
"Gue nggak nyangka, harus nikah sama temen masa bocah yang dulu gue anggap cupu!" -- Aleena
======
Aleena. Wanita mandiri yang berhasil membangun bisnis endorse di TikTok, merasa terjebak antara keinginan menyenangkan orang tua dan masih ingin hidup bebas merdeka. Baginya, pernikahan hanya kekang yang bakal bikin hidupnya mati gaya.
Kalief. Sahabat semasa kecil Aleena yang sukses berkarir di perusahaan farmasi sebagai manajer keuangan. Baginya, pernikahan cukup didasarkan pada rasa saling nyaman, maka...
Bab 1: Tahu Bulat Wedding
“Serius nih, kita mau nikah cuma buat orang tua senang? Kayak nggak ada alasan lain yang lebih bagus aja!” Aleena menatap Kalief dengan ekspresi tak percaya.
Di Wheels Coffee Roasters di Dago bawah, Bandung, Aleena duduk berhadapan dengan Kalief. Di depan mereka, meja penuh dengan makanan Instagramable, menyenangkan. Namun, suasana di antara keduanya terasa tegang.
Kalief, yang bekerja sebagai manajer keuangan di sebuah kantor farmasi besar, memegang garpu sambil memandangi ke luar jendela. “Kalau nggak gini, kapan lagi? Gue udah ditodong terus sama Mama buat segera nikah. Tiap malam makan malam, topiknya selalu itu. Nikah, nikah, nikah.”
Kalief teringat percakapan dengan ibunya, sebulan yang lalu pada saat makan malam.
“Lief, umurmu kan udah cukup. Pekerjaan juga udah mapan. Kapan kamu mau nikah?” tanya Widuri, ibunya Kalief.
“Belum ada calonnya, Ma,” jawab Kalief santai.
“Gimana kalau Aleena aja? Kamu dan dia kan udah sahabatan dari kecil, Mama juga suka sama dia. Apalagi Mama dan ibunya Aleena juga sobat kental,” sambar Widuri.
“He?” Kalief hampir tersedak saking kagetnya, tetapi ia langsung menjawab, “kalau Aleena mau, aku setuju, Ma.”
“Nanti biar Mama yang ngomong sama ibunya Aleena. Biar dia bujuk Aleena buat mau nikah sama kamu,” tambah Widuri penuh semangat.
Beberapa hari kemudian, Widuri membawa kabar buat Kalief.
“Lief, Mama udah ngomong sama Dina, ibunya Aleena. Dina bilang Aleena nggak nolak buat dijodohin. Jadi, kapan kamu mau nikah?” Widuri tersenyum menang.
Aleena mendesah panjang, suaranya membuyarkan lamunan Kalief. “Jadi, elu nikahin gue bukan karena elu pengen, tapi karena disuruh? Gimana kalau gue besok tiba-tiba pengen pindah ke Bali? Elu bakal ikut pindah juga atau tanya dulu ke Mama?”
Kalief meliriknya dengan bingung, lalu meletakkan garpu di atas piring. “Bukan begitu, Na. Gue cuma berpikir ini kesempatan buat kita ... ya, apa salahnya? Lagian, elu juga nggak pernah bilang nggak setuju ke ibumu, kan?”
Aleena, yang sehari-hari sibuk menjalankan bisnis endorse baju online di TikTok, menatapnya sinis. Meski sukses di dunia online, hidup Aleena sering kali penuh dengan komentar dari netizen. Sekarang, tekanan dari keluarga soal pernikahan membuatnya semakin pusing. Sejujurnya, dia masih ingin hidup bebas.
“Gue nggak nyangka elu bakal serius ngomongin ini. Gue kira elu cuma bercanda waktu bilang mau kita nikah bulan depan!” Suara Aleena yang kesal membuyarkan lamunan Kalief.
Kalief menatapnya serius dan menekan garpunya dengan sedikit keras, membuat Aleena sedikit tersentak. “Aleena, gue serius. Kita nggak bisa terus-terusan kayak gini. Gue udah hampir 30, umurmu juga udah hampir—”
“Jangan mulai hitung umur, Kalief. Gue nggak peduli berapa umur gue atau elu,” potong Aleena cepat. “Nikah tuh nggak cuma soal umur atau tuntutan orang tua. Ini soal kita berdua, gimana kita bisa hidup bersama ... dan gue jujur aja, gue belum yakin.”
Kalief tersenyum kecut, menahan rasa frustrasinya. “Gimana elu bisa yakin kalau elu nggak pernah kasih kesempatan buat diri sendiri?”
Aleena terdiam sejenak. Matanya menatap keluar jendela, telinganya mendengar suara pedagang tahu bulat yang lewat dengan mobil dan lagu khasnya dari pengeras suara.
“Jadi elu beneran mau nikah sama gue? Kok gue ngerasa rencana pernikahan kita kayak tahu bulat, digoreng dadakan. Panas awalnya, terus nanti kempes sendiri.”
“Tahu bulat?” tanya Kalief sambil tertawa kecil. “Elu beneran bisa bikin perumpamaan dari apa aja, ya?”
Aleena tersenyum tipis, tapi masih ada sisa kegelisahan di matanya. “Ya, soalnya nikah itu bukan gorengan, Kalief. Ini hal yang serius.”
Kalief mengangkat alis. “Makanya gue serius ngomongin ini.”
Pelayan datang membawa dua minuman berwarna cerah dan meletakkannya di meja. Aleena mengambil sedotan dan menyeruput minumannya.
“Oke, kalau elu serius, kenapa elu mau nikah sama gue? Karena jujur aja, gue belum yakin sama alasan gue.” Aleena menatap Kalief dengan tatapan menantang.
Kalief menghela napas, lalu menatap Aleena dengan serius. “Karena ... gue pikir ini langkah yang tepat buat kita. Kita udah kenal lama, keluarga kita cocok, dan gue nyaman sama elu. Apa lagi yang perlu dipikirin?”
Aleena tertawa sarkastis, lalu menatap Kalief tak percaya. “Nyaman? Elu mau nikah karena nyaman? Kayak beli bantal aja.”
“Nyaman itu penting, Na. Daripada nikah terus nggak nyaman, kan?” jawab Kalief sambil tersenyum tipis.
Aleena bersandar ke kursi dan menghela napas panjang. “Nikah tuh bukan soal nyaman atau nggak nyaman, Kalief. Ini tentang perasaan kita. Kalau elu cuma mau nikah karena nyaman, apa itu cukup buat kita?”
Kalief mengangkat bahu. “Cukup buat gue. Nyaman itu fondasi, Na. Kalau kita udah nyaman satu sama lain, cinta itu bisa datang nanti.”
Aleena menatap Kalief tak percaya. “Cinta datang nanti? Bukannya kita harus udah cinta sebelum nikah?”
Kalief tersenyum kecil. “Kadang cinta itu tumbuh, Na. Kita udah kenal lama, gue yakin kita bisa bangun itu bareng.”
Aleena terdiam, memikirkan kata-kata Kalief. Hati kecilnya meragukan ucapan Kalief, tetapi dia belum yakin sepenuhnya, jadi dia memilih tidak berkomentar.
“Gue ngerti, sih,” kata Aleena akhirnya. “Tapi gue nggak mau kita nikah hanya karena tekanan orang tua, gue perlu waktu buat mikir. Gue mau yakin dulu kalau ini beneran keputusan yang tepat buat gue.”
Kalief mengangguk, berpikir sejenak. “Oke, kalau itu yang elu mau. Tapi gue nggak bisa menunggu terlalu lama.”
Aleena tertawa miris. “Lah, masa memutuskan nikah harus mikir cepet-cepet kayak mikir beli sepatu?”
Kalief meletakkan garpu dan menatap Aleena dengan serius. “Oke, elu perlu waktu berapa lama, Na? Satu bulan? Dua bulan? Atau elu mau mikir seumur hidup?”
“Siapa tahu selamanya,” jawab Aleena setengah bercanda, meskipun ada nada serius di dalamnya.
Kalief tertawa getir. “Ya, nggak bisa selamanya juga, lah. Di dunia nyata, ada deadline. Dan deadline-nya sebentar lagi. Umur kita tambah tua, gitu juga sama umur ortu kita. Gue nggak mau Mama gue keburu--” Kalief tidak melanjutkan ucapannya.
Aleena menghela napas panjang, menyadari bahwa ucapan Kalief benar. Ia merasa terjebak antara keinginan untuk menyenangkan orang tuanya dan keinginan untuk tetap bebas. “Kalau gitu, gue punya satu syarat buat nikah,”
Kalief menyipitkan mata, penasaran. “Apa? Jangan bilang elu mau pernikahan di pantai kayak drama Korea.”
Aleena tertawa. “Bukan. Gue setuju kita nikah, tapi tetap punya kebebasan masing-masing. Gue nggak mau hidup gue diatur, dan elu juga harus ngerti itu.”
Kalief berpikir. “Maksud, elu?”
“Kayak, elu nggak usah komplain kalau gue nongkrong sampai malam. Dan gue nggak akan gangguin elu kalau elu sibuk di kantor. Kita tetap punya hidup kita masing-masing, meskipun kita nikah.” Aleena menjelaskan dengan tegas.
Kalief berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju. “Oke, kalau itu yang elu mau.”
Aleena tersenyum puas, merasa menang dalam diskusi ini. Namun di dalam hatinya, dia masih merasakan keraguan. Ini bukan tentang bisa bebas meskipun terikat pernikahan. Ini tentang sesuatu yang lebih besar.
"Deal!” Kalief mengulurkan tangannya.
Aleena menjabat tangan Kalief, meskipun masih ada keraguan di hatinya.
“Kalau gitu, bulan depan kita nikah!” tambah Kalief.
Aleena menelan ludah, merasa kerongkongannya baru saja keselak biji kedondong.
Bab 2: Tiktok, Cincin, Drama
Kalief duduk sendirian di sofa butik baju pengantin dengan gelisah. Dia mengecek arlojinya untuk ketiga kalinya dalam 30 menit terakhir, sebelum memutuskan menghubungi Aleena. Setelah tiga kali nada sambung, Kalief memutuskan panggilan. Ia beralih menghubungi Nina, sahabat dekat Aleena. Panggilannya langsung diangkat.
“Oh, Aleena? Ada. Sebentar,” sahut Nina saat Kalief menanyakan keberadaan Aleena.
Terdengar bunyi ponsel dialihtangankan. Saat suara Aleena terdengar mengucap ‘halo’, Kalief langsung mencecar. "Aleena, elu di mana? Gue udah nunggu di sini dua jam!" Kalief terdengar sedikit kesal.
"Eh? Maaf, gue kelupaan. Sabar, ya, Lief. Gue lagi live TikTok buat promosi baju," jawab Aleena santai sambil mengacungkan ponsel Nina ke arah kamera ponselnya yang digunakan untuk live Tiktok.
Kalief menghela napas. "Live TikTok? Sekarang? Bukannya kita ada janji fitting baju pengantin?"
"Iya, gue lupa. Maaf. Sebentar lagi gue selesai, kok," balas Aleena sambil terus menari-nari mengikuti irama musik.
Kalief semakin kesal. "Aleena, serius ini! Tolong kemari sekarang!"
"Iya, iya, gue udah selesai, kok. Gue ke sana sekarang," jawab Aleena sambil mematikan live TikTok-nya.
***
Lima belas menit kemudian, Aleena tiba di sebuah butik yang terkenal sebagai pakarnya baju pengantin di Bandung bersama Nina. Wajahnya terlihat berseri-seri. Kalief yang sudah menunggu dengan sabar langsung menyambutnya dengan tatapan datar.
"Maaf, ya, Lief. Gue tadi keasyikan live Tiktok," ujar Aleena sambil tersenyum.
Kalief mendengkus, tak berkomentar lagi. “Ayo, kita pilih gaun pengantinmu sekarang.”
Ditemani pemilik butik, mereka mulai mencoba berbagai model gaun pengantin. Waktu yang singkat dalam mempersiapkan pernikahan membuat mereka memutuskan untuk menyewa baju pengantin.
“Teteh mau yang putih atau yang gold?” pemilik butik menunjukkan dua potong gaun yang sama cantiknya kepada Aleena.
Aleena merlirik sekilas, terlihat kurang tertarik. “Yang putih saja, Teh,” balasnya malas.
Aleena kembali sibuk bermain dengan ponselnya, seolah-olah isi di ponselnya urusan negara.
“Kalau untuk baju seragam keluarganya, Teteh mau yang mana?” tanya pemilik butik lagi.
“Bebas. Terserah Teteh aja,” jawab Aleena cuek.
Kalief yang kesal melihat hal itu, akhirnya angkat suara. “Yang warna pastel saja, Teh,” sahutnya. Akhirnya, sesi pemilihan baju bersama pemilik butik ditangani oleh Kalief.
“Udah selesai, belum? Gue udah capek. Mau pulang," kata Aleena.
“Belum juga jadi pengantin, udah capek,” goda Nina.
“Ya, sudah selesai. Elu boleh pulang.” Kalief menghela napas. Ia merasa frustrasi dengan sikap Aleena.
“Yes! Gua mau ngurus orderan baju di Tiktok.” Aleena bangkit dari duduk dengan wajah cerah. “Ayo, Nin!” ajaknya kepada Nina.
“Jangan lupa besok kita harus ke toko cincin buat pilih cincin!” seru Kalief sebelum Aleena keluar dari butik.
“Iya!” Aleena menghilang di balik pintu.
***
“Kamu mau cincin yang mana, Na?” tanya Kalief di toko perhiasan, keesokan harinya.
“Ini aja, deh.” Aleena menunjuk cincin platina bermata berlian yang berwarna-warni meriah.
"Ini terlalu mencolok, Na," kata Kalief. "Kita, kan, mau cincin yang sederhana dan elegan."
"Ah, nggak mencolok, kok. Biasa aja, Lief. Lagian, ini, kan, cincin gue," balas Aleena.
"Tapi, kita, kan, bakal cincin ini sama-sama," kata Kalief.
"Iya, tapi gue yang bakal memakainya setiap hari. Jadi gue yang harus suka," jawab Aleena.
Nina, yang dipaksa Aleena buat ikut ke toko perhiasan bersamanya, hanya tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat mereka berdebat . "Kalian ini kayak anak kecil lagi rebutan mainan," ujarnya.
“Tapi, ini, kan pernikahan kita. Jadi kita harus sama-sama suka.” Kalief bersikeras, mengabaikan Nina.
Sejujurnya, Kalief kurang suka Aleena mengajak Nina ke toko perhiasan. Momen yang seharusnya pribadi menjadi tidak lagi menyenangkan.
Aleena memanyunkan bibir. “Iya, deh. Kalau gitu kenapa nggak elu aja yang pilih cincinnya?” kata Aleena penuh emosi.
“Jangan marah, Na. Ayo, kita pilih lagi sama-sama. Kamu tambah cantik, deh, kalau manyun.” Kalief mencoba merayu.
“Ah, gombalan basi!” Aleena mencibir.
Akhirnya, mereka sepakat memilih cincin dari platina yang sederhana tetapi memiliki desain elegan.
***
Sepulang dari membeli cincin, Kalief mengajak Aleena bercakap-cakap tentang bulan madu mereka nanti.
“Gimana kalau kita bulan madu ke Bali atau kamu mau ke Thailand?” tanya Kalief di balik setir mobil.
“Bulan madu? Harus banget, gitu, kita bulan madu? Gue masih banyak kerjaan. Gue mau negosiasi sama butik baju muslim yang baru launching buat endorse gamis di TikTok,” elak Aleena.
“Wah, tapi gue udah dapat jatah cuti buat bulan madu. Sayang, kan, kalau nggak kepake,” sahut Kalief kecewa.
“Ya udah, deh. Daripada cutinya mubazir, gimana kalau kita bulan madunya ke konser musik aja? Bayangin, kita bisa nonton band favorit gue sambil nge-dance bareng! Pasti seru banget!" Aleena yang sebelumnya lemas, mendadak bersemangat.
"Konser musik? Elu nggak capek apa habis acara nikahan pergi ke konser? Kalau gue, mendingan kita istirahat ke tempat yang lebih tenang, kayak Bali atau Thailand. Bisa sambil menikmati pemandangan pantai sambil minum kelapa muda, romantis gitu."
Aleena menjulurkan lidah. "Romantis? Elu kira kita lagi syuting sinetron? Gue mah lebih suka yang seru-seru, daripada cuma duduk di pantai sambil bengong! Bosen!"
Setelah berdebat panjang lebar, Kalief akhirnya tidak bisa menahan emosinya. "Aleena, bisa nggak sih elu serius dikit sama pernikahan ini? Ini bukan main-main, Na!"
Aleena terdiam. Ia tidak menyangka Kalief akan marah sebesar ini.
"Maaf, Lief. Gue nggak bermaksud meremehkan pernikahan kita," ujar Aleena pelan.
"Gue tahu elu nggak bermaksud, tapi sikap lu bikin gue kesal," kata Kalief.
Aleena mengangguk. Ia merasa bersalah. Perjalanan menuju rumah Aleena mereka habiskan dengan saling diam.
***
Malam harinya, Aleena terduduk sendirian di kamar. Ia memikirkan semua yang telah terjadi beberapa hari terakhir. Terbayang lagi oleh Aleena pertengkaran-pertengkarannya dengan Kalief. Ia mulai ragu dengan pernikahannya. Belum menikah saja ia sudah merasa kehilangan kebebasan.
“Habis nikah, gue bakal bahagia atau justru mati gaya?” pikir Aleena kesal.
Bab 3: Nikah Atau Sirkus
“Ke mana semua orang?” kata Kalief bingung, saat dia memasuki ruangan yang seharusnya menjadi ruang rias pengantin di hotel Trans Luxury Hotel yang mereka pilih sebagai lokasi pernikahan.
Kalief mengecek arloji, meyakinkan diri bahwa dirinya tidak salah waktu. Pukul 06.00 pagi. Semestinya Aleena sudah mulai dirias, mengingat acara akad nikah akan dilaksanakan pukul 09.000 pagi yang dilanjutkan dengan resepsi pernikahan.
“Mungkin periasnya datang terlambat? Hujannya masih deras sejak sebelum Subuh,” sahut Widuri yang menemani Kalief ke ruangan rias pengantin.
“Tapi seharusnya Aleena sudah ada di ruangan ini. Di mana dia?” tanya Kalief gelisah.
“Coba Mama cek ke kamarnya,” kata Widuri lagi, sambil bergerak ke arah kamar tempat Aleena dan keluarganya menginap.
Keluarga Kalief dan Aleena sengaja menyewa beberapa kamar hotel sehari sebelum pernikahan untuk memudahkan akses ke lokasi pernikahan di Garden Terrace. Mereka memang memilih konsep pernikahan taman.
“Aku ikut, Ma.” Kalief menyusul ibunya yang sudah berjalan lebih dulu.
Kamar hotel tempat Aleena menginap terlihat sunyi.
“Aleena, Aleena!” panggil Widuri sambil mengetuk pintu.
“Aleena!” Kalief ikut mengetuk.
Di dalam kamar, Aleena terbangun dan terkejut. Ia melihat ibunya masih tidur di ranjang di sebelahnya. Ketukan ketiga di pintu membuatnya sadar bahwa hari ini hari yang penting. Dia melirik jam dinding.
"Ya, ampun! Kesiangan!" teriak Aleena sambil melompat dari tempat tidur. “Bu, bangun!” Aleena mengguncang tubuh gemuk ibunya sebelum berlari ke kamar mandi, berusaha membersihkan diri secepat mungkin.
Dengan kecepatan superhero, Aleena mencuci muka, menyikat gigi, berwudu, dan mandi. Ketika dia keluar dari kamar mandi, ia melihat ibunya sudah bangun dan membukakan pintu.
“Kami kesiangan!” seru Dina memberi pengumuman, padahal tidak perlu diucapkan pun semua orang sudah tahu.
“Gue belum sholat Subuh!” lapor Aleena kepada Kalief yang memasuki kamarnya bersama Widuri.
Tanpa menunggu jawaban Kalief, Aleena meraih mukena dan melakukan sholat kilat. Aleena baru saja melakukan salam ke kiri saat ibunya keluar dari kamar mandi, bersiap untuk sholat juga.
“Cepet banget sholatmu, Na,” tegur ibunya.
“Iya, Bu. Kan, aku sudah lama belajar,” jawab Aleena kalem.
“Cepat, kita ke ruangan rias,” ajak Widuri.
Aleena berjalan setengah berlari bersama Widuri dan Kalief menuju ruang rias. Di perjalanan, barulah Kalief mengabarkan. “Periasnya tadi belum datang.”
“He?” Aleena bengong, merasa sia-sia sudah terburu-buru sedari tadi. Apa yang bisa ia lakukan kalau periasnya saja belum datang?
“Semoga sekarang sudah,” sahut Widuri cepat-cepat, soelah mengetahui isi kepala Aleena.
Aleena yang sempat menghentikan langkah dan menatap Kalief dengan mata membola, kembali meneruskan berjalan mendengar ucapan Widuri. Namun, sesampainya di ruangan rias, perias pengantin yang sudah dipesan belum juga datang. Alih-alih, mereka malah melihat Nina yang celingukan sendirian.
“Sepi banget? Ini ruang rias apa kuburan?” seloroh Nina. Namun, tidak ada yang tertawa.
Tiba-tiba, ponsel Widuri berdering. Widuri membaca nama pemanggil sekilas, lalu buru-buru menerima panggilan. “Halo? Apa? Nggak bisa datang?!” Terdengar nada panik di dalam suara Widuri.
Aleena dan Kalief bertukar pandangan. Kecemasan tergambar nyata di bola mata mereka.
“Periasnya nggak bisa datang. Dia kejebak macet dan banjir di daerah Bale Endah!” kata Widuri dengan raut wajah panik.
“Duh, gimana, dong?” kata Aleena panik. Tak mungkin mencari perias lain dalam waktu sesingkat ini. Ia juga gak mungkin merias dirinya sendiri. Bayangan dirinya bersanding di pelaminan tanpa make up membuat perutnya mendadak mulas.
“Gimana kalau elu dandan sendiri?” Kalief memberi solusi.
Aleena memelototi Kalief. Mengapa Kalief memberi usul hal yang ia takutkan sejak tadi?
“Ehem! Maaf ngenganggu obrolannya. Gue bisa bantu. Gue pernah bantu-bantu Uwa gue yang make up artist pas ada acara nikahan. Kalau elu pada percaya--”
“Gue percaya!” potong Aleena dan Kalief hampir bersamaan. Mereka saling melirik.
“Buruan rias gue! Untung kosmetik dan alat make up sudah dibawa Teteh periasnya dari kemarin,” kata Aleena sambil melirik seperangkat peralatan make up, kosmetik, dan cermin rias besar di sudut ruangan.
“Kalau gitu gue mau ganti baju raja sehari dulu,” timpal Kalief, bersiap keluar dari ruangan.
Tanpa ba bi bu lagi, Nina langsung beraksi.
"Na, seharusnya gue nggak perlu jadi hero di hari pernikahan lu," kata Nina sambil menata rambut Aleena. "Tapi ya sudahlah, kita berusaha agar hari ini nggak jadi drama."
***
“Cepat, cepat!” Suara seorang bapak-bapak menarik perhatian Kalief dan Widuri yang baru keluar dari ruangan rias.
“Ada apa, Pak?” tanya Widuri dengan perasaan tidak enak.
“itu, Bu. Dekorasi pernikahan di Garden Terrace ditiup angin kencang. Semuanya terbang. Maaf, permisi.” Bapak bersetelan jas rapi yang dicegat Widuri pamit, lalu pergi dengan setengah berlari.
“Dekorasi pernikahan terbang?” Widuri dan Kalief bertukar pandangan.
“Jangan-jangan--” Widuri tak meneruskan ucapan.
Mereka bergegas menuju lokasi Garden Terrace. Betul saja. Hujan deras merusak dekorasi di taman. Bunga-bunga cantik yang seharusnya menghiasi area gerbang masuk yang tadinya mirip pemandangan negeri dongeng, sekarang rontok mengotori tanah. Taplak-taplak meja berhias vas rangkaian bunga mawar basah dan terbalik.
“Hancur semua!” seru Widuri sambil memegangi kepala. Seketika tubuhnya oleng, dia pasti jatuh bila tidak ditangkap oleh Kalief.
"Kita bisa membereskan semuanya sebelum acara dimulai. Ibu tenang saja,” kata bapak yang tadi mereka temui. Entah bagaimana dia sudah berada di sisi Widuri.
Setelah rangkaian drama pagi itu, akhirnya Aleena siap dengan dandanan dan gaun pengantinnya. Kalief pun sudah tampan dengan setelan jas berwarna senada dengan gaun Aleena. Hujan sudah berhenti, menyisakan tanah basah di bawah sepatu setiap orang.
Tibalah saatnya acara ijab kabul. Ayah Aleena sudah duduk di belakang meja kecil, ditemani oleh penghulu dari KUA. Dua saksi pun sudah menempati posisinya masing-masing. Kalief mengambil tempatnya di depan ayah Aleena. Dia yang awalnya tenang, sekarang terlihat gugup. Dia menelan ludah.
Ayah Aleena mengucapkan kalimat ijab dengan lancar dan mantap, dalam satu tarikan napas. Namun, begitu tiba giliran Kalief mengucapkan kabul ....
"Saya terima nikahnya Aleena binti ...." Kalief terdiam sejenak, memikirkan nama ayahnya Aleena. "Eh, siapa tadi nama Bapak?" Wajah Kalief memerah malu.
Semua orang di ruangan tertawa. Aleena yang duduk tak jauh dari meja akad, juga tersenyum menahan tawa. Sementara Kalief terlihat semakin malu ditertawakan banyak orang.
"Ayo, Kalief! Kan elu tadi sudah latihan!” seru Aleena dari tempat duduknya.
Niatnya ingin memberi dukungan, tetapi para tamu justru semakin keras tertawa. Wajah Kalief pun tampak semakin merah.
“Kalau belum lancar, berarti niatnya belum mantap,” canda pak penghulu dengan senyum simpul.
Orang-orang kembali tertawa. “Ini nikahan apa sirkus, sih?” bisik salah satu tamu kepada temannya.
“Maaf, bercanda, ya, A. Kalau belum lancar, boleh lihat teks, kok,” lanjut pak penghulu.
Akhirnya, Kalief berhasil mengucapkan kabul dengan lancar, berkat bantuan teks yang dipegangnya.
“Sah!” ucap kedua saksi setelah prosesi ijab kabul selesai.
Akhirnya, momen itu berhasil dilalui meski dalam tawa. Kalief dan Aleena sah menjadi suami-istri.
Acara dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Saat bersanding di pelaminan, Kalief mencolek pinggang Aleena.
“Gimana, sudah siap bulan madu?” bisik Kalief di telinga istrinya.
“Eh?” Seketika, Aleena membulatkan bola matanya. Jujur saja ia belum siap, apalagi memikirkan malam pertama. Atuuut!***
Bab 4: Malam Pertama Bikin Merinding
Pesta pernikahan sudah usai. Keluarga mereka yang kelelahan sudah beristirahat di kamar masing-masing. Mereka semua akan keluar dari hotel pada sore hari, ketika sudah cukup beristirahat. Hanya Kalief dan Aleena yang dibiarkan tinggal di kamar mereka untuk malam ini saja, di kamar Celebrity Suite.
“Gue mau mandi dulu. Gerah, nih!” kata Kalief sambil melepas baju pengantinnya, tepat di depan muka Aleena. Seketika, badan bagian atasnya terpampang bebas di hadapan Aleena.
“Aaa! Kalieeef!” teriak Aleena, sambil buru-buru menutupkan kedua telapak tangannya ke wajah.
Sontak, Kalief tertawa kecil. “Kenapa? Udah halal, kok!” godanya.
“Tetet aja gue malu. Sialan, lu!” umpat Aleena, detak jantungnya berdebar-debar, antara malu dan senang.
“Malu, kok, ngintip?” goda Kalief sambil tersenyum simpul.
Ia bisa melihat jari tengah dan jari telunjuk tangan kanan Aleena yang merenggang, menciptakan celah untuk mengintip.
“Ish!” Seketika Aleena memalingkan kepala, mengempaskan wajahnya yang memerah karena malu sudah dipergoki ke balik bantal.
Padahal bukan maksudnya mengintip. Jarinya tiba-tiba merenggang sendiri. Memang jari lucknut!
Kalief kembali tertawa kecil. “Ya, udah. Gue mau mandi dulu, biar wangi. Siapa tahu nanti elu jadi horny!” ledeknya.
“Sori, ya!” sahut Aleena dari balik bantal, tempat ia masih membenamkan wajah.
Setelah terdengar pintu kamar mandi ditutup dan air mengalir dari pancuran, barulah Aleena berani bangkit dari tempat persembunyiannya.
Aleena duduk di tepi ranjang, menatap ke arah jendela kamarnya yang menyajikan pemandangan kota Bandung dari atas. Suasana terasa romantis. Eh, romantis? Jantungnya berdegup kencang.
Gaun pengantin yang masih ia kenakan terasa berat, seakan menambah beban pikirannya yang berputar-putar. Pernikahan sudah dilangsungkan. Ia sudah resmi menjadi Nyonya Kalief Cannavaro. What’s next? Aleena langsung panas dingin dibuatnya.
Malam pertama. Kata itu terus-menerus melintas di benaknya, membuatnya gugup. Kalief yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat segar dengan piyama yang sudah siap dikenakan. Aleena mengintip sekilas ke arahnya dan segera berpaling, wajahnya memerah.
Kalief, sebaliknya, terlihat sangat santai. Tapi dia bukan lelaki yang tak peka—dia bisa merasakan bahwa Aleena sedikit tegang. Bahkan, cukup jelas terlihat dari cara istrinya itu menggigit bibir dan memainkan jari-jari tangannya.
Kalief duduk di samping Aleena. Mereka diam sejenak. Kesunyian itu, meski hanya beberapa detik, terasa panjang bagi Aleena. Dia merasa ada beban yang menekan. Apa yang akan terjadi malam ini?
Gi la! Dia merasa takut, bukan pada Kalief, tapi pada malam ini yang begitu besar maknanya.
Kalief menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, lalu terbatuk dibuat-buat. "Ehem!” Elu nggak mau ngomong sama gue, nih? Apa harus diem-dieman gini?"
Aleena tertawa kecil, gugup. "Gue … lagi bingung mau ngomong apa."
Kalief menoleh, melihat Aleena yang jelas-jelas canggung. Ia mencoba melucu, "Na, kamu kelihatan kayak lagi nonton film horor sendirian."
Aleena mencoba tersenyum, tapi justru cemberut yang muncul. "Iya sih... gue, eh, gue mau ngomong.”
“Ya, udah, sih. Ngomong aja.” Kalief tersenyum-senyum.
Dia menggigit bibir lagi. "Soal malam ini ... gue belum siap, Lief. Gue ... takut."
Kalief mengangkat alis, mencoba menahan tawa. "Takut? Sama gue?" Dia menepuk dadanya dengan gaya dilebih-lebihkan, "Coba, deh, lihat gue. Kalief si jago masak, dan—"
"Kalief!" Aleena menutup wajahnya dengan tangan. "Ini serius."
Kalief mendekat, menepuk lembut punggung Aleena. "Oke, oke, gue serius sekarang. Elu takut apa?"
Aleena menggigit bibir, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Gue ... belum siap buat ... ya, elu tahu, kan ... malam pertama kita."
Kalief terdiam sejenak. Ia menatap Aleena, dan akhirnya tersenyum, senyum yang begitu lembut. "Gue ngerti," katanya dengan suara rendah. "Gue nggak mau elu ngerasa terpaksa. Kita nggak harus buru-buru kok, ini bukan lomba."
Aleena meliriknya dari sela-sela jarinya yang masih menutupi wajahnya. "Serius? Elu nggak apa-apa?"
Kalief tertawa kecil, "Ya, gue nggak akan meledak, kok." Dia mengangkat bahu, pura-pura pasrah. "Kalau harus sabar, ya gue sabar. Lagi pula, gue tahu kok, elu belum siap buat ngelakuin itu karena kita dijodohin."
Aleena mulai tersenyum. "Maksud gue, gue tahu ini harusnya momen yang... ya, momen spesial. Kewajiban gue sebagai istri, tapi gue ngerasa... gue nggak bisa ngelakuinnya tanpa cinta. Sori."
Kalief menatap Aleena dengan lembut, lalu menjawab sambil menepuk dadanya lagi, kali ini lebih dramatis, "Elu pikir gue orang yang bakal maksa kamu buat ngelakuin kewajiban? Aleena, kalau elu bilang belum siap, ya nggak masalah. Kita bisa nonton Netflix atau tidur sambil pelukan juga udah cukup buat gue."
Aleena tertawa lagi, kali ini tawa yang lebih lepas. "Nonton Netflix di malam pertama? Kalief, elu aneh."
"Ya, terus kenapa? Malam pertama bukan harus kayak yang dibilang orang-orang, kok." Kalief mengangkat bahu dengan gaya santai. "Mungkin malam pertama kita bakal diinget bukan karena... ya, elu tahuu, tapi karena kita nonton komedi romantis sambil makan snack."
Aleena memandang Kalief, matanya mulai berkaca-kaca tapi dengan senyum di wajahnya. "Kalief, elu ... Makasih, ya. Sudah mau ngerti aku."
Kalief menyentuh pipi Aleena dengan lembut. "Na, gue nikahin elu bukan cuma karena... hal-hal fisik. Gue nikahin elu karena sayang sama elu, apa pun yang terjadi. Kita bisa pelan-pelan, nggak usah buru-buru."
Aleena tertawa pelan, air matanya sedikit menetes. "Untung gue nikah sama sobat sendiri, coba kalau sama orang lain."
Kalief mendekat, mencium kening Aleena dengan lembut. "Untung gue nikah sama elu, lucu, cantik, dan agak aneh kayak kamu."
Aleena tertawa sambil mengusap air matanya. "Ih, jahat banget, deh!"
Kalief tertawa keras, kemudian berdiri dari tempat tidur. "Oke, gimana kalau kita pesen pizza aja? Malam pertama versi kita, makan pizza sambil nonton film komedi."
Aleena terbahak. "Pizza? Malam pertama makan pizza?"
Kalief mengangguk dengan semangat. "Kenapa nggak? Cuma kita yang bakal inget malam pertama kayak gini, dan itu bakal jadi cerita paling kocak yang bisa kita ceritain ke anak-anak kita nanti."
Aleena tertawa, lalu menghela napas lega. "Makasih, Kalief."
Akhirnya, fix malam itu mereka cuma menonton sambil makan pizza. Aleena bisa tenang sementara. Namun, masih ada kekhawatiran di hatinya. Apa mereka bakal kayak gini selamanya? Apa bisa Kalief menahan diri di malam-malam lainnya?
---
Bab 5: Rumah Atau Warung?
Aleena dan Kalief sepakat untuk menunda malam pertama dan bulan madu. Bukan karena tak ada dana, melainkan karena mereka berdua sama-sama sadar bahwa cinta belum sepenuhnya hadir dalam pernikahan mereka. Keduanya setuju untuk fokus membangun kedekatan terlebih dahulu.
Keputusan itu mengundang rasa heran dari ibunya Kalief. Widuri mengetahui keputusan itu pada hari pertama setelah pernikahan, pada saat mengantarkan anak semata wayang dan menantunya pindah ke rumah kecil di daerah Setiabudi, sebuah rumah mungil yang Kalief beli dari temannya yang memutuskan pindah ke kawasan Summarecon.
“Kalief, kalian kapan mau bulan madu? Biasanya orang baru nikah langsung berangkat, kalian malah santai. Apa belum tahu mau ke mana?” Widuri duduk di ruang tengah sambil mengamati Aleena yang sibuk dengan ponselnya.
Kalief tersenyum canggung. “Kami masih bikin rencana, Ma. Mungkin bukan sekarang, masih nunggu saat yang tepat.”
Widuri menaikkan alis, terlihat keheranan sekaligus penasaran. “Ditunda? Kenapa? Kan, kamu udah ambil libur cukup lama buat acara nikahan. Apa yang ditunggu-tunggu lagi?”
Aleena mengalihkan pandangan sejenak dari ponselnya “Iya, Ma. Aku lagi banyak kerjaan endorse di TikTok, nggak bisa ditunda. Jadwal padat banget, lagi banyak brand yang minta kerjasama.”
Widuri terdiam sejenak, wajahnya jelas menunjukkan kurang setuju. Dia menghela napas kecil, tapi memilih untuk tidak langsung mengomentari alasan Aleena.
“Apa Dina sudah tahu hal ini?” Widuri menyebut nama ibunya Aleena.
“Sudah, Ma. Ibuku terserah aku saja,” jawab Aleena yang sudah kembali menatap layar ponselnya.
Widuri memandang Kalief, seolah-olah menginginkan jawaban yang lain. “Hm, kerjaan di TikTok, ya. Kapan selesainya kerjaan online kayak gitu?”
Kalief yang merasa situasi agak tegang, segera menengahi. “Kami nggak akan lama-lama menunda, Ma. Rencananya, kami akan bulan madu di sekitar Bandung dulu. Ada banyak tempat romantis juga, sekalian biar deket dari sini. Baru nanti, setelah semua urusan beres, kita pergi ke tempat lain yang lebih jauh.”
Widuri kembali terdiam, lalu melirik ke sekeliling rumah, mencoba menetralkan perasaannya yang kurang setuju dengan keputusan anak dan menantunya.
“Rumah ini juga masih kosong, masih perlu diisi dulu, ya?” Nada suaranya sedikit melembut.
“Iya, Ma. Makanya, kami prioritaskan menata rumah dulu. Mau pelan-pelan beresin barang-barang dan beli yang kurang, biar nyaman juga tinggal di sini.” Kalief menyahut cepat.
Aleena kembali meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menatap ke arah Kalief dan ibunya dengan senyum tipis.
“Betul, Ma. Kami mau beresin rumah dulu, beli gorden baru dan furnitur. Setelah itu, baru mikirin bulan madu, biar tenang selama pergi dan nggak mikirin rumah yang kosong begitu pulang.” Aleena tertawa kecil.
Widuri mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih menyiratkan sedikit kekecewaan. “Yah, kalau gitu, Mama nggak akan cepat punya cucu, ya.”
Kalief dan Aleena saling melirik sekilas, agak rikuh dengan arah pembicaraan, sehingga tak ada yang berani menanggapi lebih jauh.
Setelah sunyi selama beberapa menit, Kalief berdeham. “He he, sabar dulu ya, Ma. Satu-satu dulu. Rumah, bulan madu, nanti baru cucu.”
Aleena terkekeh kecil. “Iya, Ma. Semuanya akan ada waktunya, kok.”
Ibu Kalief hanya tersenyum tipis, sementara Kalief dan Aleena saling melempar senyum kecut.
“Okelah kalau memang itu keputusan kalian. Mama pulang dulu, ya. Jangan sungkan kalau ada perlu apa-apa, bilang aja sama Mama,” kata Widuri sebelum pergi dari rumah Kalief dan Aleena.
“Baik, Ma.” Aleena melompat sigap, mengantarkan ibu mertuanya sampai ke depan pintu. Tak lupa ia membalas lambaian tangan Widuri saat mobil yang membawa Widuri melaju.
***
Rumah itu menjadi awal baru bagi mereka, meskipun bagi Aleena, rumah ini lebih seperti tempat berkumpul yang seru, sedangkan Kalief melihatnya sebagai tempat perlindungan yang damai.
Pada hari kedua setelah menikah, rumah itu sudah mulai terasa penuh kehidupan. Bukan karena kehadiran cinta di antara mereka, tetapi karena rumah langsung dipenuhi oleh kehadiran teman-teman Aleena. Kalief yang terbiasa dengan suasana tenang mendapati dirinya terheran-heran dengan kondisi yang ia hadapi. Cuti bulan madu harus ia habiskan menemani Aleena bersama para bestienya.
“Ini rumah apa warung?” batin Kalief, agak kesal.
Sampai cuti menikah Kalief selesai, perilaku Aleena tidak berubah. Suatu sore, Kalief pulang dari kantor dan begitu membuka pintu, ia terkejut melihat ruang tamu mereka penuh dengan sekelompok gadis yang tertawa-tawa dan mengobrol. Teman-teman Aleena tampak bersantai, beberapa duduk di sofa, yang lainnya bersandar di dinding sambil memainkan ponsel.
“Ya ampun, ini rumah atau warung kopi?” tanya Kalief cukup keras dengan nada bingung.
Aleena yang sedang duduk di tengah-tengah temannya langsung menjawab dengan santai, “Ya, fungsinya rumah, kan, buat teman-teman juga. Jangan kaku amat, Lief!”
Kalief menghela napas panjang. Baginya, rumah seharusnya menjadi tempat yang tenang, tempat melepas penat setelah lelah bekerja seharian. Namun, jelas Aleena melihatnya sebagai tempat berkumpul. Aleena memang terbiasa hidup bebas. Baginya, berkumpul dengan teman-teman adalah bagian dari rutinitas yang menyenangkan. Sementara Kalief, yang memiliki sifat lebih tertutup, merasa suasana seperti ini mengganggu ketenangannya.
Kalief memberi kode agar Aleena mengikutinya ke ruangan lain. Aleena menurut dengan sikap ogah-ogahan.
“Gue cuma pengen kasih tahu, rumah ini bukan buat semua orang datang kapan aja. Elu kan, tahu, gue butuh istirahat setelah kerja,” kata Kalief berusaha menjaga nada bicara.
“Tapi, Lief, ini kan rumah kita berdua, bukan cuma rumah elu,” balas Aleena sambil tersenyum. “Gue juga butuh bersosialisasi. Elu gak pengen gue kesepian, kan?”
Kalief terdiam sejenak, mencoba memahami cara berpikir Aleena. “Tapi, bisa gak elu kasih tahu gue dulu kalau mau undang teman? Jadi gue bisa siap-siap juga.”
Aleena mendesah kesal. “Elu, tuh, terlalu serius, Lief! Santai aja. Lagi pula, mereka teman-teman lama gue.”
Tanpa mereka sadari, suara obrolan mereka semakin keras dan terdengar oleh teman-teman Aleena. Salah satu teman Aleena, Dini, memyelutuk dengan candaan. “Kalief, santai aja, Aleena nggak akan biarin elu sendirian, kok! Malah, nanti dia ajak elu ikut pesta-pesta bareng kita!”
Semua orang tertawa, kecuali Kalief yang hanya tersenyum kaku. Ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Kalief mengalah. Lagi pula, ia sudah lelah setelah seharian bekerja. “Kalau gitu, sok terusin ngobrolnya. Gue ke dalam dulu buat bersih-bersih.” Kalief masuk ke dalam kamar.
Pertengkaran kecil itu tidak selesai di situ. Aleena terus saja mengundang teman-temannya datang kapan saja tanpa pemberitahuan. Kalief yang terbiasa dengan ketenangan mendapati dirinya sering terganggu oleh kebiasaan Aleena tersebut, sedangkan Aleena menolak untuk mengerti. Aleena sendiri merasa Kalief terlalu mengatur dan berusaha mengontrol hidupnya.
Suatu malam, setelah teman-teman Aleena pulang pada pukul 10 malam, Kalief kembali mengungkit topik yang sama.
“Elu tahu nggak, Na? Rumah ini jadi nggak nyaman buat gue. Setiap hari selalu ada orang yang datang, gue bahkan nggak bisa duduk tenang di ruang tamu gue sendiri.”
Aleena, yang sedang membereskan gelas-gelas kosong di meja, meletakkan pecah belah itu dengan sedikit kasar. “Elu, tuh, suka mempermasalahin hal sepele, Lief. Gue juga punya hidup sendiri. Gue nggak bisa ngunci diri kayak elu!”
“Bukan masalah ngunci diri atau nggak, tapi ini soal kenyamanan bersama. Kita tinggal berdua di sini, dan harusnya kita saling menghargai. Gue juga butuh ruang, Na. Bukan berarti gue nggak suka teman-teman elu, tapi… tahu batasan aja.”
Aleena menghentikan aktivitasnya dan memandang Kalief dengan tatapan tajam. “Elu tuh egois, Lief. Bukannya gue udah bilang mau nikah sama elu tapi jangan ganggu hidup gue? Masa semua harus sesuai keinginan elu.”
Kalief menggeleng lemah, merasa kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat. “Gue inget, kok. Gue cuma mau kita berdua nyaman di sini, bukan hanya elu atau gue. Itu aja.”
Aleena menatap Kalief dengan marah. “Kalau elu nggak suka teman-teman gue, bilang aja terus terang. Elu nggak usah muter-muter gini!”
Kalief mendesah panjang. “Bukan gitu, Na. Elu nggak ngerti apa yang gue coba jelasin.”
“Ya, karena elu tuh selalu bikin hal kecil jadi masalah besar! Gue nggak mau hidup terkekang, Lief! Ini yang gue nggak suka dari pernikahan. Kalau elu terus kayak gini, lihat aja, gue bakal undang lebih banyak teman setiap hari biar kamu elu sadar!” seru Aleena sambil melempar lap piring yang ada di tangannya ke atas meja. “Gue ini nikah sama suami apa satpam rumah?” gerutunya kesal
Aleena masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu keras-keras. Terdengar anak kunci diputar dari dalam.
Kalief hanya bisa berdiri terdiam di ruang tamu. Bunyi pintu yang tertutup keras terdengar memantul di dinding rumah kecil itu. Ia ingin mengejar Aleena, tapi ia merasa terlalu lelah untuk melanjutkan argumen yang sama berulang kali.
“Nikah belum sebulan, udah harus tidur di luar. Apes,” gumamnya lemas.
---
Apakah Aleena dan Kalief akan menemukan cara untuk menyatukan dua dunia yang begitu berbeda? Atau konflik ini hanya akan menjadi permulaan dari pertengkaran yang lebih besar?
Bab 6: Biar Imbang
Pagi itu, suasana dapur rumah Aleena dan Kalief terasa lebih hening dari biasanya. Aleena, dengan wajah yang masam dan bibir cemberut, menyiapkan sarapan di meja makan. Sepiring roti panggang, telur dadar, dan segelas kopi hitam sudah tersaji, namun raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan semangat seperti biasanya.
Kalief memasuki dapur dengan senyum lebar, berharap bisa memulai hari dengan obrolan santai bersama istrinya. "Pagi, Na. Harumnya kopi buatan elu bikin semangat nih," ucap Kalief sambil duduk di kursi makan.
Aleena hanya bergumam pelan tanpa melihat ke arah suaminya. "Hmm..."
Merasa ada yang janggal, Kalief mencoba mengajak ngobrol lagi. "Tadi malam tidur nyenyak nggak? Aku kayaknya mimpi aneh deh. Mungkin karena tidur di sofa." Kalief tertawa kecil.
Aleena tidak menanggapi, tangannya sibuk merapikan serbet di atas meja.
Kalief menghela napas. "Oh, pasti masih marah, ya? Mungkin nanti sore kita bisa makan malam di luar? Kayaknya seru."
"Enggak!" jawab Aleena tegas, kali ini sambil menyesap kopinya dengan ekspresi yang tak berubah.
Kalief menghela napas lagi, merasa usahanya sia-sia. "Gue ngerti elu masih marah soal kemarin. Tapi, jangan lama-lama marahnya, ya?"
Aleena hanya melirik sekilas tanpa menjawab. Mogok bicara.
Kalief akhirnya menyerah. "Oke, kalau elu lagi nggak mau ngomong ya nggak apa-apa." Dia mengambil sendok dan mulai menyantap sarapannya tanpa suara lagi, hanya bunyi dentingan sendok di piring yang terdengar di antara mereka.
Setelah beberapa menit, Kalief berdiri dan merapikan dasinya. "Gue berangkat dulu ya."
Aleena hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Sebelum keluar rumah, Kalief memandangi Aleena sejenak, berharap ada perubahan, tapi Aleena tetap diam. Akhirnya, Kalief pergi tanpa pamit lebih lanjut. Mau mencium dahi Aleena pun ia takut bakal ditolak.
Begitu pintu tertutup, Aleena duduk di meja makan, menatap cangkir kopinya yang setengah kosong. Kesal. "Apa sih dia, ngelarang-ngelarang aku ngajak teman ke rumah. Emang kenapa, sih?"
Tak lama kemudian, Aleena mengambil ponselnya dan langsung menelepon sahabatnya, Nina. "Nin, elu lagi sibuk nggak? Gue bete banget nih. Yuk jalan-jalan ke mal. Gue butuh hiburan."
***
Satu jam kemudian, Aleena dan Nina sudah berada di Paskal Hyper Square. Mereka berjalan di sepanjang deretan toko dengan langkah santai, Aleena masih menggerutu soal Kalief. "Dia tuh ya, belakangan ini kayak nggak suka kalau gue sering undang teman-teman ke rumah. Padahal kan nggak setiap hari, ehm, yah lima hari dalam seminggu, deh. Kadang gue juga butuh ngobrol sama orang lain selain dia."
Nina tertawa kecil sambil memandangi etalase sepatu. "Mungkin dia cuma butuh waktu buat istirahat, Na. Dia kan kerja kantoran, jadi waktunya habis di kerjaan. Beda sama elu yang freelance, waktu kerjanya bebas. Jadi wajar, kan, kalau rumah jadi tempat dia buat recharge energi. Kalau banyak orang di rumah, mungkin dia nggak ngerasa nyaman."
Aleena mendesah, merasa sedikit tersudut. "Iya, tapi gue juga kan nggak terus-terusan. Kadang-kadang aja. Masa segitunya sih?"
"Ya... semua orang punya batas kenyamanan sendiri. Mungkin elu harus coba cari keseimbangan, deh. Jadi, kamu masih bisa ngajak teman-teman, tapi jangan pas dia ada di rumah. Kasih dia waktu buat rileks juga," saran Nina sambil mencoba sepasang sepatu hak tinggi.
Aleena terdiam sejenak, mencerna nasihat sahabatnya itu. "Mungkin elu bener. Gue emang suka kelewat lama ngajak teman-teman main di rumah, sih."
Nina mengangguk, senyum simpul di wajahnya. "Lagian, nggak selalu harus kumpul di rumah kan? Kayak gini aja, kita bisa jalan-jalan ke mal atau kafe. Nggak perlu bikin ribet di rumah."
Aleena tersenyum, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengarkan saran dari Nina. "Iya, deh. Mungkin gue harus mulai lebih peka sama perasaannya juga."
Mereka akhirnya berhenti di sebuah restoran, makan siang bersama sambil terus bercanda dan menikmati waktu. Setelah makan, Aleena membeli sepasang sepatu yang sudah lama diincarnya. Sepulang dari mal, suasana hatinya jauh lebih riang dibandingkan pagi tadi.
Sampai di rumah, Aleena tersenyum sendiri sambil memandangi sepatunya. "Kayaknya sepatu ini cocok buat makan malam di luar, setelahnya gue bisa endorse di Tiktok. Aseeek, sekali mengayuh, dua pulau terlampaui."
***
Sore harinya, pada saat Kalief pulang ke rumah, dia tidak melihat Aleena menyambutnya. Sebaliknya, hanya tas plastik berlogo toko sepatu kenamaan di mal yang menyapanya di atas meja tamu.
“Ke mana Aleena? Apa dia habis belanja sepatu? Bukannya sepatunya udah satu lemari?” pikir Kalief heran.
Kalief memutuskan untuk mencari Aleena ke kamar, tetapi di sana pun dia tak menemukannya. Setelah berganti pakaian dan mandi, Kalief pergi ke ruang makan. Lagi-lagi, dia tak menemukan Aleena. Namun, suara musik dari taman belakang di dekat dapur menuntun langkah Kalief ke sana.
Betul saja! Kalief melihat Aleena sedang sibuk mengoceh di depan ponselnya. Kalief sudah bisa menduga, pasti Aleena sedang live TikTok.
Dengan sabar, Kalief menunggu Aleena selesai dengan aktivitasnya.
“Ehem!” Kalief sengaja terbatuk, saat Aleena menyimpan ponselnya.
“Eh, sudah pulang, Lief?” Aleena tersenyum.
Melihat itu, Kalief tahu suasana hati Aleena sudah lebih baik daripada saat dia tinggalkan tadi pagi.
“Na, kita bisa ngobrol bentar nggak?” Kalief memulai dengan nada hati-hati.
Aleena meliriknya. “Ngobrol apaan? Tumben baru pulang udah serius aja.”
Kalief tersenyum kecut, “Soal kemarin. Gue ngerti, elu butuh teman, dan gue nggak masalah kok mereka datang sesekali. Tapi, kita juga butuh waktu buat berdua. Masa tiap hari kayak ada warung di rumah? Gue cuma pengen ada sedikit ruang buat kita.”
Aleena menaikkan sebelah alis, tangannya menyilangkan dada. “Jadi, elu mau misahin gue dari bestie gue? Serius nih?” Senyum di wajah Aleena lenyap.
Kalief menahan napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Bukan gitu, Na. Maksud gue, bukan misahin. Gue cuma minta ada waktu khusus buat kita berdua juga. Kita kan baru nikah. Rumah ini juga baru, kita belum sempat nikmatin semuanya. Gue cuma pengen ada keseimbangan, itu aja.”
Aleena duduk diam sejenak, menatap Kalief seolah mencerna perkataannya. “Jadi, elu mau gue milih antara elu atau temen-temen gue?”
Kalief menggeleng cepat, “Bukan milih, Aleena. Gue nggak bakal pernah minta elu milih. Tapi kita harus atur waktu. Gue juga punya kebutuhan, bukan cuma soal kerja atau nonton bola. Kita kan pasangan. Harus ada waktu di mana kita berdua aja, biar kita bisa lebih deket. Kalau deket aja nggak, gimana kita mau--” Kalief tidak melanjutkan ucapannya, saat melihat Aleena yang melotot.
Aleena menarik napas panjang, lalu membuangnya. “Fine. Oke, gue ngerti. Tapi gue juga nggak mau kayak dikurung di rumah. Gue perlu sosialisasi, Lief. Gue nggak bisa cuma berdua terus sama elo, bisa mati gaya gue.”
Kalief tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Gue tau elu nggak bisa diem. Gini aja, gimana kalau kita bikin ‘ruang bebas’?”
Aleena masih kelihatan ragu. “Ruang bebas? Kayak apa tuh?”
Kalief mengangguk mantap. “Jadi ada hari di mana elu bisa undang teman-teman, tapi di hari lain itu waktu kita berdua. Misalnya, Sabtu bisa elu buat teman-teman dateng ke sini, bikin keributan, ketawa-ketiwi sepuasnya. Tapi di hari lain, kayak Jumat atau Minggu, itu buat kita aja. Deal?”
Aleena mendengkus, tapi akhirnya tersenyum tipis. “Hmm, boleh juga. Tapi ada syaratnya.”
“Syarat lagi? Apaan?” Kalief mengerutkan kening.
“Selain gue boleh undang temen-temen, elo juga harus kasih gue waktu buat nonton drama Korea maraton tanpa gangguan, setuju?”
Kalief terdiam sesaat, mencerna syaratnya yang tiba-tiba itu. “Oke, kalau gitu, gue juga punya syarat.”
Aleena mengerutkan kening, penasaran. “Apa?”
Kalief tersenyum licik, “Kalau elu bisa undang teman-teman, gue juga boleh ajak geng gue nonton bola di sini. Biar imbang!”
Aleena terbelalak mendengar usul itu. “What? Elu serius? Rumah kita bakal jadi stadion dong kalau gitu!”
Kalief tertawa lebar, “Gue kan cuma minta waktu juga buat seru-seruan. Lu undang temen, gue undang temen, fair kan?”
Aleena menggeleng sambil tertawa, “Oke, deal. Tapi gue nggak mau bertanggung jawab kalau rumah ini jadi chaos gara-gara temen-temen elu teriak-teriak pas nonton bola!”
Mereka berdua akhirnya tertawa bersama, suasana yang tegang di awal perlahan mencair. Kalief merasa ada kemajuan dalam obrolan mereka kali ini. Meskipun perbedaan mereka jelas, setidaknya ada jalan tengah yang bisa diambil.
“Oh ya, Na. Gue lihat di ruang tamu ada kantong plastik dari toko sepatu. Elu habis belanja?” tanya Kalief yang teringat dengan kantong di ruang tamu.
“Iya, Lief. Sebetulnya, tadi gue ke Paskal bareng Nina. Lihat ada sepatu lucu, terus gue beli, deh. Lumayan, sekalian buat konten endorse. Kenapa?” tanya Aleena tanpa beban.
“Bukannya sepatu elu udah satu lemari penuh, ya?” tanya Kalief sambil mengernyitkan dahi.
“Iya, sih. Tapi nambah satu sepatu lagi nggak masalah, kan?” sahut Aleena santai.
“Asal elu jangan jadi Imelda Marcos aja, Na,” ceplos Kalief.
“Maksud, Lu?” Giliran dahi Aleena yang mengernyit.
Bab 7: Ribut, Rukun, Rumit
“Nggak ada maksud, gue kan cuma becanda. Nah, sekarang siapa yang terlalu serius?” goda Kalief.
Aleena tersenyum tipis. Dia kurang yakin Kalief bercanda.
“Duh, gue capek, nih. Mau mandi dulu, deh. Nanti keburu Magrib.” Kalief berlalu dari hadapan Aleena yang masih bengong.
Malam itu, ketika mereka duduk santai di depan teve yang tidak ditonton –karena asyik dengan ponsel masing-masing-, Kalief mendadak mengecilkan volume teve yang sedang menayangkan film Troy.
“Na, gue mau ngobrol sedikit soal … keuangan kita,” Kalief mulai dengan hati-hati.
Aleena menoleh dengan sedikit terkejut. “Keuangan? Maksud lu apa? Kita kan baik-baik aja, Lief.”
Kalief menarik napas panjang. “Iya, tapi gue liat akhir-akhir ini kita agak boros. Lu juga udah mulai banyak belanja barang buat endorse-an, terus kita juga masih harus ngisi rumah baru kita. Gue khawatir kalau kita nggak mulai nabung, nanti bakal kesulitan.”
Ingatan Aleena langsung tertuju pada sepatu yang tadi siang dia beli. “Udah gue duga masalah sepatu bakal ada buntutnya,” kata Aleena di dalam hati.
Aleena memiringkan kepalanya. “Boros? Gue gak ngerasa sih, Lief. Semua yang gue beli itu kan buat kerjaan. Lo tau sendiri, barang-barang endorse itu kadang perlu modal juga.”
Kalief mengangguk. “Iya, gue ngerti. Tapi ada beberapa barang yang kayaknya bisa ditunda, kan? Apalagi kita juga belum bener-bener selesein semua urusan di rumah ini. Masih banyak yang harus diprioritasin.”
Aleena mengangguk-angguk, walaupun sebetulnya dia belum paham betul maksud pembicaraan Kalief.
“Coba kita hitung. Bulan ini, udah berapa banyak barang buat endorse yang lu beli?” Kalief menatap Aleena serius.
“Ehm ... ada berapa, ya?” Aleena berhitung di dalam hati.
Aleena sadar, tidak semua barang endorse itu dia beli dengan uang sendiri, tetapi menggunakan sebagian uang belanja dari Kalief. Aleena dihinggapi rasa bersalah, tetapi dia enggan mengakuinya. Gengsi, dong!
“Gue nggak pelit, Na,” Kalief kembali berbicara. “Tapi ini soal anggaran. Kita harus hati-hati, terutama sekarang. Kita baru mulai hidup bareng, nggak bisa langsung boros.”
Aleena mendengkus, “Ya ampun, ini bukan masalah boros. Ini uang belanja, bukan dana investasi! Lagian, endorse-an gue butuh modal juga. Gue harus keliatan keren, Lief. Penampilan itu segalanya!”
Kalief memutar bola matanya. “Penampilan segalanya? Ya, tapi nggak sampai segini juga, Na. Lihat ini!” Ia menunjuk sederet angka pada kertas di tangannya. “Ini semua untuk barang-barang endorse. Bulan ini elu udah beli sepatu, tas, bahkan bantal baru! Bantal endorse, serius?”
Aleena tersenyum tipis. “Itu bantal limited edition, tahu. Lagian, gue kan harus fotogenik. Kalau bantalnya bagus, semua jadi lebih estetis!”
Kalief menghela napas panjang, mencoba meredam rasa frustrasinya. “Na, kita baru aja mulai hidup berdua. Baru juga bulan pertama. Gue pengen kita bisa ngatur keuangan lebih baik. Elu bisa beli barang-barang endorse, tapi kita juga harus nyiapin buat kebutuhan harian, buat masa depan.”
Aleena mendengkus lagi, kali ini lebih keras. “Kenapa sih, elu mikirin masa depan terus? Kita kan hidup di masa sekarang, Lief. Nggak ada gunanya nabung terus kalau kita nggak menikmati hidup! Belum tentu juga kita hidup sampai besok,” gerutunya.
Kalief meletakkan kertas itu di atas meja. “Gue ngerti maksud lu, Na, tapi kita nggak bisa pakai semua uang belanja buat endorse. Harus ada batasan.”
“Batasan, batasan… Lagi-lagi soal batasan!” Aleena meraih bantal kursi, lalu meremasnya keras-keras. Kalief sampai bergidik membayangkan andai dirinyalah yang menjadi bantal itu.
“Elu mau gue pakai baju kawinan tiap hari kalau nggak beli baju baru? Serius, elu nggak mau lihat istri lu tampil maksimal?”
Kalief tersenyum lemah, berusaha menahan tawa. “Baju kawinan itu bagus, tapi harusnya dipakai di acara nikahan, bukan tiap hari, Aleena. Lagian, bukannya elu udah punya segunung baju buat endorse dari bulan lalu?”
Aleena berkacak pinggang, matanya menyipit menatap suaminya. “Kalau baju yang kemarin-kemarin, kan udah lewat. Udah out of date! Malu, dong pakai baju yang itu-itu lagi. Gue butuh yang terbaru buat konten, supaya engagement naik. Elu mau endorse-an gue berantakan, gitu?”
Kalief akhirnya tertawa, tidak bisa lagi menahan diri, saking frustrasi melihat sikap Aleena. “Aleena, serius deh, kita baru nikah sebulan, tapi masalah kita kayak udah nikah sepuluh tahun. Ini bukan soal endorse, tapi soal prioritas. Elu bisa tetap tampil keren tanpa harus bikin dompet kita bolong.”
Aleena memutar matanya, tapi kali ini lebih lembut. “Iya, iya, gue paham. Elu menang, deh. Tapi gue tetep nggak mau kelihatan kampungan di konten.”
Kalief menggelengkan kepala, masih tersenyum. “Terserah elu gimana caranya. Tapi inget, harus ada anggaran yang dipatuhi, jangan los gitu aja. Gimana kalau kita bikin kesepakatan soal batas anggaran maksimal?” tanya Kalief.
Tiba-tiba, ponsel Aleena berbunyi. Ia melihat layar ponselnya dan seketika wajahnya berubah serius. “Oh no…”
Kalief menoleh dengan cemas. “Kenapa? Ada apa?”
Aleena menatapnya dengan raut wajah khawatir. “Ini brand yang kemarin mau kasih job endorse ke gue. Mereka bilang gue harus beli produk mereka dulu sebelum kontraknya bisa jalan. Tapi… produknya mahal banget, Lief.”
Kalief menghela napas dalam-dalam. Masalah baru telah tiba, dan ia tahu ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mudah.
“Boleh nggak gue beli barang itu, Lief? Sekaliii ... ini aja. Setelah itu, gue janji bakal lebih hemat lagi!” rayu Aleena sambil mengacungkan dua jari, bersumpah.
“Justru kita harus mulai bisa menahan diri dari sekarang, Na. Kejadian kayak gini pasti bakal terulang lagi dan lagi dan lagi.” Kalief menggeleng tegas.
Aleena mendekat, tangannya menyentuh bahu Kalief dengan gaya manja. “Kalief, please… Ini demi masa depan karier TikTok gue. Kalau gue sukses, kita bisa liburan ke luar negeri kapan aja.”
Kalief menatapnya datar. “Na, kalau gini terus, liburan kita paling ke warung depan, karena uangnya habis buat beli bantal.”
Aleena langsung cemberut. “Jadi, gue nggak boleh beli barang ini, nih?” rajuknya.
“Pasti nanti akan ada kesempatan lain lagi,” hibur Kalief.
Wajah Aleena semakin masam. Tanpa bicara lagi, Aleena langsung pergi masuk ke kamar. Dan sama seperti malam kemarin, ia kembali membanting pintu kamar serta tak lupa menguncinya dari dalam.
“Ya, ampun. Masa gue harus tidur di luar lagi malam ini?” gumam Kalief sedih. “Tuhan, beri hamba kesabaran,” rintihnya.
Di dalam kamar, Aleena berbaring di ranjang sambil memandang langit-langit kamar. Hatinya masih panas dan rasanya ia ingin berteriak sekeras-kerasnya.
“Apaan, sih. Baru juga sebulan jadi suami, udah mau ngatur-ngatur hidup gue,” gerutu Aleena di dalam hati. “Lihat aja! Nggak ada yang bisa nyuruh-nyuruh seorang Aleena!”
Aleena mulai merasa bahwa hidup menikah tidak semudah konten TikTok yang biasanya ia buat.
Bab 8: Belanja Rahasia
Ketukan di pintu kamar terdengar pada saat Aleena baru keluar dari kamar mandi.
“Na, gue berangkat ke kantor dulu,” pamit Kalief dari balik pintu kamar yang terkunci.
“Iya!” sahut Aleena pendek, tanpa ada niat untuk membukakan pintu sama sekali.
“Elu nggak mau nyium tangan suami lu yang ganteng ini?” goda Kalief dari balik pintu.
“Ih! Kagak!” teriak Aleena spontan.
“Ya, udah, deh. Gue pergi kalau gitu. Ngambeknya jangan diterusin sampai sore, ya,” kata Kalief akhirnya.
Aleena tidak menjawab. Langkah kaki Kalief terdengar menjauhi pintu kamar.
Aleena duduk di depan cermin, memandangi wajahnya sendiri. Pikirannya melayang, mengingat pertengkaran dengan Kalief soal keuangan. Sebenarnya, ia tahu Kalief ada benarnya, tapi ya… dia nggak mau kehilangan kontrak besar di TikToknya. Bagi Aleena, akun TikToknya bukan sekadar sosial media atau mata pencaharian, tetapi karier yang sudah susah payah ia bangun semenjak beberapa tahun terakhir.
"Gue nggak bisa kehilangan kontrak itu!" gumam Aleena sambil memoles pelembab di wajahnya. “Gue harus beli itu produk, walaupun harus nguras tabungan!”
Sambil mendesah panjang, ia memutuskan untuk pergi ke mal tanpa sepengetahuan Kalief. "Kalau gue belanja diam-diam, dia nggak akan tahu, kan? Lagi pula, gue beli bukan pakai uang belanja, kok. Ini uang tabungan gue," pikirnya.
Aleena meraih ponselnya, segera menghubungi salah satu sahabatnya yang sama-sama doyan shopping, Kalista, untuk mengajaknya pergi bersama. Dalam beberapa menit, Kalista sudah siap menjadi partner in crime belanja rahasianya.
***
Di Summarecon Mall, Aleena dan Kalista berjalan menyusuri toko demi toko di sepanjang lorong. Aleena memandangi setiap etalase yang dilewatinya dengan penuh semangat, sambil menceritakan soal pertengkarannya dengan Kalief semalam.
Kalista mendengarkan semua kisah Aleena dengan santai, lalu memberi komentar dengan gaya sama santainya, “Lu tahu nggak, Na? Belanja itu seni. Jangan sampai suamimu jadi kurator yang selalu ngasih kritik.”
Aleena tertawa kecil. “Lu bener, Ta. Gue udah cukup stres ngadepin Kalief soal anggaran buat kerjaan gue. Tapi hari ini, gue nggak peduli. Gue harus belanja itu barang buat dapetin kontrak TikTok!” Tangan Aleena terkepal penuh tekad.
Kalista mengangguk setuju, “Yes, girl! Lu harus punya tujuan jelas, jangan mau diatur sama orang yang nggak ngerti apa-apa soal kerjaan lu.” Bukannya menenangkan, Kalista justru semakin memanas-manasi Aleena.
Aleena mengangguk setuju, termakan oleh ucapan Kalista yang memanjakan egonya. “Nih, kita udah sampai.” Aleena berhenti di sebuah toko baju besar.
Mereka masuk dan Aleena membeli blus yang bakal bahan konten di TikToknya. Setelahnya, Aleena dan Kalista masih menghabiskan waktu dua jam di toko pakaian besar itu buat cuci mata.
“Udah, yuk. Gue mulai laper, nih.” Aleena mengajak Kalista menuju kasir.
“Maaf, Teh. Kartunya tertolak,” lapor gadis kasir yang berwajah manis.
“Aduh! Kenapa, ya?” kata Aleena bingung bercampur malu. Apalagi di belakangnya banyak orang yang mengantre.
“Ada apaan, Na?” tanya Kalista yang berada di belakang Aleena.
“Kartu gue ditolak. Sial! Kenapa, ya?” bisik Aleena kepada Kalista.
“Itu kartu kredit apa debit? Kalau kredit, mungkin elu udah ngabisin plafonnya. Kalau debit, jangan-jangan isinya kurang?” balas Kalista, juga berbisik.
Dahi Aleena berkerut. Lalu, ia ingat bahwa kemarin baru saja membeli sepatu seharga lima ratus ribu. “Ya, ampun!” gumam Aleena panik.
“Iya, Ta. Duitnya kurang karena kemarin gue habis belanja,” bisik Aleena bingung.
“Elu ada kartu lain, nggak?” tanya Kalista.
Bagaikan ada secercah kilat menyambar di kepala Aleena. Ia ingat, kartu ATM Kalief yang khusus diberikan buat uang belanja bulanan masih ada di dompetnya.
Dengan luwes, Aleena mengeluarkan kartu dari Kalief ke hadapan mbak kasir yang sabar menanti bisik-bisik Aleena dan Kalista. Dengan senyum sopan, kasir itu menerima kartu yang disodorkan Aleena. Kurang dari dua menit, proses pembayaran selesai.
“Terima kasih. Datang kembali,” kata si kasir sambil menyerahkan kantong belanja berlogo toko baju yang sedang hype itu ke tangan Aleena.
Aleena melenggang keluar dari toko dengan gaya anggun. Ia melirik kantong belanja di tangannya, sambil berpikir. “Kalief nggak boleh tahu ini. Nggak boleh!” tekadnya di dalam hati.
"Semoga aja engangement gue makin naik dari konten ini,” doa Aleena sungguh-sungguh.
Kalista mengedipkan mata. “Exactly! Siapa tahu, nanti ada brand besar lain yang mau kasih kontrak endorse setelah ini.”
Aleena tertawa, merasa sedikit terhibur oleh logika sahabatnya. "Sekarang kita makan dulu, yuk. Udah laper banget, nih!” ajak Aleena.
Mereka menuju area taman luas yang menjadi tempat kios-kios makanan bermerek berada.
***
Setelah menghabiskan waktu beberapa jam, Aleena dan Kalista pulang. Tanpa sadar, Aleena sudah membeli beberapa barang lain dari mal. Beberapa dekorasi rumah yang lucu juga ikut dibelinya, ia ingat Kalief menyinggung soal mengisi rumah kemarin malam. Sebenarnya bukan dekorasi kecil yang Kalief maksud, tetapi Aleena menganggap pernak-pernik juga penting, karena ia menginginkan itu.
Sesampai di rumah, Aleena dengan santai meletakkan tas-tas belanjaan di atas meja. “Taruh sini dulu, ah. Nanti aja agak sore gue simpan di lemari. Semua barang ini bakal jadi rahasia gue. Kalief nggak akan pernah tahu,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Aleena berpikir masih ada waktu untuk menyembunyikan barang-barang itu sebelum Kalief pulang. Ia ingin beristirahat sejenak sambil meminum minuman dingin dari kulkas. Sambil tersenyum, ia merasa seperti seorang agen rahasia yang baru saja menyelesaikan misi.
Baru saja ia duduk di ruang tamu sambil menyalakan TV, pintu depan terbuka. Kalief –yang seharusnya ada di kantor pada jam 03.00 sore ini- berdiri di ambang pintu sambil memegangi kepala.
Aleena terbelalak. Saking kagetnya, ia sampai tidak bisa bergerak. Sudut matanya melirik tumpukan kantong plastik belanjaan yang masih berserakan di meja dan lantai ruang tamu.
“Assalamu ‘alaikum. Na, kepala gue pusing. Makanya gue--” Kalief tertegun melihat tas-tas yang berserakan di ruang tamu. Wajahnya yang sudah pucat, semakin terlihat kehilangan darah. “Apa-apaan ini, Na?” tanyanya dengan alis terangkat.
Aleena tersenyum kaku, jantungnya berdegup kencang. “Uh, ini… “ Aleena tahu percuma saja berbohong. “ ... barang buat endorse.”
Kalief menghela napas dalam-dalam, lalu menatap tumpukan tas di ruang tamu dengan tatapan tak percaya. “Elu serius, Na? Kita baru aja ngomong soal memperketat anggaran kemarin, dan elu ... yakin elu nggak memboroskan uang demi satu konten?”
Aleena menggigit bibir bawahnya, semakin merasa serba salah. “Sebetulnya ... Gue beli barang ini pakai uang belanja. Tapi, tenang! Ini investasi jangka panjang buat karier gue.”
Kalief melotot, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Investasi jangka panjang? Aleena, elu pakai uang belanja harian buat barang-barang yang bahkan nggak kita butuhkan! Setelah endorse beres, mau lu kemanain barang-barang ini?”
Aleena mengangkat bahu. “Jadi aset? Kalief, elu nggak ngerti gimana rasanya jadi influencer. Gue harus selalu up to date sama produk yang lagi viral. Kalau gue nggak beli barang buat endorse ini, gue bakal kehilangan peluang dapat kontrak gede.”
Kalief mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan diri. “Na, ini bukan cuma soal elu dapat proyek gede atau nggak. Ini soal kita berdua, soal masa depan kita. Uang saku harian itu bukan buat hal-hal yang spekulatif.”
Aleena cemberut. Ia merasa terpojok, tetapi tidak mau disalahkan. “Ya ampun, elu selalu mikirin uang buat masa depan. Ditabung atau nggak, rezeki mah udah ada yang atur. Memangnya para konglomerat negeri ini rajin nabung di masa mudanya makanya bisa kaya raya? Kan enggak gitu konsepnya!” Aleena mulai melantur, demi membela diri.
Kalief menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Gue nggak tahu harus bilang apa lagi. Jujur, gue kecewa banget, Na.”
Aleena tertunduk, hatinya sedikit teriris mendengar nada suara Kalief. Ia tidak berniat membuat suaminya marah atau kecewa, tapi keadaan sudah telanjur kacau.
Kalief, yang sudah terlalu lelah dengan situasi ini, ditambah sakit kepalanya yang semakin terasa berdenyut-denyut, menatap Aleena dengan pandangan serius. “Gue tidur di sofa lagi malam ini.”
Aleena terkejut. “Apa? Kalief, jangan gitu ….”
“Tolong, gue butuh istirahat,” potong Kalief sambil berjalan menuju sofa panjang dan berbaring di sana, menutup wajahnya dengan bantal kursi.
Aleena berdiri mematung, merasa bersalah dan sedikit sedih. Ia memandangi tumpukan tas belanjaan di sudut ruang tamu yang seakan-akan mengejeknya.
Bab 9: Duel Pengeluaran
Aleena berbaring di kasur sambil menatap langit-langit kamar. Setelah pertengkaran soal barang endorse kemarin, suasana antara dirinya dan Kalief masih terasa canggung. Kalief masih bersikap dingin, dan Aleena tahu ia salah.
Akan tetapi, Aleena tidak bisa menahan keinginannya untuk mendapatkan kontrak endorse dari merek baju terkenal. Siapa yang bisa nolak jadi brand ambassador di TikTok? Selain prestisius, cuannya juga menggiurkan. Sayangnya, Kalief nggak bakal ngerti hal-hal begitu.
“Oke, Aleena, lu harus cari solusi damai kali ini,” gumam Aleena, berbicara pada dirinya sendiri.
Dengan tekad untuk memperbaiki suasana, Aleena bangkit dari kasur dan menghampiri Kalief yang sedang duduk di ruang tamu, fokus pada laptopnya.
“Kalief,” panggil Aleena dengan suara ragu.
Kalief melirik sekilas, kemudian kembali fokus ke layar. “Apa?” jawabnya singkat.
Aleena menghela napas dalam. “Gue tahu kemarin gue salah. Gue keburu napsu soal endorse sampai bikin keuangan kita morat-marit. Tapi, gue nggak mau masalah ini berlarut-larut. Gimana kalau kita coba bikin anggaran bulanan bareng-bareng?”
Kalief menutup laptopnya dan memandang Aleena. “Anggaran bulanan?”
Aleena mengangguk. “Iya. Biar gue tahu batasan belanja gue, dan elu nggak perlu khawatir tiap kali gue belanja.”
Kalief mendengkus. “Oke, kalau elu serius. Tapi ingat, Aleena, ini tentang masa depan. Kita nggak bisa hidup boros terus.”
Aleena tersenyum lega melihat Kalief bisa diajak kompromi. “Deal!”
***
Malam harinya, mereka duduk di meja makan dengan beberapa kertas di depan mereka. Kalief sudah menyiapkan daftar kebutuhan bulanan, sedangkan Aleena dengan notebook pink-nya bersiap mencatat hal-hal yang menurutnya penting.
“Kita mulai dari kebutuhan pokok: makan, transportasi, tagihan, dan tabungan,” kata Kalief sambil menulis.
Aleena mengangguk serius. “Setuju.”
“Sekarang giliran elu. Apa yang lu anggap penting?”
Aleena tersenyum lebar. “Pertama, skincare. Itu nggak bisa di-skip.”
Kalief memutar bola matanya. “Skincare?”
“Iya! Elu mau lihat gue jadi kering kayak ikan asin?” Aleena mendramatisasi.
Kalief tertawa kecil. “Oke, lanjut.”
Aleena menulis lebih banyak lagi. “Gue juga butuh baju baru. Ini penting buat imej gue sebagai influencer. Kalau gue tampil stylish, endorse-an bakal lebih banyak datang. Baju itu investasi!”
Kalief tersenyum setengah tak percaya. “Investasi?”
“Exactly!” Aleena mengangguk penuh kemenangan. “Baju keren bikin orang percaya sama gaya hidup gue. Jadi, kalau gue tampil trendi, makin banyak brand yang bakal nawarin kontrak.”
Kalief menggeleng. “Dua baju baru, nggak lebih.”
Aleena pura-pura merajuk. “Dua aja? Pelit amat.”
“Nggak pelit. Cerdas.” Kalief menjelaskan lebih lembut. “Kalau kita terus-terusan boros, kapan kita bisa nabung buat masa depan?”
Aleena terdiam sebentar, tahu bahwa Kalief ada benarnya. Mereka baru menikah, dan menabung memang hal penting. Tapi di sisi lain, ia nggak bisa sepenuhnya meninggalkan kesenangannya belanja. Aleena sadar ia shopaholic.
“Oke, gue janji nggak bakal boros lagi,” katanya, meski di dalam hati sudah ada rencana cadangan.
Mereka akhirnya menyelesaikan anggaran dengan kompromi di sana-sini. Aleena mengurangi item belanjanya, sementara Kalief merasa lega karena kesepakatan ini cukup masuk akal.
“Oke,” kata Kalief setelah mereka selesai. “Kita lihat sebulan ke depan.”
Aleena tersenyum, tetapi di dalam hatinya ada pikiran licik.
***
Beberapa hari kemudian, keinginan Aleena untuk berbelanja kembali muncul. Walaupun sudah sepakat dengan anggaran, dia tetap tak bisa menahan godaan barang-barang diskon.
“Oke, belanja kali ini harus cerdas. Kalief nggak boleh tahu,” pikirnya.
Aleena pun mulai berbelanja online secara sembunyi-sembunyi, memanfaatkan diskon dan voucher. “Ini bukan belanja, ini hemat!” gumamnya sambil memasukkan barang-barang ke dalam keranjang. “Kalief nggak akan pernah tahu.”
Malam tiba dan mereka duduk santai di ruang tamu.
“Na,” panggil Kalief tiba-tiba, memecah keheningan.
“Hm?” Aleena mencoba tampak biasa saja.
“Gue senang kita bisa sepakat soal keuangan. Rasanya lebih terkontrol sekarang,” kata Kalief, tersenyum tipis.
Aleena tersenyum kaku. Rasa bersalahnya mulai muncul. “Iya, aku juga.”
Kalief terlihat tenang dan tidak menyadari hal yang terjadi di belakangnya.
Di dalam hati, Aleena tahu, kegiatan belanjanya pasti akan terbongkar suatu saat nanti. Untuk itu, ia harus merancang sesuatu buat menutupi semuanya. Aleena berpikir keras.
***
Keesokan harinya, saat mereka sedang sarapan, Aleena datang dengan ide licik yang sudah dipikirkan sepanjang malam.
“Kalief, gimana kalau kita bikin tantangan?” tanyanya dengan nada ceria.
Kalief menoleh dan mengernyit, sedikit curiga dengan keceriaan Aleena yang nggak wajar. “Tantangan apa?”
“Tantangannya, siapa yang bisa lebih hemat bulan ini,” kata Aleena penuh percaya diri.
Kalief tertawa kecil. “Elu menantang gue dalam hal hemat? Serius?”
“Iya! Gue bakal buktiin kalau gue bisa lebih hemat dari elu!” balas Aleena penuh semangat.
Kalief menyipitkan mata. “Oke, gue terima. Tapi ingat, ini bukan soal siapa yang lebih sedikit belanja, tapi siapa yang lebih cerdas mengelola uang.”
“Deal!” Aleena menyeringai. Satu langkah kecil rencananya sudah berjalan.
***
Duel pengeluaran pun dimulai. Mereka mencatat setiap pengeluaran di papan tulis di ruang tamu. Kolom “Aleena” dan “Kalief” penuh dengan angka-angka pengeluaran harian.
Hari pertama berjalan mulus. Kalief, seperti biasa, mencatat pengeluarannya untuk makan siang dan transportasi. Aleena, di sisi lain, sudah mulai bermain trik. Ia membeli aksesoris seharga sepuluh ribu, lalu memamerkannya seolah mendapatkan barang diskon besar-besaran.
“Lief, lihat, nih! Gue dapat diskon 90 persen!” Aleena memamerkan struk belanja dengan senyum lebar.
Kalief memeriksa struk itu sambil tertawa kecil. “Diskon? Serius? Diskon itu kayak mantan, Na. Dari jauh kelihatan menggoda, tapi pas dideketin, cuma bikin nyesel.”
Aleena tertawa terbahak-bahak. “Ya, tapi kali ini gue yang untung besar!”
Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola yang sama. Kalief tetap rapi mencatat pengeluarannya, sedangkan Aleena semakin kreatif mencari celah. Suatu hari, Aleena bahkan berpura-pura membeli barang di e-commerce, tapi membatalkannya di menit terakhir.
“Elu tahu nggak, gue hampir belanja tadi, tapi karena diskonnya nggak cukup besar, gue nggak jadi beli. Lihat, gue hemat 100 persen!” katanya dengan bangga.
Kalief tertawa sambil menggeleng. “Na, itu bukan hemat. Elu nggak belanja sama sekali.”
Aleena mengabaikannya. Baginya, yang penting, dia sudah berada di jalur kemenangan menurut caranya sendiri.
***
Akhir bulan tiba. Saatnya menghitung siapa yang lebih hemat. Aleena dan Kalief duduk di ruang tamu dengan kertas catatan pengeluaran masing-masing di depan mereka.
"Oke, ayo kita lihat siapa yang menang," kata Kalief sambil membuka catatannya. "Total pengeluaran gue bulan ini adalah... segini." Ia menunjukkan sederet angka di kertas kepada Aleena.
Aleena melirik angka yang ditunjukkan Kalief, lalu tersenyum. "Wah, lumayan hemat. Tapi... tunggu sampai elu lihat punya gue."
Aleena membuka catatannya dan menuliskan semua pengeluarannya di papan. Namun, saat ia mulai menjumlah, wajahnya perlahan berubah. Ia menyadari bahwa pengeluarannya jauh lebih besar daripada yang ia kira.
Kalief menatap Aleena dengan senyum penuh kemenangan. "Gimana? Ternyata elu lebih banyak belanja, kan?"
Aleena tersenyum kaku. "Hmm... oke gue kalah kali ini, elu menang." Ia tertawa kecil, mencoba menutupi kekalahannya. “Tapi bulan depan, lihat aja!”
Kalief terkekeh. "Na, kita nggak butuh pemenang di sini. Yang penting, kita bisa mengatur keuangan bersama, supaya masa depan kita lebih baik."
Aleena mengangguk pelan. Kalief menepuk bahunya dengan lembut. "Kita belajar bareng. Ini soal kita berdua, bukan cuma soal siapa yang menang."
Bab 10: Anniversary Eks-petakuler
Sabtu malam itu, Aleena berdiri di depan cermin, mengenakan gaun satin hijau yang membuatnya tampak glamor. Lipstik warna mauve yang mewarnai bibirnya menambah kesan percaya diri. Sambil mengecek penampilannya, ia memanggil Kalief.
“Udah siap, belum, Lief?” teriaknya dari depan cermin.
Kalief muncul dengan kemeja kotak-kotak dan celana jin. Ia terbelalak melihat penampilan Aleena. “Ini pesta teman kuliah elu, ya? Bukan fashion show, kan?” sindirnya.
Aleena tertawa, menyadari kontras antara penampilan mereka. “Kalief, elu harus lebih stylish! Ini pesta glamor, bukan kumpul di warung kopi.”
Kalief menghela napas. “Kalau gue ikut stylish, orang bakal nyangka kita pasangan seleb. Biar elu aja yang glamor.”
Aleena sadar ia tidak bisa memaksa Kalief berpakaian sesuai seleranya, jadi ia membiarkan saja Kalief dengan pakaian kasualnya.
“Kalau gitu, hayuk cusss!” Aleena melangkah keluar kamar, sepatu hak tinggi yang dikenakannya berkelotak di ubin rumah.
Mereka tiba di Vesper Sky Bar & Lounge, tempat pesta berlangsung. Aleena langsung bergabung dengan teman-temannya, sementara Kalief merasa kikuk. Selain tidak ada yang dikenalnya, -karena mereka kuliah beda kampus-, pembicaraan teman-teman Aleena tentang gaya hidup mewah dan liburan di Santorini terasa tidak relevan baginya.
“Mereka semua ngomongin apa, sih?” gumam Kalief di sebelah Aleena.
Aleena yang mendengar itu, mencubit lengannya. “Udah, jangan sinis. Coba nikmati,” bisiknya.
Kalief berusaha mengikuti saran Aleena, tetapi raut wajahnya menunjukkan betapa terasingnya dia. Pesta masih berlangsung sampai menjelang tengah malam. Meski berusaha keras, Kalief tak bisa menikmati pesta itu. Dia mencari kursi di sudut dan menikmati kopinya, membiarkan Aleena bersenang-senang sendiri. Pesta ini bukan dunianya, dan ia merasa seperti tamu tak diundang di tengah percakapan yang tak bermakna.
Saat pulang, suasana di antara mereka tegang.
“Elu kok ngilang tadi, Lief?” tanya Aleena sambil cemberut, sementara Kalief mencoba menjelaskan. “Gue udah coba, tapi gue nggak cocok di pesta-pesta kayak gitu.”
“Gue tahu,” jawab Aleena. “Tapi gue cuma pengen kita bisa menikmati waktu bareng. Ini juga bagian dari hidup gue.”
Kalief menghela napas. “Gue nggak bisa paksain diri buat suka sesuatu yang nggak nyaman. Gue tetap dukung elu, cuma… gue nggak bisa berbaur dengan cara mereka.”
Aleena terlihat kecewa. “Elu nggak pernah coba ngerti gue, padahal gue udah berusaha masuk ke dunia elu, mengurangi kumpul-kumpul dan jalan-jalan.”
Setelah beberapa saat, Kalief berkata, “Maaf, Na. Tapi gue bener-bener gak bisa maksain diri.”
Sepanjang jalan, Aleena tak berkata-kata lagi. Mereka tiba di rumah dalam diam, dan malam itu berakhir dengan perasaan tidak nyaman. Kalief merenung, bertanya-tanya bagaimana mereka bisa menemukan jalan tengah di tengah perbedaan dunia mereka.
“Kalau kayak gini terus, kapan gue bisa unboxing dia?” keluh Kalief di dalam hati, sambil menatap Aleena yang tidur memunggungi dirinya.
***
Pagi hari Ahad. Kalief duduk di meja makan, menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya dengan ekspresi serba salah. Di depannya, Aleena sibuk memotong-motong steak ayam di piringnya. Kalief tahu, sikapnya di pesta kemarin masih membekas di hati Aleena, dan ia sudah siap untuk minta maaf.
“Gue tahu, kemarin malam gue kelewat kaku. Seharusnya gue coba lebih berbaur sama teman-teman elu. Maafin gue, ya? Gue janji, bakal berusaha menyesuaikan diri sama elu.” Kalief menatap Aleena dengan sorot mata penuh penyesalan.
Aleena mengangkat wajah dari piringnya, menatap ke arah Kalief. Sorot matanya melembut. Hatinya memang masih dongkol saat melihat Kalief yang menarik diri dari pesta semalam. Niat hati ingin mengenalkan suami, malah berakhir disangka masih jomblo. Namun, ia tahu Kalief bukan tipe orang yang senang bergaul di lingkungan sosialnya yang glamor. Setidaknya, Kalief mau berusaha untuk berubah demi dirinya.
Aleena mengangguk pelan. “Oke, gue maafin. Tapi elu harus janji buat lebih rileks di acara-acara kayak gitu, ya. Dan, gue juga bakal coba ngurangin deh hobi bersosialita.”
Kalief tersenyum lebar, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. “Deal! Dan buat buktinya, gimana kalau kita makan malam romantis malam ini? Kita ke Cafe D'Pakar.” Kalief menaikkan sebelah alisnya, mencoba memberi kode.
Aleena terkejut, tapi terlihat senang. “Makan malam romantis? Wah, tumben elu nggak mikirin anggaran lagi!” jawabnya sambil tertawa kecil.
Malam harinya, Kalief dan Aleena tiba di Cafe D'Pakar saat langit mulai berubah jingga. Suasana di kafe itu terlihat tenang. Udara terasa semakin dingin seiring malam yang mulai turun. Mereka mengambil tempat duduk di dekat pinggir, yang menyajikan pemandangan gemerlap lampu kota Bandung dari kejauhan.
Aleena memandang sekitar sambil menghirup udara segar. “Duh, romantis di sini. Gue suka!” katanya sambil tersenyum. “Ini pas banget buat kita setelah kemarin ribut soal pesta.”
“Makanya gue ajak elu ke sini,” kata Kalief lembut, sambil meletakkan tangannya di atas tangan Aleena. Ia berharap, sepulang dari kafe ini, mereka bisa menikmati suasana syahdu pengantin baru untuk menyempurnakan pernikahan mereka.
Sayangnya, belum lama mereka duduk dan memesan makanan, Aleena tiba-tiba melihat sekelompok orang mulai berdatangan, tampak seperti sedang mengadakan acara reuni. Suara obrolan mulai meningkat, dan tawa ceria dari meja sebelah menggema.
Aleena melirik ke arah keramaian tersebut. Ia terkejut ketika melihat seraut wajah yang ia kenal di tengah-tengah kelompok itu.
“Itu Ursa, bukan, ya?” ceplos Aleena spontan.
Ursa, mantan pacar Kalief yang pernah dijumpainya dulu. Aleena tidak pernah menyangka akan bertemu Ursa secara langsung, apalagi dalam momen yang seharusnya romantis ini.
Kalief, yang juga melihat Ursa, tampak tertegun. Ia berusaha tetap tenang, tetapi Aleena bisa melihat gerak-gerik gugup di wajah suaminya. Ia tampak meneguk air putihnya lebih cepat dari biasanya.
“Iya, kayaknya itu bener Ursa.” Kalief terus menatap Ursa yang tertawa bersama teman-temannya.
Aleena menekuk wajah. Ada perasaan tak rela di hatinya saat melihat Kalief lebih memerhatikan wanita selain dirinya. Ia mengangkat alis. “Wah, seru nih, makan malam romantis diiringi reuni mantan. Kurang greget apa lagi?”
Kalief tersenyum kaku. “Nggak gitu, Na. Ini cuma kebetulan.”
Tiba-tiba, Ursa menghampiri meja mereka. “Kalief! Lama nggak ketemu! Gimana kabar?” sapa Ursa dengan antusias. Ia tampak masih mengenal Kalief dengan sangat baik, dan jelas saja Aleena merasa semakin tidak suka.
Kalief berdiri setengah hati, memaksa diri untuk tersenyum. “Iya, Sa. Sudah lama banget nggak ketemu. Gue baik. Oh iya, kenalin, ini istri gue, Aleena.”
Aleena tersenyum tipis, menatap Ursa dari ujung rambut sampai kaki. Dia terlihat lebih menarik daripada terakhir kali Aleena melihatnya. Aleena merasa tersaingi, meskipun tak ada yang membandingkan mereka.
“Hai, Ursa. Senang ketemu lagi. Terakhir ketemu, dua tahun yang lalu, ya? Pas Kalief putus sama kamu” ujarnya dengan nada yang disengaja terdengar ambigu. “Lagi reunian? Dapat bonus ketemu mantan, seru, nih!”
Ursa tertawa canggung, sementara Kalief memalingkan wajahnya, jelas merasa tidak nyaman dengan situasi ini.
“Ah, nggak kok. Ini cuma reuni kecil-kecilan sama teman-teman lama. Nggak sengaja aja lihat Kalief,” elak Ursa.
Aleena memandang Kalief dengan senyum lebar yang menyembunyikan kecemburuan. “Oh iya, Kalief bilang kamu itu salah satu orang yang susah dilupain,” canda Aleena sambil tertawa kecil, yang membuat Kalief semakin salah tingkah.
Kalief langsung menyela. “Oke, oke, cukup. Ayo kita lanjut makan malamnya, Aleena,” katanya sambil menarik kursi Aleena agar duduk kembali.
“Gue ke sana dulu.” Ursa pun tersenyum tipis, lalu kembali ke kelompoknya.
Sayangnya, suasana hati Aleena sudah telanjur berubah. Sepanjang makan malam, Aleena tak bisa berhenti memperhatikan gerak-gerik Kalief yang terlihat tegang. Setiap tawa dari arah reuni itu membuat Aleena semakin curiga. merasa bahwa ada banyak hal yang belum diungkapkan Kalief tentang Ursa, seperti alasan mereka putus dan siapa yang memutuskan. Dan itu menggerogoti pikirannya. Dulu, Aleena tidak begitu peduli, tetapi sekarang dia adalah nyonya Kalief.
Sepulang dari Cafe D'Pakar, mereka pulang dalam keheningan. Aleena memilih untuk diam sampai tiba di rumah. Sesampainya di rumah, Aleena tak bisa menahan diri lagi.
“Elu tadi kenapa sih, Lief? Gue tahu ada sesuatu yang bikin elu gugup,” tanya Aleena tajam. “Apa lu masih belum bisa move on dari Ursa?”
Kalief menghela napas. “Ursa udah masa lalu. Aku udah nikah sama kamu, kan?”
“Tapi, kenapa elu tadi kelihatan canggung? Gue nggak buta, Lief. Ada yang elu sembunyikan,” tandas Aleena, matanya menatap Kalief dengan penuh kecurigaan.
Kalief mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Nggak ada yang perlu disembunyikan, Na. Gue udah bilang, Ursa cuma masa lalu. Gue janji, gue bakal jaga jarak dari dia.”
Namun, Aleena masih merasa belum puas. Malam itu, meskipun Kalief sudah berjanji untuk menjaga jarak, pikiran Aleena dipenuhi dengan kecemburuan dan kecurigaan. Di tengah malam yang sunyi, ia pun membuat keputusan yang tak terduga.
“Kalau Kalief nggak mau cerita, gue harus cari tahu sendiri,” gumam Aleena sambil membuka ponselnya. Ia mulai menyelidiki lebih jauh tentang Ursa dan hubungan masa lalunya dengan Kalief.
Sebuah perasaan gelisah mulai menyelimuti Aleena. Pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya belum terjawab, dan ia tak bisa membiarkan rasa cemburu ini begitu saja. Aleena memutuskan untuk menemukan jawaban, meskipun ia tahu risikonya besar.
Aleena berbaring di ranjang, mencoba memejamkan mata. Namun pikirannya masih dipenuhi oleh insiden di Cafe D'Pakar tadi malam. Tatapan Kalief yang gugup saat bertemu Ursa membuatnya tak bisa berhenti bertanya-tanya. Apakah Kalief benar-benar jujur? Apakah masa lalunya dengan Maya sudah sepenuhnya terkubur?
Kalief sudah tertidur di sampingnya, napasnya teratur dan tenang. Aleena menatap langit-langit kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, tiba-tiba ponsel Kalief yang tergeletak di meja sebelah berbunyi, sebuah pesan WhatsApp masuk. Pikirannya yang gelisah langsung terjaga.
Dengan gerakan hati-hati, Aleena melirik ponsel itu. Nama pengirim di layar membuatnya tertegun. Dari Ursa.
Aleena menahan napas, matanya terpaku pada pesan yang tertera di layar. ***
Lanjutannya bab 11-20 ada di postingan selanjutnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
