
Wati rela dimadu saat suaminya--Dedy--dilamar oleh Rara, bos tempat pria itu berkerja. Diiming-imingi kehidupan yang lebih baik, ternyata Dedy justru membiarkan Rara menjadikan Wati sebagai babu. Bagaimana aksi Wati membalas perlakuan suami dan madunya? Apalagi, Wati baru tahu bahwa keluarga kandungnya sedang mencari Wati. Dan, mereka kaya raya :)
— SAMPEL GRATIS! Baca lanjutannya di sini: PEMBALASAN UNTUK MADU YANG MENJADIKANKU BABU BAB 11-15 · Karyakarsa
Tersedia juga paket cerbung ini....
Bab 1: Suara Obrolan
Wati yang tiba-tiba terjaga dari tidur memutuskan untuk mengambil minum.
Dengan pelan, ia membuka pintu kamar agar tidak terdengar deritan dari engsel pintu yang belum pernah diminyaki. Wati tidak ingin membangunkan Dedy yang tengah tidur dengan istri keduanya di kamar seberang.
Sayangnya, ketika kaki Wati melewati kamar madunya itu, terdengar suara-suara mencurigakan dari dalam sana.
Wati tidak ingin mendengarkan, tetapi rasa penasaran akhirnya menguasai dirinya. Dengan berjinjit, Wati pun berhenti di depan pintu kamar madunya.
“Kamu hebat, Mas. Selalu perkasa,” bisik Rara dari dalam kamar.
“Kamu juga hebat, Sayang. Tidak seperti Wati yang tidak tahu caranya melayani suami di kasur,” balas Dedy juga berbisik.
Meskipun kedua orang itu berbisik-bisik, tetapi sunyinya suasana malam membuat bisikan itu terdengar baik oleh telinga Wati–yang berada di luar pintu kamar.
Wati mengepalkan tangan yang gemetar.
Dihina suami sendiri di depan madu, siapa yang tidak geram? Padahal, ia tak pernah menolak melayani Dedy di kasur dalam kondisi apapun. Dedy minta permainan dengan gaya apapun, juga tidak pernah Wati tolak. Dedy sudah berbohong kepada adik madunya itu!
“Kenapa kamu enggak menceraikan dia saja sih, Mas?” bisik Rara lagi.
“Buat apa? Wati bisa membantumu mengerjakan pekerjaan rumah, jadi enggak perlu repot-repot membayar pembantu,” sahut Dedy masih berbisik.
Rara terkikik kecil. Suara yang keluar dari mulutnya seperti ditahan dengan tangan.
“Betul juga. Kamu pintar, Mas,” ujar Rara.
“Iya, dong. Aku nggak mau tangan halusmu ini kasar karena mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah lain. Biar tangan ini membelai-belaiku saja,” imbuh Dedy.
“Tetapi, bagaimana kalau nanti Wati mengadu kepada keluarganya kalau di sini dijadikan babu?” tanya Rara cemas.
“Tak usah khawatir. Dia itu yatim piatu. Enggak punya keluarga lagi buat tempat mengadu,” jawab Dedy tenang.
Di balik pintu, Wati menggigit bibirnya dengan perasaan tertusuk. Air mata turun mengalir di pipi. Ia membalik badan, lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah hati-hati seperti keluarnya tadi. Rasa hausnya sudah hilang.
Wati menangis diam-diam di balik bantal. Sengaja menutupi isaknya agar tidak ketahuan. Ternyata sebusuk itu Dedy yang pernah memintanya menjadi istri.
Dulu, Dedy melamarnya sambil berlutut seperti adegan di film-film romantis. Ternyata, semua itu hanya siasat demi mendapatkan yang diinginkannya. Setelah manisnya didapat, sepah dibuang.
Ke mana janji Dedy dulu saat meminta izinnya untuk menikah lagi? Janji bahwa hidup mereka akan lebih baik setelah Dedy menikah dengan Rara. Ternyata semua itu hanya pemanis bibir. Nyatanya, semua itu hanya taktik licik untuk mendapatkan izin Wati saja!
Tanpa sadar, tangan Wati mengepal. "Tega kamu, Mas...."
****
Wati teringat dulu saat mereka baru pertama kali menikah.
Dedy masih bekerja serabutan, sementara Wati mengurus rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah. Terkadang, Dedy mendapatkan uang, terkadang tidak. Oleh karena itulah, rezeki yang didapat pada hari ini harus dapat disisihkan untuk esok hari. Berjaga-jaga kalau besok tidak ada lagi uang yang didapat.
Berlauk makan ikan asin dan sambal sudah jadi makanan yang sering dijalani. Satu hari bisa masak saja Wati sudah sangat bersyukur. Sering kali terjadi, satu butir telur dijadikan telur dadar dengan menambahkan air dan tepung terigu yang banyak agar dapat dimakan berdua.
Oleh karena itulah, saat mendapatkan pekerjaan sebagai kuli angkut barang di toko kelontong di pasar, Dedy maupun Wati sama-sama bersorak gembira.
Toko kelontong itu dimiliki oleh seorang janda bernama Rara. Usia Rara lebih tua lima tahun daripada Dedy. Namun, wajahnya tidak terlihat lebih tua dari Dedy. Banyak menghabiskan waktu kerja di bawah terik sinar matahari telah membuat wajah Dedy lekas keriput akibat terbakar matahari.
Semenjak saat itu, kehidupan Wati dan Dedy menjadi jauh lebih baik. Gaji yang diterima oleh Dedy memang tidak besar, tapi dengan adanya kepastian uang setiap bulan maka Wati bisa berhemat dan mengatur keuangan.
Akan tetapi, belum lama mengecap rasa tentram dalam berumah tangga, cobaan sudah datang lagi!
Pada suatu hari, Dedy mengatakan niatnya untuk menikah lagi. Tidak main-main, wanita yang ingin dinikahinya adalah Rara–bosnya sendiri!
“Kalau aku menikahi Rara yang kaya, kita tidak akan hidup susah seperti ini lagi. Enggak perlu mikir lagi harus berhemat uang buat makan sampai akhir bulan,” bujuk Dedy.
“Tapi, Mas. Apa tidak ada cara selain menikah lagi?” tanya Wati yang berkeberatan.
“Apa kamu cemburu? Kamu pikir aku tidak cinta lagi kepadamu?” tanya Dedy.
“Jelas, Mas. Siapa wanita yang ingin dimadu? Siapa wanita yang tidak cemburu?” jawab Wati.
“Kamu jangan cemas, Wati. Meskipun aku menikahi Rara, tapi cinta sejatiku tetap kamu,” tambah Dedy lagi, tangannya mengelus kepala Wati.
Ya, itu perkataan Dedy dulu. Tetapi, sekarang? Apa yang didengar Wati tadi di kamar madunya sudah menghancurkan perasaan Wati.
Wati menangis tersedu-sedu. Apabila hatinya terbuat dari kaca, maka pastilah bentuknya sudah hancur berkeping-keping seperti kaca yang dibanting ke lantai. Tega sekali Dedy berkata begitu kepada madunya!
Apakah dulu dia dilamar hanya untuk dimanfaatkan dan disia-siakan? Jahat sekali! Wati tak menyangka ada manusia berhati se-tan macam Dedy. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Wati menghapus air mata. Ia duduk memeluk lutut di kasur busa tipis di dalam kamar.
Sementara tulangnya masih bisa merasakan kerasnya lantai saking tipisnya alas tidurnya, Rara di kamar seberang tidur nyaman dengan spring bed kualitas nomor satu.
Akan tetapi, dia bisa apa? Rumah besar ini milik Rara. Semua isinya pun milik Rara. Saat memasuki rumah ini, bisa dikatakan Wati hanya membawa badan berbalut pakaian lusuh. Wati masih ingat pandangan mata menghina dari sorot mata Rara saat itu.
“Ini istri pertamamu, Mas?” tanya Rara kepada Dedy.
“Iya, Sayang. Terima dia tinggal di sini, ya. Jangan usir dia, kasihan. Dia tidak punya keluarga dan siapa-siapa lagi selain aku,” pinta Dedy saat itu.
Rara menatap Wati dari ujung kepala hingga ujung kaki. Selama memandang, mulut Rara tak berhenti cemberut dan mencebik. Wati sendiri hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap mata madunya. Dari segi apapun, ia kalah pamor dibandingkan madunya yang kaya.
“Ya, sudah! Aku terima dia di sini. Tetapi jangan mimpi di sini dia bakal ongkang-ongkang kaki,” ketus Rara.
“Jangan khawatir, Sayang. Wati ini orangnya rajin. Dia juga pandai memasak dan berbenah. Dia tidak akan merepotkanmu,” kata Dedy halus membujuk.
“Kita lihat saja nanti. Ingat, kamu tinggal menumpang di sini jadi harus tahu diri. Makan dan tinggal di sini jangan dianggap gratis,” sembur Rara lagi.
Ingatan-ingatan itu terus membayangi Wati bagaikan kaset rusak, hingga akhirnya Wati tanpa sadar terlelap di kasurnya yang tak nyaman itu.
Bab 2: Gaun Rara
“Mbak, kalau nyuci baju yang bener, dong! Lihat, gaun mahalku jadi rusak gara-gara kamu cuci pakai mesin,” marah Rara kepada Wati.
Sejak ayam berkokok di luar jendela kamarnya, Wati telah berada di dapur–memasak makanan untuk Dedy dan Rara, menyapu dan mengepel, mencuci piring dan mengelap perabotan rumah, juga mencuci dan menjemur pakaian. Tapi, madunya yang baru bangun ini tiba-tiba datang dan memarahinya?
Wati tertunduk dalam, tak berani menatap apalagi membalas ucapan Rara. Namun, tangannya mengepal–menahan emosi yang bercampur-aduk.
“Lihat, nih! Manik-manik kristalnya jadi copot semua. Rusak gaun mewahku. Kamu mana bisa ganti, sih,” ejek Rara lagi.
“Maaf, Ra. Aku enggak sengaja,” lirih sekali Wati menjawab. Dalam hatinya, ada rasa takut untuk mengganti gaun tersebut karena dia tidak punya uang sama sekali.
“Maaf, maaf! Enak saja minta maaf. Apa dengan maaf gaunku bisa kembali?” cibir Rara, berlagak tidak peduli.
“Biar nanti aku jahitkan lagi manik-manik yang lepas dari gaunmu, ya. Jangan beritahu Dedy,” bujuk Wati semakin lirih.
Wati paling takut bila Dedy memarahinya karena telah membuat kesal Rara. Di sini, Rara lah ratunya. Sayang, Wati baru sadar tadi malam.
“Memangnya, kamu bisa beli manik-manik kristal yang sama? Ini kristal Swarovski, tahu!” bentak Rara lagi.
Wati kini hampir menangis. Andaikan ia punya keterampilan, tentu ia bisa mencari kerja untuk mendapatkan uang. Dengan uang itu, ia bisa keluar dari rumah ini. Tidak akan lagi dia diperlakukan menjadi babu oleh madunya seperti ini.
“Ada apa ini, pagi-pagi kok sudah ribut-ribut?” tanya Dedy yang tiba-tiba muncul.
Dedy sudah mengenakan kemeja yang rapi dengan celana kain. Bahkan, wajahnya pun sudah dicukur rapi. Dedy terlihat tampan. Penampilannya tidak lagi mirip kuli angkut.
Semenjak menikah dengan Rara, jabatan Dedy sudah naik menjadi pengelola toko kelontong Rara. Rara menjadi kasir–memegang kunci kotak uang–dan Dedy menangani barang-barang yang datang dari supplier. Sungguh, serasi sekali!
“Ini lho, Mas. Mbak Wati nyuci bajuku saja rusak. Baju halus dicuci pakai mesin. Huh, enggak becus!” semprot Rara dengan wajah bersungut-sungut.
Dedy menatap Wati tajam.
“Ma-maaf, Mas. Aku enggak sengaja.”
Ketakutan di wajah Wati tertangkap oleh mata Dedy. Setelahnya, pria itu menghela napas.
“Mulai sekarang, semua baju Rara kamu cuci tangan saja. Biar bajuku saja yang dicuci pakai mesin,” putus Dedy–berlagak bijak.
Mendengar itu, Wati menundukkan kepala–menahan emosi yang semakin memuncak. Dia harus tetap mengendalikan diri. Dia tidak punya siapa-siapa di luar sana. Jika ingin bertarung, dia harus punya strategi dan senjata. Kalau sekarang, saatnya belum tepat!
“Ya, Mas,” sahut Wati pada akhirnya.
Dedy pun mengangguk puas. Sayangnya, Rara masih tidak setuju.
Dengan bersungut-sungut, adik madunya itu berkata kasar, “Mas, dia enggak mungkin bisa ganti gaunku!”
Rara melemparkan baju di tangannya ke wajah Wati, membuat Wati gelagapan.
“Sudah, Sayang. Jangan marah-marah terus, dong. Nanti hilang cantiknya,” rayu Dedy seraya mencolek dagu istri keduanya.
“Kamu sudah sarapan, belum? Ayo kita sarapan dulu, lalu berangkat ke toko,” ajak Dedy lembut.
Dedy merangkul bahu Rara dan mengajaknya menjauhi ruang belakang.
Tak lama, suara piring beradu sendok terdengar di meja makan.
Dedy dan Rara sarapan pagi berdua dengan makanan yang dimasak oleh Wati.
Wati sendiri tidak diajak makan oleh mereka berdua. Hal ini dikarenakan Rara yang selalu melarang Wati makan bersama di meja makan. Baginya, Wati hanya layak makan di dapur seorang diri.
Ya, keduanya semakin menunjukkan keberanian mereka–menjadikan Wati sebagai upik abu–saat Wati yang seharusnya lebih berhak karena dirinya lah istri pertama Dedy.
******
“Aku tidur di sini malam ini,” kata Dedy yang mendatangi Wati di kamarnya. Dengan percaya diri, pria itu langsung mengunci pintu kamar setelah masuk.
Wati terkejut.
Tidak biasanya Dedy mau tidur di kamarnya yang sempit dan lebih mirip gudang. Selain kamarnya memang tidak nyaman, Rara jarang mengizinkan Dedy mengunjungi Wati.
“Mas? Mbak Rara?” tanya Wati dengan bola mata membulat.
“Dia tidur karena kecapekan. Padahal, malam ini aku sedang ingin,” bisik Dedy di telinga Wati.
Dedy langsung meraih tubuh Wati dan memeluknya, membuat Wati gemetaran. Lama tidak disentuh membuat Wati sudah lupa rasanya.
“Tapi, aku tidak pandai memuaskanmu, tidak seperti Rara,” lirih Wati dengan hati pedih. Ia teringat akan ucapan Dedy pada malam sebelumnya.
Seketika Dedy terkejut. “Siapa bilang? Perempuan itu enggak perlu berbuat apa-apa lelaki pasti bisa puas,” bisik Dedy sambil menciumi telinga Wati.
Wati terpelongo.
Jawaban Dedy berbeda sekali dengan ucapannya kemarin malam. Tangan Dedy berusaha membuka baju Wati, tetapi Wati menahan tangan itu.
“Apa kamu cinta aku, Mas?” tanya Wati seraya menatap mata Dedy.
Bab 3: Cinta Dedy
Lama Dedy memadangi Wati, sebelum akhirnya pria itu berkata, “Tentu aku cinta kamu. Kenapa kamu tanya begitu?”
Tangan Dedy seketika berusaha membuka baju Wati lagi, tetapi Wati menepis tangan Dedy.
“Kalau begitu, kenapa kamu membiarkan aku diperlakukan begini oleh Rara?” tanya Wati pelan.
Dedy mendengkus. Ia menghentikan usahanya dan duduk di atas kasur tipis.
“Semua ini aku lakukan karena aku cinta kamu. Rara itu kaya raya. Dia juga sedang sakit berat, hidupnya mungkin tinggal sebentar. Setelah dia pergi, semua hartanya bisa kita miliki. Saat itu, hanya ada aku dan kamu,” bisik Dedy seraya menatap Wati tepat di manik mata.
“Aku membiarkan dia memperlakukanmu seperti babu, agar dia tidak curiga dengan rencanaku. Percayalah, hanya kamu yang aku cinta,” tambah Dedy.
“Jadi, kamu betul-betul tidak cinta dia, Mas?” tegas Wati.
“Pasti! Rara yang melamarku, bukan aku yang melamarnya. Aku ini lelaki, suka memburu dan bukan barang buruan,” jawab Dedy lagi.
Wati terdiam. Apakah Dedy jujur saat ini ataukah ucapannya kepada Rara yang betul?
Sungguh, Wati tak bisa membaca suaminya itu. Namun, diamnya Wati justru dimanfaatkan oleh Dedy.
Cepat Dedy meraih tubuh Wati. Wati yang kebingungan membiarkan dirinya malam itu diberi nafkah batin.
*****
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wati bangun dengan perasaan yang bersemangat. Setelah diberi nafkah batin semalam, ia merasa kembali utuh sebagai perempuan.
Orang mungkin menganggapnya bodoh. Namun, Wati memilih percaya ucapan Dedy semalam, ketimbang obrolan tak jelas pria itu dua malam yang lalu.
Wati lalu hendak bangkit untuk mengerjakan tugasnya sehari-hari setiap pagi.
Ia melirik Dedy yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Saat hendak bangkit untuk pergi, tiba-tiba tangan Dedy mencekal tangan Wati.
“Ah!” Wati terpekik kecil, tak menyangka bahwa Dedy sudah bangun.
Lekas-lekas Wati menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan, takut suaranya terdengar oleh Rara di kamar seberang. Bila wanita itu mendapati Dedy di kamarnya, pasti dia akan membuat keributan lagi!
“Aku kira kamu masih tidur, Mas,” bisik Wati.
Dedy tidak menjawab. Ia menarik Wati keras-keras sampai Wati tersungkur ke dalam pelukannya. Wati gelagapan.
“Nanti malam kita ulangi lagi,” bisik Dedy.
Wati tertegun. Sementara itu, Dedy sudah bangun dan duduk di sampingnya.
“Kenapa tidak sekarang saja?” pancing Wati. Dia tiba-tiba ingin melihat apakah sang suami berani menuruti nafsunya dibanding kemarahan madunya nanti?
Lama Dedy terdiam, sebelum akhirnya pria itu berkata, “Nanti Rara keburu bangun. Dia pasti marah aku ada di kamarmu tadi malam.”
Dedy lalu berdiri dan berlalu pergi.
Kekecewaan datang di hati Wati begitu mendengar Dedy membuka pintu kamar di seberangnya. Tak lama, pria itu masuk dan mengunci pintu.
Wati tahu bahwa Dedy telah pindah tidur ke kamar Rara–seolah tak menghabiskan satu malam pun dengan Wati.
******
Sepanjang hari, Wati mengerjakan segala pekerjaan rumah dengan penuh rasa kecewa. Meski demikian, semua dilakukannya dengan baik. Tubuhnya seolah bergerak otomatis.
Pada pukul 8 pagi, Rara belum keluar dari kamarnya. Tidak biasanya, Rara bangun sesiang ini.
Seketika, Wati termenung. Apakah Rara sakit ataukah Dedy yang menahannya untuk bangun?
Wati diliputi perasaan cemburu.
“Mbak, sarapanku mana?” teriak Rara begitu keluar dari dalam kamar.
Wati yang sedang mencuci peralatan bekas memasak, terlonjak kaget. Ia cepat-cepat membasuh tangan yang dipenuhi busa sabun cuci piring, lalu lekas menghampiri Rara di depan kamarnya.
Penampilan Rara terlihat acak-acakan. Dari wajahnya, terlihat jelas bahwa dia baru bangung tidur. Rambutnya yang keriting panjang juga terlihat belum disisir. Sosoknya sangat mirip dengan singa baru bangun tidur.
Rara tidak ada cantik-cantiknya sedikit pun di dalam pandangan Wati. Mengapa Dedy mau menikahinya? Betulkah Dedy menikahinya hanya karena harta?
“Mau aku ambilkan sarapan?” tanya Wati dengan suara yang datar.
“Iya. Bawakan ke kamar. Badanku enggak enak,” ketus Rara. Tanpa menunggu jawaban Wati, Rara masuk kembali ke dalam kamarnya.
Sebelum pintu kamar ditutup di hadapan Wati, ia masih melihat Dedy yang tidur bertelanjang dada di ranjang. Tubuhnya hanya ditutupi selimut dari pinggang ke bawah.
Hati Wati serasa diremas. Wati mengepalkan kedua tangannya. Ia berbalik dan menuju ruang makan dengan perasaan hati yang panas karena cemburu.
Suaminya itu terlihat begitu plin-plan! Semalam beromantis ria dengannya. Pagi ini, sudah berlagak menjadi suami siaga untuk madunya.
“Mas, sebenarnya, apa maumu?” lirih Wati kepada dirinya sendiri. Kebimbangan mulai menyergap benaknya.
Bab 4: Izin
Wati beranjak menuju ruang makan, mengambilkan sepiring nasi goreng dan lauk sosis dengan hati yang galau.
Ingin rasanya ia pergi dari rumah ini, tetapi ia merasa tak berdaya. Ia takut apabila kabur dari rumah ini, maka ia akan terlunta-lunta di jalanan.
Sebetulnya, Wati punya ijazah SMU. Tapi, ijazah itu ia titipkan kepada Bu Nara–ibu pengurus panti tempatnya dulu dibesarkan.
Wati melakukan itu karena tidak berpikir bahwa lembaran itu akan berguna. Dia memang tidak berniat bekerja setelah menikah.
Saat itu, Wati menyangka hidupnya akan lebih mudah setelah menikah. Sungguh, naif bin bodoh!
Nyatanya, kehidupan Wati menjadi lebih rumit dan morat-marit. Apalagi, saat menikah Dedy belum punya pekerjaan tetap.
Apabila sudah begini, menyesal rasanya dulu Wati menikah cepat-cepat.
Lulus SMU, kenapa dia langsung menerima lamaran Dedy yang berumur dua tahun lebih tua daripada dirinya? Hanya karena sudah berpacaran selama tiga tahun, Wati tak kuasa ketika Dedy terus mendesaknya untuk menikah.
“Ah, Mas Dedy… kamu sudah membuatku kecewa,” bisik Wati di dalam hati.
Wati hendak mengantarkan sepiring nasi itu ke kamar Rara yang tertutup. Namun, Wati kembali mendengar suara-suara dari kamar madunya. Suara desah yang diiringi cekikan tertahan.
Selama beberapa detik, Wati tidak tahu hal yang harus dilakukannya. Apakah ia sebaiknya mengetuk pintu kamar untuk memberikan sarapan yang diminta Rara? Ataukah sebaiknya ia pergi saja?
“Sudah, Mas. Sudah,” Wati mendengar bisik-bisik suara Rara.
“Kamu harus menebus kesalahanmu semalam karena tidur meninggalkanku,” balas Dedy juga berbisik.
“Aku sedang enggak enak badan,” protes Rara lagi.
“Akan aku bikin enak,” balas Dedy.
Wati tak tahan lagi mendengar itu semua. Air mata kembali mengalir di pipi. Ia berbalik pergi, mengembalikan piring nasi ke meja makan.
Di dapur, Wati menangis sesenggukan. Mengapa hidupnya jadi begini? Tiba-tiba Wati ingin sekali bertemu dengan Bu Nara di panti asuhan tempat dulu ia dibesarkan.
******
Akhirnya Rara dan Dedy keluar dari dalam kamar mereka.
Saat keluar kamar, Rara dan Dedy sudah selesai mandi dan keramas. Mereka bersama-sama menuju ruang makan sambil bergandengan tangan–mesra sekali.
Tampaknya, Rara sudah lupa akan perintahnya membawakan sarapan ke kamarnya.
Terbukti, ia tak mencari Wati dan memarahinya. Atau jangan-jangan semua itu hanya akal bulus Rara untuk menunjukkan kepada Wati bahwa dialah istri yang diinginkan Dedy?
Wati sendiri sudah tidak ada di ruang makan maupun dapur saat Dedy dan Rara masuk ke ruang makan.
Ia sibuk menjemur baju yang baru dicucinya di halaman belakang rumah.
Setelah selesai menjemur, Wati masuk kembali ke dalam rumah dan melihat Dedy dan Rara sedang sarapan di meja makan.
Tatkala melihat Wati, Rara langsung berteriak, “Mbak, ambilkan minum buatku dan Mas Dedy!”
Tanpa banyak bicara, Wati mengambil dua buah gelas lalu mengisinya dengan air dari dispenser. Saat memberikan dua gelas itu ke meja makan, Rara sedang bercanda mesra dengan Dedy.
“Mas, nakal, ah,” Rara mencubit lengan Dedy yang berada di sampingnya.
Rara sama sekali tak memedulikan kehadiran Wati yang baru masuk. Seolah-olah ia sengaja hendak memanas-manasi Wati.
“Kamu lebih nakal,” balas Dedy santai. Dedy pun tidak memandang sedikit pun ke arah Wati. Sikapnya sama sekali berbeda dengan saat tadi malam di kamar Wati.
Betulkah ia mencintai Wati seperti yang dikatakannya?
Dedy dan Rara sama sekali tidak menyadari, ekspresi Wati hanya terlihat biasa saja. Seakan-akan, ia tak terpengaruh oleh pameran kemesraan di hadapannya.
“Ini minumnya.” Usai meletakkan dua gelas di meja, Wati pergi kembali tanpa kata.
Ia lebih memilih menyapu teras di depan rumah, daripada harus mendengar obrolan Rara dan Dedy di dalam rumah.
Setidaknya, di teras ia bisa menghirup udara segar untuk melegakan sempitnya perasaan.
Teras sudah hampir selesai disapu oleh Wati,saat Dedy dan Rara keluar rumah bersama-sama.
Penampilan mereka sudah rapi, siap berangkat ke toko bersama-sama. Romantis. Sikap mereka berdua membuat Wati merasa bahwa dirinyalah tokoh jahat di dalam kisah ini.
“Ya ampun, aku ketinggalan dompet. Tunggu sebentar, Mas,” cetus Rara seraya berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Wati untuk mendekati Dedy yang sudah siap duduk di sepeda motor Ninja yang dibelikan Rara untuknya.
“Mas, aku kangen Bu Nara,” kata Wati blak-blakan.
“Lalu?” sahut Dedy seraya mengerutkan dahi.
“Aku ingin mengunjungi beliau, Mas. Mas juga sudah lama tidak bertemu Bu Nara, kan?” kata Wati pelan.
Bu Nara adalah ibu panti yang disayangi Wati. Dedy tahu itu.
Cukup lama pria itu terdiam, sebelum langkah kaki Rara terdengar mendekat.
“Aku masih sibuk. Kapan-kapan saja kita ke sana.”
“Ta–tapi, Mas…”
Bab 5: Keputusan
Belum sempat Wati menjawab lagi, Rara sudah berada di hadapan mereka berdua.
Tatapan matanya terlihat tidak suka saat mendapati Wati berbicara di dekat Dedy. Wati mundur, memberikan tempat buat Rara untuk naik ke boncengan sepeda motor Dedy.
“Kami pergi sekarang. Jangan lupa antar makan siang buat kami dan pegawai,” ketus Rara.
Salah satu tugas Wati mengantarkan makan siang buat Dedi dan Rara, juga beberapa pekerja toko yang berbilang tak sampai lima orang.
Rara memerintahkan Wati untuk memasak makan siang bagi para pegawainya, agar dia tak perlu memberi uang makan bagi para pekerja itu.
Dedy dan Rara pun berlalu—meninggalkan Wati yang menatap dua sejoli itu pergi.
Sambil memandang kepulan asap dari sepeda motor Dedy yang meraung pergi, Wati menentukan sikap. Ia berbalik masuk kembali ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Saat tadi Dedy menolak permintaannya untuk mengunjungi Bu Nara, Wati sudah tahu bahwa Dedy tak akan pernah mengizinkannya menemui Bu Nara.
Untuk menemui Bu Nara, ia harus melakukannya sendiri secara diam-diam. Tekad Wati sudah bulat.
“Aku harus menemu Bu Nara dan mengambil ijazah yang dulu kutitip,” lirih Wati.
Ia akan melamar pekerjaan dengan ijazah itu. Pekerjaan apa saja yang penting ia punya penghasilan sendiri. Wati tak berkeberatan meskipun hanya menjadi pelayan di warung makan atau buruh pabrik yang hanya bertugas buang benang baju-baju produksi konfeksi.
Dari tetangga di rumah gubuknya dulu Wati mengetahui, bahwa gaji pelayan warung makan dan buruh pabrik itu kecil, sementara jam kerjanya sangat panjang dan melelahkan. Mendengar itu, Wati tidak tertarik untuk menjadi buruh sama sekali.
Akan tetapi, sekarang Wati tidak takut untuk bekerja keras. Paling tidak, ia digaji.
Tidak seperti sekarang, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, tetapi hanya diganjar makan sehari-hari.
Suami pun harus berbagi, itu juga ia jarang mendapatkan jatah.
Wati tak ingin lagi dihina Rara karena tak punya uang dan tak punya pekerjaan. Kalau ia keluar dari rumah ini, Wati ingin pergi dalam keadaan mulia dan tak lagi terhina.
Satu-satunya hal yang masih mengganjal pikiran Wati hanyalah ia masih berstatus sebagai istri Dedy.
Wati masih penasaran, apakah betul Dedy masih mencintainya? Buktinya, Dedy tak mau menceraikannya.
Tak bisa Wati pungkiri, ia masih mencintai Dedy. Hubungan mereka sudah terjalin lama. Cinta itu juga yang membuat Wati mau menikah dengan Dedy meskipun Dedy belum punya pekerjaan tetap. Sekarang baru terasa oleh Wati, betapa gegabahnya dulu keputusannya.
Apakah betul Dedy menikahi Rara agar mereka bisa hidup bahagia berdua? Betulkah Rara sakit parah dan akan segera meninggal? Wati diombang-ambingkan perasaan. Ia kebingungan.
“Arggh.” Kepala Wati serasa ingin pecah.
Niat Wati untuk menemui Bu Nara semakin mantap. Ia harus meminta pendapat Bu Nara tentang banyak hal. Ia harus menemui Bu Nara.
Wati berlari masuk ke dalam rumah Rara kembali. Sebuah rencana mulai tersusun di kepalanya.
*****
Wati mengambil tas kain jelek yang menjadi satu-satunya tas yang dimilikinya setelah menikah dengan Dedy.
Ia memasukkan dompet ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pergi pada waktu yang telah direncanakan.
Sekarang, ia harus mengantarkan makan siang lebih dulu. Ia kenakan pakaiannya yang terbagus, meskipun itu pun warnanya sudah pudar dan terlihat lusuh.
Semua sudah Wati rencanakan matang-matang.
*****
Tepat pukul satu siang.
Setelah mengantarkan makan siang ke toko kelontong milik Rara, Wati melaksanakan aksi.
Pada jam-jam begini, Dedi dan Rara sedang sibuk di toko. Mereka tidak akan pulang sampai sore menjelang malam. Wati bebas!
Wati keluar dari rumah dengan hati gembira. Harapan akan bertemu lagi dengan ibu pengurus panti yang baik membuat Wati bersemangat. Dengan bersenandung kecil, Wati berjalan menuju tepi jalan besar untuk menunggu angkutan kota.
Wati tidak bisa menggunakan ojek online untuk bepergian karena tidak punya ponsel.
Rara juga tidak pernah mengizinkan Wati untuk memiliki alat komunikasi itu– meskipun ponsel dengan harga paling murah.
Hanya Dedy yang diberi ponsel oleh Rara, setelah mereka resmi menikah.
Jarak antara rumah Rara dengan panti asuhan tempat dulu Wati dibesarkan tidak terlalu jauh. Wati bersyukur karena itu artinya ia tak perlu banyak menghabiskan waktu.
Tiga puluh menit di perjalanan, Wati sampai di depan rumah yatim piatu tempatnya dulu dibesarkan. Melihat bangunan itu saja sudah membuat hati Wati merasa senang.
Bangunannya masih seperti dua tahun yang lalu, saat ia meninggalkan rumah yatim itu untuk menikah dengan Dedy. Hanya cat temboknya saja sudah diperbaharui sehingga rumah itu terlihat lebih berseri.
“Permisiii,” seru Wati setelah mengetuk pintu utama rumah yatim piatu itu.
Tidak lama menunggu, Wati mendengar langkah-langkah kaki mendekati pintu.
Saat pintu terbuka, Wati melihat ibu pengurus panti yang telah semakin tua terbelalak di hadapannya. “Wa—wati? Kamu Wati, kan?”
Bab 6: Kabar Mengejutkan
Mata ibu pengurus panti terbelalak. Ia seolah-olah tak percaya bahwa betul-betul Wati yang berada di hadapannya saat ini.
“Iya, Bu. Ini aku Wati,” kata Wati lalu meraih tangan ibu pengurus panti untuk dicium olehnya.
Perbuatan itu sudah biasa dilakukan Wati terhadap ibu pengurus pantinya sejak ia dapat mengingat meskipun umurnya masih kecil.
“Masuk, masuk! Kurusan kamu sekarang,” celetuk ibu pengurus panti ramah.
Wati tersenyum.
Ia menyadari bahwa penampilannya saat ini sama sekali tidak enak dipandang. Tubuh kurus, wajah tidak terurus, dan kulit kering dan pecah-pecah. Masih ditambah lagi dengan pakaian yang melekat di tubuhnya amat lusuh. Berbeda sekali penampilan Wati dengan ibu pengurus panti yang gemuk dan berpakaian layak.
“Apa kabarmu, Ti? Kamu sendirian kemari? Suamimu kerja?” tanya ibu pengurus setelah mereka duduk di kursi ruang tamu panti.
“Iya, Bu. Mas Dedy kerja,” sahut Wati dengan hati perih.
Ia ingin menceritakan seluruh keadaan hidupnya saat ini pada ibu pengurus panti, tapi ia merasa saatnya masih kurang tepat.
“Kebetulan kamu datang berkunjung kemari. Ibu senang sekali. Ibu ingin menghubungimu tapi tidak tahu ke mana dan harus menghubungi siapa,” kata ibu panti dengan wajah berseri-seri.
“Maaf aku baru sempat bertandang sekarang, Bu. Ada apa, Bu?” tanya Wati heran.
“Keluarga yang dulu pernah membuangmu, datang kembali untuk mencarimu,” terang ibu pengurus panti dengan suara bersemangat.
Wati terbelalak.
“Keluarga?” ulang Wati tak percaya. Betulkah Wati memiliki keluarga? Bukan anak yatim piatu yang tak memiliki siapa-siapa?
*****
Wati masih menatap Bu Nara dengan pandangan seperti orang yang sedang bermimpi. Bu Nara membalas tatapan mata Wati dengan sungguh-sungguh, seolah-olah hendak meyakinkan Wati dengan sorot matanya.
“Iya. Panjang ceritanya sampai kamu dititipkan ke sini sewaktu bayi. Singkatnya, ayah dan ibumu masih hidup. Mereka datang kemari dengan mobil mahal. Mereka kaya, Ti!” ungkap ibu pengurus panti dengan penuh semangat.
Wati ternganga. Wati mengucek-ngucek matanya. Ia juga mencubit lengannya sendiri. Ia perlu meyakinkan diri bahwa semua ini bukan mimpi di siang bolong.
“Awww,” jerit Wati, saat Bu Nara ikut mencubit lengannya.
“Sakit, Bu,” rintih Wati.
“Aku bantu kamu meyakinkan diri, bahwa semua ini bukan mimpi,” ujar Bu Nara tenang. Tak tampak raut bersalah sedikit pun pada wajahnya.
Wati mengelus-elus lengannya yang memerah akibat dicubit oleh Bu Nara sebelumnya.
“Tapi, Bu. Apa semua ini nyata? Mereka enggak salah orang, kan?” tanya Wati dengan ekspresi wajah yang cemas.
Sejak lahir hidup dalam pengetahuan bahwa dirinya adalah anak yang terbuang dari keluarga yang tak menginginkan, membuat Wati tak sepenuhnya meyakini ucapan Bu Nara.
Pertanyaan Wati lahir dari perasaan takut bahwa anugerah yang baru saja diberikan tiba-tiba ditarik kembali. Ia tak mau kecewa, seperti rasa kecewa yang dialami bocah ketika diberikan permen lolipop besar lalu tiba-tiba permen itu jatuh ke dalam parit. Kecewa dan sakit hati pasti rasanya.
“Ibu yakin mereka nggak salah orang. Pasti kamu yang mereka cari. Ciri-ciri bayi yang mereka ceritakan itu ya kamu ketika dibuang ketika bayi,” tegas Bu Nara lagi.
“Memangnya apa ciri-ciriku sewaktu bayi, Bu?” tanya Wati penasaran.
“Kamu diletakkan di dalam keranjang yang jelek sekali, tetapi anehnya baju dan selimut bedong yang kamu kenakan itu sangat halus dan mewah,” terang Bu Nara.
“Tapi, mengapa mereka dulu membuangku, Bu?” tanya Wati heran.
“Sebetulnya mereka tidak membuangmu. Ada orang jahat di dalam keluarga yang tidak menginginkan kehadiranmu di dalam keluarga ayah ibumu. Dia menukar bayimu dengan bayi yang lain, lalu kamu disingkirkan,” kata Bu Nara dengan pandangan mata menerawang.
Bu Nara mengingat kembali kisah yang diceritakan oleh Bapak dan Ibu Sultan kepada dirinya seminggu yang lalu.
Sampai sekarang, Bu Nara masih ingat wajah istri Pak Sultan yang sangat mirip dengan wajah Wati. Hanya saja, wajah Bu Sultan kelihatan lebih halus, mulus, putih, dan tak bercela. Sangat berbeda dengan wajah Wati yang dihadapinya saat ini, kusam dan terlihat gelap.
“Lalu bagaimana caranya mereka sampai tahu bahwa aku tertukar?” lanjut Wati, masih penasaran karena belum semua masa lalunya terungkap.
“Orang yang menukarmu membayar orang untuk membuang bayi. Kebetulan, orang suruhan ini sakit parah. Menjelang ajal, ia merasa bersalah kepada keluargamu dan mengakui perbuatannya di masa lalu kepada ayah dan ibumu. Tes DNA dilakukan pada anak mereka. Hasilnya, ternyata betul bahwa anak yang mereka sangka anak kandung ternyata bukan anak mereka,” kisah Bu Nara panjang lebar.
Wati mengangguk-angguk paham. Jauh di lubuk hatinya, Wati masih merasa semua ini seperti dalam mimpi saja.
“Kapan orang tuaku itu datang kemari, Bu?”
Bab 7: Keluarga Wati
“Seminggu yang lalu. Ibu sampai bingung, karena kamu kan enggak punya ponsel. Setelah menikah juga kamu baru sekali datang kemari. Ibu sih ingat alamat rumahmu yang dulu, tetapi saat kami datangi ternyata kamu sudah tidak tinggal di situ lagi,” oceh Bu Nara.
“Iya, Bu. Saya pindah ke rumah yang lain sudah beberapa bulan,” kata Wati pelan.
Ia tak tega untuk mengatakan bahwa ia pindah ke rumah istri baru suaminya. Setelah kabar mengejutkan yang diberikan oleh Bu Nara, Wati mengubah pikirannya untuk curhat dan meminta pendapat Bu Nara tentang hidupnya yang menyedihkan.
“Lalu bagaimana dengan kedua orang tuaku, Bu?” lanjut Wati.
“Mereka bilang akan terus berusaha mencarimu. Mereka minta fotomu sebagai panduan. Ya, Ibu kasih saja fotomu waktu kamu menikah dengan Dedy,” ungkap Bu Nara.
“Awalnya Ibu berharap bahwa mereka akan bisa segera menemukanmu, katanya mereka mau bayar orang untuk mencarimu. Tetapi setelah Ibu melihat kamu datang hari ini, Ibu ragu mereka akan menemukanmu dengan wajah seperti ini,” ceplos Bu Nara seraya mengamati wajah tirus Wati.
“Ehm, wajahku sudah berbeda dengan yang dulu ya, Bu?” tanya Wati.
“Iya. Kamu sangat berubah. Wajahmu yang dulu berseri-seri sekarang kusam. Kamu juga terlihat sangat kurus seperti kurang makan. Dan yang paling penting, sorot matamu tidak lagi ceria seperti dulu,” urai Bu Nara dengan raut wajah prihatin.
Wati tersipu malu. Ternyata, meskipun ia tak menceritakan keadaan dirinya tapi keadaan fisiknya telah mengungkapkan kebenaran. Ada rasa sungkan yang terselip di hati Wati setelah mendengar penuturan Bu Nara tentang dirinya yang blak-blakan.
“Apa kamu hidup menderita bersama Dedy?” cetus Bu Nara spontan, membuat Wati terkejut dan salah tingkah.
Haruskah ia mengaku kepada Bu Nara tentang keadaannya saat ini? Bukankah memang itu tujuannya mampir ke mari? Wati terdiam karena belum dapat mengambil keputusan.
“Tak usah kamu jawab juga Ibu sudah tahu,” ujar Bu Nara lagi.
Wati menyerah. Ia tak dapat menyembunyikan apapun terhadap wanita paruh baya di hadapannya ini. Wati menangis seketika. Air matanya tumpah dengan deras hingga membasahi baju lusuh yang dikenakannya.
“Dari mana Ibu bisa menebak begitu?” tanya Wati di sela-sela isak tangisnya.
“Ibu ini sudah mengenalmu sejak bayi, Wati. Hampir seumur hidup Ibu tahu dirimu dan sifatmu. Dari gelagat dan sorot matamu saja Ibu bisa menebak isi hatimu,” lirih Bu Nara berkata.
Tangisan Wati bertambah keras.
“Sudah, Ti. Coba sekarang kamu jujur kepada Ibu, apa yang membuatmu susah seperti ini,” pinta Bu Nara seraya mengelus-elus kepala Wati di dalam dekapannya.
“Suamiku, Bu ... Suamiku,” kata Wati terbata.
“Iya. Kenapa dengan Dedy? Dia menyakitimu? Memukulmu?” desak Bu Nara.
“Iya, Bu. Dia—kawin lagi,” ungkap Wati pelan.
Seketika mata Bu Nara melotot. Tampaknya, kawin lagi merupakan hal yang tak terpikirkan sama sekali oleh Bu Nara.
“Kawin lagi? Kok bisa? Kayaknya waktu menikah denganmu dia pengangguran, kan?” tanya Bu Nara heran.
“Dari mana biaya menikah lagi kalau uang saja pas-pasan?” lanjut Bu Nara tak habis pikir.
Wati mengusap air mata di pipi, lalu mulai berbicara sungguh-sungguh.
“Hidup kami memang susah, Bu. Tapi dia kawin lagi dengan janda kaya. Semua ongkos pernikahan dibiayai janda itu,” terang Wati.
“Hah? Ya, ampuuun,” Bu Nara geleng-geleng kepala.
“Semua itu belum seberapa, Bu. Dedy mengajakku tinggal di rumah istri barunya,” tambah Wati, membuat Bu Nara semakin terbelalak.
“Kamu mau? Istri barunya juga mau?” cecar Bu Nara.
“Aku enggak punya pilihan, Bu. Aku mau tinggal di mana lagi? Sedangkan istri baru Dedy, mau menerimaku karena—“ ucapan Wati tersendat karena ia tak sanggup menceritakan hal paling menyedihkan di dalam hidupnya saat ini.
“Karena apa dia mau? Cepat bilang saja nggak usah sungkan-sungkan,” desak Bu Nara dengan napas memburu.
“Dia menjadikanku sebagai babu gratis di rumahnya,” kata Wati sedih. Kepalanya tertunduk saat mengungkapkan kenyataan.
“Astagaaa!” Bu Nara mengelus dadanya sendiri untuk meredakan detak jantungnya yang riuh karena merasa geram.
“Sudah berapa lama kamu begini, Ti? Kenapa tidak pergi saja dari sana?” kata Bu Nara prihatin.
“Itulah bodohnya aku, Bu. Aku merasa tak berdaya. Mau keluar dari sana aku nggak punya tempat untuk bernaung,” lirih Wati.
“Aku mau datang kepada Ibu, tetapi sungkan,” tambah Wati lagi.
Bu Nara menarik napas panjang, saking prihatin dengan kondisi Wati.
“Sudah, Ti. Semua sudah berlalu. Kamu sekarang punya keluarga baru. Kalau perlu sekarang juga kamu tinggalkan Dedy,” kata Bu Nara mengompori.
Wati menggeleng.
“Aku enggak bisa, Bu. Aku masih harus di sana dulu,”
“Lho, kenapa?!” tanya Bu Nara tak mengerti. Sorot matanya menuntut jawaban.
Bab 8: Rencana
“Aku ingin memberi pelajaran dulu kepada Rara dan Mas Dedy, Bu. Mereka sudah memperlakukanku dengan sangat buruk seperti budak. Aku ingin membalas perlakuan mereka.”
Penjelasan Wati membuat Bu Nara ternganga. Kemudian, perlahan-lahan raut wajah Bu Nara berubah dan bibirnya membentuk senyuman.
“Kamu betul, Ti. Mereka harus menerima balasan setimpal atas perlakuan mereka terhadapmu. Biar tahu rasa,” kata Bu Nara geram.
“Iya, Bu. Aku belum akan keluar dari rumah itu sampai mereka dapat ganjaran. Aku akan pergi dari sana setelah waktunya tepat,” tambah Wati lagi.
“Jadi bagaimana rencanamu, Ti?” tanya Bu Nara.
“Aku akan tetap di sana, sambil pelan-pelan menghancurkan usaha Rara,” ungkap Wati.
“Aku ingin dia merasakan tidak punya apa-apa seperti aku saat diperlakukan buruk olehnya,” lanjut Wati.
Bu Nara mengangguk-angguk setuju.
“Kalau begitu kamu pegang ponsel saja selama di sana, Ti. Biar Ibu bisa menghubungimu kalau ada apa-apa,” saran Bu Nara.
“Betul juga. Tapi aku enggak punya uang buat beli ponsel, Bu,” keluh Wati lagi.
“Ibu punya hape bekas. Masih bisa dipakai buat sms dan menelepon, tapi sudah nggak bisa unduh aplikasi macam-macam. Kalau kamu mau, bisa pakai hape Ibu dulu,” tawar Bu Nara.
“Mau … mau, Bu. Aku memang hanya perlu buat menelepon atau sms saja, kok. Aku belum perlu buat yang lain-lain,” angguk Wati bersemangat.
“Sebentar Ibu ambilkan,” kata Bu Nara seraya beranjak dari duduknya.
Bu Nara masuk ke dalam kamarnya, lalu tak lama kemudian kembali dengan sebuah ponsel di tangan.
“Ini hapenya, Ti. Memang jadul, tapi masih berfungsi kalau hanya buat sms dan menelepon,” kata Bu Nara lagi.
Wati mengamati ponsel yang baru diberikan Bu Nara kepadanya. Dilihat dari tampilannya, sangat kentara hape itu memang sudah jadul, ketinggalan zaman. Beberapa lapisan catnya sudah mengelupas di sana sini. Modelnya juga terlihat kuno. Hape itu juga lebih kecil daripada hape-hape berotak android yang sekarang sedang marak di pasaran.
“Tidak apalah. Buat sementara saja, Bu,” angguk Wati seraya tersenyum.
“Oya, bagaimana caranya aku bisa menghubungi keluargaku ya, Bu?” tanya Wati lagi.
“Ibu menyimpan nomor ponsel Bu Sultan. Nanti Ibu akan hubungi mereka lagi, mengabarkan bahwa Ibu sudah menemukanmu,” janji Bu Nara dengan senyum lebar di bibir.
“Nanti kita buat janji temu antara kamu dan orang tuamu. Kalau waktunya sudah ada, Ibu akan langsung menghubungimu,” tambah Bu Nara lagi.
Wati tersenyum senang.
“Terima kasih, Bu. Aku tunggu kabar dari Ibu, ya,” harap Wati.
“Pasti itu, Ti. Pokoknya kamu jangan jauh-jauh dari hape yang Ibu berikan. Jangan pernah tinggalkan hape itu meskipun sebentar. Ibu khawatir saat Ibu menelepon kamu sedang tidak ada di dekat hape,” kata Bu Nara mewanti-wanti.
“Baik, Bu. Hape ini pasti kubawa meskipun sedang ke kamar mandi. Aku juga nggak mau Rara atau Mas Dedy tahu bahwa aku punya hape baru,” angguk Wati.
“Kamu hati-hati di sana ya, Ti. Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu kabur saja,” pesan Bu Nara lagi.
“Ya, Bu. Kalau keadaan di sana sudah enggak enak, aku pasti kabur,” ujar Wati.
“Jangan lupa kamu ambil buku nikah dan surat-surat penting lain kalau ada. Biar gampang buat mengurus perceraian dengan Dedy nanti,” tambah Bu Nara lagi.
Membesarkan Wati sejak bayi membuat Bu Nara merasa Wati adalah anaknya sendiri. Meskipun banyak anak-anak lain di panti, tapi Bu Nara paling sayang kepada Wati. Hanya Wati yang paling menurut dan patuh terhadapnya ketika masih kecil maupun setelah beranjak dewasa hingga menjelang pernikahannya dengan Dedy.
Dulu, sebetulnya Bu Nara kurang setuju Wati berpacaran dengan Dedy. Dedy dianggap Bu Nara sebagai pemuda yang kurang bertanggung jawab dan hanya mau enaknya sendiri. Tapi Bu Nara tidak bisa berbuat apa-apa setelah melihat Wati sangat menyukai Dedy. Ketika Dedy melamar Wati, Bu Nara terpaksa menerimanya karena Wati sudah tak mau lagi berpisah dengan Dedy.
Dedy yang berwajah tampan dan suka bertingkah nakal itu memang menjadi idola banyak gadis di sekolah. Wati sangat bangga ketika Dedy memilih dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis lain temannya di sekolah. Kenyataan bahwa Dedy hanya bisa menghabiskan harta orang tuanya dan malas belajar tidak dianggap hal penting oleh Wati yang saat itu masih polos.
“Kalau begitu aku pamit dulu, Bu. Kalau kesorean aku takut Rara dan Mas Dedy keburu pulang dari toko di pasar,” ujar Wati.
“Baik kalau begitu. Hati-hati ya, Ti,” kata Bu Nara sebelum bangkit berdiri untuk mengantarkan Wati sampai ke pintu depan.
“Aku pulang ya, Bu,” ujar Wati seraya meraih tangan Bu Nara untuk dicium, seperti kebiasaannya dulu ketika masih berada di panti dan belum menikah.
Wati terkejut saat tangannya bertemu dengan telapak tangan Bu Nara, ada sesuatu di dalam tangan itu. Bu Nara menggenggam erat tangan Wati, lalu mendorong benda dari kertas yang ternyata adalah amplop.
“Apa ini, Bu?” tanya Wati bingung.
“Ibu ada sedikit uang buatmu. Kamu pasti perlu uang juga, kan. Biar kamu nggak terlalu tergantung pada uang pemberian Dedy,” ujar Bu Nara dengan sorot mata penuh kasih sayang.
Seketika Wati tersedu. Perhatian Bu Nara tidak berubah sedari Wati belum menikah dan masih tinggal di panti. Rasa bersalah merayapi hati Wati yang hampir tak pernah mengunjungi Bu Nara setelah menikah. Wati merasa menjadi anak durhaka.
“Ibu, Ibu, sebetulnya sejak masuk ke rumah Rara aku tidak pernah lagi diberi uang oleh Mas Dedy. Untuk pergi ke rumah Ibu sekarang ini saja aku mengambil uang dari saku celana Mas Dedy yang lupa dikeluarkannya saat mengganti pakaian kotor,” ungkap Wati lirih. Bu Nara menghela napas.
“Aku sudah menduga. Jadi kamu betul-betul diperlakukan seperti budak di sana,” kata Bu Nara sedih.
“Mas Dedy merasa cukup telah memberiku tempat tinggal dan makan. Itu pun rumah dan makanan milik Rara,” ujar Wati lagi.
“Dedy, Dedy, kok ada ya lelaki macam dia,” gerutu Bu Nara sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sudah, kamu simpan amplop ini baik-baik. Jangan sampai Dedy atau madumu tahu kamu punya uang,” pesan Bu Nara.
“Ya, Bu. Pasti aku sembunyikan uang ini baik-baik,” janji Wati.
Wati kemudian pamit pulang. Kepergiannya diiringi tatapan mata berkaca-kaca dari Bu Nara. Bu Nara tak menyangka bahwa akan begini nasib anak asuh kesayangannya di panti.
"Semoga saja Wati selamat keluar dari rumah madunya itu," gumam Bu Nara kepada dirinya sendiri.
Bab 9: Tunggu Balasanku
Angkot yang ditumpangi Wati lama berhenti dan diam di beberapa tempat untuk menunggu penumpang penuh. Hati Wati menjadi gelisah.
“Pak, cepat jalan, Pak,” pinta Wati kepada supir angkot.
“Sebentar, Mbak. Tunggu penuh dulu,” tolak supir angkot.
Wati semakin murung. Matahari semakin meluncur turun ke arah barat. Sore semakin gelap. Wati sangat cemas ia terlambat pulang ke rumah dan bertemu Dedy dan Rara yang sudah kembali dari toko.
Akhirnya angkot melaju kembali setelah hampir sepuluh menit diam di pangkalan. Wati bernapas lega. Setelah angkot sampai di depan jalan yang menuju rumah Rara, Wati bergegas turun dan membayar.
Setengah berlari ia menuju rumah. Jantung Wati berdebar kencang saat mendapati Rara dan Dedy sudah ada di depan rumah dengan raut wajah yang marah. Bahkan Rara tidak hanya melotot dan cemberut, ia juga berkacak pinggang seraya mengentak-entakkan kaki melihat kedatangan Wati.
“Bagus! Sudah berani keluar rumah kamu sekarang!” hardik Rara setelah Wati berada di hadapannya.
“Ma—maaf, Ra. Aku rindu dengan ibu asuhku di panti dulu,” kata Wati dengan suara bergetar. Tangannya pun gemetar saat berbicara.
“Kan aku sudah bilang tadi pagi, kapan-kapan saja kita ke sana. Dasar bandel,” bentak Dedy tak kalah garang dengan mata melotot.
“Sudah pergi nggak bilang-bilang, lama lagi! Tahu kamu kalau kami ini pulang itu lapar mau makan. Eh, datang-datang rumah terkunci. Dasar nggak punya ot*k!” teriak Rara seraya menjambak rambut Wati.
Wati menjerit kesakitan saat kuku panjang Rara yang selalu dirawat ke salon mengenai kulit kepala Wati tanpa belas kasihan.
“Ampun, Ra. Sakit ...,” lirih Wati seraya meringis. Air matanya mengalir tanpa Wati kehendaki. Rasanya sakit sekali.
“Sudah, Sayang. Nggak enak sama tetangga. Kalau mau mengamuk di dalam saja,” lerai Dedy dengan suara yang dibuat rendah.
Sepasang mata Dedy melirik ke kiri dan kanan, takut dengan pandangan mata tetangga yang menatap cemas dari jendela rumah masing-masing. Rara melihat juga ada beberapa tirai yang bergerak di balik jendela. Pastilah beberapa orang sudah melihat aksinya barusan.
“Huh! Dasar kepo,” gerutu Rara pelan sambil bersungut-sungut.
“Cepat keluarkan kunci rumah!” bentak Rara kepada Wati.
Wati cepat-cepat membuka tas kain jelek yang dibawanya, lalu mengeluarkan kunci rumah secara terburu-buru. Sebelum Rara membentak lagi, Wati bergegas membuka pintu rumah Rara yang dikuncinya sebelum pergi.
Mereka bertiga berebutan masuk ke dalam rumah. Rara kembali mengamuk setelah masuk.
“Awas kalau kamu berani keluar rumah lagi sejak hari ini. Kamu nggak boleh pergi kecuali aku suruh, Mbak,” sembur Rara seraya menoyor kepala Wati.
Wati melindungi kepalanya dengan menyilangkan kedua tangan. Tak ada suaranya yang keluar.
“Kamu dihukum hari ini. Tidak ada makan malam buatmu sampai besok pagi!” pekik Rara seperti orang kesetanan.
Akibat dorongan tangan Rara di kepalanya, Wati jatuh berlutut di lantai. Ia meringis menahan sakit sambil memegang ubun-ubun. Rara kembali mengangkat tangan hendak memukul, tapi sebuah tangan kekar mencekal tangan Rara di saat-saat terakhir yang genting.
“Sayang, sudah! Jangan terlalu kasar begitu. Kalau Wati sampai sakit karena ulahmu, kamu sendiri yang repot. Siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah nanti?” Dedy menahan tangan Rara yang hendak memukul Wati lagi.
“Dia sih tidak tahu diri, Mas! Sudah ditampung, masih banyak tingkah. Kalau bukan aku yang memberinya tempat tinggal dan makan, memang dia mau pergi ke mana? Orang nggak punya keluarga itu kan sama seperti orang hilang,” hina Rara lagi.
Sambil berbicara, Rara melepaskan tangannya yang dicekal oleh Dedy. Rara kemudian berkacak pinggang di hadapan Wati yang jatuh berlutut. Sikap Rara sangat angkuh.
“Sudah. Daripada marah-marah terus, lebih baik kamu istirahat. Simpan energimu untuk kita nanti malam,” lerai Dedy seraya mengedipkan sebelah mata kepada Rara.
Melihat kedipan mata Dedy, Rara menurut. Ia tak menolak ketika Dedy meraih tangannya untuk dibimbing menjauh dari Wati yang tertunduk. Sebelum pergi ke kamar, Dedy menoleh ke arah Wati di belakangnya. Dengan kode mata, Dedy menyuruh Wati untuk menyingkir.
Setelah Dedy dan Rara masuk ke dalam kamar, barulah Wati berlari masuk ke dalam kamarnya. Hatinya panas sekali, tapi ia berusaha untuk bersabar.
“Sabar, Wati. Sebentar lagi, Rara akan menerima balasan atas perbuatannya. Tunggu saja kamu, Ra,” desis Wati di dalam kamarnya.
Setelah mengetahui bahwa dia memiliki keluarga dan tak sendirian di dunia ini, Wati merasa lebih kuat. Ia bagaikan mendapat tempat berpegangan yang kokoh. Meskipun keluarga itu belum ditemuinya, tapi pengetahuan bahwa ia memiliki orang tua saja cukup membuat Wati memiliki harga diri yang baru.
Apabila dahulu ia hanya bisa pasrah dijadikan bulan-bulanan oleh Rara, maka sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tak mau lagi diperlakukan semena-mena karena dia merasa dirinya kini berharga.
Bab 10: Siasat
Wati memang sengaja tidak melawan saat Rara menjambak rambutnya tadi. Wati bermaksud bermain halus. Ia tak akan terang-terangan memperlihatkan sikap memusuhi dan melawan Rara. Ia akan tetap bersikap sebagai madu yang tidak berdaya, sementara Wati menyusun rencana untuk menghancurkan Rara di belakangnya.
Wati lalu mengunci pintu kamarnya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama tinggal di rumah Rara. Setelah merasa yakin pintu kamarnya terkunci dengan baik, Wati mengeluarkan ponsel yang diberikan Bu Nara kepadanya tadi siang ketika ia berada di panti.
Wati merebahkan diri pada kasur tipis. Ia mengecek ponsel kecil yang kuno itu. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Bu Nara untuknya. Tak sabar, Wati membuka pesan dari Bu Nara dengan hati berdebar-debar.
“Ibu sudah menghubungi keluargamu, Ti. Mereka sangat senang mengetahui kamu sudah ditemukan. Mereka ingin bertemu kamu secepatnya. Mereka ingin menjemputmu besok sore. Kamu mau dijemput di rumah atau di panti?”
Wati berbunga-bunga membaca pesan dari Bu Nara. Harapannya akan kehidupan yang lebih baik bangkit kembali. Tak akan lagi ia diperlakukan seperti sampah di rumah ini. Ia memiliki keluarga sebagai sandaran.
Wati berpikir sejenak. Ia sangat ingin dijemput dari rumah ini. Terbayang di pelupuk mata Wati, pasti Rara dan Dedy akan ternganga apabila ia dijemput oleh keluarga yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ia akan bisa melenggang penuh kemenangan di bawah tatapan tak percaya Dedy dan madunya. Nikmat sekali pasti rasanya.
Akan tetapi, Wati teringat bahwa kedua orang tuanya tidak mengetahui tentang kehidupan buruk yang dialaminya saat ini. Mereka mungkin akan bingung ketika mendapati dirinya yang diperlakukan sebagai babu di rumah Rara. Keadaan itu tidak sesuai dengan harapannya.
Tidak. Wati tidak akan minta dijemput di sini. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Untuk membalas Rara, ia akan menyiapkan pembalasan dendam termanis.
“Biar saya yang datang ke panti besok sore, Bu. Keluargaku belum tahu apa-apa tentang aku dan masalahku. Jangan sampai mereka bingung nantinya. Tunggu aku ya, Bu,” Wati mengirim balasan pesan kepada Bu Nara.
Setelah mengirim pesan, Wati termenung memikirkan rencananya untuk membalas Rara dan Wati. Hal pertama yang dipikirkan oleh Wati adalah mengambil buku nikahnya agar dapat mengurus perceraian.
Di mana Dedy menyimpan buku nikah itu? Setelah menikah, Wati belum pernah lagi melihat bukti pernikahan mereka. Ia harus mengambil buku itu sebelum pergi menemui keluarganya besok.
“Mbak! Mbak Wati, keluar!” teriak Rara dari depan pintu kamar.
Wati terkejut. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponsel yang sedari tadi masih dipegangnya ke balik baju. Wati tak mau meninggalkan ponsel itu di dalam kamarnya. Meskipun Rara tak pernah masuk ke kamarnya, tapi ia tak mau mengambil risiko kehilangan benda paling berharga dalam hidupnya saat ini.
Wati membuka pintu kamar. Ia melihat Rara meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Belikan aku minuman pelancar haid ke warung. Sekarang!” perintah Rara seraya menyerahkan selembar uang ke depan wajah Wati.
Wati menerima lembaran uang dari Rara dengan ekspresi datar. Rara lalu mengerang memegangi perutnya. Ia sempoyongan lalu bersandar pada dinding. Dedy datang menghampiri Rara dengan tergopoh-gopoh. Raut wajahnya terlihat amat khawatir.
“Sayang, lebih baik kamu istirahat saja di kamar. Kataku juga biar aku saja yang menyuruh Wati ke warung,” marah Dedy.
Rara membiarkan dirinya dibimbing oleh Dedy untuk masuk kembali ke dalam kamar. Langkahnya tertatih-tatih dan goyah. Wati mengamati bahwa Rara dalam kondisi yang lemah.
Saat Wati terbengong, tiba-tiba Rara menoleh ke belakang dan berkata garang,
“Cepat! Disuruh sekarang malah bengong!” bentak Rara. Ternyata meskipun sedang sakit, kegalakan Rara tidak berkurang.
Wati gelagapan. Lekas-lekas ia berjalan menuju pintu keluar. Masih sempat didengarnya suara Dedy sebelum ia melangkah keluar dari pintu.
“Yah, malam ini gagal deh kita main, Sayang.”
Wati mempercepat langkahnya menuju warung. Ia mendadak muak mendengar suara Dedy barusan. Usai membeli barang yang diminta oleh Rara, Wati lekas-lekas pulang. Ia tak mau lagi mendapat kemarahan dari Rara. Sekarang bukan karena takut lagi, tapi telinganya sakit rasanya mendengarkan suara sember seperti radio rusak itu.
Sampai di rumah, Wati langsung mencari Rara untuk memberikan barang pesanannya. Saat Wati bergerak menuju kamar Rara untuk memberikan jamu, ia berpapasan dengan Dedy yang hendak keluar dari kamar.
“Mas, ini jamu yang diminta Rara sudah aku belikan,” lapor Wati.
“Rara sedang tidur. Berikan saja jamu itu kepadaku,” sahut Dedy.
Wati mengulurkan tangan memberikan bungkusan berisi jamu, tapi Dedy tidak mengambil bungkusan itu. Dedy malah menarik tangan Wati hingga Wati terjatuh ke dalam pelukannya.
“Kamu milikku malam ini,” bisik Dedy di telinga Wati.
Dedy menciumi leher Wati, sementara tangannya bergerilya di tubuh Wati. Wati diam tak bereaksi. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Sekarang dia sadar, Dedy hanya mendatanginya saat Rara tak bisa dijamah. Terbukti, saat Rara haid barulah Dedy menginginkannya.
Tempo hari pun demikian, saat Rara tertidur barulah Dedy memasuki kamarnya. Saat pagi tiba, Dedy langsung pindah ke kamar Rara. Jadi itulah arti dirinya bagi Dedy, hanya ban serep ketika Rara tidak ada.
“Jangan sekarang, Mas. Ini masih siang. Rara bisa bangun kapan saja,” cegah Wati saat tangan Dedy bergerak hendak membuka kancing bajunya.
Dedy tersadar dari nafsunya. Ia bahkan menggerayangi Wati di depan kamar Rara. Kesal dengan kenyataan ini, Dedy melepaskan tubuh Wati secara kasar.
“Nanti malam,” bisiknya dengan napas memburu.
Wati melepaskan diri dari Dedy dengan perasaan lega. Ia langsung kabur menuju kamar mandi. Di sana ia langsung mandi untuk menghilangkan bekas jamahan Dedy di tubuhnya. Jijik rasanya ia terhadap tubuh yang telah disentuh oleh Dedy.
Pada malam harinya, Dedy mendatangi kamar Wati diam-diam. Saat membuka gagang pintu, ia terkejut mendapati pintu kamar Wati yang terkunci. Selama menikah dengan Wati, belum pernah Dedy tak bisa masuk ke kamar Wati.
“Ti, Wati ...,” panggil Dedy pelan dari balik pintu.
Tak ada jawaban dari Wati. Dedy kebingungan. Apakah Wati tertidur? Jika memang iya, mengapa pintu kamarnya dikunci segala?
Sementara itu di dalam kamar, Wati yang belum tidur bergegas merebahkan diri di kasur. Ia bermaksud pura-pura tidur, biar Dedy tak berhasil melampiaskan nafsunya.
“Wati, Wati, buka pintu,” panggil Dedy sekali lagi.
Masih tak ada bunyi apapun dari dalam kamar. Dedy menjadi murka. Hasratnya sudah sampai ke ubun-ubun, ia ingin segera menyalurkannya. Dedy mendorong-dorong pintu kamar Wati. Ia dapati bahwa pintu hanya diselot saja dari dalam. Nekad karena nafsu, Dedy mendorong pintu sekuat tenaga.
Krak!
Selot pintu patah dan pintu terbuka.
Bab 11: Aksi Wati
Dedy terdorong ke dalam kamar. Ia melihat Wati bergulung di dalam selimut sampai ke kepala. Jadi betul, Wati ternyata tertidur. Melihat lekuk tubuh Wati yang membentuk di balik selimut, hasrat Dedy semakin memuncak.
Dedy menutupkan kembali daun pintu, lalu melangkah mendekati Wati dengan jakun naik turun.
Wati yang mendengar pintu berhasil didobrak oleh Dedy, terkesiap di balik selimut. Jantungnya berdebar kencang. Ia takut disentuh Dedy lagi. Sementara langkah-langkah kaki Dedy mendekatinya, Wati berpikir keras cara menggagalkan niat mesum Dedy.
Dedy menerkam Wati di tempat tidur.
“Aaa!” Wati berpura-pura terkejut dan berteriak keras.
Hal itu dilakukannya agar Rara yang mungkin sudah tidur dapat terbangun. Wati sengaja berteriak sekencang-kencangnya. Namun, teriakannya yang baru setengah jalan sudah langsung dipotong oleh Dedy.
Dedy menutup mulut Wati dengan mulutnya. Dedy langsung menyerang Wati tanpa basa-basi lagi. Wati gelagapan. Ia panik dan ketakutan. Wati tak mau disentuh lagi oleh Dedy.
“Buka bajumu,” perintah Dedy berbisik.
Wati tak punya pilihan selain menuruti keinginan Dedy. Meskipun begitu, otaknya tetap memikirkan cara untuk lolos.
Akhirnya ide itu datang, saat Dedy sudah membuka seluruh bajunya sendiri. Ketika Dedy menyergap dan menindih tubuhnya, Wati sengaja menendang meja kecil yang berada tepat di dekat kakinya. Gelas kaca yang ada di atas meja terjatuh ke lantai dan menghasilkan bunyi pecahan yang nyaring.
Dedy sendiri terkejut mendengar bunyi itu. Bahkan salah satu pecahan kaca terlempar mengenai punggung Dedy.
“Aduh!” jerit Dedy tanpa sadar. Ia menghentikan aksinya kepada Wati.
Dedy semakin kelabakan saat tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kamar Rara.
“Maaas! Kamu di mana?!”
“Sial!” umpat Dedy seraya meringis menahan sakit di punggungnya.
Dedy terburu-buru mengenakan kembali kaos dan celana pendeknya. Perih di punggungnya akibat terkena pecahan kaca diabaikan sementara. Ia lebih takut akan kemurkaan Rara daripada luka.
“Aku di sini, Sayang!” teriak Dedy seraya berlari keluar kamar dan menuju kamar Rara.
Sepeninggal Dedy, Wati juga lekas-lekas mengenakan pakaiannya kembali. Lalu ia melihat celana dalam Dedy yang tertinggal di atas kasurnya. Saking buru-burunya berpakaian, Dedy lupa mengenakan celana dalamnya kembali.
Dengan ujung kaki, Wati membuang celana itu hingga ke sudut kamar. Tak sudi lagi ia menyentuh penutup onderdil milik Dedy.
Wati melihat pecahan kaca bekas gelas yang berserakan di lantai dekat meja. Hati-hati Wati melangkah keluar kamar dan menuju dapur. Ia mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan kamarnya.
Saat menyapu lantai untuk membuang pecahan kaca, Wati menyapu sekalian celana dalam milik Dedy yang teronggok di balik pintu. Celana itu Wati buang bersama dengan pecahan kaca yang disapunya ke dalam plastik keranjang sampah.
Sementara di dalam kamar Rara terjadi obrolan antara Rara dan Dedy.
“Kamu dari mana saja?” tuntut Rara begitu Dedy sudah berada di dalam kamarnya.
Tatapan mata Rara menyorotkan kecurigaan. Ia selalu marah apabila Dedy ketahuan mengunjungi Wati di kamarnya. Bagi Rara, Dedy boleh tetap memiliki Wati tetapi tidak boleh sering-sering memberinya nafkah batin. Kalau perlu, Dedy hanya mengunjungi Wati tiga bulan sekali.
“Tadi aku dari dapur. Aku tadi kehausan,” dusta Dedy.
“Perutku bertambah sakit. Rasanya perutku seperti bolong. Antar aku ke klinik, Mas,” pinta Rara seraya meringis kesakitan. Tangannya diletakkan di perut sambil meremas.
“Oke, oke. Aku ganti celana dulu,” ujar Dedy seraya menurunkan kembali celana pendek sepaha yang dikenakannya.
“Lho, kok kamu nggak pakai celana dalam, Mas?” tanya Rara dengan mata melotot melihat burung Dedy yang tampak tegang.
Dedy memandang ke bawah perutnya. Ia terbeliak melihat asetnya tak mengenakan penutup. Dedy kelabakan. Pasti ia meninggalkan benda itu di kamar Wati. Dedy merutuki kecerobohannya sendiri.
“Anu ... tadi aku juga pipis di kamar mandi. Gara-gara kamu teriak, aku sampai lupa pakai celana,” kata Dedy beralasan.
“Kamu kok sampai melotot begitu, Sayang? Kamu mau?” Dedy mendekati Rara di tempat tidur, lalu meraih tangan Rara dan meletakkannya di bawah perutnya.
Dedy sengaja mengalihkan perhatian Rara dari keteledorannya. Jangan sampai Rara curiga bahwa tadi burungnya hampir lepas landas.
“Aku sedang haid dan sakit perut. Nanti saja kalau aku sudah selesai haid,” tolak Rara seraya meremas batang di tangannya. Dedy berjengit kesakitan karena Rara meremas onderdilnya keras-keras.
“Aduh! Sakit, Sayang,” keluh Dedy.
“Maaf, Mas. Aku juga sedang kesakitan. Aku enggak mau kamu enak tapi aku sakit. Nggak adil, dong,” kilah Rara.
“Kalau begitu cepat saja kita ke klinik,” ujar Dedy seraya meringis.
Dedy mengambil celana dalam baru dari dalam lemari, lalu mengenakan celana panjang yang sopan untuk pergi ke klinik.
“Ayo, Sayang,” ajak Dedy mesra kepada Rara.
Dedy membimbing Rara turun dari kasur, lalu membantunya mengenakan pakaian yang pantas untuk pergi ke klinik.
Wati mengintip Dedy dan Rara yang melangkah keluar rumah berdua. Setelah betul-betul yakin bahwa Dedy dan Rara sudah jauh pergi, Wati segera beraksi.
Wati memasuki kamar Rara. Ia curiga di sinilah Dedy menyimpan buku nikahnya. Di kamar Wati sendiri Dedy tak pernah menyimpan apa-apa. Dedy hanya datang ke kamar Wati untuk menuntaskan hasrat.
Wati mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Kaca rias yang memiliki meja berlaci menjadi tujuan pertama Wati. Wati menarik laci meja dan memeriksa semua isinya.
Akan tetapi, Wati tak menemukan apapun di sana selain kuitansi-kuitansi lama, sisir, kosmetik, dan benda-benda tak penting lainnya. Tampaknya, bukan di laci ini Rara menyimpan berkas-berkasnya.
Wati beralih ke lemari pakaian Rara dan Dedy di pojok kamar. Lemari Dedy yang menjadi incaran Wati pertama kali. Sayangnya, di lemari itu tak ada laci sama sekali. Wati beralih ke arah lemari pakaian Rara.
Lemari itu tidak dikunci, sama seperti kamarnya yang dibiarkan tak bergembok setiap kali pergi. Mungkin Rara tak pernah mengira bahwa Wati akan menggeledah isi kamarnya. Wati yang penurut, lembek, dan cengeng. Siapa yang mengira Wati juga bisa membuat siasat?
Ada sebuah laci di dalam lemari Rara. Wati menarik pelan laci itu. Kelopak mata Wati melebar melihat banyak map yang tersimpan di dalam laci. Tangan Wati menarik map-map itu sekaligus. Sebuah dompet besar terlihat disimpan di bawah map.
Wati membuka map pertama.Ternyata isinya BPKP sepeda motor Ninja milik Dedy. Wati menyingkirkan map tersebut. Ia membuka map kedua. Kali ini isinya sertifikat tanah dan rumah.
Tak sengaja mata Wati melihat nama yang tertera di atas sertifikat. Beny Ardani. Seketika, dahi Wati mengernyit ketika membaca nama tersebut. Keheranan memenuhi benak Wati.
"Lho, jadi rumah ini bukan atas nama Rara? Siapa Beny Ardani?" gumam Rara kepada dirinya sendiri. -Bersambung-
** Makasih ya, sudah baca cerita receh ini. Sampel buku hanya sampai di sini. Mohon maaf, ya!
*** CERITA LENGKAP SAMPAI TAMAT BISA DIBACA DI PAKET BUKU PEMBALASAN UNTUK MADU YANG MENJADIKANKU BABU JILID 1 & 2 ***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
