
Sisil berjalan menunduk menuju kursi yang kosong. Mira yang duduk di sampingnya menyikut Sisil dan memberi kode untuk melepas masker. Sisil baru sadar, masih memakai masker dan jaket. Rambutnya juga pasti berantakan efek memakai helm ojol dari stasiun ke sini. Pantas saja jadi pusat perhatian, sudah datang terlambat, penampilannya juga kacau. Pasti terlihat menyedihkan, tidak heran jika Pak Arga melihatnya langsung illfeel, dia ada di ruangan ini tapi entah duduk di sebelah mana.
Ya ampun kenapa...
Bab 25 Tunangan zidan
Selain memilih outfit, Mama juga disibukkan dengan menentukan kue hantaran yang akan dibuat untuk acara pertunangan Bang Zidan sejak undangan diterima. Bukan kue hantaran pesanan Tante Airin, Mama hanya ingin memberi sebagai bentuk sayang pada Bang Zidan, karena selama ini menganggap Bang Zidan bagian dari keluarga, Abangnya Sisil.
Sisil yang melihat dan membantu kesibukan Mama membuat kue, sedikit nelangsa. Harapannya berjodoh dengan Bang Zidan menipis. Sisil tahu, ia harus melepaskan Bang Zidan dari hatinya dan mendoakan yang baik-baik untuk Bang Zidan, termasuk meralat doa minta dijodohkan dengan Bang Zidan.
Dan hari pertunangan Bang Zidan tiba. Kesibukan sudah dimulai sejak subuh. Mama mengecek kue hantaran, memastikan terpacking rapih. Teh Lilis, ART yang biasa datang jam 8, hari ini diminta datang pagi untuk membantu menyiapkan sarapan. Mama dan Sisil dandan setelah sholat subuh jadi nggak mungkin sibuk di dapur lagi, begitu kata Mama.
Jam 7 kurang seperempat Pak Arga datang. Dia mengenakan kain batik lengan panjang, nampak rapih dan resmi. Sisil akui baju apapun yang dikenakan membuat Pak Arga terlihat menarik, bahkan saat hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek sehabis olahraga beberapa waktu lalu.
Mama mengajak Pak Arga ikut sarapan.
“Terima kasih Tante, saya sudah sarapan,” tolak Pak Arga.
“Makan saja sedikit, Tante sudah siapin lho. Ayo, ayo…” dengan tangannya Mama memberi isyarat agar Pak Arga mengikuti langkahnya ke ruang makan. Pak Arga nampak canggung tapi Sisil tahu Mama tidak akan berhenti sampai maksudnya berhasil.
“Ayo Pak Arga, sebelum diseret Mama,” canda Sisil. Sebenarnya Sisil malu berhadapan dengan Pak Arga sejak insiden marah-marah itu walaupun sikap Pak Arga sudah biasa. Sisil tahu, harusnya minta maaf tapi rasanya berat, gengsi.
“Begitu ya?” Pak Arga tertawa.
“Iya.” Sisil menarik lengan Pak Arga yang masih berdiri mematung.
“Siapin minumnya buat Arga, Sil,” kata Mama begitu Pak Arga duduk. Sisil mengambil gelas dari konter dan mengisinya dengan air putih, meletakkan di sisi piring.
Respon Mama terhadap Pak Arga mulai membuat Sisil khawatir karena sepertinya Mama menilai hubungan mereka ditahap serius, jadi harus segera berterus terang jika sudah putus agar harapan Mama tidak terlalu jauh.
Sarapan diselingin obrolan Papa dan Pak Arga, setelahnya keduanya keluar untuk memeriksa kendaraan, yang Sisil dengar Pak Arga menawarkan untuk menggunakanan kendaraannya.
“Mama seneng, punya calon mantu seperti Arga, orangnya supel, cepet akrab sama Papa. Semoga dia benar-benar sayang sama kamu, De,” Sisil tersentak ketika menyadari Mama berdiri di sampingnya dan mengusap-ngusap pundaknya sambil mengatakan itu, melihat ke arah yang Sisil lihat, Pak Arga dan Papa yang tengah mengobrol di samping kendaraan. Buru-buru Sisil berbalik.
“Sudah semua kan Ma? Nggak ada yang ketinggalan,” Sisil menunjuk box hantaran di meja teras.
“Nggak.” Mama dan Sisil berjalan menuju kendaraan dengan membawa box hantaran setelah pamit pada Teh Lilis. Rumah Bang Zidan lenggang, yang Sisil dengar dari Mama, Bang Zidan dan keluarganya menginap di hotel yang tidak jauh dari rumah Amira yang berada di Cijantung.
Pak Arga mengambil alih hantaran dari tangan Mama dan meletakkannya di bagasi, diikuti Sisil.
“Sudah semua Sil?” tanya Pak Arga setelah memasukkan box hantaran.
“Sudah.” Sisil menunggu Pak Arga menutup pintu bagasi, hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan tapi ia ingin bicara agar hatinya tenang dan tidak malu.
“Pak Arga,” panggil Sisil dengan nada ragu.
“Iya Sil.” Pak Arga menjalan mendekat, membuat Sisil gugup.
Sisil membetulkan letak kacamatanya, berdehem, sebelum berkata,“Sisil minta maaf soal kejadian marah-marah itu.”
“Oh itu, iya Sil, sudah dimaafin. Saya maklum kok kalau perempuan PMS suka aneh.” Pak Arga tersenyum.
“Pak Arga tahu dari mana kalau perempuan PMS suka marah-marah?”
“Tante Amel dari dulu begitu Sil, sekarang nurun sama anaknya. Kalau lagi PMS emosinya kadang lebay.” Pak Arga geleng-geleng kepala sambil terkekeh. ”Yuk, Mama sama Papa Sisil udah nunggu,” ajaknya sambil berjalan menuju pintu depan kendaraan. Apakah jawaban Pak Arga membuat Sisil lega? Ternyata tidak, rasa malu dan bersalahnya masih tersisa. Mama pasti malu jika tahu kelakuan Sisil.
“Aman ya Om, Tante, nggak ada yang ketinggalan, kita berangkat sekarang.” Pak Arga menyalakan mesin kendaraan.
“Iya. Bismillah,” ucap Mama.
Sepanjang perjalanan Sisil lebih banyak diam, mempersiapkan diri agar hatinya lapang saat di acara nanti. Bagian paling sulit, mempersiapkan tidak terlihat sedih apalagi menangis saat acara nanti. Sisil hanya mentolerir satu dua titik air mata, agar terkesan air mata haru dan turut berbahagia bukan air mata patah hati. Tapi sungguh, membayangkan Bang Zidan menyematkan cincin ke jari Amira saja membuatnya sesak.
Sejujurnya, Sisil tidak mau menghadiri acara ini, tidak mau melihat Amira yang pastinya tampil lebih cantik, tidak mau melihat Bang Zidan menatap Amira dengan tatapan penuh cinta. Tapi jika Sisil tidak datang pasti aneh.
Amira cantik dan anggun, tak heran Bang Zidan jatuh hati, dia juga dewasa pasti tidak manja seperti Sisil. Ya, Amira memang cocok untuk Bang Zidan, apalah Sisil hanya ‘adik perempuan’ yang suka ngerepotin dengan minta bantuan ini itu atau diantar kesana-kemari. Sisil berharap suatu hari ada seseorang memperlakukannya dengan baik dan sayang seperti Bang Zidan.
“Sil, sudah sampai,” Suara Pak Arga menghentikan lamunan Sisil, dari kaca spion, ia melihat Mama turun dan menutup pintu kendaraan.
Acara tunangan diadakan di kediaman Amira, sepertinya hanya acara keluarga terlihat dari jumlah undangan yang tidak banyak. Garasi rumah disulap menjadi tempat deretan food stal dan meja prasmanan, tenda ukuran sedang dipasang menaungi teras dan halaman rumah, didekorasi apik dengan bunga-bunga krisan berwarna pink, putih dan kuning , sederhana tapi elegan. Rumah Amira terletak di samping taman kompleks jadi parkir kendaraan tidak terlalu mengganggu jalan.
Kebanyakan tamu berusia dewasa datang berpasangan, Sisil jadi bersyukur datang dengan Pak Arga. Sisil tidak tahu apakah Bang Zidan tahu jika maksud kalimat yang diungkapkan di café kemarin, kalau dirinya sayang Bang Zidan itu sebagai sayang seorang perempuan dewasa atau tidak? Tapi jika tahu setidaknya dengan bersama Pak Arga, ia tidak terlihat seperti orang patah hati.
Sisil memilih duduk di kursi deretan belakang walaupun Mama meminta duduk di deretan kursi depan. Pak Arga duduk di sisi Sisil tanpa berkomentar. Ka Sophie dan Mas Bas duduk tidak jauh dari Mama dan Papa.
Acara berlangsung khidmat, Papa berbicara mewakili keluarga Bang Zidan, menyampaikan maksud kedatangannya. Hubungan Papa dan Bang Zidan memang sangat dekat, bagi Papa, Bang Zidan adalah anak lelaki yang tidak pernah dimilikinya, bagi Bang Zidan, Papa adalah sosok lelaki yang menggantikan kehadiran Ayah kandungnya, begitulah yang selama ini Sisil lihat.
Sisil menyimak semua rangkaian acara tapi matanya menghindari menatap tepat ke depan, di mana Bang Zidan dan Amira duduk bersisian. Masuk ke acara inti, penyematan cincin. Jantung Sisil berdebar-debar kencang, ada rasa sakit di hatinya, ia berhasil tidak meneteskan air mata, tapi tenguknya terasa panas, perut mulas dan gugup.
“Sil,” panggilan lembut Pak Arga membuat Sisil menoleh dengan dagu terangkat. Tinggi Sisil hanya sebahu Pak Arga jadi jika ngobrol dalam jarak dekat harus sedikit mendongkak. Pak Arga mengacungkan permen mint,”Ngantuk ya,” bisiknya. Dari tadi Sisil lebih banyak menunduk tak heran Pak Arga mengira ngantuk.
Sisil mengambil permen itu, memberi isyarat pada Pak Arga untuk mendekat karena ia mau berbisik,”Pak Arga dulunya perokok ya,” bisik Sisil di telinga Pak Arga.”Om Sisil suka bawa-bawa permen karena dulunya perokok.”
Pak Arga mengulas senyum, tidak mengelak tidak juga mengiakan.
“Sisil nggak bisa dibohongi.”
“Saya nggak bohongin Sisil soal rokok,” bisik Pak Arga dengan santai tapi entah kenapa membuat Sisil senewen.
Acara ditutup dengan para tamu mengucapkan selamat dan makan siang. Sekali lagi Sisil merasa beruntung Pak Arga ikut dan pura-pura jadi pacarnya. Saat mengantri untuk salaman Sisil memberanikan diri menggandeng lengan Pak Arga, mengabaikan keterkejutannya. Sisil menenangkan debar jantungnya yang mendadak kencang dengan mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya berlahan.
“Terima kasih ya Sil,” Tante Airin memeluk Sisil, setelahnya menoleh ke arah Pak Arga,”Ini calonnya Sisil.”
Sisil tersenyum tanpa mengangguk.
Giliran bersalaman dengan Bang Zidan, Sisil menampakkan raut bahagia dan sumringah yang sudah ia latih selama beberapa hari di depan cermin, bibir ditarik lebar, mata jangan terlalu menyipit dan gesture yang dibuat santai. Aslinya, hati Sisil perih.
Bang Zidan, kok tega banget sih ninggalin Sisil
“Terima kasih ya Sil,” ujar Bang Zidan sambil tersenyum, setelah Sisil mengucapkan selamat.
Saat mengucapkan selamat, Sisil benar-benar mengatakannya dengan tulus,mendoakan hal yang baik untuk Bang Zidan, berusaha melupakan keinginannya berjodoh dengan Bang Zidan. Sisil yakin jika situasi yang terjadi sebaliknya, misal Bang Zidan menyukai Sisil sebagai perempuan dewasa sementara Sisil memilih lelaki lain, pasti Bang Zidan akan menerimanya dengan lapang dada dan mendoakan yang baik-baik, Sisil tahu karakter Bang Zidan yang memang baik hati dan tulus, kalau istilah Ka Sophie, Bang Zidan itu orangnya lurus.
“Sil, tangannya nggak digandeng lagi,” tanya Pak Arga dengan senyum menggoda sambil menyodorkan lengannya ketika mereka berjalan menuju deretan food stal.
Sisil berjinjit dan berbisik,“Nggaklah. Kita impas Pak Arga, kemarin waktu Oma sakit Sisil pura-pura jadi pacar Pak Arga, sekarang sebaliknya.”
Sisil sadar Pak Arga masih menyukainya tapi sulit sekali menghilangkan perasaan curiga pada kebaikan dan perhatiannya setelah melihat kejadian malam tahun baru itu. Kejadian yang juga membuka matanya sedikit sekali yang diketahui tentang Pak Arga, tidak tahu sisi lain kehidupannya.
Tak ada yang lebih melegakan bagi Sisil hari ini selain pada akhirnya acara selesai. Sisil sudah merencanakan akan tidur saat di perjalanan pulang nanti karena lelah, semalam tidur jam 12 an karena tidak bisa tidur menghadapi hari ini.
“Semoga setelah ini Sisil sama Arga nyusul ya,” Mama menoleh sekilas. Sisil dan Pak Arga berjalan bersisian di belakang Mama dan Papa, mereka menuju parkiran.
“Ma, Sisil kan mau kuliah lagi.”
“Kan nggak ada larangan kuliah sambil tunangan atau nikah. Papa aja S3 waktu anaknya udah tiga,” kata Mama tanpa menoleh.
“Itu konsepnya beda, Ma.”
“Iya disamain aja, sama-sama kuliah,” ujar Mama tidak mau kalah.
“Ma, Sisil sama Arga udah dewasa, biar mereka yang menentukan.” Pembelaan Papa membuat Sisil lega.
“Iya, Pah, itu kan hanya ide,” Mama ngeles, tangannya dia gandengkan ke lengan Papa dengan gesture manja.
“Pak Arga,” Sisil menarik tangan Pak Arga agar berhenti berjalan dan memberi isyarat jika ingin berbisik. Pak Arga sedikit menundukkan badannya agar sejajar dengan Sisil, “Omongan Papa dan Mama jangan dipikirin ya,” bisiknya.
“Iya Sil, nggak dipikirin kok, tapi diaminin.” Pak Arga balik berbisik di telinga Sisil.
***
Bab 26
Sebelumnya Sisil mengira, perasaan tersakit itu saat patah hati, ternyata salah. Ada perasaan yang lebih sakit dari patah hati yaitu ketika mendapat kabar jika Mama mengidap kanker. Untuk sesaat Sisil merasa dunianya runtuh. Bagaimana hari-harinya jika tanpa Mama? Bagaimana keadaan rumah tanpa Mama? Bagaimana rasanya sehari tidak melihat Mama? Sisil tidak bisa membayangkannya. Sisil belum siap kehilangan Mama, mungkin tidak pernah siap.
“Insyallah Mama sembuh De, karena masih stadium awal.“ Ka Shifa mengusap-ngusap bahunya.
Sisil tahu, tapi khawatir, beberapa tahun mendatang, kanker Mama bermetastasis karena itu juga yang terjadi pada Mamanya Michelle, teman sekolah SMP nya yang juga tinggal satu kompleks. Sisil takut itu terjadi pada Mama di tahun-tahun mendatang.
“Kamu boleh nangis sepuasnya sekarang De, tapi please di depan Mama, jangan ya. Jangan sampai Mama melihat kamu sedih karena yang paling Mama khawatirkan kamu,” ujar Ka Sophie.
“Karena Sisil suka ngerepotin Mama ya. Padahal Sisil udah nolak diantar jemput Mama ke stasiun, Sisil bisa bawa motor sendiri,” ujar Sisil disela isak tangisnya.
“Kaka tahu, Mama melakukannya karena dia takut sesuatu terjadi sama kamu. Mama trauma karena dulu kamu sering sakit,” ujar Ka Shifa.
“Bahkan sampai koma,” tambah Ka Sophie yang membuat Sisil terbelalak. Ia ingat sering sakit tapi baru tahu jika pernah sampai koma.
“Sophie!” Ka Shifa sepertinya tidak suka Ka Sophie mengatakan itu.
Ka Shifa mulai bercerita, Mama hamil Sisil saat Papa mengalami kebangkrutan, sebagian besar sahamnya, yang merupakan pemberian Ayahnya - Kakek Sisil yang harusnya dikelola dengan baik, dijual karena iming-iming investasi yang ditawarkan temannya, tapi ternyata penipuan. Kakek marah besar, penghasilan Papa sebagai dosen muda tidak mencukupi kebutuhan keluarga, terlebih Mama resign begitu hamil Sisil – sebelum Papa kena tipu.
Mama stres hingga Sisil lahir di usia kandungan 7 bulan, prematur. Sisil memerlukan waktu satu bulan sampai akhirnya bisa dibawa pulang ke rumah. Daya tahan tubuh Sisil lemah hingga kena pnenomia akut dan mengalami koma, Mama makin stres, ASI nya tidak keluar. Sisil akhirnya sembuh dari pnenomia tapi daya tahan tubuhnya tetap lemah, sering sakit, salah makan sakit, mudah kena flu, alergi debu, alergi asap, alergi obat tertentu, setelah dilakukan pemeriksaan intensif, Sisil mengalami masalah pada sistem kekebalan tubuhnya. Sisil bolak balik ke rumah sakit, entah untuk terapi atau karena sakit. Sisil baru masuk sekolah formal kelas 3 SD, sebelumnya home schooling untuk menghindari tertular penyakit. Sisil tidak mengenal sekolah taman kanak-kanak. Temannya hanya kedua Kakanya, Ka Rania dan Bang Zidan.
Kilasan ingatan masa kecil hadir di benak Sisil. Ingatan yang biasanya buru-buru ia tepis karena membuatnya ketakutan. Terbaring di rumah sakit dan hanya ada Mama di sampingnya. Saat menangis karena kesakitan, Mama menggendong. Saat nafasnya sesak dan membuat ketakutan, Mama menenangkan. Ketakutan terbesarnya saat itu hingga sekarang adalah Mama tidak ada di sampingnya.
Seiring usia daya tahan tubuh Sisil meningkat, tidak terlalu sering sakit tapi masih sakit asma, alergi terhadap beberapa jenis obat – jadi jika sakit agak lama sembuh karena tidak bisa minum obat, alergi pada beberapa jenis makanan tertentu, salah makan sakit perut, alergi dingin, mudah kena flu, kondisi yang membuat Mama dan Papa merasa bersalah, hingga over protektif, Sisil diantar jemput sekolah hingga SMA, tidak ikut kegiatan di luar pelajaran sekolah.
Jika ada bagian dari perjalanan hidupnya yang bisa dihapus dari ingatan, maka Sisil memilih masa SMP. Ia selalu dipandang dengan tatapan aneh oleh teman-temannya karena ke sekolah selalu memakai jaket dan satu-satunya siswa yang diijinkan memakai jaket di kelas, sering memakai masker dan membawa antiseptik– sebelum masker diwajibkan saat pandemi. Selalu membawa bekal dari rumah dan dilarang jajan di kantin kecuali dipilih dan dibelikan Teh Lilis. Sisil selalu menuruti apa yang dikatakan Mama karena takut sakit.
Sisil suka dikatai anak Mama karena bukan hanya diantar jemput ke sekolah oleh Mama kadang jika kondisi badannya tidak fit ditunggui Teh Lilis di kantin sekolah. Sisil adalah siswa yang keberadaannya ada tapi tidak terlihat, itulah yang Sisil rasakan, terlebih ia tidak memiliki kelebihan seperti cantik atau pintar. Kalaupun Bang Zidan dan Mama suka memuji jika Sisil cantik pasti cantiknya biasa-biasa aja. Nilai sekolahnya biasa, bukan siswa terpandai bukan juga siswa terbodoh, tubuhnya kurus, ringkih, berkawat gigi dan berkacamata agak tebal. Kadang Sisil merasa seperti si itik buruk rupa terlebih saat bersama kedua kakaknya.
Temannya sedikit, hanya satu dua orang teman perempuan yang mau lama-lama ngobrol atau basa-basi dengannya, salah satunya Michelle, mungkin itu karena sudah kenal sejak kecil, masih tetangga satu komplek. Selain itu Sisil juga tidak pandai membuka obrolan, takut salah dan malu.
Anak lelaki di sekolahnya hampir tidak pernah ada yang mengajaknya ngobrol, kecuali satu orang, namanya Adam, itupun karena dia senasib dengan Sisil, siswa yang keberadaannya ada tapi tidak terlihat. Bukan karena Adam sakit seperti Sisil tapi dia sepertinya orang yang tidak bisa bergaul dengan banyak orang, beberapa tahun kemudian Sisil tahu, ternyata Adam mengidap autis.
Masa sekolahnya memang begitu menyedihkan kalau tetap bisa tersenyum karena begitu sampai rumah kesedihannya hilang, ada Mama yang selalu membesarkan hatinya, ada buku-buku yang membuat bisa menciptakan dunia dan imajinasi sendiri, atau mengobrol dengan Bang Zidan.
Ka Sophie dan Ka Shifa memberi wejangan cara menghadapi teman yang mengejek, untunglah tidak ada temannya yang pernah mengejek secara langsung, hanya tatapan mereka terkesan mengasihani. Jika teman Ka Sophie atau Ka Shifa datang ke rumah mereka akan memperkenalkannya pada Sisil, yang membuatnya merasa memiliki banyak teman walaupun tidak memiliki teman sekolah.
Menginjak masa SMA, tidak seburuk masa SMP tapi tidak seindah masa SMA yang sering dikatakan orang. Sisil sudah jarang sakit, nggak pake jaket atau sweater, tubuhnya masih kurus tapi tidak seringkih saat SMP, kacamata sudah ditipiskan jadi tidak terlihat jelek, kawat giginya sudah dilepas, nggak ditunggui teh Lilis di kantin, boleh jajan di kantin tapi hanya jenis makanan tertentu, tapi tetap sebagai siswa yang keberadaannya ada atau tidak ada, tidak terlalu disadari teman-teman sekelasnya. Jumlah teman yang akrab sedikit.
Ada satu anak lelaki di kelasnya yang menyukainya, pernah mengirimkan surat cinta, namanya Farid, salah satu siswa di kelasnya yang jago matematika, sayangnya dia anak badung, duduk paling dan suka membuat kegaduhan. Sisil takut sama Farid.
Mama dan Papa baru mengajarkannya mandiri, bepergian sendiri dalam jarak dekat, saat SMA, mulai melepasnya naik transportasi umum sesekali. Masuk kuliah saat pandemi, jadi Sisil merasakan masa kuliah offline hanya beberapa semester. Tapi walaupun hanya beberapa semester kuliah offline itu adalah masa paling menyenangkan untuk Sisil. Mama dan Papa lebih membebaskannya untuk ikut kegiatan kampus tapi tetap tidak boleh menginap dan harus pulang dibawah jam 8 malam, jika lebih Mama menunggui.
Sisil ingat, ia sangat excited ketika pertama kalinya naik ojol, naik KRL, naik MRT, naik bus transjakarta sendirian hingga akhirnya menikmatinya. Dari naik transportasi publik, Sisil merasa dunianya lebih luas.
“Sampai sekarang Mama masih parno kalau kamu sakit,” tambah Ka Sophie.
Sisil mengusap air matanya, tangisnya sudah berhenti.
“Kuat ya Sil, Kaka dan Ka Shopie, mengandalkan kamu untuk memantau Mama karena kita tinggal di luar kota.”
“Mama dijadwalkan kemoterapi minggu depan,” ujar Ka Shifa.
“Mama nggak dioperasi?”
“Mama dioperasi tapi dikemo dulu, dua atau tiga kali tergantung nanti hasil kemo pertama. Kemo untuk mempermudah pengambilan benjolan di payudara Mama. Setelah itu operasi, lanjut kemo lagi untuk memastikan sel kankernya benar-benar mati. Prosesnya agak panjang. Kaka dan Ka Sophie akan usahakan datang saat Mama operasi atau kemo.”
“Kaka pulang setiap minggu Sil,” ujar Ka Sophie.
Situasi yang masih membuat Sisil bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Tapi sadar, bahwa ini harus dijalani karena menyayangi Mama dan tidak mau kehilangan Mama.
“Kamu nggak mungkin cuti setiap Mama kemo, jadi saat kemo pertama ajak Teh Lilis, jadi kalau salah satu dari kita tidak bisa mengatar Mama, Teh Lilis bisa antar. Kemo Mama hanya rawat jalan.” Teh Lilis adalah ART yang sudah ikut keluarga sejak Sisil kecil, sejak Teh Lilis masih gadis, sekarang teh Lilis sudah punya anak dua dan tinggal di perkampungan yang tidak jauh dari perumahan.
“Papa kan bisa antar Mama.”
Ka Shifa menggeleng, menghela nafas. Ka Sophie menunduk.
“Papa nggak bisa sendirian, dia masih shock begitu tahu Mama kena kanker. Walaupun sudah dijelaskan kemungkinan Mama bisa sembuh besar, Papa tetap khawatir.”
Sisil ingat, beberapa hari ini Papa lebih pendiam, ia kira karena sedang memikirkan penelitian di kampusnya atau sedang marahan sama Mama.
“Papa pasti mendampingi Mama ke rumah sakit jika waktunya nggak bentrok dengan jadwal ngajar. Jangan cerita ke Papa kondisi detail Mama seperti apa. Papa kasih kabar yang baik-baiknya aja.”
***
Bab 27
Setengah berlari Sisil menuju lift yang terbuka, sayangnya jauh sebelum sampai, lift sudah tertutup. Sisil melirik jam tangannya, berdecak, terlambat lagi, gumannya. Bukan itu saja, ia juga belum memakai skin care, tak sempat. Untunglah masker menyelamatkannya. Tadinya begitu sampai kantor akan dandan tapi sepertinya tidak sempat karena meeting akan dimulai 10 menit lagi. Ini tidak akan terjadi andai saja motornya tidak mogok karena kehabisan bensin di jalan menuju stasiun Jurangmangu. Sisil tidak pernah isi bensin karena biasanya diisi Mama atau teh Lilis yang memakai motor hari Sabtu untuk ke pasar. Untunglah tak jauh dari tempat mogok ada warung dengan spanduk bertuliskan Madura Mart yang jual bensin eceran. Nggak deket-deket banget sih, Sisil mendorong motor sampai keringetan, rasanya mau nangis.
Ini kesekian kalinya Sisil datang ke kantor terlambat sampai pernah di tegur Bu Farah. Kehidupannya berubah 180 derajat sejak Mama sakit. Sisil harus bangun lebih pagi daripada Mama untuk menyiapkan sarapan Mama, Papa dan dirinya. Memang sarapannya hanya tinggal menghangatkan atau mencampur, karena semua sudah tersedia dalam bentuk food preparation. Setiap hari Sabtu Mama dan Teh Lilis membuat food prep tapi sejak Mama sakit, Sisil yang bantu Teh Lilis membuat food prep untuk seminggu. Sisil juga harus menyiapkan obat Mama.
Dengan gelisah Sisil menunggu di depan lift, setelah beberapa menit pintu lift terbuka. Ia menarik nafas lega, laju lift terasa lambat, setiap menit rasanya berharga, jantungnya berdebar cepat karena keterlambatan membuatnya tidak tenang dan merasa bersalah, malu jika sampai ruang meeting terlambat. Sampai meja kerja, Sisi meletakkan tas dan mengambar laptop, bergegas ke ruang meeting. Mukanya langsung terasa panas ketika dilihatnya semua kursi di ruang meeting hampir terisi penuh, dan semua orang di ruangan melihat ke arahnya, Pak Frans sudah duduk di kepala meja.
“Pagi, maaf terlambat Pak,” Sisil mengangguk ke arah Pak Frans.
“Pagi, Sil. Iya, baru mau mulai kok,” ujar Pak Frans.
Sisil berjalan menunduk menuju kursi yang kosong. Mira yang duduk di sampingnya menyikut Sisil dan memberi kode untuk melepas masker. Sisil baru sadar, masih memakai masker dan jaket. Rambutnya juga pasti berantakan efek memakai helm ojol dari stasiun ke sini. Pantas saja jadi pusat perhatian, sudah datang terlambat, penampilannya juga kacau. Pasti terlihat menyedihkan, tidak heran jika Pak Arga melihatnya langsung illfeel, dia ada di ruangan ini tapi entah duduk di sebelah mana.
Ya ampun kenapa mikirin penilaian Pak Arga, Sil. Kan udah nggak ada hubungan apa-apa.
Pelan-pelan Sisil membuka masker dan jaketnya, lalu menunduk menyembunyikan wajahnya di balik layar laptop. Sepanjang meeting hanya sesekali mengangkat kepala, menyimak penjelasan Pak Frans, masih merasa malu dengan penampilan dan kedatangannya yang terlambat. Harinya terasa benar-benar kacau terlebih ketika mulai merasa ngantuk. Semalam baru tidur jam 12 karena menemani Mama yang tidak bisa tidur, efek kemonya mulai terasa.
Kini hampir setiap hari Sisil datang ke kantor injury time kalau tidak terlambat, tak sempat bikin kopi pagi di pantri apalagi sarapan diselingi ngobrol seperti biasanya, bahkan tak sempat mampir ke toilet untuk merapikan penampilan, seperti hari ini, padahal bangun jam 4 pagi. Jangan ditanya rasa lelahnya tapi juga bahagia karena bisa membalas kebaikan Mama.
Lamunan Sisil buyar dengan sikutan Mira, refleks mengangkat kepala dan melihat ke depan,ke sebrang meja, tanpa diduga tatapannya bertemu Pak Arga yang juga tengah menatapnya, buru-buru Sisil menunduk. Malu kan terlihat Pak Arga penampilannya kacau.
Setelah meeting selesai baru Sisil ke toilet, memulas wajahnya dengan skin care dan lipstik, menyisir rambut, rasanya lega, tidak lagi merasa berpenampilan menyedihkan.
Jam makan siang kantin ramai seperti biasanya, Mira, Mirza, Sisil dan Rosi duduk mengelilingi meja, minus Dini, dia katanya maksi bareng pacarnya yang kantornya tidak jauh dari sini.
“Akhir-akhir ini lo sering kesiangan Sil, sibuk maraton nonton drakor atau netflix ya?” kata Mirza, antara bertanya dan menghakimi. Tapi Sisil sudah maklum dengan gaya nyablaknya.
“Nggak. Mama sakit.”
“Oh, pantesan udah lama lo nggak bawa kue.”
“Semoga Mama cepat sembuh ya Sil,” ujar Mira yang seperti paham keengganan Sisil menceritakan detail sakitnya Mama.
“Makasih. Aamiin.” Rosi dan Mirza ikut mengamini
“Eh Sil, Ayang maksi sama Mba Astrid tuh,” Mira menunjuk ke arah kanan dengan matanya.
“Iya tahu.”Sisil sudah melihatnya tadi begitu masuk kantin, Pak Arga dan Mba Astrid tengah ngantri di konter makanan.
“Nggak cemburu Sil?” tanya Mirza sambil mengangkat alis dengen seringai jail, sebelah tangannya mengaduk kuah sotonya setelah dikucuri sambal.
“Nggak.” Ya apanya yang mau dicemburuin, Sisil dan Pak Arga sudah tidak punya hubungan apa-apa, lagipula Pak Arga sepertinya cocok dengan Mba Astrid. Tapi ada sesuatu pada hatinya yang membuatnya ingin melirik ke arah di mana Pak Arga duduk. Jadi sesekali Sisil mengarahkan ujung matanya ke sana.
Jika diingat-ingat, sudah lama Sisil tidak makan siang bareng Pak Arga, sejak Mama sakit, oh bukan sejak marah-marah di mobil karena memang waktu itu Sisil bilang nggak mau diajak makan siang bareng lagi. Karena tidak pernah makan siang bareng otomatis interaksi dengan Pak Arga berkurang, ngobrol basa-basi hanya jika berpas-pasan di ruang meeting. Dan Sisil baru sadar jika mereka sudah tidak makan siang bareng selama tiga minggu. Tapi bukankan ini yang diinginkan, menjaga jarak dengan Pak Arga, agar tidak jatuh hati karena takut dibohongi.
Sejak Mama sakit, hampir tidak pernah terlintas di benaknya tentang Bang Zidan atau Pak Arga, terlalu sibuk dengan urusan Mama dan rumah, belum lagi memastikan Papa baik-baik saja, memastikan Papa selalu optimis. Tapi hari ini, memikirkan penilaian Pak Arga karena penampilannya kacau dan sekarang melihatnya makan siang dengan Mba Astrid yang penampilannya selalu paripurna dan sedikit seksi, membuatnya insecure.
Sisil mengunyah makanannya lambat-lambat, nafsu makannya berkurang, tapi bertekad untuk menghabiskannya.
***
Jam istirahat masih tersisa 15 menit, Sisil dan Mirza sudah kembali ke ruangannya. Sisil memeriksa room chat di ponselnya, ada pesan dari Teh Lilis, mengabarkan stok bahan dapur yang harus Sisil beli sepulang kerja nanti, hal yang biasanya dikerjakan Mama. Teh Lilis juga mengabarkan jika Mama sudah makan dan minum obat, dia pamit pulang untuk menjemput anak sekolah dan akan kembali ke rumah Sisil abis ashar. Teh Lilis biasanya pulang setengah hari tapi sejak Mama sakit, sorenya datang lagi untuk mengecek keadaan Mama dan rumah jika Papa belum pulang.
“Sil, pasti Mama lo sakitnya serius.”Mirza memutar kursinya hingga menghadap Sisil.
“Dari mana Mirza tahu.” Seingatnya Sisil tidak pernah cerita detail soal sakitnya Mama dan kesibukannya akhir-akhir ini.
“Ya keliatan, lo suka datang telat, kadang datang ke kantor dengan penampilan nggak profer, keliatan capek, kantung mata lo bengkak. Sisil yang gue tahu kan selalu tampil rapih resik, nggak pernah telat kalau meeting dan nggak ketiduran di depan laptop.”
Sisil jadi terharu Mirza seperhatian itu.
“Iya Za, Sisil nemenin Mama.”
“Memang Mama sakit apa Sil?”
“Kanker, tapi jangan bilang-bilang ya.” Sisil tidak mau kinerjanya turun dinilai gara-gara Mama sakit padahal ia yang salah karena belum bisa membagi waktu, belum segesit Mama kalau mengerjakan sesuatu dan masih teledor.
“Ya Allah Sil, semoga Mama bisa sembuh ya.” Mirza menatap dengan penuh simpati.
“Aamiin, kemungkinan bisa sembuh karena masih stadium awal.”
“Yang sabar dan ikhlas ya Sil, rawat Mama. Lo beruntung bisa rawat orang tua. Gue nyesel seumur hidup karena nggak ikut merawat waktu nyokap sakit, bahkan saat dia meninggal, gue nggak ada di sampingnya.” Suara Mirza terdengar bergetar.
Mirza itu senang mengobrol tapi Sisil baru ngeh, dia hampir tidak pernah menceritakan kehidupan pribadinya, bahkan Sisil tidak tahu punya berapa saudara kandung Mirza karena kalau ditanya pasti jawabnya,”Ada deh, ih kepo.” Iya senyebelin itu, padahal dia kepo sama orang lain.
“Setiap inget itu, sakit hati gue, berasa banget jadi anak durhaka. Tapi kalau dipikir-pikir mungkin ini cara Tuhan bikin gue sadar, biar jadi orang bener,” Mirza menyunggingkan senyum, namun matanya berkaca-kaca.
“Masih ada kesempatan Za, dengan mendoakan.”
“Iya Sil, tapi kadang gue kangen banget sama nyokap.”
Sisil tergugu, Mirza yang selalu nampak ceria dan nyablak ternyata menyimpan rasa duka yang dalam.
“Tapi ada ART yang bantu-bantu kan Sil. Karena lo nggak bisa terus-terusan sering kesiangan atau ketiduran depan laptop, kalau Bu Farah lihat kan nggak bagus buat lo.”
“Iya Za, makasih ya diingetin. Sisil masih belum bisa bagi waktu. Ini lagi nyari ART satu lagi yang bisa nginap biar Sisil nggak terlalu sibuk kalau pagi-pagi.” Sisil menyesap kopinya, kebiasaan barunya akhir-akhir ini, membeli satu cup kopi setelah makan siang, untuk menghindari terkantuk-kantuk di depan laptop.
“Tapi hubungan lo sama Ayang baik-baik aja kan Sil?”
“Ehm.”
“Gue liat akhir-akhir ini lo jarang makan siang bareng Ayang.”
“Ehm sebenarnya Sisil sudah putus sama Pak Arga.”
“Hah?!” Mirza menatap dengan mata membulat.”Serius?!” Dia mencodongkan badannya ke depan. Reaki yangberlebihan, pikir Sisil.
Sisil meletakkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan agar Mirza memelankan suaranya.
“Padahal gue lihat kalian cocok.”
“Cocok bagaimana? Apa Mirza nggak aneh Pak Arga suka sama Sisil yang biasa-biasa aja.”
“Biasa gimana Sil, lo cantik dan pinter.”
“Mantannya Pak Arga cantik banget Za, mirip model iklan atau artis gitu.” Kenyataan yang membuat Sisil insecure dan tidak percaya jika Pak Arga menyayanginya, seperti yang pernah dia ucapkan.
“Sebenarnya lo bisa lebih cantik kalau mau menonjolkan kelebihan lo dan percaya diri. Lo pasti pernah ketemu jenis orang yang sebenarnya nggak cantik-cantik banget atau nggak ganteng-ganteng banget tapi kayak charming gitu. Itu karena mereka percaya diri dan tahu gimana memperlihatkan kelebihan mereka.”
“Lo cantik tapi secara visual ngebosenin. Sori Sil, lo mau review jujur kan?”
“Kayak orang mau review makanan aja,” Sisil tertawa.
“Potongan rambut lo, yang nggak berubah sejak kita kenal di sini dan selalu disisir seperti itu, menghalangi pipi tirus lo yang sebenarnya membuat terlihat lebih cakep. Coba rambut lo dipakein jepitan atau bandana jadi garis wajah lo lebih terekspos, pake lisptik yang terangan dikit, dan kacamata lo,” Dengan sedikit mengernyitkan hidung Mirza menunjuk kacamata Sisil. “Coba ganti model yang trendi dan sesuai bentuk wajah. Kacamata lo tuh modelnya terlalu biasa, jadul.” Mirza berdecak sebelum melanjutkan,”Kadang lo tuh ngingetin gue sama tokoh-tokoh penjaga toko buku atau perpustakaan di film.” Potongan rambut Sisil memang tidak berubah sejak masa sekolah, dibob, sebahu dan disisir menutupi telinga, kacamata yang membingkai, modelnya standar.
“Coba pake pakaian yang warnanya agak terangan. Pakaian menarik nggak harus terbuka Sil. Lihat aja Bu Farah, dia nggak pernah pakai pakaian seksi tapi ya menarik dan elegen, semua orang di kantor sini pasti sepakat dia modis, pintar, cantik dan elegen.”
Sisil tahu itu, Bu Farah salah satu role model wanita karir Sisil. Pintar, berani, humble, terkesan berkelas pokoknya.
“Dan lo orangnya kurang pede, greget gue liatnya.”
“Kenapa baru sekarang Mirza kasih masukan.” Sisil percaya masukan Mirza karena penampilan Mirza mencerminkan lelaki metroseksual, dia tahu mode, look nya beda dengan Pak Arga walaupun sama-sama memakai kemeja kerja. Sebenarnya Ka Sophie juga pernah mengkritik penampilan Sisil yang katanya kurang gaul, modis tapi kurang trendi.
“Karena kalau nggak diminta, takut lo tersinggung dan malah jadi nambah nggak pede. Lelaki itu mahkluk visual Sil, jadi biasanya tertarik sama cewek karena visualnya dulu. Kalau Pak Arga suka lo, berarti bisa lihat kalau lo cakep. Memang Pak Arga nggak pernah ngomentarin penampilan lo?”
Sisil menggeleng.
“Selamat siang Mba Sisil.”
Suara Ani membuat Sisil dan Mirza menoleh, percakapan mereka terhenti, Ani menghampiri dengan membawa cup berisi coklat.
“Ini dari Pak Arga buat Mba Sisil,” katanya sambil meletakkan di meja Sisil dengan badan setengah membungkuk.
“Oh, makasih ya An.”
“Iya Mba, sama-sama.” Ani berlalu.
“Ayang belum bisa move on kayaknya Sil.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
