Apakah aku sanggup kehilangan Andara? Alasan apa yang akan aku kemukakan kepadanya? Apakah aku harus jujur tentang ultimatum Ayah kepadaku? Rasanya konyol sekali. Bagaimana aku harus mengatakannya?

Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dari itu. Sanggupkah aku melakukan hal itu kepada Andara dan Aryatama? Sementara hatiku sudah terkait dengan mereka berdua. Alangkah rumitnya pilihanku saat ini.

“Mas, sudah larut. Dingin, lho. Ayo masuk.” Andara muncul di ambang pintu penghubung teras dan rumah. 

Aku menoleh dan melihat Andara mengenakan baju tidurnya di balik jaket yang tidak tertutup dengan baik. Bersamaan dengan itu, gerimis kembali turun. Aku bangkit karena tidak ada pilihan lain.

Kami masuk ke dalam kamar. Andara menggelayut manja di lenganku. Ada apa dengannya? Ia tampak sangat gembira.

“Di mana Arya?” tanyaku kepadanya.

“Sudah tidur,” jawab Andara lancar. Ia tersenyum sambil melirikku penuh goda. Aku biarkan dia mendekatiku dan membimbingku ke kasur.

“Mas, aku punya kejutan.” Andara mengulum senyum di bibir.

“Apa itu?” Aku tak bisa menebak sama sekali. 

Andara meraih tanganku dan meletakkan telapak tangan ini di perutnya yang datar.

“Aku hamil lagi,” katanya penuh perasaan. 

Aku terkesiap.

 

Part 9

DOA

“Kamu hamil?” Aku melotot dengan mulut sedikit terbuka. 

Reaksiku sepertinya membuat Andara tidak senang, terbukti dia tiba-tiba mengerucutkan bibirnya yang telah dipoles sesuatu hingga tampak mengilap. Wajahnya kehilangan cahaya seketika. Suaranya pun terdengar serak saat berkata, “Mas tidak gembira?”

Aku lihat sudut matanya mulai berair. Aku tergagap dan segera menyadari kekeliruan sikapku. Cepat kuraih kedua pundaknya dan menarik tubuhnya ke dalam pelukan.

“Tentu saja senang. Arya akan punya adik. Aku hanya kaget tadi.” Aku usap-usap punggungnya yang berada dalam dekapanku. Sengaja aku peluk erat ia agar wajahku yang tak tersenyum tak lagi tertangkap oleh pandangan matanya. 

“Betul?” tanya Andara dengan nada sangsi. Ia berusaha mengurai dekapanku terhadapnya, tapi aku menahan tubuhnya agar tetap di tempat. Aku masih belum siap menampakkan wajah riang di depan matanya. Aku terlalu syok. 

“Betul. Kamu wanita yang subur. Aku senang.” Aku berkata asal saja agar ada sesuatu yang dikatakan dan Andara tidak mencurigai kebingungan yang mendera batinku saat ini. 

Andara hamil! Bagaimana mungkin aku bisa menceraikan dirinya kini? Kepalaku pening. 

“Tentu aku subur. Tidak seperti istri pertamamu, kan?” sahutnya. Entah mengapa aku merasa tertusuk mendengar nada mengejek dalam suara Andara. Seolah-olah aku adalah Putri sendiri. 

Ya, Putri memang tidak subur. Dia juga bukan istri yang kucintai. Namun, bukan berarti aku tidak tersinggung bila ada yang mengusik atau menyakitinya. Sehambar apapun hubunganku dengannya, dia masih istriku. Tak seorang pun boleh menghinanya, meskipun itu istriku yang lain. Aku tidak suka. 

Tanpa sengaja, aku meremas punggung Andara yang masih berada di dalam tanganku. Suara jeritan Andara membuatku sadar akan perbuatanku barusan.

“Mas, mencubit aku?” Ia mendorong tubuhku hingga jarak di antara kami melebar. Kami berhadapan dan saling bersitatap.

“Maaf, aku tidak sengaja,” jawabku sungguh-sungguh. Aku mengenggam tangannya erat, lalu kucium wajahnya.

Andara tersenyum lagi. “Kita harus merayakan ini,” katanya seraya tersenyum menggoda. Sekarang, ia yang meraihku ke dalam dekapannya. 
*** 

Saat membuka mata pada keesokan harinya, tak kurasakan sama sekali semangat beraktivitas. Tubuhku lemas dan pikiranku masih kalut. Biasanya, aku langsung bangun dan bergegas ke kamar mandi. Mengawali hari dengan mandi dan sarapan bersama anak istri, lalu berangkat ke kantor dengan semangat yang selalu baru.

Alih-alih, aku malah melamunkan Putri. Sudah lama aku tak mengunjunginya, meskipun uang bulanan selalu kuserahkan tepat waktu, melalui transfer ATM tentunya. Setiap bulan, aku akan mengiriminya pesan bahwa uang sudah aku transfer. 

Putri tak pernah protes walaupun aku jarang mengunjunginya. Kami hanya bertemu bila ada acara resmi keluarga, baik keluarga besarku maupun keluarga rekanan. Dalam waktu yang tak sering itu juga, aku dan Putri jarang berbicara. Kami lebih banyak diam kecuali untuk hal yang perlu-perlu saja. 

Aku tahu semua ini tak adil baginya, tapi aku tak bisa melawan kecondongan kepada Andara. Bagaimana pun juga, aku telah memiliki Aryatama dari Andara. Salahkah aku jika merasa keluarga kecilku jauh lebih berharga daripada Putri? Mengingat Putri juga tidak pernah keberatan dengan keadaan ini, aku pun merasa tak ada yang salah dengan sikapku ini.

Akan tetapi,  ultimatum dari Ayah tempo hari betul-betul telah mengubah segalanya. Kenyamanan dan kemapanan hidupku telah digoyang. Mengapa pula aku harus memilih antara Putri atau Andara? Andaikan bisa memilih, aku ingin bisa tetap mempertahankan keduanya. Demi kebaikan kami bertiga.

Tatkala aku telah berusaha mencari jalan keluar terbaik, rencana itu pun kocar kacir sebelum bertunas. Andara yang hamil tentu tidak bisa diremehkan sama sekali. Aku akan punya dua anak darinya. Ibarat permainan catur, tiba-tiba saja peta pertarungan telah berubah secara mendadak. Tiba-tiba saja kedudukan Andara menjadi lebih kuat daripada Putri. 

Pilihan yang awalnya lebih berat untuk melepaskan Andara kini menjadi goyah. Rasanya aku seperti dihadapkan pada jalan buntu. Aku merasa seperti hewan yang tengah terjepit. 

“Mas, enggak siap-siap ke kantor?” tegur Andara saat melihatku masih berbaring berbantalkan tangan di atas kasur.

Aku menoleh ke arah pintu kamar. Di ambang sana, kulihat Andara sudah mandi dan rapi sepagi ini. Samar-samar hidungku mencium aroma nasi goreng dari suatu ruang. Mungkin dari dapur atau ruang makan. 

“Iya, sebentar lagi.” Aku duduk dari posisi berbaring.

“Mas sakit?” Andara mendekatiku lalu meletakkan punggung tangannya di dahi. 

“Tidak panas,” ujarnya sendiri. 

“Aku tidak sakit. Hanya sedikit lemas saja tadi,” kilahku seraya menurunkan kaki ke lantai. Aku melirik handuk yang tersampir di bibir ranjang. Handuk yang telah disiapkan Andara untukku. Hal yang dilakukannya setiap pagi.

“Aku tunggu di meja makan, Mas.” Aku mendengar Andara berkata saat aku melangkah ke kamar mandi.

“Ya.” 
*** 

Sudah seminggu aku merasa pening. Terkadang, serangan vertigo ringan membuatku amat kesakitan. Aku tahu penyebab semua ini lantaran terlalu memikirkan keputusan terbaik untuk memenuhi ultimatum Ayah. Meskipun Ayah tak pernah menanyakan hal itu lagi setelah hari itu, tetap saja aku tak bisa berleha-leha. Ayah pasti sedang menungguku mengambil sebuah sikap. 

Sampai sebuah peristiwa membuatku tak bisa lagi menghindar dari masalah. Ponselku berdering di tengah kesibukanku bekerja hari itu.

“Halo? Ada apa, An?” tanyaku kepada Andara yang di seberang sana. 

Tak kudengar suara yang menyahut. Hanya isak tangis yang membuatku merasa tercekat. Beribu prasangka muncul di kepala. Semuanya tentang hal-hal buruk yang mungkin terjadi.

“An? Ada apa?” ulangku dengan suara gemetar menahan panik.

“Aku di rumah sakit, Mas.” lirih suara Andara di ujung sana. Gelombang cemas membuat perutku mendadak melilit.

“Siapa yang sakit? Kamu atau Arya?” tanyaku setengah tercekik.

“Aku, Mas. Aku terpeleset di kamar mandi. Aku pendarahan.” Andara terisak lagi. Tenggorokanku serasa tersangkut duri ikan.

“Bayi kita?”

“Baik-baik saja, Mas. Tadi dokter sudah memberi obat penguat kandungan.”

Aku menarik napas lega. Rasanya oksigen yang sebelumnya ditarik dariku kini dikembalikan lagi. 

“Mas, datang kemari, ya. Aku ingin ditemani,” kata Andara pelan. Nada suaranya terdengar manja.

“Iya. Sebentar lagi aku datang,” janjiku cepat. Sambungan telepon diputuskan. Aku bergegas mengemasi barang untuk langsung pergi ke rumah sakit.

Mungkin saat itulah aku memutuskan bahwa aku tak bisa kehilangan Andara maupun anak-anak kami selamanya. Aku terpaksa mengorbankan Putri, meskipun telah berjanji. Maafkan aku, Putri.
*** 

Setelah keadaan Andara stabil, aku memutuskan untuk mendatangi Putri dan membicarakan perpisahan kami. Waktu yang kupilih adalah sore setelah pulang kantor. Sebelumnya, aku telah mengabari Putri bahwa aku akan mampir dan menyampaikan sesuatu. 

Mobil yang kukendarai memasuki jalan daerah rumah kami dulu. Mutiara Residence. Semuanya masih tampak sama seperti dulu. Pos satpam di gerbang komplek, jalanan beraspal yang kini terlihat sedikit lusuh, juga rumah-rumah di sisi kiri dan kanan jalan yang selalu sunyi. Khas perumahan kaum pekerja kerah putih.

Sampai di depan rumah, kulihat Putri sudah menungguku di ambang pintu. Ia tersenyum saat mobilku masuk ke halaman yang pagarnya telah sengaja dibuka dari tadi. Pastilah Putri yang melakukannya agar aku dapat segera masuk tanpa bersusah payah membuka gerbangnya.

“Ada apa, Pa?” tanya Putri setelah kami duduk di ruang keluarga dan menanyakan kabar masing-masing. 

Aku menatap dalam ke arah mata Putri. Sorot bingung sekaligus ingin tahu terpancar dari kedalaman iris cokelatnya. Selama sesaat, ingin rasanya aku pergi dari hadapannya dan tak perlu mengatakan keputusanku untuknya.

“Papa mau minta maaf karena telah mengecewakan Mama,” ujarku sebagai pembuka. Permintaan maaf selalu baik, bukan? Mungkin dengan itu Putri tidak terlalu sakit hati.

“Dalam hal apa?” Kerut di dahi Putri semakin terlihat dalam. 

“Papa gagal memenuhi janji.” Aku merasa oksigen menipis di sekitarku. Mendadak aku merasa sesak napas.

“Janji yang mana? Bicara Papa kok tidak jelas begini,” keluh Putri yang terlihat semakin tidak mengerti.

“Begini, Ma. Kurang lebih dua minggu yang lalu Ayah datang ke kantor Papa.” 

Kemudian, aku menceritakan permintaan Ayah. Selanjutnya, aku mengatakan keputusanku dengan berat hati.

“Maaf, Ma. Kita terpaksa harus berpisah.” Aku menatap memelas ke arah Putri. 

Putri mematung. Tak terlihat ekspresi apapun pada wajahnya. Bahkan tatapan matanya kosong ke arah meja di depan kami. Kemudian, bulir-bulir air mata turun dari sudut-sudut matanya. 

“Mama akan mendapatkan harta gono-gini yang cukup besar. Cukup buat menghidupi Mama setelah kita berpisah. Papa tidak akan menelantarkan Mama,” tambahku lekas-lekas. Namun, Putri bergeming. Ucapanku seolah tak memiliki arti bagi dirinya.

“Maafkan Papa ya, Ma.” Aku berusaha meraih tangan Putri untuk kugenggam, tapi ia menepiskan tanganku dengan kasar.

Putri menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, lalu kudengar isak tangisnya berderai dari balik tangan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku ingin memeluknya, tapi ia pasti menolak lagi untuk kusentuh. Pada akhirnya, aku hanya bisa diam dan menunggu tangisnya usai. 

Pada saat derai tangis itu selesai, Putri menatapku tajam dengan sorot penuh benci yang amat dalam. Bahkan sumur saja masih lebih dangkal daripada kelamnya sorot mata Putri saat ini.

“Suatu hari, kamu akan mendapatkan balasan atas semua perbuatanmu, Pa. Kamu akan merasakan semua sakit yang kurasakan. Bukan cuma kamu, tetapi juga perempuan itu dan anak-anak kalian.”

Seolah ada angin kutub bertiup saat Putri mengatakan kalimat demi kalimat dari bibirnya yang selalu santun. Seumur hidup, baru kali inilah aku merasakan nada sedingin ini dari seorang Putri. Aku terhenyak.

“Balasan itu mungkin tidak datang hari ini, mungkin bukan besok, tapi pasti terjadi.”

Aku terpana. Kalimat terakhir Putri bagaikan sebuah mantra, kutukan, doa, atau apapun nama yang kalian berikan. Tanpa kukehendaki, tubuhku menggigil.
***

BAGIAN SELANJUTNYA BISA DIBACA SECARA BERBAYAR, YA. TERIMA KASIH.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SUAMI INGKAR JANJI BAB 10-13: RETAK
4
4
JANGAN ANGGAP REMEH JANJI KEPADA ISTRI, APALAGI SAMPAI INGKAR JANJI* Aku berdiri bersandar dinding, sementara Andara masuk ke kamar kecil. Saat itulah mataku menangkap sosok bayangan orang yang amat akrab denganku dulu. Aku terpana. Bukankah itu Putri? Sedang apa dia di sini? Aku begitu terkesima, sampai-sampai lupa untuk bereaksi. Pandanganku tertuju ke arah Putri yang baru saja keluar dari ruang periksa di sebelah ruang praktik dokter kandungan yang diantre oleh Andara.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan