Cinta Maya (Setelah Suamiku Menikah Lagi): Bab 1-10 Sampel Gratis

0
0
Deskripsi

Salahkah aku jika tulus mencintai seorang lelaki beristri? Coba tanya kepada hatimu sendiri. Apakah cinta dapat memilih hati yang menjadi tempat berlabuh? Aku tahu kebanyakan orang menyebutku sebagai perebut suami. Namun aku tidak sepakat. Aku tidak merebut, tapi aku berbagi suami. ~ Maya
 

Aku tahu poligami itu diperbolehkan dalam agama Islam. Namun, tetap saja hatiku sakit dan tak rela bila membayangkan suamiku disentuh oleh wanita lain. Aku tidak bisa tidak cemburu. Apalagi wanita itu datang...

PROLOG

POV INDIRA
Aku menutup mata Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin.

Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia.

***

Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin.

Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa.

“Soto kantin fakultas itu enak banget, beda dengan soto kantin jurusan yang nggak ada rasa,” ungkap Desti.

“Oke. Kebetulan aku juga ingin soto enak,” anggukku.

Kantin fakultas sangat ramai siang itu. Mungkin karena jam makan siang, sehingga semua mahasiswa kelaparan dan menyerbu kantin. Susah payah aku dan Desti berjalan diantara para mahasiswa yang duduk rapat di kursi-kursi yang mengelilingi meja.

Selasar di antara meja yang satu dan yang lain memang agak sempit, sehingga membuat kesan berdesakan setiap kali kantin penuh. Meskipun aku sudah berjalan sangat hati-hati, tak urung tas bahuku menyenggol gelas tinggi berisi jus yang ada di salah satu meja.

Duk!

Gelas itu tersenggol dan isinya tumpah mengenai seorang pemuda yang berada paling dekat dengan gelas.

“Ah!” seru pemuda itu kaget.

Suaranya membuatku menoleh, lalu ternganga dengan perbuatanku terhadapnya.

“Aduh, maaf—maaf, Mas,” ujarku gugup.

Aku bingung bagaimana harus bersikap, pada akhirnya aku hanya menutup mulut dengan tangan sambil membelalakkan mata.

Pemuda itu dengan tenang mengambil tisu di meja, lalu menyusut sisa air di baju yang tak terserap kain.

“Aduh, maaf. Aku nggak sengaja, Mas,” ulangku lagi.

Pemuda itu memandangku dan tersenyum.

“Nggak apa-apa, Mbak. Siapa sih, namanya?” tuturnya.

Kami lalu berkenalan. Itulah awal cerita aku bertemu dengan Candra.

***

Lama kelamaan kami bertambah akrab. Dari obrolan-obrolan yang terjadi, ternyata kami memiliki latar belakang keluarga yang hampir sama. Kedua orangtua kami bahkan aktif di organisasi keagamaan yang sama.

Pada suatu hari, Candra menyatakan cinta. Aku yang juga menyukainya, tak kuasa untuk menolak. Akhirnya aku mengenalkannya pada kedua orangtuaku. Dia juga mengenalkan aku pada kedua orangtuanya.

"Agar tidak terjadi banyak fitnah, sebaiknya lekas menikah," usul Bapak, ayah dari Candra.

“Tapi saya belum punya penghasilan, Pak,” sanggah Candra waktu itu.

“Bisa Bapak bantu. Bapak lebih takut kalian terjerumus zina,” tangkis Bapak.

Akhirnya Candra melamarku kepada ayah dan ibuku. Lantaran memiliki pemahaman yang sama tentang menjaga pergaulan dan menghindari zina, orangtuaku menerima lamaran Candra.

Jadilah kami menikah ketika masih kuliah. Waktu itu kami kuliah semester dua. Kehidupan rumah tangga kami banyak ditopang oleh kedua keluarga kami. Meskipun setelah menikah, Candra berusaha mencari pekerjaan sampingan agar dapat memberiku nafkah dari keringatnya sendiri.

Menikah saat kuliah sama sekali tidak gampang. Kedengarannya saja yang enak dan gagah, tapi kenyataannya membuat kami lintang pukang.

Mas Candra harus banting tulang menafkahi keluarga baru, sementara kami tetap wajib kuliah.

Aku sendiri merasakan pahit getirnya menikah muda, meskipun usiaku sudah sangat pantas untuk menikah.

Demi meningkatkan taraf hidup, aku turut berdagang agar keluarga kami tidak terlalu melarat.

Kuliah sambil bekerja demi menegakkan tiang rumah tangga, bukan main lelahnya.

***

Bab 1: Mantan Kekasih

POV MAYA

Setahun sebelumnya.

"Ma, tebak siapa yang jadi bos di perusahaan yang aku lamar barusan?" Aku menghampiri Mama yang baru pulang dari arisan di rumah tetangga.

"Siapa memangnya?" lirik Mama acuh tak acuh, sambil duduk di kursi dan mengipasi wajah yang berpeluh.

"Mas Candra, Ma!" sahutku dengan setengah menjerit girang. Sepasang mataku berbinar.

"Mas Candra? Mantan bosmu di kantor dulu? Yang kamu hampir nikah tapi enggak jadi itu?" Dahi Mama 

mengerut sambil melirik ke arahku.

"Iya, Ma. Mas Candra yang itu. Asyik, aku ketemu lagi dengannya. Dia tambah gagah, Ma!" kisahku penuh 

semangat.

"Kamu mau balikan lagi sama Mas Candra?" Mama menatapku serius.
*** 
 

Mas Candra dan aku bertemu pertama kali lima tahun yang lalu. Saat itu, aku menjadi karyawati di kantor milik Pak Brontowijaya, teman Mas Candra yang membuka usaha IT. Di kantor itu Mas Candra menjadi salah satu karyawannya yang tepercaya. Usaha jasa itu menyediakan layanan pembuatan program-program komputer bagi perusahaan dan instansi pemerintah. Kantor itu kecil saja, tapi tak pernah sepi pesanan. Oleh karena itulah, Pak Brontowijaya yang merupakan bosku dan teman Mas Candra sanggup mempekerjakan lima orang karyawan di kantor kecilnya. Empat orang tenaga pembuat program komputer, satu tenaga pemasaran yaitu Mas Candra, dan satu tenaga administrasi, yaitu aku. 

 

Menjadi satu-satunya wanita di kantor yang dihuni lelaki, aku sudah pasti cantik sendiri. Aku sadar kehadiranku bagaikan udara segar bagi enam lelaki di kantor itu setiap hari. Mungkin diriku bagaikan bunga di dalam vas di atas meja. Hadir demi memperindah ruangan dan penyejuk pandangan. Tapi aku tak ambil pusing. Aku bukan pajangan. Aku bekerja secara profesional. Perkara diriku menjadi daya tarik bagi lawan jenis sudah merupakan hal yang biasa. 
 


Di kantor itu, Mas Candra merupakan lelaki yang paling berwibawa dan berkarisma nomor dua setelah Pak Brontowijaya. Selain bentuk tubuhnya yang gagah, ia juga sangat pandai bicara dan mengambil hati lawan bicaranya. Cocoklah dengan pendidikannya yang dulu mengambil jurusan Komunikasi di salah satu universitas negeri ternama. Aku sangat mengagumi karakter dan kepribadiannya. Ia tipe lelaki pekerja keras, ulet, dan tidak mudah menyerah.

Empat lelaki lain yang menjadi pembuat program tidak terlalu menarik perhatianku. Mereka semua kalah pamor dibandingkan Mas Candra. Badan mereka, kalau tidak berbadan ceking ya berbadan kurus kurang gizi. Mereka juga kebanyakan tidak banyak bicara, pemalu, dan cuek. Jadilah aku dan mereka tidak akrab. Pembicaraan yang terjadi antara aku dan para pembuat program itu sebatas urusan pekerjaan dan basa basi seperlunya saja.

 

Seperti kebanyakan kantor, ada saja momentum para karyawan harus lembur. Begitu pula dengan kantor milik Mas Candra dulu. Sesekali ada saja proyek yang dikejar tenggat, sehingga para pembuat program harus bekerja lembur hingga malam turun. Sebagai karyawati yang menyiapkan berkas-berkas, tentu saja aku turut lembur. Mas Candra sebagai teman pemilik kantor kerap diminta menemani para karyawan yang lain saat lembur, semacam penyelia begitulah. Dia mengawasi kerja karyawan sekaligus memastikan perut para karyawannya tidak telantar. Akulah yang sering diminta memesan makan malam buat rekanku yang menjadi pembuat program.
 


Dari lembur ke lembur itulah kedekatan kami terjalin. Sementara para pembuat program sibuk bekerja, aku yang hanya tenaga administrasi tidak banyak pekerjaan dan banyak menganggur. Kewajibanku hanya menemani teman-temanku yang bekerja, sambil sesekali menyiapkan keperluan mereka. Mas Candra sendiri tentu juga tak mengerjakan program. Ia hanya duduk menemani para karyawan. Lantaran sama-sama tidak sibuk, kami sering mengobrol berdua.

 

“Kamu enggak apa-apa sering pulang malam, May?” Mas Candra bertanya pada saat aku ikut lembur untuk pertama kali.

 

“Enggak apa-apa, Pak. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan.” Aku tersenyum meyakinkan.

 

“Maksud saya, apakah pacarmu atau suamimu enggak keberatan?” ulik Mas Candra.

 

“Saya sudah cerai, Pak. Pacar baru juga belum ada.” Aku menyahut pelan sambil menunduk. Entahlah mengapa aku mengatakan kenyataan tentang diriku dengan selugas itu kepada Mas Candra waktu itu. Mungkin di lubuk hatiku yang terdalam, aku memang ingin dia tahu bahwa aku masih bebas dan sama sekali tidak terikat dengan lelaki mana pun.
 


“Saya enggak menyangka. Padahal umurmu masih dua puluhan, kan? Masih muda padahal.” Mas Candra menatapku dengan pandangan terkejut yang tidak disembunyikan. 

 

“Nasib saya, Pak. Saya menikah muda dan gagal. Hanya setahun saya menjadi istri orang,” kataku getir. 

 

“Mantanmu rugi. Wanita secantik kamu dilepaskan.” Tak pelak, komentar Mas Candra itu membuat perasaanku melambung.

 

“Yah, sebetulnya mantan saya itu aktor sinetron, Pak. Jadi pasti banyak wanita di sekitarnya yang lebih cantik daripada saya.” Aku menjelaskan.

 

“Menurut saya, kamu enggak kalah cantik dengan aktris-aktris sinetron yang ada di televisi.” 

 

Ah! Lagi-lagi Mas Candra membuat dada ini kembang kempis lantaran merasa senang. Semoga saja ia tak melihat betapa terbawa perasaan aku akan penghiburannya itu. 

 

Ketukan di pintu menghentikan obrolan kami. Aku bangkit dan membukakan pintu. Seorang penjual mi ayam dengan nampan besar berisi mangkuk-mangkuk yang mengepulkan uap panas berdiri di hadapanku. Ternyata pesanan makan malam pengganjal perut acara lembur malam ini sudah datang. 

 

“Enam mangkuk mi ayam kan, Neng?” sapa bapak penjual mi ayam yang rambutnya sudah putih semua itu seraya tersenyum lebar ke arahku. 
 


“Betul, Pak. Sebentar saya ambilkan uang pembayarannya.” Aku meraih nampan yang disodorkan oleh si bapak dan meletakkannya di meja yang kosong. Aku kembali berjalan menyerahkan uang pembayaran mi, sementara di belakangku rekan-rekan kerjaku sudah merubung meja tempat mangkuk-mangkuk mi ayam diletakkan dengan suara-suara menyatakan rasa senang.
 


Sejak mengetahui statusku yang janda tak punya pacar, Mas Candra lebih berani mengobrol akrab denganku. Aku sangat senang sebab memang aku suka kepadanya. Lama kelamaan, seiring pertemuan setiap hari dan obrolan yang semakin sering, rasa suka dan kagumku berubah menjadi rasa cinta.

Semakin lama hubungan kami semakin dekat saja. Mas Candra beberapa kali mengajakku makan di luar seusai jam kerja. Biasanya kami hanya makan bakso di warung langganan yang terletak tak jauh dari kantor. Namun sayang, ketika aku mulai merasa nyaman justru hubungan kami mulai terendus oleh Indira, istri Mas Candra. 

Bab 2: Terpisah Oleh Keadaan

“Sebaiknya kita enggak terlalu sering keluar berdua lagi,” kata Mas Candra dengan wajah muram pada suatu hari.


“Kenapa, Mas?” Dahiku mengerut pertanda tak rela. Baru saja aku merasakan ketenteraman berdekatan dengannya, tiba-tiba semua harus dihentikan. Aku tak rela jika kedekatan kami dibatasi begitu saja. Aku tak mau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.


“Istriku tahu soal kita.” Kabar itu bagaikan petir menyambar di siang bolong bagiku. Hal yang sebetulnya cepat atau lambat memang pasti terjadi. Tak mungkin hubunganku dengan Mas Candra akan tersimpan rapat selamanya. Meskipun sudah menyadari hal itu sejak dulu, tetap saja rasa hatiku teramat sakit mendengarnya.


Sedari awal aku juga sudah tahu bahwa Mas Candra memiliki istri dan anaknya sudah dua. Namun,  entahlah. Sepertinya kenyataan itu bukan merupakan halangan bagiku untuk mendapatkan kasih sayang Mas Candra. Apalagi kami berdua sama-sama suka. Pikiranku seperti tertutup kabut setiap kali bersama Mas Candra. Saat bersamanya, bagiku dia hanya milikku seorang.


“Tapi aku enggak mau berpisah denganmu, Mas.” Aku merengek saat itu. Aku betul-betul merasa sedih, hingga tanpa terasa tetes air di sudut mata jatuh begitu saja. Aku tidak sedang bersandiwara. Air mataku bukanlah air mata palsu.


Aku rasa Mas Candra pun merasakan ketulusan hatiku. Terbukti dari caranya memandang penuh sesal tepat di manik mataku. Kemudian sebelah tangannya terangkat pelan, lalu jemarinya mengusap air yang membasahi pipi halusku.


“Jangan sedih. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku hanya ingin kita tidak terlalu sering bertemu, agar istriku merasa tenang dan tidak lagi mengajakku bertengkar. Setelah keadaan lebih aman, kita bisa kembali sering bertemu,” janji Mas Candra saat itu.


Aku mengangguk dengan terpaksa. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti keinginannya. Apalagi statusku yang hanya menjadi kekasih gelapnya. Posisiku amat lemah dan tidak memiliki hak apa-apa di mata masyarakat maupun agama. Saat itulah aku terpikir untuk mendapatkan status yang lebih kuat sebagai pasangan Mas Candra. Aku belum tahu caranya, tapi tekadku sudah bulat.


Aku semakin sering memberi perhatian diam-diam kepada Mas Candra selama di kantor. Aku tak berani lagi menghubunginya melalui telepon. Mas Candra melarangku meneleponnya dengan alasan hal itu terlalu riskan. Lebih baik kami berkomunikasi secara langsung saja. Makanya, satu-satunya kesempatanku berdekatan dan menikmati kebersamaan dengan Mas Candra hanya di kantor.


Selain semakin serius memerhatikan keadaannya, aku juga sering membuatkan penganan kesukaan Mas Candra dan membawanya ke kantor. Mas Candra sangat senang dan selalu melahap habis masakanku dan tak lupa ia selalu memuji.


“Masakanmu enak, May. Aku suka,” puji Mas Candra setiap kali usai menyantap makanan yang kubuat khusus untuknya. Aku tersenyum bangga dan bahagia mendengarkan pujiannya. Tak aku pedulikan bisik-bisik rekan kerja yang lain saat menonton kemesraan antara diriku dengan Mas Candra. Aku tak peduli dengan gosip di antara para lelaki. Toh, selemas apa pun mulut lelaki masih lebih lemas mulut perempuan. Untungnya seluruh isi kantor hanya manusia berjenis kaum Adam. Jadi aku merasa aman dari pergunjingan yang menyudutkan diriku.


Usaha-usaha yang kulakukan itu bertujuan agar Mas Candra tak bisa melupakanku. Aku tak mau dia menjauh sedikit demi sedikit lantaran istrinya semakin ketat mencengkeram kebebasannya. Apabila di rumah ia merasakan api, maka aku akan membuatnya merasa sejuk dengan perhatianku.


Akan tetapi, semua usahaku itu tak berjalan mulus meskipun sangat sempurna. Bukan lantaran Indira, istri Mas Candra lebih pintar dariku dalam mengambil hati suami. Bukan itu. Namun, keadaan di luar kuasa manusia yang memisahkan aku dari Mas Candra.


Tiba-tiba saja Pak Brontowijaya mengumpulkan kami semua karyawannya, tepat dua bulan setelah hubungan gelapku dengan Mas Candra diketahui oleh Indira. Perasaanku tak enak ketika melihat raut wajah Pak Brontowijaya saat itu. Belum pernah aku melihat wajah Pak Bronto semuram itu selama aku bekerja di kantornya.


“Saya punya kabar yang kurang menggembirakan buat kita semua.” Suara serak Pak Brontowijaya terdengar semakin serak saat berbicara kala itu.


“Kantor ini harus ditutup. Saya tidak punya pilihan selain menutup usaha ini.” Pak Brontowijaya menatap nanar ke arah depan, kosong dan seperti orang yang sedang melamun.


Suara riuh rendah keterkejutan datang dari belakang dan samping kiri dan kananku. Aku sendiri terlalu terkejut mendengar kabar itu, sehingga hanya bisa ternganga seraya menatap wajah Pak Brontowijaya yang sudah mengeriput hampir di semua tempat di wajahnya.


“Ada apa, Pak? Mengapa mendadak?” tanya Mas Rizal, salah seorang pembuat program yang paling tua. Umurnya kurang lebih dua puluh enam tahun.


“Usaha saya dituduh melakukan kolusi. Kamu masih ingat kan, tahun lalu kita menggarap proyek pemerintah? Nah, sekarang proyek itu diusut lagi oleh Ombudsman dan nama usaha saya disangkutpautkan.”


Penjelasan Pak Brontowjaya membuatku lemas. Aku lirik teman-temanku sekantor, semua sama tertunduk dan terkulai. Tak terkecuali Mas Candra. Ia tampak menghela napas berat beberapa kali.


“Saya minta maaf harus menutup usaha ini. Semoga kalian mendapatkan tempat kerja yang lebih baik daripada di kantor ini. Apabila ada kesalahan saya yang disengaja maupun tidak disengaja, saya minta kalian mau memaafkannya,” pungkas Pak Brontowijaya.


Tak ada yang bergerak selepas kalimat terakhir dari Pak Bronto, sebutan kami buat bos kantor. Aku yakin teman-temanku semua sama syoknya dengan diriku, sehingga tak tahu harus berbuat dan berkata-kata untuk membalas ucapan Pak Bronto.


“Oya satu lagi. Kalian jangan khawatir dengan uang pesangon. Saya tetap akan memberi uang pesangon yang pantas sesuai dengan aturan dari menteri ketenagakerjaan,” tegas Pak Bronto.


Pak Bronto memang bos yang baik. Selama bekerja di kantor miliknya, hampir tak ada keluhan dari para karyawan. Kami semua betah bekerja kepadanya. Oleh karena itulah, kami merasa sangat terpukul dengan berita yang dibawa Pak Bronto barusan.


Seharusnya ucapan Pak Bronto membuat kami merasa lega. Hak-hak kami sebagai pegawai tetap akan dibayarkan. Namun, bagiku pribadi hal itu justru membuat kesedihan terasa semakin dalam. Di mana lagi akan kuperoleh pekerjaan dengan gaji dan bos yang sebaik tempat ini? Mungkin pikiran rekan-rekan kerjaku juga sama dengan isi kepalaku.


Bagiku sendiri, ada hal yang jauh lebih menyedihkan dan membuat depresi daripada menjadi pengangguran. Bersamaan dengan bubarnya kantor tempat kerja kami, tak ada lagi alasan bagiku untuk dapat bertemu dengan Mas Candra secara leluasa. Dulu saja sewaktu masih bekerja satu kantor Mas Candra tak mau kami bertemu di luar secara sembunyi-sembunyi, apalagi setelah kami tak sekantor lagi. Bahkan sejak hari terakhir kami masuk kerja dan melakukan perpisahan secara resmi dengan teman sejawat, Mas Candra semakin sulit aku hubungi. Apalagi untuk aku temui.


Suatu kali, telepon dariku diangkat oleh Mas Candra. Hatiku bersorak gembira. Sebelum ini, seluruh panggilanku diabaikannya dan tak pernah diterima olehnya. Aku berpikir, mungkin saat aku menelepon itu istri Mas Candra sedang berada di dekatnya.


“Apa kabar, Mas?” Suara riangku tak dapat aku sembunyikan. Hatiku betul-betul merasa gembira.


“Baik, May. Bagaimana kabarmu sendiri?” balas Mas Candra. Suara datarnya tak aku perhatikan dan tak aku hiraukan.


“Aku juga baik. Setelah tak bekerja di kantor Pak Bronto lagi, aku membuka usaha warung makan.” Tanpa diminta, aku mengabari perkembangan diriku kepada dirinya. Aku berharap, ia akan sama terbukanya dengan diriku.


“Warung makan? Oh, hebat kamu, May.” Mas Candra lalu diam. Aku heran dan bertanya-tanya di dalam hati. Apakah saat itu ia sedang di rumah dan ada istri yang menguping pembicaraan kami di dekatnya?


Sebetulnya aku sangat ingin bertanya, apa yang dikerjakan Mas Candra selepas tak bekerja lagi kepada Pak Bronto. Namun, pertanyaan itu hanya berhenti di dalam hati saja. Lidahku seketika kelu untuk bertanya, ketika Mas Candra secara mendadak mengubah pokok pembicaraan.


“Maaf, May. Aku pikir kita tidak usah berkomunikasi lagi.” Kalimat Mas Candra berikutnya membuat tenggorokanku serasa tersedak kacang atom.

Bab 3: Pertemuan Kembali

“Kenapa?” tanyaku dengan suara tercekat. Seketika dadaku terasa sesak. Kelopak mataku mengerjap seiring dengan memanasnya area di permukaan pupil. Tanpa dapat kucegah, air membasahi bulu-bulu mata.

“Aku sedang pusing memikirkan ekonomi rumah tanggaku. Aku masih belum punya penghasilan lagi sejak kantor Pak Bronto tutup. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jelas Mas Candra panjang lebar.


Aku terdiam. Semua kalimatnya masuk di akal. Aku hanya tak rela ia pergi dariku begitu cepat. Baru saja merasakan kebahagiaan selama enam bulan terakhir, sekarang aku harus merasa kesepian lagi. Tanpa dapat aku cegah, aliran air telah menganak sungai di pipi.


“Aku yakin masih banyak lelaki yang lebih baik dariku buatmu. Selamat tinggal, Maya.”


Kalimat perpisahan dari Mas Candra semakin membuat deras tumpahan air mataku. Tak sanggup aku menjawab ucapannya. Ada yang memberontak di relung dada, tapi tak sanggup aku utarakan. Sepenuh rasa kecewa, aku putuskan sambungan telepon. Aku menangis sejadi-jadinya di atas bantal selama dua jam setelahnya.


Aku tak doyan makan selama seminggu. Rasa lapar menguap begitu saja dari perutku. Bahkan warung makan yang baru kurintis harus tutup sementara karena aku tak sanggup mengurusnya lagi. Pekerjaanku seharian hanya melamun dan berbaring di atas kasur.


“May ... makan sedikit, ya.” Mama menghampiriku yang masih terbaring lesu di atas ranjang.


Aku melirik wanita yang telah melahirkanku dari sudut  mata. Pandanganku terhalang oleh beberapa helai rambut yang menjuntai melintasi wajahku. Ah, baru aku ingat bahwa sudah beberapa hari aku tidak menyisir rambut. Entah bagaimana rupaku saat ini bila berhadapan dengan cermin.


“Enggak ada nafsu makan, Ma,” kilahku dengan rasa malas makan yang masih belum mau pergi.


“Mama suapi, ya.” Mama membujuk seperti aku masih kecil. Mama juga duduk di tepi ranjang dengan mangkuk bubur berada di dalam genggamannya. Merasa tak enak dengan situasi ini, aku memaksakan diri untuk duduk.


Aku menadahkan tangan untuk meminta mangkuk kepada Mama. Aku malu. Sudah menjanda tapi tingkahku tak ubahnya anak remaja putus cinta pertama. Aku merasa keterlaluan, meskipun tak bisa kupungkiri bahwa perasaanku saat ini memang seperti pada saat jatuh cinta untuk pertama kali.


“Pikirkan kesehatan dan masa depanmu,” ujar Mama sambil mengamati aku makan pelan-pelan. Aku tak menjawab, hanya lirikan mata yang kuberikan sebagai tanggapan. Aku melihat Mama juga tak mengharapkan jawabanku. Aku tahu Mama hanya memberi nasihat dan tak menuntut kepatuhan.


Sedikit demi sedikit, keadaanku mulai pulih. Aku kembali mengurus warung makan yang baru aku buka. Aku bekerja keras siang dan malam. Bukan lantaran aku mengejar materi saja, tapi kesibukan membuatku lebih mudah untuk melupakan Mas Candra.


Usahaku berkembang maju. Aku bahkan mulai menerima pesanan katering. Sampai di tahun kedua usaha kuliner itu berjalan, aku kena tipu. Pembeli yang memesan seribu kotak katering tak melunasi pembayaran. Usaha kecil yang kurintis pun kolaps. Modal tak kembali membuat aku kesulitan untuk kembali membeli bahan mentah sebagai modal.


“Aku mau cari kerja lagi saja, Ma. Kalau jadi pegawai, risiko rugi bukan tanggung jawabku.” Aku mengutarakan niat setelah tiga hari warungku tutup.


“Mama setuju. Lagi pula, buka usaha warung itu capek.” Mama menyelonjorkan kaki. Meskipun aku yang memasak, tapi Mama ikut repot karena sering membantu menjaga meja kasir.


Bagi sebagian orang, menunggu meja mungkin dianggap pekerjaan paling mudah di dunia. Cukup duduk dan menunggu, bisa sambil buka ponsel atau menonton teve, pekerjaan dianggap cukup. Orang yang belum pernah melakukan hal itu sendiri pasti tidak menyangka, betapa melelahkannya pekerjaan menunggu meja. Penat dan bosan sudah menjadi kepastian. Belum lagi meja tidak bisa ditinggal meskipun hanya sebentar, pergi ke toilet misalnya. Pokoknya, pantat harus selalu menempel di kursi. Belum lagi tidak bisa tidur selama menjaga meja. Alhasil, pekerjaan menjaga meja terbukti sama melelahkannya dengan kerja lainnya. Bukan karena banyaknya energi yang dikeluarkan saat melakukannya, tap lantaran besarnya emosi yang harus dikelola saat melakoninya. Oleh karena itulah, aku maklum jika Mama mengatakan capai barusan.


Dua hari kemudian, aku kembali mencari pekerjaan sebagai karyawan. Lantaran umurku, aku tidak lagi ke sana kemari membawa map berisi ijazah. Cara itu hanya digunakan oleh para lulusan baru. Bagiku yang umurnya sudah merangkak cukup tinggi, mencari pekerjaan melalui perantaraan teman merupakan solusi terbaik.


Pikiranku langsung tertuju kepada Kikan. Kikan merupakan teman yang kukenal semasa SMU. Kami pernah sekelas meskipun tidak terlalu akrab. Rumahnya hanya dua blok dari rumah Mama yang kutempati. Beberapa kali kami bertemu saat naik angkot ketika hendak pergi bekerja, ketika aku masih bekerja di kantor Mas Candra. Dulu, Kikan bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Mungkin dia punya info lowongan pekerjaan di tempat kerjanya untukku. Maka dari itu, aku menghubungi Kikan.


“Apa kabar, Ki? Lama enggak ketemu,” ujarku berbasa-basi di telepon.


“Baik, May. Iya, ya. Aku sudah enggak pernah lihat kamu naik angkot lagi.” Kikan membalas ringan.


“Aku kan sudah lama enggak kerja di kantor yang dulu, Ki. Sekarang aku nganggur, ini. Apa ada lowongan kerja di minimarket tempatmu?” tanyaku lugas.


“Oh. Aku sudah enggak kerja lagi di minimarket itu. Aku sudah pindah kerja, May. Baru dua bulan ini aku pindah. Kamu lagi cari kerja? Kebetulan, kantor tempat kerjaku juga sedang cari pegawai baru.”


Ucapan Kikan membuatku bersemangat. Lekas aku memburu.


“Oya? Kebetulan banget. Aku mau, dong melamar di kantormu sekarang,” sambarku cepat.


“Boleh. Datang saja ke rumahku, nanti aku beritahukan persyaratannya. Aku pikir kerjaan ini cocok buatmu, May. Kantorku itu usahanya di bidang IT. Sama seperti kantormu dulu.”


Penjelasan Kikan membuat hatiku buncah. Harapan akan diterima di kantor tempat kerja Kikan semakin besar. Bukankah aku memiliki pengalaman kerja di bidang yang sama dulunya? Hal ini tentu menjadi nilai tambah bagiku ketika melamar di tempat itu nanti.


Singkat cerita, aku melamar ke kantor tempat kerja Kikan. Tenaga yang dibutuhkan juga sama seperti posisiku dulu, yaitu tenaga administrasi. Aku berdandan rapi sekali saat dipanggil untuk wawancara dengan pemilik usaha.


Baru saja kakiku yang dibungkus sepatu hak tinggi melangkah masuk ke dalam ruang bos yang akan mewawancara, hatiku langsung mencelus. Sosok berkemeja rapi yang tengah duduk tenang di belakang meja besar itu sangat aku kenali wajahnya. Ya, dia Mas Candra.


“Lho, Mas?” Spontan suaraku keluar begitu saja. Mataku terbelalak lantaran tidak mengira akan menghadapi Mas Candra lagi. Di tempat yang tak aku duga sama sekali. Sementara aku ternganga, Mas Candra justru tersenyum lebar.


“Jadi ternyata betul Maya Dewiyanti itu kamu, May.”


Suara Mas Candra yang terkesan rendah dan bass masih seksi seperti dulu. Aku masih terpana. Berdiri mematung dengan pandangan tak lepas dari sosoknya di hadapanku.


“Duduklah dulu. Kamu pasti kaget melihatku, ya?” Mas Candra menunjuk kursi kosong di depan mejanya. Kakiku bergerak mendengar permintaannya. Begitu saja tubuhku mendekat dan pantatku menempel di kursi yang ditunjuk oleh Mas Candra.


“Ya, beginilah aku sekarang. Aku berhasil kembali mengumpulkan modal untuk membuka usaha sendiri. Berkat pengalaman kerja dengan Pak Brontowijaya dulu, aku menjadi tahu cara membuka usaha IT sendiri.” Nada puas terdengar jelas dari suara Mas Candra.


“Aku tidak menyangka kamu tahu tentang kantorku dan melamar kerja di sini.”


“Aku ... tidak tahu kantor ini milikmu, Mas. Aku dapat info lowongan kerja di sini dari temanku.”


“Begitu, ya. Ya, mungkin ini yang dinamakan sudah takdir. Kita masih dipertemukan lagi setelah ... berapa tahun, ya?” Mas Candra menelengkan kepala, seperti sedang mengingat waktu yang telah berlalu sejak pertemuan terakhir kami dulu.


“Sekitar tiga tahun,” sahutku pelan.


“Apa kabarmu? Sudah menikah, belum?” Tatapan Mas Candra jatuh ke jemari yang kuletakkan di pangkuan.


“Aku masih bebas, Mas.” Aku menaikkan tangan, lalu memamerkan tangan kananku yang jari jemarinya polos tanpa cincin.


Apa maksud Mas Candra menanyakan statusku? Apakah ia masih menyimpan rasa terhadapku? Apakah pertemuan ini akan menjadi babak baru bagi hubungan kami ke depannya? Jantung di dada bertalu-talu karena harapan dan kecemasan yang menjadi satu.


“Wah. Belum menikah?” Mata Mas Candra membulat selama sedetik. Sepertinya dia terkejut dan tidak menyangka. Tiba-tiba tingkahnya menjadi kikuk. Mas Candra mengalihkan pandangan ke hadapannya, tempat berkas lamaran kerjaku terhampar dan diabaikan sejak tadi.


Jantungku terus berdegup tak karuan. Aku menatap lekat ke arah Mas Candra yang menunduk menatap kertas. Rambutnya yang dulu hitam semua sekarang telah diselingi beberapa uban putih. Anehnya, Mas Candra semakin terlihat gagah dan tampan di mataku. Mas Candra berdeham.


“Jadi kamu mau melamar jadi tenaga administrasi lagi.” Mas Candra mendongakkan wajahnya, sehingga tatapan mata kami bertabrakan.


“Iya, Mas. Boleh, kan? Aku perlu pekerjaan, Mas.” Aku melemahkan suara, berharap ia menaruh belas kasihan terhadapku. Mas Candra terdiam sambil terus meneliti wajahku.


“Boleh. Tapi ada syaratnya.”


Aku merasa seluruh sendi tubuhku menegang. Seketika aku menjadi gugup.


“Apa itu, Mas?” 

Bab 4: Obsesi


"Aku ingin kamu kerja secara profesional. Anggap saja aku dan kamu tidak pernah saling kenal sebelumnya. Bagaimana?" tanya Mas Candra.


"Ba--baik, Mas," lirihku dengan tubuh yang lemas. Hilang sudah harapan dapat berdekatan lagi dengannya. Padahal kami sudah sedekat ini. Sayang sekali. 
***

Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba bisa berterus terang kepada Darnia tentang masalahku, sore hari itu. Pengakuan itu terlontar begitu saja dari mulutku, padahal Darnia sama sekali tidak mengorek-ngorek apalagi mendesakku untuk mengeluarkan isi hati.


“Tumben cuci baju sore-sore, May.” Darnia menyapa saat melihatku menjemur pakaian di belakang rumah. Ia datang dari ujung jalan sempit, membawa bungkusan plastik hitam kecil di salah satu tangannya. Melihat gayanya yang hanya mengenakan pakaian santai rumahan, aku menduga Darnia baru pulang dari warung yang berada di kelokan jalan.


“Iya, Dar. Besok aku mulai kerja di kantoran lagi.” Tebersit rasa bangga di dalam suaraku. Bangga karena aku memiliki pekerjaan lagi yang penghasilannya jelas setiap bulan.


“Wah, selamat. Kerja di mana sekarang?” Darnia tersenyum saat menyahut.


“Di kantor IT, seperti dulu. Tahu enggak, pemilik kantor itu ternyata Mas Candra. Gebetanku dulu,” ceplosku. Darnia terbengong sampai mulutnya terbuka sedikit. Jelas sekali ia terlihat kaget.


“Waduh, jangan-jangan nanti bakal CLBK, dong.” Darnia menyeletuk spontan.


“Ah, enggak ada harapan kayaknya,” sahutku muram.


“Kalau ketemu lagi setiap hari, apa yang enggak mungkin? Kamu diterima kerja lagi sama dia saja sudah menunjukkan bahwa peluang itu diberikan oleh Mas Candra,” balas Darnia.


“Soalnya Mas Candra sudah memberiku rambu-rambu sewaktu menerimaku bekerja sama dia,” jelasku.


“Apa?” Darnia mendekati pagar halaman belakang rumah. Kedua tangannya menggenggam bilah-bilah besi BRC yang menjadi pembatas tanah belakang rumahku dengan jalan umum.


“Aku harus bekerja profesional. Aku juga diminta melupakan masa lalu kami.”


“Kalau melihat murung wajahmu, kamu masih mau dengannya, ya?” tembak Darnia.


“Mau sih sebetulnya. Tapi kalau Mas Candra enggak mau, percuma aku goda terus juga. Mana istrinya itu galak dan suka mengatur Mas Candra,” keluhku muram.


“Ya, bikin saja Mas Candra mau lagi sama kamu.”


“Bagaimana caranya? Digodain terus?” tanyaku seraya menatap Darnia. Darnia tersenyum simpul.


“Bukan hanya itu. Kamu harus main siasat juga. Coba kamu pasang susuk,” bisik Darnia seraya mencondongkan wajah ke arahku yang entah kapan sudah berada tepat di hadapannya.


“Pasang susuk?” desisku kaget. Hal itu tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.


Darnia mengangguk-angguk sambil terus tersenyum. Baru kusadari senyuman Darnia amat menawan. Ia terlihat bersinar cantik di bawah matahari sore yang menebarkan cahaya jingga. Jangan-jangan Darnia juga pasang susuk kecantikan? Kecurigaan menyeruak di dalam benak.


“Kamu tahu orang yang bisa bantu pasang susuk buat pemikat?” Aku menatap Darnia penuh rasa ingin tahu.


“Tahu, dong. Kalau kamu betulan mau, bisa aku antarkan. Bagaimana?” tawar Darnia. Senyum tak lepas dari wajahnya. Spontan aku mengangguk, bahkan otakku tak sempat berpikir panjang lagi.


“Kapan kamu mau? Nanti biar aku janjian dulu dengan Nyai Sekar Kanti,” bisik Darnia lagi. 
***

“Apa? Pasang susuk?” Kikan membulatkan sepasang matanya yang sipit ke arahku. Mulut mungilnya bahkan terbuka membentuk huruf O yang tak sempurna. 
 

“Kamu tahu kan, pasang susuk itu perbuatan syirik? Dosanya besar, May!” 
 

Ah, Kikan mulai menceramahiku. Aku agak risi mendengarnya, tapi aku memilih mengabaikan peringatannya. Aku tahu ia peduli kepadaku, makanya mencoba mencegah niatku itu. Namun sayang, keputusanku sudah bulat dan tak dapat dipatahkan lagi oleh siapa pun. Jangankan Kikan yang hanya rekan kerjaku di kantor, orang terdekatku saja tak akan aku hiraukan saat ini.
 

“Aku harus mendapatkan Mas Candra, Ki. Aku enggak mau kehilangan dia lagi seperti dulu. Cukup sekali aku dan dia gagal menikah. Kali ini, aku tak mau dikalahkan lagi oleh istrinya. Apa pun caranya, aku ingin menikah dengannya, walaupun aku harus dengan pasang susuk,” tegasku panjang lebar. 
 

Kikan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah prihatin. Semangkuk bakso di hadapannya yang masih tersisa setengah dipandanginya dengan tatapan kosong. Sepertinya pernyataanku barusan betul-betul menyita pikirannya, sampai-sampai makanan kesukaannya itu hanya dipandangi dan tidak dihabiskan.
 

“Aku mohon, May. Jangan lakukan itu. Aku yakin masih banyak lelaki yang sama baiknya dengan Mas Candra untukmu. Lupakan dia, May. Carilah lelaki lain.” Kikan menatapku dengan pandangan sungguh-sungguh. Suaranya lirih dan mengiba. 
 

“Kalau hati sudah memilih, susah buat pindah ke lain hati,” elakku. 
 

“Tapi, May. Masa sih kamu ingin terjebak dua kali dengan lelaki yang sama?” Kikan terus berusaha menggoyang niatku.
 

“Udah deh, Ki. Aku cerita ke kamu tentang niatku pasang susuk bukan untuk dihalang-halangi begini. Aku hanya ingin cerita karena kamu temanku yang paling dekat saat ini .” Aku tatap mata Kikan tajam ketika menekankan setiap ucapan. Kikan mengembuskan napas kuat-kuat.
 

“Pokoknya aku sudah mengingatkanmu lho, ya!” ujarnya, akhirnya menyerah juga. Mungkin ia sudah kehabisan akal.
 

Kemudian Kikan meraih kembali sendok dan garpu yang tergeletak di mangkuk, lalu menghabiskan baksonya yang tersisa. Bakso pesananku sendiri sudah lama tandas. Aku habiskan sebelum menyatakan niatku pasang susuk kepada Kikan. Aku mengecek waktu digital pada layar ponselku. 
 

“Sudah pukul satu. Sebaiknya kita segera kembali ke kantor.” 
 

Kikan mengangguk. Kami berdua sama-sama meraih gelas es jeruk dan menghabiskan isinya secara bersamaan. Kami keluar dari warung bakso di dekat wilayah perkantoran yang tak jauh dari Jalan Soekarno-Hatta. Tatkala menuju pintu utama bangunan, langkah kami berpapasan dengan Mas Candra yang juga hendak masuk ke dalam gedung. Ia tersenyum saat melihatku. Aku membalas senyumnya.
 

“Dari makan siang, May?” sapanya berbasa-basi. Jam istirahat makan siang, sudah tentu semua orang pergi buat mengisi perut yang sudah keroncongan. 
 

“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan tersenyum manis. Mas Candra mengalihkan pandang ke arah Kikan di sebelahku. Ia mengangguk sopan.
 

“Saya duluan, ya.” Mas Candra berjalan mendahuluiku dan Kikan. Ia tak menoleh lagi. 
 

Aku menatapnya pergi dengan sebuncah rasa kecewa yang menggumpal di rongga dada. Tadinya aku berharap Mas Candra akan masuk ke dalam ruangan bersama-sama denganku. Apakah karena ada Kikan di antara kami sehingga Mas Candra merasa sungkan? Aku melirik Kikan di sisi kiriku. Ternyata Kikan juga sedang melirik ke arahku. Kami jadi saling melirik. Namun hanya sampai di situ. Kami berdua memasuki gedung dan kembali ke ruangan tempat kerja kami dalam diam. 
 

Tunggu. Tunggu saja, Mas. Kalau aku sudah pasang susuk, kamu tidak akan pernah bisa melirik wanita lain selain diriku.


Dengan langkah gontai, aku berjalan beriringan bersama Kikan memasuki kantor. Setelah duduk kembali di kursiku, ingatan ini kembali mengembara kepada Darnia, tetangga yang membuka pandanganku untuk mendapatkan Mas Candra dengan cara pasang susuk. Aku harus segera minta diantarkan kepada orang pintar yang Darnia sarankan.


Aku pikir sekaranglah waktu yang tepat buat meminta bantuan Darnia. Awalnya aku pikir Mas Candra bisa aku dekati lagi tanpa perlu pasang susuk. Namun, sikap dingin Mas Candra selama sebulan terakhir membuat tekadku menjadi bulat. Aku harus menerima tawaran Darnia.


Ponsel yang tergeletak di meja aku raih. Jari jemariku lincah mengetikkan pesan buat Darnia, berisi permintaan untuk menemui Nyai Sekar Kanti secepatnya. Usai mengirim pesan, hatiku merasa lebih lega. Pikiranku kembali relaks. Tumpukan berkas di meja mulai aku jamah. Aku kembali bekerja dengan semangat baru.


***


“Mau ke mana, May?” Mama bertanya saat melihatku melintasi ruang makan. Mama mengernyitkan dahi melihat penampilanku yang rapi dengan tas tersandang di bahu.
 

“Ada perlu sebentar. Mau jalan dengan Darnia, anak Bu Yati. Mama ingat Darnia, kan?” sahutku setelah menghentikan langkah kaki demi menjawab pertanyaan Mama.
 

“Sedikit lupa, sih. Kalau nggak salah dia seumuran kamu, kan?” Mama terlihat mengingat-ingat.
 

“Iya, Ma. Kami sering bermain waktu masih SD. Mama lupa, ya?” Aku melirik jam analog di dinding ruang makan. Posisi jam itu tepat di atas kepala Mama. 
 

“Mama sekarang ingat. Dulu kamu dan dia sering main ke empang ikan, kan?” tanya Mama lagi. 
 

“Iya, Ma. Kami hanya jarang bertemu ketika aku dan dia mulai bekerja. Sudah dulu ya, Ma. Aku hampir telat.” Aku kembali melangkah dengan sedikit tergesa-gesa. 
 

Aku dan Darnia sudah ada janji temu hari ini. Darnia akan mengajakku ke rumah Nyai Sekar Kanti, orang pintar yang konon bisa memasangkan susuk kecantikan kepadaku. Cukup berjalan kaki saja, aku sudah sampai di depan rumah Darnia. Senyum manisnya menyambut kedatanganku. Di halaman rumahnya yang cukup luas, terparkir manis sebuah sepeda motor matic berwarna merah. Darnia bangkit melihat kedatanganku. 
 

“Kita ke rumah Nyai Sekar Kanti menggunakan motor saja, biar cepat.” Darnia menyerahkan satu helm kepadaku. Tanganku bergerak otomatis menyambut uluran dari Darnia. Aku membonceng motor Darnia, lantaran alamat tujuan memang tidak aku ketahui persis. 

Bab 5: Nyai Sekar Kanti 

Sepuluh menit kami berkendara, melewati deretan rumah-rumah. Kemudian kelebat rumah berjarak semakin panjang, diselingi dengan pepohonan tinggi di kanan dan kiri jalan. Sampai akhirnya motor Darnia berhenti. Kami berdua turun dari motor.


Kupandangi rumah di hadapanku. Biasa saja. Rumah tembok sederhana bercat putih pudar dengan halaman yang tak seberapa luas. Atapnya genteng yang mulai berlumut. Sebatang pohon mangga tumbuh kokoh di halaman, sementara daun-daunnya yang mengering berjatuhan ke tanah yang ditutupi dengan paving blok.


Tidak terlihat seram ataupun istimewa. Orang-orang yang lewat pasti tidak tahu bahwa di rumah ini tinggal orang yang disebut oleh kebanyakan masyarakat sebagai “orang pintar”. Nyai Sekar Kanti, pemasang susuk yang sudah teruji kesaktiannya, terkenal sampai ke ibukota. Begitu informasi yang aku peroleh dari Darnia.


“Kamu sudah siap, May?” Darnia setengah berbisik di sebelahku. Aku menoleh, lalu mengangguk mantap seraya menatap mata tetangga rumahku ini. Darnia terlihat bernapas lega.


“Aku sangka kamu ragu dan ingin mundur saja,” ujarnya. Aku mendelik cepat.


“Enggak mungkin! Sudah jauh-jauh ke sini kok batal. Aku harus punya susuk kecantikan itu, demi mendapatkan Mas Candra,” tegasku. Senyum Darnia terkembang lebar. Dia pasti lega karena uang yang kujanjikan kepadanya tidak akan lepas dari genggaman.


“Ayo kalau begitu.” Darnia menggamit lenganku, lalu kami berjalan bersama memasuki halaman rumah Nyai Sekar Kanti. Seiring langkah demi langkah yang terayun menuju rumah bercat putih itu, ingatanku melayang pada obrolan bersama Mama sebulan yang lalu.


“Jadi bos barumu di kantor itu Mas Candra?” Mama terlihat terkejut sekali.


“Aku juga enggak menyangka, Ma. Aku kira sudah enggak akan pernah bertemu dengan Mas Candra lagi,” balasku penuh semangat.


“Sayang ya dulu kamu enggak jadi menikah dengannya. Padahal Mama suka banget kalau kamu dan Mas Candra menikah,” ujar Mama sungguh-sungguh, seolah sedang menyuruhku untuk kembali mendekati Mas Candra.


“Ya, dulu dia takut istri sih, Ma.”


"Mungkin masih ada kesempatan buatmu bersama dengannya.” Mama tersenyum dan menatapku penuh harapan.


“Iya, Ma. Mungkin pertemuan kembali kami sekarang merupakan pertanda bahwa kami memang berjodoh,” sambutku tak kalah antusias.


Kami sudah tiba di depan pintu. Darnia mengetuk. Tak berapa lama, langkah-langkah kaki terdengar mendekati daun pintu, lalu terbukalah pintu rumah Nyai Sekar Kanti.


“Selamat datang. Silakan, silakan masuk.” Wanita yang membukakan pintu tersenyum ramah. Dilihat dari kerut di wajahnya, ia memang paruh baya tapi belum terlalu tua sekali. Dandanannya yang unik membuat aku yakin bahwa wanita di hadapanku ini merupakan Nyai Sekar Kanti sendiri.


“Terima kasih, Mbok.” Darnia mewakiliku dalam menjawab sapaan Nyai Sekar Kanti. Darnia meraih tanganku, lalu bergandengan tangan kami memasuki rumah Nyai Sekar Kanti yang wanginya serupa dengan wangi bunga setaman.


Dadaku berdegup kencang saat langkah kaki mengikuti sosok Nyai Sekar Kanti yang berjalan di depanku. Nyai Sekar Kanti membuka salah satu pintu kamar, lalu ia berbalik ke arah kami dan kembali tersenyum.


“Masuklah. Di sini kita akan membuatmu terlihat lebih cantik dan memesona di hadapan lelaki idaman.”


Aku melangkahkan kaki ke dalam kamar dengan jantung yang semakin bertalu kencang.

*** 
Sudah seminggu berlalu semenjak aku mengunjungi Nyai Sekar Kanti. Sejak saat itu, aku suka menyentuh bagian pipi kiriku dan mengusap-usapnya saat bercermin. Menurut Nyai Sekar Kanti, hasil pemasangan susuk tidak akan lama. Aku tidak sabar menanti janji Nyai Sekar Kanti. Tak sedikit uang yang sudah aku keluarkan demi susuk ini. Awas saja kalau hasilnya tidak segera terlihat.


Kikan bilang, semua dukun itu penipu kecuali dukun beranak dan dukun urut. Aku tidak terlalu yakin dengan ucapan Kikan, tapi aku juga belum bisa memercayai Nyai Sekar Kanti sepenuhnya. Aku masih menunggu dengan harap-harap cemas perubahan sikap Mas Candra terhadapku. Akankah ia akan terpesona kepadaku?


Hari pertama aku masuk kantor setelah pasang susuk, aku lihat Mas Candra masih tidak memerhatikanku. Aku agak kecewa juga. Apakah Nyai Sekar Kanti itu dukun gadungan? Jangan-jangan betul kata Kikan, bahwa semua dukun itu pembohong. Aku mulai merasa geram terhadap Darnia yang mengajakku menemui Nyai Sekar Kanti.

Akibat Mas Candra bersikap biasa-biasa saja kepadaku hari ini, aku menjadi lemas. Rasanya tak bergairah. Bahkan aku sampai kehilangan selera makan siang. Meskipun perutku lapar, tapi aku malas sekali untuk makan. Saat semua teman-teman pergi makan siang, aku memilih tetap di kantor saja. Untuk mengurangi rasa lapar, aku pilih menyeduh minuman instan saset yang berisi susu dan sereal. Ya, sudah pasti rasa laparku akan segera kembali, tapi paling tidak perutku sedikit berisi.


Aku duduk di belakang mejaku sambil memainkan gim mencocokkan gambar. Meskipun sederhana, permainan ini cukup menguras pikiran dan konsentrasi. Cocok sekali buat menghabiskan waktu. Aku tenggelam dalam permainan, sampai-sampai tak menyadari kehadiran seseorang di belakang monitor komputerku. Sebuah deheman membuatku terkejut.


“Lho, Mas Candra? Aku pikir Mas keluar makan siang?” tanyaku spontan. Mataku terbelalak saking kagetnya mendapati dirinya di hadapanku. Aku sangka hanya diriku seorang yang tertinggal di kantor saat ini.


“Kamu sendiri kok enggak pergi makan, May?” Mas Candra membalikkan pertanyaanku. Aku menggeleng lemah.

“Lagi malas makan, Mas. Mas sendiri kok enggak pergi cari makan?” Aku bersikukuh menanyakan hal yang sama dengan pertanyaannya.


“Sama. Lagi malas gerak, ini. Tadinya aku mau pesan makanan daring saja, tapi kok bingung mau makanan apa,” keluhnya.


Mas Candra lalu mengempaskan diri di sofa yang ada di depan mejaku. Sofa itu diletakkan di sana untuk tamu yang datang. Mas Candra merebahkan diri, sedangkan kepalanya berbantalan lengan sofa. Ia memijat pelan pelipisnya.


“Pusing, Mas? Ada pikiran atau migrain?” tanyaku penuh perhatian.


“Hm. Banyak pikiran saja. Ada proyek yang alot buat diselesaikan.” Mas Candra terus memijat pelipis selama menjawab pertanyaanku.

Melihatnya sakit dan lemah seperti itu membuatku jatuh kasihan. Aku tak tega melihatnya. Jiwa pengasihku muncul ke permukaan. Aku beranjak dari kursiku, lalu menghampiri Mas Candra yang masih berbaring di sofa.


“Coba aku pijiti, Mas. Siapa tahu bisa bikin otot-otot jadi lebih relaks,” tawarku setulus hati.


Mas Candra bangkit dari tidurnya. Ia duduk sambil memijat bagian pundaknya sendiri.


“Boleh, May. Di sini, tolong dipijiti. Pegal banget rasanya.” Mas Candra menunjuk tulang belikat yang tadi dipijit sendiri olehnya.

Sigap aku mengambil posisi di dekatnya. Melihat aku mendekat, Mas Candra duduk membelakangiku. Aku mulai memijat bagian pundak dan tengkuknya. Awalnya perlahan-lahan, tapi protes keras Mas Candra segera aku terima.


“Keras sedikit, May. Enggak terasa, itu.”


Aku menguatkan pijatan. Aku memijat ke area punggung yang biasanya ditempati angin yang masuk ke dalam badan.


“Nah, begitu.” Mas Candra terdengar senang. Aku meneruskan pijatan hingga sepuluh menit lamanya.


“Tanganmu pandai memijat. Badanku sekarang sudah lebih enak. Makasih, ya.” Mas Candra menggeliatkan badan.


Ia berbalik secara tiba-tiba, hingga kami kini berhadapan. Tiba-tiba saja jantungku berdetak lebih cepat. Kami berhadapan dan bertatapan. Jarak kami yang hanya satu meter dengan kondisi kantor yang sepi membuat suasana menjadi syahdu.


“Kamu masih secantik dulu,” lirih suara Mas Candra. Debar jantungku semakin tak beraturan. Apalagi saat Mas Candra menatapku lekat. Aku semakin gugup dan grogi. Saat ia meraih tanganku ke dalam genggamannya, aku tak kuasa menahan gemetar.


Tanganku ditarik oleh Mas Candra, sehingga jarak di antara kami semakin dekat. Aku menatapnya dan Mas Candra menatapku. Namun, gelak tawa dan derap langkah kaki yang mendekat menyadarkan kami berdua bahwa kami berada di kantor. Mas Candra melepaskan tanganku secara mendadak. Dia juga menjauh secara spontan. Jauh di sudut hatiku, ada rasa kecewa yang tertoreh. Apakah hanya sampai begitu saja?


“Nanti sore jangan pulang dulu, ya. Tunggu aku.” Mas Candra bangkit dan masuk kembali ke dalam ruangannya.


Aku terbengong mendengar permintaannya. Aku masih duduk di sofa ketika teman-temanku masuk ruangan, sepulang dari makan siang. Aku menoleh dan melihat Kikan ada di antara teman-temanku itu.


“Lho, sedang apa kamu duduk di situ, May?” tanya Kikan heran.


“Ingin di sini saja. Enak empuk. Capek duduk di kursi yang keras terus,” kilahku. Kikan hanya mengatakan ‘oh’ lalu berlalu menuju mejanya sendiri. Aku mengikuti langkah teman-temanku yang kembali ke meja masing-masing. Waktu istirahat memang sebentar lagi usai.


Sepanjang siang hingga menjelang waktu bubar kerja, hatiku berdebar terus. Aku tak sabar menanti waktu pulang tiba. Aku penasaran, mau apa Mas Candra sebetulnya hingga menahanku agar tidak pulang dulu? Aku merasa gugup seperti hendak menjalani kencan pertama semasa remaja dulu.


Saat yang kunanti pun tiba. Waktu bubar kerja datang. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, semua orang tak sabar lagi untuk pulang. Bahkan sebelum waktu pulang, teman-temanku sudah bersiap-siap agar bisa segera pergi saat waktu pulang. Aku sendiri juga sama. Hanya karena ucapan Mas Candra siang tadi saja yang membuatku malas pulang pada hari ini.


Teman-temanku sudah pulang semua. Tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Aku lirik pintu ruangan Mas Candra. Masih tertutup rapat seperti semula. Sedang apa Mas Candra di dalam sana? Sampai kapan aku harus menunggunya keluar? Setelah lima menit aku habiskan untuk mematung dan melamun, aku putuskan untuk mengetuk pintu ruangan Mas Candra.


“Mas? Aku pulang dulu, ya,” pamitku cukup keras setelah mengetuk.


Pintu terbuka begitu saja. Dari dalamnya, Mas Candra keluar dengan menenteng tas kerjanya di tangan kiri. Aku terkejut melihat betapa ia sudah siap untuk pulang. Tadinya kupikir ia tertidur di dalam ruangannya dan melupakan ucapannya kepadaku sebelumnya.


“Pulang? Kebetulan aku juga mau pulang. Ayo sama-sama saja. Aku antar kamu pulang.”


Aku terbengong sejenak mendengar perkataan Mas Candra. Namun setelah itu, hatiku bersorak gembira. Inilah kali pertama Mas Candra mau mengantarku pulang selama aku bekerja di kantornya. 

Bab 6: Panggilan Telepon

“Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung.

“Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi.

Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor.

Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan.

“Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini.

“Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banyak macet daripada lancar.

“Kita ke arah utara, Mas.” Aku memberi petunjuk arah. Namun, alih-alih mengikuti petunjukku, Mas Candra malah berbelok ke arah selatan.

“Lho, kok ke sini, Mas? Rumahku kan ke arah sana.” Aku menunjuk arah yang benar. Sekilas Mas Candra tersenyum tipis. Apa maksudnya? Apakah Mas Candra bermaksud lain sehingga mengarahkan mobil ke tempat yang berbeda?

“Mau ke mana kita, Mas?” tanyaku dengan jantung berdebar. Sejujurnya, aku tidak berkeberatan apabila harus pergi ke suatu tempat bersamanya.

“Aku lapar. Dari siang belum makan. Kita makan dulu sebelum pulang, ya?” sahutnya santai.

Oh. Jadi ia akan mengajakku untuk makan bersama lebih dahulu. Boleh juga. Kebetulan perutku juga keroncongan. Tadi siang aku tidak makan, sama seperti Mas Candra.

“Kamu mau makan apa?” tawar Mas Candra. Aku kebingungan.

“Terserah Mas saja. Aku kan cuma ditraktir.” Tawaku berderai. Mas Candra ikut tertawa.

“Kalau begitu terserah aku, ya. Itu ada restoran masakan laut. Kita ke sana saja, ya. Kayaknya, dulu kamu suka makan udang asam manis, kan?” Mata Mas Candra terarah ke sebuah tempat di depan kami. Tanpa menunggu jawaban, mobil Mas Candra lajukan ke arah halaman restoran.

Aku merasa terharu. Ternyata Mas Candra masih ingat masakan kesukaanku dulu. Ya, dulu kami sering makan udang asam manis bersama-sama. Masa-masa indah sebelum hubungan kami diketahui oleh istrinya. Apakah masa indah itu akan terulang kembali di sini? Aku diserang perasaan deja vu.  

Langit sore mulai berubah menjadi kuning keemasan di ufuk barat. Bola api yang condong ke arah magrib menjadi saksi bisu saat Mas Candra membukakan pintu mobilnya untukku, lalu kami berjalan bergandengan tangan menuju ke arah restoran. Romantis. Itulah yang aku rasakan kini. Apalagi saat siluet kami yang bergandengan tangan membelakangi matahari membentuk bayangan panjang yang indah di halaman restoran. Hari ini tidak akan pernah aku lupakan.

Kami makan sambil berbincang seru dan santai. Kebanyakan mengenang masa lalu. Apabila Mas Candra ingin kembali bersamaku, maka kupastikan kali ini ia tak akan lepas dari genggamanku. Aku mau melakukan apa saja agar bisa menjadi istri Mas Candra. Apa saja.

“Sepertinya aku masih menyimpan rasa buatmu, May.” Mas Candra berkata seusai kami makan.

“Oya? Kapan Mas mulai menyadarinya?” tanyaku seraya mengerjapkan mata di hadapannya.    

“Sejak hari pertama kamu melamar kerja di kantorku.”

Aku terperangah. Betulkah itu? Kalau iya, mengapa Mas Candra tak menampakkan perasaan itu sama sekali? Bahkan ia terkesan tak acuh dan tak memedulikanku.

“Tapi kok Mas biasa-biasa saja waktu itu? Bahkan kesannya Mas ingin menjauhiku?” Aku mempertanyakan kesungguhan pernyataannya.

“Aku sengaja bersikap kaku dan formal di hadapanmu selama ini, May. Aku berusaha membendung perasaanku kepadamu. Aku sadar, kita sudah pernah putus dulu. Hubungan kita tidak memiliki muara. Istriku tidak mau aku berpoligami,” jelas Mas Candra mengejutkan.

“Jadi, selama ini Mas hanya berpura-pura bersikap cuek kepadaku?” tegasku lagi. Mas Candra mengangguk pasti.

“Aku ingin hubungan kita biasa saja. Tapi ternyata aku tidak kuat. Saat kamu memijatku tadi siang, perasaanku kepadamu semakin kuat. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”

Mas Candra mengambil kedua tanganku, lalu digenggamnya erat. Aku merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku dari tangan yang digenggam olehnya. Hatiku berbunga. Perasaan bahagia meliputi seluruh tubuhku. Aku tidak mau hal ini berakhir. Aku ingin begini selamanya.

“Aku cinta kamu, Maya.”

Matahari terbenam menjadi saksi atas pernyataan cinta Mas Candra kepadaku. Saat itu aku betul-betul bertekad untuk menjadi istri Mas Candra, walaupun aku harus menjadi istri kedua.      

“Bagaimana dengan istrimu, Mas? Bukannya kamu bilang istrimu tidak mengizinkanmu berpoligami? Lalu apakah muara dari hubungan kita ini?” lirih aku bertanya.

“Gampang itu. Aku akan meyakinkan dia. Kalau dia tidak mau, kita tetap bisa menikah walaupun tanpa izinnya.” Mas Candra menatapku sungguh-sungguh. Saat itulah aku memercayai janjinya.

“Betul ya, Mas. Aku tidak mau kamu tinggalkan seperti dulu lagi. Aku enggak mau kamu putuskan secara sepihak. Aku ingin kita betul-betul bersanding di pelaminan,” tegasku dengan penekanan.

“Jangan khawatir. Aku yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu. Dulu aku memang pengecut, tapi sekarang aku tidak akan mengecewakanmu lagi.” Mas Candra kembali meyakinkan diriku.

Entah bagaimana caranya kami bisa menikah. Terus terang saja saat ini hal itu masih kabur di dalam pandanganku. Apabila istri Mas Candra tidak setuju, pasti sulit bagi kami untuk menikah. Apakah itu berarti aku harus menikah siri? Menikah sembunyi-sembunyi dari istri Mas Candra. Aku mematung memikirkan kemungkinan itu.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Mas Candra saat melihatku melamun.

“Aku berpikir caranya menikah bila istrimu tidak setuju. Kamu pasti dilarang menikah ataupun menemuiku, seperti dulu,” kataku jujur.

“Sudah. Biar itu jadi urusanku. Kamu tidak usah risau memikirkannya. Pokoknya kita pasti menikah, bagaimanapun caranya.” Mas Candra menenangkanku.

Ah! Daripada pusing, lebih baik aku menuruti sarannya. Biarlah masalah pernikahan menjadi urusan Mas Candra. Aku tahu beres saja. Aku tersenyum ke arah Mas Candra. Kami saling menatap dengan penuh cinta.

Sedang asyik-asyiknya saling memandang, tiba-tiba ponsel Mas Candra di atas meja bergetar hebat. Aku sampai terkejut mendengar getarannya yang cukup keras. Mas Candra juga terlihat kaget. Kami sama-sama memandang ponsel yang bergetar dan layarnya berkedip-kedip. Foto Indira tampil di layar ponsel, seolah-olah Indira sendiri yang memanggil suaminya secara langsung. Seketika wajahku muram. Aku lihat wajah Mas Candra juga masam pertanda tak senang.

“Halo. Ada apa, Ma?” Mas Candra menerima telepon tepat di hadapanku. Aku menundukkan wajah untuk menyembunyikan kejengkelan. Suara melengking Indira terdengar sampai ke telingaku.

“Kok belum pulang, Pa? Enggak biasanya pulang telat enggak bilang-bilang.”

“Iya, Ma. Ada lemburan mendadak. Papa sampai lupa bilang ke Mama. Maaf, ya.” Mas Candra menjawab santai.

“Sekarang masih lembur? Jangan terlalu larut pulangnya. Kasihan Cantika, dari tadi menanyakan Papa terus.”

“Iya. Sebentar lagi Papa pulang, kok. Sudah dulu, ya. Papa mau pulang sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban Indira, Mas Candra memutuskan sambungan telepon. Aku mendongak dengan bibir mengerucut. Mas Candra yang melihatku cemberut lalu tersenyum.

“Kamu semakin cantik kalau cemberut.” Mas Candra mencubit bibirku yang maju setengah sentimeter itu.

“Sekarang kita pulang dulu. Nanti akan aku atur agar kita bisa sering bertemu.”

Mas Candra bangkit dari duduknya. Aku mengikuti sikapnya. Baiklah. Aku cukup puas malam ini Mas Candra mengaku cinta kepadaku. Selanjutnya, akan aku atur strategi agar kami bisa segera menikah.

 

Bab 7: Dusta

POV Pengarang

Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga. 

Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti.  

Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam. 

“Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantika.” Candra bertanya heran sambil memasuki ambang pintu. 

“Mama nungguin Papa. Cantika sih sudah tidur dari tadi. Katanya ngantuk, enggak kuat menunggu Papa pulang,” jelas Indira. 

Candra mengempaskan diri di sofa ruang tamu. Indira kembali mengunci pintu depan. 

“Capek ya, Pa? Mau makan dulu atau mau mandi sekalian?” tawar Indira. 

“Enggak usah, Ma. Papa cuma haus. Tapi nanti Papa ambil sendiri saja. Kalau mandi sekarang juga udaranya sudah dingin,” tolak Candra.  

“Jadi Papa mau apa sekarang?” tanya Indira lagi.  

“Papa hanya perlu tidur. Capek sekali rasanya.” Candra bangkit lagi dan mulai berjalan menuju kamar tidur. Indira mengikuti suaminya dari belakang.  

Candra mulai melepaskan satu demi satu bajunya di hadapan sang istri. Indira berjalan menuju lemari pakaian, lalu mengambilkan celana pendek dan baju kaos sebagai ganti baju kerja yang baru dilepaskan oleh suaminya. Candra melihat Indira yang meletakkan baju rumah yang bersih di atas kasur. Tangannya meraih celana sementara mulutnya menguap, pertanda kantuk sudah menguasainya.  

“Sayang Papa capek, ya. Padahal kita sudah lama enggak mengobrol bersama.” Indira tiba-tiba memeluk suaminya dari belakang. Candra terbeliak. 

“Iya, Ma. Sudah lama, ya. Tapi sekarang Papa mengantuk sekali. Maaf, ya.” Candra menatap istrinya. Indira menyembunyikan kekecewaannya. 

“Iya, Pa. Mama maklum. Papa sudah bekerja keras buat menafkahi kita semua, jadi pasti lelah sekali.” Indira tersenyum meskipun hatinya tidak tersenyum. 

“Terima kasih pengertiannya, Ma. Memang akhir-akhir ini Papa banyak pekerjaan di kantor. Mungkin di hari-hari ke depan Papa akan sering pulang malam.” Candra menguap lagi.  

Indira menyiapkan tempat tidur. Ia menata bantal juga membentangkan selimut. Candra naik ke peraduan, sedangkan Indira mengikuti. 

“Tapi ingat ya, Pa. Sesibuk-sibuknya Papa, jangan sampai tidak ada waktu buat Ando dan Cantika, ya.”  

“Iya, Ma. Papa enggak akan lupa sama anak,” janji Candra sambil menarik selimut.  

Sebetulnya Indira masih ingin berbicara, tapi sayang Candra keburu mengorok. Desah kecewa keluar dari mulut Indira. Padahal ia ingin menceritakan perkembangan anak-anak mereka, tentang Ando yang semakin sulit diatur, juga tentang Cantika yang berhasil menjadi perwakilan Olimpiade Matematika di sekolahnya. Namun sayangnya Candra telanjur tidur. Apa boleh buat, Indira pun memutuskan untuk menunda percakapan tentang anak-anak untuk lain waktu. Indira memejamkan mata. 

***  

Pagi-pagi sekali, Candra sudah bangun dan mandi. Agak lebih pagi daripada biasanya. Indira yang sedang menyapu rumah memandang suaminya heran. 

“Pagi betul sudah mandi, Pa? Apa ada keperluan mendadak?” Indira meletakkan sapunya di tangan kiri, lalu berhenti di depan kamar. Candra sedang mengenakan kemeja putih bergaris-garis hitam yang menjadi kemeja kesukaannya. Kemeja itu selalu membuatnya tampak lebih gagah meskipun usianya sudah menjelang kepala empat. 

“Enggak ada keperluan apa-apa, Ma. Papa hanya ingin datang lebih pagi ke kantor. Pekerjaan kemarin terpikirkan terus. Mungkin selama seminggu ini Papa akan lebih sibuk daripada biasanya.” Candra menjawab sambil mengenakan ikat pinggang ke celana panjangnya. 

“Mama buatkan sarapan sekarang, ya?” Indira menyandarkan sapu ke salah satu dinding. Ia siap bergerak ke arah dapur. 

“Enggak usah, Ma. Papa  makan bubur ayam atau lontong kari saja di luar, biar cepat. Mama siapkan saja keperluan anak-anak buat sekolah,” tolak Candra. 

Indira mengurungkan niatnya untuk membuat sarapan. Ia mengikuti Candra yang beranjak hendak keluar rumah usai mengambil tas kerjanya. Di depan pintu, Candra berpamitan lagi kepada istrinya. 

“Papa pergi dulu. Doakan Papa.” Candra mencium sekilas dahi Indira. 

“Iya, Pa. Hati-hati di jalan. Oh ya, hampir lupa. Kemarin Ando bilang dia mau ikut kelas musik di sekolahnya sebagai ekstrakurikuler.” 

“Oya? Musik apa yang ingin dipelajarinya? Ando minta belikan alat musik?” Candra mengerutkan dahi. 

“Iya. Katanya mau main drum band, biar bisa main bersama teman-temannya--” 

“Oh, oke. Nanti Papa bicara sama dia. Sekarang Papa pergi dulu ya, Ma. Takut terlambat.” Candra memotong kalimat istrinya yang ia yakini masih akan lama.  

Indira terpaksa menghentikan ucapannya. Padahal ia masih belum sampai pada pokok pembicaraan utama, yaitu anak sulung mereka ingin memiliki studio musik sendiri di rumah. Namun, Indira sadar diri. Ia telah memilih waktu yang kurang tepat buat berbicara.  

Dengan pasrah, Indira membiarkan suaminya pergi. Ia menatap punggung suaminya yang bergerak menuju mobil jenis city car yang terparkir di halaman rumah mereka. Candra membuka pintu penumpang di depan, lalu menyimpan tas kerjanya pada kursi. Saat melakukan itu, sinar mentari pagi yang lembut mulai bersinar dan menerpa wajah Candra yang segar karena mandi pagi. Sisa-sisa ketampanan masa lalu terpancar selama beberapa detik dalam momentum itu, membuat Indira mengingat lagi masa-masa muda mereka ketika baru menikah pada awal usia dua puluhan. Indira merasa cintanya bertambah kuat setelah puluhan tahun hidup bersama suaminya. 

 Candra menutup pintu, lalu bergerak membuka pagar besi yang menjulang tinggi di belakang mobilnya. Setelah membuka pagar, Candra memasuki kursi pengemudi dan melaju pergi. Indira berjalan ke arah halaman, menutup kembali pagar rumah yang ditinggalkan terbuka oleh Candra. Indira masuk kembali ke dalam rumah. Fokus pikirannya kembali kepada anak-anaknya yang harus dipersiapkan sekolahnya. Ando yang duduk di kelas satu SMU dan Cantika yang duduk di kelas 4 SD. 

***  

Dering telepon berbunyi cukup lama. Indira membuka matanya dan terkejut mendapati dirinya yang tertidur di sofa. Astaga, dia ketiduran! Bisa-bisanya hal ini terjadi, padahal sudah lama ia tak pernah lagi tidur di tengah hari. Kesibukan rumah tangga dan anak-anak membuatnya tak pernah bisa menikmati waktu istirahat siang. 

Bunyi dering telepon di atas meja menarik perhatian Indira. Namun, pandangan matanya yang masih berkunang-kunang akibat terbangun paksa membuatnya tak segera mengangkat telepon. Indira mengerjapkan matanya beberapa kali, juga memijat pelipisnya. Mungkin ia terlalu lelah karena sepagian tadi membersihkan kamar di belakang rumah. Indira berpikir, mungkin kamar itu bisa digunakan oleh Ando sebagai studio musik yang diinginkannya. Akibatnya ia kelelahan dan berakhir tertidur di sofa. 

Dering telepon masih berbunyi, mendesak seolah-olah menjerit minta diangkat. Indira meraih ponselnya dan tersentak mendapati nama guru Cantika yang memanggil pada layar. Astaga, jam berapa sebetulnya ini? Apakah sudah waktunya menjemput Cantika pulang dari sekolah? 

“Halo?” Indira menempelkan ponsel pada kuping kanannya. 

“Ibu Indira? Mohon maaf, Bu. Cantika terluka di kakinya. Tolong segera datang kemari ya, Bu.” 

“Terluka? Kenapa Cantika bisa terluka, Bu?” Indira terhenyak. 

“Nanti kami jelaskan semuanya di sekolah, Bu. Tolong segera datang dulu.” 

Indira memutuskan sambungan telepon. Tergesa-gesa ia mengganti baju dan meraih tasnya, lalu menyambar kunci motor di dalam laci. Pikirannya hanya tertuju pada Cantika saat ini.  

Bab 8: Terungkap

Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang.  

 

Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. 

 

Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada tahun itu.  

 

Siapa sangka Candra mampu bangkit dengan cepat. Berbekal pinjaman modal dari ayah mertuanya, Candra membuka usaha yang sama dengan usaha Pak Brontowijaya. Usaha itu maju dengan cepat, hingga akhirnya keluarga mereka kembali dapat hidup layak. Saat itu bertepatan dengan waktunya Cantika masuk SD. Mungkin sudah rezeki Cantika sehingga putrinya dapat memasuki sekolah mahal ini. 

 

Setengah berlari, Indira langsung menuju ke ruangan guru. Pintu ruangan guru terbuka, sehingga Indira langsung masuk. Ia dapati dua orang guru tengah berbincang serius di dalamnya. 

 

“Assalamu’alaikum,” sapa Indira cukup keras untuk mengabari tentang kehadirannya di ruangan yang telah sepi tersebut. Seketika dua orang guru tersebut menoleh. 

 

“Bu Indira, ya? Ibunya Cantika?” salah seorang guru perempuan yang mengenakan kerudung biru bangkit dan mendekati Indira. Indira baru kali ini melihat guru itu. Mungkin bukan guru wali kelas Cantika. Tapi mengapa ia bisa menebak bahwa dirinyalah ibu kandung Cantika? 

 

“Betul, Bu. Di mana anak saya?” tanya Indira cemas.  

 

“Mari ikut, Bu. Cantika ada di ruangan UKS.” Guru berkerudung biru bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar kamar mendahului Indira. 

 

Rasanya waktu berjalan lambat sekali saat Indira mengikuti guru berkerudung biru itu dari belakang. Pikiran Indira berkecamuk dan dipenuhi prasangka, sedangkan hatinya cemas luar biasa. Mereka tiba di ruangan UKS. Guru yang membimbing Indira langsung masuk ke dalam ruang perawatan. 

 

“Ibunya Cantika sudah datang, Bu.” Guru berkerudung biru memberi kabar. 

 

“Mama!” Cantika memekik begitu mendengar bahwa ibunya sudah datang. Cantika menyibak tirai putih yang menghalangi pemandangan dari kasur tempatnya beristirahat dengan pintu masuk ruangan UKS. Indira melihat Cantika duduk di atas ranjang berseprai putih, sedangkan di sisinya berdiri guru wali kelasnya. 

 

Indira menghambur menemui Cantika. Ia melihat kaki Cantika agak lebam dan ada luka yang ditutup dengan plester besar. 

 

“Kenapa kakimu, Cantik? Luka kenapa? Kamu jatuh, ya?” Indira memberondong Cantika.  

 

“Ehem. Begini, Bu. Tadi Cantika menunggu dijemput oleh Ibu. Entah mengapa dia berdiri di pinggir jalan raya, biasanya tidak begitu. Kebetulan kami para guru juga tidak ada yang memerhatikannya. Lalu--” Guru wali kelas Cantika berhenti sejenak, membuat Indira tak sabar. 

 

“Lalu apa, Bu?” desak Indira.  

 

“Ada motor yang menyenggolku, Ma. Aku jatuh terduduk di aspal. Lalu ada motor lain di belakang motor itu yang melindas kakiku,” kata Cantika lirih. 

 

“Kami sudah mengobati lukanya seadanya. Mungkin sebaiknya sekarang saja dibawa ke rumah sakit, Bu. Takutnya ada tulang yang retak atau bagaimana, soalnya Cantika juga dari tadi kesakitan terus.” Guru Cantika memegang lengan Indira, sementara raut wajahnya terlihat amat cemas. 

 

Indira mengangguk. Keadaan Cantika sekarang merupakan hal yang utama. Tentang siapakah pengendara motor yang sembrono itu atau tentang kelalaian guru mengawasi Cantika dapat diurusnya nanti.  

 

“Mama pesan taksi dulu.” Indira meraih ponsel dari dalam tas bahunya. Gesit jarinya membuka aplikasi pemesanan taksi daring. Sebentar kemudian, sebuah mobil menerima permintaan Indira. 

 

“Lima menit lagi mobil taksinya datang. Bagaimana cara membawa Cantika keluar ya, Bu?” Indira kebingungan. Jarak antara ruang UKS dan halaman sekolah cukup jauh. 

 

“Kami ada kursi roda. Ayo kita pindahkan Cantika ke kursi roda.” Guru Cantika berbalik dan mengambil kursi roda yang tersimpan di sudut ruangan. Indira bersyukur sekolah Cantika memiliki fasilitas yang lengkap, sampai-sampai ruang UKS-nya pun menyediakan kursi roda. 

 

Bersama guru Cantika, Indira memindahkan tubuh Cantika ke kursi roda. Cantika lalu didorong oleh Indira menuju lokasi penjemputan oleh taksi. Cantika mengaduh beberapa menit sekali, menandakan rasa sakit yang dirasakan oleh kakinya bukan main-main. Tentu ada sesuatu yang serius hingga Cantika merasakan sakit yang tak kunjung henti. Setiap kali mendengar rintihan Cantika, Indira mempercepat laju dorongan kursi roda. 

 

Guru Cantika menemani Indira menanti datangnya taksi pesanan. 

 

“Maafkan kami yang lalai mengawasi Cantika ya, Bu.”  

 

“Iya, Bu. Saya maklum. Cantika juga tidak seharusnya berada di pinggir jalan. Semua sudah telanjur terjadi,” sahut Indira pasrah.  

 

Mobil taksi yang dipesan Indira memasuki halaman sekolah yang sudah lengang. Indira sangat lega melihatnya. Sekarang ia berdoa agar perjalanan menuju rumah sakit tidak macet. Ia tak tahan mendengar rintihan yang keluar dari mulut Cantika.  

 

Di dalam mobil, barulah Indira teringat bahwa ia belum mengabari suaminya tentang musibah yang menimpa Cantika. Tanpa menunggu tiba di rumah sakit, Indira langsung menghubungi suaminya dari dalam mobil.  

 

“Ke mana Papamu ya, Cantik?” Indira berkata risau saat panggilan teleponnya tak kunjung diangkat oleh suaminya. Cantika menoleh, sejenak perhatiannya teralih dari kakinya yang terasa berdenyut saking sakitnya. 

 

“Mama menelepon Papa? Syukurlah. Sejak tadi memang Cantika memikirkan Papa. Cantik ingin menemani Cantik saat berada di rumah sakit.” 

 

“Sabar ya, Cantik. Mama sedang berusaha menghubungi Papa. Mungkin Papa sedang sibuk atau tidak dengar ponselnya berdering.” Indira menghibur Cantika. 

 

Setelah sekian kali gagal menghubungi suaminya, Indira memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia mengecek waktu di jam digital ponselnya. Sudah pukul empat sore lebih. Seharusnya, waktu kerja Candra sudah akan usai.  

 

Mereka tiba di rumah sakit. Indira langsung sibuk dengan Cantika. Indira memutuskan Cantika langsung mendaftar ke IGD, lantaran luka kakinya ia anggap gawat dan perlu penanganan yang cepat. Selama Cantika di IGD, Indira sibuk mengurus administrasi rumah sakit untuk Cantika. Seandainya putrinya harus rawat inap, maka kelengkapan administrasinya sudah siap. 

 

“Ada tulang yang retak sedikit di kaki putri Ibu.” Informasi dari dokter IGD  membuat Indira merasa syok. 

 

“Parah tidak, dok? Anak saya tetap bisa berjalan, kan?” Indira gemetaran saat menanyakan hal itu. 

 

“Tidak. Kita bersyukur putri Ibu masih dalam masa pertumbuhan. Proses pemulihannya akan lebih cepat. Berbeda jika Ibu yang mengalami keretakan tulang, maka pemulihannya memerlukan waktu yang lebih lama,” jelas dokter jaga IGD. 

 

“Tapi putri Ibu harus di opname. Sepertinya kakinya perlu diberi gips agar tulangnya tidak bergerak banyak. Untuk lebih yakin, biar dokter spesialis ortopedi yang menjelaskan.” 

 

Indira mengangguk-angguk. Kepalanya terasa agak pening. Ingatannya kembali kepada suaminya yang masih sulit dihubungi. Indira berniat menelepon kembali Candra setelah Cantika mendapatkan kamar rawat inap. 

 

Pada saat Cantika beristirahat, Indira kembali menelepon Candra. Namun sayang, panggilannya tetap tidak diangkat. Kemudian Indira teringat pada Niko, salah seorang pegawai di kantor Candra. Niko bekerja di kantor Candra atas rekomendasi dari dirinya. Pemuda yang baru lulus kuliah itu merupakan keponakan dari Isma, teman kuliahnya dulu yang juga teman baik Candra. Isma meminta bantuan Indira untuk mencarikan Niko pekerjaan.  

 

Indira mencari-cari nama Niko di dalam daftar kontak teleponnya. Ketemu! Ternyata dulu dia memang pernah menyimpan nomor telepon anak itu. Sekali sentuhan jari pada layar ponsel, Indira memanggil Niko.  

 

“Halo?” Tak sampai semenit, panggilan Indira telah diterima oleh Niko. 

 

“Niko? Tante mau tanya. Sekarang semua karyawan lembur, ya?”  

 

“Enggak, Tante. Kebetulan hari ini enggak ada lembur.” 

 

“Oh, begitu. Jadi Om Candra lembur sendirian?” 

 

“Om Candra? Enggak juga, Tante. Om sudah pulang jam 5 sore tadi. Seperti biasa.” 

 

Indira terdiam. Dia pikir Candra hari ini lembur. Bukankah tadi pagi Candra mengatakan akan lembur selama seminggu ke depan? Tapi mengapa Niko berkata lain? Soal kejujuran, Indira yakin Niko tidak berbohong. Jadi ... pergi ke mana Candra sebetulnya? 

 

 

Bab 9: Penemuan

Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. 

 

“Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. 

 

“Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon.  

 

Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. 

 

Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali.  

 

“Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. 

 

Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah bisa pergi dan pulang sekolah sendiri. Itulah salah satu penyebab yang membuat Indira berpikir Ando telah mandiri dan bisa mengurus diri sendiri. 

 

“Maaf, An. Mama tadi lupa mengabarimu, Cantika sedang ada di rumah sakit.” 

 

“Hah? Cantika sakit apa, Ma?” Suara Ando terdengar cemas. Indira senang anak-anaknya saling peduli. 

 

“Tadi Cantika tertabrak motor, sekarang harus menginap di rumah sakit. Kamu enggak ada kunci rumah, ya? Apa Papa masih belum pulang?” tanya Indira. 

 

“Belum, Ma. Aku datang enggak ada mobil Papa. Rumah gelap. Aku jadi bingung,” aku Ando. 

 

“Kamu ke rumah sakit saja dulu. Kalau enggak, coba kamu telepon Papa.” 

 

“Aku ke rumah sakit saja, Ma. Sekalian melihat kondisi Cantika,” putus Ando. 

 

“Oke kalau begitu. Kamu ke sini saja sekarang.” Indira memberi tahu nama rumah sakit dan nomor kamar tempat Cantika dirawat.  

 

Setelah Ando memutuskan panggilan, Indira kembali teringat kepada suaminya. Rasa jengkel di hatinya telah berubah menjadi kedongkolan luar biasa. Ke mana Candra sampai sulit dihubungi? Di saat ia membutuhkan Candra, suaminya malah tidak ada. Dengan gemas, Indira kembali mencoba menghubungi suaminya. Ia tak akan berhenti sampai Candra mengangkat teleponnya. 

 

“Halo?” Suara Candra terdengar dari seberang. Panggilan Indira diangkat. Indira merasa lega luar biasa. 

 

“Papa ada di mana? Cantika masuk rumah sakit, Pa!” Terburu-buru Indira mengabarkan, saking paniknya dirinya. 

 

“Masuk rumah sakit? Kenapa, Ma?” Nada cemas terdengar dari suara Candra.  

 

“Tadi Cantika kecelakaan di depan sekolahnya. Kakinya terluka dan ada bagian tulang yang retak. Kakinya harus diberi gips, Pa.” Indira menceritakan keadaan Cantika seringkas mungkin. 

 

“Astaga. Di mana rumah sakitnya? Papa ke sana sekarang juga.”  

 

Indira menyebutkan nama rumah sakit dan nomor kamar Cantika. 

 

“Papa segera ke sana.” Terdengar suara gemeresik sebelum Candra menutup telepon. Ada juga bunyi ramai orang berbicara dan musik di latar belakang secara samar-samar.  

 

Indira tertegun. Di mana suaminya berada barusan? Kalau mendengar bunyi dan suara-suara ramai itu, Indira teringat pada suasana ruang publik seperti mal atau restoran. Apakah di sana Candra berada tadi? Hati Indira gelisah. Benaknya diliputi tanda tanya.  

 

Indira mencoba berprasangka baik. Mungkin Candra sedang pergi bersama kliennya dan membicarakan bisnis sambil makan malam di luar. Namun kemungkinan itu dibantah oleh hati kecilnya sendiri. Mana mungkin ada klien yang membicarakan bisnis lepas waktu kerja? Tidak masuk akal rasanya. Bukankah pembicaraan bisnis biasanya dilakukan pada saat makan siang? Lagi pula, jika memang sedang menjamu klien seharusnya Candra tidak mengatakan sedang lembur. Cukup katakan saja sedang berada di luar bersama klien. Kegalauan berkecamuk di benak Indira. 

 

“Bu Indira!” panggilan perawat membuat pikiran Indira buyar.  

 

“Ya, sus?” Indira mendekati perawat. Seketika pikirannya akan keberadaan Candra menguap seketika.  

***  

Candra dan Ando datang hampir bersamaan ke rumah sakit. Indira merasa lega, kini ia tidak sendirian menghadapi musibah yang menimpa Cantika. Bahkan, keluarganya berada dalam formasi lengkap. Mereka semua sekarang berada di dalam kamar rawat inap Cantika. 

 

"Papa dari mana saja? Dari sore tadi Mama telepon kok tidak diangkat-angkat?” Indira menumpahkan kekesalannya sesaat setelah Candra tiba. 

 

“Papa kan lembur, Ma. Bukannya tadi pagi Papa sudah bilang kepada Mama?” kilah Candra. 

 

Indira hendak mengatakan bahwa tadi dia menelepon Niko dan menurut Niko tidak ada yang lembur di kantor. Namun, niat Indira gagal terlaksana karena tiba-tiba perawat muncul. 

 

“Silakan Bapak dan Ibu. Dokter sudah menunggu.”  

 

“Oh, ya. Baik.” Indira menjawab spontan.  

 

“Mama tinggal sebentar ya, Cantik.” Indira mengecup dahi Cantika yang terbaring pasrah di ranjang rumah sakit. 

 

“Tapi Cantika enggak mau sendirian,” ujar Cantika memelas. Indira kebingungan. 

 

“Biar Ando saja yang menjaga Cantika, Ma. Papa dan Mama bisa pergi menemui dokter.” Ando menawarkan diri.  

 

“Dijaga Kak Ando ya, Cantik? Mama dan Papa hanya sebentar menemui dokter,” bujuk Indira.  

 

Indira sangat lega saat Cantika mengangguk setuju. Ando lalu duduk di sebelah ranjang Cantika. Indira dan Candra beranjak pergi mengikuti perawat yang telah lebih dulu berjalan. Mereka menuju ke ruangan dokter yang menangani Cantika.  

 

“Silakan, Bapak dan Ibu.” Dokter Ortopedi yang menangani Cantika menyambut ramah keluarga Candra di ruang kerjanya.  

 

Candra dan Indira duduk di hadapan dokter. Dokter lalu menjelaskan kondisi Cantika. 

 

“Apakah sembuhnya akan lama, dok?” tanya Indira penasaran. 

 

“Cantika masih anak-anak. Biasanya, retak tulang pada anak-anak sembuh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak-anak masih dalam masa pertumbuhan, sehingga tulangnya masih aktif membuat jaringan baru yang terus tumbuh setiap harinya,” jelas dokter panjang lebar. 

 

“Berapa lama sampai Cantika bisa berjalan lagi? Saya mencemaskan sekolahnya, dok. Saya takut ia ketinggalan banyak pelajaran,” urai Indira. 

 

“Waktunya tidak dapat dipastikan. Semua itu tergantung dari kondisi masing-masing anak. Namun, retak di kaki Cantika tidak besar. Kita sama-sama berharap Cantika dapat pulih dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan,” sahut dokter dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. 

 

“Apa yang harus kami lakukan agar pemulihan Cantika berjalan lebih cepat?” Indira kembali bertanya. 

 

“Ibu dapat memberikannya tambahan vitamin dan mineral agar pemulihannya terjadi lebih cepat. Putri Ibu juga harus tetap bergerak ringan agar aliran darah ke daerah cedera tetap lancar. Jangan biarkan putri Ibu hanya diam di tempat tidur sepanjang hari.” Dokter memberi saran secara terperinci. 

 

Barulah Indira mengangguk puas setelah mendengarkan penjelasan dokter tersebut. 

 

“Berapa lama Cantika di rumah sakit, dok?” Kali ini Candra yang bertanya. 

 

“Kurang lebih seminggu. Setelah itu pasien bisa dibawa pulang untuk rawat jalan.” 

 

Indira semakin lega mendengar penuturan dokter tersebut. Satu atau dua bulan ketinggalan pelajaran mungkin dapat dikejar. Indira lega Cantika tidak harus ketinggalan satu semester pelajaran. Tak terbayangkan rasanya apabila Cantika harus tinggal kelas akibat sakit.  

 

“Apa masih ada yang ingin ditanyakan?” Dokter memandang ke arah Indira dan Candra secara bergantian. 

 

“Cukup, dok. Terima kasih.” Indira yang menjawab. 

 

Saat keluar dari ruangan dokter, Indira mulai dapat tersenyum kembali. Candra pun terlihat sama leganya. Ia merangkul pundak Indira saat berjalan kembali ke kamar rawat inap Cantika. Mesra dan romantis terlihat. 

 

Indira kembali teringat pada pengakuan Niko bahwa tidak ada yang lembur hari ini di kantor, sedangkan Candra tadi mengatakan bahwa dia sedang lembur saat Indira menelepon. Indira bermaksud menanyakan kembali ketidaksesuaian ini. 

 

“Pa,” panggil Indira. 

 

“Ada apa, Ma?” Candra melirik sekilas, sambil mereka tetap berjalan.  

 

Indira sudah akan bertanya tentang berita dari Niko, tapi tiba-tiba hati kecilnya mencegah. Niko dan Candra sama-sama sudah membuat pernyataan yang berlawanan. Apabila Indira sekarang mengonfrontasi suaminya dengan pernyataan Niko, belum tentu Candra akan mengaku begitu saja. Apabila Candra berniat berbohong, maka pasti ia akan mempertahankan kebohongan itu dengan beragam dalih dan alasan. Indira seketika mengurungkan niatnya untuk bertanya.  

 

“Bagaimana dengan permintaan Ando untuk memiliki studio musik?” Indira membelokkan pertanyaannya kepada hal yang lain. 

 

“Oh, itu. Nanti saja mungkin, Ma. Sekarang Cantika sakit dan perlu biaya besar. Dana yang ada tidak cukup bila harus menuruti keinginan Ando sekarang.”  

 

“Betul juga ya, Pa. Biar nanti Mama yang memberi tahu Ando. Mama sih yakin dia mau mengerti keadaan kita,” sahut Indira.  

 

Kemudian mereka berdua sama-sama diam dan tak bercakap-cakap lagi. Indira terus memikirkan tentang suara alunan musik yang didengarnya saat menelepon Candra sebelumnya. Ia akan mencari tahu sendiri tentang keberadaan Candra malam ini. Entah bagaimana caranya, tapi ia bermaksud melakukannya diam-diam. Bukannya tak memercayai suami, tapi kebohongan Candra terlalu nyata untuk diabaikan. Insting Indira sebagai seorang istri menuntunnya untuk waspada. 
 

Bab 10: Wajah Dari Masa Lalu

Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman.  

“Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka.  

Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. 

Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang rapi dan tas yang tersandang di bahunya. Indira bangun dan menjejakkan kaki pada lantai kamar.  

“Papa sudah mau pergi? Aduh, maaf Mama enggak menyiapkan keperluan Papa.” Indira tergagap.  

“Enggak apa-apa. Papa maklum kok Mama lelah mengurus Cantika. Papa juga sudah besar, enggak perlu diurusi lagi seperti anak kecil,” sahut Candra kalem. 

Indira hendak beranjak untuk mendekati Candra. Gerakan tubuhnya tertahan saat mendengar larangan Candra. 

“Enggak usah bangun, Ma. Papa langsung berangkat saja. Soal sarapan juga gampang. Papa tinggal makan bubur ayam atau ketoprak di pinggir jalan.” 

Indira mengurungkan niatnya setelah mendengar tuturan Candra. Sebelum berbalik , Candra menitipkan pesan sebelum betul-betul pergi. 

“Nanti sore kemungkinan Papa lembur lagi sampai malam. Tidak usah ditunggu tidak apa-apa, Ma. Papa juga akan makan malam di luar saat merasa lapar.” 

Indira tertegun. Kata-kata “lembur” kembali mengingatkan Indira pada pembicaraan teleponnya dengan Niko tempo hari. Ada sesuatu yang mengimpit dada Indira saat Candra mengatakan tentang lembur itu kembali. 

“Tunggu, Pa!” Indira berdiri dan menghampiri Candra dengan cepat. Sekarang ia berhadapan dengan Candra.  

"Pa. Selama Cantika sakit, tolong jangan lembur dulu, ya.” Indira meminta seraya menatap sungguh-sungguh ke bola mata Candra. Sementara itu, tangannya juga memegang lengan Candra dengan lembut.  

“Papa mengerti Cantika sedang sangat membutuhkan kehadiran Papa saat ini, Ma. Namun pekerjaan Papa juga tidak bisa diabaikan. Pekerjaan Papa bisa berantakan nanti,” tolak Candra tegas. 

Selarik kecewa tercipta di benak Indira. Rasa curiganya semakin bertambah-tambah. Apakah Candra jujur ataukah ada alasan lain sehingga suaminya bersikeras untuk lembur? Tekad di hati Indira untuk menyelidiki aktivitas suaminya kian menggebu-gebu.  

Melihat Indira mematung dengan wajah murung, Candra memutuskan untuk bernegosiasi. 

“Begini saja, Ma. Saat pulang nanti, Papa akan mencari dan mengajak Cantika mengobrol. Apabila Cantika sudah tidur, setidaknya Papa akan menengok keadaannya dan mengecup dahinya.” Candra meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pundak Indira saat berbicara, menunjukkan kesungguhan janjinya.  

“Baiklah, Pa. Jangan terlalu lama lemburnya, ya.” Indira menyetujui dengan hati yang berat.  

Indira mengantarkan Candra pergi hingga ke pintu depan rumah. Ia membalas lambaian tangan Candra yang dilakukannya sebelum mobilnya melaju meninggalkan halaman rumah. Indira membalas lambaian tangan Candra, sambil berpikir betapa gagahnya sang suami dalam balutan kemeja bergaris-garis hitam yang dikenakannya.  

Untuk lelaki berumur empat puluhan, Candra memang masih gagah berkat olahraga teratur yang dilakukannya. Sisa ketampanan masa mudanya juga masih tercetak jelas pada gurat wajahnya. Kata orang, lelaki matang dengan penghasilan mapan lebih banyak memikat wanita daripada lelaki muda. 

“Mama?” suara mungil menghentikan lamunan Indira yang berlarut-larut. Indira tersentak. Sudah berapa ia melamun di depan pintu? Indira mengayun langkah kembali ke dalam kamar Cantika. 

Cantika mengucek mata sambil menguap saat Indira memasuki kamarnya. Rambut acak-acakan Cantika memberitahukan bahwa ia memang baru terjaga.  

“Cantik sudah bangun?” sapa Indira seraya bergegas mendekati putrinya. Indira mengusap ubun-ubun kepala Cantika dengan penuh kasih sayang.  

“Cantik mimpi dengar suara Papa berpamitan pergi kerja, Ma.” Cantika menatap polos ke arah Indira. Indira tersenyum. 

“Tadi memang Papa ada di sini buat pamit pergi kerja kepada Mama.” Indira terus mengelus kepala Cantika. 

“Oh, bukan mimpi ternyata. Yahhh ... Papa sudah pergi ya, Ma? Padahal Cantika ingin sekali dipamiti Papa juga.” Bibir mungil Cantika membentuk cemberut yang lucu. Indira tak bisa tak tersenyum melihat mimik wajah putri kecilnya.  

“Papa takut terlambat, Cantik. Tapi tadi Papa sudah berjanji, kalau pulang nanti akan menemui Cantika,” ujar Indira penuh semangat.  

“Cantika ingin Papa segera pulang,” cetus Cantika lugu. Indira tertawa. 

“Cantik sudah lapar, belum? Mau Mama buatkan sarapan apa?” tawar Indira, mengalihkan perhatian Cantika dari ayahnya. 

“Hm. Selama di rumah sakit, Cantik ingin sekali makan panekuk buatan Mama. Di rumah sakit enggak ada makanan yang enak, Ma.” Cantika bertutur penuh semangat. 

“Oke, oke. Mama buatkan panekuk sekarang, ya?” Indira beranjak dari sisi tempat tidur Cantika.  

Saat memasuki dapur, tanpa sengaja Indira berpapasan dengan putra sulungnya. Ando yang bernama lengkap Aliando itu sudah mengenakan seragam putih abu-abunya dengan rapi. 

“Ando, kamu cari sarapan, ya?” tanya Indira. Ando mengangguk. 

“Mama tadi terlambat bangun. Kamu cari makan di luar saja, ya.” Indira bergerak mendekati kulkas. Dompet di atas kulkas menjadi tujuan Indira. Dari dalam dompet itu, Indira mengeluarkan uang senilai dua puluh ribu dan menyerahkannya kepada Ando.  

“Baik, Ma.” Ando meraih lembaran uang yang terulur dan langsung memasukkannya ke dalam saku celana belakangnya. Sikap yang Indira anggap ceroboh dan berisiko uang menjadi hilang oleh berbagai sebab. Perilaku itu Ando warisi dari ayahnya. Terkadang Indira heran, bahkan perilaku sekecil itu saja diturunkan melalui pita genetika manusia.  

“Ando pergi dulu, Ma.” Tangan Indira diambil dan dicium oleh Ando. Indira tersenyum. 

Selepas kepergian Ando, Indira mulai berjibaku di dapur untuk memenuhi pesanan Cantika. Ia mempersiapkan bahan-bahan pembuatan panekuk. Selagi tangannya gesit bergerak, otaknya tak kalah lincah berpikir.  

Indira ingin sekali tahu kebenaran tentang perkataan Candra tentang lembur barusan. Ia harus membuktikan hal itu. Bukan dari bertanya kepada orang-orang di sekitarnya ataupun di sekitar Candra. Hal itu hanya akan menerbitkan rasa curiga yang dapat berkembang menjadi gosip. Indira memutuskan untuk menyelidiki hal ini dengan tangannya sendiri. Ia akan mendatangi Candra di kantornya nanti sore. ***  

Sinar matahari sore yang mulai redup menimpa wajah Indira di balik helm, saat sepeda motor yang dikendarainya memasuki jalan tempat kantor Candra berdiri. Sedikit lagi ia akan tiba di kantor Candra. Waktunya sangat pas. Sekarang merupakan jam bubar kantor. Ia akan memberi kejutan kepada Candra. Indira tak sabar mengetahui reaksi Candra saat melihat kedatangannya. 

Cantika sudah Indira titipkan kepada Mbak Narti, perempuan umur tiga puluh tahunan yang selama lima tahun terakhir menjadi tenaga bersih-bersih di rumahnya. Mbak Narti bukan pembantu yang tinggal di dalam rumah. Indira hanya memakai tenaganya tiga hari dalam seminggu. Dua jam datang dan membereskan rumah, Mbak Narti boleh pulang dan tidur di rumahnya sendiri. Khusus untuk hari ini, Indira telah meminta Mbak Narti pulang lebih lambar daripada biasanya, yaitu menunggu hingga ia kembali pulang dari aksinya sekarang.  

Lima meter dari lokasi kantor Candra, tiba-tiba terdengar bunyi letusan dari ban motor yang dikendarai Indira. Indira terkejut saat mendapati motornya oleng seketika. Lekas-lekas ia menepikan motor itu ke pinggir jalan. Indira mendesah saat melihat ban belakang motornya telah kempes. Apes. 

Indira tengah berdiri sambil memikirkan letak bengkel motor terdekat, saat sebuah mobil city car yang amat dikenalnya melintas pelan dari kejauhan. Indira yang tengah menatap ke arah datangnya mobil, terhenyak. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan adegan yang membuat hatinya teriris. Di dalam mobil itu, terlihat suaminya Candra tengah fokus menyetir mobil. Di sampingnya, seorang wanita dengan raut wajah yang tak asing duduk manis dan tersenyum ceria.  

Indira memang syok berat. Namun rasa terguncang itu tak sampai membuat otaknya berhenti bekerja. Sigap Indira meraih ponsel yang berada di dalam tasnya, lalu mengarahkan kamera ponsel ke arah mobil yang sedang melaju tepat ke arahnya. Beberapa kali Indira mengetuk layar untuk mengambil gambar. Saat mobil itu melintas pergi dari lokasi motornya yang mogok, Indira telah memiliki beberapa foto yang akan menjadi bukti.  

Indira limbung. Selepas mobil itu berlalu, Indira ambruk di tanah tempatnya berdiri. Bahkan pengemudi mobil itu tak menyadari kehadiran Indira di pinggir jalan. Mungkin Candra terlalu fokus menyetir, atau terlalu sibuk bercengkerama dengan wanita di sampingnya. Indira merasa dirinya tak ubahnya gelas kaca yang baru saja dibanting ke lantai keramik. Berkeping-keping rasa hatinya saat ini.  

Wanita itu. Tak mungkin Indira melupakan raut wajahnya. Wajah wanita yang pernah menggoyang rumah tangganya beberapa tahun yang lalu. Mengapa sekarang ia bisa kembali? Di mana Candra menemukan wanita itu? Rentetan tanya menyerbu benak Indira bagaikan peluru yang ditembakkan bertubi-tubi. 

“Ibu baik-baik saja?” suara seorang lelaki terdengar dekat di telinga Indira. Indira mendongak. 

===== AKHIR SAMPEL GRATIS ====

Lanjutan cerita ini sampai tamat bisa dibaca pada postingan setelah ini. 

Baca juga cerbung lainnya yang sudah TAMAT:

1. Pembalasan Untuk Madu yang Menjadikanku Madu (Kau jadikan aku babu, kupenjarakan kamu)

2. Suami Ingkar Janji. (Apa yang terjadi bila doa istri yang diduakan dikabulkan?)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cinta Maya (Setelah Suamiku Menikah Lagi): Bab 11-22
0
0
Maya berdiri di dekat pintu lift. Celingukan mencari-cari tamu yang dikabarkan oleh resepsionis beberapa saat yang lalu. Pandangan matanya belum mendapati Indira dan Shinta yang duduk agak di pojok ruang tamu.“Dia berbeda,” bisik hati Indira. Dia agak syok melihat perubahan pada diri Maya. Maya yang dulu dikenalnya kurus dengan rambut yang kurang terurus, sekarang tampak berbadan lebih montok dengan wajah yang jauh lebih putih. Rambutnya pun terlihat sangat lurus, seperti diberi smoothing.Gelombang rasa geram bangkit di dada Indira. Pastilah Maya sering keluar masuk salon hingga bisa tampil secemerlang itu. Sudah pasti uang Candra yang dia gunakan. Uang suaminya! Betul-betul wanita tak tahu malu.“Itu dia,” bisik Shinta di telinga Indira.“Aku tahu,” geram Indira sambil mengepalkan tangan. Indira bangkit berdiri, lalu dengan langkah tegap dan pasti menghampiri Maya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan