Kekasih yang Sempurna

0
0
Deskripsi

Biyanna ditunangkan dengan seorang pemuda yang luar biasa, namun dia lebih memilih kekasihnya yang sempurna. 

Aku menyelonjorkan kaki dengan santai di kursi pantai. Kupandangi deburan ombak di kejauhan yang berkejaran. Di saujana, arakan awan putih bergumpal indah. Langit abad ke-23 amat cantik.

Kunikmati pagi hari libur dengan mandi sinar matahari di beranda rumah. Aku tidak takut gosong oleh sinar ultraviolet A dan B. Sejak 150 tahun yang lalu, manusia telah menemukan tabir surya yang dipasang mengelilingi bumi di lapisan eksosfer. Sejak saat itu, manusia tidak pernah lagi menderita kanker kulit. 

Baru saja tanganku meraih gelas es jeruk di meja, ketika satu titik di jam tanganku berkelip. Seketika aku menghela napas segan. Mama menghubungiku. 

“Ya, Ma,” kataku. 

Jam tangan di pergelangan mengenali suaraku sebagai kode penerimaan panggilan. Seketika sinar terpancar dari piringan jam tangan, lalu sebuah citra dibangun di hadapanku. Mama muncul dalam bentuk hologram tiga dimensi. Beliau duduk di kursi goyang, benda kuno favoritnya dari masa lampau.

“Biyanna, Mama mau bicara serius,” ujarnya langsung tanpa basa-basi.

“Ya, Ma,” balasku malas.

Aku bisa menduga arah pembicaraan Mama. Selama enam bulan terakhir, hanya satu topik yang dianggap serius oleh Mama. Kekasihku.

“Mama tahu kamu merasa nyaman dengan Lorex, tapi dia bukan pasangan yang sempurna buatmu,” lanjut Mama.

Nah betul, kan? Lagi-lagi Mama mengusik tentang kekasihku, Lorex, lelaki bermata teduh dan suara sehangat mentari pagi.

“Soren adalah pasangan ideal buatmu, pilihlah dia,” tambah Mama.

Aku memutar bola mata. Untuk kesekian puluh kalinya, Mama menawarkan Soren padaku. 

“Apa kurangnya Soren? Secara genetika dia cocok denganmu. Apabila menikah, anak-anak kalian akan menjadi anak unggulan di muka bumi,” lanjut Mama lebih tegas.

“Ya, Ma. Aku tahu urutan pita genetika kami sangat cocok, tapi aku nggak punya rasa apa-apa buatnya. Kami hanya sahabat,” kilahku.

Mama mendengkus. Mamaku seorang ilmuwan di bidang rekayasa genetika. Dua puluh tahun yang lalu, beliau menemukan cara untuk mengendalikan susunan genetika pada pertemuan sel telur dan sperma. 

Dengan cara ini, janin yang terbentuk dan bayi yang lahir merupakan generasi bibit unggul. Cerdas, sehat, dan paling penting tidak memiliki kelainan mental akibat kelainan kromosom. 

Mama mengujicobakan penemuannya pada dirinya sendiri. Maka, lahirlah aku 18 tahun yang lalu. Aku merupakan hasil percobaan yang sangat sukses. Aku jenius, sehat, dan kuat. Di usiaku yang ke-18, aku sudah menjadi profesor di bidang robotika.

Semenjak saat itu, penemuan Mama diterapkan pada setiap pasangan suami istri yang melakukan program hamil. Semua anak-anak yang lahir sehat dan sempurna. Tidak ada lagi anak dengan cacat bawaan dan keterbelakangan mental. Membanggakan. Berkat terobosan besar Mama di bidang peningkatan kualitas hidup umat manusia, beliau dihadiahi Penghargaan Nobel.

“Mama menghargai perasaanmu, tapi kamu juga harus bersikap realistis. Sorenlah pasangan yang tepat buatmu, bukan Lorex,” kata Mama berargumentasi.

Memang sih, Soren jenius, baik, dan memiliki kesamaan minat denganku dalam ilmu pengetahuan. Soren seumur denganku. Dia pun seorang ilmuwan dan telah meraih gelar profesor di bidang astronomi. 

Ambisius merupakan kesamaan diantara kami. Jika aku menemukan gairah dalam pengembangan robot demi kemaslahatan manusia, maka Soren memiliki cita-cita menciptakan portal untuk menembus lapisan-lapisan langit, menguak entitas di balik keberadaan bintang-bintang. 

Kami sama-sama sibuk di bidang masing-masing. Kami sama-sama keranjingan pada keahlian yang digeluti. Kami tidak memiliki rasa satu sama lain. Titik.

“Hidup ini bukan hanya tentang hal yang realistis, Ma. Justru perasaan yang membuat kita bermakna dan bahagia,” balasku tak mau kalah.

“Boleh saja, tapi jangan sampai kamu yang dikendalikan oleh perasaan. Emosi impulsif justru akan membuatmu sengsara,” tambah Mama lagi.

Beginilah kami enam bulan belakangan. Tak habis-habisnya berdebat dan melontarkan argumentasi. Kadang aku merasa lelah, tapi aku tak mau menyerah.

“Jika kamu kurang puas dengan Soren, Mama bisa mencarikan pemuda lain yang urutan pita genetikanya cocok denganmu,” Mama memberi alternatif.

“Beri aku waktu untuk berpikir, Ma,” pungkasku, seperti perdebatan kami yang lalu-lalu.

Mama mendesah, lalu beliau lenyap dari hadapan. Aku mengembuskan napas lega. Perdebatan dengan Mama selalu membuatku tegang.

Perhatianku teralih. Tiba-tiba satu android dalam seragam tukang kebun datang, lalu memangkas rumput, menyapu, dan menyiram tanaman dan bunga di halaman rumah.

Tukang kebun ini merupakan salah satu dari tiga android milikku. Dua lagi bertugas memasak dan membersihkan rumah. Mereka pembantu yang sangat efisien. 

Aku bangkit dan beranjak ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap pergi. Aku ingin bertemu Lorex.

Bangunan besar di hadapan telah kuakrabi sejak dua tahun terakhir. Ke sinilah aku pergi setiap hari. Langkahku anggun saat masuk, membuat beberapa orang pegawai jaga terheran-heran.

“Selamat pagi, Bu,” sapa mereka yang berpapasan denganku.

“Hai,” kataku membalas sapa mereka seraya tersenyum.

Aku meneruskan langkah menuju ruang utama di bangunan ini. Sebuah ruangan besar dengan papan nama “Lorex. Konselor Utama” tertempel di pintu masuknya.

Aku mengetuk sekali dan langsung dibalas suara berat yang selalu kurindu. 

“Masuk,” kata Lorex dari balik pintu. Seketika pintu terbuka oleh kode suara Lorex.

Aku melangkah masuk disertai senyum cerah dan semringah, sementara pintu di belakangku menutup. Kutatap penuh-penuh Lorex di hadapanku. Betapa tampan dan sempurna ia. Mataku berbinar.

Lorex tertawa melihat tatapanku.

“Mengapa hanya diam? Kamu rindu padaku, kan?” ujarnya seraya tersenyum hangat.

Ah, dia selalu dapat mengenali perasaanku. 

Aku mendekatinya dan mengalungkan tangan di lehernya yang jenjang. Kami berciuman hangat dan lama. Telapak tanganku meremas rambut di belakang kepalanya, hingga tersentuh olehku sebuah tombol kecil diantara sela-sela rambut halus yang ditanamkan.

Tombol itu merupakan tombol on dan off. Hanya aku yang mengetahui rahasia ini, karena akulah yang menciptakannya. Lorex adalah android mahakaryaku. 

Satu tahun yang lalu, aku memiliki ide untuk menciptakan android yang dapat menjadi konselor bagi manusia-manusia yang dilanda masalah. 

Sepuluh bulan yang lalu, aku menanamkan chip emosi di otak android Lorex. Berkat chip tersebut, Lorex bisa merasakan sedih, takut, marah, bahkan bahagia layaknya manusia. Nilai tambahnya, Lorex mampu mengendalikan emosinya jauh lebih baik daripada manusia. 

Chip ini juga membuat Lorex memiliki rasa simpati dan empati yang sempurna akan perasaan manusia, sehingga menjadikan ia teman berkeluh kesah yang amat pengertian. Dengan kemampuan ini, ia menjadi seorang konselor yang sempurna. Ia pendengar yang baik, pemberi dukungan yang simpatik, dan perumus solusi yang tak ada duanya.

Aku telah melakukan uji coba pada kemampuan Lorex. Aku mencurahkan isi hati tentang masalahku di dalam keluarga, tentang Mama yang perfeksionis dan Papa yang ambisius. Aku mengungkapkan tentang tekanan dan harapan Mama dan Papa kepadaku sebagai anak tunggal. 

Tanggapan Lorex atas keluhanku sangat memuaskan. Ia bisa membuatku tenang dan merasa nyaman. Proyekku berhasil sangat sempurna. Aku telah sukses menciptakan android bekualitas adimanusia.

Lorex merupakan perwujudan idealku tentang sosok lelaki idaman; hangat, perhatian, mau mendengarkan, dan tidak egois. Aku telah menciptakan lelaki ideal itu, alih-alih mencari ke seluruh bumi.

Perasaan yang aku dapatkan dari Lorex tak pernah aku peroleh dari manusia-manusia di sekitarku, termasuk orang tua dan Soren. Lebih dari itu, tak pernah terbayangkan sebelumnya, ia bahkan membuatku jatuh cinta dan aku menyerah pada rasa.

Salahkah aku? ***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Romansa
Selanjutnya Tiga Ratus Tahun
1
0
Mampukah cinta melampaui masa? Ikuti perjalanan Lirna.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan